Abubakar, 2010
-
Upload
anindyajati-mardika-apsari -
Category
Documents
-
view
18 -
download
3
description
Transcript of Abubakar, 2010
Abubakar: Trade-Off Pengembangan …
48
TRADE-OFF PENGEMBANGAN PENGELOLAAN KAWASAN TAMBAK UDANG BERKELANJUTAN DI KABUPATEN DOMPU, NTB
TRADE-OFF ON MANAGEMENT DEVELOPMENT OF SUSTAINABLE SHRIMP AQUACULTURE ZONE IN DOMPU REGENCY, WEST NUSA TENGGARA
Abubakar
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Unram
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan: (a) untuk membuat skenario pengembangan kawasan budidaya tambak udang berkelanjutan; (b) menilai trade-off pengembangan kawasan budidaya tambak udang berkelanjutan; dan (c) untuk memprediksi dampak ekonomi, sosial, dan ekologi pengembangan pengelolaan kawasan tambak udang berkelanjutan. Penelitian ini telah dilakukan di Kabupaten Dompu, NTB dengan menggunakan metode survey, pengamatan dan metode partisipasi stakeholders. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif, analisis laboratorium, dan analisis Trade off.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas kawasan budidaya tambak udang berkelanjutan adalah 2.350 ha dengan alokasi penggunaan 325,5 ha tambak intensif; 117,5 ha tambak semi intensif; dan 1.880 ha tambak tradisional. Dampak budidaya tambak udang berkelanjutan ini terhadap PDRB, total produksi, pendapatan dan devisa diperkirakan sebesar Rp. 37,4 miliar; 1.069,2 ton; Rp. 20,4 miliar; dan US $ 5,4 juta. Dampak sosial budidaya udang terhadap penyerapan tenaga kerja dan perkembangan sektor informal diperkirakan : 124.146.625 HKO dan perkembangan sektor informal sedang. Dampak total terhadap BOD, N dan P diperkirakan sebanyak 706.145,6 kg; 1.070,7 kg; dan 3.965,6 kg serta dampak total terhadap hutan mangrove seluas 2.350 ha.
ABSTRACT
The aims of this research were (a) to design of scenario of sustainable shrimp culture zone development; (b) to assess trade-off on sustainable shrimp culture zone development; (c) to predict economic, social and ecology impacts of sustainable shrimp culture zone management development. The research was conducted in Dompu Regency, West Nusa Tenggara by using observation, survey, and participatory of stakeholders. The collected data have were analyzed by descriptive, laboratory and trade-off analysis (TOA). The result shows that the total sustainable shrimp culture area is 2,350 ha (50% of potential zone), consisting of 325.5 ha intensive, 117.5 ha semi-intensive and 1,880 ha traditional cultures. By this sustainable shrimp culture, the Gross Domestic Regional Product, total of production, shrimp farmer’s income and export value are predicted Rp. 37.4 billion; 1,069.2 tons; Rp. 20.4 billion; and US $ 5.4 million accordingly. The social impacts of shrimp culture on workforce were 124,146.625 men days and medium informal sector development. The waste water of BOD, N and P are predicted 706,145.6 kg; 1,070.7 kg and 965.6 kg consequentively. Total of mangrove forest area is 2,350 ha. _______________________________
Kata kunci : Trade-off, Dampak, Berkelanjutan, Budidaya Udang, Pengelolaan Keywords :Trade-Off, Impacts, Sustainable, Shrimp Aquacultur, Management
PENDAHULUAN
Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara daratan dan lautan (Soegiarto, 1976 dalam Dahuri R., 2001). Budidaya tambak merupakan salah satu potensi sektor perikanan yang signifikan di wilayah pesisir. Luas tambak di Indonesia sebesar 1,2 juta ha dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5,1 persen pertahun. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki
kawasan pertambakan seluas 7.346 ha pada tahun 2005 dengan peningkatan 49,1 ha pertahun (Dirjen Perikanan Budidaya DKP, 2004). Kabupaten Dompu memiliki 26,1 % kawasan pertambakan provinsi NTB (seluas 1.915 ha). Perluasan tambak di Kabupaten Dompu masih tergolong rendah yakni 33,5 ha pertahun (Bappeda Dompu, 2005; Pemerintah Kabupaten Dompu, 2004).
Agroteksos Vol. 19 No. 1-2, Agustus 2009
49
Salah satu komoditas andalan yang diha-silkan dari tambak adalah udang baik udang windu (Penaeus monodon) atau udang vaname (Litopenaeus vannamei). Udang merupakan komoditas ekspor andalan Indonesia untuk mendapatkan devisa. Selain itu, produksi udang juga dituntut untuk tujuan konsumsi dalam negeri guna memenuhi kebutuhan gizi masya-rakat. Untuk memenuhi tuntutan tersebut produksi udang harus ditingkatkan baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Pengembangan kawasan tambak udang telah menimbulkan permasalahan baru terutama aneka konflik kepentingan penggunaan sumberdaya di antara stakeholders baik kepentingan peman-faatan di darat maupun di laut sehingga akan mengancam keberlanjutan pemanfaatan sumber-daya pesisir. Di pihak lain perluasan kawasan tambak udang merupakan suatu keharusan sejalan dengan semangat otonomi daerah (Undang-Undang RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) untuk mening-katkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), pembukaan dan perluasan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat termasuk masyarakat pesisir dan pelestarian lingkungan.
Perluasan tambak yang tidak terencana dan tidak terkendali berpengaruh pada ketidak-stabilan ekosistem wilayah pesisir. Secara umum kondisi hutan mangrove di Kabupaten Dompu telah mengalami kerusakan. Terdapat paling tidak 300 ha hutan mangrove mengalami kerusakan dengan vegetasi jarang, baik yang berada dalam kawasan maupun diluar kawasan. Berbagai penyebab rusaknya hutan mangrove di antaranya penggunaan kayu hutan mangrove untuk kayu bakar, penggunaan kayu mangrove sebagai tangkai peralatan pertanian dan peram-bahan hutan mangrove untuk tambak baru (Dinas Kehutanan Kabupaten Dompu, 2005).
Ketentuan luas hutan mangrove sebagai penunjang pemanfaatan kawasan khususnya kawasan tambak masih menimbulkan perde-batan. Menurut Dirjen Perikanan dan Pusat Penelitian Perikanan (1985) (dalam Rachmatun dan Mujiman, 2003) terdapat 10-20 persen cadangan hutan mangrove yang tidak menggang-gu kestabilan ekologi perairan. Menurut Dahuri R. (2003) paling tidak terdapat 20 persen hutan mangrove untuk mempertahankan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya tambak, sementara menurut Prihatini (2003) dalam penelitiannya di Delta Mahakam Kalimantan Timur menyimpul-kan bahwa satu ha lahan tambak memerlukan dua ha hutan mangrove.
Tujuan penelitian ini adalah: (a) untuk membuat alternatif skenario pengembangan
kawasan budidaya tambak udang berkelanjutan; (b) untuk menilai trade-off pengembangan kawasan budidaya tambak udang berkelanjutan; dan (c) untuk memprediksi dampak ekonomi, sosial dan ekologi pengembangan pengelolaan kawasan tambak udang berkelanjutan.
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi penelitian ini adalah wilayah pesisir Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan mengambil seluruh kecamatan yang terdapat budidaya tambak. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) metode survey, (2) metode partisipasi stakeholders dalam pengam-bilan keputusan, dan (3) metode pengamatan lapang.
Penggunaan metode survey dimaksudkan untuk memperoleh data pembudidayaan tambak udang. Obyek penelitian ini adalah pembudidaya tambak udang di pesisir Kabupaten Dompu dengan mengambil data satu musim yaitu musim tanam 2005. Pada musim tanam 2005 hanya terdapat 10 orang petambak udang semi intensif dan sisanya merupakan petambak tradisional. Dari 10 orang pembudidaya tambak udang secara semi intensif tersebut semuanya diambil sebagai responden. Pembudidaya tambak udang secara semi intensif tersebut terdapat di Kecamatan Woja sebanyak 6 orang dan Kecamatan Dompu 4 orang. Jumlah responden pembudidaya tambak udang tradisional dipilih secara sengaja 20 orang, yang menyebar pada Kecamatan Dompu, Kecamatan Woja, dan Kecamatan Pajo. Dengan demikian jumlah responden seluruhnya sebanyak 30 orang petambak udang.
Metode partisipatif sangat penting guna merancang kebijakan pengembangan kawasan tambak udang berkelanjutan. Metode Partisipasi ditujukan pada tiga kategori stakeholders yaitu (1) Primary Stakeholder yaitu pembudidaya tambak, nelayan, masyarakat lokal, pengusaha restoran, dan perusahaan hatchery (2) Secondary Stakeholder yaitu Bupati Dompu, Bappeda Kabupaten Dompu, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Dompu, dan Dinas Kehutanan Kabupaten Dompu dan (3) External Stakeholder yaitu Anggota DPRD Kabupaten Dompu, Perguruan Tinggi (Universitas Mataram), dan Lembaga Sosial Masyarakat.
Penggunaan metode pengamatan dimaksud-kan untuk menggali data dampak ekologi pembudidayaan tambak udang. Data ekologi yang dimaksud pada penelitian ini meliputi kualitas air. Kualitas air yang menjadi fokus penelitian ini dibatasi pada BOD (Biological
Abubakar: Trade-Off Pengembangan …
50
Oxygen Demand), N (Nitrogen) dan P (Phosphor). Data ini diperoleh dari hasil pengamatan atau analisis laboratorium Analitik Unram. Contoh air buangan tambak diambil secara purposive pada saluran pembuangan limbah tambak semi intensif sebanyak 4 (empat) titik, sedangkan contoh air buangan tambak di perairan sungai sebagai outlet limbah tambak sebanyak 4 (empat) titik sampel.
Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunaan analisis deskriptif, analisis laboratorium dan analisis Trade Off. Menurut Brown et al. (2001) bahwa tahapan dalam analisis trade-off meliputi: (a) Rancangan skenario pengelolaan. Ada enam rancangan skenario pengelolaan kawasan budidaya tambak : Skenario A, yaitu: budidaya tambak yang ada sekarang sebesar 997 ha. Skenario B1 meliputi tambak Intensif = 6,65%, Semi Intensif = 10%, Tradisional = 83,35%; skenario B2 meliputi tambak Intensif = 15%, tambak Semi Intensif = 5%, dan tambak Tradisional = 80% ; skenario B3 adalah tambak Tradisional = 100% ; skenario B4 adalah tambak Semi Intensif = 100 % ; dan skenario B5 adalah Tambak Intensif = 100%; (b) Penentuan kriteria dan dampak; (c) Penentuan skor; (d) Melibatkan pilihan stake-holders dalam menyusun peringkat skenario kebijakan. (e) mengidentifikasi bobot peringkat skenario dan (f) melakukan penilaian terhadap skenario.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dampak Skenario Pengembangan Tambak Udang
Pada kondisi sekarang dampak budidaya udang terhadap aspek ekonomi seperti Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar Rp. 4,9 miliar, total produksi sebesar 142,2 ton, total pendapatan petambak sebesar Rp. 2,9 miliar dan devisa sebesar US $ 904.344,49. Dari aspek sosial diperoleh penyerapan tenaga kerja sebesar 27.871,29 HKO dengan perkembangan sektor informal sangat rendah. Dampak limbah buangan air seperti BOD sebesar 203.284,875 kg, limbah N sebesar 308,610 kg; limbah P sebesar 1.231,020 kg. Dampaknya terhadap keberadaan luas hutan mangrove sebesar 2.706 ha dengan kualitas sangat baik dibandingkan dengan skenario pengembangan yang lainnya.
Dengan melakukan konversi berbagai kriteria yang ada dapat diperoleh besaran nilai dampak pengembangan tambak udang pada berbagai skenario. Pada dampak produksi misalnya besaran nilai dampak diperoleh dari perkalian antara produktivitas rata-rata pada setiap tekhnologi yang ada (existing) dengan luas pengembangan tambak. Produktivitas tambak intensif digunakan produktivitas pesimis sebesar 2.000 kg/ha/musim (Maarif dan Somamiharja, 2000). Seperti halnya produksi, nilai PDRB juga diperoleh dari besarnya nilai produksi pada setiap tekhnologi yang digunakan, demikian juga untuk pendapatan, devisa, dan penyerapan tenaga kerja dari hasil budidaya tambak udang. Nilai skor untuk sektor informal sangat ditentukan oleh besarnya produksi yang dikehendaki. Semakin tinggi produksi yang diinginkan maka kebutuhan akan input seperti pupuk, benur, kapur, obat-obatan dan lainya akan meningkat sehingga dampaknya terhadap perkembangan sektor informal sebagai penun-jangnya akan semakin meningkat pula. Dengan demikian akan berakibat pada nilai skor perkembangan sektor informal yang semakin tinggi.
Besaran limbah N dan P yang terbuang ke perairan pada berbagai skenario pengembangan budidaya tambak dihitung atas dasar kapasitas produktivitas tambak. Semakin tinggi produk-tivitas maka semakin tinggi juga total N dan P yang terbuang ke perairan. Untuk produktivitas 2.000 kg/ha yang diperoleh dari tambak intensif maka diasumsikan limbah N sebesar 33,6 kg/ha sedangkan limbah P sebesar 5,4 kg/ha. Asumsi ini didasari oleh pendapat Boyd (1999) yang mengatakan bahwa semakin tinggi produktivitas udang akan mengakibatkan limbah buangan tambak semakin tinggi juga. Demikian juga untuk BOD, semakin tinggi produktivitas akan semakin tinggi BOD yang diperlukan oleh bakteri untuk mengolah limbah. Selanjutnya kebijakan pengembangan tambak udang di Indonesia pada saat tahun 1980 an cenderung mengkonversi hutan mangrove, akibatnya luas hutan mangrove menurun (Widigdo 2001). Menurunnya luas hutan mangrove dan tingginya limbah N dan P akan menyebabkan kemampuan olahan limbah buangan tambak oleh hutan mangrove rendah sehingga nilai skor kualitas hutan mangrove menjadi rendah (Tabel 1 dan 2).
Agroteksos Vol. 19 No. 1-2, Agustus 2009
51
Tabel 1. Dampak budidaya tambak saat ini (existing condition=skenario A), dan perkiraan dampak skenario B1, skenario B2 terhadap aspek ekonomi, sosial dan ekologi
Kriteria Skenario A Skenario B1 Skenario B2 Ekonomi : a. PDRB (Rp 000) b. Produksi (kg) c. Pendapatan Pt (Rp 000) d. Devisa (US $)
4.976.738,55
142.192,53 2.891.869,98
904.344,49
28.638.801,73
818.251,48 15.693.505,73 4.163.263,52
37.420.747,88 1.069.164,23
20.374.406 5.439.907,58
Sosial : a. Penyerapan TK.(HKO) b. Perkembangan sektor
informal (skor)
27.871,29
10,00
101.268,33
40,00
124.146,98
50,00
Ekologi : a. BOD (kg) b. N (kg) c. P (kg)
d. Luas mgv (ha) e. Kualitas mgv (skor)
203.284,88
308,61 1.231,02 2.706,00
120,00
611.586,92
927,62 3.435,64 2.350,00
90,00
706.145,62
1.070,72 3.965,62 2.350,00
80,00
Sumber : Data primer diolah
Tabel 2 . Perkiraan dampak budidaya tambak skenario B3, B4, dan B5 terhadap aspek ekonomi sosial dan ekologi.
Kriteria Skenario B3 Skenario B4 Skenario B5 Ekonomi a. PDRB (Rp.000) b. Produksi (kg) c. Pendapatan Pt (Rp 000) d. Devisa (US $)
10.166.100,00290.460,00
2.352.921,301.477.860,48
92.257.357,502.635.924,50
60.642.408,0013.411.583,86
164.500.000,004.700.000,00
94.000.000,0023.913.600,00
Sosial : e. Penyerapan TK.(HKO) f. Perkembangan sektor
informal
62.956,00 20,00
206.635,50 70,00
423.000,00 110,00
Ekologi : g. BOD (kg) h. N (kg) i. P (kg) j. Luas mangrov (ha) k. Kualitas mangrov(skor)
470.146,875713,813
2.643,7502.350,00
110,00
942.937,5001.427,6255.287,500
2.350,0060,00
1.885.875,002.855,25
10.575,002.350,00
20,00
Sumber : Data primer diolah Dilihat dari aspek PDRB, besarnya
perkiraan PDRB untuk seluruh tambak intensif (Skenario B5) adalah Rp. 164,5 miliar. Nilai perkiraan PDRB ini sangat fantastis dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan skenario lainnya seperti skenario B1, B2, B3, B4 dan skenario A (Existing condition). Secara berurutan besarnya nilai PDRB setelah skenario B5 pada masing-masing skenario tersebut adalah skenario B4, skenario B2, skenario B1, skenario B3 dan skenario A. Demikian juga dengan nilai dampak terhadap aspek ekonomi lainnya dan sosial. Dilihat dari aspek produksi, pendapatan
total petambak, devisa, penyerapan tenaga kerja dan perkembangan sektor informal pada skenario B5 diperkirakan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan skenario lainnya. Secara berurutan besarnya nilai produksi, pendapatan total petambak, devisa, penyerapan tenaga kerja dan perkembangan sektor informal setelah skenario B5 pada masing-masing skenario tersebut adalah skenario B4, skenario B2, skenario B1, skenario B3, dan skenario A.
Ditinjau dari aspek ekologi seperti limbah total BOD, limbah N dan limbah P serta kondisi hutan mangrove, maka dengan pengelolaan
Abubakar: Trade-Off Pengembangan …
52
tambak yang kurang intensif berdampak sangat rendah terhadap ekologi tersebut. Ini membe-rikan gambaran bahwa semakin tinggi dampak ekonomi dan sosial maka semakin merusak aspek lingkungan perairan dan hutan mangrove. Secara berturut-turut berdasarkan dampak ekologi dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi adalah skenario A, skenario B3, skenario B1, skenario B2, skenario B4 dan skenario B5.
Trade-Off Pengembangan Tambak Udang Berkelanjutan
Dilihat dari dampak aspek ekonomi dan sosial, maka pengembangan tambak sebanyak 50 % dari potensi (2.350 ha), untuk semuanya tambak intensif lebih baik dari skenario lainnya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya dampak terhadap aspek ekonomi seperti Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), produksi udang, pendapatan total petambak dan devisa. Demikian juga dengan dampaknya terhadap aspek sosial seperti penyerapan tenaga kerja dan perkembangan sektor informal. Akan tetapi dari aspek lingkungan pengembangan tambak intensif sebanyak 50 % dari potensi ini sangat merusak lingkungan baik dari kondisi dukungan hutan mangrove maupun tingginya limbah buangan tambak seperti BOD, nitrogen dan phosphor ke perairan laut. Kondisi ini akan berdampak lanjutan terhadap produktivitas, pendapatan petambak, PDRB, dan devisa.
Dilihat dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi pengembangan tambak sebanyak 50 % dari potensi (2.350 ha), untuk semuanya tambak intensif tersebut tetap memberikan nilai rata-rata skor tertinggi dengan nilai skor sebesar 66,67. Ini memberikan gambaran bahwa sekalipun nilai dampak lingkungannya tinggi atau cost tinggi, tetapi dapat tertutupi dengan tingginya manfaat (benefit) ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh pengembangan tambak intensif tersebut. Akan tetapi berdasarkan kondisi sekarang maka pengembangan tambak intensif 50 % dari potensi hanya sangat mungkin diaplikasi dalam jangka panjang mengingat untuk menaikkan teknologi intensifikasi pertambakan udang diperlukan sejumlah faktor pendukung seperti : (a) modal untuk pembelian sejumlah input, (b) kemampuan para petambak dalam menguasai dan menerapkan teknologi intensifikasi, (c) fisik tambak untuk teknologi intensif, (d) dukungan lembaga keuangan dan lembaga penyuluhan.
Pengembangan pengelolaan kawasan tam-bak udang di wilayah pesisir Kabupaten Dompu sangat ditentukan oleh berbagai pihak dalam proses pengambilan keputusannya, baik dalam
hal luas tambak maupun tingkat teknologi yang dapat diterapkan. Para pihak (stakeholders) tersebut berbeda-beda dalam pilihannya. Pengembangan skenario B5 dengan seluruh luas tambak 50 % dari potensi yang dimanfaatkan secara intensif tidak dikehendaki oleh semua stakeholders walaupun secara matematik dengan pemanfaatan ini berdampak ekonomi dan sosial yang tinggi, akan tetapi pemanfaatan ini berdampak sangat buruk dalam jangka panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 80% stakeholders lebih memilih skenario B2 sebagai skenario yang optimal guna pengelolaan tambak udang yang berkelanjutan. Skenario B2 dengan pemanfaatan sebanyak 50 % dari potensi dengan alokasi 352,5 ha tambak intensif, 117,5 ha tambak semi intensif dan sisanya sebanyak 1.880 ha tambak tradisional.
0
10
20
30
40
50
60
A B1 B2 B3 B4 B5
Skenario
Skor
Skor
Gambar 1. Efek Bobot Ekonomi, Sosial dan Ekologi Terhadap Skor Dampak Skenario Pengembangan Budidaya Tambak Udang 50% Dari Potensi
Masyarakat yang secara ekonomi lebih mapan lebih mementingkan kriteria pengelolaan sosial dari pada kriteria pengelolaan ekologi dan ekonomi dalam pengambilan keputusan pengem-bangan kawasan pembangunan. Menurut Brown et al. (2001) bahwa isu sosial memiliki bobot tertinggi dibandingkan dengan bobot isu ekologi dan ekonomi. Berbeda dengan bobot kriteria yang ada pada negara sedang berkembang seperti Indonesia dengan kondisi ekonomi masyarakat yang masih rendah, bobot ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam bagi kepentingan pembangunan lebih ditonjol-kan dari pada bobot ekologi dan sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai bobot ekonomi, sosial dan ekologi berturut-turut sebesar 0,48 ; 0,20 ; dan 0,32. Ini berarti bahwa dalam pertimbangan pengelolaan sumberdaya pembangunan lebih mementingkan aspek ekonomi, setelah itu bobot ekologi dan terakhir bobot sosial.
Agroteksos Vol. 19 No. 1-2, Agustus 2009
53
Arahan Pengelolaan Kawasan Tambak Udang Berkelanjutan
Hasil analisis Trade Off menunjukkan bahwa luas kawasan tambak udang yang berdimensi berkelanjutan adalah 2.350 ha atau 50 persen dari potensi luas tambak di kawasan pesisir Kabupaten Dompu. Ini memiliki makna bahwa 50 % dari potensi boleh menjadi zona preservasi dan zona konservasi. Dahuri R. (1996) yang memberikan analisis tentang konsep daya dukung untuk pengembangan wilayah pesisir yang lestari dengan memperhatikan keseimbangan kawasan. Agar kawasan pesisir dapat lestari, maka kawasan pesisir dibagi dalam 3 zona : zona preservasi (preservation zone), Zona konservasi (conservation zone), dan Zona pengembangan intensif (intensif development zone).
Zona preservasi yaitu kawasan yang memiliki nilai ekologis tinggi seperti tempat berbagai hewan untuk melakukan kegiatan reproduksinya dan memiliki sifat alami lainnya yang unik, termasuk di dalamnya adalah “green belt”. Kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan ini adalah yang bersifat penelitian, pendidikan dan wisata alam yang tidak merusak. Kawasan ini meliputi paling tidak 20 % dari total areal. Zona konservasi yaitu kawasan yang dapat dikembangkan, namun secara terkontrol seperti perumahan dan perikanan rakyat. Kawasan ini meliputi paling tidak 30 % dari total areal. Zona pengembangan intensif, termasuk di dalamnya mengembangkan kegiatan budidaya udang secara intensif. Namun ditegaskan bahwa limbah yang dibuang dari kegiatan tersebut tidak melebihi kapasitas asimilasi kawasan perairan. Zona ini tidak lebih dari 50 % dari total kawasan.
Alokasi luas tambak berkelanjutan menurut tingkat tekhnologi adalah 352,5 ha untuk tambak udang intensif; 117,5 ha untuk tambak semi intensif dan sisanya seluas 1.880 ha untuk tambak tradisional. Menurut Pandangan stakeholders, sebaiknya dalam pengembangan tambak udang di wilayah pesisir Kabupaten Dompu diperlukan adanya petambak yang menerapkan tekhnologi intensif sebagai motor penggerak petambak lainnya seperti petambak semi intensif dan tradisional. Motor penggerak tersebut baik dalam penerapan tekhnologi, penyediaan input maupun pengolahan dan pemasaran hasil tambak. Terdapat peluang untuk membuka lahan tambak baru sebesar 455 ha dengan alokasi 352,5 ha untuk tambak intensif dan sisanya sebanyak 102,5 ha boleh diman-faatkan untuk tambak semi intensif. Untuk memenuhi tambak semi intensif dapat dilengkapi
dengan tambak peninggalan PT. Sera seluas 150 ha.
Potensi lahan tambak yang secara fisik memenuhi syarat untuk perluasan tambak lebih diarahkan pada pesisir Kecamatan Pekat, Kecamatan Manggelewa, Kecamatan Kempo dan Kecamatan Kilo yang berada pada pesisir Teluk Saleh dan Teluk Sanggar. Hal ini didukung oleh potensi perluasan tambak sebesar 354 ha di empat kecamatan tersebut, sedangkan sisanya untuk perluasan tambak seluas 101 ha dapat dilakukan di Kecamatan Dompu dan Kecamatan Woja (Pemerintah Kabupaten Dompu, 2004).
Pemanfaatan potensi tersebut harus dilaksanakan secara terpadu, mengingat besar-nya dampak ekologi yang dapat menimbulkan kerugian bagi berbagai pihak terutama limbah buangan tambak intensif dan semi intensif. GESAMP (2001) menyatakan bahwa dalam banyak hal budidaya perairan termasuk budidaya tambak udang berpengaruh serius terhadap kualitas air dan degradasi habitat sehingga diperlukan pengelolaan tambak harus dilakukan secara terpadu. Dahuri et al. (2001) menya-rankan bahwa dalam pengelolaan tambak juga sebaiknya dilakukan secara terpadu mengingat kawasan tambak merupakan bagian dari wilayah pesisir yang terkait dengan ekosistem lainnya dan sumberdaya dalam ekosistem tersebut. Selanjutnya keterkaitan tersebut mengandung tiga dimensi yaitu dimensi sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa dinas terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Dompu masih bergerak secara parsial, Dinas Kehutanan mengurus hutan mangrove, Dinas Perikanan dan Kelautan mengurus perikanan laut dan budidaya, Dinas Pariwisata mengurus berbagai atraksi terkait dengan wisata di wilayah pesisir. Pada hal sebenarnya dalam pengelolaan wilayah pesisir agar berkelanjutan diperlukan adanya keter-paduan seperti yang pernah dilakukan oleh berbagai negara antara lain Sri Lanka mulai pada tahun 1984, New Zealand mulai tahun 1991 dan Thailand yang menerapkan ICM secara lokal dalam pengelolaan akuakultur pesisir dengan integrasi vertikal maupun horizontal walaupun masih banyak kegagalan dalam mengurangi dampak negatif terhadap kerusakan lingkungan (GESAMP 2001).
Berdasarkan pengalaman negara-negara tersebut di atas dalam pengelolaan wilayah pesisir diperlukan adanya badan tertentu sebagai pengelola, namun demikian kajian ini tidak bermaksud menyarankan adanya suatu badan yang secara khusus untuk mengelola kawasan
Abubakar: Trade-Off Pengembangan …
54
pesisir dan laut Kabupaten Dompu karena pembentukan badan tertentu berarti melibatkan banyak tenaga dan biaya, akan tetapi diperlukan adanya keterpaduan berbagai dinas instansi yang terkait dengan wilayah pesisir guna melak-sanakan fungsi manajemen seperti yang diterangkan oleh Olsen et al. (1999) dalam Budiharsono (2001) dan Christie (2005) mulai dari (a) identifikasi dan penilaian permasalahan yang berkaitan dengan wilayah pesisir pada skala lokal (b) penyiapan rencana atau program (c) pengadopsian program secara resmi dan pembiayaan (d) pelaksanaan dan (e) evaluasi. Kegiatan manajemen seperti itu dapat saja dibawah koordinasi satu dinas yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan.
Rencana pengelolaan tambak udang terpadu dapat merupakan bagian dari rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Demikian juga dengan pengelolaan hutan mangrove, pengelolaan pariwisata di wilayah pesisir merupakan bagian dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Rencana pengelolaan ini tertuang dalam suatu rencana strategis wilayah pesisir Kabupaten Dompu yang berlaku selama lima tahun dan dapat dievaluasi secara terus menerus. Kelemahan tahun sebelumnya dapat menjadi masukan bagi periode berikutnya. Pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dapat dilakukan secara bersama oleh dinas instansi terkait. Pembuatan rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu secara lokal dapat dilakukan yang merupakan amanat dari Undang-Undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah.
Suatu keyakinan besar bila rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu dapat dilaksanakan, maka kemungkinan dampak ekologi yang dikhawatirkan Boyd, CE.(1999) yang ditimbulkan oleh tambak udang dari aspek lingkungan akibat pengembangan pengelolaan kawasan tambak udang sebesar 50% dari potensi (skenario B2) tersebut dapat dimi-nimalisir. Demikian juga dengan luas mangrove sebesar 2.350 ha akan terjaga kualitasnya, sehingga dapat mendukung keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.
Dipihak lain pengelolaan wilayah pesisir terpadu dapat menaikan dampak ekonomi dan sosial melebihi dampak lingkungan yang mungkin timbul akibat pengelolaan tambak seperti PDRB sebesar Rp. 37,4 miliar, produksi total sebesar 1.069,2 ton, total pendapatan petambak sebesar Rp. 20,4 miliar dan devisa sebesar US $ 5,4 juta, penyerapan tenaga kerja sebesar 124,1 ribu HKO dan pertumbuhan sektor informal yang diakibatkan oleh pengembangan
pengelolaan kawasan tambak udang 50% dari potensi (skenario B2).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pembahasan dapat diam-bil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat enam skenario alternatif penge-lolaan kawasan tambak udang berke-lanjutan (A, B1, B2, B3, B4, dan B5)
2. Dilihat dari aspek ekonomi, sosial, dan ekologi jika pengembangan pengelolaan kawasan tambak udang sebanyak 50% dari potensi maka skenario kawasan tambak udang berkelanjutan adalah skenario B2 dengan alokasi 352,5 ha untuk tambak intensif; 117,5 ha tambak semi intensif; dan sisanya 1.880 ha untuk tambak tradisional.
3. Dampak ekonomi tambak udang berkelanjutan terhadap PDRB, total produksi, pendapatan dan devisa diperkirakan Rp. 37,4 miliar; 1.069,2 ton; Rp. 20,4 miliar; dan US $ 5,4 juta. Dampak sosial terhadap penyerapan tenaga kerja dan perkembangan sektor informal diperkirakan 124.146.625 HKO dan perkembangan sektor informal sedang. Dampak ekologi terhadap BOD, N dan P diperkirakan sebanyak 706.145,6 kg; 1.070,7 kg dan 3.965,6 kg serta dampak total terhadap hutan mangrove seluas 2.350 ha.
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka dapat disarankan untuk perbaikan pengem-bangan pengelolaan kawasan tambak udang Kabupaten Dompu secara berkelanjutan dengan meningkatkan luas areal tambak sampai 50% dari potensi dengan alokasi 352,5 ha untuk tambak intensif; 117,5 ha tambak semi intensif; dan sisanya 1.880 ha untuk tambak tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Dompu, 2005. Profil Potensi dan Peluang Investasi Daerah Kabupaten Dompu. Bappeda Dompu. Dompu.
Boyd CE., 1999. Management of Shrimp Ponds to Reduce the Eutrophication Potential of Effluents. The Advocate, December 1999; p 12-13
Brown, K.; Tompkins, E. and Adger, W.N., 2001. Trade-Off Analysis for Participatory Coastal Zone Decision Making. ODG DEA. Csserge. UEA Norwich. (di download dari Internet).
Agroteksos Vol. 19 No. 1-2, Agustus 2009
55
Budiharsono S., 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Cetakan Pertama. Pradnya Paramita Jakarta. Jakarta.
Christie P., 2005. Is Integrated Coastal Management Sustainable?. Coastal and Management 48(2005) p 208-232.
Dahuri, R., 1996. Tipologi Ekosistem Pesisir dan Laut Serta Tingkat Kerawanannya. Makalah pada Kursus Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan XVIII, BAPEDAL dan PPSML LPUI, Jakarta, 14 Maret 1996. Jakarta.
Dahuri, R., 2001. Analisis daya dukung lingkungan kawasan pesisir. Dalam Bahan Kuliah Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan lautan. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Dahuri, R., 2003. Perkembanngan Terakhir Kebijakan dan Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia. Disampaikan dalam stadium Generale di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Tanggal 28 April 2003. Departemen Kelautan da perikanan Republik Indonesia. Jakarta.
Dahuri, R.; J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Pratama. Jakarta.
Dinas Kehutanan Kabupaten Dompu, 2005. Laporan Tahunan Dinas Kehutanan Kabupaten Dompu. Dompu.
Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004. Akuakultur
Masa Depan Perikanan Indonesia. Kinerja Pembangunan Akuakultur 2000 – 2003. Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
GESAMP, 2001. Planning and Management for Sustainable Coastal Aquaculture Deve-lopment. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome
Maarif, M.S. dan A. Somamiharja, 2000. Strategi Peningkatan Produktivitas Udang Tambak. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 9 (2). 2000. p 62-76.
Pemerintah Kabupaten Dompu, 2004. Selayang Pandang Potensi dan Peluang Pengem-bangan Usaha Sektor Perikanan dan Promosi Investasi di Kabupaten Dompu. Pemerintah Kabupaten Dompu, NTB. Dompu
Prihatini, T.R., 2003. Pemodelan Dinamika Spasial Bagi Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pesisir Yang Berkelanjutan. Studi Kasus Konversi Lahan Mangrove Menjadi Pertambakan Udang di Delta Mahakam, Kalimantan Timur (Makalah ujian terbuka). Program Passcasarjana Istitut Pertanan Bogor. Bogor.
Rachmatun, S.S. dan A. Mujiman, 2003. Budidaya Udang Windu. Cetakan XVI. Penebar Swadaya. Jakarta.
Widigdo, B., 2001. Diperlukan Pembakuan Kriteria Eko-biologis untuk Menentukan “Potensi Alami” Kawasan Pesisir untuk Budidaya Udang. Prosiding. Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. PKSPL-IPB. Bogor, 21-26 Februari 2000.
39
OPTIMALISASI INPUT PRODUKSI PADA KEGIATAN BUDIDAYA UDANG
VANAME (Litopenaeus vannamei): STUDI KASUS PADA UD JASA HASIL DIRI DI
DESA LAMARAN TARUNG, KECAMATAN CANTIGI, KABUPATEN INDRAMAYU
Optimation of Production Input in White Shrimp (Litopenaeus vannamei) Culture: A Case
Study in UD. Jasa Hasil Diri at Desa Lamaran Tarung, Kecamatan Cantigi,
Kabupaten Indramayu
I. Diatin, S. Arifianty dan N. Farmayanti
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor,
Kampus IPB Darmaga, Bogor. 16680
ABSTRACT
UD Jasa Hasil Diri (UD JHD) is a company in Indramayu which culture the white shrimp. UD JHD
started this culture in 2003, and now UD JHD’s dam out area has reach 26 ha. Total production of white shrimp in 2006 was 125,854.5 kg. The production cost of white shrimp culture that must be spending by UD
JHD reached IDR 2,842,427,294. This production cost was allocated to get all variable input such as: seed, food, calcium, fertilizer, vitamin, probiotic, medicine, labor, diesel fuel, and gasoline. The used of production input already in optimum condition. Based on the result of linear study for seed used was optimum at
7,830,667 tails, foods at 204,387.7 kg, calcium at 25,170.9 kg, fertilizer at 503.4 kg, vitamins at 75.5 kg, probiotic at 683.4 kg, medicines at 4,279.1 kg, harvests at 1,258.5 hours, diesel fuel at 104,459.2 liters, and gasoline at 1,200 liters. The cost of production input based on linear study was IDR 2,403,220,000. Thus, UD
JHD could reduce this cost by IDR 439,207,294 to get 125,854.5 kg shrimps. Keywords: optimum, production input, cost, white shrimp
ABSTRAK
UD Jasa Hasil Diri (UD JHD) merupakan sebuah perusahan yang membudidayakan udang vaname di
Indramayu. Perusahaan ini memulai usahanya sejak tahun 2003, dan saat ini memiliki tambak seluas 26 ha.
Total produksi udang vaname pada tahun 2006 adalah 125.854,5 kg. Biaya yang harus dikelurkan oleh UD JHD untuk memproduksi budidaya udang vaname mencapai Rp. 2.842.427.294. Biaya produksi ini dialokasikan untuk memperoleh berbagai input produksi seperti benur, pakan, kalsium, pupuk, vitamin,
probiotik, obat-obatan, tenaga kerja, solar dan bensin. Penggunaan input produksi telah mencapai kondisi optimum. Berdasarkan hasil uji linier, kondisi optimum untuk benih yang ditebar adalah 7.830.667 ekor, pakan sebanyak 204.387,7 kg, kalsium 25.170,9 kg, pupuk 503,4 kg, vitamin 75,5 kg, probiotik 683,4 kg,
obat-obatan 4.279,1 kg, masa pemeliharaan 1.258,5 jam, solar 104.459,2 liter, and bensin 1.200 liter. Berdasarkan analisis linier, biaya input produksi adalah Rp. 2.403.220.000. Dengan demikian, UD JHD dapat
menurunkan biaya menjadi Rp. 439,207,294 untuk memperoleh 125.854,5 kg udang vaname.
Kata kunci: optimum, input produksi, biaya , udang vaname
PENDAHULUAN
Departemen Kelautan dan Perikanan
menargetkan produksi udang sebesar 540.000
ton pada tahun 2009. Jumlah tersebut akan
dipenuhi dari produksi udang vaname dan
udang windu. Untuk mencapai target
produksi itu, maka sekitar 156.300 hektar
(ha) tambak udang akan direvitalisasi pada
tahun 2006-2009. Jumlah tersebut terdiri atas
42.800 ha tambak udang windu dan 113.500
ha tambak udang vaname yang pada tahun
2009 diharapkan mencapai produksi 540 ribu
ton (Suara Pembaruan, 2006).
Indramayu merupakan salah satu sentra
pertambakan di Jawa Barat yang sudah
Jurnal Akuakultur Indonesia, 7(1): 39–49 (2008) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id
40
memulai usaha budidaya udang vaname.
Salah satu perusahaan yang melakukan
budidaya udang vaname di Indramayu adalah
Usaha Dagang Jasa Hasil Diri (UD JHD),
yang memulai usaha budidaya udang vaname
pada tahun 2003. Hingga sekarang luas
tambak UD JHD sudah mencapai 26 ha
dengan teknologi yang sudah intensif.
Sistem budidaya dengan teknologi
intensif memerlukan biaya yang lebih besar
dibandingkan dengan sistem budidaya
tradisional maupun semi intensif, karena
pada sistem budidaya intensif lebih banyak
menggunakan input produksi, salah satu ciri
dari sistem budidaya intensif adalah padat
tebar yang tinggi, sehingga penggunaan
faktor produksi lainnya terutama pakan tinggi
pula. Untuk menghindari penggunaan biaya
yang besar maka perusahaan harus
melakukan kegiatan budidaya secara efektif
dan efisien. Untuk itu penelitian mengenai
optimalisasi faktor produksi dari produk
udang vaname sangat menarik untuk
dilakukan, agar perusahaan dapat
meminimumkan biaya produksi sehingga
keuntungan yang maksimum dapat tercapai.
Teknik Optimasi
Teknik optimasi merupakan metoda
yang digunakan untuk memaksimumkan atau
meminimumkan fungsi tujuan sebuah
perusahan. Memaksimumkan berarti
mengalokasikan masukan untuk
mendapatkan keuntungan maksimum,
sedangkan meminimumkan berarti
menghasilkan tingkat output tertentu dengan
menggunakan biaya seminimum mungkin.
Teknik optimasi ini dapat dilakukan melalui
analisis secara grafis, analisis marjinal dan
analisis menggunakan matematika
(Kusumastanto, 2002).
Kendala-kendala yang sifatnya equality
(sama) dapat dipecahkan dengan metode
substitusi yang sederhana dan lagrangian
multiplier method. Sedangkan kendala yang
sifatnya inequalities (ketidaksamaan) dapat
dipecahkan dengan menggunakan linear
programming.
Linear Programming
Linear programming (LP) adalah
teknik matematika untuk memecahkan
masalah “constrained maximization” dan
“constrained minimization”, yakni bila
terdapat kendala-kendala yang sifatnya linier
dalam mencapai tujuan perusahaan. Teknik
ini bermanfaat karena perusahaan selalu
menghadapi kendala-kendala dalam
mencapai tujuannya seperti maksimisasi
keuntungan, minimisasi biaya atau tujuan
lainnya. Jika hanya satu kendala, masalah
optimasi dapat dipecahkan secara sederhana
misalnya dengan lagrangian multiplier
method, sedangkan pada kondisi jumlah
kendala lebih dari satu metode tradisional
tidak dapat digunakan, sehingga LP
digunakan untuk mengatasi masalah tersebut.
(Kusumastanto, 2002)
Asumsi-asumsi dalam linear
programming menurut Buffa dan Sarin
(1996) adalah sebagai berikut :
1. Certainty
2. Proportionality.
3. Additivity.
4. Divisibility
Menurut Supianto (1983) cara linear
programming mempunyai beberapa
kelebihan, yaitu :
a. Mudah dilaksanakan, apalagi dengan
menggunakan alat bantu computer
b. Dapat menggunakan banyak variabel,
sehingga berbagai kemungkinan
untuk memperoleh pemanfaatan
sumberdaya yang optimum dapat
dicapai
c. Fungsi tujuan dapat disesuaikan
dengan tujuan penelitian atau
berdasarkan data yang tersedia.
Misalnya bila ingin meminimumkan
biaya atau memaksimumkan
keuntungan dengan data yang
terbatas.
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas merupakan studi
mengenai bagaimana perubahan dalam
koefisien program linier mempengaruhi
solusi optimal. Analisis sensitivitas sering
disebut sebagai analisis pasca-optimasi
karena analisis ini tidak dimulai sampai
solusi optimal atas masalah pemrograman
linear asli telah diperoleh. Alasan utama
mengapa analisis sensitivitas penting bagi
41
pengambil keputusan adalah karena masalah
dunia nyata merupakan lingkungan yang
dinamis. Harga bahan baku berubah,
permintaan berfluktuasi, terjadi pergantian
karyawan, dan lainnya (Anderson et al.,
1996).
BAHAN DAN METODE
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kasus dengan
satuan kasusnya adalah usaha budidaya
tambak udang vaname UD JHD yang terletak
di Desa Lamaran Tarung, Kecamatan
Cantigi, Kabupaten Indramayu, Provinsi
Jawa Barat.
Dalam penelitian ini, pengolahan data
dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Pengolahan data kualitatif dilakukan secara
deskriptif, sedangkan pengoalahan data
secara kuantitatif dimulai dengan melakukan
tabulasi atau mengelompokkan data-data
mentah menurut peubah pokok yang diamati.
Data kemudian diolah secara manual dan
dibentuk kedalam pertidaksamaan linear,
yang selanjutnya diolah secara komputerisasi
dengan menggunakan software LINDO. Data
yang telah diolah dengan program LINDO
kemudian dianalisis secara deskriptif.
Penelitian ini diawali dengan melakukan cek
terlebih dahulu terhadap data yang akan
digunakan, yaitu dengan menggunakan grafik
linier. Apabila data tersebut linier, maka
model linear programming dapat digunakan.
Perumusan model disajikan secara
matematis berupa fungsi linear. Perumusan
model linear programming terdiri dari
perumusan fungsi tujuan dan fungsi
pembatas (kendala). Fungsi tujuan yang
dirumuskan dalam model optimalisasi
budidaya udang vaname adalah minimisasi
biaya, dengan kendala: biaya faktor produksi
yang meliputi semua input variabel untuk
setiap petak, kendala alokasi input dan
kendala non negativity.
Model matematis dari fungsi tujuan
adalah sebagai berikut:
Zmin = C1X1 + C2X2 + C3X3 + C4X4 +
C5X5 + C6X6 + C7X7 + C8X8 +
C9X9 + C10X10
Fungsi Pembatas :
a11X1 + a12X2 + a13X3 + a14X14 +
a15X5 + a16X6 + a17X7 + a18X8 + a19X9
+ a10X10 ≤ b1
a21X1 + a22X2 + a23X3 + a24X14 +
a25X5 + a26X6 + a27X7 + a28X8 + a29X9
+ a210X10 ≤ b2
.
.
..
a241X1 + a242X2 + a243X3 + a244X14 +
a245X5 + a246X6 + a247X7 + a248X8 +
a249X9 + a2410X10 ≤ b24
X1 ≥ B
X2 ≥ P
X3 ≥ K
X4 ≥ Pu
X5 ≥ V
X6 ≥ Pr
X7 ≥ O
X8 ≥ Tp
X9 ≥ S
X10 ≥ Bn
X1, X2, X3, …, X10 ≥ 0
Keterangan :
Z = Biaya Produksi
amn = Koefisien Teknis
X1 = Jumlah Benur
X2 = Jumlah Pakan
X3 = Jumlah Kapur
X4 = Jumlah Pupuk
X5 = Jumlah Vitamin
X6 = Jumlah Probiotik
X7 = Jumlah Obat
X8 = Tenaga kerja panen
X9 = Jumlah Solar
X10 = Jumlah Bensin
bm = Kendala biaya produksi per
petak
C1..... C10 = Biaya rata-rata
benur, pakan, kapur, pupuk, vitamin,
probiotik, obat, tenaga kerja, solar,
bensin
Analisis Primal
Analisis primal dilakukan untuk
mengetahui kombinasi input optimal yaitu
kombinasi yang memberikan penggunaan
biaya minimum dengan tetap
mempertimbangkan keterbatasan
sumberdaya yang tersedia. Hasil analisis ini
42
kemudian dibandingkan dengan kondisi
aktual perusahaan untuk mengetahui apakah
pola produksi yang dilakukan perusahaan
saat ini sudah optimal atau belum.
Analisis Dual
Analisis dual dilakukan untuk
mengetahui sumberdaya yang membatasi
nilai fungsi tujuan dan sumberdaya yang
berlebih. Penilaian terhadap sumberdaya ini
dilihat dari nilai slack atau surplus dan nilai
dualnya. Nilai dual price atau harga
bayangan (shadow price) menunjukkan
perubahan pada nilai fungsi tujuan karena
naiknya ketersediaan sumberdaya yang
dimiliki sebesar satu satuan. Apabila nilai
slack / surplus > 0 dan nilai dual = 0, maka
sumberdaya tersebut berlebih. Sumberdaya
dengan nilai dual > 0 dan slack/surplus = 0
menunjukkan bahwa sumberdaya bersifat
langka dan termasuk ke dalam kendala yang
membatasi nilai fungsi tujuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Biaya Penggunaan Input Aktual
Lahan yang digunakan untuk produksi
udang pada saat penelitian sebanyak 24 petak
dengan luas 76.890 m2. Dari lahan yang
dioperasikan ini telah dihasilkan udang
sebanyak 125.854,5 Kg, dengan kebutuhan
biaya sebesar Rp2.842.427.294,00. Proporsi
biaya input produksi pada aktifitas aktual
disajikan pada Tabel 1.
Perumusan Model Optimalisasi Udang
Vaname UD JHD
Secara matematis fungsi tujuan dari
optimalisasi penggunaan input pada usaha
budidaya udang vaname di UD JHD
dirumuskan sebagai berikut:
Zmin : 4.404.910X1 + 1.006.836.000X2 +
37.769.690X3 + 304.190.330X4 +
10.798.316.100X5 + 1.384.399.500X6
+ 306.193.930X7 + 629.272.500X8 +
541.174.350X9 + 566.345.250X10
Kendala dalam penelitian ini meliputi
kendala biaya per petak dan kendala alokasi
penggunaan input untuk menghasilkan 1 kg
udang. Jumlah tambak untuk kegiatan
budidaya pada UD JHD sebanyak 24 petak,
namun yang dijadikan kendala ada 20 petak,
karena ada 4 petak yang memiliki luasan
sama, yaitu petak 10 - 13 serta petak 14
Tabel 1. Proporsi biaya input produksi aktual pembesaran udang UD JHD, tahun 2006
No. Input
Produksi Satuan Jumlah Biaya (Rp)
Persentase
(%)
1 Benih Ekor 9.761.760,00 341.661.600,00 12,02
2 Pakan kilogram 248.763,80 1.990.110.080,00 70,01
3 Kapur kilogram 36.369,00 10.914.546,10 0,38
4 Pupuk Kilogram 773,70 1.870.008,70 0,07
5 Vitamin Kilogram 94,80 8.131.266,00 0,29
6 Probiotik Liter 1.009,70 11.106.150,00 0,39
7 Obat Kilogram 6.189,60 15.058.911,10 0,53
8 TK Panen jam kerja 1.800,00 9.000.000,00 0,32
9 Solar Liter 104.459,20 449.174.732,00 15,80
10 Bensin Liter 1.200,00 5.400.000,00 0,19
Total Biaya 2.842.427.294,00 100
Sumber : Data Primer, 2007 (diolah)
43
dan 16. Secara matematis kendala biaya per
petak dan alokasi input sebagai berikut :
Biaya Produksi Petak 1
147.900 X1 + 33.800.000 X2 + 1.267.900
X3 + 10.211.800 X4 + 362.505.000 X5 +
46.475.000 X6 + 10.279.100 X7 +
21.125.000 X8 + 18.167.500 X9 +
19.012.500 X10 ≤ 113.753.600
Biaya Produksi Petak 2 222.800 X1 + 50.928.000 X2 + 1.910.500
X3 + 15.386.600 X4 + 546.202.800 X5 +
70.026.000 X6 + 15.488.000 X7 +
31.830.000 X8 + 27.373.800 X9 +
28.647.000 X10 ≤ 137.964.900
Biaya Produksi Petak 3 236.400 X1 + 54.032.000 X2 + 2.026.900
X3 + 16.324.400 X4 + 579.493.200 X5 +
74.294.000 X6 + 16.431.900 X7 +
33.770.000 X8 + 29.042.200 X9 +
30.393.000 X10 ≤ 144.549.800
Biaya Produksi Petak 4
249.400 X1 + 57.000.000 X2 + 2.138.300
X3 + 17.221.100 X4 + 611.325.000 X5 +
78.375.200 X6 + 17.334.600 X7 +
35.625.000 X8 + 30.637.500 X9 +
32.062.500 X10 ≤ 147.106.000
Biaya Produksi Petak 5 270.400 X1 + 6.180.000 X2 + 2.318.300
X3 + 18.671.300 X4 + 662.805.000 X5 +
84.975.000 X6 + 18.794.300 X7 +
38.625.000 X8 + 3.3217.500 X9 +
34.762.500 X10 ≤ 165.072.100
Biaya Produksi Petak 6 192.600 X1 + 44.032.000 X2 + 1.651.800
X3 + 13.303.200 X4 + 472.243.200 X5 +
60.544.000 X6 + 13.390.800 X7 +
27.520.000 X8 + 23.667.200 X9 +
24.768.000 X10 ≤ 130.169.800
Biaya Produksi Petak 7 113.400 X1 + 25.920.000 X2 + 972.300
X3 + 7.831.100 X4 + 277.992.000 X5 +
35.640.000 X6 + 7.882.700 X7 +
16.200.000 X8 + 13.932.000 X9 +
14.580.000 X10 ≤ 89.452.600
Biaya Produksi Petak 8
238.200 X1 + 54.436.000 X2 + 2.042.100
X3 + 16.446.500 X4 + 583.826.100 X5 +
74.849.500 X6+ 16.554.800 X7 +
34.022.500 X8 + 29.259.400 X9 +
30.620.300 X10 ≤ 163.774.400
Biaya Produksi Petak 9 174.800 X1 + 39.964.000 X2 + 1.499.300
X3 + 12.074.100 X4 + 428.613.900 X5 +
54.950.500 X6 + 12.153.700 X7 +
24.977.500 X8 + 21.480.700 X9 +
22.479.800 X10 ≤ 129.801.200
Biaya Produksi Petak 10 192.600 X1 + 44.030.000 X2 + 1.651.700
X3 + 13.302.600 X4 + 472.221.800 X5 +
60.541.300 X6 + 13.390.200 X7 +
27.518.800 X8 + 23.666.100 X9 +
24.766.900 X10 ≤ 122.473.600
Biaya Produksi Petak 11
194.700 X1 + 44.496.000 X2 + 1.669.200
X3 + 13.443.400 X4 + 477.219.600 X5 +
61.182.000 X6 + 13.531.900 X7 +
27.810.000 X8 + 23.916.600 X9 +
25.029.000 X10 ≤ 120.997.100
Biaya Produksi Petak 12 202.800 X1 + 46.344.000 X2 + 1.738.500
X3 + 14.001.700 X4 + 497.039.400 X5 +
63.723.000 X6 + 14.093.900 X7 +
28.965.000 X8 + 24.909.900 X9 +
26.068.500 X10 ≤ 125.108.500
Biaya Produksi Petak 13 115.400 X1 + 26.376.000 X2 + 989.400
X3 + 7.968.800 X4 + 282.882.600 X5 +
36.267.000 X6 + 8.021.300 X7 +
16.485.000 X8 + 14.177.100 X9 +
14.836.500 X10 ≤ 84.918.200
Biaya Produksi Petak 14 151.500 X1 + 34.624.000 X2 + 1.298.900
X3 + 10.460.800 X4 + 371.342.400 X5 +
47.608.000 X6 + 10.529.700 X7 +
21.640.000 X8 + 18.610.400 X9 +
19.476.000 X10 ≤ 100.068.400
Biaya Produksi Petak 15
136.700 X1 + 31.240.000 X2 + 1.171.900
X3 + 9.438.400 X4 + 335.049.000 X5 +
42.955.000 X6 + 9.500.600 X7 +
44
19.525.000 X8 + 16.791.500 X9 +
17.572.500 X10 ≤ 98.043.200
Biaya Produksi Petak 16
99.000 X1 + 22.632.000 X2 + 849.000 X3
+ 6.837.700 X4 + 242.728.200 X5 +
31.119.000 X6 + 6.882.700 X7 +
14.145.000 X8 + 12.164.700 X9 +
12.730.500 X10 ≤ 72.127.000
Biaya Produksi Petak 17 119.600 X1 + 27.336.000 X2 + 1.025.500
X3 + 8.258.900 X4 + 293.178.600 X5 +
37.587.000 X6 + 8.313.300 X7 +
17.085.000 X8 + 14.693.100 X9 +
15.376.500 X10 ≤ 76.085.900
Biaya Produksi Petak 18 101.400 X1 + 23.168.000 X2 + 869.100
X3 + 6.999.600 X4 + 248.476.800 X5 +
31.856.000 X6 + 7.045.700 X7 +
14.480.000 X8 + 12.452.800 X9 +
13.032.000 X10 ≤ 76.365.300
Biaya Produksi Petak 19
210.400 X1 + 48.096.000 X2 + 1.804.200
X3 + 14.531.000 X4 + 515.829.600 X5 +
66.132.000 X6 + 14.626.700 X7 +
30.060.000 X8 + 25.851.600 X9 +
27.054.000 X10 ≤ 122.271.600
Biaya Produksi Petak 20 108.800 X1 + 24.872.000 X2 + 933.000
X3 + 7.514.500 X4 + 266.752.200 X5 +
34.199.000 X6 + 7.563.900 X7 +
15.545.000 X8 + 13.368.700 X9 +
13.990.500 X10 ≤ 80.692.600
Kendala alokasi penggunaan input X1 > 62,22
X2 > 1,624
X3 > 0,2
X4 > 0,004
X5 > 0,0006
X6 > 0,00543
X7 > 0,034
X8 > 0,01
X9 > 0,83
X10 > 0,009535
Hasil Perhitungan Optimal
Variabel keputusan yang ingin
diketahui dalam penelitian ini adalah jumlah
penggunaan input optimal dari setiap
sumberdaya/input yang digunakan dalam
kegiatan budidaya udang vaname di UD
JHD.
Biaya Penggunaan Input Optimal
Berdasarkan hasil perhitungan dengan
menggunakan model linear programming,
diperoleh alokasi biaya penggunaan input
yang optimal sebagaimana terdapat pada
Tabel 2.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa biaya
yang dikeluarkan untuk pemakaian benih
pada kondisi optimal sebesar Rp.
274.073.345,00, sedangkan pada kondisi
aktual biaya yang dikeluarkan mencapai Rp.
341.661.600,00, pengurangan biaya ini
dikarenakan padat penebaran benih yang
lebih rendah pada kondisi optimal yaitu 102
ekor/m2, dengan padat penebaran tersebut
jumlah pakan yang dibutuhkan menjadi lebih
rendah. Rata-rata FCR pada kondisi optimal
sebesar 1,6, artinya setiap satu kg udang yang
dihasilkan membutuhkan 1,6 kg pakan,
sedangkan FCR pada kondisi aktual sebesar
2,03. Sehingga pada kondisi optimal terjadi
efisiensi dalam penggunaan pakan. Dengan
demikian, biaya penggunaan pakan yang
dikeluarkan pada kondisi optimal menjadi
lebih rendah yaitu sebesar
Rp1.635.101.664,00.
Analisis Primal
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat
bahwa Alokasi input produksi aktual
memerlukan biaya sebesar Rp.
2.842.427.294,00 sedangkan dari kajian
linier hanya memerlukan biaya sebesar Rp.
2.403.220.000,00 Besarnya pengurangan
biaya ini lebih banyak disebabkan oleh
alokasi pemberian pakan dan pemakaian
benur. Biaya yang dapat dihemat pada
kondisi optimal sebesar Rp. 439.207.294,00.
Jumlah biaya yang dapat dihemat merupakan
selisih antara biaya produksi yang
dikeluarkan pada kondisi optimal dengan
biaya produksi pada kondisi aktual.
45
Tabel 2. Proporsi biaya input produksi optimal pembesaran udang UD JHD, tahun 2006
No Input Produksi Satuan Jumlah Total Biaya (Rp) Persentase
(%)
1 Benih Ekor 7.830.667,00 274.073.345,00 11,40
2 Pakan kilogram 204.387,70 1.635.101.664,00 68,04
3 Kapur kilogram 25.170,90 7.553.938,00 0,31
4 Pupuk Kilogram 503,40 1.216.761,00 0,05
5 Vitamin Kilogram 75,50 6.478.990,00 0,27
6 Probiotik Liter 683,40 7.517.289,00 0,31
7 Obat Kilogram 4.279,10 10.410.594,00 0,43
8 TK Panen jam kerja 1.258,50 6.292.725,00 0,26
9 Solar Liter 104.459,20 449.174.732,00 18,69
10 Bensin Liter 1.200,00 5.400.000,00 0,22
Total Biaya 2.403.220.000,00 100,00
Sumber : Data Primer, 2007 (diolah)
Tabel 3. Perbandingan aktifitas aktual dengan optimal
No Input Satuan Produksi Aktual Produksi Optimal Selisih
1 Benih Ekor 9.761.760,00 7.830.667,00 - 1.931.093,00
2 Pakan kilogram 248.763,80 204.387,70 - 44.376,10
3 Kapur kilogram 36.369,00 25.170,90 - 11.198,10
4 Pupuk Kilogram 773,70 503,40 - 270,30
5 Vitamin Kilogram 94,80 75,50 - 19,30
6 Probiotik Liter 1.009,70 683,40 - 326,30
7 Obat Kilogram 6.189,60 4.279,10 - 1.910,50
8 TK Panen jam kerja 1.800,00 1.258,50 - 541,50
9 Solar Liter 104.459,20 104.459,20 0
10 Bensin Liter 1.200,00 1.200,00 0
Total Biaya Rupiah 2.842.427.294,00 2.403.220.000,00 - 439.207.294,00
Sumber : Data Primer, 2007 (diolah)
Analisis Dual
Dari hasil kajian linier alokasi
pembiayaan produksi tiap-tiap petak pada
masing-masing blok belum optimal, hal ini
dapat dilihat dari nilai slack/surplus yang
lebih besar dari nol, atau memiliki nilai dual
price sama dengan nol. Dengan demikian,
alokasi pembiayaan pada tiap-tiap petak
bukan merupakan kendala aktif. Yang
menjadi kendala aktif atau binding constrain
dari persamaan linier ini adalah
pengalokasian input produksi sendiri. Semua
input produksi memiliki nilai slack/surplus
yang sama dengan nol dan nilai dual price
yang tidak sama dengan nol, sebagaimana
disajikan pada Tabel 4.
Bila input yang terdapat pada Tabel 4
diturunkan pemakaiannya maka akan
mengurangi jumlah biaya yang dikeluarkan
oleh perusahaan, tetapi hal yang harus
diperhatikan adalah penurunan input tidak
dapat dengan mudah dilakukan, karena
apabila ada salah satu input yang hilang atau
tidak seimbang dalam pemakain
kemungkinan hasil produksi/panen akan
menurun. Untuk itu, penurunan input yang
bisa dilakukan adalah secara keseluruhan
dengan batasan luasan tambak yang
digunakan untuk produksi.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa apabila
tiap input diturunkan penggunaannya per
hektar maka biaya akan turun sebesar harga
46
bayangannya. Jadi apabila alokasi input yang
akan digunakan berubah maka total biaya
produksi (fungsi tujuan) juga berubah.
Misalnya kendala 1 memiliki nilai dual price
sebesar 4.404.909 artinya apabila
penggunaan benih per ha diturunkan sebesar
1.020.408 ekor maka total biaya produksi
akan berkurag sebesar Rp 4.404.909,00,
begitu pula untuk input variabel lainnya.
Analisis Sensitivitas
Dalam program Linear programming
(LP), pengertian sensitivitas adalah
memberlakukan parameter sumberdaya (bi)
yang tersedia pada batas yang paling kecil
(lower limit) dan batas yang paling besar
(upper limit). Batas maksimum menunjukkan
batas kenaikan (allowable increase) nilai
aktivitas atau kendala yang tidak mengubah
pemecahan optimal. Sedangkan batas
minimum menunjukkan batas penurunan
(allowable decrease) nilai aktivitas atau
kendala agar hasil pemecahan optimal tidak
berubah. Kajian sensitivitas terhadap
koefisien fungsi tujuan dapat dilihat pada
Tabel 5.
Analisis sensitivitas biaya produksi
merupakan suatu gambaran yang
menjelaskan tentang interval perubahan-
perubahan nilai koefisien fungsi tujuan yang
tidak akan mengubah nilai optimal variabel
keputusan. Pada analisis sensitivitas ini
terdapat kolom allowable decrease dan
allowable increase. Kedua kolom ini
menjelaskan tentang besarnya interval
perubahan biaya produksi yang boleh terjadi.
Kolom allowable decrease menunjukkan
batas maksimum penurunan terhadap nilai-
nilai koefisien fungsi tujuan agar nilai
optimum variabel-variabel keputusan tidak
berubah. Sedangkan kolom allowable
increase menunjukkan batas maksimum
kenaikan terhadap nilai-nilai koefisien fungsi
tujuan agar nilai optimum variabel-variabel
keputusan tidak berubah.
Kajian sensitivitas yang dilakukan
terhadap koefisien fungsi tujuan
menunjukkan bahwa kenaikan biaya input
berapapun besarnya tidak akan merubah nilai
optimalnya, hal ini dapat dilihat dari selang
perubahan untuk 10 variabel input yaitu 0 –
Infinity. Tetapi perlu diperhatikan bahwa
dalam penambahan input produksi secara
terus menerus tidak dapat dilakukan sebab
tambak memiliki daya dukung yang terbatas,
sehingga tambahan/kenaikan biaya untuk
input produksi dapat dilakukan sampai pada
batas maksimum daya dukung tambak itu
sendiri. Sementara penurunan biaya dapat
diturunkan sampai dengan nol, namun hal ini
tidak mungkin terjadi karena perusahaan
adalah penerima harga dari input produksi
yang ditawarkan oleh penjual.
Untuk dapat meminimumkan biaya
produksi, hendaknya UD JHD menerapkan
penggunaan input produksi berdasarkan hasil
kajian linier, seperti yang disajikan pada
Tabel 6.
Tabel 4. Analisis dual price dan pemakaian input produksi di UD JHD
No Kendala Satuan Nilai Sisi Kanan Slack/surplus Dual Price (Rp)
1 Benih Ekor 1.020.408,00 0 4.404.909
2 Pakan Kilogram 26.568,00 0 1.006.836.015
3 Kapur Kilogram 3.280,00 0 37.769.689
4 Pupuk Kilogram 65,60 0 304.190.332
5 Vitamin Kilogram 9,84 0 1.079.831.625
6 Probiotik Liter 89,05 0 1.384.399.531
7 Obat Kilogram 557,60 0 306.193.906
8 TK panen Jam kerja 164,00 0 629.272.500
9 Solar Liter 13,61 0 541.174.296
10 Bensin Liter 156,37 0 566.345.195
Sumber : Data Primer, 2007 (diolah)
47
Tabel 5. Analisis sensitivitas terhadap koefisien fungsi tujuan
No Variabel Current
Coefficient
allowable
increase
Allowable
decrease
Selang
perubahan
1 Benih 4.404.909 Infinity 4.404.909 0 – Infinity
2 Pakan 1.006.836.015 Infinity 1.006.836.015 0 – Infinity
3 Kapur 37.769.689 Infinity 37.769.689 0 – Infinity
4 Pupuk 304.190.332 Infinity 304.190.332 0 – Infinity
5 Vitamin 10.798.316.250 Infinity 10.798.316.250 0 – Infinity
6 Probiotik 1.384.399.531 Infinity 1.384.399.531 0 – Infinity
7 Obat 306.193.925 Infinity 306.193.925 0 – Infinity
8 TK panen 629.272.500 Infinity 629.272.500 0 – Infinity
9 Solar 541.174.335 Infinity 541.174.335 0 – Infinity
10 Bensin 566.345.234 Infinity 566.345.234 0 – Infinity
Sumber : Data Primer, 2007 (diolah)
Tabel 6. Aplikasi penggunaan input berdasarkan hasil kajian linier
No Input Satuan Penambahan Input Pengurangan Input
1 Benih Ekor - 1.931.093,00
2 Pakan Kilogram - 44.376,10
3 Kapur Kilogram - 11.198,10
4 Pupuk Kilogram - 270,30
5 Vitamin Kilogram - 19,30
6 Probiotik Liter - 326,30
7 Obat Kilogram - 1.910,50
8 TK panen Jam kerja - 541,50
9 Solar Liter - -
10 Bensin Liter - -
Sumber : Data Primer, 2007 (diolah)
Pengurangan input yang terdapat pada
Tabel 6 diperoleh berdasarkan hasil
pengurangan antara penggunaan input pada
kondisi aktual dengan penggunaan input
berdasarkan hasil kajian linier. Apabila
pengurangan input optimal ini diaplikasikan
dalam kegiatan budidaya udang vaname,
maka besarnya biaya yang dapat dihemat
oleh UD JHD sebesar Rp 439.207.294,00.
Untuk kemudahan dalam aplikasi,
pengurangan penggunaan input produksi
yang terdapat pada Tabel 6 dapat
dikonversikan kedalam satuan luas (m2)
sebagaimana disajikan pada Tabel 7.
Berdasarkan Tabel 7, sebaiknya UD JHD mengurangi penggunaan input
produksinya sehingga biaya yang
dikeluarkan dapat optimal, untuk penggunaan
benih sebaiknya UD JHD mengurangi
penggunaannya sebesar 25 ekor/m2, dengan
demikian padat penebaran benih menjadi
lebih rendah, yang semula 127 ekor/m2
menjadi 102 ekor/m2. Penurunan penggunaan
benih ini harus diikuti oleh penurunan input
lainnya.
UD JHD sebaiknya mengurangi
penggunaan pakannya sebesar 44.376,1 kg
atau 0,58 kg/m2. Hal ini dilakukan untuk
memperkecil FCR yang semula 2,03 menjadi
1,6, sebagaimana disebutkan dalam Haliman
dan Adijaya bahwa FCR yang ideal berkisar
antara 1-1,5. Pada penggunaan kapur,
sebaiknya UD JHD mengurangi pemakaiannya sebesar 0,15 kg/m
2, sehingga
penggunaan per m2 menjadi 0,327 kg. Begitu
pula pada penggunaan pupuk, agar
Tabel 7. Aplikasi penggunaan input produksi per m2
No Input Satuan Penambahan Input Pengurangan Input
1 Benih Ekor/m2 - 25,00
2 Pakan Kg/m2 - 0,58
3 Kapur Kg/m2 - 0,15
4 Pupuk g/m2 - 4,00
5 Vitamin g/m2 - 0,02
6 Probiotik ml/m2 - 4,00
7 Obat g/m2 - 25,00
8 TK panen Orang - 6,00
9 Solar Liter - -
10 Bensin Liter - - Sumber : Data Primer, 2007 (diolah)
penggunaannya optimal sebaiknya
pemakaian pupuk dikurangi sebesar 4 g/m2,
sehingga pemakaian pupuk menjadi 7 g/m2.
Dengan pengurangan penggunaan pakan,
maka besarnya vitamin yang diberikan pada
kondisi optimal menjadi lebih rendah.
Besarnya penurunan penggunaan vitamin
sebesar 0,02 g untuk 1 kg pakan yang
diberikan. Untuk probiotik dan obat
sebaiknya UD JHD mengurangi
penggunaannya sebesar 4 ml/m2 untuk
probiotik dan 25 g/m2 untuk obat.
Untuk penggunaan tenaga kerja panen,
pada kondisi optimal UD JHD cukup
memperkerjakan 14 orang TK, sehingga UD
JHD dapat mengurangi penggunaan TK
panen sebanyak 6 orang. Sedangkan untuk
solar dan bensin, UD JHD telah
mengalokasikan penggunaannya secara
optimal. Apabila UD JHD mengalokasikan
penggunaan input produksi dari hasil kajian
linier, maka apabila terjadi perubahan dalam
penggunaan input harus berada pada selang
sensitivitas. Misalnya pada petak 1, alokasi
biaya pada saat ini sebesar Rp.
113.753.603,00, apabila alokasi biaya pada
petak 1 diturunkan, maka penurunan itu tidak
boleh melebihi batas bawah selang, yaitu Rp.
80.678.877,00. begitu pula dengan
penggunaan input. Apabila UD JHD akan
meningkatkan penggunaan benih, maka
nilainya tidak boleh melebihi batas atas
selang perubahan, yaitu 1.764.435. Dengan
demikian nilai dual price tidak akan berubah,
atau tetap sebesar hasil kajian linier.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Input yang digunakan pada usaha
budidaya udang vaname di UD JHD
meliputi 9761760 ekor benih, 248763,8
kg pakan, 36369 kg kapur, 773,7 kg
pupuk, 94,8 kg vitamin, 1009,7 liter
probiotik, 6189,6 kg obat, 1800 jam kerja
panen, 104459,2 liter solar dan 1200 liter
bensin. Biaya yang dikeluarkan
perusahaan untuk memperoleh input
tersebut sebesar Rp. 2.842.427.294,00.
2. Hasil program linier menunjukkan bahwa
perusahaan belum dapat mengalokasikan
biaya produksi secara optimal. Pada
kondisi optimal penggunaan biaya untuk
produksi sebesar Rp. 2.403.220.000,00.
Dengan penggunaan input yang optimal,
keuntungan yang dapat diperoleh
perusahaan sebesar Rp. 1.949.247.705,00
sedangkan pada kondisi aktual
keuntungan yang diperoleh perusahaan
sebesar Rp. 1.510.040.411,00.
3. Hasil analisis sensitivitas terhadap fungsi
tujuan menyatakan bahwa sasaran
optimalitas fungsi tujuan mempunyai
selang yang lebar, namun peningkatan
atau penambahan biaya untuk input dapat
dilakukan sampai pada batas maksimum
daya dukung tambak itu sendiri.
49
Saran
1. Untuk dapat meningkatkan keuntungan
yang dicapai, penggunaan input produksi
hendaknya dengan menerapkan
penggunaan input dari hasil kajian
program linier.
2. Perusahaan lebih memperhatikan
manajemen pengelolaan pakan sehingga
pakan yang diberikan lebih efisien,
karena pencemaran oleh sisa pakan dapat
menyebabkan kualitas air tambak
menjadi jelek sehingga udang rentan
terserang penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, S. dan Williams. 1996.
Manajemen sains: pendekatan
kuantitatif untuk pengambilan
keputusan manajemen. Ed ke-7.
Hermawan et al. Penerjemah. Jakarta :
Erlangga. Terjemahan dari : An
introduction to management science.
quantitative approach to decision
marking.
Buffa E. S dan Sarin R.K. 1996. Manajemen
operasi dan produksi modern. Jilid 1.
Ed ke-8. Agus Maulana. Penerjemah.
Jakarta : Binarupa Aksara. Terjemahan
dari : Modern production/operation
management.
Kusumastanto T. 2002. Metode kuantitatif
untuk bisnis. Diktat Kuliah. Bogor :
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor..
STIC [Sustainable Trade and Innovation
Center] Indonesia. 2005.
Perkembangan udang introduksi di
masyarakat. http://www.perikanan-
budidaya.go.id [14 April 2007]
Suara pembaruan. 2006. Target produksi
udang tahun 2009.
http://www.suarapembaruan.com [24
September 2006]
Supranto. 1983. Linear programming. Jakarta
: LPFE-UI