83495611 teori-belajar-sosial-bandura

26
1 BIOGRAFI Tokoh ini dilahirkan pada tahun 1925 di Alberta, Canada. Albert menempuh pendidikan kesarjanaannya di bidang psikologi klinis di Universitas Iowa dan mencapai gelar Ph.D setahun kemudian pada tahun 1952. Setelah menempuh pelatihan post- doktoral di bidang klinis selama satu tahun, pada tahun 1953 Bandura bekerja di Universitas Stanford, di mana kini ia menjadi Profesor David Starr dalam bidang Ilmu Pengetahuan Sosial. Ia pernah bekerja sebagai Ketua Jurusan Psikologi Stanford dan pada tahun 1974 terpilih menjadi Ketua American Psychological Association. Albert Bandura menjabat sebagai ketua APA pada tahun 1974 dan pernah dianugerahi penghargaan Distinguished Scientist Award pada tahun 1972. Pada bagian selanjutnya kelompok kami akan banyak membahas tentang teori kepribadian yang berprinsip pada belajar sosial (social learning). Teori belajar sosial (social learning theory) dari Bandura, didasarkan pada konsep saling menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond reinforcement), dan pengaturan diri/berfikir (sel-regulation/cognition). Sumbangan Bandura, Bandura membuka perspektif baru dalam aliran behavioristik dengan menekankan pada aspek observasi dan proses internal individu. Bagi merekayang beraliran kognitif, pandangan ahli behavioristik lainnya. Teori ini juga didukung oleh percobaan eksperimental yang dapat dipertanggung jawabkan. Kritik terhadap Bandura, terutama datang dari kelompok aliran behavioristik keras, yang memandang Bandura lebih tepat untuk dimasukkan dalam kelompok aliran kognitif dan diakui sebagai bagian dari behavioristik. Penyebab utamanya karena pandangan Bandura yang kental aspek mentalnya. Pada makalah ini juga berisi jurnal dan beberapa kasus berhubungan dengan penerapan teori belajar sosial. (http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/behaviorisme.html)

Transcript of 83495611 teori-belajar-sosial-bandura

1

BIOGRAFI

Tokoh ini dilahirkan pada tahun 1925 di Alberta, Canada. Albert menempuh

pendidikan kesarjanaannya di bidang psikologi klinis di Universitas Iowa dan mencapai

gelar Ph.D setahun kemudian pada tahun 1952. Setelah menempuh pelatihan post-

doktoral di bidang klinis selama satu tahun, pada tahun 1953 Bandura bekerja di

Universitas Stanford, di mana kini ia menjadi Profesor David Starr dalam bidang Ilmu

Pengetahuan Sosial. Ia pernah bekerja sebagai Ketua Jurusan Psikologi Stanford dan pada

tahun 1974 terpilih menjadi Ketua American Psychological Association.

Albert Bandura menjabat sebagai ketua APA pada tahun 1974 dan pernah

dianugerahi penghargaan Distinguished Scientist Award pada tahun 1972.

Pada bagian selanjutnya kelompok kami akan banyak membahas tentang teori

kepribadian yang berprinsip pada belajar sosial (social learning). Teori belajar sosial

(social learning theory) dari Bandura, didasarkan pada konsep saling menentukan

(reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond reinforcement), dan pengaturan

diri/berfikir (sel-regulation/cognition).

Sumbangan Bandura, Bandura membuka perspektif baru dalam aliran

behavioristik dengan menekankan pada aspek observasi dan proses internal individu. Bagi

merekayang beraliran kognitif, pandangan ahli behavioristik lainnya. Teori ini juga

didukung oleh percobaan eksperimental yang dapat dipertanggung jawabkan.

Kritik terhadap Bandura, terutama datang dari kelompok aliran behavioristik

keras, yang memandang Bandura lebih tepat untuk dimasukkan dalam kelompok aliran

kognitif dan diakui sebagai bagian dari behavioristik. Penyebab utamanya karena

pandangan Bandura yang kental aspek mentalnya.

Pada makalah ini juga berisi jurnal dan beberapa kasus berhubungan dengan

penerapan teori belajar sosial.

(http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/behaviorisme.html)

2

LATAR BELAKANG TEORI

Penelitian Bandura mencakup banyak masalah yang bersifat sentral untuk teori

belajar sosial, dan lewat penelitian-penelitian itu teorinya dipertajam dan diperluas.

Penelitian ini meliputi studi tentang imitasi dan identifikasi, Perkuatan Sosial, Perkuatan

Diri dan Pemonitoran, serta Perubahan Tingkah Laku melalui pemodelan.

Bersama Richard Wakters sebagai penulis kedua, Bandura menulis Adolescent

Aggression (1959), suatu laporan terinci tentang sebuah studi lapangan dimana prinsip-

prinsip belajar sosial dipakai untuk menganalisis perkembangan kepribadian sekelompok

remaja pria delinkuen dari kelas menengah, disusul dengan Social Learning and

personality development (1963), sebuah buku dimana ia dan Walters memaparkan

prinsip-prinsip belajar sosial yang telah mereka kembangkan beserta evidensi atau bukti

yang menjadi dasar bagi teori tersebut. Pada tahun 1969, Bandura menerbitkan Principles

of behavior modification, dimana ia menguraikan penerapan teknik-teknik behavioral

berdasarkan prinsip-prinsip belajar dalam memodifikasi tingkah laku dan pada tahun

1973, ”Aggression: A social learning analysis”.

Dalam bukunya yang secara teoretis ambisius, Social Learning Theory (1977),

ia telah “berusaha menyajikan suatu kerangka teoretis yang terpadu untuk menganalisis

pikiran dan tingkah laku manusia”.

Sama seperti halnya kebanyakan pendekatan teori belajar terhadap kepribadian,

teori belajar sosial berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia sebagian besar

adalah hasil pemerolehan, dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk

menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap. Akan tetapi, teori-teori

sebelumnya selain kurang memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini

muncul, juga kurang menyadari fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang penting terjadi

dengan perantaraan orang lain. Artinya, sambil mengamati tingkah laku orang lain,

individu-individu belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal

tertentu menjadikan orang lain model bagi dirinya.

Dalam bukunya terbutan 1941, Social larning and imitation, Miller dan Dollard

telah mengakui peranan penting proses-proses imitatif dalam perkembangan kepribadian

dan telah berusaha menjelaskan beberapa jenis tingkah laku imitatif tertentu. Tetapi hanya

sedikit pakar lain peneliti kepribadian mencoba memasukan gejala belajar lewat observasi

ke dalam teori-teori belajar mereka, bahkan Miller dan Dollard pun jarang menyebut

imitasi dalam tulisan-tulisan mereka yang kemudian. Bandura tidak hanya berusaha

3

memperbaiki kelalaian tersebut, tetapi juga memperluas analisis terhadap belajar lewat

observasi ini melampaui jenis-jenis situasi terbatas yang ditelaah oleh Miller dan Dollard.

I. PEMBAHASAN

Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsur,

yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditujukan harus sejalan dengan proses jiwa untuk

mendapatkan perubahan. Tentu saja perubahan yang didapatkan itu bukan perubahan fisik

akibat sengatan serangga, patah tangan, patah kaki, buta mata, tuli telinga, penyakit bisul,

dan sebagainya bukanlah termasuk perubahan akibat belajar. Oleh karenanya, perubahan

sebagai hasil dari proses belajar adalah jiwa yang mempengaruhi tingkahlaku seseorang.

Drs. Slameto juga merumuskan pengertian tentang belajar. Menurutnya belajar

adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan

tingkahlaku yang baru dalam keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri

dalam interaksi dengan lingkungannya. (Syaiful Bahri Djamarah : 12-13).

Bagi Bandura, walaupun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan

meramalkan perubahan tingkahlaku, prinsip itu harus memperhatikan dua fenomena

penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradikma behaviorisme. Pertama, Bandura

berpebdapat bahwa manusia dapat berfikir dan mengatur tingkahlakunya sendiri,

sehingga mereka bukan semata-mata bidak yang menjadi obyek pengaruh lingkungan.

Sifat kausal bukan dimiliki oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling

mempengaruhi

Kedua, Bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan

interaksi orang satu dengan orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai

harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkahlaku itu diperoleh dan dipelihara.

Teori belajar sosial (sosial learning theory) dari Bandura, didasarkan pada konsep saling

menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond reinforcement), dan

pengaturan diri / berfikir (self-regulation cognition).

Berikut akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai determinan resiprokal,

beyond reinforcement, dan self regulation.

1. Determinis Resiprokal

Pendekatan yang menjelaskan tingkahlaku manusia dalam bentuk interaksi

timbal-balik yang terus menerus antara determinan kognitif, begavioral, dan lingkungan.

Orang menentukan / mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrol kekuatan

lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Determinis

resiprokal adalah konsep yang penting dalam teori belajar sosial Bandura, menjadi

4

pijakan Bandura dalam memahami tingkahlaku. Teori belajar sosial memaki saling–

deerminis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psiko-sosial diberbagai

tingkat kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal sampai tingkahlaku interpersonal

serta fungsi interaktif dari organisasi dan sistem sosial.

2. Tanpa Reinforsemen

Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung kepada

reinforsemen. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-pilih untuk

direinforse satu persatu, bias jadi orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya,

reinforsemen penting dalam menentukan apakah suatu tingkahlaku akan terus terjadi atau

tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkahlaku. Orang dapat belajar

melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang

dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforsemen yang terlibat, berarti

tingkahlaku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, itu pokok teori belajar mengajar.

3. Kognisi dan Regulasi diri

Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidak senangan atau ketidak

mampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep Bandura menempatkan

manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi

tingkahlakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan untuk berfikir simbolik menjadi sarana

yang kuat untuk menangani lingkungan, misalnya dengan menyimpan pengalaman

(dalam ingatan) dalam wujud verbal dan gambaran imajinasi untuk kepentingan

tingkahlaku pada masa yang akan datang. Kemampuan untuk menggambarkan secara

imaginative hasil yang diinginkan pada masa yang akan datang mengembangkan strategi

tingkahlaku yang membimbing kea rah tujuan jangka panjang.

II. STRUKTUR KEPRIBADIAN

A. SISTEM SELF (SELF SISTEM)

Tidak sepertinya Skinner yang teorinya tidak memiliki kontruks self, Bandura

yakin bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh self sebagai salah satu determian

tingkahlaku tidak dapat dihilangkan tanpa membahayakan penjelasan dan kekuatan

peramalan. Dengan kata lain, self diakui sebagai unsur struktural kepribadian. Saling

determinis menempatkan semua hal saling berinteraksi, di mana pusat atau pemulanya

adalah sistem self. Sistem self itu bukan unsur psikis yang mengontrol tingkahlaku, tetapi

mengacu ke struktur kognitif yang memberi pedoman mekanisme dan seperangkat fungsi-

fungsi persepsi, evaluasi, dan pengaturan tingkahlaku. Pengaruh self tidak otomatis atau

5

mengatur tingkahlaku secara otonom, tetapi self menjadi bagian dari sistem interaksi

resprokal.

B. REGULASI DIRI

Manusia mempunyai kemampuan berfikir, dan dengan kemampuan ini mereka

memanupulasi lingkungan, sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat kegiatan

manusia. Balikannya dalam bentuk determinis resiprokal berarti orang dapat mengatur

sebagaian dari tingkahlakunya sendiri. Menurut Bandura, akan terjadi strategi reaktif dan

proaktif dalam regulasi diri. Strategi reaktif dipakai untuk mencapai tujuan, namun ketika

tujuan hampir tercapai strategi proaktif menentukan tujuan baru yang lebih tingg. Orang

memotivasi dan membimbing tingkahlakunya sendiri melalui strategi proaktif,

menciptakan ketidakseimbangan, agar dapat memobilisasi kemampuan dan usahanya

berdasarkan antisipasi apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Ada tiga proses

yang dapat dipakai untuk melakukan pengaturan diri: memanipulasi faktor eksternal,

memonitor dan resiprokal faktor eksternal dan faktor internal itu.

1. Faktor Eksternal dalam Regulasi diri

Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara, pertama Faktor

eksternal memberi standar untuk mengevaluasi tingkahlaku. Faktor lingkungan

berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh pribadi, membentuk standar evaluasi diri

seseorang, melalui orang tua dan guru anak-anak belajar baik-buruk, tingkahlaku yang

dikehendaki dan tidak dikehendaki. Melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungan

yang lebih luas anak kemudian mengembangkan standar yang dapat dipakai untuk

menilai prestasi diri.

Kedua, Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan

(reinforcement). Hadiah intrinsic tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan

intensif yang berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkahlaku tertentu, perlu

penguatan agar tingkahlaku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi.

2. Faktor internal dalam Regulasi Diri

Faktor eksternal berinteraksi dengan Faktor internal dalam pengaturan diri

sendiri, Bandura mengemukaka tiga bentuk pengaruh internal (lihat Tabel 1) :

1. Observasi diri (self observation) : dilakukan berdasakan Faktor kualitas

penampilan, kuantitas penampilan, orisinalitas tingkahlaku diri, dan seterusnya.

Orang harus mampu memonitor performansinya, walaupun tidak sempurna

karena orang cenderung memilih beberapa aspek dari tingkahlakunya dan

mengabaikan tingkahlaku lainnya. Apa yag diobservasi seseorang tergantung

pada minat dan konsep dirinya.

6

2. Proses penilaian atau mengadili tingkahlaku (judgemental process) : adalah

melihat kesesuaian tingkahlaku dengan standar pribadi, membandingkan

tingkahlaku dengan norma standar pribadi, membandingkan tingkahlaku dengan

norma standar atau dengan tingkahlaku orang lain, menilai berdasarkan

pentingnya suatu aktivitas, dan memberi performasi. Standar pribadi bersumber

dari pengalaman mengamati model misalnya orang tua atau guru, dan

menginterpretasi balikan/penguatan dari performansi diri. Berdasarkan sumber

model dan performansi yang mendapat penguatan, proses kognitif menyusun

ukuran-ukuran atau norma yang sifatnya sangat pribadi, karena ukuran ini tidak

selalu sinkron dengan kenyataan. Standar pribadi ini jumlahnya terbatas. Sebagian

besar aktivitas harus dinilai dengan membandingkannya dengan ukuran eksternal,

bias berupa norma standar.

Tabel 2

Proses Regulasi Diri

Faktor

Eksternal

Faktor Internal

Self-observation Judgmental Process Self-Response

Standar

masyarakat

penguatan

Dimensi Performansi

Kualita

Keseringan

Kuantita

Orisinalita

Kebenaran Bukti

Dampak

Penyimpangan

Etika

Standar Pribadi

Sumber model

Sumber penguat

Pedoman Performansi

Norma standar

Perbandinga sosial

Perbandingan personal

Perbandingan kolektif

Menghargai Aktifitas

Sangat dihormati

Netral

Direndahkan

Atribusi performansi

Lokus pribadi

Lokus eksternal

Reaksi evaluasi diri

Positif

Negatif

Dampak terhadap

self

Dihadiahi

Dihukum

Tanpa respon self

7

Perbandingan sosial, perbandingan dengan orang lain, atau perbandingan kolektif.

Orang juga menilai seberapa besar arti penting dari aktivita itu bagi dirinya.

Akhirnya, orang uga menilai seberapa besar dirinya menjadi penyebab dari suatu

performansi, apakah kepada diri sendiri dapat dikenai atribusi (penyebab) tercapainya

performansi, yang baik, atau sebaliknya justru dikenai atibusi terjadinya kegagalan

dan performansi yang buruk

3. Reaksi-diri-afektif (self response) : akhirnya berdasarkan pengamatan dan

judgement itu, orang mengevaluasi diri sendiri positif atau negatif, dan kemudian

menghadiahi atau menghukum diri sendiri. Bisa jadi muncul reaksi afektif, karena

fungsi kognitif membuat keseimbangan yang mempengaruhi evaluasi positif atau

negatif menjadi kurang termakna secara individual.

C. EFIKASI DIRI (SELF EFFICATION)

Bagaimana orang bertingkahlaku dalam situasi tertentu tergantung kepada

resiprokal antara lingkungan dengan kondisi kognitif, khususnya Faktor kognitif yang

berhubungan dengan keyakinannya bahwa dia mampu atau tidak melalukan tindakan

yang memuaskan. Bandura menyebut keyakinan atau harapan dari ini sebagai efikasi diri,

dan harapan hasilnya disebut ekspektasi hasil.

1. Efikasi diri atau efikasi ekspektasi (self effication – efficacy expectation)

Adalah “persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi

dalam situasi tertentu.” Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri

memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharakan.

2. Ekspektasi hasil (outcome expectation) :

Adalah perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkahlaku yang dilakukan diri

itu akan mencapai hasil tertentu.

Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau

buruk, tepat atau salah, bias atau tidak bias mengerjakan sesuai dengan yang

dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita

menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya (dapat dicapai), sedang

efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri. Seseorang dokter ahli bedah,

pasti mempunyai ekspektasi efikasi yang tinggi, bahwa dirinya mampu

melaksanakan operasi tumor sesuai dengan standar professional. Namun

ekspektasi hasilnya bias rendah, karena hasil operasi itu sangat tergantung kepada

daya tahan jantung pasien, kemurnian obat antibiotic, sterilitas dan infeksi, dan

sebagainya. Orang bisa memiliki ekspektasi hasilnya tidak realistic (apa yang

8

diharapkan sesuai dengan kenyataan hasilnya), atau sebaliknya ekspektasi

hasilnya tidak realistic (mengharap terlalu tinggi dari hasil nyata yang dapat

dicapai dengan tuntutan situasi) dan harapan hasilnya realistic (memperkirakan

hasil sesuai dengan kemampuan diri), orang itu akan bekerja keras dan bertahan

mengerjakan tugas sampai selesai.

D. SUMBER EFIKASI DIRI

Perubahan tingkahlaku, dalam system Bandura kuncinya adalah perubahan

ekspektasi efikasi (efikasi diri). Efikasi diri atau keyakinan diri itu dapat diperoleh,

diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat

pengalaman vikarius (vicarious experience), persuasi sosial (sosial persuation) dan

pembangkitan emosi (Emotional Physiological states).

a. Pengalaman performansi

Adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu. Sebagai sumber,

performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya.

Prestasi (masa lalu) yang nbagus meningkatkan ekspektasi efikasi, sedang kegagalan akan

menurunkan efikasi. Mencapai keberhasilan akan memberi dampak efikasi yang berbeda-

beda, tergantung proses pencapaiannya :

1. Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan memberi efikasi semakin tinggi.

2. Kerja sendiri, lebih meningkatkan efikasi disbanding kerja kelompok, dibantu

orang lain

3. Kegagalan menurunkan efikasi, kalau orang merasa sudah berusaha sebaiknya

mungkin.

4. Kegagalan dalam suasana emosional / stress, dampaknya tidak seburuk kalau

kondisinya optimal.

5. Kegagalan sesudah orang memiliki keyakinan efikasi yang kuat, dampaknya tidak

seburuk kalau kegagalan itu terjadi pada orang yang keyakinan efikasinya belum

kuat.

6. Orang yang biasa berhasil, sesekali gagal tidak mempengaruhi efikasi.

9

Tabel 2

Strategi Pengubahan Sumber Ekspektasi Efikasi

sumber Cara Induksi

Pengalaman

Performansi

Participant modeling Meniru model yang berprestasi

Performance desensition Menghilangkan pengaruh buruk prestasi

masa lalu

Performance exposure Menonjolkan keberhasilan yang pernah

diraih

Self-instructed

performance

Melatih diri untuk melakukan yang

terbaik

Pengalaman

Vikarius

Live-modeling Mengamati model yang nyata

Symbolic modeling Mengamati model simbolik, film, komik,

cerita.

Persuasi

Verbal

Sugestion Mempengaruhi dengan kata-kata berdasar

kepercayaan

Exbortation Nasihat, peringatan yang mendesak /

memaksa

Self-instruction Memerintah diri sendiri

Interpretative-treatment Interpretasi baru memperbaiki interpretas

lama yang salah

Pembangkit-

an Emosi

Attribution Mengubah atribusi, penanggugjawab lama

yang salah

Relaxation biofeedback Relaksasi

Symbolic desensitization Menghilangkan sikap emosional dengan

modeling simbolik

Symbolic exposure Memunculkan emosi secara simbolik

b. Pengalaman Vikarius

Diperbolehkan melalui model sosial. Efikasi akan meningkat ketika mengamati

keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang yang

kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Kalau figur yang diamati

berbeda dengan diri sipengamat, pengaruh vikarius tidak besar. Sebaliknya ketika

mengamati kegagalan figur yang setara dengan dirinya, bisa jadi orang tidak mau

mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan figur yang diamati itu dalam jangka waktu

yang lama.

10

c. Persuasi Sosial

Efikasi diri juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui persuasi

sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang

lain dapat mempengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi

persuasi, dan sifat realistic dari apa yang dipersuasikan.

d. Keadaan Emosi

Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi efikasi di

bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, cemas, stress, dapat mengurangi efikasi diri.

Namun bisa terjadi, peningkatan emosi (yang tidak berlebihan) dapat meningkatkan

efikasi diri.

Perubahan tingkahlaku akan terjadi kalau sumber ekspektasi berubah.

Pengubahan self-efficacy banyak dipakai untuk memperbaiki kesulitan dan adaptasi

tingkahlaku orang yang mengalami berbagai masalah behavioral. Keempat sumber itu

diubah dengan berbagai strategi yang diringkas dalam tabel 2

E. EFIKASI DIRI SEBAGAI PREDIKTOR TINGKAHLAKU

Menurut Bandura, sumber pengontrol tingkahlaku adalah resiprokal antara

lingkungan, tingkahlaku, dan pribadi. Efikasi diri merupakan variable pribadi yang

penting, yang kalau digabing dengan tujuan-tujuan spesifik dan pemahaman mengenai

prestasi, akan menjadi penentu tingkahlaku mendatang yang penting, berbeda dengan

konsep-diri (Roger) yang bersifat kesatuan umun, efiaksi diri bersifat fragmental. Setiap

individu mempunyai efikasi diri yang berbeda-beda pada situasi yang berbeda, tergantung

kepada:

1. kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda itu.

2. kehadiran orang lain, khususnya dalam situasi itu.

3. keadaan fisiologi dan emosional : kelelahan, kecemasan, apatis, murung.

Efikasi yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dalam lingkungan yang

responsive atau tidak responsive, akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi

tingkahlaku. (Tabel 3)

Tabel 3

Kombinasi Efikasi dengan Lingkungan sebagai prediktor tingkahlaku

Efikasi Lingkungan Prediksi hasil tingkahlaku

Tinggi Responsive Sukses, melaksanakan tugas yang sesuai

dengan kemampuannya

Rendah Tidak responsive Depresi, melihat orang lain sukses pada

tugas yang dianggap sulit

11

Tinggi Tidak responsive Berusaha keras mengubah lingkungan

menjadi responsive, melakukan protes,

aktivitas sosial, bahkan melaksanakan

perubahan

rendah Responsive Orang menjadi apatis, pasrah, merasa

tidak mampu

F. EFIKASI KOLEKTIF (COLLECTIVE EFFICACY)

Keyakinan masyarakat bahwa usaha mereka secara bersama-sama dapat

menghasilkan perubahan sosial tertentu, disebut efikasi kolektif. Ini bukan “jiwa

kelompok” tetapi lebih sebagai efikasi pribadi dari banyak orang yang bekerja sama.

Bandura berpendapat, orang berusaha mengontrol kehidupan dirinya bukan hanya melalui

efikasi diri individual, tetapi juga melalui efikasi kolektif. Misalnya, dalam bidang

kesehatan, orang memiliki efikasi diri yang tinggi untuk berhenti merokok atau

melakukan diet, tetapi mungkin memiliki efikasi kolektif yang rendah dalam hal

mengurangi polusi lingkungan, bahaya tempat kerja, dan penyakit infeksi. Efikasi diri dan

efikasi kolektif bersama-sama saling melengkapi untuk mengubah gaya hidup manusia.

Efikasi kolektif timbul berkaitan dengan masalah-masalah perusakan hutan, kebijakan

perdagangan internasional, perusakan ozone, kemajuan teknologi, hokum dan kejahatan,

birokrasi, perang, kelaparan, bencana alam, dan sebagainya.

G. DINAMIKA KEPRIBADIAN

Menurut Bandura, motivasi konstruk kognitif yang mempunyai dua sumber,

gambaran hasil pada masa yang akan datang (yang dapat menimbulkan motivasi

tingkahlaku saat ini), dan harapan keberhasilan didasarkan pada pengalaman menetapkan

dan mencapai tujuan-tujuan lainnya. Dengan kata lain, harapan mendapatkan

reinforsemen pada masa yang akan datang memotivasi seseorang untuk bertingkahlaku

tertentu. Juga, dengan menetapkan tujuan atau tingkat perfomansi yang diinginkan, dan

kemudian mengevaluasi performansi dirinya, orang termotivasi untuk bertindak pada

tingkat tertentu. Anak yang lemah dalam matematik, tampak meningkat performansinya

ketika mereka menetapkan dan berusaha mencapai serangkaian tujuan yang berurutan

yang memungkinkan evaluasi diri segera daripada menetapkan tujuan yang jauh dari

membutuhkan tingkahlaku diri, akan memberi intensif-diri bertahan dalam berusaha

mencapai standar yang telah ditentukan.

Bandura setuju bahwaw penguatan menjadi penyebab belajar. Namun orang

juga dapat belajar dengan penguat yang diwakilkan (vicarous reinforcement), penguat

12

yang ditunda (expectation reinforcement), atau bahkan tanpa penguat (beyond

reinforcement) :

1. Penguatan Vikarius (vicarious reinforcement): mengamati orang lain yang

mendapat penguatan, menbuat orang ikut puas dan berusaha belajar gigih agar

menjadi seperti orang itu.

2. Penguatan yang ditunda (expectation reinforcement): orang terus menerus berbuat

tanpa mendapat penguatan, karena yakin akan mendapat penguatan yang sangat

memuaskan pada masa yang akan datang.

3. Tanpa penguatan (beyond reinforcement) : belajar tanpa ada reinforsemen sama

sekali, mirip dengan konsep otonomi fungsional dari Allport.

Ekspektasi penguatan dapat dikembangkan dengan mengenali dampak dari

tingkahlaku; pengamatan terhadap praktek mengganjar dan menghukum tingkahlakunya

sendiri. Orang mengembangkan standar pribadi berdasarkan standar sosial melalui

interaksinya dengan orang tua, guru, dan teman sebayanya. Orang dapat mengganjar dan

menghukum tingkahlaku sendiri dengan menerima diri atau mengkritik diri. Penerimaan

dan kritik diri ini sangat besar perannya dalam membimbing tngkahlaku, sehingga

tingkahlaku orang menjadi tetap (konsisten), tidak terus menerus berubah akibat adanya

perubahan sosial.

Dalam penelitian ditemukan, anak-anak yang diganjar dan dipuji untuk

pencapaian yang relatif rendah akan tumbuh dan mengembangkan self-reward yang

murah disbanding anak yang standar pencapaiannya tinggi. Begitu pula anak yang

mengamati model yang diganjar pada standar pencapaian yang rendah akan menjadi

orang dewasa yang murah dalam mengganjar diri sendiri disbanding anak yang

mengamati model dengan standar ganjaran tinggi.

H. PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN

BELAJAR MELALUI OBSERVASI

Menurut Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa reinforsemen yang nyata.

Dalam penelitiannya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat

respon orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang dipelajari

itu, dan model yang diamati juga tidak mendapat reinforsemen dari tingkahlakunya.

Melalui observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak terhingga banyaknya, yang

mungkin diikuti dengan hubungan atau penguatan.

13

a. Peniruan (Modeling)

Inti dari belajar melalui observasi adalah modeling. Peniruan atau meniru

sesungguhnya tidak tepat untuk mengganti apa yang dilakukan orang model (orang lain),

tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkahlaku yang

teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif.

Penelitian terhadap tiga kelompok anak taman kanak-kanak. Kelompok pertama

disuruh mengobservasi model orang dewasa yang bertingkah laku agresif, fisik dan

verbal, terhadap boneka karet. Kelompok kedua dimintai mengobservasi model orang

dewasa yang duduk tenang tanpa menaruh perhatian terhadap boneka karet didekatnya.

Kelompok ketiga menjadi kelompok kontrol yang tidak ditugasi mengamati dua jenis

model itu. Ketiga kelompok anak itu kemudian dibuat mengalami frustasi ringan, dan

setiap anak sendirian ditempatkan di kamar yang ada boneka karet seperti yang dipakai

penelitian. Ternyata tingkahlaku setiap kelompok cenderung mirip dengan tingkahlaku

model yang diamatinya. Kelompok pertama bertingkahlaku lebih agresif terhadap boneka

dibandingkan kelompok lain. Kelompok kedua sedikit lebih agresif disbanding kelompok

kontrol.

b. Modeling tingkahlaku baru

Melalui modeling orang dapat memperoleh tingkahlaku baru. Ini dimungkinkan

karena adanya kemampuan kognitif. Stimuli berbentuk tingkahlaku model ditranformasi

menjadi gambaran mental, dan yang lebih penting lagi ditranformasi menjadi simbol

verbal yang dapat diingat suatu saat nanti. Ketampilan kognitif yang bersifat simbolik ini,

membuat orang dapat mentranform apa yang dipelajarinya atau menggabung-gabung apa

yang diamatinya dalam berbagai situasi menjadi pola tingkahlaku baru.

c. Modeling mengubah tingkahlaku lama

Di samping dampak mempelajari tingkahlaku baru, modeling mempunyai dua

macam dampak terhadap tingkahlaku lama. Pertama, tingkahlaku model yang diterima

secara sosial dapat memperkuat respon yang sudah dimiliki pengamat. Kedua,

tingkahlakumodel yang tidak diterima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah

pengamat untuk melakukan tingkahlaku yang tidak diterima secara sosial, tergantung

apakah tingkahlaku model itu diganjar atau dihukum. Kalau tingkahlaku yang tidak

dikehendaki itu justru diganjar, pengamat cenderung meniru tingkahlaku itu, sebaliknya

kalau tingkahlaku yang tidak dikehendaki itu dihukum, respon pengamat menjadi

semakin lemah.

14

d. Modeling simbolik

Dewasa ini sebagian besar modeling tingkahlaku yang berbentuk simbolik. Film

dan televise menyajikan contoh tingkahlaku yang tergantung yang mungkin

mempengaruhi pengamatnua. Sajian itu berpotensi sebagai sumber model tingkahlaku.

e. Medeling kondisioning

Modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik menjadi kondisioning

klasik vikarius (vicarious classical conditioning). Modeling semacam ini banyak dipakai

untuk mempelajari respon emosional. Pengamat mengobservasi model tingkahlaku

emosional yang mendapat penguatan. Muncul respon esmosional yang sama di dalam diri

pengamat, dan respon itu ditujukan ke obyek yang ada didekatnya(kondisioning klasik)

saat dia mengamati model itu, atau yang dianggap mempunyai hubungan dengan obyek

yang menjadi sasaran emosional model yang diamati. Emosi seksual yang timbul akibat

menonton film cabul dilampiaskan ke obyek yang ada didekatnya saat itu (misalnya:

menjadi kasus pelecehan dan perkosaan anak).

I. FAKTOR-FAKTOR PENTING DALAM BELAJAR MELALUI OBSERVASI

Tentu saja, mengamati orang lain melakukan sesuatu tidak mesti berakibat

belajar, karena belajar melalui observasi memerlukan beberapa Faktor atau prakondisi.

Menurut Bandura, ada empat proses yang penting agar belajar melalui observasi dapat

terjadi, yakni:

1. Perhatian (attention process) : sebelum meniru orang lain, perhatian harus

dicurahkan ke orang itu. Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan

modelnya, sifat model yang atraktif, dan arti penting tingkahlaku yang diamati bagi

si pengamat.

2. Representasi (representation process) : Tingkahlaku yang akan ditiru, harus

disimbolisasikan dalam ingatan, baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk

gambaran/imajinasi. Representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara

verbal tingkahlaku yang diamati, dan menentukan mana yang dibuang dan mana

yang akan dicoba dilakukan. Representasi imajinasi memungkinkan dapat

dilakukan latihan simbolik dalam fikiran, tanpa benar-benar melakukannya secara

fisik.

3. Peniru tingkahlaku model (behavior product process) : sesudah mengamati dengan

penuh perhatian, dan memasukkannya ke dalam ingatan, orang lalu bertingkahlaku.

Mengubah dari gambaran fikiran menjadi tingkahlaku menimbulkan kebutuhan

evaluasi; “Bagaimana melakukannya”? “Apa yang harus dikerjakan?” “Apakah

sudah benar?” Berkaitan dengan kebenaran, hasil belajar melalui observasi tidak

15

dinilai berdasarkan kemiripan respon dengan tingkahlaku yang ditiru, tetapi lebih

pada tujuan belajar dan efikasi dari belajar.

4. memotivasi dan penguatan (motivation and reinforcement process) : Belajar melalui

pengmatan menjadi efektif kalau pebelajar memiliki motivasi yang tinggi untuk

dapat melakukan tingkahlaku modelnya. Observasi mungkin memudahkan orang

untuk menguasai tingkahlaku tertentu, tetapi kalau motivasi untuk itu tidak ada,

tidak bakal terjadi proses belajar. Imitasi lebih kuat terjadi pada tingkah laku model

yang diganjar, daripada tingkahlaku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi walaupun

model tidak diganjar, sepanjang pengamat melihat model mendapat cirri-ciri positif

yang menjadi tanda dari gaya hidup yang berhasil, sehingga diyakini model

umumnya akan diganjar.

Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi

pengamat dengan karateristik modelnya. Cirri-ciri model seperti usia, status sosial, seks,

keramahan, dan kemampuan, penting dalam menentukan tingkat imitasi. Anak lebih

senang meniru model seusianya daripada model dewasa. Anak juga cenderung meniru

model yang standar prestasinya dalam jangkauannya, alih-alih model yang standarnya

diluar jangkauannya. Anak yang sangat dependen cenderung mengimitasi model yang

dependennya lebih ringan. Imitasi juga dipengaruhi oleh interaksi antara cirri-ciri model

dengan observerbya. Anak cenderung mengimitasi orang tuanya yang hangat dan open

(jw), gadis lebih mengimitasi ibunya.

a. Dampak Belajar

Setiap kali respon dibuat, akan diikuti dengan berbagai konsekuensi, ada yang

konsekuensinya menyenangkan, ada yang tidak menyenangkan, ada yang tidak masuk

kesadaran sehingga dampaknya sangat kecil. Penguatan – baik positif maupun negatif–

dampaknya tidak otomatis sejalan dengan konsekuensi respon. Konsekuensi dari suatu

respon mempunyai tiga fungsi:

1. Pemberi informasi: memberi informasi mengenai dampak dari tingkahlaku,

informasi ini dapat disimpan untuk dipakai membimbing tingkahlaku pada masa

yang akan datang.

2. Memotivasi tingkahlaku yang akan datang: Menyajikan data sehingga orang dapat

membayangkan secara simbolik hasil tingkahlaku yang akan datang, di mana

pemahaman mengenai apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang itu

diperoleh dari pemahaman mengenai konsekuensi suatu tingkahlaku.

16

3. Penguat tingkahlaku: Keberhasilan akan menjadi penguat sehingga tingkahlaku

menjadi berpeluang diulangi, sebaliknya kegagalan akan membuat tingkahlaku

cenderung tidak diulang.

II. APLIKASI

A. PSIKOPATOLOGI

Bandura sependapat dengan Eysenck dan Wolpe bahwa terapi tingkahlaku

dapat efektif mengurangi reaksi kecemasan. Dia tidak percaya bahwa tekanan emosional

menjadi elemen kunci penyebab reaksi takut yang berlebihan, sehingga harus dihilangkan

agar tingkahlaku dapat berubah. Menurutnya, masalah pokoknya adalah karena itu perlu

dikembangkan self-efficacy, agar terjadi perubahan tingkahlaku. Konsep determinis

resiprokal menganggap tingkahlaku dipelajari sebagai akibat dari interaksi antara pribadi-

tingkahlaku-lingkungan, termasuk tingkahlaku yang menyimpang. Tingkahlaku patologis

itu dipengaruhi oleh Faktor kognitif, proses neurofisiologis, pengalaman masa lalu yang

mendapat penguatan, dan nilai fasilitatif dari lingkungan.

1. Reaksi Depresi : Standar pribadi dan penerapan tujuan yang terlalu tinggi, membuat

orang rentan mengalami kegagalan, dan akan berakibat orang mengalami depresi.

Sesudah dalam depresi, orang cenderung menilai rendah prestasinya, sehingga

“keberhsilan” tetap dipandang sebagai kegagalan. Akibatnya terjadi kesengsaraan

yang kronis, merassa tidak berharga, tidak mempunyai tujuan, dan depresi yang

mendalam.

Penderita depresi melakukan regulsi diri-pengamat diri, proses penilaian, reaksi diri

– dengan cara yang salah performansinya, atau mangaburkan ingatan prestasinya

yang telah lalu. Mereka meremehkan (underestimate) keberhasilan sendiri,

sebaliknya melebih-lebihkan (overestimate) kegagalan yang dilakukannya. Dalam

proses penilaian, penderita depresi memasang standar yang sangat tinggi sehinggu

apapun pencapaian yang diperoleh dinilai sebagai kegagalan, bahkan ketika orang

lain memandang dia sangat berhasil, dia tetap menghina prestasinyasendiri.

Penderita menempatkan standard an tujuan terlalu tinggi di atas kesadaran efikasi

dirinya. Ketika melakukan reaksi-diri, penderita depresi mengadili dirinya secara

kasar, buruk lebih-lebih terhadap kekurangan dirinya. Mereka menghukum diri

sendiri secara berlebihan terhadap performansi diri yang kurang baik.

2. Fobia : Perasaan takut yang sangat kuat dan mendalam, sehingga berdampak buruk

terhadap kehidupan sehari-hari seseorang. Negitu mendalamnya perasaan takut itu,

sehingga obyek penyebabnya menjadi kabur, obyek itu digeneralisasikan secara

17

salah. Bandura mengemukakan bahwa media, seperti televise dan surat kabar tanpa

sengaja menciptakan fobia. Cerita seram perkosaan, kekejaman perampok,

pembunuhan berantai, meneror masyrakat sehinggan mereka (yang sebagian besar

tidak pernah mengalami hal itu) tetap merasa tidak aman walaupun pintu-pintu

rumah telah terkunci rapat-rapat. Fobia yang dipelajari dari pengamatan lingkungan,

menjadi eksis akibat efikasi diri yang rendah, orang merasa tidak mampu

menangani suatu masalah yang mengecam sehingga muncul perasaan takut yang

kronis.

3. Agresi: Menurut Bandura, agresi diperoleh melalui pengamatan, pengalaman

langsung dengan renforsemen positif dan negatif, latihan atau perintah, dan

keyakinan yang ganjil (bandingkan dengan Freud dan kawan-kawannya yang

menganggap agresi adalah dorongan bawaan). Agresi yang ekstrem menjadi

disfungsi atau selahsuai psikologis. Dari penelitian yang dilakukan Bandura,

observasi terhadap perilaku agresi akan menghasilkan respons peniruan yang

berlebih. Pengamat akan bertingkah laku lebih agresif dibanding modelnya.

B. PSIKOTERAPI

Sama halnya dengan respons emosi yang dapat diperoleh secara langsung atau

secara vicarious, menghilangkan tingkah laku (yang tidak dikehendaki) dapat dilakukan

secara langsung atau secara vicarious pula. Penakut dapat mengubah rasa takutnya

dengan melihat model yang tanpa rasa takut berinteraksi dengan hal yang ditakutkan itu.

Secara umum, terapi yang dilakukan Bandura adalah terapi kognitif sosial.

Tujuannya untuk memperbaiki regulasi self, melalui pengubahan tingkah laku dan

mempertahankan perubahan tingkah laku yang terjadi. Ada tiga tingkatan keefektifan

suatu tritmen yakni; tingkah induksi perubahan, generalisasi, dan pemeliharaan.

1. Tingkat induksi perubahan: Tritmen dikatakan efektif kalau dapat mengubah

tingkah laku. Misalnya terapi menghilangkan takut ketinggian penderi akrofobia,

sehingga dia berani naik tangga yang tinggi.

2. Tingkat Generalisasi: Tritmen yang lebih tinggi, memungkinkan terjadinya

generalisasi. Penderita akrofobia itu bukan hanya berani naik tangga, dia juga berani

naik lift, naik kapal terbang, dan membersihkan kaca gedung bertingkat.

3. Tingkat Pemeliharaan: Sering terjadi tingkah laku positif hasil terapi berubah

kembali menjadi tingkah laku negatif (khususnya pada tingkah laku habit negatif,

18

merokok, alkoholik, narkotik). Terapi mencapai tingkat efektif yang tertinggi kalau

hasil induksi dan generaslisai dapat terpelihara, tidak berubah menjadi negatif.

Bandura mengusulkan tiga macam pendekatan tritmen, yakni; latihan

penguasaan (desensitisasi modeling), modeling terbuka, dan modeling simbolik.

1. Latihan penguasaan (desensitisasi modeling); mengajari klien untuk menguasai

tingkah laku yang sebelumnya tidak bisa dilakukan (misalnya karena takuti).

Tritmen konseling dimulai dengan membantu klien mencapai relaksasi yang

mendalam. Kemudian konselor meminta klien membayangkan hal yang

menakutkannya secara bertahap. Misalnya, ular, dibayangkan melihat ular mainan

di etalase toko. Kalau klien dapat membayangkan kejadian itu tanpa rasa takut,

mereka diminta membayangkan bermain-main dengan ular mainan, kemudian

melihat ular dikandang kebun binatang, kemudian menyentuh ular, sampai akhirnya

menggendong ular. Ini adalah model desensitisasi sistematik yang pada paradigma

behaviourisme desensitisasi sistematik dalam pikiran (karena itu teknik ini

terkadang disebut: modeling kognitif) tanpa memakai penguatan yang nyata.

2. Modeling terbuka (modeling partisipan); Klien melihat model nyata, biasanya

diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh modelnya

meniru tingkah laku yang dikehendaki, sampai akhirnya mampu melakukan sendiri

tanpa bantuan.

3. Modeling simbolik; Klien melihat model dalam film, atau gambar/cerita. Kepuasan

vikarious (melihat model mendapat penguatan) mendorong klien untuk

mencoba/meniru tingkah laku modelnya.

Ketika hasilnya dibandingkan, desensitisasi modeling dan modeling simbolik

relatif sama kekuatannya untuk menghilangkan rasa takut. Namun yang paling berhasil

menghilangkan rasa takut adalah modeling partisipan.

III. METODOLOGI

Bandura banyak meneliti masalah dunia nyata dalam laboratorium, seperti

masalah agresi, fobia, penyembuhan dari serangan jantung, perolehan kemampuan

matematik pada anak. Tujuan pokoknya adalah untuk menyatukan kerangka konseptual

yang dapat mencakup berbagai hal yang mempengaruhi perubahan tingkah laku. Dalam

19

setiap kegiatan, keterampilan dan keyakinan diri yang menjamin pemakaian kemampuan

secara optimal dibutuhkan agar diri dapat berfungsi sukses.

Bandura mengembangkan microanalytic approach: riset yang mementingkan

asesmen yang ditil sepanjang waktu untuk mencapai keselarasan antara persepsi diri

dengan tingkah laku pada setiap tahap performasi tugas. Teknik ini cocok untuk strategi

penelitian yang melacak perubahan setiap saat, penelitian yang menganalisis proses,

bukan hasil.

A. PENERAPAN TEORI BANDURA

1. Studi tentang Pendidikan moral

Pendidikan moral sendiri begitu penting dalam kehidupan manusia dan pada

saat ini telah terjadi dekadensi moral (penurunan nilai-nilai moral) yang sangat parah

dalam kehidupan sehari-hari.

Proses perkembangan sosial dan moral siswa menurut Albert Bandura selalu

berkaitan dengan proses belajar sebab proses belajar tersebut sangat menentukan

kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma

moral agama, tradisi, hukum, dan norma moral lainnya yang berlaku dalam masyarakat

siswa yang bersangkutan sehingga perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan

perkembangan perilaku moral yaitu perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang

berlaku dalam masyarakat.

2. Terorisme dan Persepsi Lama Barat

Pada dasarnya perilaku seseorang bersandar pada ukuran-ukuran moral yang dia

yakini (Albert Bandura, 2003). Menurut Bandura, seseorang tidak merasa nyaman jika

perbuatan yang dilakukannya menyalahi atau melanggar nilai-nilai kebaikan yang

diyakininya. Perasaan tidak nyaman tersebut mencegah seseorang dari perbuatan yang

diyakininya tidak baik. Lalu bagaimana kaitannya dengan pelaku teror?

Bandura menyebutkan bahwa perbuatan baik maupun jahat itu dapat

diinterpretasi secara luwes. Perbuatan membunuh bagi seorang aktivis HAM adalah

kejahatan besar, namun tidak demikian halnya bagi seorang prajurit yang sedang berada

dalam medan peperangan. Contoh nyata digambarkan oleh Bandura pada kasus sersan

York, salah seorang pejuang fenomenal dalam sejarah perang modern (Albert Bandura,

2003). Lantaran keyakinan agamanya yang kuat, sersan York tercatat sebagai penolak

20

wajib militer, tetapi segala pembelaan dirinya ditolak. Di tansi tentara, komandan

Batalionnya mengutip surat dan ayat dari Injil untuk meyakinkan dia bahwa dalam

keadaan-keadaan yang tepat agama Kristen memerintahkan untuk membunuh orang lain.

Setelah itu akhirnya sersan York menjadi seorang prajurit yang bersemangat untuk

membunuh.

Penjelasan Bandura itu menerangkan bahwa pelaku teror memiliki landasan

moral. Teror dinilai sebagai sebuah perbuatan baik bahkan mulia. Namun, jauh sebelum

memasuki pandangan itu, pelaku teror mengalami pergulatan nilai. Proses transformasi

tersebut tidak sederhana. Teror bom bunuh diri di Palestina dan Irak misalnya, adalah

potret tentang pergulatan nilai yang sangat rumit. Mereka memilih bom bunuh diri setelah

mengalami pergulatan panjang dengan kekerasan dan ketidakadilan. Jadi, perubahan

interpretasi tentang aksi teror melibatkan pengalaman dan perspektif. Di sinilah terorisme

menemukan kekuatan militansinya.

3. Hakikat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Albert Bandura (1969) menjelaskan sistem pengendalian perilaku Belajar

adalah perubahan perilaku sebagai fungsi pengalaman. Didalamnya tercakup perubahan-

perubahan afektif, motorik dan kognitif yang tidak dihasilkan oleh sebab-sebab lain.

Albert Bandura (1969) menjelaskan sistem pengendalian perilaku. Stimulus

control. Perilaku yang muncul di bawah pengendalian stimulus eksternal, seperti bersin,

bernafas dan mengedipkan mata. Outcome control. Perilaku yang dilakukan untuk

mencapai hasilnya, berorientasi pada hasil yang akan dicapai. Symbolic control. Perilaku

yang diarahkan oleh kata-kata yang dirumuskan, atau diarahkan oleh antisipasi yang

diimajinasikan dari hasil yang akan dicapai.

Beberapa ide umum tentang pengalaman belajar:

1. Keterlibatan dalam pengalaman belajar mempunyai pengaruh penting terhadap

pembelajaran.

2. Suasana yang bebas dan penuh kepercayaan akan menunjang kehendak peserta

didik untuk mau melaksanakan tugas sekalipun mengandung risiko.

3. Strategi yang mendalam dapat dipergunakan namun pengaruh penting terhadap

beberapa aspek, seperti; usia, kematangan, kepercayaan dan penghargaan terhadap

orang lain.

21

4. Pada umumnya pembelajaran berpengaruh kepada hal-hal khusus seperti

menghargai orang lain dan bersikap hati-hati kepada yang baru dikenal.

5. Terdapat banyak pengaruh yang dapat dipelajari melalui model (orang tua dan

guru) sedang peserta didik berusaha menirunya.

Gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di

sekolah dalam situasi-situasi antara pribadi. Kepada guru diharapkan untuk menyadari

bahwa setiap orang mempunyai cara yang tertentu untuk mempelajari informasi baru agar

tercapai semaksimum mungkin. Pengalaman belajar seseorang sangat erat kaitannya

dengan gaya belajar, cara belajarnya, yang dipengaruhi oleh berbagai variabel, yaitu

faktor-faktor fisik, emosional, sosiologis dan lingkungan.

Pada awal pengalaman belajar, langkah pertama yang perlu dilakukan ialah

mengenali modalitas kita masing-masing yaitu bagaimana menyerap informasi dengan

mudah. Apakah modalitas kita visual, yaitu belajar melalui apa yang dilihat, apakah

auditorial yaitu belajar melalui apa yang didengar, apakah kinestetik, yaitu belajar melalui

gerak dan sentuhan.

Dalam mengajar, guru hendaknya mampu mengomunikasikan materi dan

menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai metode mengajar agar setiap

anak dapat menyerap dan memahaminya untuk kemudian digunakan pada saat

diperlukan. Hal ini hanya dapat dicapai bila guru mengetahui karakteristik murid-

muridnya yang visual, yang auditorial maupun yang kinestik.

Konsepsi pengajaran tradisional yang mementingkan perkembangan intelektual

kemudian berubah. Sekolah yang modern lebih memperhatikan seluruh pribadi anak itu,

baik mengenai segi emosi, sosial, jasmani maupun segi intelektualnya. Sekolah berusaha

dengan sengaja mengembangkan semua aspek pribadi anak dengan memberikan bahan

pelajaran yang sesuai dan dengan cara penyampaian yang bervariasi.

Sebenarnya pribadi anak itu tidak dapat dipecah-pecah beberapa bagian yang

terpisah-pisah. Dalam segala tindakannya manusia itu bersikap sebagai suatu keseluruhan

yang utuh.

4. Penyebaran Tv Kekerasan Melalui Modeling

Bandura punya alasan utama bahwa kita dapat belajar mengamati oleh orang

lain. Dia menganggap pengalaman yang menjadi cara yang khas manusia berubah. Dia

menggunakan istilah pemodelan untuk menjelaskan Campbell dari dua midrange proses

22

akuisisi Tanggapan (pengamatan pihak lain respon dan pemodelan), dan ia mengklaim

bahwa pemodelan dapat memiliki banyak dampak langsung sebagai pengalaman.

Teori belajar sosial adalah teori umum dari perilaku manusia, tetapi Bandura

dan orang-orang yang berkaitan dengan komunikasi massa telah menggunakannya secara

khusus untuk menjelaskan efek media. Bandura peringatan bahwa “anak-anak dan orang

dewasa mendapatkan sikap, emosi tanggapan, dan gaya baru yang melakukan melalui

televisi modeling dan film.

Penelitian Bandura mengenai boneka Bobo merupakan demonstrasi dari belajar

observasional dan ditunjukkan bahwa anak cenderung terlibat dalam perlakuan yang

bengis terhadap boneka setelah melihat orang dewasa di televisi melakukan hal tersebut

pada boneka yang sama. Bagimanapun, anak mungkin akan melakukan peniruan bila

perilaku model mendapat penguatan. Permasalahannya, seperti diteliti oleh Otto Larson

(1968), bahwa 56% karakter dalam acara televisi anak mencapai tujuannya melalui

tindakan kekerasan.

Gambar perampas, pidana atau menggunakan kekuatan untuk mendapatkan cara

sendiri. Sosial belajar teori postulates tiga tahapan penting dalam hubungan antara sebab-

musabab televisi dan kekerasan fisik sebenarnya berbahaya lain: perhatian, ingatan, dan

motivasi.

5. Mereduksi Kecemasan Menurut Bandura

Bandura mengatakan bahwa perkiraan individu terhadap kemampuan sendiri

dalam mengatasi situasi merupakan salah satu faktor yang berguna dalam mereduksi

kecemasan. Bandura menegaskan perkiraan yang positif terhadap kemampuan diri sendiri

dalam mengatasi situasi dan perkiraan individu yang positif terhadap kemungkinan

terjadinya akibat – akibat tertentu pada situasi yang akan dihadapi akan berpengaruh

menurunkan kecemasan. Lebih lanjut Bandura menjelaskan bahwa disfungsi dan

penderitaan termasuk kecemasan yang dialami manusia disebabkan karena masalah cara

berpikirnya hal ini disebabkan karena dalam berpikirnya sering mengingat pengalaman

yang menyakitkan dan masa depan yang tidak pasti, yang diciptakan sendiri sehingga

manusia meragukan diri sendiri dan mempunyai ide menyalahkan diri sendiri. (Rahayu,

Iin Tri dkk (Fakultas Psikologi UIN Malang). Hubungan Pola Pikir Positif Dengan

Kecemasan Berbicara di Depan Umum. Jurnal Psikologi UNDIP, V0l.1, No.2, Desember

2004)

23

Teori Bandura Dalam Penerapannya Dalam Bidang Computer Anxiety Dan

Keahlian User Computing Dalam Penggunaan Teknologi Informasi

Teori kognitif sosial oleh Bandura dikembangkan dalam dua set ekspektasi

kekuatan kognitif utama yang menjadi guide perilaku. Pada seting pertama, ekspektasi

dihubungkan dengan outcome. Para individu yang dapat lebih memahami aspek perilaku,

akan percaya bahwa outcome yang lebih bernilai bila dibandingkan dengan individu

yang tidak mampu memahami konsekuensi yang menguntungkan. Kedua, oleh Bandura

(dalam Compeau dan Higgins, 1995) ekspektasi ini disebut sebagai self efficacy yang

merupakan kepercayaan individu mengenai kemampuan untuk membentuk suatu perilaku

tertentu. Adapun definisi self efficacy menurut Bandura (1986 dalam Campeau dan

Higgins, 1995) adalah “People’s judgmentsof their capabilities to organize and executee

courses of acion requird to attain designated types of performances. It is concernednot

with the skills one has but with judgements of what one can do with whatever skills one

possesses.” Dari definisi tersebut menunjukan karakteristik kunci dari konstrak self

efficacy yakni komponen skill/keahlian dan ability/kemampuan dalam hal mengorganisir

dan melaksanakan suatu tindakan.

Dalam konteks komputer, computer self efficacy menggambarkan persepsi

individu tentang kemampuannya menggunakan komputer untuk menyelesaikan tugas-

tugas seperti menggunakan paket-paket software untuk analisis data, menulis surat mail

merge dengan menggunakan word processor lebih dari pada sekedar keahlian yang

sederhana seperti memformat disket atau booting ulang komputer.

Istilah self efficacy telah merupakan suatu konstrak penting dalam psikologi

telah banyak digunakan para peneliti seperti yang dikutip oleh Compeau dan Higgins

(1995) yang dikaitkan dengan variabel-variabel lain seperti untuk mempengaruhi

keputusan perihal perilaku yang dilakukan (Bandura, dkk,1977; Betz dan Hackett,1981),

tanggapan emosional (termasuk stres dan anxiety) dalam membentuk perilaku (Bandura,

dkk1977; Stumpf,dkk, 1987), serta pencapaian kinerja aktual individu yang dihubungkan

dengan perilaku (collins, 1985;Locke, dkk, 1984;Wood dan bandura, 1989).

24

IV. PENUTUP

Evaluasi

Teori kognitif sosial Bandura mengembangkan hipotesis dan riset yang paling

banyak jumlahnya, dibanding teori kepribadian lainnya. Di antara ratusan penelitian yang

menguji asumsi-asumsi Bandura, topik yang paling luas diteliti adalah efikasi diri dan

modeling kekerasan. Ranah pendidikan dan dunia kerja memanfaatkan efikasi diri untuk

meramalkan taraf sukses seseorang pada masa yang akan datang. Penelitian modeling

yang paling penting dan banyak dikutip orang adalah menguji dampak kekerasan dan

agresi film televisi dan film bioskop. Memang hanya 10 % dari penonton film kekerasan

yang terpengaruh oleh film kekerasan, di mana mereka menjadi lebih agresif

dibandingkan kalau mereka tidak menonton film itu. Jumlah prosentase itu kalau

dikalikan dengan populasi, memberi angka yang sangat besar. Belum tentu yang 10 % itu

menjadi “Jahat” namun paling tidak mereka mempunyai peluang yang lebih besar untuk

mengekspresikan agresi yang salahsuai.

Teori kognitif sosial dikelompokkan ke dalam paradigma behavioristik, karena

hanya membahas aspek kepribadian yang ada di permukaan, tingkah laku yang tampak.

Penekanan pada tingkah laku yang dapat diamati (observable) itu, berakibat Bandura

melupakan atau mengabaikan aspek perbedaan manusia, kekuatan motivasi yang disadari

dan tidak disadari. Fungsi kognitif sebagai wakil nilai-nilai kemanusiaan, penentu tingkah

laku. Teori kognitif sosial mempelajari ekspektasi, kontrol, penguatan diri, kecemasan

dan pertahanan, dan variabel yang terlibat dengan belajar melalui pengamatan. Namun

semuanya dibiarkan dalam potongan-potongan dan tidak disatukan dalam satu sintesa

yang komprehensif. Fungsi kognitif yang menjadi sentral dari variabel pribadi, tidak

mendapat elaborasi yang cukup, sehingga cakupan proses kognitif bisa menjadi sangat

luas semua atribut pribadi.

25

V. KESIMPULAN

Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang psikolog pendidikan dari

Stanford University, USA. Teori belajar ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana

orang belajar dalam seting yang alami/lingkungan sebenarnya.

Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku (B), lingkungan (E) dan

kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P)

adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh (interlocking).

Harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku. Tingkah laku sering dievaluasi,

bebas dari umpan balik lingkungan sehingga mengubah kesan-kesan personal. Tingkah

laku mengaktifkan kontingensi lingkungan. Karakteristik fisik seperti ukuran, ukuran

jenis kelamin dan atribut sosial menumbuhkan reaksi lingkungan yang berbeda.

Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu.

Kontingensi yang aktif dapat merubah intensitas atau arah aktivitas.

Tingkah laku dihadirkan oleh model. Model diperhatikan oleh pelajar (ada penguatan

oleh model). Tingkah laku (kemampuan dikode dan disimpan oleh pembelajar).

Pemrosesan kode-kode simbolik

Skema hubungan segitiga antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah

laku, (Bandura, 1976).

Skema Proses Kognitif Pembelajar

Pembelajar mampu menunjukkan kompetensi/tingkah laku Performance/unjuk kerja

Motivasi pembelajar mengolah tingkah laku

Proses perhatian sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku yang

baru (kompetensi) tidak akan diperoleh tanpa adanya perhatian pembelajar. Proses retensi

sangat penting agar pengkodean simbolik tingkah laku ke dalam visual atau kode verbal

dan penyimpanan dalam memori dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini rehearsal

(ulangan) memegang peranan penting.

Proses motivasi yang penting adalah penguatan dari luar, penguatan dari dirinya sendiri

dan Vicarius Reinforcement (penguatan karena imajinasi).

Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks

tidak hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi,

tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri

26

yakni “sense of self Efficacy” dan “self–regulatory system”. Sense of self efficacy adalah

keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai

standar yang berlaku.

Self regulatory adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi referensi

tingkah laku dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan

pengatur tingkah laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan

menentukan “goal setting” dan “self evaluation” pembelajar dan merupakan dorongan

untuk meraih prestasi belajar yang tinggi dan sebaliknya.

Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus

dapat menghadirkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar,

mengembangkan “self of mastery”, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.

Dari uraian tentang teori belajar sosial, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara

lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses

kognitif belajar.

2. Komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi

terhadap model dan proses-proses kognitif pembelajar.

3. Hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan

kembali atau tidak (retrievel).

4. Dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping pembelajaran-

pembelajaran komponen-komponen skill itu sendiri, perlu ditumbuhkan “sense of

efficacy” dan self regulatory” pembelajar.

5. Dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup

untuk latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan “reinforcement” dan hindari

punishment yang tidak perlu.