9. BAB I
description
Transcript of 9. BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Serumen adalah hasil sekresi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa dan proses
deskuamasi epitel pada bagian kartilaginea kanalis auditorius eksternus.
Komponennya terdiri dari hasil kombinasi kelenjar sebasea dan sekresi kelenjar
apokrin selain deskuamasi epitel skuamosa. Komponen tersebut membuatnya
sangat hidrofobik dan memiliki pH asam, yang keduanya penting dalam
mencegah infeksi. Serumen dibutuhkan untuk mekanisme pembersihan kanalis
auditorius eksternus. Pembersihan tersebut merupakan proses deskuamasi dari
membran timpani menuju lubang kanal. Sekresi dari kelenjar saluran telinga yaitu
melumasi kanal, membersihkan sisa air dan bakteriostatik. Fungsi yang tepat dari
saluran telinga diperlukan untuk pendengaran yang optimal.1,2.
Serumen memiliki beberapa klasifikasi menurut konsistensi, warna dan besar.
Serumen dengan konsistensi kering, biasanya memiliki warna lebih kuning, dan
serumen dengan konsistensi basah biasanya berwarna lebih gelap apabila
dibandingkan dengan yang kuning. Jenis kelamin laki-laki biasanya memiliki
serumen lebih banyak, pada studi pasien dengan serumen dapat dilihat terdapat
12,9% serumen ditemukan pada laki-laki dan 9,4% ditemukan serumen pada
perempuan. Serumen ditemukan lebih banyak pada anak usia sekolah, apabila
tidak dibersihkan dengan baik dan benar maka serumen dapat membesar dan
akan terjadi sumbatan yang kemudian akan mengganggu proses penyerapan pada
saat pembelajaran.1
Serumen secara normal dapat ditemukan pada telinga dan dapat menggumpal
kemudian dapat menyumbat liang telinga sehingga menyebabkan gangguan
hantaran suara yang akan mengakibatkan gangguan pendengaran. Serumen yang
menyumbat seluruh liang telinga dengan rapat atau serumen obsturan dapat
memperlihatkan gejala klinik selain gangguan pendengaran yaitu rasa nyeri,
tinitus dan bila serumen menekan membran timpani dapat menimbulkan vertigo.3
1
Pada tahun 2000, yang mengalami gangguan pendengaran derajat sedang dan
berat yaitu terdapat 250 juta penduduk. Indonesia menempati urutan nomor empat
di dunia dengan angka prevalensi ketulian sebesar 4,6%. Didapatkan lima
penyebab terbanyak gangguan pendengaran adalah penyakit telinga otitis media
supuratif kronik (OMSK), pemaparan bising, pemakaian obat ototoksik, tuli sejak
lahir dan serumen. Namun, separuh dari penyebab tersebut dapat dicegah. Salah
satu pencegahannya dengan pemeriksaan serumen. Pencegahan ini dapat
dilaksanakan sejak masa anak - anak. 4,6.
WHO membentuk program Sound Hearing 2030 untuk menanggulangi
masalah gangguan pendengaran. Sound Hearing 2030 merupakan suatu program
yang memiliki tujuan mengurangi gangguan pendengaran akibat lima penyebab
terbanyak yang dapat dicegah di tahun 2015 sebanyak 50% dan 90% di tahun
2030. Departemen kesehatan Republik Indonesia merupakan komite nasional
dalam program Sound Hearing 2030, kemudian komnas membentuk rencana
Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) dan akan
membantu menjalankan program Sound Hearing 2030 di Indonesia. Tugas dari
komnas PGPKT adalah mencegah terjadinya lima penyebab terbanyak gangguan
pendengaran yang diharapkan kepada dokter spesialis THT dan masyarakat turut
membantu program tersebut. Agar tercapainya tujuan dari WHO yaitu
menurunkan angka ketulian 50% di tahun 2015 dan 90% di tahun 2030.5,6.
Anak berkebutuhan khusus juga harus diperhatikan kesehatan mengenai
gangguan pendengaran, karena anak berkebutuhan khusus pun termasuk salah
satu sumber daya manusia yang mempengaruhi prevalensi ketulian di Indonesia.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan fisik atau
mental sehingga mengganggu pertumbuhan. Dapat juga disebut anak dengan
disabilitas. Kelompok inilah yang membutuhkan pendidikan luar biasa.7,8
Anak dengan penyandang disabilitas memiliki keterbatasan masing-masing.
Tingkat pengetahuan mengenai kesehatan dan kebersihan pada anak disabilitas
lebih rendah apabila dibandingkan dengan anak normal, seperti pada anak
tunanetra yang memiliki tiga macam keterbatasan dalam pengalaman,
2
kemampuan, dalam menemukan sesuatu dan berinteraksi dengan lingkungan.
Keterbatasan pada anak tunanetra
Sebelumnya sudah dilakukan penelitian mengenai gambaran serumen pada anak
SD Negeri Margahayu dan Kabupaten, tetapi penelitian serumen pada siswa
Sekolah Luar Biasa belum dilakukan. Maka dari itu untuk mengurangi angka
prevalensi ketulian di Indonesia, sebaiknya dilakukan pemeriksaan awal seperti
pemeriksaan serumen pada telinga penyandang disabilitas. Pemeriksaan dilakukan
di SLB Citereup Cimahi, karena pada SLB Citereup Cimahi terdapat SD, SMP
dan SMA khusus untuk penyandang disabilitas.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Berapa persentase siswa Sekolah Luar Biasa Negeri Citereup Cimahi yang
mengalami sumbatan serumen?
2. Berapa persentase siswa Sekolah Luar Biasa Negeri Citereup Cimahi
dengan serumen berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin siswa dan
warna, konsistensi dan besar serumen?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah mendapatkan data epidemiologi mengenai
karakteristik serumen pada siswa SLB Citereup Cimahi.
1.3.2 Tujuan Khusus
Menjelaskan gambaran dan jenis serumen pada siswa SLB Citereup Cimahi.
1. Mendapatkan data siswa SLB Citereup Cimahi yang terdapat serumen.
2. Mendapatkan data siswa SLB Citereup Cimahi berdasarkan usia dan
jenis kelamin siswa serta warna, konsistensi dan besar serumen.
3
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
1. Menambah data epidemiologi tentang karakteristik serumen dibidang
ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala dan Leher
pada siswa SLB Citereup Cimahi.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Menambah informasi tentang serumen pada masyarakat dan instansi
yang terkait.
2. Membantu program Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan
Ketulian dalam hal deteksi gangguan pendengaran akibat serumen
terutama pada anak usia sekolah.
4