repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 43815... BAB II TINJAUAN PUSTAKABAB...
Transcript of repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 43815... BAB II TINJAUAN PUSTAKABAB...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kedelai
Kedelai adalah tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak dan
termasuk Famili Leguminosa (kacang-kacangan). Berdasarkan jenisnya tanaman
kedelai terdiri atas kedelai putih/kuning, hitam, cokelat, dan hijau. Hubeis (1984)
dalam Sutanto (1998), menyatakan bahwa berdasarkan umurnya kedelai terbagi atas
kedelai berumur pendek (60-80 hari), berumur sedang (90-100 hari), dan berumur
dalam (110-120 hari). Pada tanaman kedelai biasanya yang diambil adalah bijinya.
Struktur biji kedelai terdiri atas tiga bagian utama, yaitu keping biji/kotiledon (90%),
kulit biji (8%), dan embrio/hipokotil (2%).
Nilai gizi kedelai cukup tinggi terutama kandungan proteinnya. Selain protein,
kedelai juga mempunyai kandungan lemak yang cukup tinggi, yang terdiri atas 86%
asam lemak tidak jenuh dan 40% asam lemak jenuh. Komposisi zat gizi secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Biji kedelai berkeping dan terbungkus kulit biji, dan tidak mengandung
jaringan endosperma. Embrio terletak diantara keping biji. Warna kulit biji kuning,
hitam, hijau, atau cokelat. Pusat biji adalah jaringan bekas biji yang melekat pada
dinding buah.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Komposisi Gizi Tiap 100 g Berat Kedelai
Komponen Kadar (%) Protein 35-45 Lemak 18-32 Karbohidrat 12-30 Air 7 (Sumber: Muchtadi, 1989)
2.2 Protein Kedelai
Protein adalah struktur makromolekul yang terdiri atas asam-asam amino
yang saling berhubungan melalui ikatan peptida. Protein kedelai terdapat dalam
jaringan kotiledon biji kedelai. Pada tingkat subseluler, protein kedelai terdistribusi di
dalam bagian-bagian sel yang disebut protein tubuh dan di sekitar sitoplasma. Sekitar
90% protein kedelai adalah globulin yang terdapat sebagai protein cadangan, sisanya
merupakan enzim-enzim intraseluler (lipoksigenase, amilase) hemaglutinin, protein
inhibitor dan lipoprotein membran (Kinsella dalam Sutanto, 1998).
Gambar 2.1 Sruktur Kimia Asam Amino Protein Kedelai (Sutanto, 1998)
+H3N
C H
C
O
O
R
(rantai samping)
Hidrogen α
Gugus karboksil
Karbon α
Gugus Amin α
Universitas Sumatera Utara
Sifat fungsional protein adalah sifat fisik dan kimia yang memungkinkan
protein menyumbang karakteristik yang diinginkan pada makanan. Sifat-sifat
fungsional protein yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu
(1) sifat hidrasi (berhubungan dengan interaksi protein-air) seperti daya ikat air,
kebasahan, swelling, daya lekat, kekentalan, kelarutan; (2) sifat yang berhubungan
dengan interaksi protein-protein seperti pembentukan gel, dan (3) sifat-sifat
permukaan seperti emulsifikasi (Cheftel et al., 1985 dalam Sutanto, 1998). Sifat
fungsional protein ini dipengaruhi oleh faktor intrinstik, faktor lingkungan, dan
perlakuan selama proses.
Protein kedelai menjadi pilihan yang baik sebagai bahan baku film plastik
karena polimer asam amino ini berisi 20 asam amino yang pada rantai samping, rantai
akhir, atau rantai utamanya dapat menampung gugus fungsi. Gugus fungsi seperti
amida, hidroksil, dan karboksil dapat berinteraksi dengan berbagai bahan pemlastis.
2.3 Limbah Industri Tahu
Industri tahu pada umumnya dibagi menjadi dua bentuk limbah, yaitu limbah
padat dan limbah cair. Limbah padat ini berupa kotoran hasil pembersihan kedelai
(batu, tanah, kedelai, dan benda padat lain yang menempel pada kedelai) dan sisa
saringan bubur kedelai yang disebut dengan ampas tahu.
Ampas tahu merupakan hasil ikutan dari proses pembuatan tahu. Limbah
padat industri tahu meliputi ampas tahu yang diperoleh dari hasil pemisahan bubur
kedelai. Ampas tahu masih mengandung protein yang cukup tinggi sehingga masih
Universitas Sumatera Utara
bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak dan ikan. Akan tetapi kandungan air
ampas tahu yang masih tinggi merupakan penghambat sebagai pakan ternak. Salah
satu sifat dari ampas tahu ini adalah mudah tengik (basi dan tidak tahan lama) dan
menimbulkan bau busuk kalau tidak cepat dikelola. Pengeringan merupakan salah
satu jalan untuk mengatasinya. Pengeringan juga mengakibatkan berkurangnya asam
lemak bebas dan ketengikan sehingga memperpanjang umur simpan (Kaswinarni,
2007).
Ampas tahu yang terbentuk besarannya berkisar antara 25-35% dari produk
tahu yang dihasilkan. Oleh karena itu untuk menghasilkan ampas tahu tidak terlepas
dari proses pembuatan tahu (Subowo, 2001).
Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam
kedelai dengan menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut larut,
diendapkan kembali dengan penambahan bahan pengendap sampai terbentuk
gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu. Salah satu cara pembuatan tahu
ialah dengan menyaring bubur kedelai sebelum dimasak, sehingga cairan tahu sudah
terpisah dari ampasnya (Kastyanto, 1994).
Diagram alir proses pembuatan tahu secara umum dapat dilihat pada Gambar
2.2 di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Komposisi limbah kedelai mengandung protein 35% bahkan pada varietas unggul
kadar proteinnya dapat mencapai 40-43%. Dibandingkan dengan beras, jagung, tepung
singkong, kacang hijau, daging, ikan segar, dan telur ayam, kedelai mempunyai kandungan
protein yang lebih tinggi, hampir menyamai kadar protein susu skim kering (Radiaty, 1992).
Gambar 2.2 Diagram Alir Proses Pembuatan Tahu (Sumber : Said, 2006)
Universitas Sumatera Utara
Kandungan nilai gizi yang masih terdapat dalam 100 gram ampas tahu secara rinci dapat
dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini.
Tabel 2.2 Kandungan Nilai Gizi Ampas Tahu
Unsur Satuan Nilai
Kalori kal 414
Protein g 26,6
Lemak g 18,3
Karbohidrat g 41,3
Kalsium mg 19
Fosfor mg 29
Besi mg 4,0
Vit. B mg 0,20
Air ml 9,0
(Sumber: Kaswinarni, 2007 )
2.4 Bioplastik
Bioplastik adalah suatu bentuk plastik yang berasal atau bersumber dari
tumbuhan, misalnya berasal dari minyak rami, minyak kacang kedelai, atau pati.
Plastik ini mempunyai sifat biodegradable (Wikipedia, 2006). Menurut Pranamuda
(2009), bioplastik adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik
konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi
hasil akhir berupa air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke
Universitas Sumatera Utara
lingkungan tanpa meninggalkan sisa yang beracun.
Menurut Adam dan Clark (2009), bioplastik adalah polimer yang dapat berubah
menjadi biomassa, H2O, CO2 dan atau CH4 melalui tahapan depolimerisasi dan mineralisasi.
Depolimerisasi terjadi karena kerja enzim ekstraseluler (terdiri dari endoenzim dan
eksoenzim). Endoenzim memutuskan ikatan internal pada rantai utama polimer secara acak,
dan eksoenzim memutuskan unit monomer pada rantai utama secara berurutan. Bagian-
bagian polimer yang terbentuk ini dipindahkan ke dalam sel dan mengalami mineralisasi.
Proses mineralisasi membentuk CO2, CH4, N2
Berdasarkan bahan baku yang dipakai, bioplastik dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok dengan bahan baku petrokimia (non-renewable resources) dengan
bahan aditif dari senyawa bio-aktif yang bersifat biodegradabel, dan kelompok kedua adalah
dengan keseluruhan bahan baku dari sumber daya alam terbarukan (renewable resources)
seperti dari bahan tanaman pati dan selulosa serta hewan seperti cangkang atau dari
mikroorganisme yang dimanfaatkan untuk mengakumulasi plastik yang berasal dari sumber
tertentu seperti lumpur aktif atau limbah cair yang kaya akan bahan- bahan organik sebagai
sumber makanan bagi mikroorganisme tersebut (Adam dan Clark, 2009).
, air, garam-garam, mineral, dan biomassa.
Definisi polimer bioplastik dan hasil akhir yang terbentuk dapat beragam tergantung pada
polimer, organisme, dan lingkungan.
Polimer bioplastik dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis (Evans, 2010)
a.
, yaitu:
Chemically synthesised polymers, misalnya polyglycolic acid, polylactic acid,
poly (caprolactone), polyvinyl alcohol, polyethylene oxide. Jenis ini sangat rentan
terhadap serangan enzim atau mikroba sehingga tidak dapat digunakan secara
komersial untuk menggantikan plastik konvensional.
Universitas Sumatera Utara
b.
c.
Starch-based bioplastic polymers. Pada jenis ini, pati (tepung halus dari
singkong/kentang/ubi) ditambahkan sebagai bahan untuk produksi campuran
plastik, misalnya starch-polyethylene. Tujuannya agar mikroba dalam tanah dapat
mendegradasi pati dengan mudah sehingga dapat menguraikan plastik ini secara
signifikan dalam waktu yang relatif cepat. Akan tetapi, beberapa jenis plastik
lainnya dapat terdegradasi sebagian (tergantung kondisi tanah). Beberapa fragmen
yang tertinggal setelah penghilangan pati tertinggal di lingkungan dalam waktu
yang lama.
Polyhydroxyalkanoates (PHAs), yaitu polimer terdiri atas 2 sampai 6 hydroxy
acids, yang diproduksi sebagai granula intraselular oleh banyak jenis bakteri. Ini
sangat berpotensi sebagai plastik terbaharukan dan seratus persen bioplastik.
Polimer ini dapat digunakan secara komersial untuk menggantikan penggunaan
plastik konvensional.
Averous (2008) dalam Fibhumika (2009), mengelompokkan polimer
bioplastik ke dalam dua kelompok dan empat keluarga berbeda. Kelompok utama
adalah: (1) agro-polimer yang terdiri dari polisakarida, protein dan sebagainya; dan
(2) biopoliester (bioplastik poliester) seperti poli asam laktat (PLA),
polyhydroxyalkanoate (PHA), aromatik and alifatik kopoliester. Biopolimer yang
tergolong agro-polimer adalah produk-produk biomassa yang diperoleh dari bahan-
bahan pertanian.
Kelompok lain biopoliester yang diperoleh dari aplikasi bioteknologi, yaitu
dengan sintesis monomer-monomer secara biologi disebut kelompok polilaktida.
Universitas Sumatera Utara
Contoh polilaktida adalah poli asam laktat (PLA). Kelompok terakhir biopoliester
yang lain juga ada yang diperoleh dengan sintesis secara konvensional dari monomer-
monomernya. Kelompok ini terdiri dari polycaprolactones (PCL), polyesteramides
(PEA), aliphatic co-polyesters dan aromatic co-polyesters.
Menurut laporan Pranamuda (2009) dalam penelitiannya, menyatakan bahwa saat ini
polimer bioplastik yang telah diproduksi adalah kebanyakan dari polimer jenis poliester
alifatik. Bioplastik yang sudah diproduksi skala industri, antara lain:
a. Poli (ε-kaprolakton) (PCL) : PCL adalah polimer hasil sintesa kimia menggunakan
bahan baku minyak bumi. PCL mempunyai sifat biodegradabilitas yang tinggi, dapat
dihidrolisa oleh enzim lipase dan esterase yang tersebar luas pada tanaman, hewan
dan mikroorganisme. Namun titik lelehnya yang rendah, Tm = 60 0
b. Poli (ß-hidroksi butirat) (PHB) : PHB adalah poliester yang diproduksi sebagai
cadangan makanan oleh mikroorganisme seperti Alcaligenes (Ralstonia) eutrophus,
Bacillus megaterium dsb. PHB mempunyai titik leleh yang tinggi (Tm = 180
C, menyebabkan
bidang aplikasi PCL menjadi terbatas (Awaliyyah RF, 2008; Pranamuda, 2009).
0
c. Poli (butilena suksinat) (PBS): PBS mempunyai titik leleh yang setara dengan plastik
konvensional polietilen, yaitu Tm = 113
C),
tetapi karena kristalinitasnya yang tinggi menyebabkan sifat mekanik dari PHB
kurang baik (Ping, 2006).
0
d. Poli asam laktat (PLA) : PLA merupakan poliester yang dapat diproduksi
menggunakan bahan baku sumber daya alam terbarui seperti pati dan selulosa
melalui fermentasi asam laktat. PLA mempunyai titik leleh yang tinggi sekitar 175
C.
Universitas Sumatera Utara
0
C, dan dapat dibuat menjadi lembaran film yang transparan (Kurniawan RA, 2010;
Pranamuda, 2009).
2.5 Metode Pembuatan Bioplastik
Kemampuan suatu bahan dasar dalam pembuatan film plastik dapat
diterangkan melalui fenomena fase transisi gelas. Pada fase tertentu di antar fase cair
dengan padat, massa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada
suhu dan kondisi lingkungan tertentu. Fase transisi gelas biasanya terjadi pada bahan
polimer. Sedangkan suhu dimana fase transisi gelas terjadi disebut sebagai titik fase
gelas (glassy point). Pada suhu tersebut bahan padat dapat dicetak menjadi suatu
bentuk yang dikehendaki, misalnya bentuk lembaran tipis (film) kemasan.
Istilah plastik meliputi produk hasil proses polimerisasi baik yang sintesis
maupun semisintesis. Plastik dapat dibentuk menjadi suatu objek, film, ataupun serat
(Anonim, 2006). Menurut Allcock dan Lampe (1981), film plastik dapat dibuat
melalui dua teknik dasar yang berbeda, yaitu solution casting atau molten polymer.
Pada pembuatan film plastik dengan teknik solution casting, bahan polimer dilarutkan
ke dalam pelarut yang cocok untuk menghasilkan larutan yang viskos. Larutan yang
dihasilkan dituang pada suatu permukaan yang rata (cetakan) yang bersifat non-adesif
dan pelarut dibiarkan menguap sampai habit. Film plastik yang sudah kering
kemudian diangkat dari cetakannya. Teknik molten polymer dilakukan dengan cara
pemanasan polimer sampai di atas titik lelehnya (Allcock dan Lampe, 1981).
Masih menurut Allcock dan Lampe (1981), teknik solution casting menjadi
Universitas Sumatera Utara
pilihan yang cepat dan mudah untuk dilakukan pada skala laboratorium. Pemilihan
jenis pelarut yang cocok dengan bahan polimer menjadi faktor penting yang perlu
diperhatikan.
Teknik solution casting dilakukan dengan membuat larutan polimer 20% (b/v)
untuk menghasilkan larutan dengan viskositas yang sesuai. Pengadukan diperlukan
untuk mempercepat kelarutan, misalnya pengadukan dengan strirrer (Allcock dan
Lampe, 1981). Allcock dan Lampe (1981) menambahkan bahwa apabila larutan
polimer perlu disaring sebelum proses casting, maka dapat dilakukan penyaringan
vakum karena larutan terlalu viskos. Pada skala laboratorium, proses solution casting
dapat dilakukan pada plat kaca atau cawan gelas.
2.6
Menurut Wu dan Bates (1972) dalam Sutanto (1998), mekanisme
pembentukan film protein terjadi karena polimerisasi endotermik dan denaturasi
protein akibat pemanasan yang diikuti dehidrasi permukaan. Mekanisme polimerisasi
melibatkan molekul disulfida dan ikatan hidrofobik. Pemanasan menyebabkan
struktur tiga dimensi protein antara sulfhidril dan rantai sisi hidrofobik sehingga
rantai protein yang tidak melipat akan saling mendekat satu dengan yang lainnya dan
saling berhubungan lewat ikatan disulfida dan hidrofobik (Fukushima dan Van
Burren, 1970 dalam Sutanto, 1998).
Mekanisme Pembentukan Film
Menurut (Cheflet et al, 1985 dalam Sutanto, 1998) denaturasi protein adalah
bentuk modifikasi konformasi protein yang tidak diikuti oleh pemutusan ikatan
Universitas Sumatera Utara
peptida yang ada pada struktur primernya. Selama denaturasi rantai protein akan
terbuka sehingga memungkinkan pembentukan jaringan matriks baru yang lebih
kompak dan dapat berinteraksi dengan komponen lain. Pada saat larutan dipastikan
telah homogen, poliester amida ditambahkan yang berfungsi untuk mengatasi sifat
rapuh film. Dengan adanya penambahan poliester amida, maka gugus hidrogen dari
poliester amida akan berikatan dengan gugus amida dari protein sehingga kekuatan
intermolekuler antar rantai protein akan berkurang dan mobilitas polimer akan
meningkat sehingga fleksibilitas akan meningkat pula (Sutanto, 1998).
Struktur film merupakan matriks protein yang dibentuk oleh interaksi-
interaksi protein yang dikatalisis oleh panas dengan ikatan disulfida, hidrogen, dan
hidrofobik sebagai kekuatan asosiasi dalam jaringan film (Famum et al, 1976 dalam
Sutanto, 1998). Ikatan disulfida terbentuk melalui pertukaran ion disulfida dan reaksi
oksidasi ion yang diindikasi oleh adanya panas. Ikatan ini akan membentuk struktur
tiga dimensi. lkatan hidrogen berperan dalam peningkatan viskositas dan stabilisasi
struktur gel, sedangkan ikatan hidrofobik berperan dalam pengerasan struktur gel dan
stabilisasi.
Universitas Sumatera Utara
2.7 Gliserol
Billmeyer (1994) dalam Sutanto (1998) menambahkan bahwa jika suatu
polimer semikristalin mendapat tambahan
Menurut Hammer (1978) dalam Sutanto (1998), bahan pemlastis adalah bahan
kimia yang dapat digunakan untuk mengurangi kekakuan resin termoplastik. Prinsip
kerja bahan pemlastis adalah dengan membentuk interaksi molekuler rantai polimer
untuk meningkatkan kecepatan respon viskoelastis pada polimer. Hal ini akan
meningkatkan mobilitas molekuler rantai polimer dan akibatnya dapat menurunkan
substransisi kaca (Tg).
bahan pemlastis maka akan terjadi
penurunan titik lebur (Tm) dan derajat bahan pemlastis akan lebih banyak berinteraksi
dengan fase amorf dan sangat sedikit yang berinteraksi dengan fase kristalin.
Efektivitas penambahan bahan pemlastis dapat dilihat melalui beberapa parameter
semi empiris, seperti penurunan suhu transisi kaca dan titik leleh, karakteristik
mekanik, serta kondisi molekuler.
Menurut Syarief (1989), untuk memperbaiki sifat plastik maka ditambahkan
berbagai jenis tambahan atau aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan
berupa komponen bukan plastik yang diantaranya berfungsi sebagai bahan pemlastis,
penstabil pangan, pewama, penyerap UV, dan lain-lain. Bahan itu dapat berupa
senyawa organik maupun anorganik yang biasanya mempunyai berat molekul rendah.
Bahan pemlastis merupakan bahan tambahan yang diberikan pada waktu
proses untuk meningkatkan beberapa sifat dari polimer, misalnya ketahanan terhadap
panas atau minyak dan polimer yang dihasilkan lebih halus dan luwes. Bahan
Universitas Sumatera Utara
pemlastis adalah bahan non-volatil dengan titik didih tinggi yang apabila
ditambahkan ke dalam bahan lain akan merubah sifat fisik dan atau sifat mekanik dari
bahan tersebut (Krochta, et.a1, 1994). Bahan pemlastis ditambahkan untuk
mengurangi gaya intermolekul antar partikel penyusun pati yang menyebabkan
terbentuknya tekstur edible film yang mudah patah (getas). Bahan pemlastis juga
meningkatkan gaya intermolekuler dan meningkatkan mobilitas ikatan polimer
sehingga memperbaiki fleksibilitas dan extensibilitas film.
Sedangkan bahan pemlastis yang umum digunakan dalam pembuatan plastik
bioplastik adalah gliserol karena ketersediaan gliserol melimpah di alam dan sifatnya
yang tidak merusak alam. Gliserol atau biasa disebut gliserin merupakan suatu larutan
kental tidak berwama dan mempunyai rasa yang manis. Jika direaksikan dengan air
dan alkohol menyebabkan rasa dingin pada kulit. Gliserol dapat dihasilkan dari
minyak sawit (CPO, BPO, dan RPDPO), minyak inti sawit (PKO), dan minyak
kelapa (CNO). Dalam pengolahan minyak (trigliserida) selain menghasilkan gliserol
juga akan menghasilkan asam lemak yang juga dapat diolah menjadi beberapa macam
produk seperti asam laurat, asam kaprat, dan asam stearat (Guerrero, dkk., 2010).
Gliserol merupakan suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom
karbon. Jadi, tiap atom karbon mempunyai gugus -OH. Gliserol merupakan suatu
molekul bidrofilik yang relative kecil dan mudah di sisipkan diantara rantai protein
dan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus dan protein gluten. Hal ini berakibat
pada penurunan interaksi langsung dan kedekatan antara rantai protein. Selain itu,
laju transmisi uap air yang melewati film gluten yang dilaporkan meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
seiring dengan peningkatan kadar gliserol dalam film akibat dari penurunan kerapatan
jenis protein (Gontard, 2009).
Gliserol efektif digunakan sebagai bahan pemlastis pada film hidrofilik,
seperti pektin, pati, gel dan modifikasi pati, maupun pembuatan edible film berbasis
protein (Juliyarsi et al, 2011).
Gambar 2.3 Rumus Struktur Gliserol
2.8 Poliester Amida
Sejumlah besar biodegradable polyester yang berasal dari minyak bumi
diperoleh secara kimiawi dari monomer-monomer sintesisnya. Biodegradable
polyester ini dapat dibedakan berdasarkan struktur kimianya, seperti
policaprolactones, poliester amida, kopoliester alifatis maupun kopoliester aromatis.
Semua poliester ini lembut pada temperatur kamar.
Poliester amida diperoleh secara industri dari monomer-monomer
kopolikondensasi poliamida dan asam adipic. Poliester yang menunjukkan komponen
polar tertinggi memiliki kekompakan yang baik dengan produk polar lainnya, seperti
senyawa-senyawa karbohidrat. Selain itu, poliester golongan ini juga menunjukkan
permeabilitas air yang paling tinggi.
Pemilihan poliester amida sebagai biodegradable polyester disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
kompatibilitasnya yang baik antara gugus amida dan plastik protein kedelai.
Pencampuran protein kedelai dengan biodegradable polyester bertujuan untuk
meningkatkan kekuatan plastik bioplastik dari kedelai.
R C 1 C NH R2 NH C R1 C O R3
O
Dan, beberapa sifat fisika dan mekanik dari poliester amida dapat dilihat pada
Tabel 2.3 di bawah ini :
Sifat Poliester amida Satuan Nilai
Densitas g/cm3 1,07
Titik leleh 0C 112
Transisi gelas 0C -29
Kristalinitas % 15
Modulus MPa
262
Sifat Poliester amida Satuan Nilai
O O O O
Tabel 2.3. Sifat-Sifat Poliester Amida
Gambar 2.4 Rumus Strutur Poliester Amida
Universitas Sumatera Utara
Elongation at break % 420
Kekuatan tarik MPa 17
Biodegradasi/mineralisasi * % 100
Permeabilitas air pada 250C g/m2/hari 680
Tegangan permukaan mN/m 59
(*) Selama 60 hari dalam pengkontrolan berdasarkan ASTM 5336
2.9 Analisis dan Karakterisasi Bahan Polimer
2.9.1 Spektroskopi Infra merah Fourier-Transform (FTIR)
Serapan radiasi infra merah oleh suatu molekul terjadi karena interaksi vibrasi
ikatan kimia yang menyebabkan perubahan polarisabilitas dengan medan listrik
gelombang elektromagnetik. Ada dua jenis vibrasi ikatan kimia yang dapat menyerap
radiasi infra merah, yakni vibrasi longitudinal dan vibrasi sudut.
Molekul polimer dikenal dengan karakteristik rantai yang terdiri dari sejumlah
satuan-ulangan (sampai 102 - 105 unit per rantai). Secara teori spektrum inframerah
bahan polimer akan tergantung dari karakteristik spektrum dan struktur kimia satuan
ulangannya. Akan tetapi, berbeda dengan senyawa bobot molekul rendah yang murni,
struktur satuan-ulangan dalam rantai polimer tidak selamanya identik. Ditambah lagi
perubahan susunan geometris, perubahan orientasi ikatan dan bentuk kristal akan
mempengaruhi serapan inframerah oleh kimia satuan-ulangan. Karena itu dapat
(Sumber: Galan et al, 2011)
Universitas Sumatera Utara
diduga bahwa polimer dengan bobot molekul tinggi yang terdiri dari 103-106 atom
per molekul akan memberikan sejumlah besar pita serapan.
Pada dasarnya, teknik FTIR adalah sama dengan spektroskopi inframerah
biasa, kecuali dilengkapi dengan cara penghitungan Fourier Transform dan
pengolahan data untuk mendapatkan resolusi dan kepekaan yang lebih tinggi.
2.9.2 Pengujian Sifat Mekanis
Penggunaan bahan polimer sebagai bahan teknik misalnya dalam industri
suku cadang mesin, konstruksi bangunan dan transportasi, tergantung sifat
mekanisnya, yaitu gabungan antara kekuatan yang tinggi dan elastisitas yang baik.
Sifat mekanis yang khas ini disebabkan oleh adanya dua macam ikatan dalam bahan
polimer, yakni ikatan kimia yang kuat antara atom dan interaksi antara rantai polimer
yang lebih lemah.
Sifat mekanis biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik (σ)
menggunakan alat pengukur tensometer atau dinamometer, bila terhadap bahan
diberikan tegangan. Secara praktis, kekuatan-tarik diartikan sebagai besarnya beban
maksimum (Fmaks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi
dengan luas penampang bahan. Karena selama di bawah pengaruh tegangan,
spesimen mengaiami perubahan bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik
dinyatakan dengan luas penampang semula (A0 ). Kekuatan tarik suatu bahan dapat
dilihat pada persamaan berikut (Wirjosentono, 1995):
Universitas Sumatera Utara
0/ AFmakst =σ
SEM berbeda dengan mikroskopi elektron transmisi (TEM), dalam hal ini suatu
berkas insiden elektron yang sangat halus di-scan menyilangi permukaan sampel dalam
sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang
terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam tabung sinar
katoda, yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan
yang hampir tiga dimensi.
2.9.3 Mikroskop Pemindai Elektron (SEM)
Dalam penelitian morfologi permukaan SEM terbatas pemakaiannya, tetapi
memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan dengan resolusi
sekitar 100 A. Aplikasi-aplikasi yang khas mencakup penelitian dispersidispersi pigmen
dalam cat, pelepuhan atau peretakan koting, batas-batas fasa dalam polipaduan yang tak dapat
campur, struktur sel busa-busa polimer, dan kerusakan pada bahan perekat. SEM teristimewa
berharga dalam mengevaluasi betapa penanaman (implant) bedah polimerik bereaksi baik
dengan lingkungan bagian-bagiannya (Stevens, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.10 Penelitian Pendahuluan Yang Pernah Dicapai
Penelitian yang menyangkut penggunaan protein kedelai sebagai bahan dasar
bioplastik yang pernah dilakukan diantaranya, Sutanto (1998) melakukan
pencampuran antara protein bungkil kedelai dengan karboksi metil selulosa (CMC),
metil selulosa (MC), lilin lebah dan bahan pemlastis polietilen glikol (PEG).
Penambahan lilin lebah adalah untuk meningkatkan barrier uap air dari film berbasis
polisakarida dan protein, sedangkan penambahan bahan pemlastis adalah untuk
mengatasi sifat rapuh film. Bungkil kedelai diambil ekstrak proteinnya dengan
beberapa tahap, yaitu penggilingan dan perendaman pada suhu 65 0C selama satu
jam, dilanjutkan dengan penirisan selama 20 menit, penghancuran dengan blender,
pemasakan dengan suhu 90-95 0
Kristanoko (1996) juga melakukan penelitian terhadap pengaruh penambahan
CMC dan sorbitol terhadap karakteristik fisik edible film dari ekstraksi bungkil
kedelai. Konsentrasi CMC yang diteliti 0,75; 100; dan 1,25 g/ 45 ml ekstrak protein
bungkil kedelai. Sedangkan sorbitol yang ditambahkan 2 dan 3 ml/ 45 ml ekstrak
C selama 10 menit, penyaringan, lalu sentrifusi. Dari
hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa dengan peningkatan konsentrasi PEG,
maka kuat tarik akan menurun, sedangkan permeabilitas uap air, permeabilitas
oksigen, persen pemanjangan, dan ketebalan akan meningkat. Dengan peningkatan
konsentrasi lilin lebah, maka kuat tarik, permeabilitas uap air, dan oksigen akan
menurun sedangkan ketebalan dan persen pemanjangan akan meningkat. Dari segi
penampakan, semakin tinggi jumlah lilin lebah, maka film akan semakin kurang
transparan.
Universitas Sumatera Utara
protein bungkil kedelai. Konsentrasi ekstrak protein bungkil kedelai adalah 3%.
Film yang dihasilkan untuk beberapa karakteristik fisik tertentu sangat
dipengaruhi oleh konsentrasi CMC dan sorbitol yang ditambahkan. CMC
meningkatkan kadar air, ketebalan, kuat tarik, persen pemanjangan, laju transmisi uap
air (WVTR). Sedangkan kadar protein film menjadi turun. Sorbitol memberikan
pengaruh yang berbeda. Sorbitol meningkatkan kadar air, kadar protein, ketebalan,
persen pemanjangan, dan laju transmisi uap air, tetapi kuat tarik film semakin
menurun.
Bai et al. (2010) melakukan penelitian tentang efek dari salicylic acid
terhadap sifat mekanis dan ketahanan air dari film isolat protein kedelai. Film
komposit protein kedelai (SF) disiapkan dengan menggunakan isolat protein kedelai
(SPI), salicylic acid (SA), dan gliserol sebagai bahan pemlastisnya. Sedangkan untuk
menyiapkan film komposit protein kedelai tahan air (SF-B), maka digunakan 2, 2-
diphenyl-2-hydroxyethanoic acid (DPHEAc). Sejumlah SA yang berbeda (0,25; 0,5;
0,75 w/w) dicampur hingga merata dengan tepung SPI dan gliserol (30% dari berat
SPI) menggunakan mixer selama 15 menit, kemudian dipress menggunakan hot press
pada suhu 140 0
C dan tekanan 20 MPa selama 10 menit. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa film SF-B dengan 0,5% (wt) SA memiliki kekuatan tarik dan
yang lebih tinggi disbanding dengan film SF dengan jumlah SA yang sama.
Universitas Sumatera Utara