› xmlui › bitstream › handle... · BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah2020-01-15 ·...
Transcript of › xmlui › bitstream › handle... · BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah2020-01-15 ·...
13
BAB II
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Transfer Pricing
2.1.1 Pengertian Transfer Pricing
Pengertian transfer pricing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengertian
yang bersifat netral dan pengertian yang bersifat pejorative. Pengertian netral
mengasumsikan bahwa transfer pricing adalah strategi dan taktik bisnis tanpa
motif pengurangan beban pajak. Sedangkan pengertian pejorative mengasumsikan
transfer pricing sebagai upaya untuk menghemat beban pajak dengan cara
menggeser laba ke negara yang mempunyai tarif pajak yang rendah (Suandy,
2011).
Menurut Gunadi dalam Suandy (2011) menyatakan bahwa transfer pricing
adalah penentuan harga atas penyerahan barang, imbalan atas penyerahan jasa
atau pengalihan teknologi antarperusahaan yang mempunyai hubungan istimewa.
Transfer pricing adalah kebijakan suatu perusahaan dalam menentukan harga
transfer suatu transaksi. Transfer pricing dapat terjadi dalam satu perusahaan
(intracompany) dan antarperusahaan (intercompany) yang terikat dalam hubungan
istimewa (Ikatan Akuntan Indonesia, 2013).
Pengertian transfer pricing sebagai harga yang ditimbulkan akibat
penyerahan barang, jasa dan teknologi, seperti yang telah disebutkan di atas
merupakan pengertian yang netral. Akan tetapi, istilah transfer pricing sering
dikonotasikan sebagai sesuatu yang tidak baik (abuse of transfer pricing), yaitu
13
14
pengalihan atas penghasilan kena pajak (taxation income) dari suatu perusahaan
multinasional ke negara-negara yang tarif pajaknya rendah dalam rangka untuk
mengurangi total beban pajak. Manipulasi transfer pricing dapat dilakukan
dengan cara memperbesar biaya atau memperkecil penjualan melalui mekanisme
harga transfer dengan tujuan untuk mengurangi pembayaran pajak. Hal ini
dikarenakan dengan memperkecil jumlah pajak yang terutang, keuntungan yang
diterima oleh perusahaan multinasional akan semakin besar (Darussalam dan
Septriadi, 2008).
Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk antara
(intermediate product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang dipasok
oleh divisi penjual kepada divisi pembeli. Pasal 1 ayat (8) Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 yang diubah terakhir dengan PER-
32/PJ/2011, mendefinisikan penentuan harga transfer (transfer pricing) sebagai
penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.
Transfer pricing dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
intracompany transfer pricing dan intercompany transfer pricing. Intracompany
transfer pricing merupakan transfer pricing antardivisi dalam satu perusahaan.
Sedangkan Intercompany transfer pricing merupakan transfer pricing antara dua
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, baik berada dalam satu negara
(domestic transfer pricing) maupun berada di negara yang berbeda (international
transfer pricing) (Ikatan Akuntan Indonesia, 2013).
15
Transfer pricing, terutama international transfer pricing, dapat
menimbulkan permasalahan apabila digunakan untuk kepentingan penghindaran
pajak. Dengan international transfer pricing, perusahaan-perusahaan yang berada
pada negara yang berbeda dapat mengatur harga transfer sedemikian rupa
sehingga perusahaan yang berada di negara yang tarif pajaknya rendah
mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya, sedangkan perusahaan di
negara yang tarif pajaknya lebih tinggi mendapatkan keuntungan yang serendah-
rendahnya (Ikatan Akuntan Indonesia, 2013).
Domestic transfer pricing bisa juga digunakan untuk menghindari pajak,
meskipun dalam jumlah yang tidak signifikan, dengan cara menetapkan harga
transfer sedemikian rupa sehingga penghasilan kena pajak tersebar merata pada
perusahaan-perusahaan terkait untuk mengurangi kemungkinan terkena tarif pajak
progresif tertinggi dan laba dapat dialihkan kepada perusahaan yang masih berhak
menikmati kompensasi kerugian (Ikatan Akuntan Indonesia, 2013).
2.1.2 Tujuan Transfer Pricing
Secara umum, tujuan penetapan transfer pricing adalah untuk
mentransmisikan data keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-
divisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu
sama lain (Simamora dalam Mangoting, 2000). Selain tujuan tersebut, transfer
pricing terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi
manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang
serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan.
16
Dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan untuk
meminimalkan beban-beban pajak, pengendalian devisa, dan berkenaaan dengan
risiko pengambilalihan oleh pemerintah asing. Fenomena perusahaan
multinasional dalam ekspansinya cenderung mengoperasikan usahanya secara
desentralisasi dan melaksanakan konsep cost revenue profit atau corporate profit
center concept, yang dapat mengukur dan menilai kinerja dan motivasi setiap
divisi atau unit yang bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan.
(Suandy, 2011).
Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan multinasional
yang menggunakan transfer pricing adalah memaksimalkan penghasilan dengan
merelokasi penghasilan globalnya ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak
rendah (low tax countries) dan menggeser-geser biaya dalam jumlah yang lebih
besar ke negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries).
2.1.3 Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional (multinational company–MNC atau
multinational enterprise–MNE) adalah perusahaan yang beroperasi melewati
lintas batas antarnegara, yang terikat hubungan istimewa, baik karena penyertaan
modal saham, pengendalian manajemen, atau penggunaan teknologi, dengan
membuka cabang perusahaan, mengorganisasikan anak perusahaan, atau
melakukan kontrak keagenan, dan sebagainya, dengan berbagai tujuan, antara lain
meminimalkan pajak perusahaan (Suandy, 2011)
17
2.1.4 Hubungan Istimewa
Hubungan istimewa terjadi antara induk perusahaan dengan anak
perusahaannya atau dengan cabang-cabangnya atau perwakilannya, baik yang
berada di dalam negeri maupun yang berada di luar negeri (Suandy, 2011).
Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan, hubungan istimewa dianggap ada, apabila:
1) Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada wajib pajak lain, atau
hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) pada dua wajib pajak atau lebih, demikian pula hubungan
antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan
yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
secara langsung ataupun tidak langsung.
2) Wajib pajak yang menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih wajib
pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di
bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa
perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut. Hubungan
istimewa di antara wajib pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan
kepemilikan.
18
3) Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah
ayah, ibu, dan anak. Sementara itu, hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan ke samping satu derajat adalah saudara. Sedangkan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri.
Sementara itu, hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping
satu derajat adalah ipar.
2.1.5 Pihak-pihak Berelasi
Penggunaan kata “hubungan istimewa” dalam akuntansi sudah tidak
digunakan lagi tetapi menggunakan istilah “berelasi” merujuk pada istilah bahasa
Inggris yang menggunakan kata “related party”. Pihak-pihak berelasi
didefinisikan secara luas dalam PSAK 7. Terdapat perbedaan definisi pihak-pihak
berelasi atau pihak mempunyai hubungan istimewa yang diatur dalam regulasi
perpajakan dengan definisi yang diatur dalam PSAK 7 (revisi 2013) tentang
Pengungkapan Pihak-Pihak Berelasi.
Pada paragraf 9 dari PSAK 7 (revisi 2013), pihak-pihak berelasi
didefinisikan sebagai orang atau entitas yang terkait dengan entitas tertentu dalam
menyiapkan laporan keuangannya (dalam pernyataan ini dirujuk sebagai “entitas
pelapor”), yaitu:
a. Orang atau anggota keluarga terdekat berelasi dengan entitas pelapor jika
orang tersebut:
19
i. Memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor;
ii. Memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau
iii. Personal manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas
pelapor.
b. Suatu entitas berelasi dengan entitas pelapor jika memenuhi hal-hal berikut:
i. Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang
sama (artinya entitas induk, entitas anak, dan entitas anak berikutnya
terkait dengan entitas lain).
ii. Satu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas lain
(atau entitas asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota
suatu kelompok usaha, di mana entitas lain tersebut adalah anggotanya).
iii. Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang
sama.
iv. Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang
lain adalah entitas asosiasi dari entitas ketiga.
v. Entitas tersebut adalah suatu program imbalan kerja untuk imbalan kerja
dari salah satu entitas pelapor atau entitas yang terkait dengan entitas
pelapor. Jika entitas pelapor adalah entitas yang menyelenggarakan
program tersebut, entitas sponsor juga terkait dengan entitas pelapor.
vi. Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang
diidentifikasi dalam butir (a).
20
vii. Orang yang diidentifikasi dalam butir (a) (i) memiliki pengaruh
signifikan terhadap entitas atau anggota manajemen kunci entitas (atau
entitas induk dari entitas).
Hubungan istimewa dengan suatu pihak dapat mempunyai dampak atas
posisi keuangan dan hasil usaha perusahan pelapor. Pihak-pihak berelasi dapat
melakukan transaksi yang tidak akan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa. Transaksi antara pihak-pihak berelasi juga dapat
dilakukan dengan harga yang berbeda dengan transaksi serupa yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Sebagai contoh,
anak perusahaan yang biasanya menjual produknya ke pihak independen dengan
harga jual normal, mungkin akan diminta untuk menjual produknya ke induk
perusahaan dengan harga pokok saja. Namun bisa saja dua perusahaan yang
berelasi memiliki transaksi yang tidak istimewa. Contohnya adalah anak
perusahaan yang menjual dengan harga jual normal kepada induknya. Mengingat
dampak dari hubungan istimewa dengan suatu pihak, PSAK 7 mensyaratkan
pengungkapan informasi tertentu dari pihak-pihak berelasi. (Juan dan Wahyuni
dalam Lingga, 2012).
2.1.6 Transaksi Transfer Pricing
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011
Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi
antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dalam
21
hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) atau
Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
hanya berlaku untuk transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak dengan pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa untuk memanfaatkan perbedaan tarif
pajak yang disebabkan antara lain:
1. Perlakuan pengenaan pajak penghasilan final atau tidak final pada sektor
usaha tertentu;
2. Perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM); atau
3. Transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerjasama
Migas.
2.1.7 Metode Penentuan Transfer Pricing
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011,
terdapat beberapa jenis metode penentuan harga transfer (transfer pricing) yang
dapat dilakukan, yaitu:
1. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price/CUP)
Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price) atau disingkat metode CUP adalah metode penentuan
harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
22
dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.
2. Metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM)
Metode harga penjualan kembali (resale price method) atau disingkat metode
RPM adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan
membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga jual kembali
produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan
fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak
lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali
produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.
3. Metode biaya plus (cost plus method/CPM)
Metode biaya plus (cost plus method) atau metode CPM adalah metode
penentuan harga transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba
kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang
diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai
dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
4. Metode pembagian laba (profit split method/PSM)
Metode pembagian laba (profit split method) atau metode PSM adalah metode
penentuan harga transfer berbasis laba transaksional (transactional profit
method) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi
23
afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara
ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan
terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa.
5. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM)
Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method) atau
disingkat TNMM adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan
dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya,
terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi
antara pihak pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan persentase
laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain
yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau persentase laba bersih operasi
yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa lainnya.
2.2 Pajak
2.2.1 Pengertian Pajak
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak didefinisikan sebagai
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
24
besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan menurut Soemitro dalam Mardiasmo
(2011) pajak adalah iuran masyarakat kepada negara yang dapat dipaksakan
dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) secara langsung dapat rasakan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum pemerintah.
Dengan demikian, pajak adalah peralihan uang atau harta dari sektor swata
atau individu ke sektor pemerintah atau masyarakat tanpa ada imbalan yang secara
langsung dapat ditunjukan. Dari berbagai definisi menurut para pakar, terdapat
ciri-ciri yang melekat pada pajak, yaitu:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
2. Pajak bersifat memaksa
3. Pembayar pajak tidak mendapat kontraprestasi individual
4. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah
2.2.2 Pajak Penghasilan
Menurut peraturan perundang-undangan pajak, negara dapat memungut
pajak kepada wajib pajak baik orang pribadi maupun badan. Pajak yang dapat
dipungut diantaranya adalah pajak penghasilan. Pajak Penghasilan merupakan
salah satu pajak langsung yang dapat dipungut oleh pemerintah pusat (Resmi,
2014). Pajak Penghasilan merupakan pajak langsung. Oleh karena itu, beban pajak
tersebut menjadi tanggungan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam arti beban
pajak tersebut tidak boleh dilimpahkan pada pihak lain (Resmi, 2014). Pajak
25
Penghasilan dipungut secara periodik terhadap kumpulan penghasilan yang
diperoleh atau diterima Wajib Pajak selama satu tahun pajak.
Dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan, objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari Luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun. Sedangkan definisi pajak penghasilan adalah
suatu pungutan resmi yang ditujukkan kepada masyarakat yang berpenghasilan
atau atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam masa atau tahun
pajak untuk kepentingan negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan
bernegara sebagai suatu kewajiban (Resmi, 2014).
Pasal 1 Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) menyebutkan bahwa
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PPh
disebutkan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah (1) Orang pribadi dan
warisan yang terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; (2)
Badan; dan (3) Bentuk Usaha Tetap.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh, pengertian Badan
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun. Adapun subjek
26
pajak Badan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: Wajib Pajak Badan Dalam
Negeri dan Wajib Pajak Badan Luar Negeri.
Wajib Pajak Badan Dalam Negeri adalah badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia. Sedangkan Wajib Pajak Badan Luar Negeri
adalah badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia,
dan/atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha melalui
BUT di Indonesia.
2.2.3 Tarif Pajak Efektif
Tarif pajak efektif atau Effective tax rate (ETR) pada dasarnya adalah
sebuah persentase besaran tarif pajak yang ditanggung oleh perusahaan. Effective
tax rate (ETR) dihitung atau dinilai berdasarkan pada informasi keuangan yang
dihasilkan oleh perusahaan sehingga effective tax rate (ETR) merupakan bentuk
perhitungan tarif pajak pada perusahaan (Aunalal, 2011). Dengan adanya ETR,
maka perusahaan akan dapat mengetahui berapa bagian dari penghasilan yang
sebenarnya perusahaan bayarkan untuk pajak. Apabila perusahaan memiliki
persentase ETR yang lebih tinggi dari tarif yang ditetapkan dalam aturan
perpajakan maka perusahaan kurang memaksimalkan insentif-insentif perpajakan
yang ada, karena dengan perusahaan memanfaatkan insentif perpajakan yang ada
maka dapat memperkecil persentase pembayaran pajak dari laba komersial
(Handayani, 2013).
27
Perkembangan perpajakan dalam tax avoidance cukup monumental,
terdapat dua jenis tax avoidance, yakni tax avoidance acceptable dan tax
avoidance unacceptable (Gravelle, 2009). Dalam melakukan pengukuran Tax
Avoidance, sejumlah besar peneliti menggunakan GAAP-ETR, seperti halnya
penelitian yang telah dilakukan oleh Siegfried (1972), Kim dan Limpaphayom,
(1998), Rego (2003), Hanlon (2005), Desai dan harmapala (2006), Dyreng et al.
(2008), Richardson dan Lanis (2007; 2012; 2013), Chen et.al. (2010) dan Minnick
dan Noga (2010). Pengukuran yang dilakukan dalam penelitian Siegfried (1972),
Dyreng et al. (2008), Kim dan Limpaphayom (1998), dan Rego (2003)
menyatakan bahwa GAAP ETR merupakan salah satu pengukur tax avoidance.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa effective tax rate digunakan untuk mengukur
dampak perubahan kebijakan perpajakan atas beban pajak perusahaan bahkan
effective tax rate merupakan salah satu pengukur adanya tax avoidance (Rusydi,
2013). Berikut ini adalah rumus GAAP-ETR:
Penjelasan mengenai rumus tersebut adalah:
a. GAAP ETR adalah effective tax rate berdasarkan pelaporan akuntansi
keuangan yang berlaku;
b. Tax expense adalah beban pajak penghasilan badan untuk perusahaan i pada
tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang telah diterbitkan;
c. Pretax Income adalah pendapatan sebelum pajak untuk perusahaan i pada
tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang telah diterbitkan.
28
2.3 Tunneling Incentive
Tunneling merupakan istilah awal yang digunakan untuk menggambarkan
kondisi pengambilan aset suatu pemegang saham non pengendali di Republik
Ceko melalui pengalihan aset dan keuntungan demi kepentingan pemegang saham
pengendali (Guing dan Farahmita, dalam Noviastika et al., 2016). Tunneling
merupakan perilaku manajemen atau pemegang saham mayoritas yang
mentransfer aset dan profit perusahaan untuk kepentingan mereka sendiri, namun
biaya dibebankan kepada pemegang saham minoritas (Mutamimah, 2009).
Kemudian menurut Johnson dalam Hartati et al,. (2015), tunneling didefinisikan
sebagai transfer aset dan laba perusahaan untuk keuntungan dari pemilik
mayoritas (controlling).
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tunneling incentive
adalah suatu perilaku dari pemegang saham mayoritas yang mentransfer aset dan
laba perusahaan demi keuntungan mereka sendiri, namun pemegang saham
minoritas ikut menanggung biaya yang mereka bebankan.
Tunneling incentive muncul dalam dua bentuk, yaitu pertama, pemegang
saham pengendali dapat memindahkan sumber daya dari perusahaan ke dirinya
sendiri melalui transaksi antara perusahaan dengan pemilik. Transaksi tersebut
dapat dilakukan dengan penjualan aset, kontrak harga transfer kompensasi
eksekutif yang berlebihan, pemberian pinjaman, dan lainnya. Kedua, pemegang
saham pengendali dapat meningkatkan bagiannya atas perusahaan tanpa
memindahkan aset melalui penerbitan saham dilutif atau transaksi keuangan
29
lainnya yang mengakibatkan kerugian bagi pemegang saham non pengendali
(Johnson dalam Noviastika et al., 2016).
2.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai transfer pricing dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya seperti pajak dan tunneling incentive telah dilakukan oleh
beberapa peneliti lain, yaitu sebagai berikut.
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Peneliti Judul Hasil Penelitian
Ni Wayan Yuniasih
Ni Ketut Rasmini
Made Gede
Wirakusuma (2012)
Pengaruh Pajak dan Tunneling
Incentive pada Keputusan
Transfer Pricing Perusahaan
Manufaktur yang Listing di
Bursa Efek Indonesia
1. Pajak berpengaruh positif
pada keputusan perusahaan
untuk melakukan transfer
pricing
2. Tunneling incentive
berpengaruh positif pada
keputusan perusahaan
untuk melakukan transfer
pricing
Marfuah dan Andri
Puren Noor Azizah
(2014)
Pengaruh Pajak, Tunneling
Incentive dan Exchange Rate
Pada Keputusan Transfer
Pricing Perusahaan
1. Pajak berpengaruh negatif
signifikan terhadap
keputusan transfer pricing.
2. Tunneling incentive
berpengaruh positif
signifikan terhadap
keputusan transfer pricing.
3. Exchange Rate
berpengaruh positif tidak
signifikan terhadap
keputusan transfer pricing.
Winda Hartati,
Desmiyawati, Nur
Azlina (2014)
Analisis Pengaruh Pajak dan
Mekanisme Bonus Terhadap
Keputusan Transfer Pricing
(Studi Empiris pada Seluruh
Perusahaan yang Listing di
Bursa Efek Indonesia)
1. Pajak berpengaruh terhadap
keputusan transfer pricing
2. Mekanisme Bonus
berpengaruh terhadap
keputusan transfer pricing
Winda Hartati, Tax Minimization, Tunneling 1. Pajak berpengaruh terhadap
30
Desmiyawati, Julita
(2015)
Incentive dan Mekanisme
Bonus terhadap Keputusan
Transfer Pricing Seluruh
Perusahaan yang Listing di
Bursa Efek Indonesia
keputusan transfer pricing
2. Tunneling incentive
berpengaruh terhadap
keputusan transfer pricing
3. Mekanisme Bonus
berpengaruh terhadap
keputusan transfer pricing
Mispiyanti (2015)
Pengaruh Pajak, Tunneling
Incentive dan Mekanisme
Bonus Terhadap Keputusan
Transfer Pricing
1. Pajak tidak berpengaruh
signifikan terhadap
keputusan transfer pricing
2. Tunneling incentive
berpengaruh signifikan
terhadap keputusan transfer
pricing
3. Mekanisme Bonus tidak
berpengaruh signifikan
terhadap keputusan transfer
pricing
Dwi Noviastika F.,Yuniadi Mayowan, dan
Suhartini Karjo (2016)
Pengaruh Pajak, Tunneling
Incentive dan Good Corporate Governance (GCG) Terhadap Indikasi Melakukan Transfer
Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di
Bursa Efek Indonesia
1. Pajak berpengaruh signifikan terhadap indikasi melakukan transfer pricing.
2. Tunneling incentive berpengaruh signifikan terhadap indikasi melakukan transfer pricing.
3. Good corporate governance berpengaruh tidak signifikan terhadap indikasi melakukan transfer pricing.
2.5 Kerangka Pemikiran
2.5.1 Pajak dan Keputusan Transfer Pricing
Salah satu alasan perusahaan melakukan transfer pricing adalah pajak.
Motivasi pajak dalam transfer pricing pada perusahaan multinasional
dilaksanakan dengan cara memindahkan kewajiban perpajakannya ke negara
dengan tarif pajak rendah, dimana perusahaan memiliki grup atau divisi yang
beroperasi di negara tersebut. Perusahaan multinasional melakukan transfer
pricing untuk meminimalkan beban pajak perusahaan secara global (Gusnardi,
31
2009). Transfer antarperusahaan besar dapat mengakibatkan pembayaran pajak
lebih rendah secara global. Perusahaan multinasional memperoleh keuntungan
karena pergeseran pendapatan dari negara-negara dengan pajak tinggi ke negara
dengan pajak rendah. Beban pajak yang semakin besar memicu perusahaan untuk
melakukan praktik transfer pricing dengan harapan dapat menekan beban
tersebut. Dalam praktik bisnis, umumnya pengusaha mengidentikkan pembayaran
pajak sebagai beban sehingga akan senantiasa berusaha untuk meminimalkan
beban tersebut guna mengoptimalkan laba (Yuniasih et al., 2012). Transfer
pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan
pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser
kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi
(high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low
tax countries) (Santoso, 2004).
2.5.2 Tunneling Incentive dan Keputusan Transfer Pricing
Tunneling merupakan perilaku manajemen atau pemegang saham
mayoritas yang mentransfer aset dan profit perusahaan untuk kepentingan mereka
sendiri, namun biaya dibebankan kepada pemegang saham minoritas
(Mutamimah, 2008). Yuniasih et al., (2012) menemukan bahwa tunneling
incentive berpengaruh positif pada keputusan perusahaan untuk melakukan
transfer pricing. Hal ini dikarenakan transaksi pihak terkait lebih umum
digunakan untuk tujuan transfer kekayaan daripada pembayaran dividen karena
perusahaan yang terdaftar harus mendistribusikan dividen kepada perusahaan
32
induk dan pemegang saham minoritas lainnya. Secara sederhana dapat dijelaskan
apabila pemilik saham mempunyai kepemilikan yang besar, maka otomatis
mereka menginginkan pengembalian atau dividen yang besar pula. Untuk itu,
ketika dividen yang dibagikan perusahaan tersebut harus dibagi dengan pemilik
saham minoritas, maka pemilik saham mayoritas lebih memilih untuk melakukan
transfer pricing dengan cara mentransfer kekayaan perusahaan untuk
kepentingannya sendiri daripada membagi dividennya kepada pemilik saham
minoritas. Dengan demikian semakin besar kepemilikan pemegang saham maka
akan semakin memicu terjadinya praktik transfer pricing.
2.6 Model Konseptual
Konsep menggambarkan suatu fenomena secara abstrak yang dibentuk
dengan jalan membuat generalisasi terhadap sesuatu yang khas sehingga
mempermudah mengkomunikasikan dasar pemikiran kepada orang lain agar
mudah dimengerti oleh orang lain (Nazir dalam Noviastika, 2016). Berdasarkan
teori-teori yang telah diuraikan, dapat ditarik kerangka berpikir yang bertujuan
mempermudah analisis dengan model konseptual. Model konseptual dalam
penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1.
33
Gambar 2.1 Model Penelitian
2.7 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan, maka hipotesis
penelitian dinyatakan sebagai berikut:
H1 : Pajak berpengaruh terhadap keputusan perusahaan melakukan praktik
transfer pricing.
H2 : Tunneling incentive berpengaruh terhadap keputusan perusahaan
melakukan praktik transfer pricing.
Variabel Independen Variabel Dependen
Pajak
Tunneling Incentive
Keputusan Transfer
Pricing