repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 2133... · Web view...
Transcript of repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 2133... · Web view...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang yang memliki
naluri untuk hidup dengan orang lain. Naluri manusia untuk selalu hidup
dengan orang lain disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut
sosial animal (hewan sosial) (Soerjono Soekanto 1982).
Sebagai makhluk sosial, manusia akan mencari hakikat dirinya,
sumbernya dan untuk apa ia hidup dan sebagainya. Adanya tindakan-
tindakan manusia merupakan perwujudan dari ide-ide serta pikiran-pikiran
guna memperoleh sesuatu sebagai kebutuhan, demikian pula terhadap
hubungan timbal balik antara sesamanya salah satu hubungan sosial antara
manusia yang akan menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini adalah
hubungan manusia lain, hubungan mana yang kelak menjadi tali pengikat
untuk suatu hubungan darah kekerabatan yaitu perkawinan
Perkawinan adalah suatu istilah yang hampir tiap hari di dengar atau
di baca di media massa. Namun kalau di tanyakan apa yang dimaksud
dengan istilah tersebut, maka biasanya orang akan berfikir terlebih dahulu
2
untuk mendapatkan formulasi, walaupun sebenarnya apa yang dimaksud
dengan istilah itu telah ada pada pikiran dengan jelas.
Perkawinan adalah hubungan yang permanen antara laki-laki dan
perempuan yang di akui sah oleh masyarakat yang bersangkutan
berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku. Suatu perkawinan
mewujudkan adanya keluarga dan memberikan keabsahan atas suatu
kelahiran anak-anak mereka. Perkawinan tidak hanya mewujudkan adanya
hubungan diantara mereka yang kawin saja, tapi juga melibatkan hubungan-
hubungan diantara kerabat-kerabat dari masing-masing pasangan tersebut.
Menurut Ensiklopedia Indonesia dalam Walgito (2000)
perkataan perkawinan = nikah. Sedangkan menurut purwadarmini
(1976) kawin : perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri;
nikah: perkawinan – pernikahan. Disamping itu menurut Hornby (1957)
marriage : the union of two person as husband and wife. Ini berarti
bahwa perkawinan adalah bersatunya dua orang sebagai suami istri.
Arti sesungguhnya dari perkawinan adalah penerimaan status baru
oleh orang lain. Demikian pula perkawinan warisan para leluhur yang
mempunyai nilai dalam kehidupan sosial juga merupakan salah satu cara
untuk mengumumkan status seseorang untuk diakui sebagai keluarga. Selain
itu perkawinan juga salah satu cara untuk melegalisasikan suatu status sosial
dan menciptakan hak dan kewajiban yang diakui secara hukum.
3
Dalam undang-undang perkawinan nasional Pasal 1 UU No. 1 Tahun
1974 disebutkan bahwa :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Ketuhanan
yang Maha Esa.”.
Selain itu, perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang
kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupu istri.
Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera
dank kukuh selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan
fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakraldan
dapat menentukan jalan hidup seseorang.
Walaupun dasar atau landasan mereka yang kawin adalah hubungan
kelamin, tetapi hubungan itu melibatkan hubungan-hubungan emosi dan
perasaan, kasih sayang, hubungan politik dan hubungan sosial
(widjaya,1986). Dengan kata lain, perkawinan bukan saja pertautan antara
dua insan, tetapi juga merupakan pertautan antara dua keluarga yang
sanggup membawa diri dan melebur sebagai keluarga sendiri. Suatu
perkawinan membutuhkan adanya suatu pembauran yang bersifat positif
kedua insan yang mengalaminya, yang mendukung terciptanya suatu
kehidupan yang harmonis.
4
Proses perkawinan pada tiap-tiap daerah selalu menjadi hal yang
sangat menarik untuk dibahas. Baik dari segi latar belakang budaya
perkawinan tersebut, maupun dari segi kompleksitas perkawinan itu sendiri.
Karena dalam perkawinan yang terjadi bukan hanya sekedar menyatukan
dua orang yang saling mencintai. Lebih dari itu, ada nilai nilai yang tak lepas
untuk dipertimbangkan dalam perkawinan, seperti status sosial, ekonomi, dan
nilai-nilai budaya dari masing-masing keluarga pria dan wanita. Kompleksitas
perkawinan pada masyarakat bugis merupakan nilai- nilai yang tak lepas
untuk dipertimbangkan dalam perkawinan.
Perkawinan Bugis adalah salah satu perkawinan di Indonesia yang
paling kompleks dan melibatkan banyak emosi. Bagaimana tidak, mulai dari
ritual lamaran hingga selesai resepsi pernikahan akan melibat kan seluruh
keluarga yang berkaitan dengan kedua pasangan calon mempelai. Ditambah
lagi dengan biaya mahar dan "dui menre" atau biaya akomodasi pernikahan
yg selangit
Sebenarnya tradisi perkawinan yang tergolong mewah ini hanya
berlaku bagi keluarga kerajaan namun sekarang mengalami pergeseran dan
mulai dipraktekkan masyarakat umum suku Bugis Makassar khususnya di
masyarakat Bugis Bone.
Tradisi uang belanja (dui menre) pada masyarakat Bugis Bone ini
dipercaya mampu menaikkan status sosial seseorang yang tergantung dari
5
berapa jumlah uang belanja (dui menre) yang akan diberikan. Seperti pada
masyarakat golongan menengah ke bawah yang dengan cepat bisa
mendapatkan status sosial tinggi hanya akibat tingginya uang belanja (dui
menre) yang diajukan oleh mempelai laki-laki. Di samping dari status sosial,
indikator besar kecilnya uang belanja (dui menre) bisa dilihat dari
kemewahan pesta pernikahan. Hal ini kemudian menjadi masalah dimana
hampir semua masyarakat ingin menikahkan anaknya dengan jumlah uang
belanja (dui menre) yang tinggi untuk kepentingan derajat sosial di tengah
masyarakat.
Idealnya, perkawinan orang Bugis harus terjadi antar kalangan yang
berstatus sosial sama, yaitu dari garis keturunan dan status yang sebanding.
Akan tetapi perkawinan orang bugis terdapat semacam norma kesepakatan
dengan pemberian sanksi atas pernikahan seorang lelaki dengan perempuan
yang berstatus lebih rendah namun apabila perempuan yang berada pada
status lebih rendah status sosialnya akan naik jika uang belanja (dui menre)
jumlahnya sangat besar karena besar kecilnya uang belanja adalah sebuah
penentu status sosial seseorang.
Dalam masyarakat Bugis, upacara perkawinan tersebut merupakan
suatu bentuk kegiatan tertentu dari upacara tersebut, harus diselenggarakan
dalam upacara yang bersifat trasedental (M. Yamin Sani dkk, 1989)
6
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai tradisi
perkawinan di kalangan masyarakat Bugis Bone yang mengenal tradsi uang
belanja (dui menre) yang pembahasannya lebih mengarah kepada status
sosial.
Dari uraian singkat di atas maka penulis mencoba menyusun skripsi
untuk meneliti lebih jauh mengenai :”UANG BELANJA (DUI MENRE)
DALAM PROSES PERKAWINAN (KAJIAN SOSIOLOGIS MASYARAKAT
DESA SANRANGENG KECAMATAN DUA BOCCOE KABUPATEN
BONE”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada pemaparan latar belakang di atas maka penulis
mengidentifikasikan masalah yang di jadikan sarana penelitian, yaitu:
1. Bagaimana tahapan tradisi uang belanja (dui menre) dalam proses
perkawinan
2. Apakah ada perubahan makna uang belanja (dui menre) dalam
proses perkawinan?
7
C. TUJUAN PENELITIAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian
adalah :
a. Untuk mengetahui makna tahapan uang belanja (dui menre)
dalam proses perkawinan.
b. Untuk mengetahui perubahan makna uang belanja (dui menre)
dalam proses perkawinan.
2. Manfaat penelitian
Dari tujuan penelitian tersebut maka penelitian ini diharapkan
memiliki manfaat sebagai berikut :
a. Sebagai bahan referensi dan informasi bagi penelitian lain yang
berminat mengkaji makna tahapan uang belanja (dui menre)
dalam proses perkawinan yang terdapat di Desa Sanrangeng
Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten Bone dalam rangka
menambah wawasan tentang sratifikasi sosial dalam tradisi
perkawinan masyarakat Bugis Bone serta penelitian lainnya
yang berhubungan.
b. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan yang berguna
bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu
sosiologi dan juga dapat menjadi sumbangan terutama yang
berminat dan mempunyai perhatian terhadap makna tahapan
8
uang belanja (dui menre) dalam proses perkawinan masyarakat
bugis bone. Disamping merupakan persyaratan bagi
penyelesian studi di perguruan tinggi,sesuai dengan disiplin
ilmu yang digeluti.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar
pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu
pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi -
yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan
diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani
dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Perkawinan merupakan suatu unsur yang sangat penting umat
manusia, terutama untuk mengatur pergaulan antar seorang laki—laki dan
seorang perempuan yang hidup bersama dalam sebuah rumah tangga
sebagai suami istri dengan sekaligus merupakan saat peralihan dari remaja
ke masa berkeluarga.
Segi sosial dari suatu perkawinan adalah bahwa dalam setiap
masyarakat, ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang
berkeluarga dianggap mempunyai kedudukan yang lebih dihargai (terhormat)
dari mereka yang tidak kawin. Sedangkan dari sudut pandang keagamaan,
perkawinan merupakan suatu hal yang di pandang suci (sakral) karenanya
tidaklah mengherankan jika semua agama pada dasarnya mengakui
keberadaan institusi perkawinan.
10
Perkawinan mungkin salah satu praktek kebudayaan yang paling
mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu
masyarakat. Kegiatan yang dibayangkan bahkan dipercayai, sebagai
perwujudan ideal hubungan cinta antara dua individu belaka telah menjadi
urusan banyak orang atau institusi, mulai dari orang tua, keluarga besar,
institusi agama sampai Negara. Namun, pandangan pribadi ini pada saatnya
akan terpangkas oleh batas-batas yang ditetapkan keluarga, masyarakat,
maupun ajaran agama dan hukum Negara sehingga niat tulus menjalin ikatan
hati, membangun kedirian masing-masing dalam ruang bersama, menjadi
sesuatu yang tak bisa dihindari, atau seringkali terkalahkan.
Menurut M Dahlan Yacub Al Barry (2001), mengartikan bahwa “kawin
adalah hal membentuk keluarga antara dua orang yang berlainan jenis (laki-
laki dan perempuan), sehingga menimbulkan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban antara mereka secara hukum atau peraturan yang berlaku.
Perkawinan juga merupakan mekanisme pokok dalam suatu
kebudayaan dalam rangka menjamin keberlangsungan keluarganya,
pemeliharaan anak dan juga merupakan pemenuhan hasrat manusia akan
teman hidup. Dalam kebudayaan tertentu, perkawinan juga sebagai
pemeliharaan hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat.
Dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 1 :
11
“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang menit Maha Esa”. Dari
undang-undang perkawinan tersebut nampak bahwa tujuan perkawinan tidak
hanya dilihat dari segi lahirnya saja tetapi sekaligus terdapat pertautan batin
antara suami dan istri yang di tujukan untuk membina suatu keluarga atau
rumah tangga yang kekal dn bahagia bagi keduanya dan sesuai dengan
kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Abuhamid (dikutip Fadly Husein, 1999), mengemukakan
bahwa perkawinan merupakan tingkah laku manusia yang bersangkut paut
dengan kehidupan seksnya, ialah terutama perhatian untuk melanjutkan
keturunannya. Perkawinan sebagai pengatur tingkah laku seks, mempunyai
fungsi dalam perkembangan masyarakat dan kebudayaan, yaitu memberi
ketentuan hak dan kewajiban serta perkembangan masyarakat dan keluarga,
yaitu memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan pada hasil
perkawinan itu berupa suatu unit keluarga.
12
B. Uang Belanja (Dui Menre)
Inti dari perkawinan bugis adalah kaidah tentang pembayaran resmi
sejumlah mahar atau uang belanja (dui menre) oleh mempelai pria kepada
orangtua pengantin wanita sebagai lambang status sosial pihak pengantin
wanita berhubungan karena perkawinan pertama selalu diliputi dengan
nuansa kesetaraan status sosial, nilai mahar yang diserahkan juga menjadi
suatu indikator untuk melihat status sosial pengantin wanita.
Ketika orang bugis akan mengadakan pesta perkawinan, hal yang
paling penting yg akan dibicarakan adalah mahar atau uang belanja (dui
menre). Sejak 30 tahun terakhir mahar dalam tradisi orang bugis telah
menjadi momok yang menakutkan bagi para pemuda yang semakin
cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Pihak keluarga perempuan tidak
tanggung-tanggung mematok jumlah dui menre yang terbilang fantastis dan
cukup tinggi yaitu sekitaran dua puluh juta,tiga puluh juta, lima puluh juta
bahkan sampai ratusan juta.
Mahar dalam pernikahan Bugis terdiri dari dua jenis uang serahan,
yakni serahan “mahar” (sompa [Bugis]) dan “uang belanja” (dui menre
[Bugis]), dan besaran masing-masing uang serahan tersebut memiliki makna
yang berbeda. Mahar atau sompa dinyatakan dalam sejumlah nilai
perlambang tukar tertentu yang tidak berlaku lagi secara nominal dan tidak
mempunyai nilai yang dapat dibanding dengan nilai uang yang berlaku
13
sekarang. Besaran ini sudah ditentukan jumlahnya secara adat, berdasarkan
derajat tertentu, sesuai garis keturunan si calon mempelai wanita. (Millar
susan bolyard 2009)
Disini penting diingat bahwa calon mempelai wanita tidak penah
menerima uang belanja (dui menre) yang lebih rendah dari jumlah yang dulu
diterima ibunya. Bagi orang kebanyakan, hal ini tidak begitu
dipermasalahkan, Karena mereka biasa menerima uang belanja (dui
menre),status orang kebanyakan yang sama nilainya. Namun demikian, bagi
kalangan bangsawan dan orang terpandang, mereka sangat memerhatikan
besaran jumlah uang serahan ini, karena menjadi simbol penjenjangan status
sosial mereka. Oleh sebab itu, mahar selalu di umumkan dan di bayarkan
lunas dalam upacara akad nikah.
Secara sederhana, uang naik dapat diartikan sebagai uang belanja,
yakni sejumlah uang yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki ke pihak
mempelai perempuan. Uang naik ini ditujukan untuk belanja kebutuhan pesta
pernikahan. Besar kecilnya uang naik, ditentukan oleh pihak perempuan.
Selain itu, status sosial juga seringkali jadi penentu besar kecilnya uang naik
ini.
Christian Pelras dalam bukunya Manusia Bugis menjelaskan bahwa
dalam tradisi Bugis, uang naik disebut juga dui' menre'. Dui' menre' ini
merupakan salah satu bagian dari mas kawin, selain sompa yang secara
14
harfiah berarti 'persembahan'. Sompa ini sendiri berbeda dengan mahar
dalam konsepsi hukum Islam yang sekarang disimbolkan dengan sejumlah
uang rella', yakni rial (mata uang Portugis yang sebelumnya berlaku, antara
lain, di Malaka). Rella' ditetapkan sesuai status perempuan dan akan menjadi
hak miliknya (Pelras, 2006).
Jika upacara perayaan perkawinan berlangsung dengan Akad nikah,
maka sebagian atau seluruh uang belanja diserahkan di saat itu juga,
sementara sisanya diberikan di saat kedatangan mempelai pria. Besaran
‘mahar’ tergantung kepada kesepakatan antar-penyelenggara. Dalam bentuk
uang jumlahnya cukup besar, dalam beberapa kasus, bisa berbentuk
seperangkat perhiasan bernilai tinggi. Nilai perhiasan tersebut pada dasarnya
sepadan dengan martabat dengan status kesejahteraan orang tua pengantin
wanita, tetapi dapat juga mencerminkan gengsi yang telah dicapai mempelai
pria. Jumlah uang belanja tidak harus diumumkan pada upacara pernikahan
tetapi besaran nilai uang serahan akan dengan mudah diketahui masyarakat,
baik di umumkan maupun tidak, apalagi bila jumlahnya cukup besar.
Dalam masyarakat Indonesia khususnya masyarakat bugis, pemberian
uang belanja (dui menre) mempunyai penyebutan yang berbeda sesuai
dengan adat dan bahasanya, namun mempunyai kesamaan dari segi fisik
dan pemaknaanya.
15
Dan untuk daerah dan masyarakat bugis, seperti yang di kemukakan
oleh Rasuly (dikutip Anwar, K. 2002 ) menyebutkan bahwa :
“dui menre” yaitu uang belanja yang diserahkan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan untuk di gunakan dalam upacara perkawinan.
Besarnya uang belanja ini tergantung dari kesepakatan bersama. Pihak
wanitanya ada kalanya tidak menentukan jumlah yang di minta tetapi
sekarang ini lebih banyak dijumpai pihak wanita yang meminta uang belanja
tersebut dengan jumlah yang sangat besar bahkan sampai jutaan. Keadaan
ini tidak ditemukan di masa lampau, tetapi dewasa ini uang belanja (dui
menre) ini merupakan suatu masalah”.
Besarnya jumlah dui menre merupakan media utama bagi masyarakat
bugis untuk menunjukkan posisinya dalam masyaralat. Kekayaan keluarga
mempelai laki-laki dapat di lihat dari besar jumlah uang belanja (dui menre)
yang mereka persembahkan kepada mempelai perempuan, millar (dikutip
pelras.2005).
Uang belanja (dui menre) ini adalah sejumlah uang yang diberikan
oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita yang merupakan
bentuk penghargaan dan realitas penghormatan terhadap norma dan strata
sosial. Uang panai’ ini belum terhitung sebagai mahar penikahan, melainkan
sebagai uang adat namun terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati
oleh kedua belah pihak atau keluarga.
16
Uang belanja (dui menre)’ untuk menikahi wanita Bugis terkenal tidak
sedikit jumlahnya. Tingkat strata sosial wanita serta tingkat pendidikannya
biasa menjadi standar dalam penentuan jumlah uang untuk melamar. Jadi,
jika calon mempelai wanita adalah keturunan darah biru (keluarga kerajaan
Bone), maka uang belanjanya akan mencapai puluhan hingga ratusan juta.
Begitupun jika tingkat pendidikan calon mempelai wanita maka akan berlaku
hal yang sama.
Uang belanja menjadi sangat penting karena bisa menjadi
penghambat namun di lain hal, uang belanja (dui menre) bisa meningkatkan
gengsi dan status sosial suatu keluarga dalam masyarakat. Pentingnya arti
dan posisi uang belanja (dui menre) dalam proses perkawinan akan berbeda
setiap orang, dan sikap setiap orang ditentukan oleh kondisi sosial dan
ekonomi dalam masyarakat.
Pihak keluarga (saudara ayah atau ibu), memiliki pengaruh yang
cukup penting dalam pengambilan keputusan mengenai besarnya dui menre’
dan mahar. Tidak jarang, karena persoalan yang rumit dalam hal ini membuat
pasangan yang saling mencintai tidak bisa sampai ke jenjang pernikahan.
Berbicara dalam lingkup sosial, manusia merupakan makhluk yang
terikat dengan jaring-jaring sosial kebudayaan yang membatasi. Jika jumlah
uang naik yang diminta mampu dipenuhi oleh calon mempelai pria, hal
tersebut akan menjadi prestise (kehormatan) bagi pihak keluarga perempuan.
17
Kehormatan yang dimaksudkan disini adalah rasa penghargaan yang
diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada wanita yang ingin
dinikahinya, dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya
melalui uang belanja (dui menre)’ tersebut.
Barang antaran atau uang antaran (bridewealth) merupakan gejala
umum di dalam masyarakat Asia Tenggara yang organisasinya mengikuti
garis kognatis, tetapi tampaknya lebih merupakan transaksi antar keluarga,
sebagai imbalan bagi kerabat mempelai wanita karena kehilangan tenaga
kerjanya, dan sebagai upacara terbentuknya korporasi rumah tangga baru
(roger M. Keesing. 1989 ).
C. Sistem perkawinan
Suatu perkawinan dalam kehidupan sosial tidak hanya dipandang
sebagai suatu lembaga kekerabatan yang memungkinkan bagi sepasang
suami istri untuk melanjutkan keturunannya, melainkan secara prinsip,
perkawinan itu sendiri merupakan syarat mutlak untuk memanisfestasikan
setiap individu sebagai makhluk sosial.
Perkawinan merupakan jenjang awal pembentukan masyakarat. Dari
suatu perkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah
tangga. Didalamnya akan lahir seorang anak atau lebih. Dalam kelompok
individu tersebut lahir organisasi sosial yang bernama keluarga dan
membentuk relasi – relasi sperti hubungan suami istri, anak dan orang tua,
18
anak dengan saudara-saudaranya, anak dengan kakek nenenknya, anak
dengan paman dengan tantenya, ayah ibu dengan saudara dan iparnya,
suami istri dengan orang tua dan mertuanya, seterusnya.
Dalam keluarga kemudian muncul perilaku-perilaku kemudian muncul
perilaku-perliaku budaya untuk mengantisipasi kehidupan dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Setiap keluarga tentunya akan menunjukkan perilaku
yang berbeda dengan keluarga lain. Hal tersebut disebabkan oleh latar
belakang mereka dan cara menanggapi persoalan kehidupan yang muncul
dan lingkungan yang berbeda pula
Pembentukan keluarga melalui perkawinan adalah juga suatu akibat
dari sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Sistem nilai
yang di bentuk oleh suatu budaya menjadi tatanan dalam suatu kelompok
masyarakat yang mengharuskan manusia pendukungnya untuk mengikuti
tatanan nilai dan melakukan suatu upacara sakral yang meresmikan suatu
pasangan manusia untuk dapat hidup bersama. Aturan tersebut dinamakan
perkawinan.
Dalam masyarakat yang lebih maju sistem kepercayaan mereka
menciptakan upacara-upacara sakral dengan meresmikan pasangan-
pasangan manusia dalam perkawinan, sekaligus menghentikan pergaulan
bebas dalam kehidupan manusia dan membedakan kehidupan sosial
manusia dan kehidupan kelompok binatang. Baik dalam agama tradisional
19
maupun agama rasional dipandang perkawinan sebagai sesuatu yang sakral
yang harus diresmikan dengan sebuah upacara.
Menurut hukum adat, perkawinan mempunyai akibat hukum terhadap
hukum adat yang berlaku dalam masyarakat. Akibat hukum ini sudah ada
sebelum perkawinan terjadi misalnya hubungan antara orang tua keluarga
dari calon suami istri. Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-
hak dan kewajiban-kewajiban orang tua dan anggota keluarga menurut huum
adat setempat yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam
peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan
kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam
perkawinan.
Perkawinan menurut hukum adat dapat berbentuk dan bersistem
perkawinan jujur dimana pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki kepada
pihak perempuan dan setelah perkawinan istri mengikuti tempat kediaman
suami, perkawinan semanda dimana pelamaran dilakukan oleh pihak
perempuan dan setelah perkawinan suami mengikuti ketempat kediaman istri
dan perkawinan bebas dimana pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki dan
setelah perkawinan kedua suami istri bebas menentukan tempat kediaman
mereka.
Perkawinan menurut hukum agama merupakan perbuatan yang suci
yaitu suatu ikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran
20
Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga
serta berkerabat berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-
masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan
jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang
dianut kedua calon mempelai beserta keluarganya. Menurut aturan agama
islam perkawinan adalah akad (perikatan) antara wali perempuan dengan
laki-laki (menantu). Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali perempuan
dengan jelas berupa ijab (serah) dan diterima (Kabul) oleh calon suami yang
dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
Tujuan perkawinan dalam ajaran agama atau dalam ajaran sistem
kepercayaan pada dasarnya adalah kepercayaan pada dasarnya adalah
sama yakni untuk menghindarkan terjadinya hubungan seksual secara
liar/bebas dan menciptakan sistem sosial yang harmonis. Selain itu
perkawinan diharapakan menghantarkan manusia dalam kehidupan rumah
tangga yang bahagia, melahirkan keturunan , dan saling melindungi antara
satu dengan yang lainya.
Menurut Muhammad Thalib (dikutip saifuddin Bahrum, 2003) :
“dalam agama islam pernikahan betujuan untuk menciptakan tata kehidupan
yang sakinah, mawaddah, dan warahmah, memperbanyak dan melestarikan
keturunan, serta membentuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tanggung jawab
21
antara anggota keluarga demi keselamatan, keamanan, berkerabat, dan
bermasyarakat”.
Dalam AL-QUR’AN (Ar Ruum:20-22) ALLAH SWT berfirman “Diantara
tanda-tanda kekuasaan-NYA ialah ia yang menciptakan kamu dari tanah
kemudian tiba-tiba kamu menjadi manusia yang berkembang biak. Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-nya di antaramu rasa kasih
dan sayang. Ia menciptakan langit dan bumi dan berlain-lain bahasa dan
warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi orang yang berfikir dan mengetahuinya”.
Perkawinan bukan hanya bermakna religious tertapi juga bermakna
sosial, karena perkawinan akan melibatkan masyarakat. Dalam pandangan
masyarakat, cinta dipandang sebagai suatu faktor yang harus mendahului
suatu perkawinan, namun cinta itu juga di anggap suatu ancaman terhadap
sistem stratifikasi, sehingga orang-orang tua memperingatkan untuk tidak
mengendalikan cinta sebagai dasar pemilihan jodoh.
Seperti yang di kemukakan William J goode (1991) dalam Teori Saling
Memenuhi kebutuhan (the Theory Of complementary Needs) memberikan
jawaban atas ikatan-ikatan romantic ini bahwa “dalam pemilihan jodoh setiap
orang mencari dalam lingkungannya orang yang akan diperkirakan dapat
memberikan pengharapan terbesar untuk memenuhi kebutuhannya”. Dalam
22
arti, mereka yang jatuh cinta umumnya sama dalam ciri sosialnya, tetapi
saling melengkapi dalam kebutuhan psikologinya.
Secara sosial, cinta dapat ditafsirkan sebagai pertukaran dalam status
sosial, pola pertukaran langsung yang di maksud oleh ‘Levistrauss’ (dikutip
Mardiah, 2005) dalam perspektif teoritisnya mengenai pertukaran sosial,
melalui analisanya tentang praktek perkawinan dan sistem kekerabatn
masyarakat – masyarakat primitive, melibatkan dua pihak secara timbale
balik dan cenderung menekan pada keseimbangan dan persamaan yang
melibatkan faktor emosional.
Sehubungan dengan masalah pemberian dalam sistem perkawinan,
Sudiyat (dikutip Mukhnis, 1993) mengemukakan bahwa makna istimewa dari
masing-masing pemberian tidak selalu diketahui orang. Kebanyakan juga
sudah samar-samar disebabkan oleh perubahan- perubahan didalam struktur
masyarakat, namun ditempat lain masih berlaku . dalam sistem perkawinan
yang menganut sistem keturunan patrilineal, istri dan anak-anak akan
menjadi warga masyarakat dari pihak suaminya. Corak utama dari
perkawinan pada sistem patrilineal ini adalah pemberian dalam sistem
perkawinan.
Menurut mattualada (1984 : 124 ) pada masyarakat Bugis hari
pernikahan dimulai dengan mappenre dui balanca (menaikkan uang belanja
yaitu prosesi dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabat
23
pria dan wanita, tua dan muda dengan membawa macam-macam makanan,
pakaian wanita dan mas kawin. Mas kawin atau sompa bertingkat-tingkat
sesuai dengan daerah lain.
1. Untuk daerah Luwu tingkatan mas kawinnya sebagai berikut :
a. Sompa kati dengan disertai dua orang hamba sahaya. Mas kawin
ini berlaku pada bangsawan keturunan raja luwu.
b. Tau daeng (orang baik-baik) 88 real.
c. Bagi umum (orang biasa) 40 real.
2. Untuk daerah wajo tingkatan mas kawinnya sebagai berikut :
a. Kepala kerajaan dan yang sama derajatnya (anak-anak mattoala)
sebanyak 7 kati.
b. bangsawan menengah 5 doi.
c. orang baik-baik 24-44 real.
d. Tingkatan rendah 1 doi.
3. Untuk daerah Bone tingkatan mas kawinnya sebagai berikut :
a. Bangsawan cera satu/cera dua 88 real.
b. Bangsawan cera tellu 80 real.
c. Golongan menengah (tau deceng) 74 real.
Penjelasan : 1 kati = 88 real = Rp. 55,-
1 doi = 8 real
1 real = Rp.2, -
24
Projodikoro (1974 : 34) mengatakan bahwa dikalangan orang-orang
Indonesia asli terdapat 3 macam sistem perkawinan yaitu :
- Endogami
- Eksogami
- Eleuterogami
Pada sistem perkawinan endogami, orang hanya dibolehkan kawin
dengan seseorang di dalam lingkungannya, baik antara keluarga, suku atau
seklen. Di Indonesia, hanya ada satu daerah secara praktis menganut sistem
endogami yaitu Tanah Toraja. Sedangkan pada masyarakat Bali menurut
adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen (dadia) atau setidak-
tidaknya antara orang-orang yang di anggap sederajat dalam kasta (wangsa).
Dengan demikian adat perkawinan di Bali bersifat endogami klen. Pada
masyarakat minangkabau zaman dahulu terdapat keharusan bahwa seorang
laki-laki melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang
merupakan anak dari saudara kandung laki-laki ibunya. Pada sistem
endogami ini dikenal adanya pemberian dalam perkawinan yang fungsinya
sebagai tanda ikatan kekeluargaan yang erat dan bersama-sama
menanggung biaya perkawinan.
Pada sistem perkawinan secara eksogami, orang hanya dibolehkan
kawin dengan seseorang diluar lingkungannya. Pada sistem ini juga dikenal
25
adanya pemberian dalam sistem pekawinan yag fungsinya didasari oleh
pandangan masyarakat tersebut tentang dunianya.
Sistem perkawinan secara eleuterogami dimana orang diperbolehkan
kawin dengan seseorang di dalam atau di luar lingkungannya. Pemberian
perkawinan pada sistem ini dimaksudkan sebagai tanda ikatan tali
persaudaraan.
Menurut Abdullah (1985) perjodohan dalam masyarakat bugis adalah
sistem perkawinan yang bersifat endogami, yaitu suatu usaha untuk
mempertahankan garis keturunan dengan motif yang berbeda. Ada yang
berdasarkan motif darah, motif harta, dan ada pula karena motif untuk
mempertahankan keluarga atau kerabat. Motif ini masih berlaku dalam
masyarakat Bugis hingga kini dengan interprestasi baru yang menyesuaikan
dengan perkembangan masa.
D. Stratifikasi Sosial (Pelapisan Sosial)
Manusia adalah mahkluk yang mampu mengadakan evaluasi. Ia tidak
saja menggolong-golongkan benda dan aktivitas tetapi juga manusia sendiri.
Salah satu hasil proses evaluasi itu ialah pembagian masyarakat kedalam
kelas atau tingkatan sedemikian rupa, sehingga orang dalam kelas tertentu
digolongkan sama, tetapi tingkatan-tingkatan itu sendiri disusun secara
hirarkis.
26
Dalam lingkungan masyarakat kita melihat bahwa ada pembeda-
bedaan yang berlaku dan diterima secara luas oleh masyarakat. Di sekitar
kita ada orang yang menempati jabatan tinggi seperti gubernur dan wali kota
dan jabatan rendah seperti camat dan lurah. Di sekolah ada kepala sekolah
dan ada staf sekolah. Di rt atau rw kita ada orang kaya, orang biasa saja dan
ada orang miskin.
Perbedaan itu tidak hanya muncul dari sisi jabatan tanggung jawab
sosial saja, namun juga terjadi akibat perbedaan ciri fisik, keyakinan dan lain-
lain. Perbedaan ras, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, usia atau umur,
kemampuan, tinggi badan, cakep jelek, dan lain sebagainya juga
membedakan manusia yang satu dengan yang lain.
kriteria mana yang dipergunakan untuk menempatkan orang dalam
kelas berbeda satu masyarakat kepada yang lain, keberanian dan keahlian
dalam peperangan, pengetahuan teknik, pendidikan, keberhasilan,
keuangan. Sistem stratifikasi dapat pula dibandingkan dengan menggunakan
berbagai variabel, seperti umpamanya kriteria untuk penempatan kelas,
bagaimana sulitnya berpindah dari satu kelas ke kelas yang lain, bagaimana
tajamnya perbedaan kelas-kelas itu, bagaimana secara sosial jauhnya
perbedaan antara kelas atas dan bawah, atau bagaimana jumlah
keseluruhan penduduk terbagi di antara kelas-kelas. Ukuran atau kriteria
27
yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial
adalah kekayaan (materi atau kebendaan), ukuran kekuasaan dan
wewenang, ukuran kehormatan, dan ukuran ilmu pengetahuan.
Hal yang mewujudkan unsur dalam teori sosiologi tentang sistem
lapisan sosial masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan (role).
Kedudukan dan peranan merupakan dua unsur baku dalam lapisan sosial
dan mempunyai arti penting dalam bagi sistem sosial. Yang diartikan sebagai
sistem sosial adalah pola-pola yang mengatur hubungan timbal-balik antara
individu dalam masyarakat dan tingkah laku individu-individu tersebut.
Kedudukan adalah posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial.
Kedudukan itu dibedakan atas tiga macam yaitu pertama, ascribed status
artinya kedudukan sesorang dalam masyarakat diperoleh karena kelahiran
tanpa memperhatikan perbedaan rohaniah dan kemampuan, misalnya
kedudukan anak bangsawan adalah bangsawan pula. Kedua, achieved
status artinya kedudukan yang dicapai seseorang dengan usaha-usaha yang
disengaja, misalnya profesi guru diperoleh dengan memenuhi persyaratan
tertentu dengan usaha dan kemampuan yang dimilikinya. Dan ketiga,
assigned status artinya kedudukan yang diberikan, mempunyai hubungan
erat dengan achieved status, bahwa kelompok atau golongan memberikan
kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa telah
28
memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan
masyarakat.
Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan. Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya,
maka dia menjalankan suatu peranan. Peranan meliputi norma-norma yang
dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.
Peranan dalam hal ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang
membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu
peranan merupakan suatu konsep perihal pa yang dapat dilakukan individu
dalam masyarakat sebagai organisasi. Serta peranan juga dapat dikatakan
sebagai perilaku individu yang penting bagi stuktur sosial. kalau kita
mempelajari secara umum, sistem pelapisan sosial terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu bagian lapisan atas yang terdiri dari individu-individu yang
memiliki lebih hal-hal yang bernilai atau berharga dalam masyarakat;
kedudukannya ini bersifat kumulatif dalam arti mereka yang memiliki uang
banyak misalnya, akan mudah sekali untuk mendapatkan tanah, kekuasaan
atau mungkin juga kehormatan. Ukuran atau kriteria yang biasanya dipakai
untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam
lapisan-lapisan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Ukuran kekayaan; ukuran ini dapat berupa kebendaan, barang
siapa yang memiliki kekayaan palingbanyak, orang-orang itu termasuk
29
lapisan paling atas; kekayaan tersebut, misalnya dapat dilihat dari tempat
tinggal, besarnya tempat tinggal, kendaraan-kendaraan, pkaian-pakaiannya
yang dikenakan, kebiasaanya dalam mencukupu kebutuhan rumah tangga,
yang semuanya itu dianggap sebagai status simbol atau lambang-lambang
kedudukan seseorang yang membedakannya dengan orang kebanyakan,
2. Ukuran kekuasaan; barang siapa yang memiliki kekuasaan atau
yang mempunyai wewenang terbesar, maka orang atau orang-orang itu
menenmpati lapisan tertinggi dalam masyarakat.
3. Ukuran kehormatan; ukuran ini mungkin terlepas dari ukuran-ukuran
kekayaan dan kekuasaan, ukuran secamam ini biasanya hidup pada bentuk-
bentuk masyarakat yang masih tradisional, orang-orang yang bersangkutan
adalah individu yang dianggap atau pernah berjasa besar dalam masyarakat;
orang atau orang-orang yang paling dihormati atau yang disegani, ada dalam
lapisan atas.
4. Ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran ini biasanya dipakai oleh
masyarakat-masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Aka tetapi ada
kalanya ukuran tersebut menyebabkan akibat-akibat yang negatif, oleh
karena kemudian ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengertahuan yang
dijadikan ukuran, akan tetapi gelar kesarjanaannya; sudah tentu hal ini
mengakibatkan segala macam usaha untuk mendapatkan gelar tersebut,
walau melalui mekanisme yang tidak benar.
30
Ukuran-ukuran tersebut di atas, tidaklah bersifat limitatif, oleh karena
masih ada ukuran-ukuran lainnya yang dapat dipergunakan. Akan tetapi
ukuran-ukuran itu adalah aspek yang menonjol sebagai dasar timbulnya
sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Pada beberapa masyarakat
tradisionil di Indonesia, golongan pembuka tanahlah yang dianggap
menduduki lapisan tertinggi; misalnya di Jawa, kerabat dan keturunan
pembuka tanahlah yang dianggap oleh masyarakat desa sebagai kelas
tertinggi dalam masyarakat. Kemudian menyusul para pemilik tanah,
walaupun mereka bukan keturunan pembuka tanah; mereka di sebut pribumi,
sikep atau kuli kenceng. Lalu menyusul mereka yang hanya mempunyai
rumah atau pekarangan saja (golongan ini di sebut kuli gundul, lindungatau
indung), dan akhirnya kelompok mereka yanghanya menumpang saja pada
tanah milik orang lain. Seorang sosiolog terkemuka, yaitu Pitirim A. Sorokin,
pernah mengatakan bahwa sistem lapisan merupakan ciri yang memiliki
sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak di anggap
masyarakat berkedudukan dalam lapisan atas. Mereka yang hanya sedikit
sekali atau tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam pandangan
masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah.
Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa social stratification adalah
pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara
bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas
31
yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan
masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan
kewajiban, dan tanggung jawab nilai-nilai sosial pengaruhnya di antara
anggota-anggota masyarakat. Selama dalam satu masyarakat ada sesuatu
yang di hargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang
dihargainya, sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan
adanya sistem pelapisan dalam masyarakat itu. Sesuatu yang dihargai di
didalam masyarakat dapa berupa uang atau benda-benda yang bernilai
ekonomis , tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama
atau mungkin juga keturunan yang terhormat. Pitirim A. Sorokin (2002).
Sedangkan menurut Bruce J. Cohen sistem stratifikasi akan
menempatkan setiap individu pada kelas sosial yang sesuai berdasarkan
kualitas yang dimiliki. Sementara Max Weber mendefinisikan stratifikasi
sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem
sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan,
previllege dan prestise.
Adanya sistem lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya
dalam proses pertumbuhan masyarakat itu. Tetapi adapula yang dengan
sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Faktor yang
menyebabkan stratifikasi sosial dapat tumbuh dengan sendirinya adalah
kepandaian, usia, sistem kekerabatan, dan harta dalam batas-batas tertentu.
32
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu
terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan.
Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan
hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Kalau
suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan materiil daripada kehormatan,
misalnya, mereka yang lebih banyak kekayaan materiilnya akan menempati
kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain.
Gelaja tersebut menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan
pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang
berbeda-beda secara vertikal.
Masyarakat Sulawesi Selatan agak ketat memegang adat yang
berlaku, utamanya dalam hal perlapisan sosial. Pelapisan sosial masyarakat
yang tajam merupakan suatu ciri khas bagi masyarakat Sulawesi Selatan
(Mattuada, 1997). Sejak masa pra Islam masyarakat Sulawesi Selatan
mudah mengenal stratifikasi sosial. Di saat terbentuknya kerajaan dan pada
saat yang sama tumbuh dan berkembang secara tajam stratifikasi sosial
dalam masyarkat Sulawesi Selatan. Startifikasi sosial ini mengakibatkan
munculnya jarak sosial antara golongan atas dengan golongan bawah.
33
Lapisan tertinggi dalam suatu masyarakat biasa disebut sebagai ‘elite’
masyarakat, bisa mencakup individu atau segolongan kecil yang
mengendalikan masyarakat banyak; jadi disini yang pokok adalah nilai
anggotanya. Keadaan ini dapat dijumpai pada setiap masyarakat, dan
dianggap sebagai hal yang wajar, walaupun kadang-kadang tidak disukai
oleh lapisan-lapisan lainnya, apalagi bila pengendaliannya tidak sesuai
dengan keinginan dan kebutuhan masyartakat umum. Satu hal lagi
berkenaan yang perlu diperhatikan dalam tolok ukur ini, bahwa ukuran-
ukuran itu memiliki keberadaan ganda, satu sisi ukuran itu bisa berdiri sendiri,
danpada sisi lain ukuran itu bisa saling melengkapi (komplementer). Dalam
banyak keadaan seseorang atau segolongan kecil tersebut bisa memiliki
lebih dari satu ukuran; seorang pimpinan masyarakat, berarti dia yang
memegang kekuasaan dan wewenang tertinggi dalam masyarakat, bisa juga
sebagai orang yang paling dihormati dalam masyarakat tersebu; atau bisa
saja, selain dari aspek kekuasaan dan kehormatan tadi, dia adalah seorang
intelektual (ilmu pengetahuan) yang kebetulan memiliki aset material
(kekayaan) terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan .
Pada suku Bugis (masyarakat bugis) menganut tiga tingkatan
sosial. Ketiga tingkatan sosial itu adalah : Ana’ Arung, To Maradeka dan Ata.
Ketiga tingkatan sosial yang dianut oleh suku yang terbesar di Sulawesi
Selatan ini masing-masing memiliki bahagian-bahagian.
34
Lapisan teratas adalah Ana’ Arung. Suku Bugis mengenal Ana’
Arung atas dua tingkatan sosial, yaitu Ana’ Jemma dan Ana’
Mattola. Tingkatan yang disebut pertama adalah anak bangsawan yang lahir
pada saat ayahnya memerintah/menjadi raja. Anak ini menjadi pewaris dari
kerajaan. Sedangkan tingkatan yang disebut berikutnya adalah anak
bangsawan dari raja yang lahir sebelum atau sesudah ayahnya memerintah.
Ana’ Mattola terdiri dari tiga tingkatan sosial, yaitu Ana’ Mattola
Matase, Ana’ Mattola Malolo dan Ana’ Cera’. Ana’ Mattola Matase adalah
anak yang lahir dari hasil perkawinan ayah dan ibu dari tingkatan sosial yang
sama. Ana’ Mattola Malolo adalah anak yang lahir dari perkawinan ayah yang
lebih tinggi darah kebangsawanannya dari pada ibunya. Sedangkan Ana’
Cera’ adalah anak yang lahir dari perkawinan antara seorang bangsawan
dengan orang biasa.
Lapisan kedua, To Maradeka adalah orang yang tidak diperbudak oleh
orang lain. Lapisan ini terdiri atas dua lapisan, yaitu To Baji (orang baik)
dan To Samara (orang biasa). Sedangkan lapisan ketiga, Ata, terbagi kepada
dua lapisan, yaitu. Ata Mana’ dan Ata Taimanu. Lapisan pertama adalah
budak turun temurun sejak nenek moyangnya, jika mereka mempunyai
keturunan maka keturunan tersebut menjadi budak lagi dari orang yang
memperbudaknya. Lapisan kedua adalah golongan budak yang paling
rendah dan dianggap paling hina, karena yang memperbudaknya adalah To
35
Maradeka.
Pada masyarakat Bugis, meskipun agama islam membawa unsur
demokrasi bagi kehidupan manusia, namun tidak mempengaruhi sistem
pelapisan sosial dan sistem kemasyarakatan secara mencolok. Ini
disebabkan karena pelapisan sosial, maupun sistem kemasyarakatan telah
menganut unsur demokrasi. Bagi manusia-manusia Bugis, jauh sebelum
agama islam masuk dan kemudian dianut secara resmi oleh semua lapisan
masyarakat, kehidupan demokrasi telah merupakan ciri kehidupan institusi
sosial mereka. Dengan demikian, ajaran demokrasi yang terkandung dalam
agama islam hanya bersifat melengkapi dari apa yang telah bertapak dalam
kehidupan manusia Bugis.
Pada masyarakat Bugis, meskipun agama islam membawa unsur
demokrasi bagi kehidupan manusia, namun tidak mempengaruhi pelapisan
sosial.
Jikalau kita berangkat dari tradisi Lontara, maka pelapisan sosial
masyarakat bugis terbagi atas tiga kelompok sosial, yaitu :
1. Raja dan kerabat Raja, yang dikenal juga dengan sebutan kelompok
bangsawan atau aristokrat.
2. Kelompok manusia merdeka, yaitu manusia yang mempunyai
kebebasan.
3. Kelompok Hamba.
36
Ketiga kelompok inilah yang mewarnai pelapisan sosial yang terdapat
dalam struktur pelapisan sosial masyarakat bugis. Menurut Friedericy,
lapisan sosial berlangsung sampai pada saat kejatuhan kerajaan Bugis
Makassar Pemerintah Kolonial Belanda.
Jikalau disimak atau dikaji struktur pelapisan sosial masyarakat Bugis
dari teori yang berasal dari Friedericy dan kemudian dikembangka oleh
Mattualada, jelas terlihat bahwa unsur perkawinan antar kelompok
bangsawan yang merupakan kelompok penguasa dengan lapisan yang
bukan berasal dari lapisan itu, mempunyai konsekwensi yang sangat berat
bagi individu yang bersangkutan. Ini berkaitan erat dengan masalah
mempertahankan status sosial dari kelompok penguasa tersebut. Kondisi
yang demikian ini berusaha menjaga jarak antara mereka yang berada pada
posisi yang dipimpin.
Sistem pelapisan sosial yang terdapat dalam dunia realitas manusia
bugis itu, bukanlah hal yang mengherankan atau luar biasa, sebab sistem itu
umumnya terdapat dalam kelompok masyarakat tradisional lainnya. Cuma
mungkin yang membedakannya adalah masalah sanksi yang akan diderita
oleh pribadi yang melakukan pelanggaran adat itu. Sanksi bagi pelaku
pelanggaran perkawinan yang telah ditetapkan oleh tradisi itu adalah sangat
berat.
37
Setidak-tidaknya menjelang akhir abad kesembilan belas, ciri-ciri
pribadi merupakan suatu pertimbangan penting, tidak hanya dalam
penunjukan para penguasa dan pemimpin, melainkan juga dalam
pengabsahan status sosial lewat perkawinan. Kedudukan sosial seseorang
ditetapkan oleh siapa yang bisa dikawini olehnya sendiri ataupun oleh anak
lelakinya. Di beberapa kerajaan, terutama Bone, seseorang yang kedudukan
kelasnya secara formal tidak cukup tinggi dapat membeli (lewat pembayaran
kepada keluarga pengantin wanita) derajat kemurnian darah untuk
memungkinkan dilangsungkannya perkawinan. Apabila dimiliki keluwesan
semacam itu, tidak hanya keturunan tetapi kualitas pribadi orang tersebut
tentu bakal dipertimbangkan, khususnya kedudukan dan kekayaannya.
Dikatakan bahwa anak-anak perempuan bangsawan dapat saja kawin
dengan cendekiawan, orang kaya, pahlawan (serdadu), atau ulama, sebab
dalam keadaan bahaya raja toh membutuhkan kebijaksanaan dari kaum
cendekiawan, kekayaan dari orang kaya, keberanian dari para serdadu, dan
doa dari alim ulama.
Jadi, itu bukan suatu sistem kelas yang sama sekali tertutup. Secara
relatif adalah mudah bagi seorang perempuan untuk menaikkan derajatnya
lewat perkawinan (dan keluarganya ikut menikmati kenaikan prestise ini
sampai batas tertentu), tetapi seorang laki-laki dapat meningkatkan statusnya
hanya dengan mendapatkan kedudukan atau kekayaan lewat usahanya
38
sendiri. Kompetisi, yang merupakan ciri khas dari suatu masyarakat yang
berorientasikan prestasi, dengan demikian ternyata hadir juga dalam apa
yang secara sepintas lalu tampak sebagai suatu masyarakat yang
dihubungkan dengan status. Orientasi pada prestasi ini dicerminkan dalam
karakterisasi kepribadian pria yang dikehendaki yaitu bercita-cita tinggi,
mempunyai daya saing, agresif, bangga, berani, dan sadar akan status.
Orang semacam itu dipandang mampu untuk berhasil dalam masyarakat dan
untuk meningkatkan prestise dan kedudukannya sendiri serta kelompok
keluarganya.
Jadi dengan demikian dapat dinyatakan disini, bahwa dalam pelapisan
sosial yang terdapat dalam struktur sosial masyarakat Bugis, yang cenderung
disebut tertutup adalah masalah yang menyangkut sistem perkawinan antara
seorang pria dari lapisan bawah dengan seorang perempuan lapisan atas.
Lahirnya sistem ini adalah berkaitan erat dengan posisi wanita dalam
kehidupan keluarga yang menjadi lambang kehormatan keluarga.
Menurut Chabot (1984) suatu ciri yang khas dari masyarakat orang
Makassar dan orang bugis adalah susunan kelasnya yang amat tajam dan
resmi. Namun, semenjak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada
tanggal 17 agustus 1945 terjadi perubahan-perubahan dalam sistem
pemeritahan. Sistem pemerintahan berubah dari sistem feudal ke sistem
demokrasi. Semua lapisan masyarakat berhak memperoleh pendidikan
39
sehingga terbukalah kesempatan unutk menduduki jabatan-jabatan penting
dalam pemerintahan yang sebelumnya sangat dibatasi untuk lapisan tertentu
atau golongan bangsawan saja.
Proses perubahan diatas mendorong rakyat untuk memasukkan
anaknya keperguruan tinggi dengan harapan dapat menduduki jabatan-
jabatan tertentu melalui pendidikan yang diperolehnya. Dari proses
perubahan startifikasi sosial diatas, seseorang yang mempunyai ilmu
pengetahuan dengan mudah unutk memasuki kelompok lain atau lapisan
sosial yang lebih tinggi berdasarkan kemampuan yang diperoleh melalui ilmu
pengetahuan.
E.Teori Interaksionisme Simbolis
Menurut blumer istilah interaksionisme simbolik ini menunjuk kepada
sifat khas dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah manusia saling
menerjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya reaksi
belaka dari tindakan orang lain, tapi didasarkan atas “makna” yang diberikan
terhadap tindakan orang lain. Interaksi antar individu, diantarai oleh
penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling berusaha untuk
saling memahami maksud dari tindakan masing-masing
Pada teori ini dijelaskan bahwa tindakan manusia tidak disebabkan
oleh “kekuatan luar” (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis
struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang
40
dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada
pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer
disebut self-indication.
Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada
diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya
makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Lebih
jauh Blumer menyatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh
penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari
tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana
model stimulus-respons.
Bagi Herbert Blumer interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga
premis yaitu :
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna
yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
2. Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan
orang lain”.
3. Makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial
berlangsung.
Para ahli prespektif Interaksionisme simbolik melihat bahwa individu
adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisi melalui
interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-
41
individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di
dalamya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. simbol atau lambang
adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya,
berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata
(pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang disepakati bersama
menurut Meet (dalam Ritzer George: 2007).
Bahasa atau komunikasi melalui simbol-simbol adalah merupakan
isyarat yang mempunyai arti khusus yang muncul terhadap individu lain yang
memiliki ide yang sama dengan isyarat-isyarat dan simbol-simbol akan terjadi
pemikiran (mind). Manusia mampu membayangkan dirinya secara sadar
tindakannya dari kacamata orang lain; hal ini menyebabkan manusia dapat
membentuk perilakunya secara sengaja dengan maksud menghadirkan
respon tertentu dari pihak lain. Tertib masyarakat didasarkan pada
komunikasi dan ini terjadi dengan menggunakan simbol-simbol. Proses
komunikasi itu mempunyai implikasi pada suatu proses pengambilan peran
(role taking). Komunikasi dengan dirinya sendiri merupakan suatu bentuk
pemikiran (mind), yang pada hakikatnya merupakan kemampuan khas
manusia.
Prinsip-prinsip dasar teori interaksionisme simbolik ini (dalam Ritzer
George, 2008), yaitu :
42
1. Tidak seperti binatang yang lebih rendah, manusia ditopang oleh
kemampuan berpikir.
2. Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial.
3. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol yang
memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir tersebut.
4. Makna dan simbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan
inteaksi khas manusia.
5. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang
mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir
mereka terhadap situasi tersebut.
6. Melakukan modifikasi dan perubahan ini, sebagian karena
kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan diri mereka sendiri,
yang memungkinkan mereka memikirkan tindakan yang mungkin
dilakukan, menjajaki keunggulan dan kelemahan relatife mereka, dan
selanjutnya memilih.
7. Jalinan pola tindakan dengan interaksi ini kemudian menciptakan
kelompok dan masyarakat.
Interaksionisme simbolis cenderung sependapat dengan perihal
kausal proses interaksi social. Dalam artian, makna tersebut tidak tumbuh
dengan sendirinya namun mucul berkat proses dan kesadaran manusia.
Kecenderungan interaksionime simbolis ini muncul dari gagasan dasar dari
43
Mead yang mengatakan bahwa interaksionis symbol memusatkan perhatian
pada tindakan dan interaksi manusia, bukan pada proses mental yang
terisolasi. Jadi sebuah symbol tidak dibentuk melalui paksaan mental
merupakan timbul berkat ekspresionis dan kapasitas berpikir manusia.
Pada tahapan selanjutnya, pokok perhatian interaksionisme simbolis
mengacu pada dampak makna dan symbol terhadap tindakan dan interaksi
manusia. Dalam tahapan ini Mead memberikan gagasan mengenai perilaku
tertutup dan perilaku terbuka. Perilaku tertutup adalah proses berpikir yang
melibatkan makna dan symbol. Perilaku terbuka adalah perilaku actual yang
dilakukan oleh actor. Di lain sisi, seorang actor juga akan memikirkan
bagaimana dampak yang akan terjadi sesuai dengan tindakan. Tindakan
yang dihasilkan dari pemaknaan symbol dan makna yang merupakan
karakteristik khusus dalam tindakan social itu sendiri dan proses sosialisasi.
Dalam interaksionisme simbolis, seseorang memberikan informasi
hasil dari pemaknaan symbol dari perspektifnya kepada orang lain. Dan
orang-orang penerima informasi tersebut akan memiliki perspektif lain dalam
memaknai informasi yang disampaikan actor pertama. Dengan kata lain actor
akan terlibat dalam proses saling mempengaruhi sebuah tindakan social.
Untuk dapat melihat adanya interaksi sosial yaitu dengan melihat
individu berkomunikasi dengan komunitasnya dan akan mengeluarkan
44
bahasa-bahasa , kebiasaan atau simbol-simbol baru yang menjadi objek
penelitian para peneliti budaya .
Interaksi tersebut dapat terlihat dari bagaimana komunitasnya, karena
dalam suatu komunitas terdapat suatu pembaharuan sikap yang menjadi
suatu trend yang akan dipertahankan , dihilangkan , atau dipebaharui
maknanya iak itu terus melekat pada suatu komunitas, interaksi simbolik juga
dapat menjadi suatu alat penafsiran untuk menginterpretaskan suatu
masalah atau kejadian.
Melalui premis dan proposisi dasar yang ada, muncul tujuh prinsip
interaksionisme simbolik, yaitu:
(1) simbol dan interaksi menyatu. Karena itu, tidak cukup seorang peneliti
hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks
(2) karena simbol juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati
diri pribadi subyek penelitian
(3) peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol pribadi dengan komunitas
budaya yang mengitarinya
(4) perlu direkam situasi yang melukiskan simbol
(5) metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya
(6) perlu menangkap makna di balik fenomena
(7) ketika memasuki lapangan, sekedar mengarahkan pemikiran subyek,
akan lebih baik.
45
E. KERANGKA KONSEPTUAL
Seperti yang telah diketahui perkawinan adalah suatu peristiwa sosial
Artinya peristiwa yang dilakukan oleh manusia sebagai anggota masyarakat
dan dilakukan dalam kehidupan masyarakat (sosial).
Pertumbuhan dan pembinaan keluarga diawali dengan adanya satu
perkawinan. Keinginan manusia untuk berkeluarga merupakan upaya untuk
mempunyai anak secara sah. Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu
yang sakral untuk mempersatukan dua manusia lain jenis (laki-laki dan
perempuan) dalam jiwa dan raga. Oleh karena itu, hendaknya perkawinan
dilakukan atas dasar cinta dan kerelaan, karena pada hakekatnya
perkawinan adalah sesuatu yang indah dan membahagiakan.
Bagi masyarakat Bugis, perkawinan itu merupakan salah satu upacara
yang sakral dalam kehidupannya. Karena bagi mereka perkawinan yang
mereka inginkan hanya terjadi sekali seumur hidup, maka dari itu
pelaksanaannya pun tidaklah mudah.
Wujud dari suatu perkawinan pada masyarakat Bugis yaitu penyatuan
dua buah keluarga secara utuh. Perkawinan dilakukan untuk mempererat
hubungan kekeluargaan dan merekatkan keluarga yang renggang. Keluarga
yang jaraknya sudah mulai menjauh didekatkan kembali dalam perkawinan.
46
Menurut Abuhamid (1994) perkawinan dalam masyarakat Bugis
adalah menyatukan dua buah keluarga dalam satu ikatan keluarga yang lebih
besar. Setiap cara yang ditempuh selalu mempunyai alasan tertentu yang
bertumpu pada tradisi budaya dan cenderung untuk mempertinggi martabat
keluarga dan menjaga harta benda agar tidak tersebar kemana-mana. Hal ini
memberarti bahwa perkawinan masyarakat Bugis tidak hanya bersifat sakral,
biologis, tetapi juga bersifat sosiologis.
Dalam suatu perkawinan yang normal atau perkawinan yang direstui
oleh adat, dikalangan masyarakat Bugis disebut “Botting Ade”. Proses
perkawinan melalui beberapa fase sampai dilangsungkan dalam suatu
upacara. Bagi masyarakat Bugis, suatu perkawinan adat yang meriah dan
megah merupakan suatu kebanggaan bagi keluarga atau kerabat yang
bersangkutan (Abdullah, 1985).
Menurut pelras (2006) mengatakan : Bagi kaum bangsawan, faktor
lain yang diperhatikan yang paling penting adalah kesesuaian derajat antara
pihak laki-laki dan pihak perempuan. Semakin tinggi status kebangsawanan
seseorang, semakin ketat pula aturan yang diberlakukan. Hal itu masih
berlaku hingga kini. Namun dikalangan bangsawan rendah , pro dan kontra
kian hari kian cenderung terjadi.
Hubungan sosial antar orang Bugis pada umumnya diwarnai dengan
ciri yang lugas, tersamar, dan kompetitif, sekaligus sangat hierarkis. Dalam
47
masyarakat ini, di satu sisi, individu saling bersaing unutk memperoleh status
capaian (achieved) yang lebih tinggi, dan disisi lain, dengan hati-hati
membentengi hak-hak istimewa mereka yang berasal dari status warisan
(ascriptive). Dengan demikian, bagi orang Bugis pada umumnya, hal-hal
yang menyangkut “kedudukan status sosial” individu senantiasa menjadi
sumber ketegangan; ia selalu menjadi perihal penting namun jarang berdiri
dengan tenang. (Susan Bolyard Millar 2009)
Tidak banyak acara dimasyarakat bugis yang mengandung lebih
banyak perwujudan simbolis maupun formal dari kepentingan ini. Acara-
acara perkawinan mereka menjadi semacam arena dimana hubungan
hirearkis dan kompetitif digelar secara temporer. Banyak tradisi di
masyarakat Bugis yang mengandung lebih banyak perwujudan simbolis
maupun dari kepentingan ini. Acara-acara perkawinan menjadi semacam
arena dimana hubungan hierarkis dan kompetitif digelar secara temporer.
Acara ini juga menjadi ajang utama dimana standar yang berlaku untuk
menakar status diubah atau dipertegas. Sebagaimana di tempat lain, standar
masyarakat Bugis-Bone dalam menentukan status sosial dapat berubah
mengiringi perubahan gaya hidup dan wawasan orang-orang berstatus sosial
tinggi.
Tahapan sebuah perkawinan di masyarakat bugis adalah bermula dari
pendahuluan yaitu mam’manu-manu, yaitu apabila seorang pria menaruh hati
48
kepada seorang wanita , atau keduanya telah sepakat untuk membangun
sebuah rumah tangga, lalu keluarga dari pris tersebut mengirim seorang
utusan yang merupakan wakil dari orang tuanya untuk melakukan suatu
pendekatan terhadap keluarga wanita.
Dalam pendekatan ini berlaku penilaian tentang kemampuan pihak
laki-laki, apakah kira-kira keluarga pihak laki-laki dapat memenuhi syarat
yang akan diminta oleh pihak keluarga wanita, jika dapat dipenuhi, maka
langkah selanjutnya yang bersifat resmi akaln dilanjutkan lagi. Akan tetapi
bila tidak, maka usaha pendekatan itu akan berakhir sampai disitu saja.
Apabila tahapan ini dianggap memenuhi persyaratan yang akan di ajukan
kemudian keluarga laki-laki mengirim utusan untuk melamar secara resmi
yang dikenal dengan Madutta/massuro. Yang artinya mengirim utusan untuk
mengajukan lamaran dari seorang laki-laki untuk seorang perempuan.
Utusan ini mempunyai peranan penting dalam melakukan lamaran orang
harus hati-hati dan bijaksana, harus pandai membawakan diri agar orang tua
anak gadis itu tidak merasa tersinggung.tingkat pembicaraan ditahapan ini
telah membicarakan masalah yang menyangkut sunreng atau emas kawin.
Yaitu berapa besar jumlah emas kawin yang akan diberikan oleh pihak laki-
laki, namun besar kecilnya emas kawin itu tergantung sepenuhnya tingkat
status sosial kedua belah pihak, jadi tidak belaku umum.
49
Kalau semua persyaratan teah disepakati, kemudian ditentukan lagi
hari pertemuan guna mengukuhkan (mappasierekeng) maka pinangan telah
resmi diterima. Kemudian ditentukan hari H perkawinan atau yang disebut
dengan Tanra esso akkalabinengeng atau hari penentuan saat akad nikah
biasanya disesuaikan dengan penanggalan berdasarkan tanggal dan bulan
islam. Apabila pembicaraan-pembicaran yang telah dibicarakan telah
mendapat kesepakatan kedua belah pihak, maka masing-masing bersiap-
siap akan menghadapi upacara perkawinan, selanjutnya untuk pelaksanaan
upacara perkawinan dilakukan dengan cara menyampaikan disebut dengan
Mappaisseng, biasanya yang diberi tahu adalah keluarga yang sangat dekat,
tokoh masyarakat yang di tuakan, serta tetangga-tetangga dekat.
Lalu setelah itu ada tahapan yang dinamakan Mattampa / Mappalettu
selleng atau membagi undangan kegiatan ini dari proses mappaisseng
undangan tertulis ini dilaksanakan kira-kira sepuluh atau satu minggu
sebelum acara resespsi perkawinan.
Kemudian setelah kegiatan Mappaisseng dan Mattampa selesai lalu
dibuatkanlah baruga atau yang disebut dengan Mappatettong sarapo adalah
bangunan tambahan yang didirikan disamping kir/kana rumah yag akan
ditempati melaksanakan akad nikah.
Pada malam sebelum upacara perkawinan diadakanlah upacar pacar
atau disebut dengan Mappacci atau tudang penni dilakukan dirumah kedua
50
mempelai, yang dihadiri oleh keluarga dan juga handai taulan. Mappaccing
berarti membersihkan diri. Upacar ini secara simbolik menggunakan daun
pacar maksudnya membersikan diri dari segala sesuatu yang dapat
menghambat acara perkawinan.
Keesokan harinya diadakanlah upacara Akad nikah yaitu pengucapan
ijab Kabul tentang penyerahan tanggung jawab dari wali perempuan kepada
pihak laki-laki yang disaksikan oleh kedua saksi. Setelah acara akad nikah
maka kedua suami istri disandingkan sebagai pemberitahuan khalayak
bahwa mereka telah disahkan sebagai suami istri.
Kemudian acara selanjutnya Marola yaitu membawa pengantin
perempuan kerumah orang mertuanya. Biasanya dalam perkawinan bugis
diadakan pula resepsi sebagai acara terakhir dari rangkaian tahapan
perkawinan masyarakat Bugis.
Upacara pesta perkawinan merupakan media utama bagi orang bugis
untuk menunjukkan posisinya dalam masyarakat. Misalnya, dengan
menjalankan ritual-ritual, mengenakan pakaian, perhiasan, dan pernak-pernik
lain tertentu sesuai dengan tingkat kebangsawanan dan status sosial mereka.
Selain itu identitas, status, dan jumlah tamu yang hadir juga merupakan
gambaran luasnya hubungan dan pengaruh sosial seseorang. Pesta
perkawinan juga merupakan ajang bagi pihak keluarga mempelai laki-laki dan
mempelai perempuan untuk mempertontonkan kekayaan mereka. Kekayaan
51
keluarga mempelai laki-laki dapat dilihat dari besarnya jumlah uang belanja
(dui menre) yang dipersembahkan pada mempelai perempuan (millar dalam
pelras, 1995).
Dalam proses perkawinan masyarakat bugis, pihak laki-laki harus
memberikan mas kawin kepada perempuan. Mas kawin ini terdiri atas dua
bagian pertama, sompa (secara harfiah berarti “persembahan” dan
sebetulnya berbeda dengan mahar dalam islam) yang sekarang disimbolkan
dengan sejumlah uang rella (yakni riyal, mata uang portugis yang
sebelumnya berlaku, antara lain dimalaka). Kedua uang belanja atau dui
menre (secara harfiah berarti uang naik) adalah uang antaran pihak laki-laki
kepada pihak perempuan untuk digunakan melaksanakan pesta perkawinan.
Besarnya uang belanja (dui menre) ditentukan oleh keluarga pihak
perempuan.
Selama proses pelamaran berlangsung, garis keturunan, status,
kekerabatan, dan harta kedua mempelai diteliti lebih jauh, sambil
membicarakan mahar dan uang belanja (Dui menre) yang harus diberikan
oleh pihak laki-laki untuk biaya pesta pernikahan pasangannya, serta hadiah
persembahan kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya.
Besarnya uang belanja ini tergantung dari kesepakatan bersama. Pihak
wanita ada kalanya tidak menentukan jumlah yang diminta, tetapi sekarang
ini lebih banyak dijumpai pihak wanita yang meminta uang belanja tersebut
52
dengan jumlah yang sangat besar. Keadaan ini tidak ditemukan pada waktu
lampau tetapi dewasa ini uang belanja (dui menre) merupakan suatu
masalah (Rasuly,1984).
Sistem perkawinan masyarakat Bugis terdiri dari beberapa fase. Satu
diantaranya adalah “Dui Menre” atau uang naik. Fase ini adalah uang belanja
yang diserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk
digunakan dalam upacara perkawinan.
Perempuan yang memiliki status sosial tinggi memiliki standar uang
belanja yang tinggi pula dan keluarga laki-laki yang mampu memenuhi
standar tersebut tentunya akan datang dari keluarga yang berstatus sama
atau lebih tinggi. Jika ia berada dalam status sosial yang lebih rendah maka
statusnya akan meningkat. Status kebangsawanan telah bergeser pada
status dan kondisi ekonomi seseorang. Meskipun seseorang bukan dari
keturunan bangsawan akan tetapi karena dalam usaha ekonominya atau
pendidikan mengalami kesuksesan maka status sosialnya meningkat dan
dapat mensejajarkan diri dengan kaum bangsawan.
Pada masa sekarang soal perjodohan dan perkawinan kadang-kadang
tidak melihat lagi tingkat status sosial seseorang, akan tetapi didasarkan oleh
rasa saling cinta-mencintai dan kesepakatan kedua belah pihak untuk
melakukan perkawinan. Kondisi sosial uang berubah ini membuat nilai aturan
perkawinan dalam masyarakat berubah pula. Uang belanja yang tinggi
53
kadang-kadang dipandang bernilai bisnis atau disamakan dengan jual beli.
Pandangan tersebut terbentuk akibat seringnya suatu perkawinan jadi batal
disebabkan oleh tidak terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak
menyangkut pihak keluarga calon pengantin perempuan.
Sehingga dalam masyarakat dewasa ini terutama mereka yang sudah
berpikiran maju dan berlatar pendidikan tinggi dan berfikir rasional sudah
tidak menganggap terlalu penting masalah uang belanja (dui menre).
Biasanya pula terdapat keluarga yang masih menggunakan uang belanja
sebagai salah satu persyaratan dalam perkawinan keluarganya akan tetapi
tidak dibicarakan secara meluas dalam keluarga, hanya orang-orang tertentu
atau keluarga dekat saja yang mengetahuinya, itupun dilakukan secara
musyawarah dengan penuh rasa pengertian dan kekeluargaan.
Jadi secara sederhana, uang belanja (dui menre) dapat di artikan
sebagai uang antaran, yakni sejumlah uang yang diberikan oleh pihak
mempelai laki-laki ke pihak mempelai perempuan. Uang naik ini ditujukan
untuk belanja kebutuhan pesta pernikahan. Selain itu, status sosial juga
seringkali jadi penentu besar kecilnya uang naik ini. Status sosial yang
dipertaruhkan ini berdampak terhadap status sosial di tengah masyarakat
Bugis di kab. Bone.
54
Untuk mempermudah penulisan ini, maka secara ringkas alur dari
kerangka konseptual tergambar seperti skema berikut :
PROSES/TAHAPAN
PERKAWINAN
1 .Mappese-pese (pendekatan)
2. Madutta / Massuro
3. Mappenre dui / mappatu ada
STRATIFIKASI SOSIAL
DUI MENRE
1. lapisan atas (upper)
2. lapisan menengah (middle)
3. lapisan bawah (lower)
55
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Teknik Pemilihan Lokasi Penelitian
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja)
yaitu dengan terjun langsung pada lokasi Desa sanrangeng
Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten Bone mulai bulan Januari
2012 sampai maret 2012.
2. Tipe dan Dasar penelitian
a. Dalam penelitian ini di gunakan metode penelitian kualitatif sebagai
sebagai prosedur penelitian akan mendapatkan data deskriptif
yaitu sebuah penelitian yang berusaha memberikan gambaran
mengenai objek yang diamati atau diteliti, atau suatu tipe penelitian
yang bertujuan membuat deskriptif atau gambaran secara
sistematis dan aktual mengenai fakta-fakta yang ada dilapangan.
b. Dasar penelitian yang digunakan adalah studi kasus yaitu suatu
pendekatan yang melihat objek penelitian sebagai suatu
keseluruhan yang terintegrasi.
56
3. Teknik Penentuan Informan
Informan ditentukan secara purposive sampling berdasarkan
kriteria tertentu, yaitu tokoh masyarakat, tokoh agama, masyarakat
golongan atas, menengah dan golongan bawah, pemuda dan
masyarakat yang mengetahui seluk beluk masalah perkawinan dan
biasa dipercayakan menghadapi proses pelamaran di Desa
Sanrangeng Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten Bone.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a. Data Primer
1. Wawancara mendalam.
Teknik wawancara yang dilakukan adalah dengan melakukan
tanya jawab langsung kepada informan yang berdasarkan pada
tujuan penelitian. Teknik wawancara yang dilakukan penulis
adalah dengan cara mencatat berdasarkan pedoman pada
daftar pertanyaan yang telah di siapkan sebelumnya.
Wawancara ini dilakukan beberapa kali sesuai dengan
keperluan peneliti yang berkaitan dengan kejelasan dan
kemantapan masalah yang dijelajahi.
2. Observasi.
57
Dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara
langsung terhadap hal yang di anggap berhubungan dengan
objek yang diteliti, atau hal yang berkaitan dengan masalah
penelitian.
b. Data Sekunder
Dokumentasi:
Dokumentasi yang di maksudkan penulis disini adalah peninggalan
tertulis seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku, teori, dalil
atau hukum-hukum, dan lain-lain yang termasuk dengan masalah
penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Hasil penelitian ini di analisa secara kualitatif. Artinya data-data
yang telah diperoleh, kemudian dikumpulkan, dan diklasifikasi. Setelah
itu di analisis secara kualitatif dengan berpedoman pada kerangka
pikiran yang telah disajikan guna memberikan gambaran yang jelas
dari fenomena yang diteliti.
58
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Desa Sanrangeng
Sebelum tahun 1962 pemukiman masyarakat Desa Sanrangeng masih
terpencar dan setelah tahun 1962 masyarakat diarahkan untuk bermukim di
pinggir jalan poros Sailong timurung dan pada waktu itu dipimpin oleh Siraje.
Sejak tahun itu masyarakat Desa Sanrangeng dibagi menjadi 3 dusun. Dusun
pertama yaitu sanrangeng Lappa, dusun kedua sanrangeng jekka dan dusun
ketiga sanrangeng Bulu.
1. Pada tahun 1965 sampai 1983 dipimpin oleh TASSI
2. Pada tahun 1983 sampai 1994 dipimpin oleh SAMBASRI
3. Pada tahun 1994 sampai 1995 dipimpin oleh Hj.FARIDAH
4. Pada tahun 1995 sampai 1996 dijabat oleh A. AMIRUDDIN
5. Pada tahun 1996 sampai 2010 dipimpin oleh MUH. YANI
6. Pada tahun 2010 sampai sekarang di pimpin oleh ARDI
Desa Sanrangeng mempunyai luas kurang lebih 9.05 Km. jumlah
penduduk Data Tahun 2010 sebanyak 1.909 jiwa, laki-laki 911 jiwa dan
perempuan 998 jiwa.
59
Desa Sanrangeng sejak Tahun 1965 berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Desa Padacenga,Sebelah Timur : Desa Lallatang /
Sailong, Sebelah Selatan : Desa Laponrong / Leppangeng, Sebelah Barat :
Desa Timurung
B. Kondisi Umum Desa Sanrangeng
1. Kondisi geogarfis
Tabel 1: Kondisi Geografis
No. Kondisi Geografis Keterangan
1. Tinggi tempat dari permukaan laut 50 m
2. Curah hujan rata-rata per tahun 1608 mm
3. Keadaan suhu rata-rata 29’ c
4. Dataran 330 Ha
5. Sawah tadah hujan 565 Ha
6. Kebun 190
Sumber : PNPM Mandiri 2012
60
2. Iklim
Iklim Desa Sanrangeng, sebagaimana desa-desa lain di wilayah
Indonesia Timur mempunyai iklim Kemarau dan penghujan, hal tersebut
tentu mempengaruhi keadaan sosail perekonomian masyarakat.
3. Data Perkawinan
Untuk data perkawinan di Desa Sanrangeng adalah untuk
tahun 2010 bulan 1 sampai bulan 3 yang menikah 2 pasangan, dan bulan
4 sampai bulan 12 , 3 pasangan, tahun 2011 8 pasangan dari bulan 1
sampai bulan 7, 4 pasangan, dan bulan 8 sampai bulan 12, itu 1
pasangan, dan tahun 2012 adalah 7 pasangan dari bulan 1 sampai 5 2
pasangan, dan bulan 6 sampai 12, 5 pasangan.
61
4. Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk Desa Sanrangeng 1.909 jiwa dengan jumlah
Kepala keluarga : 483 KK
Tabel 2 : Jumlah Penduduk Desa Sanrangeng
Sumber : PNPM Mandiri 2012
5. Wilayah Administratif
Desa Sanrangeng mempunyai 3 dusun yang masing-masing terdiri
dari dusun sanrangeng jekka, sanrangeng lappa, dan sanrangeng bulu
adapun dusun sanrangeng jekka memiliki 4 RT, dusun lappa 4 RT,
dan dusun bulu 4 RT.
Sanrangeng
(Dusun)
Jenis Kelamin
Laki-
laki
Perempuan Total
I. Lappa 202 230 432
II. Jekka 436 475 909
III. Bulu 275 293 568
Total 911 998 1909
62
6. Mata pencaharian
Tabel 3 :Mata Pencaharian
No. Mata Pencaharian persentasi
1. PNS 7 %
2. Wiraswasta 7 %
3. Jasa dan karyawan 6%
4. Petani 80 %
Sumber : PNPM Mandiri 2012
7. Pendidikan
Tabel 4: Pendidikan
No
.
Pendidikan Jumlah
1. Diploma / Sarjana 24 jiwa
2. SMA 73 jiwa
3. SMP 205 jiwa
4. SD 410 jiwa
5. Tidak Sekolah 1.197 jiwa
63
Sumber : PNPM Mandiri 2012
8. Sarana dan Prasarana
Tabel 5 : sarana dan prasarana
No. Sarana dan prasarana jumlah
1. Kantor Kepala Desa 1 unit
2. Mesjid 3 buah
3. Seklolah dasar 2 unit
4. Taman kanak-kanak 1 unit
5. Taman paditungka 1 unit
6. Posyandu 1 buah
7. Puskedes 1 unit
8. Jalan desa 7230 meter
9. Jembatan 2 unit
10 Lapangan olah raga 1 unit
11 Poskamling 5 unit
Sumber : PNPM Mandiri 2012
64
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini penulis laksanakan sejak bulan Januari 2012 hingga
bulan Maret 2012 di Desa Sanrangeng Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten
Bone. Penelitian ini bersifat deskriptif dimana bertujuan untuk memberikan
gambaran berbagai informasi dan data mengenai Uang Belanja (Dui Menre)
dalam Proses Perkawinan.
Jumlah informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 8 orang
masing-masing 5 laki-laki, 1 diantaranya adalah tokoh masyarakat dan 1
tokoh agama dan 3 wanita khususnya pada masyarakat yang mengetahui
tentang Uang Belanja (Dui Menre) dalam Proses Perkawinan. Adapun hasil
penelitian diuraikan sebagai berikut :
A. Karakteristik Umum Informan
MY (40thn) Merupakan tokoh masyarakat yang biasa diberi kepercayaan
dalam menyelenggarakan sebuah perkawinan. Beliau adalah seorang imam
yang memiliki 3 orang anak. Dan pekerjaannya selain seorang imam adalah
65
beliau bekerja sebagai wiraswata.dan biasanya dipanggil dan dipercayakan
menghadapi proses lamaran dalam perkawinan
“saya biasa dipanggil kalau ada perkawinan disini, jadi biasanya itu kalau orang didesa ini mau mengadakan acara mappamenre dui saya yang di panggil sebagai juru bicara”(wawancara 02 Februari 2012).
AR pria yang mempunyai umur 42 tahun, beliau seorang Kepala Desa yang
mempunyai 2 orang anak, beliau dikenal sangat sabar dan bijaksana menjadi
seorang tokoh masyarakat, beliau sudah 2 tahun ,manjadi kepala desa,
selain dikenal sangat sabar, informan AR juga biasa menghadiri perkawinan
di Desa Sanrangeng dan terkadang dipanggil juga dalam proses lamaran.
NN berumur 55 tahun pekerjaannya adalah sebagai ibu rumah yang
mempunyai anak 3. Selain menjadi ibu rumah tangga dia juga berjualan kecil-
kecilan di rumahnya. Suaminya sudah meninggal dunia sekitar 7 tahun yang
lalu. Informan ini mempunyai anak 1 anak perempuan dan 2 anak laki-laki
dan anak perempuannya sedang bersekolah di salah satu perguruan tinggi
yang berada di kabupaten Bone, dan informan NN biasa juga mengikuti
proses lamaran dalam perkawinan di desa Sanrangeng tersebut.
LN Seorang ibu yang separuh baya yang beumur 59 tahun, ibu rumah
tangga, tercatat sebagai orang yang kurang mampu dilihat dari rumahnya
66
hanya rumah yang terbuat dari kayu-kayu yang sudah usang dan dia tinggal
bersama 4 saudara perempuannya.
RW Adalah seorang bapak berumur 49 tahun, beliau yang memiliki kumis
dan tinggi besar dan yang bekerja sebagai wiraswasta. Istrinya bekerja
sebagai seorang guru di sekolah dasar dan memiliki 2 orang anak. dan beliau
juga adalah seorang RT.
BD Seorang ibu rumah tangga berumur 50 tahun yang memiliki rumah yang
tergolong mewah di desa tersebut terbuat dari batu dan mempunyai 1 mobil
mewah. Memiliki 4 orang anak, 2 orang anak perempuan dan 2 orang anak
lelaki. Beliau dikenal salah satu orang yang paling kaya dan dikenal sangat
baik dan ramah di desa Sanrangeng. Informan BD juga memilki beberapa
sawah dan tanah di sekitar desa. 1 anak perempuannya sudah berumah
tangga dan pernah melakukan proses lamaran di desa tersebut.
AL pria berusia 25 tahun yang memiliki kulit agak gelap. Informan ini setahun
yang lalu baru melangsungkan perkawinan di desa tersebut. Informan AL
adalah seorang PNS yaitu seorang guru yang mengajar di sekolah dasar.
FD adalah seorang pemuda yang berumur 20 tahun yang memiliki tattoo di
lengan sebelah kanan dan memiliki postur tubuh tinggi putus sekolah hanya
67
sampai tingkat SMP yang pekerjaanya adalah berkebun, belum menikah dan
tinggal bersama ibu dan 2 saudaranya karena ayahnya sudah meninggal.
B. Makna Tahapan Dui Menre dalam Proses Perkawinan
Perkawinan merupakan unsur yang sangat penting umat manusia
karna di anggap suatu masa peralihan dari masa remaja ke masa dewasa.
Orang bugis menganggap peralihan ini bukan saja dalam arti biologis
melainkan lebih penting ditekankan pada ari sosiologis, yaitu adanya
tanggung jawab bagi kedua orang yang mengikat perkawinan itu terhadap
masyarakat. Oleh karena itu perkawinan di anggap suci dan harus dilakukan
dengan penuh khidmat. Dalam upacara perkawinan adat masyarakat Bugis
Bone yang disebut ”Appabottingeng ri Tana Ugi” terdiri atas beberapa tahap
kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan rangkaian yang berurutan
yang tidak boleh saling tukar menukar, kegiatan ini hanya dilakukan pada
masyarakat Bugis Bone yang betul-betul masih memelihara adat istiadat.
Pada masyarakat Bugis Bone sekarang ini masih kental dengan
kegiatan tersebut, karena hal itu merupakan hal yang sewajarnya
dilaksanakan karena mengandung nilai-nilai yang sarat akan makna,
68
diantaranya agar kedua mempelai dapat membina hubungan yang harmonis
dan abadi, dan hubungan antar dua keluarga tidak retak
Dalam perkawinan bugis banyak proses atau tahapan yang akan di
lewati seperti wawancara penulis ‘dengan informan MY (40thn)
mengatakan :
“Banyak tahapan yang dilalui orang bugis kalau mau melangsungkan perkawinan di antaranya itu ada yang namanya ma’manu-manu, madutta, mappettu ada dll,sampai nanti terakhir itu ada tradisi mapparola, mempelai wanita di antar kerumah mertuanya, kalau dalam proses mappenre dui yang terlibat biasanya adalah saya sendiri, kepala desa, keluarga dekat atau kerabat ”(wawancara 03 februari 2012).
Seperti halnya informan AR (42) yang mengemukakan hampir sama dengan informan MY mengatakan :
“Tau ugi’e narrekko elo’I makebbu’I appabottingeng marere memengi namaega elo nasaba makomemennni ade’e lisesena tau ugi’e, engka riaseng madutta,engka manennni yero di lalengna mappenre dui balanca, selanjunna mappasiarekeng, purai yero mebbusi acara mappacci,pura situ akad nikahni biassa na narekko acara pesta terserameni lao ri tau mebbui gau, narekko malogai napugaui maneng’I proses acara ade’e” (wawancara 02 februari 2012).
Tidak jauh beda dengan yang dikatakan oleh kedua informan
diatas, AL (25) pun mengatakan :
“kalau saya dulu menikah, tahapan-tahapannya itu melamar dulu, terus mappettu ada disinimi semua di bicarakan termasukmi juga itu bicarakan uang belanjanya terus kalau sudahmi disepakati semua sama pihak keluarga masukmi ke acara mappacci ,besoknya akad nikah langsung resepsi tp yang biasa-
69
biasa saja pestanya terus yang terakhir itu mapparola” (wawancara 02 februari 2012).
Banyak tahapan pendahuluan yang harus di lewati sebelum pesta
perkawinan (mappabotting) dilangsungkan.
Adapun tahapan dui menre dari proses perkawinan adat bone secara
umum , yaitu :
Tahap I : Mappese-Pese (Pendekatan)
Ketika seorang pemuda bugis menaruh hati pada seorang gadis bugis, maka
disampaikanlah kepada orang tuanya untuk melamarkan gadis idamannya
itu. Orang tua kemudian mempertimbangkan pilihan sang anak dan
memanggil kerabat yang mengenal dengan baik keluarga gadis tersebut. Jika
sang kerabat bersedia, maka sang pemuda dan kerabat yang ditunjuk akan
bertamu ke rumah orang tua si gadis bersama sang pemuda, membawa oleh
- oleh dan menyampaikan keinginan untuk mempertemukan keluarga.
Kunjungan tersebut dalam adat bugis disebut “mappese- pese” (pendekatan).
Jika respon keluarga perempuan baik, maka ditetapkanlah waktu untuk
madduta ( melamar). Cara ini dianggap lebih beradat daripada penyampaian
langsung pemuda ke keluarga perempuan, atau lewat anak gadis tersebut ke
orang tuanya.
70
Namun jika sang pemuda berasal dari daerah lain, maka tidak masalah jika
sang pemuda yang langsung menyampaikan niatnya untuk melamar
langsung kepada orang tua si gadis, namun pengambilan keputusan soal
diterima tidaknya belum bisa diambil orang tua meskipun itu adalah calon
menantu idaman. Kata terima atau tolak dan jumlah “uang panai” hanya bisa
ditentukan oleh forum kerabat (rumpun keluarga) pada saat prosesi lamaran
nantinya. Meskipun tidak ada salahnya menyampaikan ke orang tua si gadis
kemampuan finansial anda jika memang sudah dekat, atau lewat si gadis.
Tahap 2 : Massuro atau Madduta ( Melamar)
Madutta artinya meminang secara resmi, dahulu kala dilakukan
beberapa kali, sampai ada kata sepakat, namun proses yang ditempuh
sebelum meminang adalah :
a. Mammanu-manu, yang artinya meyelidiki apakah ada gadis
yang berkenan di hati. Langkah pendahuluan ini biasanya di lakukan
oleh para paruh baya perempuan, yang akan melakukan kunjungan
biasanya kepada keluarga perempuan untuk mengetahui seluk
beluknya, namun biasanya proses ini sangat tersamar. Jika keluarga
perempuan member lampu hijau kedua pihak kemudian menentukan
hari untuk mengajukan lamaran secara resmi (madutta). Selama
proses lamaran ini berlangsung garis keturunan, status kekerabatan ,
71
dan harta calon mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan
sompa dan dui menre (uang belanja) yang harus diberikan oleh pihak
laki-laki untuk biaya perkawinan pasangannya. Serta hadiah
persembahan kepada calon mempelai perempuan dan keluargannya.
b. Mappattu ada yang biasanya juga di tindak lanjuti dengan
(mappasierekeng) atau yang menyimpulkan kembali kesepakatan
yang telah dibicarakan bersama pada proses sebelumnya. Ini sudah
merupakan acara lamaran resmi dan biasanya disaksikan oleh
keluarga dan kenalan.
Setelah ditetapkan waktu untuk acara “madduta”, keluarga kedua belah pihak
sudah mulai sibuk. Mengundang kekuarga terdekat dan tokoh masyarakat
dilingkungannya untuk mengikuti prosesi tersebut. Keluarga pihak laki-laki
menunjuk (pabbicara) juru bicara disertai rombongan yang cukup dari
kerabatnya. Orang tua dari permuda yang ingin melamar tidak boleh ikut
serta dalam acara lamaran ini, demikian juga dengan pemuda yang ingin
dilamarkan, . Jumlah rombongan keluarga laki-laki tidak terlalu banyak, paling
sekitar 10 orang sudah dianggap cukup . Dari pihak perempuan mengundang
kerabat terdekat untuk menghadiri acara lamaran, Juga ditunjuk juru bicara
dari pihak keluarga perempuan.
72
Acara ini adalah bagian dari acara adat yang resmi ,rombongan keluarga laki-
laki yang madduta berpakaian lengkap, untuk laki-laki memakai jas, songkok,
dengan bawahan sarung. Sedangkan perempuan memakai kebaya atau
pakaian yang sopan lainnya. Keluarga perempuan menyiapkan jamuan yang
sepantasnya bagi tamu yang hadir.
Dalam acara ini, dikenal istilah “mamanu’ -manu’ ” (pantun ayam) yang
menjadi kiasan proses lamaran. Dalam proses tersebut, juru bicara pihak
laki- laki mungatarakan maksud kedatangannya. Keluarga perempuan
kemudian mengajukan jumlah ” dui menre”(bugis) atau “uang
panai”(makassar) dan sompa ( persembahan). Proses tawar menawar pun
dilakukan dengan bahasa yang sopan ( bahasa bugis yang halus). Untuk
jaman sekarang besarnya uang panai untuk status sosial menengah
kebawah sebesar (15 - 50 jt). Sedangkan untuk yang memiliki status sosial
tinggi ( bangsawan, orang kaya dan anak gadisnya memiliki pekerjaan yang
mapan bisa mencapai (100-500 jt). Jumlah uang panai juga sangat
ditentukan, pendekatan sang pemuda pada keluarga perempuan, penilaian
keluarga perempuan terhadap pemuda dan kemampuan negosiasi
pabbicara. Jumlah uang pesta yang besarnya tidak pantas ( de na sitinaja),
tidak wajar jika dibandingkan dengan harga rata- rata yang ada dengan staus
sosial, pendidikan dan pekerjaan si gadis maka bisa jadi pertanda penolakan
secara halus. Jika pihak keluarga laki-laki telah menyetujui, maka
73
dibicarakanlah waktu untuk “mappenre dui” (mengantarkan uang pesta)
sekaligus ” mappetu ada” (menentukan hari). Jika pihak laki - laki tidak
menyanggupi “uang pesta” yang diminta, maka bisa meminta waktu, dan
melakukan negosiasi dibelakang layar kemudian mengulangi proses lamaran.
contoh susunan acara dalam mappasierekeng atau mappattu ada
adalah sebagai berikut :
ASSALAMUALAIKUM WARAHMATULAHI WABARAKATU
Dengan rahmat ALLAH SWT, berdasarkan konsultasi rumpun
keluarga dari pihak laki-laki, selanjutnya disusul dengan pendekatan sistem
mammanu-manu, serentetan kegiatan tersebut, tertuang secara formal dalam
acara MPATA DUTA yang akan diadakan pada
hari…..tanggal….bulan….tahun….. antara kerabat keluarga
Bapak….orangtua dari……..(calon mempelai laki-laki), dengan Bapak…….
(orang tua dari calon mempelai wanita)yang hari ini…..tanggal…..bulan……
tahun…..akan mengadakan Akad Appasiarekengdengan kesepakatan
sebagai berikut :
74
Pada hari ini dirumah orang tua calon mempelai wanita yang dihadiri
oleh kerabat/keluarga calon mempelai pria dengan kerabat/keluarga calon
mempelai wanita, serta pemandu Ade’pangalatanana wanue yang bertindak
lanjut ssbagai juru bicara/ulu ada masing-masing :
Bapak……….dari pihak calon mempelai pria bertindak untuk atas
nama juru bicara atau ulu ada selanjutnya disebut Mpata duta
Bapak……… bertindak dan untuk atas nama pihak keluarga calon
mempelai wanita, selanjutnya disebut oihak Mpakkang duta.
Pihak Mpata duta dengan pihak Mpakkang duta telah membuat
perjanjian dalam bentuk kesepkatan untuk passisumpungngi welarengnge
akatta pasiame I parekkusenna masing-masing….(nama calon mempelai
wanita) dengan…..(nama calon mempelai laki-laki) dengan ketentuan
sebagai berikut :
I. Persiapan pelaksanaan
Catatan nikah hari/tanggal…………….
II. Rencana pelaksanaan
1. Pelaksanaa hari/tanggal……..akad nikah jam……disertai:
75
Mahar atau sompana misalnya satu stel emas, beserta
seperangkat alat sholat lengkap.
Uang belanja atau dui menre misalnya sebesar Rp.
50.000.000 (lima puluh juta)
Erang-erang/leko, passiok/pattenre
Bosara/ 2 set (2 lusin) + buah-buahan
2. Pakaian adat Bugis, Mabbali/maseppi botting, misalnya
disediakan oleh pihak perempuan tergantung kesepakatan
3. Mapparola botting dari rumah mempelai perempuan kerumah
mempelai laki-laki, hari/tanggal/bulan//tahun, jam……….,
sekaligus mabbenni Tellu Penni
4. Mappalessu Botting, dari rumah mempelai laki-laki kerumah
mempelai wanita sekaligus Massita baiseng pada hari itu juga.
5. Pandangan hidup yang menjadi pedoman
a. Manguru
b. Sialitutui
PIHAK MPATA DUTA PIHAK MPAKKANG DUTA
(…………………….) (,………………………..)
SAKSI-SAKSI
76
PIHAK KELUARGA LAKI_LAKI PIHAK KELUARGA WANITA
(…………………………….) (………………………………)
Pada saat Mappettu ada akan disepakati beberapa perjanjian diantaranya :
Sompa artinya mas kawin atau mahar sebagai syarat sahnya suatu
perkawinan. Menurut mattualada dikutip Abdullah (1985) sompa atau
sunreng merupakan uang mahar atau mas kawin yang sifatnya bertingkat-
tingkat, yang disesuaikan dengan derajat sosial dari gadis yang dipinang.
Sompa biasanya dihitung dalam nilai rella atau real. Pada zaman belanda
dihitung dengan dua gulden. Dalam perkembangan terakhir satu real diberi
nilai nominal Rp.100 sampai Rp. 150. Mas kawin yang diberi nilai nominal
harga real itu, dapat saja terdiri dari sebidang tanah, sawah, kebun, atau
benda-benda pusaka lainnya. Penggolongan sompa tidaklah selalu sama
dalam pengistilahannya. Sompa atau mahar dalam bahasa Bugisnya adalah
Sunreng sudah tertentu menurut adat bertingkat-tingkat sesuai dengan
stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat dan berbeda-beda antara satu
daerah dengan daerah lain. Sunreng yang berlaku dalam masyarakat bugis
yaitu di daerah tellumpocco (bone, soppeng, wajo) adalah sebagai berikut :
77
1. Sompa bocco, diberikan kepada raja-raja perempuan (bone,wajo,
soppeng) yang mememgng kekuasaan kerajaan. Jumlah sunreng 14
kati doi lama. Nilai nominal 1 kati doi lama = 88 real + 8 orang + 8 doi.
Bersama itu diserahkan pula seorang ata dan seekor kerbau.
2. Sompa ana bocco, diberikan kepada putrid-putri (darah penuh) dari
tiga Raja Tellumpocco (bone, wajo dan soppeng), atau bangsawan
tinggi lainnya. Jumlah maharnya ialah 7 kati doi lama.
3. Sompa kati diberikan kepada putri-putri raja-raja bawahan (penguasa
local). Jumlah 1 kati doi lama, atau 88 real + 8 orang + 8 doi. Kecuali
di wajo ata ditiadakan.
4. Sompa ana mattoala, diberikan kepada putri-putri ana matoala.
Jumlahnya 3 kati doi lama.
5. Sompa ana rajeng, untuk anak-anak rajeng (hanya berlaku diwajo)
jumlah maharnya 2 kati doi lama.
6. Sompa cera sawi, untuk putrid-putri ana cera sawi (wajo) kira-kira
sama dengan putrid- putrid anakarung sipue (bone), jumlah maharnya
1 kati doi lama.
7. Sompa tau deceng, untuk putri-putri ro maradeka, golongan tau
deceng jumlah maharnya setengah kati doi lama.
8. Sompa tau samak, untuk putri-putri tau maradeka golongan tau
samak jumlah maharnya seperempat kati doi lama.
78
Demikianlah mengenai uang mahar yang disebut sompa atau sunreng
dikalangan orang bugis, yang masih berlaku saat ini. Sesungguhnya nilai
nominal uang mahar itu pada waktu sekarang tidaklah tinggi, karena
ukurannya adalah tetap. Pada masa sekarang yang tiap tahun semakin
meningkat itu adalah uang belanja atau disebut dengan dui menre (balanca
pesta perkawinan). Makin megah pesta perkawinan itu, makin tinggi pula
status sosial seseorang. Walaupun dibelinya dengan kebangkrutan atau
utang-utang yang sukar dilunasi, Mattualada (dikutip Abdullah 1985).
Selain jenis-jenis sompa di atas dikenal juga adanya proses Mangelli
dara. Proses mangelli dara ini di untukkan bagi gadis-gadis bangsawan yang
akan dipersunting oleh lelaki orang biasa yang jumlahnya tidak ditentukan
oleh pihak keluarga gadis, dengan termasuknya proses mangelli dara ini
maka jumlah uang belanja atau dui menre yang di minta oleh pihak keluarga
gadis jumlahnya sangat besar. Sehingga permintaan uang belanja yang
sangat besar ini kadang-kadang sulit dipenuhi oleh keluarga pihak laki-laki.
Memang hal ini dimaksudkan juga sebagai penolakan secara halus terhadap
peminangan yang telah diterima.
Makna yang terkandung dalam mas kawin atau mahar atau sompa
adalah mas kawin dalam islam di anggap sebagai ungkapan kasih sayang.
Mas kawin juga merupakan isyarat atau tanda kemuliaan seorang
79
perempuan. ALLAH mensyariatkan mas kawin seperti sebuah hadiah dari
pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang dilamarnya ketika telah
mencapai kesepakatan di antara keduanya (untuk menikah). Mas kawin
merupakan pemberian yang dapat melanggengkan rasa cinta, mengokohkan
bangunan keharmonisan rumah tangga dan juga dapat menyokong tuntunan
nafkah kehidupan rumah tangga.
Uang belanja (dui menre) adalah sejumlah uang yang akan di
antarkan oleh pihak laki-laki pada saat mappettu ada. Hal ini biasanya
dilakukan oleh pihak perempuan unutuk mengetahui kerelaan atau
kesanggupan berkorban dari pihak laki-laki sebagai perwujudan keinginannya
untuk menjadi anggota keluarga. Dui menre ini akan digunakan oleh pihak
perempuan dalam rangka membiayai pesta perkawinannya.
Makna yang terkandung dalam uang belanja atau dui menre adalah
sebagai uang antaran laki-laki untuk dibawakan ke pihak keluarga
perempuan untuk mengetahui kesanggupan dan kerelaannya berkorban
menjadi anggota keluarga dan untuk membiayai pesta perkawinan mempelai
perempuan dan harus habis terpakai.
Seperti yang di kemukakan oleh informan MY yang mengatakan
mengenai uang belanja atau dui menre :
80
“dui menre itu adalah uang belanja yang diberikan kepada perempuan, dan itu akan habis dimakan api maksudnya adalah harus dihabiskan dan tidak boleh ada sisanya” (wawancara 02 februari)
Pada tahun 1975 Susan Millar Bolyard dalam bukunya wedding bugis
menunjukkan bahwa besarnya dui menre berkisar antara Rp.2.000 sampai
dengan Rp.5.000 (Pelras C, 2006).
Namun di kondisi sekarang dimana kekuasaan politik tradisional
semakin memudar dui menre semakin lama semakin mengalami kenaikan
bahkan sekarang sudah mencapai ratusan juta, hal ini disebabkan oleh tidak
ada aturan dan pihak-pihak yang berwenang meneggakkan aturan adat.
Masalah besarnya jumlah uang belanja yang di butuhkan dalam pesta
perkawinan, memang adakalanya dapat membawa akibat buruk, terutama
bagi pihak keluarga laki-laki. Disebabkan karena pihak keluarga laki-laki
disamping memberikan jumlah uang belanja seperti apa yang di tuntut oleh
pihak keluarga wanita, adakalanya dia juga harus menyediakan jumlah uang
yang diperlukannya sendiri. Jadi berarti bahwa pihak pria harus menyediakan
jumlah uang belanja paling tidak dua kali jumlah anggaran belanja yang
dibutuhkan oleh keluarganya sendiri.
Apalagi jika perayaan perkawinan itu bertolak dari unsur ambisi yang
berlebih-lebihan demi untuk mempertahankan status sosial dimata
81
masyarakat atau untuk memperlihatkan status sosial di mata calon besannya.
Semuanya akan dibuat hebat mulai dari hal yang terkecil sampai pada hal
yang terbesar. Namun suatu keberuntungan dapat terjadi bahwa dalam
perkawinan itu unsur solidaritas dikalangan anggota kerabat adakalanya ikut
berperan dalam masalah keperluan uang belanja itu.
Tahap 3 : Mappenre dui/ Mappetu ada.
Proses ini sudah dianggap bagian dari pesta, pihak keluarga
perempuan sudah mengundang kerabat dan para tetangga untuk
menyaksikan proses mappenre dui tersebut. Pada acara tersebut semua
yang hadir berpakaian formal. Pihak laki- laki juga menyiapkan rombongan
yang besar, sebanyak- banyaknya untuk menunjukkan bahwa mereka adalah
rumpun keluarga yang besar. Diantara rombongan ada gadis -gadis yang
memakai “baju bodo”, dan dengan jas tutup songkok tobone dengan
membawa bosara ” tempat khas bugis” yang berjumlah masing-masing 12
orang. Bosara ini diisi dengan perlengkapan pengantin perempuan sebagai
pengiring uang panai. Isi bosara biasanya adalah emas, pakaian, sepatu,
make up. Selain uang panai yang sebagian diberikan dalam bentuk cash
sebagai simbol. Pada jaman dulu semuanya dalam bentuk cash dan dihitung
82
oleh saksi yang hadir. Proses mappenre dui memperlihatkan pada kerabat
jumlah uang pesta dan sompa (persembahan). Sompa bisa berbentuk tanah,
kebun atau emas yang diberikan kepada mempelai wanita (menjadi hak
sepenuhnya wanita, tidak boleh diambil meskipun bercerai). Setelah proses
ini, baru kemudian dibicarakan hari baik untuk melakukan akad nikah atau
pesta. Ada kalanya proses akad nikah dilakukan bersamaan dengan
mappenre dui, kemudian pestanya di tunda jika disepakati sebelumnya, hal
ini disebut dengan “kawin soro”. Namun sekarang prosesi a “mappenre dui ”
ini dihilangkan atau satukan dengan acara akad nikah agar lebih efisien. Jadi
iring iringan gadis pengantar bosara dapat dilihat pada saat hari pernikahan.
Dalam tradisi bugis, proses yang mendahului sebuah upacara adat
perkawinan, sebelum seorang pasangan pengantin naik ke pelaminan, salah
satunya adalah ‘madduta’ seperti yang disebutkan diatas, dan sebelum
madduta, ada proses ‘mappesek – pesek’ mendahuluinya. Mappesek –
pesek adalah suatu kegiatan menyelidiki untuk mengetahui apakah seorang
gadis yang telah dipilih itu belum ada yang mengikatnya dan apakah
perangai dan karakternya baik atau terpuji. Biasanya yang melakukan
mappesek – pesek itu adalah seorang wanita dari pihak keluarga laki – laki
yang datang bertamu ke pihak keluarga perempuan. Dalam kegiatan
mappesek – pesek ini wanita yang sebenarnya merupakan utusan khusus ini
menyembunyikan maksudnya bertamu, dia hanya bertanya tentang keluarga
83
pihak perempuan, memperhatikan cara bicara dan bertutur keluarga
perempuan terkhusus kepada anak gadis yang akan dilamar. Meskipun pada
kenyataannya pihak keluarga perempuan pasti bisa menebak seorang wanita
yang datang bertamu ke rumahnya, apalagi dengan banyak bertanya tentang
anak gadisnya.
Madduta artinya mengirim utusan untuk mengajukan lamaran dari
pihak keluarga laki - laki untuk seorang perempuan. Utusan ini (disebut
mallino) bukanlah sembarang orang yang diutus, tapi seorang yang dianggap
bijaksana dan terpercaya bagi pihak keluarga laki – laki. Utusan ini nantinya
berhadapan langsung dengan orang tua si gadis atau wakil dari orang tua
sigadis yang akan dilamar, sehingga harus menjaga bicaranya dengan
sangat hati – hati, jangan sampai salah menempatkan bicara sehingga
lamaran bisa ditolak. Dan atas kepentingan kedatangan to madduta (utusan
yang akan melamar ini)
Mappenre balanca bertujuan untuk mengukuhkan hasil kesepakatan
yang telah dilakukan pada saat mappettu ada. Hala-hal yang dilakukan saat
mappenre balanca (pemberian uang belanja atau dui menre) adalah
membacakan kembali hasil kesepakatan tersebut oleh kedua belah pihak,
penyerahan uang belanja, pemsangan cincin pattenre kepada mempelai
wanita, dan terakhir adalah pembacaan doa.
84
Menurut informan MY mengatakan :
“ko mappenre balancani taue pappadani makkeda ipamulaini sarae, artinya kalau sudah sampai di acara mappenre balanca berarti usaha untuk melakukan perkawinan itu sudah dimulai” (wawancara 02 februari).
Makna yang terkandung dalam tahapan Madutta/Massurro adalah harapan
serta nilai-nilai yang sangat mendalam. Yang mana proses peminangan ini
menunnjukkan bagaimana kita seharusnya memposisikan perkawinan
sebagai upaya penghargaan kepada perempuan seperti yang dikemukakan
oleh informan MY mengatakan :
“ orang bugis sangat menghormati keberadaan perempuan, karena di masyarakat bugis perempuan itu ibarat emas yang perlu dijaga dan dirawat, sebab kalau sampai ada apa-apanya anak gadis kita, misalnya saja hamil sebelum menikah, pasti akan tertimpa malu yang sangat mendalam”
Oleh karena perkawinan adalah sebuah anugrah kemuliaan yang diberikan
oleh ALLAH SWT kepada manusia, maka perkawinan haruslah dilakukan
dengan segala norma-norma yang berlaku. Karena perintah perkawinan
adalah perintah yang penting, maka konsekwensinya adalah berimbas
kepada hal-hal yang berkaitan dengannya. Misalnya masalah nasab
(gineologi), nafkah, harta warisan dan masalah-masalah lain yang
berhubungan dengan manisnya mengarungi kehidupan rumah tangga, oleh
karena itu sebelum dilaksanakan akad nikah maka terllebih dahulu
85
melakukan pertunangan. Dengan tujuan agar kedua pasangan dapat saling
mengenal terlebih dahulu.
Dalam perkawinan bugis terdapat kelas-kelas yang tingkatan-
tingkatan sosial atau status sosial, ada perkawinan orang biasa atau
perkawinan orang kebanyakan, perkawinan orang berstatus rendah, dan
perkawinan orang berstatus tinggi.
Perkawinan orang biasa ini melewati tahapan atau proses-proses yang
benar dimana mengikuti standar-standar perkawinan secara umum dan uang
belanjanya pun sesuai dengan standar atau ketetapan yang di sepakati,
namun orang Bugis baik yang kebanyakan maupun berstatus tinggi tetap
menggambarkan perkawinan orang-orang secara umum yang dimana pesta
pesta perkawinan atau yang disebut resepsi diharapkan sebagai perkawinan
yang meriah, dan tetap memperlihatkan status sosial mereka.
Seperti yang dikatakan oleh informan RW (49thn) bahwa:
“standar perkawinan orang biasa itu tidak jauh beda dengan orang yang berada atau orang mampu, Cuma yang membedakan dilihat dari beberapa rangkaian tahapan pernikahannya, beserta dui menrenya, kalau orang biasa mengikuti standar misalnya saja 10 atau 20 juta” (wawancara 03 februari 2012).
Bagi masyarakat bugis perkawinan orang biasa adalah perhelatan
yang sangat membosankan karena tidak melibatkan perhatian orang secara
86
mendalam atau menarik kecuali mereka yang hidupnya menerima pengaruh
langsung oleh penambahan dua pasang mertua. Hanya hubungan horizontal
yang berubah. Sebaliknya perkawinan orang yang berstatus tinggi adalah
sumber kertertarikan yang tak ada habisnya. Perkawinan orang yang
berstatus tinggi telah menjadi semacam pucuk peristiwa budaya yang
mengekspresikan relasi status secara vertikal yang terus berubah, uang
belanja yang dipatok oleh keluarga pihak mempelai wanita bisa terbilang
sangat fantastis dan sangat tinggi. Dapat dikatakan bahwa, bagi mereka yang
tertarik pada relasi status vertikal , nila-nilai perkawinan “orang biasa” adalah
pesta-pesta semacam ini sangat serupa, datar-datar dan berjumlah banyak.
Dengan demikian perkawinan orang yang berstatus tinggi menonjol dalam
ketunggalan yang mengagumkan.
Seperti yang di kemukakan oleh informan BD (50thn) :
“kalau orang kaya yang menikah itu pasti besar dan mewah pesta pernikahannya misalnya resepsinya digedung, kalau uang belanjanya itu bisa sampai ratusan juta, karena standar sekarang buat anak perempuan khususnya di bone ini kalau dia orang kaya atau anak bangsawan itu sekitaran 50jutaanmi” (wawancara 03 Februari 2012).
Lain hal nya dengan perkawinan orang berstatus rendah, tidak ada
yang dapat di tonjolkan dalam perkawinan orang berstatus rendah, yang
dimana proses atau tahapan perkawinan dilakukan secara sederhana, dan
87
menyangkut masalah uang belanja hanya sesuai dengan kebutuhan bahkan
kadang hanya disesuaikan dengan kebutuhan si calon mempelai laki-laki.
Seperti yang dikatakan oleh informan LN (59thn) :
“Kalau kayak saya yang tidak mampu begini kalau uang belanja itu tidak terlalu jadi masalah yang penting yang mau menikah itu saling suka dan saling cinta, tapi laki-lakinya harus sudah ada pekerjaannya, itu saja yang terpenting”(wawancara 03 Februari 2012).
C. Perubahan Makna Dui Menre dalam proses perkawinan
Makna adalah maksud kata atau pengertian. Jadi makna dui menre
adalah pengertian dui menre atau uang belanja dalam sosial dan ekonomi
mereka dalam masyarakat. Bedanya status sosial bisa menyebabkan sikap
seseorang terhadap arti penting dui menre akan berbeda.
Seperti yang di kemukan oleh informan RW (50thn) mengatakan:
“dui menre menurut saya itu sebenarnya sangat memberatkan, terutama kalau laki-lakinya berasal dari keluarga tidak mampu, atau pas-pasan, ini juga bisa berakibat menghambat perkawinan” (wawancara 03 februari 2012).
Senada halnya yang dikemukakan oleh informan RW, informan FD
(21thn) juga mengatakan:
88
“kalau saya janganmi ada dui menrenya, karena sekarang perempuan mahal-mahalki, apalagi kalau kaya, cantikmi juga pasti tinggi diminta orang tuanya” (wawancara 03 februari 2012).
Adanya sikap setuju dan tidak setuju didasari oleh berbagai alasan,
seperti pada orang/ masyarakat yang beranggapan bahwa dui menre itu
perlu dan penting.
Lain halnya dengan informan NN (55thn) mengatakan :
“ dui menre itu penting kan itu untuk biaya pesta perkawinan mempelai wanita, dan memang sudah jadi tradisinya orang bugis kalau dui menre itu harus ada, dan memang sangat diperlukan, apalagi kalau anak perempuanta itu cantik, kaya, ada gelar sarjananya, atau keturunan bangsawan pasti harus tinggi uang pana’inya” (wawancara 3 februari 2012).
Sudah menjadi keinginan bersama untuk kawin hanya satu kali
seumur hidup, sehingga perlu untuk dilangsungkan dengan besar-besaran
namun untuk melaksanakan perkawinan secara besar-besaran tidak semua
mampu karena alasan ekonomi ataupun ada keyakinan lain yang dianut oleh
orang tersebut sehingga tidak menganggap terlalu penting untuk
melaksanakan pesta tapi cukup melakukan syarat sahnya perkawinan.
Menurut Abdullah (1985) faktor lain yang menyebabkan dikenalnya dui
menre dalam sistem perkawinan bugis dapat diartikan dengan kedudukan
perempuan dalam keluarga yang sangat dihormati. Oleh karena anak
perempuan merupakan permata yang paling berharga bagi keluarga, dia
89
harus dibentengi oleh saudara-saudara laki-lakinya atau kerabat laki-laki
dengan ketat. Ini dimaksudkan untuk menjaga martabat keluarga.
Manusia bugis menempatkan wanita sebagai lambang kehormatan
keluarga dan ini berlaku umum dalam kehidupan semua lapisan masyarakat.
Sebab itu, dalam diri manusia bugis wanita yang dijadikan lambang
kehormatan itu harus dijaga, dipelihara, dan dibentengi dengan ketat..
Kehoramatan itu merupakan suatu tanggung jawab moral unutk
menjaganya dan sekaligus membelanya. Tingkah laku seorang wanita dalam
kehidupan masyarakat, tidak hanya diawasi oleh kedua orang tuanya secara
ketat demi menjaga kehormatan keluarga, tapi juga oleh anggota kerabat
dekat dan jauh. Bahkan ada anggota masyarakat disekeliling wanita itu juga
terlibat secara langsung atau tidak langsung.
Kenyataan diatas menyebabkan harkat dan martabat perempuan
terangkat sehingga menduduki posisi terhormat dalam keluarga dan
masyaraka. Semua keluarga akan merasa terhormat bila memiliki anak
perempuan yang cantik, pandai, dan memiliki kepribadian yang baik.anak
perempuan menjadi perhiasan bagi keluarganya.
Dalam suatu upacara yang penting dan menentukan dalam adat
selingkaran hidup dikalangan orang bugis adalah upacara perkawinan.
90
Seorang yang disebut kaya atau berpangkat barulah dianggap sebagai orang
yang berada apabila telah melakukan perkawinan dengan meriah dan
megah, mereka akan bangga apabila upacara perkawinan tersebut dihadiri
oleh orang banyak dan pejabat-pejabat tinggi. Mereka akan merasa malu jika
melakukan upacara perkawinan dengan sederhana.
Bagi masyarakat bugis, suatu perkawinan adat yang meriah dan
megah merupakan suatu kebanggaan bagi keluarga atau kerabat yang
bersangkutan. Dan bersangkut pula dengan masalah status sosial dalam
kehidupan masyarakat. Sebab itu, sering di jumpai suatu keluarga telah
mengerahkan segenap kemampuannya dalam penyelenggaan suatu
perkawinan dengan kepalang tanggung jumlah biaya atau dana yang telah
dikeluarkannya, terutama pada kelompok lapisan atas yang merasa suatu
perkawinan adalah juga menyangkut suatu martabat sosial yang harus di
perhatikan dan di nilai oleh masyarakat.
Seperti yang di ungkapkan oleh informan BD (50thn) yang
mengatakan:
“kalau saya uang pana’I nya perempuan itu harus banyak dan tinggi jumlahnya standarmi itu kalau 50 jutaan, karena kalau sedikitji,pa’nanti orang-orang bicaraiki.kan semakin tinggi itu dui menrenya perempuan pastimi orang tuanya bangga karena kalau tinggi uang panai’nya berarti dinilai kalau calon suaminya orang berada” (wawancara 03 februari 2012).
91
Besar kecilnya uang belanja (dui menre) tergantung dari dari
kesepakatan bersama . pihak wanita adakalanya tidak menentukan jumlah
yang di minta, tetapi tidak jarang pula pihak wanita meminta uang belanja
yang sangat besar. Keadaan ini tidak ditemukan pada waktu-waktu lampau
Seperti halnya yang di ungkapan oleh informan MY mengatakan :
“dui menre itu, uang belanjanya perempuan yang diberikan oleh keluarga laki-laki dipake’i untuk pesta perkawinan, kalau dulu itu dui menre sekitaran Rp.750.000 tapi kalau sekarang adami yang puluhan sampai ratusan juta tapi semuanya itu tergantung dari pembicaraan kedua belah pihak keluarga” (wawancara 03 februari 2012).
Hal senada dikatakan oleh informan LN (55thn) mengatakan :
“ kalau dulu saya kawin kodong itu dui menrenya sedikit sekali. Dulu itu dui menre betul-betul memang di pakai sebagai biaya pesta perkawinan kalau sekarang dipakai hanya untuk pamer gengsi saja biar semua orang-orang tahu kalau anaknya dilamar dengan dui menre tinggi” (wawancara 03 februari 2012).
Uang Belanja atau Dui Menre merupakan gengsi sosial bahwa status
sosial calon mempelai perempuan menentukan besar kecilnya uang naik.
Status sosial ini meliputi jenjang pendidikan dan pekerjaannya. Jika ia hanya
tamatan sekolah menengah apalagi tidak pernah sekolah, uang naiknya
sedikit atau kecil. Namun sebaliknya jika ia tamatan dari perguruan tinggi
atau bergelar tinggi dan mempunyai pekerjaan maka uang naiknya akan
besar atau tinggi.
92
Umumnya, masyakat bugis beranggapan bahwa uang serahan yang
diterima pihak pengantin wanita sebagai uang belanja akan digunakan untuk
acara resepsi yang mereka selenggarakan sekaitan dengan kedatangan
mempelai pria. Tidak jarang mereka membelanjakan jauh lebih banyak,
hingga tambahan uang dari tamu resepsi tidak dapat menutupi biaya
keseluruhan. Ketika penyelenggara pihak laki-laki menggelar resepsi yang
terpisah yang merupakan rangkaian kunjungan balasan ke penngantin pria,
mereka mengundang sejumlah tamu yang kisarannya sama dengan jumlah
undangan yang disebar pihak mempelai wanita. Dengan demikian jumlah
uang belanja menjadi penentu bagi terselenggaranya pesta yang mencolok
dan besarnya jumlah tamu yang hadir dikedua belah pihak.
Uang Belanja (Dui Menre) dengan demikian, menjadi penanda status
yang boros, bersifat pamer dan agresif. Mahar disisi lain menjadi merupakan
indikator yang beersifat pasif, dan hanya menjadi indikator status untuk
melihat posisi garis keturunan mempelai wanita. Mesti dperlihatkan bahwa
selama pernikahan berlangsung, sikap yang diharapkan dari kedua mempelai
merupakan sikap yang juga diharapkan dari sponsor pernikahan,
sebagaimana mahar terhadap uang belanja (Millar susan bolyard 2009).
93
BAB VI
PENUTUP
Kesimpulan
Bagi masyarakat Bugis di desa sanrangeng suatu perkawinan adat
yang meriah dan megah adalah sebuah kebanggaan.dan bersangkut
paut dengan masalah status sosial
Dikalangan masyarakat desa sanranngeng perkawinan adalah sebuah
ikatan suci yang sangat sakral dan sangat penting.
94
Dan tidak jarang membahas masalah uang belanja adalah faktor dari
proses perkawinan bugis terdapat juga sebuah gengsi sosial, ketika
uang belanja (dui menre) tinggi itu akan sangat berpengaruh terhadap
status sosial seseorang, tetapi di desa sanrangeng masyarakat ada
pendapat setuju dan tidak setuju mengenai uang belanja tersebut. Dan
ada perubahan makna dui menre yang dulunya betul-betul digunakan
sebagai uang belanja dalam biaya upacara perkawinan tapi sekarang
ada yang menggunakan hanya untuk meningkatkan gengsi sosialnya
dan jumlahnya pun dulu hanya sekitaran ratusan ribu, sekarang
mencapai puluhan bahkan sampai ratusan juta.
Besarnya dui menre ini dalam proses perkawinan di Desa Sanrangeng
menjadi gengsi tersendiri buat keluarga yang melaksanakanya.
Karena orang akan menilai dari segi finansialnya.
Besar kecilnya dui menre di desa sanrangeng ini bervariasi tergantung
dari kesepakatan kedua pihak keluarga.
Penting arti dan posisi dui menre dalam suatu proses perkawinan akan
berbeda setiap orang, sikap setiap orang di tentukan oleh kondisi
sosial dan ekonomi mereka dalam masyarakat.
Ada yang beranggapan bahwa permintaan dui menre yang tinggi
sangat memberatkan, terutama bagi keluarga yang pas-pasan, tetapi
ada pula yang mengatakan kalau dui menre itu sangat penting dan
95
sangat diperlukan karena digunakan sebagai biaya pesta perkawinan
mempelai wanita.
Besar kecilnya uang belanja atau dui menre ini adalah tergantung dari
status sosial seseorang
Wanita apabila uang belanja atau dui menrenya tinggi akan mampu
menaikkan status sosialnya atau menjadi topik yang sangat menarik.
Saran
1. Diharapkan di desa sanrangeng dan masyarakat bugis khususnya
lebih banyak mengetahui tentang makna dui menre dan agar proses
atau tahapan perkawinan berjalan dengan lancar tanpa adanya
gangguan akibat besar atau kecilnya dui menre.
2. Diharapkan kepada pihak keluarga perempuan jangan merasa malu
ataupun gengsi jika uang belanja atau dui menrenya tergolong sedikit.
3. Agar sekiranya uang belanja atau dui menre digunakan sesuai
kebutuhan pesta perkawinan jangan terlalu berlebihan karena yang
namanya perkawinan sangat sakral, jangan dinilai dari materiil
ataupun finansialnya.
4. Diharapkan di Desa Sanrangeng dapat menilai uang belanja atau dui
menre itu sebagai betul-betul biaya pesta pekawinan, bukan dijadikan
96
sebagai ajang untuk mempertontonkan status sosial, ataupun
mempertahankan martabat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an, Departemen Agama Republik Indonesia, 1989
Al-Barry, Y Dahlan. 2001 kamus Sosiologi Antropologi. Surabaya: penerbit
dan Percetakan Offset Indah
Abuhamid. 1994. Syekh Yusuf; seorang ulama, suatu dan pejuang. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
97
Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar : Suatu Tinjauan Historis
Terhadap Pola Tingkah Laku Dan Pandangan Hidup Manusia Bugis.
Inti Idayu Press, Jakarta.
Anwar, K. 2002. “Dui Balanca Perkawinan” Studi Persepsi Masyarakat Bugis
Terhadap Uang Pesta Perkawinan di Kec. Sibulue Kab. Bone : Skripsi
Sosiologi, FISIP Unhas, Makassar.
Bahrum, shaifuddin. 2003. Cina Peranakan Makassar, Pembaruan Melalui
Perkawinan antarbudaya. Yayasan Baruga Nusantara, Makassar.
Goode, William. 1991. Sosiologi Keluarga, Bumi Aksara, Jakarta.
Keesing M. Roger, 1981. “Antropologi Budaya”, Erlangga, Jakarta.
Koentjraningrat. 1972. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Penerbit Dian
Rakyat, Jakarta.
Mardiah. 2005. Dinamika Perkawinan Adat Orang Bugis Lampoko Di
Kabupaten Barru, Skripsi Antropologi, FISIP Unhas , Makassar.
Mattualada. 1985.Latoa. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Moleong, Lexy, J. 1995. Metode Penelitian Kualitatif. PT Remaja
Rosdakarya, Bandung
Millar Bolyard, Susan. 2009. Perkawinan Bugis. Inninnawa. Makassar.
Mukhnis. 1993. Dui Balanca Dalam Sistem Perkawinan Orang Bugis Di
Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng” Skripsi Antropologi, Fisip UNHAS,
Makassar.
98
Pelras, Christian, 2005, Manusia Bugis, Nalar Bekerjasama Dengan Forum
Jakarta-Paris EFEO, Jakarta.
Rasuly, Muhammad Nur. 1984. Monografi Kebudayaan Bugis Di Sulawesi
Selatan. Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Sani, M. Yamin dkk. 2000. “Manusia, Kebudayaan Dan Pembangunan”,
Makassar.
Soekanto, Soerjono, 2002. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali
Press.
Walgito Bimo. 200. “Bimbingan dann Konseling perkawinan”, ANDI,
Yogyakarta.
Sumber-sumber lainnya :
Samsuni, (2010) “budaya mahar disulawesi selatan perlukah dipertahankan?”
diakses pada tanggal 15 Desember 2011.
Didit Putra Erlangga Rahardjo (2010) “Makna Adat Pernikahan Bugis Bergeser”.
diakses pada tanggal 16 Desember 2011
M fremaldin. (2011). “Fenomena Uang Naik dalam masyarakat Bugis-
Makassar. Di akses pada tanggal 16 Desember 2011.
http://www.slideshare.net/edypurnomo70/materi-kuliah-stratifikasi-sosial. Di
akses pada tanggal 20 April 2012
99
http://gamang00.blogspot.com/2009/03/budaya-dui-menre-vs-nikah-siri.html.
Diakses pada tanggal 20 April 2012