9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari...

25
249 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan yang bersifat pribadi (private goals). Politik lebih memfokuskan kepada kegiatan pada suatu sistem politik yang menyangkut proses yang menentukan dalam melaksanakan tujuan itu sendiri. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian dari sumber-sumber yang tersedia (Budihardjo, 1989:8). Damsar (2010: 11-12), menambahkan bahwa pengertian politik dapat dipahami sebagai kekuasaan, kehidupan publik, pemerintahan/negara, konflik dan resolusi konflik, kebijakan, pengambilan keputusan dan pembagian atau alokasi. Easton, 1953 dalam bukunya The Political System (dalam Martin, 1990: 5-10) menjelaskan bahwa sistem politik adalah sistem yang dapat memelihara dan mengubah tatanan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem politik dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang mengalokasikan nilai-nilai otoritatif sebagaimana nilai tersebut mempengaruhi distribusi sebagai penggunaan kekuasaan. Sifat otoritatif diartikan sebagai hal umum yang dianggap sah, sedangkan nilai-nilai otoritatif diartikan sebagai sumberdaya yang langka dan kekuasaan sendiri diartikan sebagai kekuatan yang tidak terdefinisikan secara jelas. Kekuasaan dapat berupa dukungan dari komunitas sebagai suatu rangkain dukungan kesulurahan, dukungan regime, dan dukungan otoritas politik itu sendiri yang berarti tujuan politis tertentu. Sehingga konsep politik menurut Easton berarti mekanisme “pengalokasian nilai-nilai otoritatif” seperti mempengaruhi distribusi dan kekuasaan yang dialokasikan kepada masyarakat. Ada banyak pandangan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan politik (Caporaso and Levine, 1992). Politik dapat diartikan sebagai “siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana” (Lasswell, 1996); “pertarungan untuk mendapatkan kekuasaan” (Morgenthau, 1948); “seni dan ilmu dari pemerintahan atau “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960), “pola-pola kekuasaan, aturan dan

Transcript of 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari...

Page 1: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

249  

9. POLITIK SEAFOOD SAVERS

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public

goals) dan bukan tujuan yang bersifat pribadi (private goals). Politik lebih

memfokuskan kepada kegiatan pada suatu sistem politik yang menyangkut proses

yang menentukan dalam melaksanakan tujuan itu sendiri. Untuk melaksanakan

tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies)

yang menyangkut pengaturan dan pembagian dari sumber-sumber yang tersedia

(Budihardjo, 1989:8). Damsar (2010: 11-12), menambahkan bahwa pengertian

politik dapat dipahami sebagai kekuasaan, kehidupan publik, pemerintahan/negara,

konflik dan resolusi konflik, kebijakan, pengambilan keputusan dan pembagian atau

alokasi.

Easton, 1953 dalam bukunya The Political System (dalam Martin, 1990: 5-10)

menjelaskan bahwa sistem politik adalah sistem yang dapat memelihara dan

mengubah tatanan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem politik dapat

diartikan sebagai suatu mekanisme yang mengalokasikan nilai-nilai otoritatif

sebagaimana nilai tersebut mempengaruhi distribusi sebagai penggunaan kekuasaan.

Sifat otoritatif diartikan sebagai hal umum yang dianggap sah, sedangkan nilai-nilai

otoritatif diartikan sebagai sumberdaya yang langka dan kekuasaan sendiri diartikan

sebagai kekuatan yang tidak terdefinisikan secara jelas. Kekuasaan dapat berupa

dukungan dari komunitas sebagai suatu rangkain dukungan kesulurahan, dukungan

regime, dan dukungan otoritas politik itu sendiri yang berarti tujuan politis tertentu.

Sehingga konsep politik menurut Easton berarti mekanisme “pengalokasian nilai-nilai

otoritatif” seperti mempengaruhi distribusi dan kekuasaan yang dialokasikan kepada

masyarakat.

Ada banyak pandangan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan politik

(Caporaso and Levine, 1992). Politik dapat diartikan sebagai “siapa yang

mendapatkan apa, kapan dan bagaimana” (Lasswell, 1996); “pertarungan untuk

mendapatkan kekuasaan” (Morgenthau, 1948); “seni dan ilmu dari pemerintahan atau

“sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960), “pola-pola kekuasaan, aturan dan

Page 2: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

250  

kewenangan” (Easton, 1981); “konflik murni, yaitu pertentangan antar grup atau

kutub (Schmitt, 1976) dan “ penyelerasan kepentingan-kepentingan yang saling

bertentangan melalui kebijakan publik (Crick, 1964). Kekuasaan, kewenangan,

kehidupan publik, pemerintahan, negara, konflik dan resolusi konflik semuanya

terkait dalam pemahaman politik (dalam Caporaso and Levine, 1992).

Menurut Damsar, (2010: 66), menyebutkan bahwa kekuasaan terbagi menjadi

dua macam, yaitu kekuasaan yang bersifat paksaan (coercive) dan kekuasaan

sah/otoritas. Terminologi kekuasaan itu sendiri adalah kemampuan untuk menguasai

dan mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu atau kemampuan untuk

mengatasi perlawanan dari orang lain untuk mencapai tujuan, khususnya untuk

mempengaruhi orang lain. Paksaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang

lain dengan cara tidak memiliki legitimasi (sah), sedangkan otoritas adalah

kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sebagai suatu bentuk yang terlegitimasi.

Penggunaan kekuasaan dapat dilakukan dengan menggunakan cara kerjasama,

persaingan dan konflik.

Dalam politik pengelolaan sumberdaya perikanan di Wakatobi terdapat

berbagai bentuk kekuasaan yang dijalankan oleh pilar negara, pilar masyarakat dan

pilar pasar. Ketiga pilar tersebut mempunyai kekuasaan dan cara yang berbeda dalam

memanfaatkan dan menggunakan sumberdaya pesisir dan kelautan termasuk di

dalamnya sumberdaya perikanan. Melalui beberapa regime pengelolaan sumberdaya,

politik pengelolaan sumberdaya perikanan di Wakatobi dijelaskan sebagai berikut:

9.1. Pengelolaan Terumbu Karang, dari Common Property Right ke State dan

Private Property Right (Tata Kelola Berbasis Area/Luasan)

Menurut Adhuri (2005), kritik pengelolaan sumberdaya tersebut sering

ditemui ketidakharmonisan antara masyarakat dengan aparat pengelola dari pusat,

yang disebabkan karena terbatasnya kemampuan sumberdaya manusia dan finansial

dalam pelaksanaan monitoring, surveillance dan controlling (MSC), kebijakan-

kebijakan yang dihasilkan, subordinasi kepentingan ekonomi jangka pendek dengan

kepentingan ekonomi jangka panjang (konservasi), serta terjadinya resistensi dari

Page 3: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

251  

masyarakat tentang aturan pengelolaan yang bersifat top-down. Sehingga diperlukan

sebuah transformasi kekuasaan dengan sebuah istilah devolution. Devolution of major

resources management and allocation to the local level may be more effective

than management effort which distant and understaffed government agencies can

provide (Bailey and Zernerm, 1992; dalam Adhuri, 2005).

Dalam pengelolaan sumberdaya alam dibutuhkan kesadaran pemerintah pusat

untuk membagikan atau menumpahkan tanggung jawab dan kekuasaan dalam

pengelolaan lingkungan hidup kepada pemerintah daerah untuk mengelola dan

memanfaatkan wilayahnya. Hal ini dharapkan agar pemanfaatan sumberdaya alam

lebih efektif dan berlanjut. Carney and Farrington (1998), menyebutkan beberapa

pembaharuan tipe (type of reform) pengelolaan sumberdaya alam, yaitu privatisasi,

desentralisasi dan deregulasi. Ketiga tipe pembaharuan pengelolaan sumberdaya

alam, yang dianggap ideal dan mementingkan rakyat adalah desentralisasi. Carney

dan Farrington (1998), menyebutkan bahwa desentralisasi adalah pergeseran

kekuasaan dari pusat ditumpahkan atau dikuasakan ke daerah. Pergeseran kekuasaan

di dalam desentralisasi, terdapat dua tipe, yaitu devolusi dan dekonsentrasi. Devolusi

adalah desentralisasi yang di dalamnya terdapat transformasi kekuasaan berupa

pembetukan dan revitalisasi kebijakan berdasar kepentingan daerah. Jadi hukum dan

kebijakan serta legislatif dibentuk sesuai dengan porsi dan kepentingan daerah.

Sedangkan dekonsentrasi adalah pergeseran atau transformasi kekuasaan bersifat

operasional kekuasaan dari kementrian pusat kepada sub unit daerah. Dekonsentrasi

sering disebut sebagai redefinisi dari pergeseran skup dari kementrian pusat terbagi

menjadi sub unit, dan tidak terjadi perubahan atau pergesaran kekuasaan apapun.

Bromley, 1991 dalam Hanna, et.al, (1995: 17), menjelasakan bahwa terdapat

dua komponen dalam (hak kepemilikan sumberdaya) regime property right, yaitu: 1).

property rights itu sendiri, melekat sifat hak kepemilikan dan kewajibannya dalam

memanfaatkan potensi sumberdaya di dalamnya, dan 2). property rule, seperti aturan-

aturan yang mengikat hak dan kewajiban dari yang memiliki sumberdaya. Hanna,

et.al., 1995: 18 menjelaskan beberapa tipe regime pengelolaan sumberdaya alam

berdasarakan atas spectrum kepemilikannya (Mc Cay and Acheson 1987; Berkes,

Page 4: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

252  

1989; Bromley, 1989 and Ostrom, 1990), menyebutkan tipe regime kepemilikan

sumberdaya alam, diantaranya adalah:

• Private property (res privatae),kepemilikan atas sumberdaya yang dimiliki secara individual, kepemilikan individu mempunyai hak dalam kontrol dan akses dalam pemanfaatan sumberdaya secara sosial dan ekonomi (Black, 1968);

• Common property (res communes), kepemilikan sumberdaya yang dimiliki oleh kelompok atau komunitas, mempunyai sifat melarang masuk terhadap bukan pemilik.

• State property (res publicae), kepemilikan sumberdaya yang dimiliki oleh kepentingan unit politik, pemerintah/negara dimana kewenangannya terdapat pada agen publik.

• Open access (res nullius), sumberdaya yang tidak bertuan, tidak ada yang memiliki dan property yang bersifat open to all. Dinamika dari open access merupakan kajian utama dari “Tragedy of the Common”.

Pengelolaan sumberdaya alam menjadi kawasan konservasi laut di Perairan

Wakatobi, di kuasai dengan sistem komando dari pusat, walaupun terdapat sistem

komunal dan devolusi kekuasaan pemerintah yang dimiliki oleh pemerintah daerah

serta sistem pasar. Permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan di

Kawasan Taman Nasional Wakatobi, menjadi menarik, ketika Wakatobi ditunjuk,

seluruh daerah Kabupaten Wakatobi menjadi luasan konservasi Taman Nasional.

Melihat potensi sumberdaya dan human capital Wakatobi, tak lain kecuali mereka

bermata pencaharian sebagai nelayan. Eksistensi nelayan Bajo, dikenal sebagai suku

laut yang tidak mempunyai akses atas sumberdaya lahan, menjadi permasalahan

tersendiri ketika terdapat zonasi baik yang datang dari sistem zonasi Taman Nasional

dan sistem zonasi Daerah Perlindungan Laut (Marine Sanctuary), sebagai

pengelolaan tata ruang dari COREMAP Phase II yang didukung oleh DKP

Kabupaten.

Transisi kepemilikan sumberdaya perairan di Wakatobi, mengalami

tranformasi sejak Tahun 1996, dengan ditunjuknya perairan Wakatobi menjadi

Taman Nasional Kepulauan Wakatobi melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.

393/KPTS-VI/1996, kemudian ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.

19 Agustus Tahun 2002 yang meliputi seluruh wilayah Kabupaten Wakatobi dan

namanya menjadi Taman Nasional Wakatobi. Desember Tahun 2003 Wakatobi

Page 5: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

253  

mekar dari Kabupaten Buton dan menjadi wilayah kabupaten tersendiri, sehingga

memunculkan permasalahan bahwa batas dan luas kawasan TNW berhimpit dan

sama persis dengan luasan Kabupaten Wakatobi (RPTNW 2008: 2).

Dalam rangka harmonisasi pengelolaan kawasan konservasi taman nasional

dengan pembangunan daerah, sebagai ujud untuk mengantisipasi berbagai perubahan

politik, dan pemerintahan serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya sehingga

dilakukanlah revisi RPTN dalam jangka waktu 25 tahun kedepan (1998-2023). Hal

ini dilakukan dengan maksud untuk mengelola kawasan dalam perencanaan

pengelolaan Taman Nasional Wakatobi, sebagai dasar pijakan kebijakan dan renstra

Kabupaten Wakatobi yang selaras dengan pengelolaan TNW (RPTNW, 2008: 4).

Taman Nasional Wakatobi, terdapat 6 zonasi, yaitu zona inti, zona

pemanfaatan bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan

tradisional dan zona khusus. Zona khusus adalah zona daratan yang diserahkan

kekuasaannya kepada pemerintah daerah. Menurut RPTN sebagai zona khusus adalah

zona penyangga, dimaksudkan agar pengelolaan mata pencaharian masyarakat dan

kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan daratan Wakatobi selaras dengan

pengembangan wilayah perairan sebagai kawasan konservasi taman nasional

(RPTNW, 2008: 3).

Dalam prakteknya bahwa keharmonisan antara taman nasional dengan daerah,

belum terlihat bersinergis betul. Kabupaten Wakatobi sebagai daerah pemekaran baru

membutuhkan modal dalam membangun wilayahnya. Penetapan leading sektor

perikanan dan pariwisata sebagai agen pembangunan di Wakatobi, tentunya harus

melihat pertimbangan sebagai kawasan konservasi taman nasional. Potensi Wakatobi

yang dominan hanyalah perikanan, untuk pariwisata belum bisa dikatakan sebagai

kemandiaran untuk menyokong pembangunan daerah.

Sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional, nelayan Wakatobi, baik orang

darat mauapun orang Bajo mengenal laut adalah sebagai sumberdaya milik bersama

dan siapa saja boleh memanfaatkan hasil lautnya. Hal ini menjadikan nelayan Bajo

sebagai suku laut menjelajah disetiap karang yang ada di gugusan karang Wakatobi

adalah kebun milik mereka (koko dilao). Setelah ditetapkan sebagai Taman Nasional,

Page 6: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

254  

yang pengelolaan kawasan dengan menggunakan sistem zonasi, terdapat perubahan

anggapan dan kebiasaan nelayan dalam menangkap ikan. Hal ini pada awalnya

menimbulkan konflik penolakan zonasi oleh masyarakat terhadap taman nasional.

Aturan-aturan taman nasional dengan menggunakan sistem zonasi, dengan tujuan

untuk konservasi terumbu karang dalam jangka panjang demi keberlanjutan

ekosistem dan mendukung praktek ekonomi masyarakat jangka panjang. Akan tetapi

aturan-aturan konservasi zonasi taman nasional, mendapat reaksi dari nelayan,

dikarenakan terdapat aturan yang melarang nelayan beroperasi dan hanya

diperbolehkan pada zona pemanfaatan umum dan pemanfaatan lokal.

Tata ruang zonasi taman nasional laut tidak semudah dengan tata ruang taman

nasional yang ada di daratan, karena laut tidak bisa diberi marka (bouy) dan untuk

tata batasnya tidaklah jelas. Mata pencaharian nelayan menangkap ikan sebagai

komoditas, mempunyai sifat fugitive, bergerak bebas. Secara otomatis nelayan akan

mencari daerah yang banyak ikannya, walaupun masuk dalam zona yang tidak

diperbolehkan untuk aktifitas penangkapan ikan. Pemahaman dualisme tentang zonasi

di kawasan Wakatobi masih terjadi pemahaman simpang siur sampai sekarang.

Pemahaman yang ganda sampai saat ini terjadi di nelayan disebabkan karena

nelayan belum mempercayai adanya penetapan zonasi. Simpang siur informasi

tentang penetapan zonasi di gunakan oleh kepentingan segelintir orang untuk

kepentingan politisnya. Dalam sebuah kasus di Pulau Tomia terjadi pada Tahun 2009,

dimana bakal caleg mengkampanyekan dirinya, dengan menggunakan zonasi taman

nasional sebagai alatnya untuk memperoleh dukungan massa terutama dari nelayan.

Nelayan, terutama Bajo masih menganggap zonasi baru menjadi wacana dan belum

ditetapkan oleh Taman Nasional Wakatobi dan Pemerintah Daerah Wakatobi.

Pemahaman ini disebabkan oleh informasi dari kepentingan politik dalam meraih

dukungan massa.

Belum selesainya permasalahan pemahaman dan ketaatan nelayan terhadap

sistem zonasi taman nasional, Tahun 2009 munculah Daerah Perlindungan Laut

(DPL) yang di usung oleh COREMAP Phase II dan Dinas Kelautan dan Perikanan

(DKP) Wakatobi. Kebijakan desentralisasi sebagai semangat otonomi daerah

Page 7: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

255  

terwujud pada devolusi kewenangan dan kekuasaan KKP kepada daerah melalui

dinas/instansi yang terkait yaitu DKP. DPL merupakan konsep awal yang bagus

bahwa partisipasi komunal ditonjolkan untuk berperan aktif dalam mengelola

kawasan laut milik desa. DPL dibentuk dari luasan laut milik desa, diambil 10 %

sebagai daerah perlindungan laut.

Terlihat di lapangan, bahwa DPL menimbulkan kritik dari masyarakat, bahwa

DPL bersifat sangat ekslusif bagi penduduk desa yang mempunyai laut. Pertama,

DPL dibentuk dengan pertimbangan tutupan karang masih bagus yaitu ≥50 persen.

Dalam kawasan DPL tidak diperbolehkan untuk aktifitas penangkapan ikan dan

budidaya. Akan tetapi praktek di lapangan, DPL dimanfaatkan sebagai budidaya

rumput laut. Hal ini jelas sudah menyimpang dari tujuan dibentuknya DPL. Sifat

ekslusifitas komunal atau kelompok tertentu, tentunya akan mengalienasi pengguna

sumberdaya perikanan lain seperti nelayan Bajo. Kedua, DPL digunakan sebagai

zona pariwisata dalam site penyelaman untuk kepentingan wisata, yang tidak jarang

dimanfaatkan oleh perusahaan wisata swasta, sehingga, nelayan pun tidak bisa

menggunakan sumberdaya yang ada di daerah tersebut untuk menangkap ikan,

terlebih-lebih ketika ada wisatawan menyelam. Pihak resort pariwisata yang

mempunyai site penyelaman melarang keras nelayan untuk melintas di wilayah

tersebut. Ketiga, bahwa DPL adalah zonasi dalam zonasi, didalam aturannya, terdapat

pengaturan yang berbeda yaitu milik komunal/ masyarakat yang mempunyai DPL.

Akan tetapi pihak taman nasional berdiam diri dan mendukung, karena tujuannya

adalah mendukung konservasi taman nasional. Keempat, penentuan DPL yang

dilakukan oleh COREMAP Phase II sebagai no take zone area, di lokasikan pada

zona pemanfaatan tradional (lokal) dalam koridor sistem zonasi taman nasional. Hal

ini menjadikan lebih sempit akses pemanfaatan nelayan terhadap sumberdaya

perikanan di kawasan zonasi taman nasional.

Sistem tata ruang perairan Wakatobi baik zonasi kawasan taman nasional

ataupun DPL adalah sistem kavling area, sehingga hal ini menimbulkan kesenjangan

akses untuk nelayan yang tidak memiliki wilayah laut, seperti Bajo. Kavling tersebut

diwujudkan sebagai praktek zonasi kawasan konservasi yang diyakini sumberdaya

Page 8: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

256  

yang melekat di dalam kawasan (area) pun ikut ter-kavling dalam kerangka zona

konservasi. Pandangan pola pengkavlingan, dinilai oleh sosiolog perikanan (Craig

Harris dalam Satria, 2009a:54), sebagai pola pengelolaan yang bersifat modernisasi.

Modernisasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah dicirikan dengan

kuatnya dominasi (state) yang didistribusikan secara top down. Lahirnya DPL,

menjadikan bentuk disparitas sesama komunitas yang hidup di Wakatobi. Nelayan

Bajo tidak mempunyai hak akses, pemanfaatan dan pengelolaan terhadap DPL. DPL

menjadi milik komunal bagi masyarakat desa yang mempunyai wilayah laut desa dan

DPL tetapi hal tersebut menjadi “komunalisasi” yang bersifat ekslusi, dilakukan oleh

kelompok masyarakat desa tertentu yang mempunyai DPL dan laut desa terhadap

nelayan Bajo.

Menyangkut hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya perikanan dan

pesisir, nelayan Bajo yang hidupnya menggantungkan dari komoditas laut baik

karang maupun laut dalam, tidak mempunyai pilihan lain, selain harus melaut di

daerah yang menjadi milik negara. Hak nelayan yang tidak mempunyai wilayah laut

menjadi terampas khususnya nelayan Bajo untuk hak memanfaatkan (withdrawal

right) maupun hak mengelola (management right). Adapun temuan data di lapangan

berkaitan dengan hak kepemilikan sumberdaya adalah sebagai berikut: Tabel 9.1. Hak nelayan Bajo terhadap Kepemilikan Sumberdaya Perikanan di Wakatobi

Kemampuan Menggunakan Sumberdaya

Zona Pemanfaatan Lokal

Zona DPL Zona Pariwisata

Akses X X X

Pemanfaatan X - -

Pengelolaan X - -

Eksklusi X - -

Pengalihan - - -

Tipe Hak Propieter Authorized

entrance

Authorized

entrance

Sumber: diolah dari data primer hasil wawancara dan pengamatan lapang (April-Juni 2012)

Page 9: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

257  

Tabel 9.2. Hak nelayan daratan (desa lain yang mempunyai wilayah laut desa (DPL) terhadap

Kepemilikan Sumberdaya Perikanan di Wakatobi

Kemampuan Menggunakan Sumberdaya

Zona Pemanfaatan Lokal

Zona DPL Zona Pariwisata

Akses X X X

Pemanfaatan X X -

Pengelolaan X X -

Eksklusi X X -

Pengalihan - - -

Tipe Hak Propieter Claimant Authorized

entrance

Sumber: diolah dari data primer hasil wawancara dan pengamatan lapang (April-Juni 2012)

Tabel 9.3. Hak pengusaha resort pariwisata terhadap Kepemilikan Sumberdaya Perikanan di Wakatobi

Kemampuan Menggunakan Sumberdaya

Zona Pemanfaatan Lokal

Zona DPL Zona Pariwisata

Akses X X X

Pemanfaatan X - X

Pengelolaan X - X

Eksklusi X - X

Pengalihan - - X

Tipe Hak Propieter Claimant Owner

Sumber: diolah dari data primer hasil wawancara dan pengamatan lapang (April-Juni 2012)

Praktek dilapangan mengenai ketidakharmonisan antara pemerintah daerah

dan pihak taman nasional tercermin dalam pengaturan sumberdaya perikanan dalam

kawasan. DKP sebagai instansi yang mempunyai tugas untuk perikanan daerah

bergerak sendiri dan mempunyai kewenangan dalam sektor perikanan dari mulai

perijinan, monitoring sampai kontrol, sedangkan Balai Taman Nasional Wakatobi

sangat patuh dengan garis komando konservasinya. Sehingga sistem lempar batu,

sembunyi tangan terhadap pengawasan sumberdaya perikanan di kawasan konservasi

taman nasional laut terjadi dikarenakan mempunyai dualisme kewenangan. Akibat

yang terjadi dari adanya dualisme kewenangan adalah masuknya pihak ketiga (free

Page 10: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

258  

rider) yang memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ikut serta memanfaatkan

sumberdaya perikanan di dalam kawasan. Praktek terdapatnya free riders adalah

masih terjadinya penangkapan komoditas yang seharusnya tidak boleh dieksploitasi

dalam kawasan, dan praktek produksi penangkapanya masih menggunakan illegal

fishing gear. Terdapatnya praktek illegal fishing seperti penggunaan cyanide untuk

menangkap Napoleon dan menggunakan bom untuk menangkap ikan karang segar,

tak lain dampak dari ego kepentingan antara daerah dengan taman nasional, sehingga

nelayan yang menjadi korban sebagai pelaku illegal fishing. Ego kepentingan antara

pemerintah daerah dan Taman Nasional terlihat dari tumpang tindih kewenangan

dalam sektor perikanan. Pemerintah daerah melalui DKP mempunyai kewenangan

dalam sektor perikanan sedangkan Taman Nasional Wakatobi mempunyai kekuasaan

terhadap kawasan konservasinya.

Dijelaskan oleh Satria, (2009a:55), bahwa ketidakharmonisan antara

perikanan dan konservasi merupakan cerminan dari simpang siur dan tumpang

tindihnya kewenangan dan kebijakan yang menjadi kiblat masing-masing instansi.

Pada level lokal terjadi ketidakharmonisan antara taman nasional, pemerintah daerah,

nelayan, dan pengusaha wisata. Pada level nasional terjadi ketidakharmonisan antara

KKP dengan Kemenhut. Pada level nasional, dicerminkan oleh adanya pertimbangan

dasar kebijakan yang tidak pernah saling sinergis. Cerminan ketidaksinergisan dalam

produk hukum sebagai dasar kebijakan seperti: dalam Keputusan DitJend PHKA No.

SK.149/IV-KK/2007 tentang Zonasi Taman Nasional Wakatobi yang tidak

menimbang dari Undang Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dan

Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang PWP3K. Hal tersebut pun terjadi

sebaliknya, ketika Kemenhut merujuk ke umbrella act Undang-Undang No. 5 Tahun

1990, KKP, dalam membentuk peraturan, belum terlihat merujuk terhadap Undang-

Undang tersebut. Sehingga hal ini menurut Satria (2009a: 69), disebut sebagai bentuk

disharmonisnya produk hukum yang menyebabkan konflik institusional di kedua

institusi pemerintah.

Tumpang tindih kepentingan menjadi permasalahan klasik mengenai

penanganan konservasi laut. Tetapi, apabila di tengok lebih jauh, perebutan

Page 11: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

259  

kewenangan tersebut berkaitan dengan masalah teknis-birokratis sebagai politik

anggaran dari masing-masing institusi. Dalam hal ini, konservasi kawasan belum bisa

menopang kesejahteraan nelayan, dan belum bisa memberikan jawaban alternatif,

livelihood terhadap nelayan ikan konsumsi karang hidup, khusunya nelayan Bajo.

Sehingga boleh dikatakan bahwa nelayan, belum tersentuh permasalahannya dan

selalu berada dalam dua paradigma, yaitu konservasi dan developmentalis sebagai

ujud dari pemekaran daerah baru di dalam kawasan konservasi.

9.2. Transformasi Politik Seafood Savers sebagai Pengelolaan Komoditas

Ikan Konsumsi Karang Hidup berbasis Pasar

Selama dua dekade sudah, United Nation Convention on the Law of the Sea

(UNCLOS), sumberdaya perikanan dunia mendapat perhatian yang cukup serius

berkaitan tentang keberlanjutannya, berkaitan dengan konsep yang dinyatakan oleh

Hardin sebagai “tragedy of the commons”, dimana telah terjadi penangkapan berlebih

(overexploitation), penurunan daya kapasitas sumberdaya di bawah ambang batas

(overcapacity) dan terjadinya konflik antar pengguna sumberdaya perikanan (OECD;

19). Merujuk dari laporan FAO 1994 (OECD, 2006; 20), bahwa terjadi penurunan

tangkapn dalam beberapa tahun terakhir yang terjadi pada ikan komersial (ikan

demersal). Penurunan hasil tangkapan ikan demersal komersial, dikarenakan

mempunyai siklus trophic level yang rentan dalam produksi ikan di alam, dan hal ini

juga terjadi pada komoditas ikan pelagis kecil (Pauly et. al., 1998, dalam OECD,

2006; 20).

Ketidakseimbangan antara pemanfaatan (frekuensi penangkapan ikan) dan

kemampuan stok produktivitas ikan terjadi karena faktor meningkatnya pengguna

sumberdaya perikanan, dan praktek overfishing serta belum jelasnya kebijakan yang

mengatur (unrugelated) praktek penangkapan ikan. Pengelolaan sumberdaya

perikanan seharusnya di dukung oleh keuntungan secara teknik dan merupakan

lapangan pekerjaan tambahan bagi nelayan (didukung oleh kebijakan pemerintah),

untuk menghambat laju degradasi sumberdaya perikanan. Secara bersamaan,

Page 12: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

260  

pertumbuhan produksi perikanan dapat menjadi andalan pembangunan bagi beberapa

negara (OECD, 2006; 20).

OECD Tahun 2006, memaparkan paradigma pembangunan berkelanjutan

sektor perikanan yang terdiri dari tiga pilar, yaitu lingkungan, ekonomi dan sosial.

Permasalahan dasar dalam penggunaan sumberdaya perikanan adalah terletak pada

aspek ekonomi. Persaingan industri perikanan sebagai upaya meningkatkan produksi,

menciptakan sisi negatif, terhadap peningkatan penggunaan sumberdaya perikanan

yang semakin langka (menurun). Outline mekanisme pengelolaan secara ekonomi

sumberdaya perikanan beserta implikasinya digambarkan sebagai berikut:

Gambar. 9.1. Outline mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan secara ekonomi

Melihat kondisi perikanan di Wakatobi yang berada pada dua konsep besar

paradigma developmentalis dan konservasi, diperlukan jalan tengah untuk

menyelesaikan permasalahan perikanan terutama berkaitan dengan komoditas ikan

 Sifat Sumberdaya Perikanan

Common Renewable

Crowding exteralitas (jangka pendek)

Stock externalitas (jangka panjang)

Overexploitation Overcapacity

Equity issue (konflik pengguna)

Efficiency issue (hilangnya penyewaan sumberdaya)

Resources conservation issue

Sumber: Diadopsi Boncoeur dan Troadec, 2003; OECD, 2006,

Page 13: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

261  

konsumsi karang hidup. Konservasi kawasan seperti taman nasional dan DPL belum

bisa memberikan jawaban antara realitas kebutuhan masyarakat dan keberlanjutan

perikanan.

Isu besar dari wacana pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis pasar,

dikarenakan keprihatinan terhadap degradasi sumberdaya lingkungan yang semakin

menunjukan kerusakan. Menurut Hempel, 1996 (dalam Riyanto, 2005:10), terdapat

empat faktor yang menjadi degradasi lingkungan yaitu: Pertama, nilai-nilai dasar

yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan adalah etika antroposentris yaitu

demi memenuhi kepuasannya manusia cenderung mengorbankan spesies (flora dan

fauna) disekitarnya dan etika kontemposentris yaitu lemahnya pengkayaan oleh

generasi sekarang ke generasi yang akan datang; Kedua, pertumbuhan penduduk dan

perkembangan teknologi; Ketiga, perilaku konsumen yaitu ketegangan antara

keinginan dan kebutuhan serta konsekuensi ekologinya; dan Keempat politik

ekonomi.

Selain keempat aspek tersebut, Satria (2009a:35-36), menambahkan bahwa,

degradasi sumberdaya perikanan disebabkan adanya kegagalan pasar dan kegagalan

tata kelola. Oleh karena itu pendekatan pasar menjadi acuan kebijakan pengelolaan

komoditas yang berkaitan dengan sumberdaya. Kebijakan pasar tersebut adalah

kebijakan kouta, dan kebijakan ecolabelling. Kebijkan kouta lebih menekankan pada

produsen, sementara ecolabelling pada penekanan level konsumen. Solusi dari

kegagalan tata kelola adalah, perlu di wujudkannya kolaboratif manajemen,

pengelolaan sumberdaya perikanan yang mengikutsertakan semua stakeholder, yaitu

negara, masyarakat dan pasar.

Belum terwujudnya pengelolaan komoditas dan kawasan terumbu karang

yang ideal, setidaknya dapat dipetakan penyebabnya selain tumpang tindih

kewenangan daerah dan pusat tetapi juga karena kawasan konservasi berbasis area

tidak mengikutsertakan peran pasar untuk bertanggung jawab terhadap proses

eksploitasi komoditas. Eksploitasi komoditas ikan konsumsi karang hidup terjadi

sebagai akibat adanya permintaan pasar regional di Hong Kong yang berlangsung

terus menerus. Salah satu dampak dari eksploitasi sumberdaya ikan konsumsi karang

Page 14: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

262  

hidup, masih terdapat praktek-praktek illegal fishing yang sehuarusnya tidak terjadi

di dalam kawasan konservasi masih berlangsung dikarenakan adanya permintaan

pasar terhadap spesies yang tidak boleh ditangkap.

Seafood Savers, muncul sebagai wacana global dan wacana lokal. Sebagai

wacana global produk Seafood Savers merupakan pengelolaan sumberdaya perikanan

karang hidup yang diterapkan pada kawasan yang masih terdapat praktek-praktek

(bad practice) yang tergolong dalam karakter IUU Fishing. Sampai saat ini belum

diketemukan aturan khusus yang mengatur ikan konsumsi karang hidup. Keunikan

dan dinamika komoditas ini adalah menjaga agar tetap hidup komoditas dari mulai

ditangkap sampai di tangan konsumen yang didalamnya terdapat praktek-praktek

spesifik tertentu yang tidak berada di perikanan tangkap lainnya. Sebagai wacan

lokal, Seafood Savers merupakan regime pengelolaan sumberdaya perikanan yang

bertumpu pada rasionalitas pasar.

Seperti dijelaskan dalam Bab. VI. bahwa komoditas ikan konsumsi karang

hidup mempunyai dampak sosial dan ekonomi, terdapat dalam jaringan penangkapan,

sampai jaringan distribusi dan jaringan pengaman merupakan upaya memanfaatkan

hasil tangkapan liar di dalam kawasan konservasi. Jaringan penangkapan, jaringan

pemasaran sampai pada jaringan pengaman menyebabkan terjadinya perubahan-

perubahan kondisi yang berdampak pada aspek sosial, ekonomi, ekologi dan

kebijakan. Secara kajian ekologi, adaptasi ikan konsumsi karang hidup adalah di

ekosistem karang yang merupakan salah satu dari delapan potensi konservasi

kawasan Taman Nasional Wakatobi yang dilindung (menjadi area target).

Kehadiran Seafood Savers sebagai wacana lokal merupakan inisiasi

pengelolaan perikanan yang di inisiasikan oleh WWF Indonesia, guna mengelola

komoditas ikan konsumsi karang hidup di dalam kawasan konservasi yang berbasis

pasar sebagai penyokong antara kepentingan konservasi dan developmentalis.

Tentunya kehadiran Seafood Savers, menjadi hal yang pro dan kontra, terlebih

kepentingan dari Seafood Savers, adalah untuk siapa?.

Dukungan dalam konservasi, Seafood Savers adalah proses bridging

mechanism untuk mengurangi adanya praktek IUU Fishing. Ikan konsumsi karang

Page 15: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

263  

hidup, banyak ditangkap dengan menggunakan cara-cara yang tidak ramah

lingkungan, seperti cyanide. Permasalahan klasik dari komoditas ikan konsumsi

karang hidup adalah belum ditemukannya regulasi yang spesifik mengenai perikanan

tangkap maupun batas quota tangkap untuk ikan konsumsi karang hidup. Selain itu,

permasalahan pelaporan mengenai produksi ikan konsumsi karang hidup sampai

sekarang juga belum jelas. Agenda besar adanya Seafood Savers adalah terwujudnya

Fisheries Improvement Management, sebagai usaha sertifikasi eco-label.

Temuan di lapangan, bahwa di Wakatobi masih beroperasi eksportir yang

mengirimkan produksi ikan konsumsi karang hidup dengan menggunakan kapal

impor langsung dari Hong Kong. Operasi daerah penangkapan berada di Wakatobi,

akan tetapi ijin pengawasan ada di Buton. Sedangkan ijin untuk surat keterangan asal

ikan ada di Wakatobi, dengan mengatasnamakan baik dari nama CV. ataupun dari

kordinatror yang menjadi kepercayaan CV. tersebut. Tentunya hal ini menjadikan

dualisme pelaporan hasil tangkapan. Tercatat di Buton dan juga di Wakatobi dengan

quota yang berbeda. Tercatat di DKP Wakatobi, jumlah ekspor ikan itu hanya

2500kg, sedangkan di Buton bisa mencapai 7000kg. Faktor ini disebabkan karena di

Buton, itu sudah mengambil ikan dari area penangkapan daerah lain, seperti di

Selayar. Akan tetapi hal ini menjadi ganjil, ketika merunut dari hasil wawancara

dengan penjaga keramba, bahwasanya kapal Hong Kong, membawa ikan ke

Wakatobi dan mengangkut, apabila jumlah minimum ikan yang ada di dua keramba

Wakatobi itu 4000kg.

Belum adanya aturan khusus tentang komoditas ikan konsumsi karang hidup

di dalam kawasan sehingga menjadikan adanya dualisme pelaporan quota,

disebabkan daerah belum mempunyai aturan tentang penataan keramba-keramba ikan

konsumsi karang hidup milik eksportir. Jarak lokasi keramba dengan pulau menjadi

kendala dalam proses pengawasan.

Walaupun kawasan perairan Wakatobi sudah menjadi taman nasional, akan

tetapi sifat dari komoditas ikan konsumsi karang hidup tetap bersifat wild capture.

Sifat dari wild capture, menjadikan komoditas ikan konsumsi karang hidup tidak ada

yang memiliki ketika bebas di alam. Kondisi ini disebut dengan ferea naturae.

Page 16: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

264  

Menurut, Fauzi, 2010: 19, kondisi ferea naturae adalah kondisi dimana ikan memiliki

sifat alamiah (wild by nature), tidak ada yang berhak mengklaim kepemilikannya dan

kepemilikan hanya berlaku ketika seseorang menangkapnya. Dengan kondisi seperti

inilah komoditas perikanan mengalami gejala kegagalan pasar.

IUU Fishing, yang terjadi pada komoditas ikan konsumsi karang hidup

memunculkan fenomena kegagalan pasar. Kegagalan pasar dicirikan sebagai berikut:

1. Adanya persaingan yang tidak sehat.

Komoditas ikan konsumsi karang hidup mempunyai sifat oligopsoni

dan oligopoli, dimana penjual banyak, pembeli sedikit (level

produsen), dan penjual sedikit pembeli banyak (level konsumen).

Harga merupakan kewenangan eksportir, yang bisa memainkan harga

pasar di tingkat produsen dan harga pasar di tingkat konsumen.

2. Eksternalitas adalah kondisi pasar, ketika dalam aktifitas ekonomi

pihak ketiga.

Komoditas ikan konsumsi karang hidup, terdapat ekternalitas ekonomi

negatif, yaitu turut campurnya pihak ketiga yang tidak terlibat

langsung dalam produksi komoditas. Rent seeking¸ menjadi

eksternalitas negatif pihak ketiga. Sehingga terdapat

ketidakseimbangan antara social benefit dengan social cost. Apabila

social cost lebih tinggi daripada social benefit, maka tidak ada biaya

beban moral untuk rekoveri masyarakat dan lingkungan (Fauzi: 2005:

20, Rustiadi, 2011:32).

3. Asimetris informasi.

Merupakan situasi dimana informasi tidak tersebar merata atau terjadi

ketidakpastian informasi. Eksportir ikan konsumsi karang hidup

mempunyai informasi lebih banyak, baik harga maupun akses pasar

daripada nelayan/kordinator.

Perubahan sosial-ekonomi dari Seafood Savers, belum terasa nyata untuk

nelayan. Seafood Savers, merupakan aturan antara perusahaan dengan nelayan yang

mengikat nelayan. Artinya, posisi antara perusahaan dan nelayan tidak berimbang

Page 17: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

265  

dalam posisi tawar. Adanya informasi asimetris tentang produk dan harga masih

dikuasai oleh perusahaan Seafood Savers terhadap nelayannya. Pemberian premium

price, menguntungkan nelayan tanpa ikatan hutang terhadap kordinator (patron)

untuk pendapatan, akan tetapi nelayan yang masih dalam ikatan kordinator tidak bisa

merasakan adanya premium price. Pola pergeseran kekuasaan sebagai itikad baik

perusahaan Seafood Savers menghapus rantai patronase menjadi ikatan kontrak yang

bersifat terbatas dalam jangka waktu. Dikarenakan struktur patronase sudah hidup

sebelum Seafood Savers diinisiasikan. Ikatan nelayan mempunyai ikatan hutang

terhadap kios, sebagai penjamin modal nelayan untuk melaut.

Dalam wawancaranya di Bali, perusahaan yang menjadi anggota Seafood

Savers pesimis Seafood Savers akan berhasil tanpa ada campur tangan regulasi dari

pemerintah. Perusahaan tersebut, belum memakai logo Seafood Savers karena

pihaknya, berkeyakinan akan melaksanakan kaidah-kaidah perikanan ramah tangkap,

akan tetapi tidak mengikuti prosedur dari WWF (14 Juli 2012). Pesimistis dengan

adanya Seafood Savers, dikarenakan penerapan untuk batas minimum quota tangkap

untuk ukuran, tidak diikuti oleh perusahaan eksportir ikan konsumsi karang hidup

lainnya.

Pada pertemuan workshop konservasi Napoleon, bahwa eksportir

keanggotaan Seafood Savers, sangat khawatir dan pesimis tentang moratorium

Napoleon dan berubah status menjadi Appendix I dalam CITES. Menurutnya, ketika

pemerintah tidak tegas melarang Napoleon, maka di lapangan masih banyak praktek

penangkapan Napoleon yang menggunakan bius. Sehingga, ini akan merusak bisnis

bagi perusahaan yang sudah mengikuti standar ramah lingkungan seperti Seafood

Savers.

9.3. Analisis Politik Seafood Savers, Sebagai Pengelolaan Perikanan Karang

Hidup melalui Mekanisme Pasar

Seafood Savers, secara politik diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya

perikanan dengan mendekatkan pada aspek pasar. Kajian OECD tentang using market

mechanism to manage fisheries; 2006, menjelaskan bahwa ada tiga tipologi

Page 18: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

266  

instrument pengelolaan sumberdaya perikanan. Pertama, tipologi pengelolaan

berdasar pada metode kontrol. Kedua, tipologi pengelolaan berdasar pada tujuan

kebijakan (peraturan), dan Ketiga, tipologi berdasar pada variabel kontrol.

Pertama, instrument pengelolaan sumberdaya perikanan berdasar pada

metode kontrol. Secara general, instrument metode kontrol menekankan pada bidang

ekonomi sebagai kebijakan pengelolaan. Ada dua macam, yaitu,

• Pertama, instrument ekonomi yang menekankan cost dan benefit terhadap

perusahaan perikanan atau nelayan terhadap penggunaan sumberdaya

perikanan. Instrument ekonomi diantaranya adalah:

a) Menciptakan pasar (market creation), misalnya hak penjualan atau

ijin. Instrument ini merupakan instrument pasar, berupa keputusan

ekonomi yang dilakukan oleh aktor yang berinteraksi dalam jaringan

pasar menyangkut hak dan ijin sebagai atribut kekuasaan para aktor

yang berinteraksi. Hak tersebut di kemukakan Tara Scott (1998) dalam

OECD (2006), seperti hak ekslusif pengguna, hak untuk mendapatkan

keuntungan dan hak untuk menjual.

b) Monetary transfer, misalnya, pembayaran atau pajak (seperti, paak,

subsidi, dan fee). Hal ini di lakukan dengan tujuan sebagai bentuk

ekonomi insentif dan bukan pendekatan pasar. 2). Pengukuran

pengelolaan atas pasar berdasar pada peraturan dan legalisasi.

Peraturan dan legalisasi dalam pengelolaan pasar dinilai lebih fleksibel

daripada instrument eknonomi, meskipun aktor pasar tidak dapat lebih

bebas dalam menggunakan sumberdaya akan tetapi dinilai

mengeluarkan cost yang sedikit dalam berproduksi.

• Kedua, pengelolaan SDP berdasar pada tujuan peraturan. Pengelolaan SDP

pada instrument ini terdapat dua pengukuran, yang masing-masing berbeda

pada istilah dan tujuan serta kemampuan modalnya. Dua pengaturan tersebut

adalah

Page 19: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

267  

a) Menjaga produktivitas stok ikan melalui tindakan teknis, seperti

instrument pengaturan terhadap ukuran tangkap, jenis alat tangkap

yang diperolehkan dan TAC, jumlah quota yang boleh ditangkap.

b) Menyesuaikan kapasitas penangkapan ikan untuk melalui kontrol dan

akses. Hal ini berarti berbagi kapasitas produktif dan reproduktif antar

pengguna terhadap stok ikan, seperti seleksi terhadap perusahaan yang

berhak untuk beroperasi dalam penangkapan ikan, dan pembagian

distribusi alokasi penangkapan ikan untuk setiap perusahaan

perikanan. Berikut dijelaskan

dengan gambar tentang dua komponen pengelolaan sumberdaya perikanan

menurut OECD, 2006; 22:

Gambar 9.2. Pengelolaan sumberdaya perikanan karang dengan program Seafood Savers.

• Ketiga, tipologi pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis variabel kontrol.

Tipologi pengelolaan ini berdasar pada jenis sumberdaya perikanan yang

bersifat fugitive (Ciriacy-Wantrup, 1952). Karena sifat yang melekat pada

sumberdaya ikan adalah fugitive maka diperlukan aturan untuk mengelola

dengan kontrol variabel, seperti moda aturan penangkapan ikan yang

dilakukan oleh nelayan atau perusahaan perikanan, seperti aturan Total

Allowed Catch (TAC), maupun Individual Transferable Qouta (ITQ).

Ketiga pilar tersebut adalah instrument pasar dalam pengelolaan sumberdaya

perikanan yang berbasis pada aturan pasar. Setidaknya ada empat alasan mengapa hal

Pengelolaan Perikanan (Seafood Savers)

2). Akses dan kontrol untuk perusahaan: sharing that capacity

among all the harvester

1).Aturan Penangkapan: -Teknik Penangkapan, -Jenis yang

ditangkap,- Minimal size yang ditangkap

d). mengikuti aturan perusahaan

c). Mengikuti aturan pemerintah dan aturan kawasan konservasi  

b). Pembatasan area tangkap dan penggunaan alat tangkap

a). Selektifitas Penangkapan

Sumber: Diadopsi dari Boncoeur and Troades, 2003;

Page 20: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

268  

ini muncul seagai bentuk keprihatinan sumberdaya perikanan yang mengalami

overcapacity maupun overexploitation:

1. Pertama, insentif ekonomi tidak terbentuk sebagai hasil interaksi pasar;

2. Kedua, pajak dan biaya sumber daya hampir tidak digunakan sebagai

insentif ekonomi (sebagian besar digunakan untuk biaya pemuliah

pengelolaan sumberdaya);

3. Ketiga, subsidi tidak digunakan secara tepat akan tetapi digunakan dalam

proyek “subsidi perikanan dan pembangunan berkelanjutan”;

4. Keempat, efek utama dari insentif ekonomi diharapkan dapat dikelola

sebagai input (misalnya dari pemasukan ijin lisensi kapal) atau output

(misalnya retribusi quota tangkap) sehingga hak akses dibayarkan kepada

pemegang hak.

Tabel 9.4. Tipologi instrument pengelolaan SDP berbasis pasar

Tujuan kebijakan Metode kontrol Variabel kontrol Usaha Perikanan (input control)

Usaha Penangkapan (output control)

Pengelolaan produksi dan reproduksi

kapasitas stok ikan

Pengaturan (administrative

pengukuran secara teknik)

-mesh size -size/amount of gear

-area/time closure

-size and sex selectivity -TAC

Pengaturan akses (insentif-akses kontrol)

Peraturan (administrasi akses dan kontrol)

-Limiteda non-transferablec

permits/license (LL) -Individual non-

tranferable effort quota (IE)

-Territorial User Right in Fisheries (TURF) -Other types of effort

limits

-Individualb non-transferablec qoutas -Community-based catch qoutas (CQ)

-Other type of catch limits (maximum

landings or vessel catch limits-VC)

Ekonomi berbasis pasar (akses ekonomi

kontrol atau hak

-Transferablec licences a(LTL)

-Individual tranferable effort qoutas (ITE)

Individualb tranferable qoutas (ITQ)

Economic not market-based (monetary

transfer)

-inputd tax -Subsidy -Charges

-Landing tax -Subsidy -Charges

a Sistem yang membatasi jumlah kapal yang berhak menangkap ikan, maksimum kapasitas penangkapan dan waktu penangkapan ikan..

Page 21: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

269  

b kuota individu = pembagian TAC (Total Allowable Catch) dialokasikan untuk kapal atau perusahaan perikanan.

c Transferable= tradable on market. d komponen usaha perikanan (konsumsi menengah, modal, dan tenaga kerja).

Sumber: OECD Secretariat and Boncoceur and Troades, 2003; 26.

Menarik dikaji, apakah Seafood Seavers adalah bentuk pengelolaan

sumberdaya yang berbasis pasar dan merupakan instrument baru pengelolaan

sumberdaya perikanan yang efektif dan efesien?, bagaimana keberpihakan Seafood

Savers terhadap nelayan yang rentan modal dan sumberdaya perikanan?. Tentunya

belum dapat dianalisis keberhasilan dari seafood Savers, mengingat Seafood Savers

adalah program inisiasi baru dari WWF Indonesia. Akan tetapi kebijakan dari

Seafood Savers, menjadi sebuah kebijakan yang menarik untuk dianalisis.

Berdasarkan dari konsep OECD, 2006 tentang Using Market Mechanism to Manage

Fisheries, Seafood Savers merupakan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan

yang berdasar pada instrument pola pengaturan sumberdaya berdasar atas produksi

dan reproduksi kapasitas stok ikan pada level nelayan dan pola pengaturan akses dan

kontrol pada level perusahaan.

Seafood Savers adalah pola pengaturan yang terdapat pada aturan produksi

dan reproduksi. Pada level nelayan, aturan tersebut memberikan pembelajaran

terhadap nelayan untuk menangkap ikan secara lestari. Adapun pengaturan yang

terdapat pada Seafood Savers, adalah:

1. Pengaturan penggunaan alat tangkap.

Pengaturan penggunaan alat tangkap pada level nelayan merupakan aturan

Seafood Savers, guna mendukung kebijakan konservasi dan keberlanjutan

perikanan. Kebijakan konservasi ini tertuang dalam amanah Taman

Nasional, di mana kawasan pesisir Wakatobi adalah kawasan konservasi.

Sedangkan untuk keberlanjutan perikanan, dengan menggunakan praktek-

praktek perikanan lestari untuk mendukung ekonomi keerlanjutan

masyarakat, seperti yang diamanahkan oleh UU No. 31 Tahun 2004.

Pengaturan penggunaan alat tangkap yang tertuang dalam aturan Seafood

Saevers merupakan kebijakan awal untuk memberikan transformasi

Page 22: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

270  

pembelaaran dan penyadaran terhadap masyarakat, bagaimana menangkap

ikan secara lestari untuk kehidupan mereka dimasa mendatang. Artinya

adalah bahwa sumberdaya perikanan semakin menunjukkan angka

keprihatinan, ditunjukkan karena penangkapan berlebih dan penangkapan

yang bersifat merusak. Sehingga dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk

menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, untuk kepentingan

masyarakat itu sendiri. Alat tangkap yang tidak diperbolehkan adalah alat

tangkap yang dapat mengganggu keseimbangan eksosistem karena bersifat

merusak, seperti bom dan bius, dan alat tangkap yang dalam prakteknya

dapat merusak terumbu karang seperti ganco dan alat lainnya yang

penggunaannya dapat mengancam kerusakan terumbu karang.

2. Pengaturan penangkapan ikan berdasar waktu dan tempat.

Seafood Savers menyadarkan kepada masyarakat untuk menangkap ikan

karang dalam jangka waktu tertentu dan area tertentu. Hal ini dikarenakan

kawasan perairan Wakatobi adalah kawasan konservasi yang pola

pengaturan luasnnya diatur dengan sistem zonasi. Penyadaran konservasi

terhadap akan pentingnya penataan ruang zonasi dimaksudkan adalah

sebagai tempat bank ikan dan tempat pemijahan ikan (SPAGs). Seafood

Savers merupakan aturan yang disinkronisasikan dengan aturan Taman

Nasional juga dengan aturan perikanan berkelanjutan. Hal ini terlihat,

bahwa Seafood Savers adalah jalan tengah sebagai pintu konservasi dan

pintu pembangunan. Artinya, adalahlah bagaimana menciptakan kondisi

perikanan sebagai leading sektor perikanan masyarakat yang ramah

lingkungan dalam kawasan konservasi dengan mematuhi kaidah-kaidah

aturan perundang-undangan perikanan dan konservasi.

Seafood Savers juga mengatur tentang pola dan ritme, penangkapan ikan

karang. Hal ini belum terlihat berjalan, karena aturan Seafood Savers,

meganjurkan kepada nelayan untuk tidak menangkap ikan dalam waktu

bertelur. Tetapi pegetahuan nelayan ikan akan mudah ditangkap ketika

Page 23: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

271  

ikan tersebut bertelur, dan ikan akan mengalami blooming di karang ketika

musim bertelur.

3. Pengaturan hasil tangkapan ikan berdasar pada size minimum.

Pengaturan penangkapan ikan dalam aturan Seafood Savers, adalah

diharapkan nelayan mampu dan bersedia menangkap ikan dalam batas

minimum ukuran tertentu. Untuk ukuran yang dijalankan oleh UD. PMB

(seagai firm yang terdaftar dalam Seafood Savers), sudah menerapkan

sistem minimum sizing tangkapan ikan konsumsi karang hidup dengan

batas minimum adalah 600 grams. Hal ini dimaksudkan oleh aturan

Seafood Savers dan perusahaan adalah guna menjaga reproduksi ikan

karang. Diperkirakan, diatas 600 grams sudah mengalami reproduksi

sekali, sehingga siklus perkembangan ikan akan terus berlanjut. Akan

tetapi berdasar fakta di lapangan hal ini sangat susah dipatuhi oleh nelayan

anggota UD. PMB. Tentunya ada faktor lain dan rasionalitas nelayan

terutama berkaitan dengan ongkos melaut. Sehingga nelayalan harus

mendapatkan hasil apapun ketika melaut untuk menghidari kerugian.

Untuk penerapan ikan pelagis Seafood Savers menerapkan prinsip Best

Management Practices dalam pengelolaan perikanan pelagis pasca

tangkap dengan sistem loing. Loing adalah istilah pillet pada ikan tuna

yang dikehendaki oleh perusahaan ekspor tuna. Ekspor tuna dari Wakatobi

dikirim ke Jepang. Untuk konsumen di Jepang sudah menerapkan prinsip-

prinsip green consumerism (MSC, Japan).

Aturan Seafood Savers pengelolaan sumberdaya perikanan dalam poin 1 dan

poin 2 adalah aturan yang mengatur skala penangkapan pada level nelayan, dalam

kajian diatas sebagai input kontrol, sedangkan pada poin 3 adalah sebagai output

kontrol. Arti dari input dan output kontrol itu sendiri adalah sebagai monitoring dari

hasil penangkapan ikan dilapangan. Input kontrol merupakan sebuah monitoring atas

kontrol sdari praktek bagaimana ikan itu ditangkap, terjadi penangkapan di daerah

mana dan dengan cara menggunakan apa ikan tersebut ditangkap. Sedangkan output

kontrol adalah sebagai monitoring hasil dari produksi penangkapan ikan, beserta

Page 24: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

272  

permintaan minimal size yang diterima oleh eksportir juga termasuk kriteria fisik ikan

bebas dari penangkapan yang menggunakan bahan yang bersifat merusak. Selain ada

level nelayan dalam aktifitas produksi penangkapan ikan, Seafood Saver juga

mengatur mengenai kinerja perusahan dengan beberapa langkah kirteria perusahan

dinilai telah melakukan praktek penangkapan yang baik (good practice).

Kepentingan politik dari program Seafood Savers sebagai kekuasaan dalam

pengelolaan sumberdaya perikanan karang di Wakatobi. Berdasar temuan hasil di

lapangan, di analisis bahwa politik Seafood Savers terdapat empat aspek pola

kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan karang yang ada di

Wakatobi.

• Pertama, terdapatnya pola kemitraan yang terjalin antara pihak pengelola

kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi, Pemerintah Daerah

Kabupaten Wakatobi, dalam hal ini adalah Dinas Kelautan dan Perikanan,

serta merupakan pola kemitraan yang berbasis pasar dan komunitas dengan

kepentingan ekonomi guna mendukung nilai tambah penghasilan nelayan

yang terdapat pada premium price dan ekologi sebagai keberlanjutan praktek

pemanfaatan perikanan yang ramah lingkungan;

• Kedua, dalam hal sosiologi, peranan politik Seafood Savers menggunakan

kekuasaannya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karang, mencoba

menggeser pola jaringan produksi antara nelayan-kordinator yang kian

meluruh dengan pola jaringan kerja produksi nelayan-eksportir dalam bentuk

kontraktual. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan potensial konflik laten

yang muncul dari kordinator yang kehilangan kekuasaan secara ekonomi dan

kepercayaan sebagai elit lokal yang merupakan pola jaringan produksi

tradsional;

• Ketiga, Seafood Savers sebagai ajang dan wadah berkompetisi antara

perusahaan yang good practice dengan yang masih menggunakan cara lama

bad practice (roving bandit). Ajang kompetisi tersebut dikhawatirkan akan

menimbulkan pola-pola korporasi dengan jaringan pemanfaatan baru yang

lebih eksploitatif terhadap nelayan dan sumberdaya; dan

Page 25: 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS - repository.ipb.ac.id · Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public ... “sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960),

273  

• Keempat, Seafood Savers, sebagai sarana kekuatan instrument baru yang

memungkinkan terimplementasikan menjadi sebuah kebijakan (policy) dalam

pengelolaan sumberdaya perikanan karang di kawasan konservasi, mengingat

kemampuan regime pengelolaan bersifat komando dinilai kurang maksimal

dalam tujuan konservasi yang mendukung livelihood nelayan Wakatobi, serta

sebagai kebijakan jalan tengah dalam kawasan yang mempunyai dualisme

pengelolaan yang bersifat state dan local government.