ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah...

46
i ABSTRAK Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku. Namun faktanya di lapangan penerapan ketentuan pencantuman label berbahasa Indonesia pada kemasan produk kosmetik impor masih banyak dijumpai tidak mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku. oleh karena itu, menarik untuk dikaji bagaimanakah efektivitas ketentuan tentang pencantuman label berbahasa Indonesia terhadap kemasan produk kosmetik impor dan bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk kosmetik impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukum empiris yang mengkaji kesenjangan antara ketentuan Pasal 8 Ayat 1 Huruf J UU No. 8 Tahun 1999 dengan pelaksanaannya di lapangan. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian lapangan yaitu dengan cara melakukan wawancara langsung ke beberapa informan dan responden yang terkait. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan terhadap bahan hukum primer, sekunder, dan tertier sesuai permasalahan yang akan dibahas. Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian lapangan maupun kepustakaan di olah dengan pendekatan kualitatif. Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa ketentuan pencantuman label berbahasa Indonesia pada produk kosmetik impor belum efektif diterapkan, melihat masih banyaknya beredar kosmetik impor yang belum mencantumkan ketentuan penggunaan label berbahasa Indonesia pada kemasannya. Mengenai bentuk perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk kosmetik impor yang tidak mencantumkan ketentuan penggunaan label berbahasa Indonesia pada kemasannya dilakukan melalui perlindungan preventif dan represif. Kata kunci : Label, Kosmetik Impor, Hak Konsumen, Perlindungan Konsumen

Transcript of ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah...

Page 1: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

i

ABSTRAK

Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah

memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang

menyatakan bahwa Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk

penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku. Namun faktanya di lapangan penerapan ketentuan

pencantuman label berbahasa Indonesia pada kemasan produk kosmetik impor masih

banyak dijumpai tidak mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku. oleh

karena itu, menarik untuk dikaji bagaimanakah efektivitas ketentuan tentang

pencantuman label berbahasa Indonesia terhadap kemasan produk kosmetik impor

dan bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk kosmetik

impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukum

empiris yang mengkaji kesenjangan antara ketentuan Pasal 8 Ayat 1 Huruf J UU No.

8 Tahun 1999 dengan pelaksanaannya di lapangan. Data primer dalam penelitian ini

diperoleh melalui penelitian lapangan yaitu dengan cara melakukan wawancara

langsung ke beberapa informan dan responden yang terkait. Data sekunder dalam

penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan terhadap bahan hukum primer,

sekunder, dan tertier sesuai permasalahan yang akan dibahas. Data yang telah

dikumpulkan baik dari penelitian lapangan maupun kepustakaan di olah dengan

pendekatan kualitatif.

Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa

ketentuan pencantuman label berbahasa Indonesia pada produk kosmetik impor

belum efektif diterapkan, melihat masih banyaknya beredar kosmetik impor yang

belum mencantumkan ketentuan penggunaan label berbahasa Indonesia pada

kemasannya. Mengenai bentuk perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk

kosmetik impor yang tidak mencantumkan ketentuan penggunaan label berbahasa

Indonesia pada kemasannya dilakukan melalui perlindungan preventif dan represif.

Kata kunci : Label, Kosmetik Impor, Hak Konsumen, Perlindungan Konsumen

Page 2: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

ii

ABSTRACT

Article 8 Paragraph 1 Letter J Law No. 8 of 1999 has provided rules on

prohibiting the acts for businesses, which states that the business communities are

prohibited from producing and / or trading goods and / or services that do not

include the information and / or instructions for use of Indonesian goods in

accordance with the provisions of applicable law. But in fact, in the field application

of the provisions in Indonesian language, labeling on the packaging of imported

cosmetic products still prevalent not to comply with the rules of applicable

legislation. Therefore, it is interesting to examine how the effectiveness of the

provisions on labeling in Indonesian language on the packaging of imported cosmetic

products and how the legal protection for consumers against imported cosmetic

products that are not labeled Indonesian.

The type of research used in this study is the empirical legal research which

examines the gap between the provisions of Article 8, paragraph 1 of Law No. Letter

J 8, 1999 with the ground implementation. Primary data in this study were obtained

through field research that is by direct interviews to several informants and

respondents which were concerned. Secondary data in this study were obtained

through library research to primary legal materials, secondary, and tertiary

appropriate issues to be discussed. The data have been collected both from the

research literature in the field or the qualitative approach.

From the results mentioned above, it can be concluded that the provisions in

Indonesian language labeling on imported cosmetic products has not been effectively

implemented, there are still many outstanding view that have not been included, such

as the conditions of the use of Indonesian language labeling on the packaging.

Regarding the forms of legal protection for consumers against imported cosmetic

products that do not include the terms of use in Indonesian language labeling on the

packaging is done through preventive and repressive protection.

Keywords: Label, Cosmetic Imports, Consumer Rights, Consumer Protection.

Page 3: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

iii

RINGKASAN

Bab I Pendahuluan, menguraikan latar belakang yang melandasi lahirnya

penelitian terhadap permasalahan dalam tesis ini. Berdasarkan hal tersebut, maka

permasalahan yang yang diteliti dalam tesis ini meliputi 2 (dua) hal yakni efektivitas

ketentuan tentang pencantuman label berbahasa Indonesia terhadap kemasan produk

kosmetik impor dan perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk kosmetik

impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia. Disamping latar belakang dan rumusan

masalah, pada bab I juga diuraikan mengenai tujuan dan manfaat penelitian, landasan

teoritis yang akan dipakai mengkaji sesuai permasalahan yang dibahas, metode

penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini, sumber-sumber bahan hukum

yang menunjang pembahasan permasalahan, teknik pengumpulan bahan hukum serta

teknik pengolahan dan analisa bahan hukum.

Bab II, Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen dan Label

Kemasan menguraikan mengenai pengertian dan dasar hukum perlindungan

konsumen, asas dan tujuan perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen

serta hak dan kewajiban pelaku usaha. Pada bab ini juga menguraikan mengenai

pengertian label kemasan, fungsi label kemasan serta klasifikasi label kemasan.

Bab III tentang pembahasan rumusan masalah I, dikemukakan hasil-hasil

penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas dan dianalisa

berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari permasalahan

yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini memuat tentang peredaran

produk kosmetik impor di bali, pencantuman label kemasan berbahasa indonesia pada

produk kosmetik impor yang beredar di bali.

Bab IV tentang pembahasan rumusan masalah I, dikemukakan hasil-hasil

penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas dan dianalisa

berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari permasalahan

yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini memuat tentang keberadaan

label kemasan pada produk kosmetik impor sebagai wujud hak konsumen atas

informasi dan perlindungan hukum terhadap konsumen atas produk kosmetik impor

yang tidak berlabel bahasa indonesia.

Bab V sebagai penutup ini dikemukakan kesimpulan yang diperoleh

berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan pada bab III dan bab IV. Adapun

kesimpulan atas kedua permasalahan yang dibahas yakni, ketentuan pencantuman

label berbahasa Indonesia pada produk kosmetik impor belum efektif diterapkan,

melihat masih banyaknya beredar kosmetik impor yang belum mencantumkan

ketentuaan penggunaan label berbahasa Indonesia pada kemasannya. Bentuk

perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk kosmetik impor yang tidak

mencantumkan ketentuan penggunaan label berbahasa Indonesia pada kemasannya

dilakukan melalui perlindungan preventif dan represif.

Page 4: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN

HALAMAN SAMPUL DALAM …………………………………………… i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER……………………… ii

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING……………………………… iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS …………………… iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………………… v

UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………… vi

ABSTRAK ………………………………………………………………… . ix

ABSTRACT ....................................................................................................... x

RINGKASAN………………………………………………………………… xi

DAFTAR ISI………………………………………………………………...... xii

DAFTAR BAGAN…………………………………………………………… xvi

DAFTAR DIAGRAM………………………………………………………. xvii

DAFTAR TABEL…………………………………………………………… xviii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………….. … 1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………… 12

1.3 Ruang Lingkup Masalah………………………………………….. 12

1.4 Tujuan Penelitian…………………………………………………. 13

1.4.1 Tujuan Umum..…………………………………………….. 13

1.4.2 Tujuan Khusus……………………………………………... 14

Page 5: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

v

1.5 Manfaat Penelitian……………………………………………….. 14

1.5.1 Manfaat Teoritis…………………………………………… 14

1.5.2 Manfaat Praktis…………………………………………… 15

1.6 Orisinalitas Penelitian……………………………………………. 16

1.7 Landasan Teori dan Kerangka Berpikir….……………………….. 17

1.7.1 Landasan Teori…………………………………………….. 17

1.7.2 Kerangka Berpikir…………………………………………. 27

1.8 Metode Penelitian………………………………………………… 29

1.8.1 Jenis Penelitian……………………………………………. 30

1.8.2 Sifat Penelitian……………………………………………… 32

1.8.3 Data dan Sumber Data……………………………………… 33

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data…………………………………. 36

1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian……………………… 37

1.87 Teknik Pengolahan dan Analisi Data……………………….... 38

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

DAN LABEL KEMASAN…..…………………………………...……. 39

2.1 Perlindungan Konsumen……………………………………………. 39

2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen.…….. 39

2.1.2 Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen………….............. 44

2.1.3 Hak dan Kewajiban Konsumen…………………………….. . 51

Page 6: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

vi

2.1.4 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha………………………….. 59

2.2 Label Kemasan……………………………………………………. 63

2.2.1 Pengertian Label dan Kemasan……………………………… 63

2.2.2 Fungsi Label dan Kemasan………………………………….. 66

2.2.3 Klasifikasi Label dan Kemasan……………………………… 68

BAB III PENCANTUMAN LABEL KEMASAN BERBAHASA INDONESIA

PADA PRODUK KOSMETIK IMPOR………………………………. 73

3.1 Peredaran Produk Kosmetik Impor Di Bali…………………………. 73

3.1.1 Syarat-Syarat Peredaran Kosmetik Impor di Bali…………….. 79

3.1.2 Akibat Hukum Tidak Dicantumkannya Label Kemasan Berbahasa

Indonesia Pada Produk Kosmetik Impor……………………. 85

3.2 Pencantuman Label Kemasan Berbahasa Indonesia Pada Produk

Kosmetik Impor Yang Beredar Di Bali…………………………… 87

3.2.1 Efektifitas Pencantuman Label Kemasan Berbahasa Indonesia

Pada Produk Kosmetik Impor Yang Beredar Di Bali………… 93

3.2.2 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pencantuman Label

Kemasan Berbahasa Indonesia Pada Produk Kosmetik Impor 104

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PADA PRODUK

KOSMETIK IMPOR YANG TIDAK BERLABEL BAHASA

INDONESIA ………………………………………………………. 105

Page 7: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

vii

4.1 Keberadaan Label Kemasan Pada Produk Kosmetik Impor Sebagai

Wujud Hak Konsumen Atas Informasi ………………………. 105

4.1.1 Tujuan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk

Kosmetik Impor Yang Tidak Berlabel Bahasa Indonesia.. 121

4.1.2 Manfaat Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk

Kosmetik Impor Yang Tidak Berlabel Bahasa Indonesia.. 124

4.2 Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Produk Kosmetik

Impor Yang Tidak Berlabel Bahasa Indonesia……………………… 127

4.2.1 Perlindungan Hukum Terhadap Kerugian Konsumen Atas Produk

Kosmetik Impor Yang Tidak Berlabel Bahasa Indonesia…….. 134

4.2.2 Penyelesaian Terhadap Kerugian Konsumen Akibat Produk

Kosmetik Impor Yang Tidak Berlabel Bahasa Indonesia……… 139

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan ……………………………………………………. 148

5.2 Saran ………………………………………………………… 149

DAFTAR PUSTAKA

Page 8: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

viii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan Negara yang semakin maju mempunyai pengaruh bagi

masuknya produk-produk impor yang saat ini tidak hanya beredar di kota-kota besar

saja tetapi telah masuk sampai pelosok-pelosok daerah di kota-kota terpencil, selain

itu kebutuhan manusia yang semakin kompleks seiring dengan berkembangnya

zaman serta taraf hidup manusia yang menuju modernisasi telah berdampak pada

kebutuhan yang tidak hanya sebatas pada kebutuhan pokok/dasar saja, melainkan

juga kebutuhan penunjang kehidupan sosial seseorang dalam masyarakat, antaralain

kebutuhan akan penampilan yang menarik. Banyak cara yang digunakan oleh para

wanita untuk memperbaiki penampilan, salah satu cara yang sering dijumpai pada

kehidupan sehari-hari untuk memperbaiki penampilan agar terlihat lebih cantik

adalah dengan adalah penggunaan tata rias wajah atau yang lebih dikenal dengan

istilah kosmetik.

Salah satu kota yang cukup pesat perkembangannya bagi produk impor

terutama kosmetik adalah kota Denpasar, Provinsi Bali, sebagai kota besar yang

kebanyakan penduduknya dari kalangan atas menilai kosmetik sudah menjadi

kebutuhan. Adanya perubahan gaya hidup menyebabkan kosmetik terutama kosmetik

impor merupakan produk yang diminati masyarakat di Kota Denpasar. Hal ini dapat

Page 9: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

ix

dilihat dari banyaknya kosmetik kemasan produk luar negeri beredar di pasar

tradisional maupun pasar modern seperti swalayan maupun mini market.

Peredaran kosmetik impor yang diimbangi dengan banyaknya pemakaian

produk kosmetik impor, namun di lain pihak pengetahuan masyarakat masih belum

memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk kosmetik secara tepat, benar

dan aman. Kurangnya keamanan menyebabkan banyak konsumen yang dirugikan

dengan penggunaaan produk kosmetik.Dengan demikian perlindungan konsumen

terutama pada pemakaian produk kosmetik impor harus mendapat perhatian yang

lebih, karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia,

dimana ekonomi Indonesia juga telah terkait dengan ekonomi dunia.Persaingan

perdagangan internasional dapat membawa implikasi negatif bagi perlindungan

konsumen.1

Pengaruh globalisasi tampak jelas ketika masuknya barang-barang impor di

pasar Indonesia. Implikasinya terhadap masuknya arus barang-barang impor yang

pesat ke pasar Indonesia akan menimbulkan dampak yang paling signifikan adalah

produk lokal sulit untuk bersaing dengan produk asing di tingkat pasar. Pada

kenyataannya konsumen lebih memilih untuk menggunakan produk kosmetik impor

karena mutu dan kualitasnya dianggap lebih baik daripada produk kosmetik lokal.

Pemerintah pun akan sulit membendung arus masuknya produk-produk asing

1Celine Tri Siwi Krisyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 3

Page 10: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

x

tertentu, baik karena tingkat permintaan yang tinggi atau penawaran yang atraktif dari

luar negeri.

Banyak produk kosmetik yang beredar di pasaran di Indonesia namun tidak

disertai dengan keterangan mengenai produk tersebut dalam bahasa Indonesia.

Produsen luar negeri dengan bebas mengimpor produknya dan beredar di

Indonesia.Padahal menurut ketentuan perlindungan konsumen informasi dalam

bentuk bahasa Indonesia adalah ketentuan mutlak yang harus dipenuhi ketika produk

impor memasarkan produknya di Indonesia.Konsumen yang keberadaanya sangat

tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan

kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara sefektif

mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu

semua cara pendekatan diupayakan sehinga mungkin menimbulkan berbagai dampak

termasuk keadan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak

terpuji yang berawal dari tikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain

menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan

menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.

Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memilki arti

yangsangat penting.2Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersedian

barangatau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas

produk,keamananya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau cara

2A.Z Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.10

Page 11: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xi

memperolehnya,tentang jaminan atau garansi produk, persedian suku cadang,

tersedianya pelayanan

jasa purna purna-jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu.

Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formal

makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan

teknologi yang merupakan motor pengerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen

atas barang atau jasa yang dihasilkanya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam

rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak

langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya.3

Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap

kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk

segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang

menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia lebih-lebih menyongsong era

perdagangan bebas.

Kesepakatan mengenai harmonisasi ASEAN di bidang kosmetik dicapai pada

tanggal 2 September 2003 yaitu dengan ditandatanganinya ASEAN Harmonized

Cosmetic Regulatory Schemeoleh 10 wakil negara anggota ASEAN, dalam hal ini

Indonesia diwakili oleh Menteri Industri dan Perdagangan pada waktu itu. Tujuan

AHCRS adalah untuk menghilangkan hambatan teknis dengan menyelaraskan

peraturan dan persyaratan teknis di ASEAN tanpa mengabaikan mutu dan keamanan

kosmetik. Hal ini akan membantu perdagangan kosmetik diantara negara ASEAN dan

3Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Jakarta, hal. 39

Page 12: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xii

meningkatkan daya saing industri kosmetik ASEAN di tingkat global. AHCRS

meliputi ASEAN Mutual Recognition Arrangement of Product Registration Approval

for Cosmetic (Schedule A) diterapkan dari 2003-2007 dan ASEAN Cosmetic

Directive/ACD (Schedule B) diterapkan pada 1 Januari 2008.

Pada sidang ACC ke-6 yang diselenggarakan pada bulan Juni 2006 di Siem

Reap Kamboja, semua negara anggota (kecuali Myanmar tidak hadir) menyatakan

akan mengikuti Schedule B yaitu menerapkan harmonisasi di bidang kosmetik mulai

1 Januari 2008 dengan acuan ASEAN Cosmetic Directive (ACD). Pada saat

implementasi harmonisasi, produsen atau perusahaan yang bertanggung jawab atau

menempatkan produknya di pasar harus memberi tahu (notify) pada pemerintah di

setiap negara anggota ASEAN di mana produk akan dipasarkan. Perbedaan mendasar

sistem pengawasan pada saat ini dan nanti pada saat ditetapkannya harmonisasi

adalah adanya transisi dari sistem registrasi (pre-market approval) menjadi sistem

pengawasan setelah beredar (post-market surveillance), hal ini dilakukan karena dari

analisa penilaian resiko kosmetik merupakan produk beresiko rendah sepanjang

semua peraturan/regulasi kosmetik dipatuhi oleh produsen.

ASEAN Harmonized Cosmetic Regulatory Scheme menyatakan suatu negara

anggota ASEAN harus menerima produk yang telah terdaftar di negara anggota

ASEAN lain; Namun, regulasi dan persetujuan untuk negara-negara anggota masih

belum valid sehingga perlu untuk mendaftarkan produk kosmetik Impor tersebut di

Indonesia. Proses registrasi produk kosmetik di Indonesia diatur oleh Badan

Pengawasan Obat dan Makanan, juga memanggil BPOM yang berada di bawah

Page 13: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xiii

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Untuk dapat melanjutkan registrasi

produk kosmetik impor di Indonesia harus memiliki perusahaan di Indonesia atau

distributor atau agen yang akan mendaftarkan produk tersebut di bawah perusahaan

sendiri Indonesia sesuai dengan syarat dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan

Indonesia.4

Perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia diatur dalam ketentuan

perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Menurut ketentuan yang diatur

dalam Pasal 1 angka 2 UUPK menyatakan bahwa : “Konsumen adalah setiap orang

pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan

diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan.” Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyak hak-hak

yang dimiliki konsumen, sebagaimana dirumuskan didalam Pasal 4 Huruf c

UUPKyang menyatakan bahwa “konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas,

dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.”

Ketentuan penggunaan label berbahasa Indonesia juga diatur dalam Pasal 8

Ayat 1 Huruf J UUPK yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku

usaha, yang menyatakan bahwa “Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan/atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi

4Asrijaya, 2016, Impor Kosmetik Indonesia, https://asrijaya.wordpress.com/tag/impor-

kosmetik-indonesia/, diakses pada 16 Juni 2016.

Page 14: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xiv

dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.”

Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang

diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah

informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha.Terutama dalam bentuk iklan

dan label, tanpa mengurangi pengaruh berbagai bentuk informasi pengusaha

lainnya.5Mengingat begitu pentingnya informasi yang benar dan lengkap mengenai

suatu produk barang/dan atau jasa seharusnya dapat menyadarkan para pelaku usaha

untuk menghormati hak-hak konsumen dan menjalankan kewajiban pelaku usaha

dengan baik dengan memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk

digunakan, mengikuti standar yang berlaku dan harga yang wajar.

Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang

sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan

distribusi produk barang atau barang dengan cara seefektif mungkin agar dapat

mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan

diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan

yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan yang tidak terpuji yang

berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut

kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan,

pemalsuan dan sebagainya.6

5Ibid, hal. 71 6 Zumroetin K. Soesilo, 1996, Penyambung Lidah Konsumen, Swadaya, Jakarta, hal. 12

Page 15: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xv

Dalam hubungannya dengan masalah label, penggunaan bahasa Indonesia

yang baik dan benar dibutuhkan bagi konsumen untuk memperoleh informasi yang

benar, jelas, dan lengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas, cara pemakaian

produk maupun hal-hal lain yang diperlukan mengenai produk kosmetik impor yang

beredar di pasar. Mengenai label, dalam kemasan harus tercantum nama produsen,

importir, bahan penyusun dan khasiat. Label ini harus dalam bahasa Indonesia,

sehingga mudah dimengerti. Label merupakan standar kelayakan penggunaan

kosmetik. Bila kosmetik tersebut tidak bermasalah maka produsen tidak keberatan

menggunakan label dengan bahasa sesuai dengan negara pengguna.7

Selain UUPK, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor

73/M-DAG/PER/9/2015Tentang Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa

Indonesia Pada Barang sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2, yaitu :

(1) Pelaku Usaha yang memproduksi atau mengimpor Barang untuk diperdagangkan

di Pasar dalam negeri sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri

ini wajib mencantumkan Label dalam Bahasa Indonesia.

(2) Lampiran Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari :

a. Lampirin I, memuat daftar jenis Barang elektronika keperluan rumah tangga,

telekomunikasi, dan informatika;

b. Lampiran II, memuat daftar jenis Barang Bahan Bangunan;

c. lampiran III, memuat daftar jenis Barang keperluan kendaraan bermotor (suku

cadang dan lainnya);

d. Lampiran IV, memuat daftar jenis Barang lainnya; dan

e. Lampiran V, memuat daftar tambahan jenis Barang dan perluasan Barang.

(3) Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya

menggunakan Bahasa Indonesia yang jelas dan mudah dimengerti.

(4) Penggunaan Bahasa selain Bahasa Indonesia, angka arab, huruf latin

diperbolehkan jika tidak ada padanannya.

7ibid

Page 16: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xvi

Pasal 3 menjelaskan :

(1) Barang yang diimpor oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,

pada saat memasuki Daerah Pabean telah dicantumkan Label dalam Bahasa

Indonesia.

(2) Pelaku Usaha yang mengimpor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

bertanggung jawab terhadap Barang yang diimpor.

Pasal 4 menjelaskan :

(1) Pencantumkan Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2ayat (1) untuk Barang,

harus bersifat tetap (permanen) berupa :

a. emboss atau tercetak pada Barang; atau

b. label yang secara utuh melekat pada Barang.

(2) Pencantuman Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk

kemasan, harus bersifat tetap (permanen) berupa :

a. embos atau tercetak pada Kemasan; atau

b. Label yang secara utuh melekat pada Barang dan Kemasan yang bersifat tetap

(permanen) sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak berupa stiker.

(3) Label yang secara utuh melekat pada Barang dan Kemasan yang sersifat tetap

(permanen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berupa stiker.

(4) Label berbahasa Indonesia yang melekat pada Kemasan berukuran lebih besar

atau sama dengan label aslinya (bahasa asing) serta rusak jika dilepaskan.

(5) Ukuran Label disesuaikan dengan besar atau kecilnya Barang atau Kemasan yang

digunakan dan dapat dibaca dengan mudah dan jelas.

Keputusan Kepala BPOM RI No.HK.00.05.4.1745 tentang kosmetik juga

mengatur mengenai pencantuman label berbahasa Indonesia pada kosmetik impor.

Pada Pasal 19 menyatakan wadah dan pembungkus harus diberikan penandaan yang

berisi informasi yang lengkap, objektif dan tidak menyesatkan. Selanjutnya pada

pasal 22 Ayat 1 berisi penulisan pernyataan atau keterangan dalam penandaan harus

jelas dan mudah dibaca menggunakan huruf latin dan angka arab. Kemudian pada

Pasal 22 ayat 2 jelas memuat mengenai penandaan yang ditulis dengan bahasa asing,

harus disertai keterangan mengenaikegunaan, cara penggunaan dan keterangan lain

dalam Bahasa Indonesia.

Page 17: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xvii

Produk kosmetik impor tanpa pencantuman label berbahasa Indonesia masih

banyak beredar di pasaran. Terdapat juga pelabelan yang lengkap namun pesan

informasi tidak sampai ke konsumen, karena menggunakan bahasa Negara asal

produk tersebut yang belum tentu dipahami konsumen. Contohnya seperti kosmetik

dengan merek Revlon, Loreal, SK II.Produk kosmetik ini lebih banyak menggunakan

bahasa dari Negaranya seperti Inggris dan Cina.

Penggunaan bahasa Indonesia pada kemasan produk kosmetik impor memiliki

arti yang penting mengingat sebagian besar konsumen di Indonesia tidak mudah

untuk memahami penggunaan bahasa lain. Penggunaan label dengan bahasa

Indonesia saja kadang tidak dapat dimengerti atau dipahami konsumen, apalagi

produk selain bahasa Indonesia. Dengan label berbahasa Indonesia, konsumen bisa

mengetahui informasi produk yang dibelinya sehingga bisa meminimalisasi resiko

kejadian yang tidak diinginkan. Label selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan

konsumen dalam memahami, menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang

terdapat pada produk yang dibelinya.

Dampaknya bagi kesehatan dan keamanan pemakaian produk kosmetik impor

tanpa pencantuman label berbahasa Indonesia tidak terjamin dengan baik. Banyaknya

beredar merek-merek kosmetik yang dijual dipasaran dengan kemasan yang menarik,

dan menjanjikan akan mendapatkan hasil dalam waktu singkat perlu diwaspadai oleh

masyarakat. Konsumen harus lebih waspada serta jeli sebelum membeli produk

kosmetik.Produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya memiliki efek

Page 18: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xviii

samping yang berdampak pada kerusakan kulit akibat dari pemakaian produk tersebut

yang sebelumnya tidak ada keterangan atau petunjuk dokter.

Standarisasi mutu produk sangat penting dirasakan untuk produk kosmetik,

mengingat sangat dekat berhubungan dengan kesehatan, karena efek pemakaian

kosmetik yang mengandung bahan berbahaya bisa berdampak buruk pada kesehatan

tubuh terutama pada kulit. Oleh karena itu, produsen selaku pelaku usaha yang

kegiatannya memperdagangkan produk-produk kosmetik harus memperhatikan

ketentuan mengenai keamanan produk itu sendiri yang harus memenuhi syarat-syarat

dan pengawasan kosmetik yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Republik

Indonesia. Faktor keamanan dan tidak merugikan kesehatan merupakan hak

konsumen yang sangat penting.

Berdasarkan pemaparan keadaan seperti yang telah diuraikan diatas terjadi

kesenjangan antara das sollen (teori) dengan das sein (praktek atau kenyataan) pada

penerapan ketentuan pencantuman labelyang tidak sesuai dengan pasal Pasal 8 Ayat 1

Huruf J Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 2,Pasal 3 dan Pasal4

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 73/M-Dag/Per/9/2015

Tahun 2015Tentang Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa Indonesia Pada

Barang, serta Pasal 22 Ayat 2 Keputusan Kepala BPOM RI No.HK.00.05.4.1745

tentang Kosmetik, tetapi pada praktek atau kenyataannya banyak produk kosmetik

impor yang beredar di pasaran belum mencantumkan penggunaan bahasa Indonesia

pada kemasannya. Dalam tesis ini penulis hendak melakukan penelitian lebih lanjut

Page 19: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xix

dilapangan yang berlokasi di Denpasar, penelitian lapangan ini bertujuan untuk

mengetahui secara langsung mengenai implementasi dari ketentuan pencantuman

label berbahasa Indonesia pada produk kosmetik yang beredar di Indonesia, hal inilah

yang melatar belakangi penelitian karya ilmiah ini dengan mengangkat judul

“Implementasi Ketentuan Pencantuman Label Berbahasa Indonesia Pada

Kemasan Produk Kosmetik Impor Sebagai Bentuk Perlindungan Hak Atas

Keamanan Konsumen”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka

dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah efektivitas ketentuan tentang pencantuman label berbahasa

Indonesia terhadap kemasan produk kosmetik impor ?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk

kosmetik impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang jauh menyimpang dari pokok

permasalahan yang diajukan dalam penulisan tesis ini, maka dipandang perlu

mengadakan pembatasan, sehingga dalam pembahasan selanjutnya dapat terfokus

pada pokok permasalahan yang diajukan sebelumnya.

Page 20: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xx

Pada penelitian ini ruang lingkup masalah yang ingin dikemukakan dibatasi

hanya padaefektivitas ketentuan pencantuman label berbahasa Indonesia terhadap

kemasan produk kosmetik impor dan perlindungan hukum bagi konsumen terhadap

produk kosmetik impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia tersebut.

1.4Tujuan Penelitian

adapun tujuan dari penelitian tesis ini yaitu tujuan umum dan tujuan khusus

yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1.4.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu

sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai perlindungan

hukum terhadap konsumen berkaitan dengan penggunaan label Bahasa

Indonesia pada setiap kemasan produk kosmetik impor.

2. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran yang

konseptual mengenai pencantuman label berbahasa Indonesia sebagai

perwujudan hak konsumen atas informasi yang kaitannya dengan

perlindungan konsumen.

3. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk menyumbangkan pemikiran berkenaan

dengan label berbahasa Indonesia yang harus dicantumkan pada setiap

kemasan produk mengingat masih banyaknya produk impor yang beredar

dipasaran belum memberikan informasi produk dalam bahasa Indonesia.

Page 21: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxi

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk menganalisa implementasi ketentuan pencantuman label berbahasa

Indonesia pada kemasan produk kosmetik impor sebagai bentuk

perlindungan hak atas keamanan konsumen.

2. Untuk menganalisa efektivitas ketentuan peraturan yang berkaitan dengan

pencantuman label Bahasa Indonesia terhadap kemasan produk kosmetik

impor

3. Untuk menganalisaperlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk

kosmetik impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia.

1.5 Manfaat Penelitian

Mengenai manfaat yang diharapkan melalui penelitian terhadap kedua pokok

permasalahan diatas tersendiri dari dua manfaat, yaitu :

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

sumbangan pemikiran yang bersifat teoritis dalam rangka pengembangan

ilmu pengetahuan hukum di masa yang akan datang yang khususnya

berkaitan dengan perkembangan di bidang hukum bisnis terutama

mengenai implementasi ketentuan pencantuman label berbahasa Indonesia

pada kemasan produk kosmetik impor.

Page 22: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxii

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengembangan ilmu

pengetahuan hukum khususnya mengenai efektivitas ketentuan peraturan

yang berkaitan dengan pencantuman label Bahasa Indonesia terhadap

kemasan produk kosmetik impor

3. Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman dan pengembangan

wawasan pengetahuan mengenai perlindungan hukum bagi konsumen

terhadap produk kosmetik impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Manfaat bagi konsumen

Hasil penelitian ini diharapkan akan menambah pengetahuan untuk tetap

memperhatikan pencantuman label pada setiap produk yang dibelinya,

sehingga kepedulian konsumen akan haknya atas informasi sangat

membantu dalam usaha - usaha pemberdayaan konsumen itu sendiri.

2. Bagi produsen atau pelaku usaha

Hasil penelitian ini diharapkan akan menimbulkan kesadaran hukum untuk

memberikan informasi yang jelas, benar dan jujurserta mencantumkan

label berbahasa Indonesia pada setiap kemasan produk kosmetik tersebut.

3. Bagi pemerintah khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan maupun

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan untuk lebih

mengintensifkan peraturan mengenai efektivitas pencantuman label

berbahasa Indonesia pada produk kosmetik impor.

Page 23: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxiii

1.6 Orisinalitas Penelitian

Substansi pada tesis ini adalah kajian mendalam mengenai implementasi

pencantuman label pada kemasan produk kosmetik impor dan faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi implementasinya. Sepanjang penulusuran penulis, belum pernah

ada yang meneliti dan memecahkan masalah mengenai tulisan ini.

Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil penelitian

yang berjudul “Implementasi Pencantuman Label Berbahasa Indonesia Pada

Kemasan Produk Kosmetik Impor Sebagai Bentuk Perlindungan Hak Atas Keamanan

Konsumen” belum pernah ada yang meneliti sebelumnya. Akan tetapi ada penelitian

yang berkaitan dengan pelabelan, yaitu :

1. Tesis dari Indah Febrianti pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum

Universtas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010 yang mengangkat tesis dengan

judul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dengan Adanya Sistem

Notifikasi Kosmetika Dalam Asean Harmonized Cosmetic Regulatory Scheme

(AHCRS), dengan permasalahanya yaitu (1) Apakah penerapan notifikasi

kosmetik dalam Asean Harmonized Cosmetic Regulatory Scheme (AHCRS)

di Indonesia telah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999

tentang perlindungan konsumen ? (2) Apakah sistem notifikasi kosmetik

dalam Asean Harmonized Cosmetik Regulatory Scheme (AHCRS) telah

Page 24: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxiv

menjamin hak-hak konsumen seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ?8

2. Tesis dari Anak Agung Ayu Diah Indrawati pada Program Pascasarjana

Universitas Udayana, 2011 yang meneliti tentang Perlindungan Hukum

Konsumen Dalam Pelabelan Produk Pangan, dengan rumusan masalah yaitu

(1) Apakah ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No.

69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen ?, (2)

Apakah akibat hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran

ketentuan label pangan ?9

1.7 Landasan Teori dan Kerangka Berpikir

1.7.1 Landasan Teori

Menurut Shorter Oxford Dictionary ‘teori’ mempunyai beberapa definisi yang

salah satunya lebih tepat sebagai suatu disiplin akademik “suatu skema atau sistem

gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari

sekelompok fakta atau fenomena, suatu pernyataan tentang sesuatu yang dianggap

sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang diketahui dan diamati.

Definisi lain yang diberikan oleh neuman, ‘teori’ adalah suatu sistem yang tersusun

8 Indah Febrianti, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dengan Adanya Sistem

Notifikasi Kosmetika Dalam Asean Harmonized Cosmetic Regulatory Scheme

(AHCRS),http://etd.ugm.ac.id. diakses 27 oktober.

9 Anak Agung Ayu Diah Indrawati, Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Pelabelan

Produk Pangan, Tesis S2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Page 25: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxv

oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide

yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia.10Sedangkan

Kerlinger mendefinisikan teori sebagai :

“A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and

propositions that present a systematic view of phenomena by specifying

relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the

phenomena”.11

Teori juga sangat diperlukan dalam penulisan karya ilmiah dalam tatanan

hukum positif konkrit. Hal ini sesuai dengan pendapat Jan Gijssels dan Mark Van

Koecke ”Eendegelijk inzicht indeze rechtsteoretissche kwesties wordt blijkens het

voorwoord beschouwd alseen noodzakelijke basis voor elke wetenschappelijke studie

van een konkreetpositief rechtsstelsel”12 (dalam teori hukum diperlukan suatu

pandangan yang merupakan pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada sebagai

dasar dari studi)

Kerangka Teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat,

cara, aturan, azas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi

landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.

Pada umumnya teori bersumber dari Undang-undang, buku atau karya tulis bidang

ilmu, dan laporan penelitian .teori menjembatani harapan dan kenyataan. Dalam teori

hukum positif, harapan itu tergambar dalam ketentuan Undang-undang (Das Sollen),

10Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan,

dan Membuka Kembali), Refika Aitama, Bandung, hal. 22

11 Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,

hal. 140 12 Jan Gijssels en Mark Van Koecke, 1982, What Is Rechtsteorie?, Antwepen, Nederland, hal.

57

Page 26: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxvi

sedangkan kenyataan berupa perilaku (Das Sein).

Landasan teori adalah landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori yang

sering diperlukan sebagai tuntunan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam

sebuah penelitian.Landasan teori berupa perangkat konsep, definisi, dan proposisi

yang menyajikan gejala secara sistematik dan merinci hubungan variabel-variabel

untuk meramalkan dan menerangkan gejala tersebut.13

Terkait dengan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini, akan digunakan

berupa teori, konsep, dan pandangan para ahli sebagai landasan teoritis. Berikut ini

adalah uraian mengenai landasan teoritis yang digunakan:

1. Teori Sistem Hukum

Untuk menjawab implementasi ketentuan pencantuman label berbahasa

Indonesia pada produk kosmetik impor, dalam hal ini setidaknya perlu dilakukan

pengkajian terhadap syarat elemen subtansi dari suatu sistem hukum yang ada.

Berkaitan dengan hal tersebut, Lawrence M. Friedman dalam teorinya tentang

sistem hukum mengemukakan bahwa setidaknya terdapat tiga elemen sistem hukum

dalam suatu Negara yang turut menentukan efektivitas dari suatu ketentuan hukum

yang terdiri dari struktur (structure), Substansi (substance), dan budaya hukum (legal

13Universitas Udayana,2010, Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program

Magister Ilmu Hukum, hal. 12

Page 27: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxvii

culture).14 Menurut Friedman yang dimaksud dengan komponen sistem hukum

tersebut yakni:15

a. Struktur hukum adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, jadi

termasuk di dalamnya kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan

jaksanya, pengadilan dengan hakimnya, dan seterusnya. Komponen struktur

dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi (lembaga) yang

diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsinya

dalam mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut.

b. Substansi hukum adalah keseluruhan aturan hukum (termasuk asas hukum

dan norma hukum), baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan

pengadilan. Subtansi hukum ini juga mencakup hukum yang hidup di tengah

masyarakat bukan hanya pada aturan-aturan yang ada didalam buku-buku

hukum/ undang-undang/ putusan hakim. Komponen substansi hukum ini

relevan untuk membahas rumusan masalah yang pertama, substansi hukum

yaitu undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

berkaitan dengan pencantuman label berbahasa Indonesia pada kemasan

produk kosmetik impor,jika substansi hukumnya tidak mengatur maka

perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna kosmetik impor akan

lemah.

14 Lawrence M. Firedman Sebagaimana yang diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, 2001,

American Law an Introduction, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, PT. Tatanusa, Jakarta, hal. 7

15Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, hal.225.

Page 28: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxviii

c. Kultur hukum mencakup nilai-nilai dalam masyarakat yang mendasari hukum

yang berlaku. Mengenai pengertian kultur hukum ini Friedman menyatakan:

Besides structure and subtance, then, there is a third and vital element of the

legal system. It is the element of demand. What creates a demand? One factor,

for what of a better term, we call ‘the legal culture’. By this we mean ideas,

attitudes, beliefs, expectations and opinions about law.

Cara lain dalam mengambarkan 3 (tiga) unsur hukum itu oleh Friedman,

adalah struktur hukum diibaratkan seperti mesin, subtansi hukum diibaratkan sebagai

apa yang dikerjakan dan apa yang dihasilkan mesin tersebut, sedangkan kultur atau

budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk

menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaiamana mesin

tersebut digunakan.

2. Teori Perlindungan Konsumen

Teori perlindungan konsumen terdiri dari :

A. Teori Kontrak

a. Kewajiban untuk memenuhi (The duty to comply)

Kewajiban moral utama para pelaku bisnis menurut teori kontrak adalah

kewajiban menyediakan bagi konsumen produk produk yang sesuai dengan klaim

perusahaan yang dinyatakan secara jelas mengenai produk produk tersebut, yang

memungkinkan konsumen memasuki kontrak secara bebas dan membentuk

pemahaman konsumen mengenai apa yang dia setujui untuk dibeli. Seorang pelaku

Page 29: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxix

bisnis memiliki kewajiban untuk memenuhi produk yang berkualitas bagi

konsumennya. Produk itu dapat digunakan dan aman bagi konsumennya.16

b. Kewajiban untuk mengungkapkan (The duty of disclosure)

Kesepakatan tidak dapat mengikat kecuali kedua belah pihak yang terlibat

dalam kesepakatan itu mengetahui apa yang mereka lakukan dan secara bebas

memilih untuk melakukannya. Ini berarti bahwa penjual yang bermaksud untuk

memasuki kontrak dengan konsumen memiliki kewajiban untuk mengunkapkan apa

yang pelanggan secara jelas produk ynag akan dibeli oleh pelanggan dan syarat-syarat

pembelian. Seorang penjual memiliki kewajiban untuk menyampaikan kepada

pembeli setiap fakta tentang produk. Informasi yang diungkapkan oleh seorang

penjual akan mempengaruhi keputusan konsumen untuk memesan atau membeli

barang tersebut.

c. Kewajiban untuk tidak disalahartikan (The duty not to misrepresent)

Salah dalam menggambarkan sebuah produk, bahkan lebih dari kegagalan

untuk mengungkapkan informasi. Kesalahan ini akan mengakibatkan kebebasan

untuk memilih menjadi mustahil. Konsumen tidak akan memilih berdasarkan

pengetahuan yang benar mengenai sebuah produk. Dan dalam hal ini tidak akan ada

kebebasan untuk memilih. Kebebasan memilih merupakan sesuatu yang esensial

untuk mengadakan sebuah kontrak.Sebuah tindakan yang dengan sengaja memberi

16 Velazuez, Manuel G. Etika Bisnis : Konsep dan Kasus (Edisi Ke-5). Diterjemahkan oleh

Ana Purwaningsih, Kurnianto, dan Totok Budi Santoso, Yogyakarta; Penerbit Andi, 2005, hal.137.

Page 30: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxx

gambaran yang tidak tepat mengenai sebuah produk atau komoditi tidak pernah

dibenarkan secara etis.

d. Kewajiban untuk tidak memaksa (The duty not to coercive)

Orang sering bertindak secara tidak rasional bila berada dibawah pengaruh

ketakutan atau tekanan emosional.Seorang penjual dalam hal ini tidak dibenarkan

secara etis untuk memanfaatkan kecemasan, ketakutan atau tekanan emosinal yang

dialami oleh konsumen untuk membeli komoditi yang dijual Kalau penjual

memanfaatkan itu, berarti penjual memaksakan kehendaknya kepada konsumen.

B. The due care theory

Teori perhatian semestinya mengenai kewajiban para pelaku bisnis terhadap

konsumen didasari pada gagasan bahwa konsumen dan pelaku bisnis atau penjual

tidak berada dalam secara equal.Dlama kondisi ini kepentingan konsumen secara

khusus sangat rentan untuk disalahgunakan oleh para pelaku bisnis atau penjual. Di

satu pihak para penjual memiliki pengetahuan dan keahlian mengenai barang

komoditi yang dijual, sedangkan pada pihak yang lain konsumen tidak memiliki

pengetahuan dan keahlian mengenai produk yang akan mereka beli. Oleh karena para

pelaku ekonomi berada dalam posisi yang menguntungkan, mereka memiliki

kewajiban untuk memberikan perhatian ang khusus untuk menjamin kepantingan

konsumen untuk tidak disalahgunakan.Konsumen sangat bergantung pada keahlian

para pelaku bisnis atau penjual. Para pelaku bisnis atau penjual tidak hanya memiliki

kewajiban untuk menyampaikan produk mereka kepada konsumen, tetapi mereka

Page 31: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxxi

juga harus melaksanakan perhatian yang semestinya (to exercise due care) untuk

mencegah orang lain dari luka yang disebabkan oleh produk.

C. The social cost view of the manufacturer’s duties

Teori ini merupakan kelanjutan dari dua teori sebelumnya.Teori ini

menekankan pada kewajiban pelaku bisnis atau produsen untuk memberikan ganti

rugi terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen akibat produk yang digunakan.

3. Teori Kepastian Hukum

Teori Kepastian yang dimaksud dalam teori ini adalah tentang kepastian

hukum, yang mana artinya adalah setiap perbuatan hukum yang dilakukan seharusnya

menjamin sebuah kepastian hukum.Secara konseptual,Indroharto mengemukakan

bahwa kepastian hukum adalahkonsep yang mengharuskan, bahwa hukum objektif

yang berlaku untuk setiap orang tersebut harus jelas dan ditaati.17

Kepastian hukum atau rechtszekerheid menurut J.M.Otto, yang dikutip oleh

Tatiek Sri Djatmiati terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut:18

1. Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan yang ditetapkannegara.

2. Aparat pemerintah menerapkan aturan hukum tersebut secara konsistendan

berpegang pada aturan hukumtersebut.

3. Rakyat pada dasarnya tunduk pada hukum.

17 Indroharto,tanpa tahun, Rangkuman Asas-asas umum HukumTataUsaha Negara, Jakarta,

hal.212-213

18 Tatiek Sri Djatmiati, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi,PPS Unair,

Surabaya, hal. 18

Page 32: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxxii

4. Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkanaturan

hukum tersebut.

5. Putusan hakim dilaksanakan secara nyata

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka jaminan kepastian hukum menjadi

prasyarat dalam implementasi Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila

dan UUD1945. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya tata kehidupan

bernegara dan berbangsa yang adil dan sejahtera, aman, tenteram dan tertib, serta

memberikan kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat. Peraturan

Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan

berdasarkan latar belakang antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status

sosial.

Hal itu menunjukan bahwa kepastian hukum akan terjamin bilamana aturan

hukumnya tidak bermasalah dan setiap warganegara dan pejabat-pejabat

pemerintahan menjunjung tinggi dan menjalankan aturan hukum yang berlaku.

Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga

siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu

dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber

keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang

mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan

Page 33: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxxiii

kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan kewajiban

setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada.

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan

arah/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati, karenanya penelitian ini

diarahkan pada ilmu hukum positif yang berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen khususnya Pasal 8 Ayat 1 Huruf yang

mengatur tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha bahwa Pelaku Usaha

dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak mencantumkan

informasi petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.Makatelah timbul hubungan hukum

yaitu adanya hak dan kewajiban antara pelaku usaha dengan konsumen yang

melahirkan aturan hukum untuk membuktikan jaminan kepastian hukum.

Page 34: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxxiv

1.7.2 Kerangka Berpikir

1

Implementasi Ketentuan Pencantuman Label Berbahasa Indonesia

Pada Kemasan Produk Kosmetik Impor Sebagai Bentuk

Perlindungan Hak Atas Keamanan Konsumen

Perlindungan hukum bagi konsumen

terhadap produk kosmetik impor yang tidak

berlabel Bahasa Indonesia

Efektivitas ketentuan Pasal 8 Ayat 1

Huruf J UUPK tentang pencantuman

label Bahasa Indonesia terhadap

kemasan produk kosmetik impor

Teori Perlindungan

Konsumen

Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen

Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia

73/M-DAG/PER/9/2015 Tentang Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa

Indonesia Pada Barang

Pasal 22 Ayat 2 Keputusan Kepala BPOM RI No.HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik

Hasil Penelitian

Kesimpulan dan Saran

Teori Sistem Hukum Teori Kepastian Hukum

Page 35: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxxv

Keterangan Kerangka Berpikir

Pada penelitian karya ilmiah implementasi ketentuan pencantuman label

berbahasa Indonesia pada kemasan produk kosmetik impor sebagai bentuk

perlindungan hak atas keamanan konsumen dengan rumusan masalah Efektivitas

ketentuan Pasal 8 Ayat 1 Huruf J UUPK tentang pencantuman label Bahasa Indonesia

terhadap kemasan produk kosmetik impor akan ditinjau dengan menggunakan teori

efektivitas dan keberlakuan hukum. Alasan menggunakan teori sistem hukum karena

penulis berpendapat bahwa ketentuan mengenai label merupakan elemen substansi

dalam sistem hukum. Kemudian selanjutnya menggunakan teori perlindungan

konsumen diharapkan dapat menjadi pedoman, baikbagi masyarakat maupun bagi

aparatur hukum dalam mengambil keputusan dengan di undangkannya Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ini berarti baik

konsumen maupun pelaku usaha telah dilindungi secara hukum, namun pada

kenyataannya banyak konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha dengan

memproduksi produk kosmetik tanpa menggunakan label bahasa Indonesia.

Untuk memecahkan rumusan yang kedua yaitu perlindungan hukum bagi

konsumen terhadap produk kosmetik impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia

digunakan Teori Kepastian Hukum. Alasan peneliti menggunakan teori kepastian

hukum yaitu untuk menjamin adanya kepastian hukum dengan

memberikanarah/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati terutama peredaran

kosmetik impor yang belum mencantumkan label bahasa Indonesia.

Page 36: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxxvi

1.8 Metode Penelitian

Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan

menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologi dan

sistematis.Metodelogi berarti menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah

sedangkan sistematis berarti sesuai pedoman/aturan penelitian yang berlaku untuk

karya ilmiah.19

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu

atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.Kecuali itu, maka

juga dikatakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tertentu kemudian

mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di

dalam gejala yang bersangkutan.20

Sebelum mengadakan penelitian, harus dipahami terlebih dahulu mengenai

metode. Metode adalah alat untuk mencari jawaban dari suatu permasalahan, oleh

karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu apa yang dicari.21Agar dapat

dipercaya kebenarannya suatu penelitian ilmiah harus disusun dengan menggunakan

suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat

memahami obyek menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.

19 Sutrisno Hadi, 2002, Metodologi Research, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 4

20 Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal. 43 21 Setiono, 2001, Pemahaman Terhadap Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Jakarta,

hal. 1

Page 37: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxxvii

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian pada dasarnya merupakan, suatu upaya pencarian dan bukannya

sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu obyek yang mudah terpegang, di

tangan. Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu research,yang

berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Dengan demikian secara

logawiyah berarti “mencari kembali”.22

Menurut H.L. Manheim, suatu penelitian pada dasarnya merupakan,… the

careful, deligent, and exchaustive investigation of scientific subject matter, having, as

its aim the advancement of mandkind’s knowledge.23Hakekat penelitian adalah

berlandaskan suatu ketelitian, ketekunan, dan kesempurnaan dalam melakukan

penelitian atas permasalahan yang dibahas dalam topik penelitian secara ilmiah

hendak menambah pengetahuan setiap peneliti setelah tujuan penelitian tersebut

terpenuhi.Tujuan penelitian tentu saja untuk menemukan, mengembangkan dan

menguji kebenaran terhadap suatu masalah.

Dalam penelitian hukum empiris dapat dipakai berbagai jenis

penelitiandiantaranya penelitian berlakunya hukum dan penelitian yang bertujuan

untukmengidentifikasi hukum yang hidup.24 Penelitian hukum empiris terdiridari 4

komponen yaitu :

22 Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta,

hal. 28

23Ibid, hal. 29 24Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi, Penelitian Hukum Empiris Murni, Sebuah

Page 38: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxxviii

1) penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidaktertulis),

2) penelitian terhadap efektifitas hukum,

3) penelitian perbandinganhukum,

4) dan penelitian sejarah hukum.25

Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah jenis penelitian hukum

empiris, yaitu dengan melihat permasalahan dari kenyataan yang ada dalam

masyarakat dan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat

ini, yakni mengenai adanya kesenjangan antarapada penerapan ketentuan

pencantuman label yang tidak sesuai dengan pasal Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-

Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 2,Pasal 3 dan Pasal4 Peraturan Menteri

Perdagangan Republik Indonesia Nomor 73/M-DAG/PER/9/2015 Tentang

Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa Indonesia Pada Barang, serta Pasal 22

Ayat 2 Keputusan Kepala BPOM RI No.HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik, tetapi

pada praktek atau kenyataannya banyak produk kosmetik impor yang beredar di

pasaran belum mencantumkan penggunaan bahasa Indonesia pada

kemasannya.Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang objek kajiannya

meliputi ketentuan dan mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum

Alternatif, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, hal.42

25HAL.Zainuddin Ali,M.A, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-2, Sinar Grafika,

Jakarta, hal.30

Page 39: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xxxix

normatif (kodifikasi, Undang-Undang atau kontrak) secara in action/in abstracto

pada setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat (in concreto).26

1.8.2 Sifat Penelitian

Menurut Amiruddin dan Zainal Asikin, dilihat dari sudut sifatnya penelitian

dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu :

1. Penelitian yang bersifat eksploratif (penjajakan atau penjelajahan), yang

umumnya dilakukan terhadap pengetahuan yang masih baru, belum banyak

ditemukan informasi mengenai masalah yang diteliti, atau bahkan belum ada

sama sekali, seperti belum adanya teori-teori dan norma-norma. Kalaupun

ada namun hal itu masih relatif sedikit. Oleh karena itu dalam penelitian ini

tidak menggunakan hipotesis.

2. Penelitian yang bersifat deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan

secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau suatu kelompok tertentu,

atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada

tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam

masyarakat. Dalam penelitian ini teori-teori, ketentuan peraturan, norma-

norma hukum, karya tulis yang dimuat, baik dalam literature maupun jurnal,

doktrin serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada, bahkan

jumlahnya cukup memadai. Sehingga dalam penelitian ini hipotesis tidak

26Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,

hal. 134

Page 40: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xl

mutlak harus diperlukan, atau dengan kata lain hipotesis boleh ada boleh juga

tidak.

3. Penelitian yang bersifat eksplanatif (menerangkan) bertujuan menguji

hipotesis-hipotesis tentang ada tidaknya hubungan sebab akibat antara

berbagai variabel yang diteliti. Dengan demikiaan penelitian ini baru dapat

dilakukan apabila informasi-informasi tentang masalah yang diteliti sudah

cukup banyak, yaitu adanya beberapa teori tertentu dan telah ada berbagai

penelitian empiris yang menguji berbagai hipotesis tertentu.27

Sifat penelitian dalam penulisan karya ilmiah ini bersifat deskriptif, karena ingin

menggambarkan kenyataan yang terjadi.Penelitian deskriptifmerupakan penelitian

yang bertujuan melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu pada saat tertentu

dan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala

lainnya dalam masyarakat.28

1.8.3 Data dan Sumber Data

Dalam penelitian hukum ini data yang digunakan adalah data primer

(lapangan) dan data sekunder (kepustakaan ) yaitu sebagai berikut:

Data Primer adalah data yang diperoleh peneliti dari tangan pertama,

dan sumber asalnya yang pertama belum diolah dan diuraikan oleh orang

lain, yang didapat langsung dari hasil wawancara dari pihak-pihak informan

dan responden yang ada pada lokasi penelitian tersebut.Informan, adalah

27Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal. 25.

28Bambang Waluyo, Op.cit, hal. 8.

Page 41: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xli

orang atau individu yang memberikan informasi data yang dibutuhkan oleh

peneliti sebatas yang diketahuinya.Responden, adalah seseorang atau

individu yang mengetahui dan mengalami langsung suatu kejadian.29

Sumber data primer dari penelitian ini dengan melakukan penelitian yang

berlokasi di Kota Denpasar Provinsi Bali. Informan pada penelitian iniadalah

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Kota Denpasaryaitu Bapak I Putu

Mahentoro selaku Staf Penyidikan pada Balai Besar POM Denpasar dan

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Denpasar yaitu Bapak I Wayan

Riyona selaku Kasi Perlindungan Konsumen pada Disperindag Kota

Denpasar, sedangkan responden dalam penelitian ini adalahpara konsumen

kosmetik impor. Untuk memenuhi penelitian ini, kuisioner disebar ke 100

orang responden.

Data Sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan

yaitu dengan meneliti bahan-bahan hukum, yang terdiri dari :

(1) Bahan-Bahan Hukum Primer, yaitu :

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

c. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen;

d. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

29 Soerjono Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum, UI press, Jakarta, (selanjutnya disebut

Soerjono Soekanto II) hal. 174

Page 42: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xlii

e. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor73/M-

DAG/PER/9/2015 Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa

Indonesia Pada Barang

f. Keputusan Kepala BPOM RI No.HK.00.05.4.1745 tentang

Kosmetik

(2) Bahan-bahan Hukum Sekunder, yaitu :

Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari literatur-literatur, buku-buku,

makalah, dan jurnal yang ditulis oleh para ahli dan dokumen-dokumen

yang berkenaan dengan masalah yang dibahas. Menurut Robert Watt

bahan hukum sekunder adalah “all of the other materials in the library

are used basically to assist researcher in understanding the law and this

group se call secondary materials”.30 Terjemahan bebasnya adalah

semua bahan-bahan lain di perpustakaan pada dasarnya digunakan untuk

membantu peneliti memahami hukum dan kelompok ini disebut bahan-

bahan sekunder.

(3) Bahan-bahan Hukum Tertier, yaitu :

Bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahanhukum primer dan bahan hukum sekunder yang meliputi :

a. Kamus Hukum,

b. Kamus Bahasa Indonesia,

c. Kamus Bahasa Ingris-Indonesia.

30Robert Watt, 2001, Concise Legal Research, The Federation Press, Leinchrdt, NSW, hal.1.

Page 43: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xliii

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data primer yang dipergunakan dalam penelitian

ini adalah dengan metode wawancara dengan mewawancarai para responden

maupun informan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

Jenis wawancara yang dipergunakan adalah wawancara terstruktur, yang telah

disusun terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dan semua

yang diwawancarai ditanyakan dengan pertanyaan yang sama. Dengan tehnik

wawancara ini akan lebih mudah mendapatkan informasi yang diinginkan,

menurut pendapat yang dikemukakan oleh William D. Crano dan Marilyn B.

Brewer, bahwa : “in survey research, personal contact is achieve higher

response rates than the more impersonal question approach”31 terjemahan

bebas penulis bahwa dalam penelitian lapangan, wawancara secara pribadi

memberikan respon yang lebih tinggi dari pada tidak dengan melakukan

wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara adalah pihak yang

mengajukan pertanyaan dan terwawancara adalah pihak yang memberikan

31Crano, William D. and Brewer, Marilyn B., 2002, Principles and Methodes of Social Research,

Lowrence Erlbaum Associates, Mahwah, New Jersey, hal. 223.

Page 44: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xliv

jawaban atas pertanyaan itu.32Tehnik pengumpulan data sekunder dalam

penelitian ini menggunakan tehnik studi dokumen melalui kepustakaan

dipergunakan dengan cara mencatat data-data yang bersumber pada bahan

hukum primer maupun dari bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku

tulisan dari para sarjana dan bahan hukum tersier yang berupa kamus dan

ensiklopedia.

1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Adapun lokasi Penelitian dalam penyusunan tesis ini pada beberapa

swalayan dan toko-toko kosmetik yang berada di Kota Denpasar yaitu

Matahari Departmen Store dan Tiara Dewata.Terpilihnya lokasi tersebut

sebagai lokasi penelitian dikarenakan banyaknya dijual produk kosmetik impor

yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada swalayan tersebut.

Selain itu Selain itu penelitian ini juga dilakukan di Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Kota Denpasar dan BBPOM (Balai Besar Pengawas Obat dan

Makanan) sebagai instansi pengawas peredaran kosmetik impor.

Dalam Penelitian ini metode sampel yang digunakan adalah sampel

secara Non Random Sampling, yaitu suatu cara menentukan sampel dimana

peneliti telah menentukan atau menunjuk sendiri sampel dalam penelitiannya.33

32Lexy J. Moleong, 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, PT. Remaja Rosdakarya,

Cet. XXXI, Bandung, hal. 186. 33Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, hal. 98.

Page 45: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xlv

1.8.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan

data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisa.34 Setelah data

dikumpulkan kemudian data diolah secara kualitatif dengan melakukan studi

perbandingan antara data lapangan dengan data kepustakaan sehingga akan

diperoleh data yang bersifat saling menunjang antara teori dan praktek. Dalam

menganalisa data, setelah data terkumpul maka langkah penting selanjutnya

adalah analisis data.35 Analisis data yang dipergunakan dalam peneltian ini

adalah analisis deskriptif, yaitu data yang telah dikumpulkan baik dari

penelitian lapangan maupun kepustakaan di olah dengan pendekatan

kualitatif dan disajikan secara deskriptif sesuai dengan hasil penelitian

lapangan dan kepustakaan untuk memperoleh kesimpulan yang tepat dan

logis sesuai dengan permasalahan yang dikaji.36

34Bambang Waluyo, op.cit, hal. 72. 35Ibid, hal 19. 36Zainuddin Ali, 2013, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 107.

Page 46: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang menyatakan bahwa

xlvi