A. Latar Belakangetheses.uin-malang.ac.id/1809/4/09410035_Bab_1.pdf · Guru Bimbingan dan Konseling...
Transcript of A. Latar Belakangetheses.uin-malang.ac.id/1809/4/09410035_Bab_1.pdf · Guru Bimbingan dan Konseling...
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Guru Bimbingan dan Konseling yang atau sering disebut dengan Guru BK
merupakan komponen yang sangat penting dan memiliki peran besar dalam
memberikan bantuan kepada peserta didik berupa layanan bimbingan dan
konseling. Layanan bimbingan dan konseling ini bertujuan untuk membantu
peserta didik agar dapat mengeksplorasi dan mengembangkan beberapa aspek
dalam kehidupan, yang meliputi kepribadian, sosial, kemampuan belajar dan
karir. Selain itu, guru bimbingan konseling juga bertugas untuk membina moral
peserta didik (Depdiknas No. 74 Tahun 2008).
Hal ini sesuai dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menyatakan bahwa, “Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3).
Guru bimbingan konseling memiliki aneka ragam jenis tugas namun tidak
mudah dalam menjalankannya dikarenakan terdapat beberapa permasalahan yang
terkait dengan terbatasnya jam masuk kelas bagi guru bimbingan konseling untuk
bertatap muka dengan para peserta didik. Sementara itu permasalahan yang terjadi
pada peserta didik sekarang sudah semakin kompleks. Dan bukan hanya
permasalahan itu, di era sekarang jumlah guru bimbingan konseling semakin
terbatas bahkan tak tabu lagi jika ada sekolahan yang masih belum memiliki guru
bimbingan konseling karena kurangnya kesadaran dari masyarakat dan guru-guru
2
lain akan pentingnya guru bimbingan konseling bagi perkembangan peserta didik
(Kusmaryani, 2009:2). Sehingga kondisi ini menyebabkan beban tugas guru
bimbingan konseling menjadi berat yakni yang seharusnya 1 guru bimbingan
konseling mengampu minimal 150 peserta didik menjadi diharuskan maksimal
250 peserta didik (Depdiknas, 2009:14). Permasalahan yang tidak kalah penting
adalah, banyaknya guru bimbingan konseling yang tidak memiliki latarbelakang
pendidikan bimbingan dan konseling maupun psikologi sehingga kurangnya
pengetahuan dan pengalaman yang terkait sebagai guru bimbingan konseling
(Kusmaryani, 2009:2).
Berkaitan dengan hal tersebut, agar seorang guru bimbingan konseling
dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik maka seorang guru bimbingan
konseling hendaknya memiliki salah satu prinsip yang melandasi guru dalam
melaksanakan tugas yaitu komitmen terhadap pekerjaan yang telah tercantum
pada undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pada Bab1
pasal 7 ayat 1 yakni: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
(2) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan,
ketakwaan, dan akhlak mulia; (3) memiliki kualifikasi akademik dan
latarbelakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; (4) memiliki kompetensi
yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (5) memiliki tanggung jawab atas
pelaksanaan tugas keprofesionalan; (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan
sesuai dengan prestasi kerja; (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
(8) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
3
keprofesionalan; (9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru (UU No. 14
Tahun 2005 Bab 1 Pasal 7 Ayat 1).
Menurut Robbins (1998:140), komitmen terhadap pekerjaan adalah suatu
keadaan yang menyebabkan seorang guru memihak suatu pekerjaan dan tujuan-
tujuan pekerjaan tersebut serta berniat memelihara keanggotaannya dalam
pekerjaannya. Hodge & Anthony (1988:540) juga menambahkan bahwa
komitmen terhadap pekerjaan adalah kondisi yang menggambarkan pemberian
usaha, kemampuan dan kesetiaan individu kepada pekerjaannya serta penerimaan
terhadap nilai-nilai dan tujuan pekerjaan.
Dessler (1994:2) berpendapat bahwa komitmen pada pekerjaan merupakan
kekuatan identifikasi dari keterlibatan individu dengan pekerjaannya. Komitmen
yang tinggi dicirikan dengan tiga hal, yaitu: kepercayaan dan penerimaan yang
kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai pekerjaan, kemauan yang kuat untuk bekerja
demi pekerjaan, keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota dalam
pekerjaannya. Ditambahkan pula oleh Lee et all (2000:15-32), pemahaman
mengenai komitmen terhadap pekerjaan merupakan sesuatu yang penting karena
beberapa alasan: 1) pekerjaan merupakan focus yang berarti bagi beberapa orang.
Hal ini sebagai akibat meningkatnya tingkat pendidikan dan pekerjaan yang lebih
mengkhusus; 2) komitmen terhadap pekerjaan penting karena adanya keterikatan
antara pekerjaan dan keanggotaan organisasi; 3) komitmen terhadap pekerjaan
penting karena memiliki hubungan dengan performance kerja; dan 4) konstruk
komitmen terhadap pekerjaan penting karena memberikan sumbangan pada
4
pemahaman mengenai bagaimana beberapa orang mengembangkan, merasakan
dan mengintegrasikan komitmen yang berkaitan dengan kerja yang meliputi
batas-batas organisasi.
Seorang guru bimbingan konseling yang memiliki komitmen kerja akan
berusaha dengan sungguh-sungguh demi kemajuan dan untuk mewujudkan tujuan
yang ingin dicapai oleh pekerjaannya dengan sepenuh hati. Dan akan selalu
menjaga kesetiaan diri untuk tetap menjadi guru bimbingan konseling bagi
kesejahteraan para peserta didik. Tetapi disamping itu, terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi munculnya komitmen kerja pada diri individu yang
salah satunya terkait dengan jenis kelamin seorang guru bimbingan konseling dan
jenjang jabatan yang sedang diemban.
Perbedaan jenis kelamin dapat membedakan tingkat komitmen kerja
dimana secara umum guru bimbingan konseling perempuan akan lebih mampu
bersabar dan menjalin hubungan emosional yang baik dengan peserta didik.
Menurut berita dari merdeka.com (2013), wanita memiliki sistem limbik yang
lebih besar dari pria. Ini membuat wanita lebih mudah terpengaruh oleh perasaan
dan lebih baik dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka. Tak heran
jika wanita bisa berhubungan secara mendalam dengan orang lain dan dua bagian
otak yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa terbukti juga lebih besar pada
wanita dibandingkan pria. Hal tersebut menyebabkan guru bimbingan konseling
perempuan dapat dengan mudah menyelesaikan masalah peserta didik secara
keakraban dibanding guru bimbingan konseling laki-laki.
5
Bukan hanya itu, dilihat dari jenjang instansi pekerjaan juga dapat
membedakan tingkat komitmen kerja seorang guru bimbingan konseling. Peserta
didik yang masih duduk pada jenjang SMP akan lebih memiliki masalah yang
kompleks dibanding peserta didik yang sudah duduk di jenjang SMA karena masa
SMP merupakan masa keinginan untuk mencari jati diri yang mandiri dari
pengaruh orangtua, dengan rata-rata usia yang masih labil dalam memutuskan
penyelesaian masalahnya sendiri dan perkembangan emosinya menunjukkan sifat
yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa, emosinya
bersifat negatif dan tempramental. Sedangkan pada peserta didik SMA sudah
mampu mengendalikan emosinya. Proses pencapaian kematangan emosional
sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional lingkungannya, terutama
lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya.
Menurut Yusuf, S. 2004, anak remaja usia SMP memiliki beberapa
karakteristik pertumbuhan dan perkembangan yang terus meningkat dan tidak
dapat terulang seperti:
1. Pertumbuhan fisik
Perkembangan fisik remaja jelas terlihat pada tungkai dan tangan, tulang kaki
dan tangan, serta otot-otot tubuh berkembang pesat.
2. Perkembangan seksual
Tanda-tanda perkembangan seksual pada Anak perempuan akan mendapat
menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain
itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dll. Anak
6
lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya
yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone.
3. Cara berfikir kausalitas
Remaja sudah mulai berfikir kritis. Mereka tidak akan terima jika dilarang
melakukan sesuatu oleh orang yang lebih tua tanpa diberikan penjelasan yang
logis. Misalnya, remaja makan didepan pintu, kemudian orang tua melarangnya
sambil berkata “pantang”. Sebagai remaja mereka akan menanyakan mengapa
hal itu tidak boleh dilakukan dan jika orang tua tidak bisa memberikan jawaban
yang memuaskan maka dia akan tetap melakukannya. Apabila guru bimbingan
konseling dan orang tua tidak memahami cara berfikir remaja, akibatnya akan
menimbulkan kenakalan remaja berupa perkelahian antar pelajar.
4. Emosi yang meluap-meluap
Emosi pada remaja masih labil, karena erat hubungannya dengan keadaan
hormon. Mereka belum bisa mengontrol emosi dengan baik. Dalam satu waktu
mereka akan kelihatan sangat senang sekali tetapi mereka tiba-tiba langsung
bisa menjadi sedih atau marah. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai
diri mereka daripada pikiran yang realistis. Saat melakukan sesuatu mereka
hanya menuruti ego dalam diri tanpa memikirkan resiko yang akan terjadi.
5. Perkembangan Sosial
Pada masa ini remaja mulai mencari perhatian dari lingkungannya dan
berusaha mendapatkan status atau peranan, misalnya mengikuti kegiatan
remaja dikampung dan dia diberi peranan dimana dia bisa menjalankan
peranan itu dengan baik. Sebaliknya jika remaja tidak diberi peranan, dia akan
7
melakukan perbuatan untuk menarik perhatian lingkungan sekitar dan biasanya
cenderung ke arah perilaku negatif.
Salah satu pola hubungan sosial remaja diwujudkan dengan membentuk
satu kelompok. Remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik pada kelompok
sebayanya sehingga tidak jarang orang tua dinomorduakan, sedangkan
kelompoknya dinomorsatukan. Contohnya, apabila seorang remaja dihadapkan
pada suatu pilihan untuk mengikuti acara keluarga dan berkumpul dengan
teman-teman, maka dia akan lebih memilih untuk pergi dengan teman-teman.
Pola hubungan sosial remaja lain adalah dimulainya rasa tertarik pada
lawan jenisnya dan mulai mengenal istilah pacaran. Jika dalam hal ini orang
tua atau guru bimbingan konseling kurang mengerti dan melarangnya maka
akan menimbulkan masalah sehingga remaja cenderung akan bersikap tertutup
pada orang tua mereka. Anak perempuan secara biologis dan karakter lebih
cepat matang daripada anak laki-laki.
6. Perkembangan Moral
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja
berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan
ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan
yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan
merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah
yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan
atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil
pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa
8
korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa
dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat
mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja
akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri
remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak
menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi
mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak
masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau guru bimbingan
konseling tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika
lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.
Peranan orangtua atau guru bimbingan konseling amatlah besar dalam
memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri
remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan
alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik.
Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap
kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan
mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa
menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak
diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik
dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.
7. Perkembangan Kepribadian
Dalam hal ini amatlah penting bagi remaja untuk tidak menilai seseorang
berdasarkan penampilan semata, sehingga orang yang memiliki penampilan
9
tidak menarik cenderung dikucilkan. Disinilah pentingnya guru bimbingan
konseling memberikan penanaman nilai-nilai yang menghargai harkat dan
martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal fisik seperti materi atau
penampilan.
Anak remaja usia SMA juga memiliki beberapa karakteristik pertumbuhan
dan perkembangan menurut Yusuf, S. 2004, yaitu:
1. Perkembangan Fisik
Pada usia anak SMA terjadi pertumbuhan fisik yang sangat pesat. Tidak hanya
pada anggota tubuh tertentu tetapi juga proporsi tubuh yang semakin besar. Pada
perkembangan seksualitas anak SMA ditandai dua ciri yaitu seks primer dan seks
sekunder.
a. Seks primer
Pada siswa laki-laki SMA ditandai dengan semakin besarnya ukuran testis,
pembuluh mani dan kelenjar prostat semakin besar sehingga organ seks
semakin matang (lebih matang dari anak SMP). Pada siswi SMA tumbuhnya
rahim, vagina, dan ovarium yang semakin matang, hormon-hormon yang
diperlukan dalam prooses kehamilan dan menstruasi semakin banyak.
b. Seks sekunder
Pada siswa laki-laki SMA ditandai dengan tumbuhnya kumis, bulu disekitar
kemaluan dan ketiak serta perubahan suara, semakin besarnya jakun. Pada
siswa perempuan ditandai dengan tumbuhnya rambut pubik atau bulu
disekitar kemaluan dan ketiak, bertambah besarnya buah dada, bertambah
besarnya pinggul.
10
2. Perkembangan Sosial
Pada usia anak SMA terjadi perkembangan sosial yaitu kemampuan untuk
memahami orang lain. Anak usia SMA memahami orang lain sebagai individu
yang unik baik menyangkut sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaanya.
Pemahaman ini mendorong mereka untuk menjalin hubungan sosial yang lebih
akrab dengan orang lain (terutama teman sebaya), baik melalui jalinan
persahabatan maupun percintaan.
Dalam hubungan persahabatan anak usia SMA memilih teman yang
memiliki kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya, baik menyangkut
interest, sikap, nilai, dan kepribadian. Pada masa ini juga berkembang
sikap conformity yaitu kecenderungan untuk mengikuti opini, kebiasaan, dan
keinginan orang lain (teman sebaya). Perkembangan sikap ini dapat memberikan
dampak positif dan negatif bagi dirinya. Karakteristik penyesuaian anak usia
SMA di tiga lingkungan adalah sebagai berikut:
a. Lingkungan Keluarga
• Menjalin hubungan yang baik dengan anggota keluarga
• Menerima otoritas orang tua
• Menerima tanggung jawab dan batasan-batasaan keluarga
• Berusaha untuk membantu keluarga sebagai individu ataupun kelompok
dalam mencapai tujuan
b. Lingkungan Sekolah
• Bersikap respek dan mau menerima peraturan sekolah
• Berpartisipasi dalam kegiatan sekolah
11
• Menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah
• Bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah, dan staf lainnya
• Membantu sekolah dalam merealisasikan tujuan-tujuannya
c. Lingkungan Masyarakat
• Mengakui dan respek terhadap hak-hak orang lain
• Memelihara jalinan persahabatan dengan orang lain
• Bersikap simpati terhadap kesejahteraan orang lain
• Bersikap respek terhadap nilai-nilai, hukum, tradisi, dan kebijakan-
kebijakan masyarakat
3. Perkembangan Kognitif
Kemampuan kognitif terus berkembang selama masa SMA namun tidak semua
perubahan kognitif pada masa SMA mengarah pada peningkatan potensi. Kadang-
kadang beberapa kemampuan kognitif mengalami kemerosotan seiring dengan
pertambahan usia. Sejumlah ahli percaya bahwa kemunduran keterampilan
kognitif yang terjadi terutama pada masa SMA akhir dapat ditingkatkan kembali
melalui serangkaian pelatihan.
4. Perkembangan dalam Sikap Emosional
Gejala-gejala emosional para remaja seperti perasaan sayang, marah, takut,
bangga dan rasa malu, cinta dan benci, harapan-harapan dan putus asa, perlu
dicermati dan dipahami dengan baik. Sebagai guru bimbingan konseling harus
mengetahui setiap aspek yang berhubungan dengan perubahan pola tingkah laku,
serta memahami aspek atau gejala tersebut sehingga dapat melakukan komunikasi
yang baik. Perkembangan pada masa SMA merupakan suatu titik yang mengarah
12
pada proses dalam mencapai kedewasaan. Meskipun sifat kanak-kanak akan sulit
dilepaskan pada peserta didik SMA karena masih adanya pengaruh didikan orang
tua.
Oleh karena itu, guru bimbingan konseling di SMP akan lebih banyak
memikirkan variasi cara pendekatan yang sesuai dengan usia labil seperti mereka,
jenjang karier, dan sebagainya. Hal itu berbeda dengan guru bimbingan konseling
di SMA dalam menangani peserta didik karena masa-masa SMA merupakan masa
dimana peserta didik sudah cukup mampu mengendalikan emosinya sehingga
cukup bisa dikontrol dan diajak untuk berfikir logis. Untuk mengurangi hal
tersebut, baiknya jika pemimpin sekolah menumbuhkan beberapa hal yang dapat
membangun komitmen kerja menurut McShane & Glinow (2000) sehingga dalam
kondisi apapun, seorang guru bimbingan konseling akan tetap melakukan tugas-
tugas yang sudah menjadi tanggungjawabnya dalam mengikuti masa
perkembangan peserta didik pada jenjang SMP maupun SMA.
Menurut Rhoades (2001:825-836), Schultz & Schultz (2002:255), dan
Allen & Meyer (1984:372-378), komitmen terhadap pekerjaan yang
dikembangkan dari komitmen organisasi dapat dibedakan dalam tiga jenis,
masing-masing komitmen tersebut memiliki tingkat atau derajat yang berbeda.
Ketiga jenis komitmen terhadap organisasi tersebut adalah: (1) Continuance
Commitment (komitmen kontinu/rasional), berarti komitmen berdasarkan persepsi
anggota tentang kerugian yang akan dihadapinya jika meninggalkan pekerjaan
yaitu seorang anggota tetap bertahan atau meninggalkan pekerjaan berdasarkan
pertimbangan untung rugi yang diperolehnya; (2) Normative Commitment
13
(komitmen normatif) merupakan komitmen yang meliputi perasaan-perasaan
individu tentang kewajiban dan tanggungjawab yang harus diberikan kepada
pekerjaan, sehingga individu tetap tinggal di pekerjaannya karena merasa wajib
untuk loyal terhadap pekerjaannya; (3) Affective Commitment (komitmen afektif)
berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan individu di dalam suatu
pekerjaan, anggota yang mempunyai komitmen ini mempunyai keterikatan
emosional terhadap pekerjaan yang sedang diembannya tercermin melalui
keterlibatan dan perasaan senang serta menikmati peranannya dalam
pekerjaannya.
Dari ketiga komponen komitmen tersebut, seseorang dapat mengalami
kecenderungan kesalah satu komitmen diatas sesuai pengalaman yang terkait
dengan interaksi pekerjaan sebagai guru bimbingan konseling. Menurut
Greenberg dan Baron (2003:161-163) perilaku yang ditimbulkan masing-masing
tipe komitmen adalah berbeda. Masing-masing komponen mengembangkan hasil
pengalaman yang berbeda-beda dan implikasi perilaku kerja yang berbeda-beda.
Individu yang memiliki komitmen terhadap pekerjaan dengan dasar afektif akan
memiliki tingkah laku yang berbeda dengan individu yang berkomitmen
kontinuan. Individu yang berkeinginan menjadi anggota akan memiliki keinginan
untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan pekerjaannya. Namun
sebaliknya, individu yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian
finansial dan kerugian lain, sehingga kemungkinan hanya akan melakukan usaha
yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen normatif yang berkembang
sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauhmana perasaan
14
kewajiban pada individu untuk memberikan balasan atas apa yang telah
diterimanya dari pekerjaannya.
Shore & Wayne (2001:774-780) menambahkan bahwa komitmen normatif
dinilai lebih tinggi daripada komitmen kontinuan (komitmen rasional), karena
individu yang mempunyai komitmen normatif melakukan pekerjaannya
berdasarkan kewajiban dan tanggung jawabnya, sementara komitmen rasional
hanya sekedar mempertimbangkan untung atau rugi yang diperolehnya.
Komitmen afektif dinilai lebih tinggi daripada komitmen normatif, karena
komitmen afektif sudah melibatkan faktor emosional, seorang individu dengan
komitmen afektif yang tinggi akan merasa terlibat dalam pekerjaan dengan
perasaan senang dan menikmati perannya dalam pekerjaan.
Oleh karena itu, penelitian ini hanya meneliti komitmen afektif karena
telah melibatkan faktor emosional terhadap pekerjaan. Misalnya, guru bimbingan
konseling akan merasa senang dan menikmati dalam mengerjakan tugas-tugasnya
tanpa ada paksaan dalam bentuk apapun, dari siapapun dan dari manapun yang
mampu memaksanya karena sikap komitmen tersebut muncul dengan sendirinya
dari diri seseorang seperti memiliki ketertarikan pada masing-masing bidang yang
diminati.
Berdasarkan penelitian dari Kushariyanti (2007:34) guru yang mempunyai
komitmen afektif akan lebih bernilai bagi sekolah dibandingkan kedua tipe
komitmen yang lain karena sudah melibatkan faktor emosional sehingga guru
dengan komitmen afektif akan bertugas dengan perasaan senang dan menikmati
perannya serta benar-benar ingin menjadi guru di sekolah yang bersangkutan
15
sehingga memiliki keinginan untuk menggunakan usaha optimal demi tercapainya
tujuan sekolah. Seorang guru dengan komitmen normatif akan lebih bernilai
dibanding komitmen kontinuan dikarenakan melakukan tugasnya berdasarkan
kewajiban dan tanggung jawabnya, sementara guru dengan komitmen kontinuan
hanya sekedar mempertimbangkan untung atau rugi yang diperolehnya.
Rhoades dkk, (2001:825) berpendapat bahwa individu dengan komitmen
afektif terhadap pekerjaan akan memperlihatkan performa kerja yang tinggi pula.
Sehingga diprediksikan guru bimbingan konseling tersebut akan berupaya untuk
bertahan atau bahkan mengembangkan layanan bimbingan konseling. Upaya-
upaya yang dilakukan tentu saja berdampak pada kinerja layanan bimbingan
konseling.
Menurut Byars & Rue (1991:250) kinerja atau “performance” mengacu
pada tingkat penyelesaian tugas yang melengkapi pekerjaan seseorang. Hal ini
mencerminkan seberapa baik seseorang dalam melaksanakan tuntutan suatu
pekerjaan. Ditambahkan oleh Berk (dalam Bahri, 2011:4), Kinerja adalah hasil
yang dicapai dalam menyelesaikan pekerjaan selama periode tertentu.
Keberhasilan guru bimbingan konseling bisa dilihat dari kriteria-kriteria yang
telah mencapai target keseluruhannya. Jika kriteria telah tercapai berarti pekerjaan
seseorang telah dianggap memiliki kualitas kerja yang baik.
Menurut Noe (2003:143) semua komponen atau aspek kinerja harus
relevan dengan keberhasilan pekerjaan. Standart keberhasilan kinerja seorang
guru bimbingan konseling difokuskan pada pemberian layanan bimbingan
konseling. Kinerja guru bimbingan konseling dapat ditentukan dengan melihat
16
komponen perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi layanan bimbingan konseling
yang dilandasi oleh sikap moral dan profesionalitas sebagai seorang guru
bimbingan konseling.
Adapun beberapa penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa komitmen
kerja pada guru bimbingan konseling di sekolah berpengaruh pada kinerja atau
hasil dari tugas-tugas yang dikerjakan.
Penelitian yang dilakukan oleh Rosita Endang Kusmaryani (2009)
dengan judul “Komitmen Terhadap Pekerjaan dan Kinerja Guru Pembimbing di
Kabupaten Bantul” berdasarkan hasil uji hipotetik menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan positif dan sangat signifikan antara komitmen terhadap pekerjaan
dengan kinerja layanan bimbingan konseling. Adapun hasil analisis tersebut dapat
disimpulkan bahwa komitmen terhadap pekerjaan dan kinerja layanan bimbingan
konseling tergolong tinggi.
Berdasarkan deskripsi skor variabel menunjukkan bahwa skor empirik
komitmen terhadap pekerjaan lebih besar dari skor hipotetiknya. Data ini
menunjukkan bahwa komitmen terhadap pekerjaan guru pembimbing tergolong
tinggi meskipun banyak permasalahan yang berkaitan dengan pekerjaan sebagai
seorang guru pembimbing. Namun tampaknya menjadi guru pembimbing
dirasakan sebagai pekerjaan yang memberikan kepuasan. Ada dorongan yang kuat
untuk tetap menjadi guru pembimbing, bahkan sudah mencintai profesi tersebut.
Guru pembimbing menginginkan untuk mengembangkannya serta tidak terpikir
untuk pindah ke profesi yang lain.
17
Hipotesis minor yang berbunyi ada hubungan positif antara komitmen
afektif dengan kinerja layanan bimbingan konseling dapat diterima dengan
r = 0,631 dan p = 0,000. Hasil ini menunjukkan bahwa guru pembimbing sudah
terikat secara emosional dengan pekerjaannya. Dengan kondisi ini, guru
pembimbing akan terdorong untuk melakukan pengembangan diri yang pada
akhirnya berdampak pada kinerja layanan. Kondisi ini tentu saja dipengaruhi oleh
beberapa hal. Menurut Mowday dkk. (1979:408-414) beberapa faktor penyebab
komitmen afektif meliputi karakteristik personal, karakteristik struktural,
karakteristik yang berkaitan dengan kerja dan pengalaman kerja.
Penelitian kedua dari Kusmaryani (2011) dengan judul “Komitmen
Pekerjaan sebagai Guru Bimbingan dan Konseling pada Mahasiswa BK FIP
UNY” dari hasil olah data yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa komitmen
mahasiswa prodi bimbingan dan konseling terhadap pekerjaan sebagai guru
bimbingan dan konseling lebih banyak didominasi oleh komponen komitmen
afektif, jika dibandingkan dengan komitmen kalkulatif dan normatif. Adapun hasil
analisis yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa komitmen terhadap pekerjaan
sebagai guru bimbingan dan konseling pada mahasiswa prodi BK FIP UNY
tergolong cukup baik dikarenakan dalam mencapai suatu tujuan pekerjaan,
komitmen terhadap pekerjaan menjadi suatu hal yang sangat vital.
Dalam penelitian ini, deskripsi skor hipotetik dan empirik variabel
komitmen terhadap pekerjaan guru bimbingan dan konseling menunjukkan bahwa
rata-rata skor empirik komitmen terhadap pekerjaan relatif sama dengan skor
hipotetiknya. Hal ini berarti komitmen terhadap pekerjaan guru bimbingan dan
18
konseling tergolong sedang. Skor yang dicapai ini mengindikasikan bahwa
mahasiswa BK memiliki ikatan yang cukup baik dengan pekerjaan sebagai guru
bimbingan dan konseling.
Selain itu, penelitian Kusmaryani tersebut juga menemukan komposisi
masing-masing komponen komitmen terhadap pekerjaan sebagai guru bimbingan
dan konseling, yaitu komitmen afektif sebesar 28,99 (42%) komitmen kalkulatif
sebesar 20,06 (29%) dan komitmen normatif 19,94 (29%). Perbedaan skor
masing-masing komponen ini menunjukkan seberapa besar peran komponen
tersebut dalam membentuk komitmen terhadap pekerjaan sebagai guru bimbingan
dan konseling. Pada komitmen mahasiswa terhadap pekerjaan sebagai guru
bimbingan dan konseling lebih besar ditentukan oleh komitmen afektif jika
dibandingkan dengan komponen komitmen yang lain. Hal ini sesuai dengan
penelitian Meyer dkk. (1993:540) bahwa komitmen afektif lebih dikaitkan dengan
program-program pendidikan yang dijalani. Pada mahasiswa, komitmen afektif ini
yang paling berperan dalam membentuk komitmen terhadap profesi atau
pekerjaan. Pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan pekerjaan sebagai
guru bimbingan dan konseling atau aktivitas-aktivitas profesi lainnya
memunculkan ikatan emosional terhadap pekerjaan sebagai guru bimbingan dan
konseling, sehingga ada keinginan untuk mengembangkannya.
Dari beberapa penelitian diatas, peneliti menduga bahwa komitmen afektif
sangat berpengaruh pada kesetiaan seorang guru bimbingan konseling pada
sekolah tersebut dan dapat menikmati dengan senang hati serta ingin
mengembangkan layanan. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian
19
yang berfokus mengenai komitmen afektif khususnya pada guru bimbingan
konseling yang berada di daerah Kabupaten Malang dengan menggunakan
analisis deskriptif pada aspek-aspek komitmen afektif guru bimbingan konseling.
Latar belakang penelitian dilakukan di daerah Kabupaten Malang karena
pada tanggal 1 Juni 2012 bertempat di ruang rapat anusapati sekretariat daerah
Kabupaten Malang mengadakan “semiloka Kabupaten Malang menuju layak
anak” dimana kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan komitmen pemerintah
dan masyarakat serta dunia pendidikan dalam upaya mewujudkan pembangunan
yang responsif terhadap anak, pemenuhan hak-hak anak, kebutuhan dan
kepentingan terbaik anak, juga mengintegrasikan potensi sumberdaya manusia
agar memenuhi dan melindungi hak-hak anak, dan meningkatkan kepedulian serta
upaya kongkrit dengan memperhatikan kebutuhan, aspirasi, dan tindak
diskriminasi terhadap anak. Dalam program layak anak ini memiliki beberapa
program, antara lain meningkatkan partisipasi pendidikan anak usia dini, wajib
belajar 12 tahun, dan menambah sarana prasarana untuk mengembangkan
kreativitas anak. Salah satu harapan dari kegiatan ini adalah adanya komitmen
dari oknum lembaga pendidikan yang terpenting yaitu guru bimbingan konseling
serta berbagai sistem yang dapat menunjang terpenuhinya hak anak (website Kab.
Malang).
Kabupaten Malang memiliki forum anak yang bernama laskar anak. Ini
merupakan salah satu indikator kota layak anak (KLA) yang ditetapkan oleh
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Forum ini
diharapkan akan menjadi wadah bagi anak-anak untuk mengekspresikan dirinya,
20
termasuk terlibat dalam pembangunan sesuai dengan kapasitas mereka. Dalam
organisasi alternatif ini, akan mewadahi anak-anak dari kelompok sekolah dan
latar belakang yang berbeda-beda agar lebih memahami dan memperkaya wacana
berfikir seorang guru bimbingan konseling sehingga diharapkan mampu memberi
kontribusi terhadap berbagai model pemecahan masalah yang mereka hadapi.
Pada bagian dari pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak maka hak-hak anak untuk tumbuh kembang harus mendapat
perhatian dari semua kalangan. Sebagai garda terdepan dalam pelayanan
permasalahan anak berbasis sekolah, guru bimbingan konseling dapat dipastikan
memiliki kekayaan pengalaman dan data yang akurat terkait problem anak. Data
dan pengalaman tersebut sangat penting artinya untuk instansi terkait dengan
lembaga pemerhati lainnya dalam menentukan treatment yang tepat.
Oleh karena itu, setiap guru bimbingan konseling diharapkan memiliki
komitmen afektif dalam menjalankan tugas-tugasnya untuk membimbing dan
memberi layanan bimbingan konseling pada para peserta didik agar dapat
mencapai hasil kinerja yang memuaskan dan dapat memajukan hak - hak anak
dalam tumbuh kembang khususnya di Kabupaten Malang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat beberapa masalah dalam
penelitian ini yang dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat komitmen afektif guru bimbingan konseling jenjang
SMP dan SMA di Kabupaten Malang
21
2. Adakah perbedaan tingkat komitmen afektif yang dimiliki oleh guru
bimbingan konseling yang berbeda jenis kelamin pada jenjang SMP dan
SMA di Kabupaten Malang
3. Apakah perbedaan jenjang instansi pekerjaan dapat mempengaruhi tinggi
rendahnya komitmen afektif guru bimbingan konseling pada jenjang SMP
dan SMA di Kabupaten Malang
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan penelitian yang hendak dicapai. Tujuan
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui tingkat komitmen afektif guru bimbingan konseling
jenjang SMP dan SMA di Kabupaten Malang
2. Menjelaskan ada tidaknya perbedaan komitmen afektif yang dimiliki oleh
guru bimbingan konseling yang berbeda jenis kelamin pada jenjang SMP
dan SMA di Kabupaten Malang
3. Mengungkapkan perbedaan tingkatan komitmen afektif berdasarkan
perbedaan jenjang instansi pekerjaan guru bimbingan konseling pada
jenjang SMP dan SMA di Kabupaten Malang
22
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat
praktis.
a. Manfaat Teoritis
1. Menjadi wacana pemahaman baru bagi pemerhati, peneliti dan
pengambil kebijakan yang berkaitan dengan tugas-tugas guru
bimbingan konseling terutama di Kabupaten Malang.
2. Selain itu juga dapat lebih memperkaya kajian mengenai konsep
komitmen afektif di kalangan guru bimbingan konseling.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi kepala sekolah, dapat menjadi masukan dalam meningkatkan
komitmen afektif guru bimbingan konseling. Hal ini terutama
dengan memperhatikan aspek yang terkandung dalam komitmen
afektif.
2. Bagi peneliti yang tertarik di bidang sumber daya manusia di
bidang pendidikan terutama mengenai guru bimbingan konseling,
dapat menjadi batu pijakan untuk penelitian berikutnya.