Abstrak - STAI NU Pacitan

24
METODOLOGI DAN TREN TAFSIR MODERN Oleh: Muh. Syuhada Subir Abstrak Memasuki abad modern, tepatnya akhir abad 19 dan awal abad 20 M, studi terhadap al-Qur`ân mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia. Perkembangan studi tersebut pada akhirnya melahirkan metode-metode baru dalam penafsiran al-Qur`ân. Adapun metode-metode tersebut seperti metode fungsional dengan paradigma petunjuk al-Qur`ân (hidâ`i) yang diprakarsai oleh trio reformis Islam, Jamâluddin al-Afghâni, Muhammad Abduh, dan Rasyîd Ridho yang dikembangkan dalam tafsir al-Manar, metode literasi yang dibangun atas paradigma kesusastraan al-Qur`ân (al-Minhaj al-adabi al-ijtimâ`iy) yang diprakarsai oleh Amîn al-Khûli dan diterapkan oleh Bint al-Syâti‟ dalam Al- Tafsîr al-Bayâni li al-Qur`ân al-Karîm, dan Ahmad Muhammad Khalafullah lewat Al-Fann al-Qashashi fî al-Qur`ân al-Karîm, teori kesatuan tema al-Qur`ân (nazariyyât al-wahdat al-maudû`iyyah li al-Qur`ân al-Karîm) yang ditawarkan oleh Sa‟id Hawwa melalui Al-Asâs fî Al-Tafsîr dan teori hermeneutika yang diusung dan digunakan oleh Fazlurrahman dengan double movement-nya, dan Izzat Darwaza dengan tartîb al-suwar hasba al-nuzûl-nya. Usaha-usaha tersebut dilakukan untuk menggali dan mengkaji ulang ajaran Islam, membela agama Islam dari penjajahan orang-orang barat,-baik dari sisi pemikiran maupun pemerintahan-menghilangkan paham ortodoks dalam Islam, ta‟assub pada aliran atau madzab, dan membangkitkan semangat jihad dikalangan umat Islam agar giat melakukan pembaharuan serta membebaskan mereka dari penjajahan. Key Word : Metode, Tren, Modern, Al- Qur`ân Pendahuluan Berbicara tentang penafsiran al-Qur`ân, pada dasarnya telah dimulai sejak diturunkannya al-Qur`ân kepada Rasulullah, yaitu oleh Rasulullah sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi‟in dan generasi setelahnya secara berkesinambungan dari generasi yang satu ke generasi selanjutnya hingga di zaman modern dan kontemporer sekarang ini. Pada masa Sahabat, terdapat tiga aliran penafsiran al-Qur`an yang diakui. Aliran pertama adalah aliran Makkah yang dipimpin oleh Abdullah bin Abbas (w. 224 H), aliran madinah yang

Transcript of Abstrak - STAI NU Pacitan

Page 1: Abstrak - STAI NU Pacitan

METODOLOGI DAN TREN TAFSIR MODERN

Oleh: Muh. Syuhada Subir

Abstrak

Memasuki abad modern, tepatnya akhir abad 19 dan awal abad 20 M,

studi terhadap al-Qur`ân mengalami perkembangan yang cukup signifikan,

seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban

manusia.

Perkembangan studi tersebut pada akhirnya melahirkan metode-metode

baru dalam penafsiran al-Qur`ân. Adapun metode-metode tersebut seperti metode

fungsional dengan paradigma petunjuk al-Qur`ân (hidâ`i) yang diprakarsai oleh

trio reformis Islam, Jamâluddin al-Afghâni, Muhammad Abduh, dan Rasyîd Ridho

yang dikembangkan dalam tafsir al-Manar, metode literasi yang dibangun atas

paradigma kesusastraan al-Qur`ân (al-Minhaj al-adabi al-ijtimâ`iy) yang

diprakarsai oleh Amîn al-Khûli dan diterapkan oleh Bint al-Syâti‟ dalam Al-

Tafsîr al-Bayâni li al-Qur`ân al-Karîm, dan Ahmad Muhammad Khalafullah

lewat Al-Fann al-Qashashi fî al-Qur`ân al-Karîm, teori kesatuan tema al-Qur`ân

(nazariyyât al-wahdat al-maudû`iyyah li al-Qur`ân al-Karîm) yang ditawarkan

oleh Sa‟id Hawwa melalui Al-Asâs fî Al-Tafsîr dan teori hermeneutika yang

diusung dan digunakan oleh Fazlurrahman dengan double movement-nya, dan

Izzat Darwaza dengan tartîb al-suwar hasba al-nuzûl-nya. Usaha-usaha tersebut

dilakukan untuk menggali dan mengkaji ulang ajaran Islam, membela agama

Islam dari penjajahan orang-orang barat,-baik dari sisi pemikiran maupun

pemerintahan-menghilangkan paham ortodoks dalam Islam, ta‟assub pada aliran

atau madzab, dan membangkitkan semangat jihad dikalangan umat Islam agar

giat melakukan pembaharuan serta membebaskan mereka dari penjajahan.

Key Word : Metode, Tren, Modern, Al- Qur`ân

Pendahuluan

Berbicara tentang penafsiran al-Qur`ân, pada dasarnya telah dimulai sejak

diturunkannya al-Qur`ân kepada Rasulullah, yaitu oleh Rasulullah sendiri,

kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi‟in dan generasi setelahnya secara

berkesinambungan dari generasi yang satu ke generasi selanjutnya hingga di

zaman modern dan kontemporer sekarang ini. Pada masa Sahabat, terdapat tiga

aliran penafsiran al-Qur`an yang diakui. Aliran pertama adalah aliran Makkah

yang dipimpin oleh Abdullah bin Abbas (w. 224 H), aliran madinah yang

Page 2: Abstrak - STAI NU Pacitan

132

dipimpin oleh Ubay bin Ka‟ab (w. 117 H), dan aliran Iraq yang dipimpin oleh

Abdullah bin Mas‟ud.1

Dari kegiatan penafsiran yang berkesinambungan dari generasi ke generasi

lainnya, sudah barang tentu akan menghasilkan penafsiran yang berbeda, karena

sebuah hasil penafsiran tidak dapat terlepas dari kecenderungan sang mufassir,

serta disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat yang terjadi

pada zaman dimana tafsir itu lahir. Dalam hal ini Norman Calder menyatakan

bahwa metode yang digunakan seorang mufassir dianggap lebih penting dari pada

produk penafsiran yang dihasilkan, karena kualitas-kualitas yang membedakan

mufassir satu dengan lainnya bukanlah terletak pada kesimpulan mereka tentang

makna teks al-Qur`an, melainkan pada bagaimana mereka mengembangkan dan

menunjukkan teknik-teknik yang menandai keterlibatan serta penguasaan mereka

terhadap sebuah disiplin literer.”2 Hal ini berakibat pada munculnya berbagai

macam metode dan pendekatan yang di gunakan dalam penafsiran al-Qur`an.

Pada abad modern, tepatnya akhir abad 19 dan awal abad 20 M, studi

terhadap al-Qur`ân mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seiring

dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia.3

Fenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat

Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Qur`ân sebagai teks (nas) yang terbatas

dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi oleh manusia

sebagai konteks (waqâ‟i‟) yang terbatas. Muhammad Syahrur dalam bukunya al-

Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu‟âsirah, mengatakan bahwa “al-Qur`ân harus

selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat

manusia”.4

Salah satu wujud respon kreatif terhadap tantangan modern yang dihadapi,

para perintis dan pembaharuan pemikiran Islam yang berinteraksi secara intens

dengan diskursus al-Qur`ân berusaha untuk mengembangkan metode tafsir

1 Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Muassasah al-

Risâlah, 1983), h. 344 2 Norman Calder, “Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a

genre, illustrated with reference to the story of Abraham”, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader

A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur‟an (London dan New York: Routledge, 1993), h. 106. 3 J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation, (Leiden: E.J. Brill, 1968), h. 2

4 Muhammad Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`âh Mu‟âsirah, (Damaskus: Ahâli Li

al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 1992), h. 33

Page 3: Abstrak - STAI NU Pacitan

133

dengan paradigma baru yang di pandang bisa kompatibel dengan tuntutan zaman.

Atas usaha kreatif dan sungguh-sungguh itu, maka lahirlah teori-teori atau

metode-metode baru dalam ladang penafsiran al-Qur`ân dengan mengelaborasi

dan mereaktualisasi ajaran-ajaran al-Qur`ân dengan tuntutan zaman, seperti: isu-

isu ekonomi, sosial, moral, politik dan sebagainya.

Metode-metode tersebut seperti metode fungsional dengan paradigma

petunjuk al-Qur`ân (hidâ`i) yang diprakarsai oleh trio reformis Islam, Jamâluddin

al-Afghâni, Muhammad Abduh, dan Rasyîd Ridho yang dikembangkan dalam

tafsir al-Manar, metode literasi yang dibangun atas paradigma kesusastraan al-

Qur`ân (al-Minhaj al-adabi al-ijtimâ`iy) yang diprakarsai oleh Amîn al-Khûli dan

diterapkan oleh Bint al-Syâti‟ dalam Al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur`ân al-Karîm,

dan Ahmad Muhammad Khalafullah lewat Al-Fann al-Qashashi fî al-Qur`ân al-

Karîm,5 teori kesatuan tema al-Qur`ân (nazariyyât al-wahdat al-maudû`iyyah li

al-Qur`ân al-Karîm) yang ditawarkan oleh Sa‟id Hawwa melalui Al-Asâs fî Al-

Tafsîr dan teori hermeneutika yang diusung dan digunakan oleh Fazlurrahman

dengan double movement-nya,6 dan Darwazah dengan tartîb al-suwar hasba al-

nuzûl-nya.7

Sehubungan dengan perkembangan kegiatan penafsiran, maka

pembahasan dalam artikel pendek ini lebih fokus pada metode dan tren penafsiran

pada masa modern, dilanjutkan dengan perspektif para sarjana tafsir modern

terhadap metode tafsir al-Qur`ân, akan tetapi sebelum membahas ketiga poin

tersebut, terlebih dahulu akan akan dijelaskan tentang pengertian dan sebab

munculnya metode tafsir modern.

Pengertian: Metodologi, Tafsir dan Modern

Istilah metodologi, merupakan terjemahan dari kata bahasa inggris

methodology yang berarti serangkaian praktek, prosedur, dan aturan yang

digunakan dalam serangkaian disiplin ilmu atau penyelidikan, dan kata

5 Lihat Hamim Ilyas dalam kata pengantar, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras,

2004), h. xii-xiii. 6 Lihat: A. Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer Dalam Pandangan

Fazlur Rahman, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 83 7 Ismail K. Poonawala, “Muhammad „Izzah Darwazah‟s Principles of modern exegesis:

A contribution toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur`ân, ed. G.R. Hawting

and Abdul-Kader A. Shareef, (London-New York: Routledge, 1993), h. 225

Page 4: Abstrak - STAI NU Pacitan

134

methodology sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu methodus dan logia, yang

kemudian diserap kedalam bahasa Yunani menjadi methodos yang dirangkai dari

kata meta dan hodos. Methodos mengandung arti cara atau jalan dan logos yang

berarti kata atau pembicaraan.8 Jika ditarik kedalam pengertian luas, metodologi

merujuk pada arti proses, prinsip dan prosedur yang diikuti dalam mendekati

persoalan dan menemukan jawabannya.9

Adapun istilah tafsir merupakan serapan dari bentuk taf‟îl dari kata benda

al-fasr dari kata kerja fassara yufassiru yang berarti keterangan yang memberikan

penjelasan.10

Ada pula yang mengartikannya dengan pengertian menyingkap

bagian yang tertutup, sedangkan makna al-tafsîr membuka sesuatu yang dimaksud

oleh lafadz (teks) yang sukar dipahami, dalam arti memberi penjelasan dan

keterangan.11

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa kata tafsîr merupakan

kata kerja terbalik dari kata kerja safara yang berarti menyinari, membuka dan

menyingkap.12

Sedangkan istilah modern merupakan kata serapan dari bahasa Inggris

modern yang bermakna terbaru, mutakhir, atau sikap dan cara berpikir serta

bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.13

Dan era modern ini mencakup abad ke-

18 hingga memasuki abad ke-20. periode ini dimulai sejak ekspansi kolonial

Eropa.14

Istilah modern ini muncul dan dipakai dalam konteks peradaban Islam,

dikala terjadi kontak intelektual dunia muslim dengan Barat, sebagaimana yang

tampak dalam pemikiran Rifa‟ah Râfi‟ al-Tahtâwî (1801-1873) di Mesir dan Ali

Suavi (1839-1878) di Turki.15

8 Lihat David A. Jost (ed.), The American Heritage College dictionary, (Boston:

Houghton Mifflin Company, 1993), h. 858 & 798. 9 Robert Bogdan dan Steven J. Tailor, Introduction to Qualitative Research Method:

Phnomenological Approach to The Social Sciences, (New York: John Wiley & Sons, 1975), h. 1 10

Abu al-Fadl al-Dîn Muhammad bin Makram Ibn Manzhûr, Lisan al-„Arab, Jilid 5,

(Beirut: Dâr al-Shâdir, 1990), h. 15 11

Muhammad bin Abû Bakar bin „Abd al-Qâdir al-Râzî, Mukhtâr al-Shihhâh, (Beirut:

Dâr al-Jail, t.th), h. 503 12

Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Ed. J. Milton Cowan, (Ithaca,

New York: Spoken Language Services, Inc., 1976), h. 412 13

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dep. Dik. Bud.,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 589. 14

Charles Kurzman, Modern Thought, in Ricard C. Martin (ed.), in Ensiclopedia of Islam

and The Muslim World, (New York: Macmillan Reference USA & Thomson, 2004), Vol. 2, h.

467. 15

Charles Kurzman, Modern Thought, in Ricard C. Martin (ed.), Ensiclopedia of Islam

and The Muslim World, h.467. Bandingkan David Commins, Modernism, in John L. Esposito

Page 5: Abstrak - STAI NU Pacitan

135

Pada dasarnya, maksud dan tujuan dari metodologi tafsir modern secara

sekilas tidak terdapat perbedaan dengan metodologi tafsir klasik, keduanya

ditujukan untuk menyelaraskan teks Kitab Suci agar dapat kompatibel dengan

kondisi dimana mufassir hidup. Andrew Rippin, menyatakan bahwa tujuan dari

penafsiran adalah untuk mengklarifikasi (maksud) sebuah teks. Dalam hal ini,

tafsir menjadikan teks al-Qur`ân sebagai obyek awal dengan memberikan

perhatian penuh terhadap teks tersebut sehingga jelas maknanya. Selain itu, tafsir

juga berfungsi secara simultan mengadaptasikan teks pada situasi (konteks) yang

sedang dihadapi oleh mufassir. Dengan kata lain bahwa kebanyakan hasil

penafsiran tidaklah murni teoretis, akan tetapi ia mempunyai aspek praktis untuk

menjadikan teks dapat diaplikasikan dalam rangka memantapkan keimanan dan

dijadikan sebagai pandangan hidup bagi orang mukmin.16

Kiranya faktor utama yang membedakan keduanya (metodologi tafsir

klasik dan metodologi tafsir modern) adalah dampak ilmu pengetahuan yang

menuntut terciptanya sebuah pemahaman baru terhadap teks Kitab Suci.

Mayoritas kalangan modernis berargumen bahwa sebagian besar umat Islam tidak

memahami pesan al-Qur`ân yang sesungguhnya, karena hilangnya sentuhan inti

pengetahuan dan semangat rasional dari teks.17

Disamping dampak ilmu

pengetahuan sebagai faktor pembedanya, terdapat pula dua karakteristik yang

menonjol yang membedakannya dari metodologi tafsir kalsik, yaitu: pertama,

metodologi tafsir modern menjadikan al-Qur`ân sebagai Kitab petunjuk, dengan

meminjam istilah dari Amin al-Khûli (w. 1966 M) yaitu al-ihtidâ bi al-Qur`ân.18

Dan kedua, adanya kecenderungan penafsiran yang melihat kepada pesan yang

ada di balik teks al-Qur`ân. Dengan kata lain, metodologi tafsir modern tidak

menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh al-Qur`ân secara literal, tetapi

mencoba menelaah lebih jauh apa yang ingin dicapai ungkapan-ungkapan literal

(ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University

Press, 1995), vol 3, h. 118-119 16

Andrew Rippin, “Tafsir”, in Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, (New

York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), vol. 14, h. 237 17

Andrew Rippin, “Tafsir”, in Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, h. 242 18

Amin al-Khûlî, “al-Tafsîr”, dalam Dâ`irat al-Ma‟ârif al-Islamiyah, Jilid 5, h. 365

Page 6: Abstrak - STAI NU Pacitan

136

tersebut, yaitu ingin mencari ruh atau pesan moral yang terkandung dalam al-

Qur`ân.19

Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa metode tafsir bermakna suatu

prosedur sistematis yang diikuti dan digunakan dalam upaya memahami dan

menjelaskan maksud kandungan al-Qur`ân. Dalam hal ini Nashruddin Baidan

mengemukakan metode tafsir merupakan kerangka kerja yang digunakan dalam

menginterpretasikan pesan-pesan al-Qur`ân. Sedangkan yang dimaksud dengan

metodologi tafsir adalah analisis ilmiah mengenai metode-metode penafsiran al-

Qur`ân.20

Tren dan Perkembangan Metodologi Tafsir Al-Qur`ân

Keberhasilan dan kemajuan yang dicapai bangsa Barat pasca gerakan

renaissance ini, sedikit banyak memberikan pengaruh kepada gerakan

pembaharuan keagamaan yang terjadi di Timur (dunia Islam), dimana bentuk

gerakan pembaharuan yang dilakukan berangkat dari kesadaran akan pentingnya

merekontruksi pemahaman teks-teks keagamaan, sebagaimana yang dilakukan

oleh Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha yang diaplikasikan dalam

tafsirnya dan sekaligus dianggap sebagai embrio pembaruan kajian al-Qur`ân.

Munculnya gerakan pembaharuan keagamaan ini akan berpengaruh pula

pada munculnya berbagai cara atau metode maupun tren atau kecenderungan yang

digunakan sebagai pisau bedah guna merekontruksi pemahaman keagamaan yang

berkembang selama empatbelas abad. Oleh karena itu, dalam sub bab ini akan

memotret kecenderugan atau tren dan metode penafsiran yang berkembang pada

era modern.

1. Tren Penafsiran

tren atau kecenderungan yang dimaksudkan disini adalah suatu warna,

arah, atau kumpulan pandangan dan pemikiran yang mewarnai sebuah karya

19

Fazlurrahman, Islam, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1979), cet.

ke-2 h. 37 20

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Jakarta: Pustaka Pelajar,

1998), h. 2

Page 7: Abstrak - STAI NU Pacitan

137

tafsir, sekaligus menggambarkan latar belakang intelektual penafsirnya, dengan

kata lain tren merupakan gambaran umum tentang arah pemikiran mufassir.21

Berbicara mengenai tren atau kecenderungan mufassir, maka akan

ditemukan pembagian yang dilakukan oleh sarjan Muslim maupun sarjana Barat.

Misalnya dari sarjan Barat dikenal Ignaz Goldziher dalam karyanya Madzahib al-

Tafsîr, Goldziher berasumsi bahwa terdapt lima kecenderungan dalam penafsiran

al-Qur`ân, yaitu: (1) Penafsiran yang menggunakan bantuan hadits Nabi dan Para

sahabat; (2) Penafsiran Dogmatis; (3) Penafsiran Mistik; (4) Penafsiran Sektarian;

dan (5) Penafsiran Modern.22

Akan tetapi Goldziher dalam karya ini, belum

membahas kecenderungan yang berkembang pasca Muhammad Abduh. Selain

Goldziher, J.J.G. Jansen mengkategorisasikan kecenderungan mufassir pada masa

modern kedalam tiga kecenderungan, yaitu (1) Penafsiran yang bernuansa sosial

kemasyarakatan; (2) Penafsiran Saintifik; dan (3) Penafsiran filologik.23

Sedangkan dari kalangan sarjan Muslim, yang dianggap sukses dalam

mengungkap kecenderungan tafsir modern adalah Muhammad Ibrâhîm Syarîf,

yang mengkategorisasikan kecenderungan ini kedalam tiga kategori, yaitu: (1) al-

Ittijâh al-Hidâ`î (tren kehidayaan al-Qur`ân); (2) al-Ittijâh al-Adabî (tren filologi

dan sastra); (3) al-Ittijâh al-„Ilmî (tren saintifik).24

Lain halnya dengan pembagian yang dilakukan oleh Muhammad Husein

al-Zahabî, yang mengemukakan tujuh macam kecenderungan yang berkembang

21

Muhammad Ibrâhîmm Syarîf, Ittijâhât al-Tajdîd fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo:

Dâr al-Salâm, 2008), cet. ke-1, h. 60, Liihat juga Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 388 22

Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî, terj. „Abd al-Halîm al-Najjâr, (Kairo:

Maktabah al-Khânijî, 1995), h. 6-11. Dalam pandangan Jansen, klasifikasi yang dilakukan oleh I.

Goldziher diatas terdapat sisi kelemahan, misalnya ia menggolongkan tafsir al-Kasysyâf karya

mufassir sekaliber al-Zamakhsyari sebagai tafsir dogmatis, karena keterlibatannya dalam

mendukung aliran Muktazilah. Akan tetapi jika dilihat pada sumbangsihnya terhadap penafsiran

filologis, tafsir ini mempunyai peranan sangat penting dalam analisis sintaksis ayat-ayat al-Qur`ân.

Karena menurut Jansen al-Zamakhsyari merupakan tokoh yang menyempurnakan analisis sintaksis

terhadap al-Qur`ân setelah Abu Ubaidah. Lebih lanjut lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of

The Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J.Brill, 1974), h. 5-6 23

J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, h. 96 Pembagian

yang dilakukan oleh Jansen ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Iffat Syarqawi, akan tetapi

Jansen menjelaskan dalam catatan kaki pada pengantar bukunya, mengatakan bahwa ia baru

menemukan buku Iffat Syarqawi ketika ia hampir selesai dalam merampungkan karya yang

merupakan hasil penelitiannya selama satu tahun sejak 1966-1967. Lihat J.J.G. Jansen, The

Interpretation of The Koran in Modern Egypt, h. ix 24

Adapun penjelasan lebih detail dari ketiga kecenderung yang dikategorisasikan oleh

Ibrâhim Syarîf, lihat Muhammad Ibrâhîmm Syarîf, Ittijâhât al-Tajdîd fî Tafsîr al-Qur`ân al-

Karîm, h. 229-441

Page 8: Abstrak - STAI NU Pacitan

138

dalam ranah ilmu tafsir, yaitu:25

tafsîr bi al-ma`tsûr, tafsîr bi al-ra`yi, tafsîr sûfî,

tafsîr fiqhî, tafsîr falsafî, tafsîr „ilmî, dan tafsîr adab ijtimâ‟i.

Kemunculan tren adabi ijtimâ‟i atau hidâ`i, disebabkan problem yang

dihadapi oleh umat Islam saat itu, yang mengalami kemunduran dan terpecah

belah, dan dominasi Barat atas pemerintahan Islam dalam berbagai sektor

kehidupan, seperti budaya, ekonomi dan militer. Oleh karena itu-permasalahan

ini-mendorong munculnya paradigma baru dalam memperbaiki dan

membangkitkan kembali kondisi umat Islam dari keterbelakangan tersbut.

Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh para reformis Islam ini tidaklah

jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para ulama pendahulunya, ketika

umat yang dihadapinya menghadapi sebuah problem. Namun demikian tidak

menutup kemungkinan terdapat perbedaan diantara keduanya, sebagaimana yang

dikatakan oleh Iffat Syarqawi, bahwa mufassir klasik lebih cenderung

menggunakan pendekatan filosofis dalam banyak hal untuk menghadapi tantangan

zamannya, sedangkan para mufassir modern lebih menekankan pada gagasan

praktis yang langsung menyentuh persoalan umat, dengan mengelaborasi temuan-

temuan muafssir klasik kemudian mengemasnya dengan baik.26

Adapun penafsiran saintifik, kecenderungan model ini dalam penafsiran

al-Qur`ân sebenarnya telah lama dikenal. Jika ditelisik lebih jauh, cikal bakal

permulaan penafsiran ini telah ada pada masa khalifa al-Ma`mun (w. 853 M) yang

mana pada masa khalifah ini penerjemahan kitab-kitab ilmiah dari Eropa kedalam

bahasa Arab digalakkan.27

Pola penafsiran ini didasarkan pada asumsi bahwa

berbagai macam penemuan seperti sains dan teknologi modern telah tersadur

dalam al-Qur`ân, dan ditemukannya banyak referensi-referensi yang jelas terntang

25

Muhammad Husein al-Zahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I, (Beirut: Ihyâ al-

Turâts al-„Arabi, 1976), h. 20. Sedangkan M. Quraish Shihab, menyebutkan terdapat enam corak

atau kecenderungan tafsir yang dikenal hingga saat ini, yaitu: corak sastra bahasa, corak filsafat

dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqhi atau hukum, corak tasawuf, corak sastra dan

budaya kemasyarakatan. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 72 26

Iffat M. Syarqawî, Qadâyâ Insâniyah fi A‟mâl al-Mufassirîn, (t.tp.: Maktabah al-

Syabâb, 1980), h. 80 27

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, h. 101. Sedangkan menurut Jansen, munculnya tafsir ilmiah modern merupakan

pengaruh Barat terhadap dunia Arab dan kawasan Muslim. Terlebih-lebih dalam paruh abad

kesembilan belas dunia Islam di bawah pemerintahan Eropa. Kekuasaan Eropa atas kawasan Arab

ini dikarenakan superioritas teknologi Eropa. Lihat lebih lanjut J.J.G. Jansen, J.J.G. Jansen, The

Interpretation of The Koran in Modern Egypt, h. 67

Page 9: Abstrak - STAI NU Pacitan

139

temuan-temuan tersebut dalam al-Qur`ân, seperti kosmologi Copernicus hingga

kandungan-kandungan listrik, dari keteraturan reaksi-reaksi kimia hingga bakteri-

bakteri yang dapat menimbulkan penyakit.28

Tren penafsiran model ini menuai pro dan kontra tentang pengabsahannya

dikalangan mufassir baik klasik maupun modern. Para pendukung model

penafsiran ilmiah ini sering mengutip statemen al-Ghazali yang tertuang dalam

bukunya yang berjudul Jawâhir al-Qur`ân guna membela keabsahannya, dalam

bukunya ini al-Ghazali menjelaskan bahwa al-Qur`ân hanya akan menjadi jelas

bagi mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan yang digali darinya.

Sebagaimana seseorang tidak akan dapat memahami al-Qur`ân tanpa memiliki

pengetahuan tentang tata bahasa Arab, demikian pula seseorang tidak dapat

memahami apa yang dimaksud oleh ayat yang bunyi artinya “dan apabila aku

sakit, Dialah yang menyembuhkan aku”,29

jika ia tidak mengerti ilmu

kedokteran.30

Diantara ulama ataupun mufassir yang digolongkan pendukung

tafsir ilmiah ini adalah al-Razi, al-Mursi, al-Suyuthi, al-Ghazali, serta Muhammad

Abduh dan Thanthawi Jauhari. Sedangkan yang menolak penafsiran ilmiah ini

diantaranya adalah Muhammad Rasyid Ridha, Amin al-Khûlî, Mahmud Syaltut,

Sayyid Quthub, Izzat Darwazah dan lainnya.31

Para ulama ataupun mufassir yang tidak mengakui keabsahan model

penafsiran ini, karena mereka memandang bahwa 1) Secara leksikografik,

penafsiran saintifik tidak dapaat diterima, karena ia secara salah mengaitkan

“makna-makna modern” pada kosa-kata al-Qur`ân; 2) Mengabaikan konteks kata-

kata dan frase-frase dalam teks al-Qur`ân dan asbâb al-nuzûl; 3) Turang

memperhatikan fakta bahwa al-Qur`ân dapat dipahami oleh audiens pertama; 4)

Tidak memperhatikan fakta bahwa pengetahuan dan teori-teori saintifik sesuai

dengan karakter dasarnya selalu tidak sempurna dan dan berkembang, karena itu

28

Rotraud Wielandt, Tafsir al-Qur`ân: Masa Awal Modern dan Kontemporer, terj.

Sahiron Syamsuddin, dalam Tashwirul Afkar, Jurnal Refleksi PemikiranKeagamaan &

Kebudayaan, No. 18, Tahun 2004, h. 68 29

Q.S. 26 : 80, adapun redaksi ayat tersebut adalah:

30 Abu Hamid al-Ghazali, Jawahir al-Qur`ân wa Duraruhu, (Beirut: Dâr al-Ihyâ` al-

„Ulûm, 1985), h. 45 31

Ahmad „Umar Abu Hajar, Al-Tafsîr al-„Ilmi Li al-Qur`ân fî al-Mîzan, (Beirut: Dâr al-

Kutaibah, 1991), h. 295-336.

Page 10: Abstrak - STAI NU Pacitan

140

mengadopsi pengetahuan dan teori-teori saintifik dari ayat-ayat al-Qur`ân akan

berimplikasi pada pembatasan validitas ayat-ayat tersebut untuk masa dimana

temuan-temuan saintifik itu diterima; 5) Kegagalan dalam memahami bahwa al-

Qur`ân bukan kitab ilmu pengetahuan, tetapi kitab Agama yang di desain untuk

membimbing manusia dengan memberikan kepada mereka sistem keyakinan dan

nilai-nilai moral.32

Dari polemik-polemik yang terjadi antara yang pro dan kontra terhadap

penafsiran saintifik ini pada akhirnya melahirkan sikap kompromistik,

sebagaimana yang dilakukan oleh Quraish Shihab dengan mengatakan bahwa al-

Qur`ân memang berisi kebenaran ilmu pengetahuan, namun demikian al-Qur`ân

tidak bisa diperlakukan sebagai sebuah kitab ilmu pengetahuan. al-Qur`ân lebih

merupakan kitab petunjuk daripada teori-teori ilmu. Oleh karena itu memahami

ayat-ayat al-Qur`ân sesuai dengan penemuan-penemuan baru merupakan ijtihad

yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur`âniyah dan

tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan ketenteuan bahasa.33

Pada

dasarnya-terlepas dari pro-kontra yang terjadi-upaya yang dilakukan oleh para

mufassir ilmiah ini adalah keinginan untuk membangun kesatuan budaya melalui

pola hubungan harmonis antara al-Qur`ân dan ilmu pengetahuan modern yang

menjadi simbol peradaban modern.34

Sedangkan penafsiran filologik dan sastra ini sebenarnya telah dimulai

sejak awal abad modern oleh penganut tren sosial kemasyarakatan yang

diprakarsai oleh Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha dan

al-Marâghi. Akan tetapi belum dalam bentuk sebuah metode ilmiah yang

sistematis sebagaimana yang berkembang setelahnya, akan tetapi masih sebatas

pengungkapan retorika al-Qur`ân, karena menurut mereka tujuan dari tafsir al-

Qur`ân adalah mewujudkan hidayah al-Qur`ân. Dan tidak salah kiranya jika

dikatakan tren ini mencapai puncak kematangannya pada masa Amin al-Khûli,

32

Rotraud Wielandt, Tafsir al-Qur`ân: Masa Awal Modern dan Kontemporer, terj.

Sahiron Syamsuddin, dalam Tashwirul Afkar, h. 71-72. Untuk informasi tentang tanggapan dan

kritikan terhadap tafsir „ilmi serta argumentasinya, lebih lanjut lihat „Abd al-Majîd Abd al-Salam

al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî al-„Asr al-Râhin, („Ammân-Yordan: Mansyûrât Maktabah al-

Nahdah al-Islâmiyah, 1982), cet. ke-2. 33

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, h. 60 34

Iffat M. Syarqawî, Qadâyâ Insâniyah fi A‟mâl al-Mufassirîn, h. 88

Page 11: Abstrak - STAI NU Pacitan

141

karena dialah yang mengembangkan tren ini secara sistematis. Hal ini dapat

dilihat dari pandangan al-Khûli yang menyatakan bahwa al-Qur`ân merupakan

kitab berbahasa Arab yang terhebat dan karya sastra yang terpenting (Kitâb al-

„Arabiyah al-Akbar wa Atsaruha al-Adabi al- A„zham), oleh karena itu dia

mengatakan dalam mengkaji al-Qur`ân ada dua hal yang fundamental harus

dilakukan, yaitu: 1) mengeksplorasi latarbelakang historis dan situasi-situasi awal

pewahyuan; 2) Menetapkan makna yang tepat untuk kata per kata teks (al-Qur`ân)

sebagaimana yang dipahami oleh audiens pertama, dengan memperhatikan

seluruh pengetahuan yang relevan dan dihimpun dalam metode ini.35

Meskipun al-Khûli hingga akhir hayatnya tidak meninggal karya tafsir

yang menjabarkan akan ide dan metodenya, tetapi para murid-muridnya dapat

mengaplikasikannya dengan baik dalam karya mereka, misalnya „Âisya „Abd al-

Rahman Bintu al-Syâti`î36

dan Muhammad Ahmad Khalafullah37

.

2. Perkembangan Metodologi Tafsir

Dalam menelaah kitab tafsir yang ada hingga saat ini, terdapat sebagian

mufassir yang merujuk kepada tradisi ulama salaf, dan sebagian lainnya merujuk

pada temuan ulama modern-kontemporer. Adapun metode tafsir yang kepada

tradisi ulama salaf, dapat diklasifikasikan kedalam tiga bentuk penafsiran, yaitu:

1) tafsir yang berdasarkan riwayat atau dengan istilah populernya disebut dengan

al-tafsîr bi al-ma`tsûr; 2) tafsir yang berdasarkan dirâyah atau yang dikenal

dengan al-tafsîr bi al-ra`yi; dan 3) tafsir yang berlandaskan pada isyarat atau

populer dengan nama al-tafsîr al-isyârî.38

Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan pada temuan ulama

kontemporer semisal al-Farmawi, terdapat empat buah metode yang berkembang

35

Lihat Rotraud Wielandt, Tafsir al-Qur`ân: Masa Awal Modern dan Kontemporer, terj.

Sahiron Syamsuddin, dalam Tashwirul Afkar, h. 73 36

Dalam pengantar tafsirnya, Bintu al-Syâti`î menyatakan bahwa dalam menulis tafsirnya

ini ia berharap akan pengukuhan metode yang dicanangkan oleh gurunya yang juga sekaligus

suaminya. Lebih lanjut lihat „Âisya „Abd al-Rahman Bintu al-Syâti`î, al-Tafsîr al-Bayânî Li al-

Qur`ân al-Karîm, Juz 1, (Kairo: Dâr al-Manâr, t.th.), cet. ke-7, h. 15 37

Aplikasi tren filologik dan sastra oleh Khalafullah dapat dilihat dalam karyanya al-

Fann al-Qasasî fî al-Qur`ân al-Karîm. Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qasasî fî al-

Qur`ân al-Karîm, Syarh wa Ta‟lîq Khalîl „Abd al-Karîm, (Beirut: Mu`assasah al-Intisyâr al-

„Arabî, 1999), cet. ke-4. 38

Hasan Yûnus „Ubaid, Dirâsât wa Mabâhits fî Târîkh al-Tafsîr wa Manâhij al-

Mufassirîn, (Kairo: Markaz al-Kitâb Li al-Nasyr, 1991), h. 18

Page 12: Abstrak - STAI NU Pacitan

142

pada masa modern-kontemporer, yaitu global (ijmâlî), analitis (tahlîlî),

perbandingan (muqârin), dan tematik (maudû„î).39

Akan tetapi dari keempat

metode tersebut, hanya dua metode yang populer digunakan yaitu tahlîlî dan

maudû„î, sebagaimana hasil pengamatan yang dilakukan oleh Quraish Shihab.40

Jika berdasarkan hasil orientasi pengembangan ilmu tafsir dosen-dosen IAIN

seluruh Indonesia tahun 1989, terdapat dua rumusan tentang pengelompokkan

metode-metode tafsir yang berkembang dari generasi ke generasi. Kelompok

pertama rumusan metode yang mengacu kepada sumber rujukan al-Qur`ân yaitu

riwâyah, dirâyah dan isyârî, termasuk dalam kategori metode klasik. sedangkan

empat metode yang disebutkan terakhir (global, analitis, perbandingan, dan

tematik) yang kemudian ditambah dengan satu metode yang berkembang

belakangan yaitu metode kontekstual yang menafsirkan al-Qur`ân berdasarkan

pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat dan pranata-

pranata yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan

selama turunnya al-Qur`ân, termasuk dalam kategori tafsir kontemporer.41

Dari klasifikasi diatas, penulis hanya akan mengutarakan perkembangan

metode yang berkembang pada era modern-kontemporer berikut ini.

1. Metode Global

Metode global ini disinyalir oleh pakar tafsir sebagai metode yang pertama

kali hadir dalam sejarah perkembangan penafsiran al-Qur`ân, hal didasarkan atas

fakta bahwa pada masa Nabi Saw. dan para sahabatnya, bahasa khususnya bahasa

Arab bukanlah sebuah persoalan yang krusial yang dapat menghambat dalam

memahami al-Qur`ân. Faktor lain yang mendasari hadirnya metode ini adalah

selain para sahabat merupakan orang Arab, mereka juga mengetahui secara baik

latar belakang turunnya wahyu atau asbâb al-nuzûl ayat, bahkan mereka

menyaksikan dan terlibat langsung dalam situasi dan kondisi dimana ayat-ayat al-

39

„Abd al-Hayyî al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû„î: Dirâsah Manhajiyah

Maudû„iyah, (Kairo: Matba„ah al-Hadârah al-„Arabiyah, 1997), h. 23 40

M. Quraish Sihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, h. 86 41

Sebagaimana yang dikutip oleh oleh Zufran Rahman dalam buku Petunjuk Tentang

Hasil Orientasi Pengembangan Ilmu Tafsir, yang di terbitkan oleh Ditjen Binbaga Islam,

Ditbinpertais, Departemen Agama RI, 1989 yang dimuat dalam buku yang diterjemahkannya,

Ahmad al-Syirbasyi, Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur`ân al-Karîm, ed. Terj.

(Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 231

Page 13: Abstrak - STAI NU Pacitan

143

Qur`ân diturunkan. Sebagai contoh, ketika Nabi menafsirkan kata zhulm dengan

makna syirk.

Dari realitas sejarah diatas, dapatlah dikatakan bahwa metode global

merupakan satu-satunya metode yang relevan dalam memahami dan menafsirkan

al-Qur`ân pada masa-masa awal Islam. Agaknya prosedur metode global yang

praktis dan mudah ini, memotivasi ulama tafsir belakangan untuk menulis karya

tafsir dengan menerapkan metode ini, semisal Jalâl al-Dîn al-Mahallî (w.864 H)

dan Jalâl al-Dîn al-Suyûtî (w. 911 H) yang menulis kitab tafsir yang sangat

populer dan dikenal dengan nama Tafsîr al-Jalâlain.42

Pada era modern,

kecenderungan menerapkan metode global ini diikuti pula oleh Muhammad Farid

Wajdi (w. 1940 M) dalam karyanya Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm dan al-Tafsîr al-

Wasît.43

2. Metode Analitis

Selain ketidak puasan terhadap prosedur kerja metode global, terdapat

faktor yang sangat dominan yang menentukan hadirnya metode analitis ini. Faktor

tersebut adalah semakin meluasnya daerah umat Islam, dengan demikian umat

Islampun bertambah secara kuantitas, pemeluk Agama Islam tidak hanya dari

orang Arab akan tetapi juga dari orang non-Arab. Hal tersebut berdampak pada

terjadi perubahan besar dalam wacana pemikiran Islam, berbagai peradaban dan

tradisi non-Islam pun terinternalisasi kedalam khazanah intelektual Islam.

Kondisi demikian inilah yang mendorong para ulama tafsir untuk

menemukan sebuah metode yang relevan dengan perkembangan yang terjadi pada

saat itu. Maka para ulama tafsir saat itu menerapkan metode analitis dalam

menafsirkan al-Qur`ân yang dianggap relevan. Dalam prakteknya, metode analitis

ini dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu al-ma`tsûr dan al-ra`yu, yang dalam

penyajiannya meliputi bebagai corak sesuai dengan kecenderungan mufassir saat

itu, seperti corak kebahasaan, hukum atau fiqhi, „ilmi, sufistik, falsafi, dan sastra

sosial kemasyarakatan.44

42

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1998), h. 3-5 43

„Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû„î: Dirâsah Manhajiyah

Maudû„iyah, h. 44 44

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1998), h. 6-7

Page 14: Abstrak - STAI NU Pacitan

144

3. Metode Perbandingan

Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, bahwa kehadiran metode

analitis dapat memberikan informasi lengkap tentang kondisi, kecenderungan dan

kepakaran mufassir. Akan tetapi jika dihadapkan pada ayat-ayat al-Qur`ân yang

beredaksi mirip tetapi pada dasarnya memiliki pengertian yang berbeda, maka

metode analitis ini akan dirasa kurang refresentatif untuk diterapkan dalam

memahaminya.

Fakta diatas tampaknya menjadi motif hadirnya sebuah metode yang

prosedur kerjanya membandingkan ayat-ayat al-Qur`ân yang pernah

diartikulasikan oleh ulama terdahulu dalam memahami pesan al-Qur`ân ataupun

hadits-hadits Nabi. Metode ini dikenal dengan metode perbandingan (muqârin).

Adapun sasaran kajiannya meliputi tiga aspek, yaitu: perbandingan ayat al-Qur`ân

dengan ayat lain, perbandingan ayat al-Qur`ân dengan hadits Nabi, dan

perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lainnya.45

Keunggulan metode perbandingan ini terletak pada 1) Memberikan

penafsiran yang relatif luas terhadap pembaca; 2) mentolerir perbedaan pandangan

sehingga dapat mencegah sikap fanatisme pada suatu aliran tertentu; dan 3)

Memperkaya pendapat dan komentar tentang suatu ayat. Adapun sisi

kelemahannya, terletak pada 1) Tidak cocok untuk dikaji oleh para pemula karena

muatan materi pembahasannya terlalu luas dan terkadang agak ekstrim; 2) Kurang

dapat diandalkan dalam menjawab persoalan sosial yang berkembang di

masyarakat; dan 3) Terkesan dominant membahas penafsiran ulama terdahulu

daripada penafsiran baru.46

4. Metode Tamatik

Selaras dengan perkembangan masyarakat di era globalisasi ini, muncullah

berbagai problem dan pandangan yang mendesak untuk ditindak lanjuti secara

serius. Sehingga problem dan solusi yang diberikan oleh mufassir sebelumnya

seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha agaknya kurang relevan lagi dengan

kondisi masa kini, atau dengan kata lain tidak menjadi prioritas utama untuk

45

M. Quraish Shihab et.al., Sejarah dan Ulûm al-Qur`ân, h. 186-191 46

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, 142-144

Page 15: Abstrak - STAI NU Pacitan

145

kehidupan masyarakat sekarang.47

Dari sinilah kiranya metode tematik hadir ke

permukaan.

Pemikiran dasar dari metode tematik ini diarahkan pada kajian pesan al-

Qur`ân secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat

atau surat al-Qur`ân menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berhubungan.48

Sebenarnya penafsiran al-Qur`ân secara tematis ini telah dirintis dalam sejarah

penafsiran, meskipun berbeda sistematika penyajiannya. Hal ini dapat dilihat dari

hasil karya yang ditulis oleh Ibn Qayyîm al-Jauzyah (w. 751) yang menulis

tentang sumpah dalam al-Qur`ân dalam karyanya al-Tibyân fî Aqsâm al-Qur`ân,

Abû Ubaidah (w. 210 H) yang menulis Majâz al-Qur`ân, al-Farrâ‟ (w. 207 H)

menulis Ma‟ânî al-Qur`ân, dan yang lainnya.49

Dari keempat metode yang telah diutarakan diatas, masing-masing metode

memiliki keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu menurut penulis kelemahan

dan keunggulan yang dimiliki oleh metode-metode tersebut dapat dijadikan

sebagai energi positif, paling tidak keunggulannya dapat memperkaya prosedur

penafsiran al-Qur`ân, baik yang terdapat dalam karya klasik maupun kontemporer.

Sedangkan sisi kelemahannya dapat kita jadikan faktor pemicu dan pendorong

untuk menghadirkan sebuah metode yang lebih revresentatif. Dari kelemahan

keempat metode diatas, pada akhirnya menghadirkan sebuah metode baru yang

dikenal dengan metode tafsir kontekstual sebagaimana yang akan dibahas

dibawah ini.

5. Metode Kontekstual

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan sekilas apa yang dimaksud

dengan metode kontekstual, metode ini merupakan metode yang berusaha

menafsirkan al-Qur`ân berdasarkan pertimbangan analisis bahasa, latar belakang

sejarah, sosiologi dan antropologi yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan

masyarakat Arab pra-Islam dan selama proses wahyu al-Qur`ân berlangsung.

47

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, h. 112-113 48

Pada dasarnya ide ini telah disinggung oleh al-Syâtibî (w. 790 H) dalam karyanya al-

Muwâfaqât. Lebih lanjut lihat Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsâ al-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî Usûl al-

Syarî„ah, Jilid 3, (Beirut: Dâr al-Ma„ârif, t.th.), h. 414-415 49

„Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû„î: Dirâsah Manhajiyah

Maudû„iyah, h. 52. Lihat juga Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur`ân, (Beirut:

Mu`assasat al-Risâlah, 1994), cet. ke-25, h. 342

Page 16: Abstrak - STAI NU Pacitan

146

Kemudian dilakukan penggalian prinsip-prinsip moral yang terkandung dalam

berbagai pendekatan tersebut. Bila dilahat dari subtansi metode kontekstual ini,

maka berkaitan erat dengan hermeneutika, yang merupakan salah satu metode

penafsiran teks yang berangkat dari kajian bahasa, sejarah, sosiologis dan

filososfis.50

Dari sini kiranya dapat diasumsikan, bahwa jika metode ini

dipertemukan dengan kajian teks al-Qur`ân, maka persoalan dan tema pokok yang

dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur`ân hadir ditengah masyarakat, lalu

dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam rangka menghadapi

realitas sosial dewasa ini.

Sedangkan dalam pandangan Noeng Muhadjir, istilah kontekstual ini

memiliki tiga pengertian: (1) upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi

persoalan dewasa ini yang umumnya mendesak, sehingga arti kontekstual identik

dengan situsional; (2) pemaknaan yang melihat keterkaitan masa lalu, masa kini,

dan masa mendatang, dimana sesuatu akan dilihat dari sudut makna historis masa

lalu, makna fungsional masa kini, dan memprediksikan makna (yang dianggap

relevan) di kemudian hari; dan (3) mendudukkan keterkaitan antara yang sentral

dan periferi, dalam artian bahwa yang sentral adalah teks al-Qur`ân dan yang

periferi adalah terapannya. Atau dengan kata lain mendudukkan al-Qur`ân sebagai

sentral moralitas.51

Syukri Saleh dalam hasil penelitiannya meyatakan bahwa metode

kontekstual ini merupakan sintesa dari metode analitis, tematik, dan

hermeneutika. Dimana metode analitis diperkaya dengan sumber tradisional yang

memuat subtansi yang diperlukan bagi proses penafsiran, seperti asbâb al-nuzûl

dan nâsikh mansukh, dan metode tematik meramu ayat-ayat dibawah satu tema,

yang dapat diandalkan dalam menjawab berbagai persoalan aktual dan bersifat

pemecahan problem (problem solving). Adapun metode hermeneutika selain

memandang ayat-ayat al-Qur`ân secara utuh, meneliti kata-kata al-Qur`ân sesuai

dengan konteksnya, dan menjadikan asbâb al-nuzûl sebagai data sejarah yang

penting dalam menemukan kontekstual ayat, juga memfungsikan pendekatan

50

Ricard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,

Heidegger, and Gadamer, (Evanston: Northwestern University Press, 1969), h. 34-45 51

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000),

edisi ke-4, h. 263-264

Page 17: Abstrak - STAI NU Pacitan

147

pendekatan sastra-linguistik, sejarah, sosiologi, antropologi, dan sebagainya

sebagai alat Bantu yang penting dalam menafsirkan al-Qur`ân.52

Kemunculan metode kontekstual ini pada dasarnya dipicu oleh adanya

kekhawatiran akan pengabaian terhadap kondisi dan latar belakang turunnya suatu

ayat ketika penafsiran al-Qur`ân dilakukan dengan cara tekstual. Sehubungan

dengan hal tersebut, Munawir Sjadzali mengutip pernyataan Abduh yang

mengingatkan supaya berhati-hati dalam membaca karya-karya tafsir terdahulu,

karena proses penulisannya berlangsung dalam kondisi dan tingkat intelektual

masyarakat yang belum tentu sama dengan zaman sekarang. Oleh karenanya

Abduh menghimbau untuk mengkaji pesan al-Qur`ân secara langsung dan jika

memungkinkan menghadirkan karya tafsir sendiri. Akan tetapi jika ingin

mewujudkan poin kedua tersebut, seseorang harus memiliki pengetahuan dan

kemampuan bahasa yang memadai, memahami sejarah Nabi khususnya situasi

lingkungan masyarakat dimana al-Qur`ân diturunkan, dan menguasai sejarah

manusia pada umumnya.53

Melihat pernyataan yang diungkapkan Abduh tersebut, mencerminkan

perbedaan dalam memposisikan asbâb al-nuzûl dalam metode tematik dengan

metode kontekstual ini, dimana dalam metode tematik, asbâb al-nuzûl dipahami

sebagai alat Bantu untuk memahami pesan al-Qur`ân sebagai latar belakang mikro

turunnya ayat atau surat. Sedangkan dalam metode kontekstual, bukan hanya

sebatas mengkaji asbâb al-nuzûl akan tetapi juga mengkaji latar belakang

sosiologis-antropologis masyarakat dimana al-Qur`ân diturunkan, kemudian dicari

prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar dan moral yang terkandung dalam kedua data

sejarah tersebut.

Dalam kaitannya dengan hal ini, selain Amîn al-Khûlî (w.1966 M) dan

Fazlur Rahman (w. 1988 M) yang dicatat diantara tokoh yang menggagas metode

kontekstual dalam penafsiran, tidaklah keliru kiranya bila Darwaza juga termasuk

diantara tokoh yang menerapkan metode ini dalam menafsirkan al-Qur`ân. Karena

secara prinsipil, langkah-langkah yang ditawarkan oleh Amîn al-Khûlî dan Fazlur

52

A. Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur

Rahman, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 63 53

Munawir Sjadzali, "Ijtihad dan Kemaslahatan Umat", dalam Haidar Bagir dan Syafiq

Basri (ed.), Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), h. 121

Page 18: Abstrak - STAI NU Pacitan

148

Rahman terdapat kesamaan dengan apa yang dirumuskan oleh Darwaza dalam

prinsipnya dan diterapkan dalam tafsirnya.

Secara spesifik metode kontekstual yang dirumuskan oleh Amîn al-Khûlî-

sebagaimana yang dikutip oleh Bint al-Syâti' dari karyanya Manâhij Tajdîd-

terangkum dalam empat aspek: (1) pada dasarnya metodologi adalah penanganan

al-Qur`ân secara obyektif dengan cara mengkoleksi semua surah dan ayat yang

berkaitan dengan tema yang dikaji; (2) Menata ayat-ayat berdasarkan sebab

turunnya demi melacak situasi, waktu dan tempat, seperti yang diisyaratkan dalam

asbâb al-nuzûl. Riwayat ini tidak lain adalah konteks yang menyertai turunnya

ayat dengan berpegang pada keumuman lafazh bukan sebabnya yang khusus.

Dalam hal ini, asbâb al-nuzûl dipandang sebagai sesuatu yang harus

dipertimbangkan sejauh fungsinya dalam melacak penjelasan kontekstual yang

berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat dan sebab-sebabnya; (3) penulusuran arti

linguistik aslinya dalam bahasa Arab demi memahami arti kata-kata yang dimuat

dalam al-Qur`ân; dan (4) untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit,

yang dipedomani adalah konteks nash dalam al-Qur`ân baik yang mengacu pada

makna maupun semangatnya. Selanjutnya dikomfirmasikan dengan pendapat para

mufassir, dan menghindari penggunaan riwayat isra`iliyat, faham sekretarian, dan

takwil yang bernuansa bid'ah.54

Sedangkan langkah yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman terdiri dari tiga

langkah, yaitu: pertama, Pendekatan historis demi menemukan makna tekstual al-

Qur`ân. Dalam artian al-Qur`ân terlebih dahulu harus dikaji secara kronologis.

Melakukan pengujian terhadap wahyu-wahyu awal guna mendapatkan sebuah

persepsi yang cukup akurat mengenai motivasi mendasar dari gerakan Islam awal.

Oleh karena itu seseorang harus mempelajari bentangan ajaran al-Qur`ân melalui

karir dan perjuangan Nabi saw. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari upaya

penafsiran al-Qur`ân secara berlebihan dan artifisial, selain itu metode ini juga

akan menghasilkan maksud keseluruhan dari pesan al-Qur`ân secara sistematik

dan logis.

Kedua, Pemisahan antara ketentuan hukum dan sarana atau tujuan al-

Qur`ân, dengan kata lain seorang mufassir harus membedakan antara ketentuan

54

A'isyah Abd al-Rahmân Bint al-Syâti', al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur`ân al-Karîm, Jilid

I, (Kairo: Dâr al-Ma'ârif, 1968), cet. Ke-2, h. 10

Page 19: Abstrak - STAI NU Pacitan

149

hukum al-Qur`ân dengan tujuan dan sasaran akhir dimana hukum akan

dilaksanakan. Dan ketiga, Tujuan al-Qur`ân harus dipahami dengan selalu

memperhatikan setting sosiologisnya, yakni lingkungan dimana Nabi hidup dan

berkiprah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari praktek penafsiran al-Qur`ân

secara subyektif. Karean dalam pandangan Rahman setiap tafsir yang dilahirkan

akan diuji dengan kebenaran konteks sosiologis historisnya.55

Demikian halnya dengan Darwazah, dimana ia sangat memperhatikan sisi

historisitas dan setting sosiologis dimana Nabi hidup dan melakukan dakwahnya.

Ini tercermin dari prinsip tafsirnya dimana ia mengatakan bahwa dalam

menafsirkan al-Qur`ân sangat penting kiranya memperhatikan relasi antara sîrah

dan lingkungan Nabi dengan al-Qur`ân dalam melakukan penafsiran yang baik.56

Dan bila merujuk pada cara penafsiran Darwazah yang berdasarkan kronologi

pewahyuan, hal ini mengindikasikan bahwa Darwazah bermaksud untuk

memetakan pemahaman historis terhadap pesan-pesan al-Qur`ân.57

Sedangkan

pandangannya terhadap asbâb al-nuzûl, ia memposisikannya sebagai sebuah

referensi dan faktor pendukung yang dapat dipertimbangkan guna memahami

makna ayat, atau dengan kata lain asbâb al-nuzûl merupakan kondisi eksternal

pewahyuan.58

Oleh karena itu ia menekankan akan universalitas makna bukan

kekhususan sebab. Ia juga tidak ingin terlibat jauh dalam membicarakan isrâ`îliyât

dan kisah bangsa-bangsa kuno, karena menurutnya kisah-kisah tersebut bertujuan

untuk melukiskan moral. Selain menghindari isrâ`îliyat, Darwaza juga

menghindari perdebatan madzhab dan filosofis yang spekulatif.59

55

Fazlur Rahman, "Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives", in

International Journal of Middle Eastern Studies, vol. 1, no. 4, tahun 1970, h. 329-330 56

Muhammad Izzat Darwaza, Al-Qur‟an al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts,

(Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmî, 2000), cet. ke- 2, h. 34-35 & 142-143 57

Ismail K. Poonawala, “Muhammad „Izzat Darwaza‟s Principles of modern exegesis: A

contribution toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur‟an, ed. G.R. Hawting and

Abdul-Kader A. Shareef, (London-New York: Routledge, 1993), h. 238 58

Devy Aisyah Aziz, Metodologi Tafsîr al-Qur`ân Karya Darwazah; Kajian atas

Penafsiran Kisah al-Qur`ân dalam Kitab al-Tadsîr al-Hadits, dalam Jauhar; Jurnal Pemikiran

Islam Kontekstual, Jakarta: Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Vol. 3, No. 2,

Desember 2002, h. 48 59

Darwaza, Al-Qur‟an al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 205-206; lihat

juga K. Poonawala, “Muhammad „Izzat Darwaza‟s Principles of modern exegesis: A contribution

toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur‟an, h. 239;

Page 20: Abstrak - STAI NU Pacitan

150

Metodologi Penafsiran Dalam Perspektif Sarjana Tafsir Modern

Periode ini dimulai dari akhir abad Sembilan belas, ketika itu pemeluk

Islam mengalami penindasan dan penjajahan oleh bangsa Barat yang notabene

adalah kaum imperialis-kolonialis. Kondisi inilah kiranya yang mengilhami para

tokoh dan pejuang Muslim untuk berupaya melakukan perbaikan terhadap nilai-

nilai Islam yang telah rusak dan dinodai. Para tokoh dan pejuang Muslim ini

melakukan perbaikan melalui penafsiran ulang terhadap al-Qur`ân dengan metode

yang dipandang relevan dengan perkembangan zaman. Karena dalam pandangan

mereka kitab-kitab tafsir sebelumnya tidak dapat lagi menjawab kebutuhan

masyarakat Muslim era modern.

Muhammad Abduh (1849-1905 M) misalnya, memandang bahwa kitab-

kitab tafsir pada masa-masa sebelumnya hanya berisi pemaparan berbagai

pendapat ulama yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga menjauh dari

tujuan diturunkannya al-Qur‟ân.60

Dimana sebagian besar dari kitab-kitab tafsir

tersebut terasa gersang dan kaku, karena perhatian penafsirnya di fokuskan pada

pengertian kosa kata atau kedudukan kalimatnya dari sis i‟rab dan penjelasan lain

yang berkaitan dengan sisi-sisi teknis kebahasaan yang terkandung dalam redaksi

ayat-ayat al-Qur`ân. Sehingga tafsir-tafsir tersebut terkesan seakan-akan menjadi

semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, bukan kitab tafsir yang

sesungguhnya. Karena menurutnya yang dibutuhkan oleh masyarakat Muslim

adalah petunjuk-petunjuk yang dapat menghantarkan mereka kepada kebahagian

dunia dan akhirat. 61

Akan tetapi Abduh melakukan pengecualian terhadap beberapa kitab

tafsir, seperti tafsîr al-Zamakhsyari, tafsîr al-Tabari, tafsîr al-Asfahâni, dan tafsîr

al-Qurtubi. Terhadap tafsîr al-Zamakhsyari, ia mengatakan bahwa tafsir ini

merupakan kitab tafsir terbaik untuk kalangan pelajar dan mahsiswa, karena

ketelitian redaksi dan segi-segi bahasa yang diuraikannya62

. Adapun terhadap tiga

kitab tafsir lainnya, Abduh mengatakan bahwa ketiga tafsir ini merupakan kitab-

kitab terpercaya dikalangan penuntut ilmu, karena pengarang-pengarangnya telah

60

Syaikh Muhammad „Abduh, Fâtihah al-Kitâb, (Kairo: Kitâb al-Tahrîr, 1382 H), h. 13 61

Syaikh Muhammad „Abduh, Fâtihah al-Kitâb, h. 5 dan 12 62

Ibrahim Muhammad al-„Adwi, Rasyîd Ridha: al-Imâm al-Mujâhid, (Kairo: Maktabah

Misr, 1964), h. 91

Page 21: Abstrak - STAI NU Pacitan

151

melepaskan diri dari belenggu taqlîd dan berusah bersikap objektif dalam

menjelaskan ajaran-ajaran Islam, sehingga tidak memicu timbulnya perpecahan.63

Selanjutnya Abduh menekankan bahwa ayat-ayat al-Qur`ân tidak hanya

tertuju pada masyarakat Arab, akan tetapi berlaku umum untuk setiap masa dan

generasi. Oleh karena itu, menjadi suatu kewajiban bagi setiap orang pandai

maupun bodoh untuk memahami ayat-ayat al-Qur`ân sesuai dengan kemampuan

masing-masing.64

Dari pola pikir Abduh terhadap tafsir-tafsir klasik tersebut

melahirkan dua landasan pokok yang menyangkut pemahaman dan penafsirannya

terhadap ayat-ayat al-Qur`ân, yaitu peranan akal dan peranan kondisi sosial.

Dengan kedua landasan pokok tersebut, Abduh berusaha untuk menjadikan

hakikat ajaran Islam yang murni dalam perspektifnya menghubungkan ajaran-

ajaran tersebut dengan kondisi sosial masyarakat. Adapun metode yang

ditempuhnya dalam menafsirkan al-Qur`ân adalah metode fungsional dengan

paradigma petunjuk al-Qur`ân (hidâ`i).

Ahmad Khan yang merupakan salah satu tokoh modernis terkenal di

benuai Indo-Pakistan, berpandangan sama dengan Abduh. Ia berpandangan bahwa

masyarakat Muslim India harus meninggalkan sikap mereka yang pasif dan

lamban, jika tidak ingin hidup dalam bencana. Maka Ahmad Khan-pun mulai

melakukan perubahan sosial dan pola pendidikan seperti yang diterapkan oleh

orang Eropa, karena ia menyadari dengan diperkenalkannya tata cara, norma serta

pengetahuan Barat akan melahirkan sebuah versi baru Islam yang mampu

memberikan informasi yang sesuai dengan pemikiran masa kini.65

Ahmad Kahan

juga memberikan beberapa kritik terhadap mufassir klasik yang terlalu tergantung

pada tulisan-tulisan yang telah ada, tanpa melakukan sebuah telaah kritis. Karena

dalam pandangannya, semua itu memungkinkan adanya kata-kaata tertentu dalam

al-Qur`ân yang dapat dipergunakan sebagai cara yang maknanya belum ditemikan

dalam dalam karya-karya leksikal atau literatur (sastra).66

Selanjutnya Ahmad Khan memformulasikan prinsip-prinsipnya dalam

melakukan penafsiran terhadap al-Qur`ân kedalam lima belas prinsip. Prinsip

63

Abdul „Ati Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyâsi Li al-Imâm Muhammad „Abduh,

(Kairo: al-Hai‟ah al-Misriyah Li al-Kitâb, 1978), h. 85 64

Syaikh Muhammad „Abduh, Fâtihah al-Kitâb, h. 8 65

J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation, h. 5 66

J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation, h. 30.

Page 22: Abstrak - STAI NU Pacitan

152

pertamanya berkenaan dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, al-samâd,

wâjib al-wujûd, dan kekal serta merupakan “Prima Kausa” segala sesuatu. Dalam

prinsipnya yang kedua, ketiga, dan keempat, mengetengahkan pengutusan para

rasul termasuk Nabi Muhammad dan pewahyuan al-Qir`ân. Adapun dalam prinsip

kelima, kesepuluh, kesebelas, keduabelas, dan ketigabelas, berkaitan dengan

karakteristik al-Qur`ân. Kemudian prinsip “conformity to nature” yang paling

mendasar dalam pemikiran Ahmad Khan dalam penafsiran, dikemukakan dalam

prinsipnya yang kedelapan dan keempatbelas. Sedangkan dalam prinsip

kesembilan Ahmad Khan mengemukakan bahwa tidak ada sesuatu pun dalam al-

Qur`ân yang bertentangan dengan hukum alam. Dan terakhir prinsip kelimabelas,

mengemukakan tentang pentingnya penelitian linguistik dalam rangka

menentukan makna kalam al-Qur`ân, dengan kata lain, al-Qur`ân harus dipahami

sesuai dengan pemahaman orang Arab yang terhadapnya al-Qur`ân diturunkan.

Serta penolakan terhadap penggunaan isr‟iliyyât dalam penafsiran al-Qur`ân.67

Sementara itu Sayyid Qutb melihat kondisi masyarakat Mesir saat berada

pada fase sosial yang sulit setelah Perang Dunia II. Disaat itu muncul fenomena-

fenomena sosial yang terdistorsi, mayoritas masyarakat Mesir hidup dalam

kemelaratan yang hina-dina tidak mampu mencukupi kebutuhan keseharian

mereka. Ini terjadi karena kelaliman yang dilakukan oleh para tokoh istana dan

kaum feodal dari kalangan para bangsawan (pasha) dan para tuan tanah terhadap

mereka. Kaum komunis pun memanfaatkan kondisi tersebut untuk

mempropagandakan paham mereka, dengan caara memberikan surga komunisme

ilusif kepada rakyat yang teraniaya.68

Dalam pembacaanya terhadap al-Qur`ân, ia menemukan sebuah teori yaitu

teori “ilustrasi artistik” (al-taswîr al-fanni)69

. Mengenai metode yang

ditempuhnya ini Sayyid Qutb beraksud untuk mengembalikan al-Qur`ân kepada

pemaparannya, mengembalikan kepada kebaruannya-sebagaimana bangsa Arab

67

Taufik Adnan Amal, Ahmad Khan Bapak Tafsir Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), cet.

ke-1, h. 85-97 68

Salah Abdul Fattâh al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dzilal al-Qur`ân, terj.

Salafuddin Abu Sayyid, (Solo: Era Intermedia, 2001), cet. ke-1, h. 52 69

Menurut Sayyid Qutb, dengan teori ini dapat diketahui karakteristik-karakteristik

umum mengenai keindahan artistik dalam al-Qur`ân, dan sekaligus al-taswîr al-fanni ini

merupakan sebuah kaidah mendasar dalam mengekspresikan sesuatu serta merupakan sebuah

instrument terpilih dalam gaya al-Qur`ân. Lihat Salah Abdul Fattâh al-Khalidi, Pengantar

Memahami Tafsir Fi Dzilal al-Qur`ân, h. 49

Page 23: Abstrak - STAI NU Pacitan

153

dahulu menerima al-Qur`ân untuk pertama kalinya-, serta menyelamatkannya dari

penafsiran yang bersifat bahasa, nahwu, fiqih, sejarah, dan legenda. Kemudian

memunculkan aspek seninya, menyimpulkan karakteristtik sastranya, dan

penyadaran perasaan-perasaan menuju pada tempat-tempat keindahan yang

tersembunyi.70

Dari pembacaan dan tadabbur yang dilakukannya terhadap al-Qur`ân dan

fenomena-fenomena sosial yang dialaminya, Sayyid Qutb menyusun sebuah tafsir

yang dinamainya dengan fî zhilâl al-Qur`ân. Dalam penulisan tafsirnya ini ia

tidak ingin menjadikan sebagai tujuan, akan tetapi menjadikannya sebagai sarana

untuk mencapai suatu tujuan yang mulia dan sebagai instrumen untuk menggapai

sasaran yang luhur yang ingin diwujudkannya di alam pemikiran dan konsepsi

serta di dunia pendidikan dan pergerakan. Oleh karena itu ia tidak ingin hanya

agar namanya dicantumkan dalam tingkatan para mufassir, dan tidak

menghendaki tafsir untuk tafsir.71

Dalam pandangannya, kita tidak boleh hanya sekedar membaca al-Qur`ân

sebagai saran ta‟abbudiyah saja atau sebagai tempat untuk mendapatkan pahala,

akan tetapi kita anggap al-Qur`ân sebagai “tempat tinggal” demi menghadapi

realitas tertentu dalam sejarah kehidupan umat tertentu diantara fase-fase sejarah

tertentu. Al-Qur`ân pun terus hidup serta mampu menghadapi kehidupan masa

sekarang. Seakan ia turun sesaat untuk menghadapi kelompok muslim dalam

persoalan-persoalan yang sedang terjadi, dalam komfliknya yang terus menerus

dengan jahiliah disekitarnya, dalam pertempurannya di dalam jiwa mereka sendiri,

dan di dalam alam nurani secara nyata yang terjadi disana saat itu.72

Pandangannya ini, berangkat dari kenyataan yang dihadapinya dimana

sebagian mufassir terdahulu dan sekarang menjadikan tafsir sebagai tujuan untuk

berkhidmat kepada Kitab Allah swt. dengan menambahkan sebuah tafsir kepada

tafsir-tafsir yang telah ada sebelumnya. Sehingga kita dapat melihat sebagian

mufassir hanya mengulang-ulang apa yang telah dikatakan oleh para

70

Sayyid Qutb, Masyâhid al-Qiyâmah fî al-Qur`ân, (Kairo: Dâr al-Syurûq, t.th.), h. 7 71

Lebih lanjut lihat Salah Abdul Fattâh al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dzilal

al-Qur`ân, h. 121-123 72

Salah Abdul Fattâh al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Dzilal al-Qur`ân, h.

127. bandingkan pula dengan Adnan Zurzur, Ulûm al-Qur`ân; Madkhal ilâ Tafsîr al-Qur`ân wa

Bayân I‟jâzihi, (al-Maktab al-Islâmiy, 1981), cet. ke-1, h. 425-427

Page 24: Abstrak - STAI NU Pacitan

154

pendahulunya dengan bentuk pengulangan yang membosankan, atau

meringkasnya dalam bentuk yang tidak sesuai, atau mengutipnya secara kacau.

Adapun Darwazah, dengan latar belakang kehidupannya dimana Palestina

berada dalam penjajahan dan penguasaan Inggris, dan masyarakatnya sedang

mengalami stagnasi dan kebodohan dalam waktu yang panjang, memandang

bahwa metode-metode klasik yang telah ada tidak relevan lagi dalam menjawab

kebutuhan kaum muda diabad sekarang ini.

Daftar Pustaka

A. Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer Dalam Pandangan

Fazlur Rahman, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007

Abu al-Fadl al-Dîn Muhammad bin Makram Ibn Manzhûr, Lisan al-„Arab, Jilid 5,

Beirut: Dâr al-Shâdir, 1990

Ahmad „Umar Abu Hajar, Al-Tafsîr al-„Ilmi Li al-Qur`ân fî al-Mîzan, Beirut: Dâr

al-Kutaibah, 1991

Fazlur Rahman, "Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives", in

International Journal of Middle Eastern Studies, vol. 1, no. 4, tahun 1970

Fazlurrahman, Islam, Chicago and London: University of Chicago Press, 1979,

cet. ke-2

Hamim Ilyas dalam kata pengantar, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004

Hasan Yûnus „Ubaid, Dirâsât wa Mabâhits fî Târîkh al-Tafsîr wa Manâhij al-

Mufassirîn, Kairo: Markaz al-Kitâb Li al-Nasyr, 1991

Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî, terj. „Abd al-Halîm al-Najjâr,

Kairo: Maktabah al-Khânijî, 1995

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992

Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur`ân, Beirut: Mu`assasat al-

Risâlah, 1994, cet. ke-25

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, Jakarta: Pustaka Pelajar,

1998

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,

2000

Sayyid Qutb, Masyâhid al-Qiyâmah fî al-Qur`ân, Kairo: Dâr al-Syurûq, t.th.

Syaikh Muhammad „Abduh, Fâtihah al-Kitâb, Kairo: Kitâb al-Tahrîr, 1382 H