93b

14
1 Modul Seri III : PEREKONOMIAN INDONESIA (3 SKS) Dosen : Gunawan Wibisono SH MSi Distribusi Pendapatan dan Pertumbuhan Distribusi Pendapatan Menurut Kelompok/Kelas Pendapatan Prestasi pembangunan dapat dinilai dengan berbagai macam cara dan tolok ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun dengan pendekatan nonekonomi. Penilaian dengan pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek nonpendapatan. Dalam bab sebelum ini telah diulas perekonomian Indonesia ditinjau berdasarkan aspek pendapatan, dengan tolok ukur pendapatan per kapita. Tolok ukur pendapatan per kapita, sebagaimana disadari, belum cukup untuk menilai prestasi pembangunan. Karena merupakan konsep rata-rata, pendapatan per kapita tidak mencerminkan bagaimana pendapatan nasional sebuah negara terbagi di kalangan penduduknya, sehingga unsure kemerataan atau keadilan tidak terpantau. Bab ini mengupas perekonomian Indonesia berdasarkan tinjauan kemerataan distribusi pembangunan dan hasil-hasilnya. Perhatian diarahkan bukan semata-mata terhadap distribusi pendapatan nasional, akan tetapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Mengawali semua itu, terlebih dahulu disajikan secara ringkas konsep-konsep teoretis yang mendasarnya. 1.1. Konsep-Konsep Distribusi Pendapatan Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Terdapat berbagai kriteri atau tolok ukur untuk menilai kemerataan (parah atau lunaknya ketimpangan) distribusi dimaksud. Tiga diantaranya yang paling lazim digunakan ialah: a. Kurva Lorenz b. Indeks atau Rasio Gini Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Gunawan Wibisono SH MSi PEREKONOMIAN INDONESIA

description

a

Transcript of 93b

Page 1: 93b

1

Modul Seri III : PEREKONOMIAN INDONESIA (3 SKS)Dosen : Gunawan Wibisono SH MSi

Distribusi Pendapatan dan Pertumbuhan

Distribusi Pendapatan Menurut Kelompok/Kelas Pendapatan

Prestasi pembangunan dapat dinilai dengan berbagai macam cara dan tolok ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun dengan pendekatan nonekonomi. Penilaian dengan pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun aspek nonpendapatan. Dalam bab sebelum ini telah diulas perekonomian Indonesia ditinjau berdasarkan aspek pendapatan, dengan tolok ukur pendapatan per kapita.

Tolok ukur pendapatan per kapita, sebagaimana disadari, belum cukup untuk menilai prestasi pembangunan. Karena merupakan konsep rata-rata, pendapatan per kapita tidak mencerminkan bagaimana pendapatan nasional sebuah negara terbagi di kalangan penduduknya, sehingga unsure kemerataan atau keadilan tidak terpantau. Bab ini mengupas perekonomian Indonesia berdasarkan tinjauan kemerataan distribusi pembangunan dan hasil-hasilnya. Perhatian diarahkan bukan semata-mata terhadap distribusi pendapatan nasional, akan tetapi juga distribusi proses atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Mengawali semua itu, terlebih dahulu disajikan secara ringkas konsep-konsep teoretis yang mendasarnya.

1.1. Konsep-Konsep Distribusi Pendapatan

Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Terdapat berbagai kriteri atau tolok ukur untuk menilai kemerataan (parah atau lunaknya ketimpangan) distribusi dimaksud. Tiga diantaranya yang paling lazim digunakan ialah:

a. Kurva Lorenzb. Indeks atau Rasio Ginic. Kriteria Bank Dunia

Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk, secara kumulatif pula. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri “ditempatkan” pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang atau tidak merata. Indeks atau Rasio gini adalah suatu koefisien yang, berkisar dari angka 0 hingga 1, menjelaskan kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi pendapatan nasional. Semakin kecil (semakin mendekati nol) koefisiennya, pertanda semakin baik atau merata distribusi. Di lain pihak, koefisien yang kian besar (semakin mendekati satu) mengisyaratkan distribusi yang kian timpang atau senjang. Angka rasio Gini dapat ditaksir secara visual langsung dari kurva Lorenz,

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Gunawan Wibisono SH MSi PEREKONOMIAN INDONESIA

Page 2: 93b

2

yaitu perbandingan luas area yang terletak di antara kurva Lorenz dan diagonal terhadap luas area segitiga OBC. Semakin melengkung kurva Lorenz akan semakin luas area yang dibagi; rasio Gini-nya akan kian besar, menyiratkan distribusi pendapatan yang kian timpang. Rasio Gini juga dapat dihitung secara matematik dengan rumus: n

G = 1 - ∑ (X - X)(Y + Y) 1 i+1 i i i+1

0 < G < 1 nG = 1 - ∑ f (Y + Y)

1 i i i+1

G = rasio Ginif = proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas-i iX = proporsi jumlah kumulatif rumah tangga dalam kelas-i iY = proporsi jumlah kumulatif pendapatan dalam kelas-i i

Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yaitu 40% penduduk berpendapatan terendah (penduduk termiskin); 40% penduduk berpendapatan menengah; serta 20% penduduk berpendapatan tertinggi (penduduk terkaya). Ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi dinyatakan parah apabila 40 persen penduduk berpendapatan terendah menikmati kurang dari 12 persen pendapatan nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat bila 40 persen penduduk termiskin menikmati antara 12 hingga 17 persen pendapatan nasional. Sedangkan jika 40 persen penduduk yang berpendapatan terendah menikmati lebih dari 17 persen pendapatan nasional, maka ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak, distribusi pendapatan nasional dianggap cukup merata. Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia ini sering pula di pakai sekaligus sebagai criteria kemiskinan relatif. Kemerataan distribusi pendapatan nasional bukan semata-mata “pendamping” pertumbuhan ekonomi dalam menilai keberhasilan pembangunan. Ketidakmerataan sesungguhnya tak lepas dari masalah kemiskinana. Keduanya ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Oleh karenanya diskusi-diskusi mengenai pemerataan senantiasa terkait dengan pembahasan tentang kemiskinana. Hal ini perlu disadari, meskipun ikhwal tentang kemiskinan dan upaya pengentasannya akan dibasa tersendiri di dalam bab lain. Isu kemerataan dan pertumbuhan hinggi kini masih menjadi debat tak berkesudahan dalam konteks pembangunan. Kedua hal ini berkait dengan dua hal lain yang juga setara kadar perdebatannya, yaitu efektivitas dan efisiensi. Pemikiran dan strategi serta pelaksanaan pembangunan ekonomi tak pernah luput dari perdebatan antara pengutamaan efisiensi dan pertumbuhan di satu pihak melawan pengutamaan efektivitas dan kemerataan di lain pihak. Pakar-pakar ekonomi pembangunan tak kunjung usai memperdebatkannya. Beberapa di antara mereka cenderung lebih berpihak di salah satu kutub, sementara beberapa selebihnya berpihak di kutub seberangnya. Kita, dalam buku ini, tak perlu berpanjang lebak menyimak perdebatan mereka. Biarlah hal itu tetap menjadi wewenang literatur-literatur ekonomi pembangunan.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Gunawan Wibisono SH MSi PEREKONOMIAN INDONESIA

Page 3: 93b

3

1.2. Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan

Upaya untuk memeratakan pembangunan dan hasil-hasilnya baru tampak nyata sejak Pelita III, manakala strategi pembangunan secara eksplisit diubah dengan menempatkan pemerataan sebagai aspek pertama dalam trilogi pembangunan. Semenjak itu dikenal kebijaksanaan delapan jalur pemerataan, meliputi:

1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang, dan perumahan

2. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan3. Pemerataan pembagian pendapatan4. Pemerataan kesempatan kerja5. Pemerataan kesempatan berusaha6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi

muda dan kaum wanita7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh tanah air8. Pemerataan kesempata memperoleh keadilan

Dalam kaitan khusus dengna pemerataan pembagian pendapatan (jalur ketiga), kita dapat memilah tinjauan permasalahannya dari tiga segi, yaitu:

a. Pembagian pendapatan antarlapisan pendapatan masyarakatb. Pembagian pendapatan antardaerah, dalam hal ini antara wilayah perkotaan dan

wilayah pedesaanc. Pembagian pendapatan antarwilayah, dalam hal ini antarpropinsi dan antarkawasan

(barat, tengah, timur)

1.2.1. Ketidakmerataan Pendapatan Nasional

Distribusi atau pembagian pendapatan antarlapisan pendapatan masyarakat dapat ditelaah dengan mengamati perkembangan angka-angka Rasio Gini. Koefisien Gini itu sendiri, perlu dicatat, bukanlah merupakan indicator paling ideal tentang ketidakmerataan (ketimpangan, kesenjangan) distribusi pendapatan antarlapisan. Namun setidak-tidaknya ia cukup memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola pembagian pendapatan.

Angka-angka koefisien Gini di dalam Tabel 5.1 dihitung berdasarkan pendekatan pengeluaran. Data yang ada menunjukkan fluktuasi, mencerminkan bahwa distribusi pendapatan nasional di tanah air tidak senantiasa membaik dari tahun ke tahun. Apabila tahun 1965 dapat dianggap mewakili masa orde lama maka, dengan angka-angka koefisien Gini yang lebih kecil untuk tahun 1969 dan sesudahnya, dapat disimpulkan bahwa distribusi pendapatan sesudah orde baru lebih baik. Koefisien-koefisien yang ada, secara umum, relatif cukup rendah; pertanda distribusi pendapatan di Indonesia cukup merata.

Soroton khusus pantas diarahkan ke koefisien untuk tahun 1978 dan 1979. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, angka untuk kedua tahun itu (naik) agak tinggi. Kiranya, tingginya koefisien Gini pada tahun terakhir Pelita II inilah yang turut mendorong Pemerintah untuk mengubah urutan prioritas Trilogi Pembangunan dalam Pelita III (dimulai tahun anggaran 1979/80).

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Gunawan Wibisono SH MSi PEREKONOMIAN INDONESIA

Page 4: 93b

4

Koefisien Gini yang ditaksir melalui pendekatan pengeluaran sebenarnya kurang realistis, cenderung kerendahan (under-estimated). Hal ini mengingat di dalam data pengeluaran, unsur tabungan – yang merupakan bagian dari pendapatan – tidak turut terhitung. Padalah porsi pendapatan ditabung pada umumnya cukup besar di lapisan masyarakat berpendapatan tinggi. Perhitungan yang membuahkan taksiran lebih realistis adalah dengan mendasarkan pada data pendapatan. Perhatikan Tabel 5.2, koefisien Gini yang dihitung berdasarkan data pendapatan lebih tinggi daripada yang didasarkan data pengeluaran.

TABEL 1.1 Koefisien Gini Indonesia, pada Tahun 1969 - 1990

Tahun Koefisien Tahun Koefisien1965 0,389 [s] 1978 0,380 [b]1969 0,339 [v] 1979 0,381 [p]1970 0,346 [s] 1980 0,340 [b]1971 0,315 [p] 1981 0,330 [b]1972 0,313 [p] 1982 0,355 [p]1973 0,315 [p] 1984 0,330 [b]1974 0,335 [p] 1985 0,364 [p]1975 0,326 [p] 1987 0,320 [b]1976 0,346 [b] 1990 0,320 [b]1977 0,337 [p] 1993 0,340 [b]

Sumber: [b] – Biro Pusat Statistik; (p) – Sri Bintang Pamungkas, 1984 [s] - Sundrum; [v] – van Ginneken

TABEL 1.2 Koefisien Gini Indonesia Berdasarkan Pendekatan Pengeluaran dan Pendekatan Pendapatan, pada Tahun 1976 - 1993

Pendekatan 1976 1978 1984 1990 1993Pendapatan 0,492 0,504 0,421 - -Pengeluaran 0,346 0,380 0,330 0,320 0,340

Sumber: Biro Pusat Statistik

TABEL 1.3 Persentase Pembagian Pendapatan Nasional Indonesia di Antara Tiga Lapisan Pendapatan Masyarakat, pada Tahun 1984 - 1993

Lapisan Masyarakat menurut Kelas Pendapatan

PersentasePembagian Pendapatan

1984 1987 1990 199320% Berpenghasilan Tertinggi 41,97 41,65 41,94 42,7640% Berpenghasilan Menengah 37,28 37,48 36,75 36,9140% Berpenghasilan Terendah 20,75 20,87 21,31 20,34

Rasio Gini tahun yang sama 0,33 0,32 0,32 0,34 Sumber: Biro Pusat Statistik

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Gunawan Wibisono SH MSi PEREKONOMIAN INDONESIA

Page 5: 93b

5

TABEL 1.4 Distribusi Pendapatan Nasional Beberapa Negara Asia

Negara TahunLapisan Penduduk Berpendapatan

40% Bawah 40% Tengah 20% AtasIndonesia 1990 20,8 36,9 42,3Malaysia 1989 12,9 33,4 53,7Filipina 1988 16,6 35,6 47,8Thailand 1988 15,5 23,8 50,7

India 1990 21,3 37,4 41,3RR Cina 1990 17,4 40,8 41,8

Sumber: World Development Report, 1995, World Bank

Ketidakmerataan distribusi pendapatan nasional dapat pula dilihat berdasarkan criteria Bank Dunia. Angka-angkanya biasanya selaras dengan koefisien rasion Gini. Sebagaimana tersaji di dalam Tabel. 1.3, pola angka-angka ketidakmerataan relative ini dari tahun ke tahun senada denga pola koefisien Gini. Menyimak data periode 1984-1993, dapat disimpulkan bahwa di tengah kurun waktu ini terdapat sedikit perbaikan distribusi pendapatan nasional. Namun situasinya kemudian kembali memburuk. Perbandingan langsung antara tahun 1984 dengan tahun 1993 membawa kita pada kesimpulan sebagian pendapatan nasional yang dinikmati oleh 40% penduduk berpendapatan terendah, dan 40% penduduk berpendapatan menengah beralih dinikmati oleh 20% penduduk berpendapatan tertinggi.

Dalam perbandingan internasional, distribusi pendapatan nasional Indonesia tidak lebih buruk bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di Asia. Hal ini bias disimak dari Tabel 1.4. Dibandingkan dengan Republik Rakyat Cina; Malaysial; Filipina dan Thailand, distribusi pendapatan nasional Indonesai relative lebih merata. Porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh lapisan 40 persen penduduk berpendapatan terendah, lebih besar.

1.2.2 Ketidakmerataan Pendapatan Spasial

Ketidakmerataan distribusi pendapatan antarlapisan masyarakat bukan saja berlangsung secara nasional. Akan tetapi hal itu juga terjadi secara spasial atau antardaerah, yakni antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Di Indonesia pembagian pendapatan relative lebih merata di daerah perdesaan daripada di daerah perkotaan. Data periode 1984-1993, sebagaimana tercantum di dalam Tabel 1.5, menunjukkan hal itu. Bandingkan rasio Gini antara desa dan kota untuk tahun-tahun yang sama, koefisien-koefisiennya lebih rendah untuk daerah perdesaan.

Dilihat dengan perspektif distribusi relatif, pembagian pendapatan di kalangan penduduk perdesaan bahkan jauh lebih baik dibandingkan saudara-saudara mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Porsi pendapatan yang dinikmati oleh lapisan 40% masyarakat berpendapatan terendah di desa senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. Tidak demikian halnya di kalangan orang-orang kota.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Gunawan Wibisono SH MSi PEREKONOMIAN INDONESIA

Page 6: 93b

6

TABEL 1.5 Distribusi Pendapatan Nasional Indonesai pada Tahun 1984 – 1993 di Daerah Perdesaaan dan di Daerah Perkotaan (dihitung berdasarkan data pengeluaran)

Lapisan MasyarakatMenurut Kelas Pendapatan

PersentasePembagian Pendapatan

1984 1987 1990 199320% Tertinggi, Perdesaan Perkotaan

37,8241,12

36,4540,51

36,3642,67

36,4542,23

40% Menengah, Perdesaan Perkotaan

39,3538,25

39,2538,01

39,2337,66

38,4337,29

40% Terendah, Perdesaan Perkotaan

22,3520,63

24,3021,48

24,4119,67

25,1320,48

Rasio Gini tahun yang sama Pedesaan

Perkotaan0,280,32

0,260,32

0,250,34

0,260,33

Sumbe: Biro Pusat Statistik

Ketidakmerataan pendapatan yang berlangsung antardaerah tidak hanya dalam hal distribusinya, tapi juga dalam hal tingkat atau besarnya pendapatan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan cara membandingkan persentase penduduk perdesaan terhadap penduduk perkotaan untuk tiap-tiap golongan pendapatan. Porsi penduduk perdesaaan yang berada pada rentang pendapatan lapis bawah lebih bear daripada porsi penduduk perkotaan. Sebaliknya, pada rentang pendapatan lapis atas, porsi penduduk perdesaan lebih kecil. Perhatikan Tabel 5.6 yang menyajikan data tahun 1993 mengenai persentase penduduk menurut golongan pendapatan, dalam hal ini pendapatan dtaksir dengan pendekatan pengeluaran. Secara keseluruhan (desa = kota), sebagian besar penduduk Indonesia (tepatnya 48,97 persen) berada pada golongan pengeluaran yang merentang dari Rp20.000.000,00 hingga Rp39.999,00 per bulang. Penduduk perdesaan yang termasuk di dalam rentang pengeluaran ini sebanyak 58,07%, sedangkan penduduk perkotaan 30,67%.

Rentang pengeluaran 20-39 ribu rupiah per bulan pada tahun 1993 rupanya merupakan “pembatas” pola ketidakmerataan pendapatan antardaerah. Untuk rentang pengeluaran di bawahnya, yaitu kurang dari Rp20.000,00 sebulan, porsi penduduk perdesaan lebih besar daripada porsi penduduk perkotaan. Sebaliknya untuk rentang-rentang pengeluaran di atasnya, porsi penduduk perkotaan yang justru lebih besar daripada porsi penduduk perdesaan. Orang-orang desa yang pengeluaran bulannya Rp100.000,00 atau lebih hanya 1,27 persen. Sedangkan orang-orang kota yang pengeluarannya sebesar ini sebesar 13,62 persen. Ingat bahwa Tabel 1.6 ini menyajikan data pendapatan yang ditaksir dengan pengeluaran. Di dalam pengeluaran tidak termasuk tabungan, bagian dari pendapatan yang tidak dipakai untuk pengeluaran konsumsi. Apabila pendapatan ditaksir dengan pendekatan pendapatan, berarti angka tabungan turut diperhitungkan, ketidakmerataan pendapatan antardaerah di tanah air agaknya akan lebih buruk lagi.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Gunawan Wibisono SH MSi PEREKONOMIAN INDONESIA

Page 7: 93b

7

TABEL 1.6 Persentase Penduduk Menurut Golongan Pengeluaran, pada Tahun 1993

DaerahRentang Pengeluaran (dalam ribuan Rupiah per bulan)

< 20 20 – 39 40 – 59 60 – 70 80 – 99 100–149 150-199 ≥ 200Perdesaan 18,67 58,07 16,26 4,31 1,44 0,91 0,19 0,17Perkotaan 2,99 30,65 27,40 16,46 8,87 8,53 2,67 2,42Desa + Kota 13,46 48,97 19,96 8,34 3,91 3,44 1,01 0,92

Sumber: Statistik Indonesia, 1993, Biro Pusat Statistik

1.2.3 Ketidakmerataan Pendapatan Regional

Secara regional atau antarwilayah, berlangsung pula ketidakmerataan distribusi pendapatan antarlapisan masyarakat. Bukan hanya itu. Di antara wilayah-wilayah di Indonesia bahkan terdapat ketidakmerataan tingkat pendapatan itu sendiri. Jadi, dalam perspektif antarwilayah, ketidakmerataan terjadi baik dalam hal tingkat pendapatan masyarakat antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain, maupun dalam hal distribusi pendapatan di kalangan penduduk masing-masing wilayah. [Istilah “wilayah” (region) di dalam hal ini dapat berarti propinsi, atau Pulau Jawa dihadapkan dengan Luar Jawa, atau (dalam konteks tertentu) kawasan barat dan kawasan tengah serta kawasan timur Indonesia].

Dalam perbandingan antara Pulau Jawa dan Luar Jawa, secara umum distribusi pendapatan di kalangan lapisan-lapisan masyarakat di luar Jawa lebih baik daripada di Jawa. Namun demikian, distribusi itu sendiri semakin membaik di kedua wilayah. Dalam perspektif perbandingan antardaerah di masing-masing wilayah, terdapat kecenderungan yang sama di

kedua wilayah. Pada tahun 1976, baik di Jawa maupun di luar Jawa, distribusi pendapatan di daerah perdesaan lebih timpang daripada di daerah perkotaan. Akan tetapi pada tahun 1984, distribusi pendapatan orang-orang desa di kedua wilayah ini menjadi lebih merata dibandingkan distribusi pendapatan orang-orang kotanya.

TABEL 1.7 Koefisien Gini di Pulau Jawa dan Luar Jawa Daerah Perdesaan dan Daerah Perkotaan, pada Tahun 1976 – 1984

(dihitung berdasarkan data pendapatan)

Wilayah dan Daerah 1976 1978 1982 1984

Pulau Jawa Daerah Perdesaan Daerah Perkotaan

0,505 0,521 0,447 0,4350,479 0,483 0,411 0,3800,445 0,487 0,394 0,418

Luar Jawa Daerah Perdesaan Daerah Perkotaan

0,461 0,425 0,464 0,3890,456 0,437 0,460 0,3560,402 0,360 0,365 0,391

Sumber: Biro Pusat Statistik

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Gunawan Wibisono SH MSi PEREKONOMIAN INDONESIA

Page 8: 93b

8

Dalam hal tingkat pendapatannya sendiri, terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara wilayah-wilayah di tanah air. Pembandingan untuk ini dapat dilakukan melalui angka-angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita antarpropinsi.

PDRB per kapita sangat tidak merata, merentang dari yang terendah sebesar Rp431 ribu per tahun (Timor TImur) hingga yang tertinggi sebesar Rp6,33 juta per tahun (Kalimantan Timur). Angka ini adalah data tahun 1991 menurut perhitungan nominal berdasarkan harga yang berlaku (current prices), sebagaimana diperlihatkan oleh Tabel 1.8. Polanya tidak berbeda jika dihitung secara riil berdasarkan harga konstan (contant prices) tahun 1983. Pola data tahun 1991 ini juga tak berbeda banyak dengan pola data tahun 1986. Perhatikan, 12 propinsi yang tercantum di dalam table ini bertanda bintang (*). Maksudnya perhitungan PDRB mereka termasuk nilai tambah dari minyak bumi dan hasil-hasilnya. Perhitungan PDRB propinsi-propinsi selebihnya tidak demikan karena memang tidak menghasilkan minyak bumi.

Di antara 27 propinsi di tanah air, per tahun 1991 hanya ada 6 propinsi yang PDRB per kapitanya lebih besar daripada PDB per kapita Indonesia. Angka PDB per kapita Indonesia di sini termasuk minyak bumi dan hasil-hasilnya. Keenam propinsi dimaksud adalah Daerah Istimewa Aceh; Riau; Sumatera Selatan; Daerah Khusus Ibukota Jakarta; Kalimantan Timur; dan Irian Jaya. Berarti keenam propinsi inilah yang pendapatan per kapita penduduknya lebih tinggi daripada pendapatan per kapita rata-rata Indonesia. Perhatikan, tidak semua propinsi yang menghasilkan minyak bumi memiliki PDRB per kapita lebih besar daripada PDB per kapita. Di lain pihak, di antara enam propinsi yang pendapatan per kapitanya lebih besar daripada per kapita Indonesia, ada yang tidak menghasilkan minyak bumi yakni DKI Jakarta.

Lebih besarnya pendapatan per kapita penduduk Jakarta daripada penduduk Indonesia sebagai keseluruhan, meskipun propinsi ini tidak menghasilkan minyak bumi, rasanya mudah dimaklumi. Jakarta merupakan ibukota negara. Wilayah ini bukan saja pusat pemerintahan, tapi sekaligus juga menjadi pusat perekonomian. Kegiatan ekonomi Indonesia bertumpu di sini. Boleh jadi tumpuan konsentrasi itu sudah berlebihan, menyebabkan wilayah-wilayah lain menjadi kurang berkembang. Bertolak dari fakta ini, cukup beralasan untuk mentengarai bahwa selama ini berlangsung ketidakmerataan aktivitas ekonomi atau kegiatan pembangunan antarwilayah di tanah air. Tengarai ini semakin berbukti apabila kita melihat fakta-fakta lain yang segera akan ditunjukkan di dalam sub bab berikut nanti.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Gunawan Wibisono SH MSi PEREKONOMIAN INDONESIA

Page 9: 93b

9

TABEL 1.8 Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Menurut Harga Berlaku dan Harga Konstan, pada Tahun 1986 dan 1991 (dalam ribuan rupiah)

PropinsiTahun 1986 Tahun 1991

HB HK-83 HB HK-831. Daerah Istimewa Aceh* 1.712 1.930 2.228 1.6692. Sumatera Utara* 551 440 1.173 6163. Sumatera Barat 495 381 932 4844. Riau* 2.732 2.660 4.445 2.5975. Jambi* 407 336 755 4296. Sumatera Selatan* 838 772 1.410 8027. Bengkulu 458 339 779 4118. Lampung 335 260 597 3309. DKI Jakarta 1.702 1.364 3.112 1.75710. Jawa Barat* 495 426 1.026 53511. Jawa Tengah* 423 348 906 45312. DI Yogyakarta 408 311 754 39113. Jawa Timur* 510 415 1.043 54914. Kalimantan Barat 475 387 990 51315. Kalimantan Tengah 627 498 1.142 58916. Kalimantan Selatan* 526 432 1.040 55617. Kalimantan Timur* 3.537 3.419 6.333 3.20518. Sulawesi Utara 378 315 685 41319. Sulawesi Tengah 353 277 630 36520. Sulawesi Selatan 405 327 750 43421. Sulawesi Tenggara 366 321 707 43422. Bali23. Nusa Tenggara Barat

641250

436204

1.251461

620258

24. Nusa Tenggara Timur 243 193 404 22725. Maluku* 445 367 941 49526. Irian Jaya* 769 588 1.349 70727. Timor Timur 202 151 431 203

INDONESIA 623 523 1.254 679

Kembali ke Tabel 1.8, perhatikan data tahun 1986 menurut harga berlaku. PDRB per kapita Bali, propinsi yang juga tidak menghasilkan minyak bumi, lebih besar daripada PDB per kapita Indonesia. Mudah diduga, hal itu adalah berkat keberhasilannya meraup pendapatan dari sektor pariwisata. Seperti diketahui, Bali merupakan daerah tujuan wisata utama di tanah air. Namun apabila data tahun 1986 itu dihitung menurut harga konstan tahun 1983, PDRB per kapita Bali masih lebih kecil daripada PDB per kapita. Apa artinya? Propinsi ini, dalam perbandingan antarwaktu antara tahun 1983 dan tahun 1986, ternyata tidak menghasilkan kenaikan produksi riil! Kenaikan PDRB propinsi ini lebih disebabkan kenaikan harga-harga. Dengan kata lain, laju inflasi propinsi ini pada tahun 1986 lebih cepat daripada laju inflasi Indonesia sebagai keseluruhan.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB Gunawan Wibisono SH MSi PEREKONOMIAN INDONESIA