82261639-rhs-kedok
-
Upload
winda-anastesya -
Category
Documents
-
view
43 -
download
2
Transcript of 82261639-rhs-kedok
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak permulaan sejarah kehidupan umat manusia telah diketahui adanya
hubungan kepercayaan diantara sesamanya. Dunia kedokteran juga mengenal
hubungan kepercayaan antara dokter dengan pasien yang diwujudkan dalarn bentuk
transaksi terapeutik ( Soerjono, 1998).
Pasien dalarn transaksi terapeutik ini mempunyai hak atas rahasia
kedokteran, yaitu segala sesuatu yang oleh pasien secara sadar atau tidak sadar
disarnpaikan kepada dokter yang rnerawat dirinya. Selanjutnya dokter diwajibkan
berdasarkan profesinya untuk menyirnpan rahasia yang dipercayakan kepadanya.
Dokter tidak boleh mengungkap rahasia kedokteran tanpa persetujuan pasien
( Soerjono, 1998).
Adanya kewajiban rnemegang teguh rahasia kedokteran adalah rnerupakan
syarat mutlak yang harus dipenuhi dalarn transaksi terapeutik, sehingga tercipta
suasana saling mempercayai antara dokter dengan pasien. Hal tersebut
dirnaksudkan untuk melindungi penyakit pasien sehingga tetap terpelihara
kepercayaan pasien kepada dokternya ( Soerjono, 1998).
Kewajiban dokter untuk merahasiakan hal-hal yang diketahui adalah
berdasarkan pada norrna kesusilaan dan norrna hukurn. Adapun norrna kesusilaan
yang menjadi pegangan para dokter sejak dahulu kala adalah Sumpah Hippocrates
(460-377 SM), yang maknanya tersimpul dalam kalimat : “Segala sesuatu yang
kulihat dan kudengar dalam melakukan praktekku, akan aku simpan sebagai
rahasia” ( Soerjono, 1998).
Ternyata norma kesusilaan yang tersimpul dalam Sumpah Hippocrates
tersebut dianggap tidak mencukupi dan hanya merupakan self imposed regulation,
karena ditaati tidaknya tergantung kepada si pelaku itu sendiri. Oleh karena itu
banyak Negara memiliki undang-undang yang umumnya disusun untuk memperkuat
rahasia jabatan dokter sehingga dapat menjamin kepentingan masyarakat
( Soerjono, 1998).
Norma kesusilaan dan norma hukum yang merupakan pedoman seorang dokter
dalam melaksanakan profesinya di Indonesia diantaranya terdapat pada: Sumpah
kedokteran Indonesia dan Pasal 13 Kodeki, Pasal 48 Undang undang Praktik
kedokteran No 29 Tahun 2004 tentang Rahasia Kedoktan, Pasal 322 dan 224
KUHP, Pasal 1909 dan 1365 KUHPerdata, Pasal 170 dan 179 KUHAP, pasal 146
ayat (3) HIR, dan PP Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran ( Soerjono, 1998).
Kenyataannya, menjaga rahasia ini tidak semudah teori sehingga kerapkali
menimubulkan masalah. Tidak jarang seorang dokter dihadapkan pada suatu dilema.
Dokter harus menjaga rahasia pasien atau harus membukanya/mengungkap demi
kepentingan umum yang lebih bermanfaat. Dokter harus memilih di antara keduanya
yang sama-sama sulit ( Soerjono, 1998).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hak Pasien Terhadap Rahasia Kedokteran
Setiap pasien yang meminta pertolongan kepada dokter harus merasa
aman dan bebas. Pasien harus dapat menceritakan dengan hati terbuka segala
keluhan yang mengganggu keadaan jasmani dan rohaninya, dengan keyakinan
bahwa hak itu berguna untuk menyembuhkan dirinya. Pasien tidak boleh merasa
khawatir bahwa segala sesuatu mengenai keadaan dirinya akan disampaikan
kepada orang lain, baik oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Hal tersebut
merupakan syarat utama terjadinya hubungan baik antara dokter atau tenaga
kesehatan lainnya dengan pasien. Oleh karena itu dalam hukum kesehatan seorang
pasien diberi hak-hak tertentu. Salah satu dari beberapa hak pasien yang dimaksud
adalah hak atas rahasia kedokteran ( Soerjono, 1998).
Adapun yang dimaksud dengan rahasia kedokteran menurut ketentuan Pasal
1 PP nomor 10 Tahun 1966 tentang wajib simpan Rahasia kedokteran adalah
“Segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam Pasal 3 pada waktu
atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran” ( Soerjono,
1998).
Di dalam penjelasan Pasal 1 tentang kata-kata “segala sesuatu yang
diketahui” maksudnya adalah segala fakta yang didapat dalam pemeriksaan pasien,
intepretasinya untuk menegakkan diagnose dan melakukan pengobatan: dari
anamnesa, pemeriksaan jasmaniah, pemeriksaan dengan alat-alat kedokteran dan
sebagainya. Juga termasuk fakta yang dikumpulkan oleh pembantu-pembantunya.
Seorang ahli obat dan mereka yang bekerja dalam apotik harus pula merahasiakan
obat dan khasiatnya yang diberikan dokter kepada pasiennya. Merahasiakan resep
dokter adalah suatu yang penting dari etik pejabat yang bekerja di apotik ( Soerjono,
1998).
Ketentuan Pasal 3 menentukan bahwa pihak-pihak yang diwajibkan
menyimpan rahasia kedokteran seperti yang dimaksud oleh Pasal 1 adalah Tenaga
Kesehatan. Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan adalah sebagai berikut.
1. Tenaga Kesehatan terdiri dari:
a. Tenaga medis
b. Tenaga keperawatan
c. Tenaga kefarmasian
d. Tenaga kesehatan masyarakat
e. Tenaga gizi
f. Tenaga keterapian fisik
g. Tenaga teknisian medis
2. Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi
3. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan
4. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker
5. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, mikrobiolog
kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian
6. Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien
7. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis
wicara
8. Tenaga keteknisan medis meliputi radiographer, radioterapis, teknisi gigi,
teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik,
teknisi transfuse dan perekam medis ( Soerjono, 1998).
Selanjutnya rahasia kedokteran menurut J. Guwandi diartikan sebagai “rahasia di
bidang kedokteran” (Guwandi, 1992).
Rumusan lain tentang rahasia kedokteran seperti yang tercantum dalam
beberapa literatur, ialah “segala rahasia yang oleh pasien secara disadari atau
tidak disadari disampaikan kepada dokter dan segala sesuatu yang oleh dokter
telah diketahuinya sewaktu mengobati dan merawat pasien (Guwandi, 1992).
Berdasarkan rumusan-rumusan tentang rahasia kedokteran tersebut di atas,
maka yang dimaksud dengan hak atas rahasia kedokteran adalah suatu hak
yang dimiliki oleh pasien tentang semua fakta/keadaan pasien yang telah
disampaikan dan diketahui dokter atau tenaga kesehatan lainnya termasuk para
pembantunya atas dasar kepercayaan (Guwandi, 1992).
Rahasia kedokteran tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah berkas
yang disebut dengan Rekam Medik/Kesehatan. Dengan demikian pemilik rahasia
kedokteran dan isi rekam medik/kesehatan adalah pasien, sedangkan dokter
mempunyai kewajiban untuk merahasiakan isi rekam medis tersebut terhadap
pihak-pihak lain selain pasien (Guwandi, 1992).
Hak atas rahasia kedokteran ini bertujuan untuk melindungi hubungan baik
antara dokter dengan pasiennya, sebab rahasia merupakan hak dasar manusia
(Guwandi, 1992).
2.2 Kewajiban Dokter untuk Menyimpan Rahasia Kedokteran
Salah satu di antara beberapa kewajiban dokter adalah menyimpan rahasia
kedokteran. Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran tersebut adalah merupakan
rahasia jabatan yang harus dipegang teguh oleh dokter dan merupakan syarat yang
senantiasa harus dipenuhi untuk menciptakan suasana saling mempercayai yang
mutlak dibutuhkan dalam hubungan dokter dengan pasien. Rahasia jabatan dokter
dimaksudkan untuk rnelindungi rahasia penyakit pasien sehingga tetap terpelihara
kepercayaan pasien terhadap dokternya (Amelyn, 1999).
Kewajiban para dokter untuk merahasiakan hal-hal yang diketahui karena
jabatannya atau pekerjaannya adalah berpijak pada norma-norma kesusilaan, yang
pada hakekatnya merupakan suatu kewajiban moral, dan norma hokum (Amelyn,
1999).
Norma-norma kesusilaan tersebut tidak mencukupi karena banyak tergantung
sifat dan kelakuan perseorangan yang tentunya berbeda beda dan tidak selalu baik.
Selain daripada itu apabil terjadi pelanggaran norma kesusilaan sanksinya tidak
tegas yaitu sanksi sosial dari masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu norma
hukum, sehingga dapat lebih melindungi kepentingan manusia dan sanksinya lebih
tegas jika terjadi pelanggaran (Amelyn, 1999).
Norma-norma kesusilaan dan norma hokum tadi dicantumkan dalam
berbagai peraturan dan undang-undang yang merupakan pedoman seorang dokter
dalam menjalankan tugas dan profesinya (Amelyn, 1999).
2.3 Pengaturan Hukum Terhadap Kewajiban Menyimpan Rahasia
Kedokteran
Seperti yang telah diketahui,bahwa dalam transaksi terapeutik terdapat hak
dan kewajiban kepada masing-masing pihak secara timbal balik. Adapun salah satu
kewajiban dokter adalah berkewajiban menyimpan rahasia kedokteran yang dimiliki
pasiennya. Di bidang Etik Kedokteran, sepanjang dapat ditelusuri masalah rahasia
kedoteran mulai diatur dalam Sumpah Hipocrates pada abad 469-399 SM yang
berbunyi,”Apa yang sya melihat atau mendengar sewaktu menjalankan praktek atau
tidak, tentang kehidupan seseorang yang seharusnya tidak diungkapkan, akansaya
perlakukan sebagai rahasia.”
Selain di dalam Sumpah Hipocratos, kewajiban menyimpan rahasia kedokteran
juga terdapat pada:
1. Declaration of Geneva
Declaration of Geneva ini adalah versi Sumpah Hipocrates yang di
modernisasi yang diintroduksikan oleh World Medical Association. Khusus
yang mengenai rahasia kedokteran berbunyi: I will respect the secrets which
are confided in me, even after the patient has died”.
2. International Code of Medical Ethics
Pada tahun 1968 di Sydney diadakan perubahan pada declaration of Geneva
yang kemudian menjadi pedoman dasar untuk terbitnya International Code of
Medical Ethics ini. Khusus yang mengenai rahasia kedokteran berbunyi:”A
doctor shall preserve absolutte secrecy on all he knows about his patients
becouse the confidence entrusted in him”
3. Declaration of Lisbon 1981
Deklarasi ini menetapkan pula bahwa pasien berhak untuk meminta kepada
dokternya agara mengindahkan sifat rahasia dari segala data medik dan data
pribadinya.
4. Peraturan pemerintah Nomor 26 Tahun 1966 yang memuat Lafal Sumpah
Dokteran Indonesia. Dalam Sumpah ini khusunya di dalam Penjelasan Pasal
1 Kode Etik Kedokeran berbunyi:”Saya akan merahasiakan segala sesuatau
yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai
dokter
5. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
Pasal 13 tercantum kalimat sebagai berikut:
“Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.”
Sumpah dalam hubungan dengan rahasia kedokteran ini jika ditinjau
secara yuridis tidak mempunyai arti. Sumpah hanyalah merupakan suatu
ikrar, suatu pernyataan kehendak secara sepihak yang pelaksaannya
tergantung kepadan hati nurani si pelaku itu sendiri. Oleh karena itu suatu
sumpah tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk penuntutan.
Demikian pula Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang termasuk
bidang etik yang sifatnya self imposed regulations. Suatau kode etik ini
bersifat intern dimana sanksi hanya dapat dijatuhkan dalam kaitan organisasi
dan oleh organisasi itu sendiri. Suatu KODEKI juga tidak mempunyai nilai
yuridis, sehingga tidak mempunyai akibat hukum
Adapaun dasar yuridis untuk menuntut yang menyangkut rahasia
kedokteran terdapat pada:
a. Hukum Perdata
1) Perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien.
2) Pasal 1909, 3e KUHPerdata
“Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau
jabatannya menurut undang- undang diwajibkan merahasiakan
sesuatu, namun hanyalah semata- mata mengenai hal-hal yang
pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian.”
3) Pasal 1365 KUHPerdata
“Tiap-tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
terhadap ornag lain , mewajibkan orang yang karena salahnya,
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
b. Hukum Pidana
1) Pasal 322 KUHP
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpanya karena jabatnnya atau mata pencahariannnya, baik yang
sekarang maupun yang dahulu, dahulu, akan diancam hukuman
pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak enam
ratus rupiah.
Ayat (2) jika kejahatan itu dilakukan seseorang tertentu, maka
perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.
Berdasarkan ayat (2) tersebut seorang dokter yang membuka rahasia
pasien tidak dengan sendirinya akan dituntut di pengadilan. Dokter
akan di tuntut setelah ada pengaduan yang diajukan oleh pihak
pasien.
2) Pasal 2224 KUHP
Barangsiapa yang secara sah
Dipanggil sebagai saksi, saksi ahli atau sebgai penterjemah tidak
memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi, dihukum:
(1) Dalam perkara pidana dengan hukuman penjara paling lama 9
bulan
(2) Dalam perkara lainnya dengan hukuman penjara paling lama 6
bulan.
c. Hukum Acara Pidana
1) Pasal 170 KUHP
Ayat (1) Mereka yang karena pekerjaan , harkat martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat diminta dibebaska
dari kewajiban untuk memeri keterangan sebgai saksi, yaitu tentang
hal yang dipercayakan kepada mereka.
Ayat (2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk
permintaan tersebut.
2) Pasal 179 KUHP
Ayat (1) setiap orang yang diminta pendapatnnya sebagai ahli
kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan
d. Hukum Acara Perdata
1. Pasal 146 ayat (3) HIR
2. Pasal 174 RBg.
e. Hukum Administrasi
Peraturan Pemerinta Nomor 10 Tahun 1996 tentang Wajib S impan
Rahasia Kedokteran. Pada peraturan tersebut diperluas berlakunya
wajib simpan rahasia kedokteran , juga bagi tenaga kesehatan lainnya,
seperti perawat, bidan , mahasiswa kedokteran ,ahli farmasi, analis
laboratorium, radiologi, dan lain-lainnya.
6. Undang undang Praktik kedokteran No 29 Tahun 2004
Pasal 48 tentang Rahasia Kedoktan, yaitu:
Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
wajib menyimpan rahasia kedokteran.
Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan pasien, memenuhi paraturan penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau
berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan
Peraturan Menteri.
2.4 Hal-Hal yang dapat menggugurkan kewajiban dokter dalam menjaga
rahasia kedokteran
Seperti yang telah dibicarakan diatas, bahwa pada dasarnya kewajiban
menyimpan rahasia kedokteran sesungguhnya berlaku bagi setiap dokter yang
menjalankan tugas dan profesinya. Seorang dokter yang melanggar kewajiban
menyimpan rahasia kedokteran tanpa alasan-alasan yang dapat dibenarkan dapat
dituntut baik secara perdata maupun pidana dan tak ketinggalan pula akan mndapat
sanksi administrasi (Guwandi, 1992).
Namun terhadap kewajibannya ini sifatnya tidak mutlak. Artinya dalam
situasi-situasi tertentu seorang dokter dapat memberitahukan atau membeberkan
tentang rahasia kedokteran yang diketahuinya (Guwandi, 1992).
Menurut Herkutanto sebagai mana disitir oleh J.Guwandi ada beberapa
keadaan dimana dokter dapat membuka rahasia kedoktera tersebut tanpa sanksi
hukum. Keadaan tersebut dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu :
1. Adanya kerelaan atau izin pasien
2. Pembukaan rahasia kedokteran atas dasar KUHP pasal 48, 50, dan 51
(Guwandi, 1992).
Sementara itu, Eck mengemukakan 4 justifikasi untuk pengecualian
pengungkapan rahasia kedokteran yaitu :
1. Ijin dari yang pasien
2. Keadaan yang mendesak atau terpaksa
3. Peraturan perundang-undangan
4. Perintah jabatan yang sah
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Fred Amelin yang mengatakan bahwa
ada 6 hal yang memungkinkan seorang dokter untuk membuka rahasia kedokteran,
yaitu :
1. Diatur oleh undang-undang
2. Pasien membahayakan umum atau membahayakan orang lain.
3. Pasien dapat memperoleh hak khusus
`4. Pasien secara sadar dan jelas memberikan izin.
5. Pasien menginginkan untuk ditemani seorang pendamping saat memasuki
ruang periksa dokter (Guwandi, 1992).
Dari beberapa pendapat diatas dapat kita simpulkan hal-hal apa saja yang
dapat menggugurkan seorang dokter dalam menjaga kerahasiannya yaitu antara lain
:
1. Adanya izin dari pasien
Dalam hal ini rahasia kedokteran adalah milik atau hak dari pasien,
sehingga hanya pasien lah yang satu-satunya dapat memutuskan apakah rahasia
tentang kondisi medisnya dapat diberitahukan kepada orang lain atau tidak . Izin dari
pasien ini juga yang melegalkan seorang dokter untuk mengungkapkan rahasia
kedokteran serorang pasien tanpa ancaman sanksi hukum. Izin ini dapat berupa izin
yang tertulis ataupun lisan (Chrisdiono, 1996).
2. Adanya keadaan yang mendesak
Hal ini sesuai dengan pasal 48 KUHP “Siapapun tak terpidana jika
melakukan suatu perbuatan karena terdorong oleh keadaan yang terpaksa” .
Terpaksa dalam hal ini bersifat relatif yaitu dimana terjadi karena adanya tekanan
atau kondisi darurat yang mana apabil kondisi itu tidak ada maka keadaan terpaksa
itu tidak ada (Chrisdiono, 1996).
3. Adanya peraturan perundang-undangan
Pasal 50 KUHP mengatakan “barangsiapa melakukan perbuatan
untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. Dalam hal ini dapat
dianggap bahwa secara materil oleh undang-undang sudah dipertimbangkan bahwa
terdapat kepentingan yang lebih besar dan secara formil justifikasinya terletak pada
adanya perundang-undangan (Chrisdiono, 1996).
4. Adanya perintah jabatan
Sebagai pembenar lain seorang dokter dapat tidak menjaga rahasia
kedokteran diatur pada pasal 51 KUHP. Pasal ini mengatur seorang dokter yang
mempunyai jabatan rangkap seperti dokter militer atau dokter penguji kesehatan
yang mana hasil medis dari pasien dapat diberitahukan kepada institusi yang
meminta tanpa perlu izin dari pasien terlebih dahulu (Chrisdiono, 1996).
5. Demi kepentingan umum
Alasan ini muncul karena dalam praktek kesaharian manusia dalam hal ini
seorang pasien merupakan public figure atau tokoh masyarakat yang dianggap
penting bagi masyarakat (Chrisdiono, 1996).
2.5 Hak Undur Diri Dokter
Hak ini dapat dipakai oleh seorang dokter apabila dia diminta untuk
memberikan kesaksian dipengadilan yang menyangkut rahasia kedokteran
(Chrisdiono, 1996).
Seorang dokter sebagai saksi atau ahli mungkin sekali diharuskan
memberikan keterangan tentang seseorang (misalnya terdakwa) yang sebelumnya
telah menjadi penderita yang ditanganinya. Ini seolah-olah dokter tersebut
diharuskan melanggar rahasia kedokterannya (Chrisdiono, 1996).
Kejadian yang bertentangan tersebut diatas dapat dihindarkan karena adanya
hak kuat undur diri, dimana seorang dokter mendapatkan perlindungan hukum
berdasarkan :
– Pasal 120 KUHAP
(1) Dalam hal penyidik perlu, ia dapat minta pendapat ahli atau orang yang memiliki
keahlian khusus
(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dimuka penyidik
bahwa ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-
baiknya, kecuali bila disebabkan harkat dan martabat pekerjaan jabatannya yang
mewajibkan ia menyimpan rahasia, dapat menolak untuk memberikan keterangan
yang diminta
– Pasal 170 KUHAP
“ Mereka yang pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat diminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan
sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadanya”
(1) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan manusia
tersebut
– Pasal 277 HIR
(1) Barangsiapa yang karena martabatnya, pekerjaannya atau jabatannya yang sah,
diwajibkan menyimpan rahasia, boleh minta mengundurkan diri dari pada memberi
kesaksian, akan tetapi hanya dan terutama mengenai hal yang diketahuinya dan
dipercayakan padanya karena martabat, pekerjaan atau jabatannya
(2) Pertimbangan apakah permintaan untuk mengundurkan diri itu beralasan atau
tidak, diserahkan kepada pengadilan negara atau jika orang yang dipanggil untuk
memberikan kesaksian itu orang asing, maka pertimbangan itu diserahkan kepada
ketua pengadilan Negara (Chrisdiono, 1996).
2.6 Rahasia medis pasien HIV AIDS ( HAM ODHA vs HAM MASYARAKAT)
Masalah HIV / AIDS banyak sangkut pautnya dengan Rahasia Medis
sehingga kita harus berhati hati dalam menanganinya. Dalam mengadakan
peraturan hukum, selalu terdapat dilema antara kepentingan masyarakat dan
kepentingan perseorangan. Seringkali harus dipertimbangkan kepentingan mana
yang dirasakan lebih berat. Dalam sistim Demokrasi, Hak Asasi seseorang harus
diindahkan, namun Hak Asasi ini tidaklah berarti bersifat mutlak. Pembatasan dari
Hak Asasi seseorang adalah Hak Asasi orang lain didalam masyarakat itu. Dalam
hal ada pertentangan kepentingan, maka hak perorangan harus mengalah terhadap
kepentingan masyarakat banyak. Kebebasan atas kepentingan individu tidak
dipertahankan sedemikian rupa sehingga sampai membahayakan kepentingan orang
lain atau masyarakatnya. Namun kita melihat ada pengecualian bersifat rahasia
mutlak yang berkaitan dengan HIV / AIDS (Husein , 1993).
Dalam kasus kasus tertentu seorang dokter bisa berada dalam keadaan
dilema jika penyakit yang diderita pasien itu juga membahayakan masyarakat
sekitarnya ( HIV / AIDS, penyakit kelamin, wabah, dan sebagainya ). Tambah lagi
jika pasien tidak memberikan persetujuannya untuk diungkapkan rahasianya. Kecuali
kalau memang sudah diwajibkan oleh Undang Undang atau Peraturan yang lebih
tinggi tingkatnya, maka dokter itu wajib untuk melaporkan. Namun untuk HIV / AIDS
tampaknya masih dalam kedudukan istimewa, karena walaupun bisa
membahayakan atau menularkan istri dan anak anaknya, ia tetap masih dapat
perlindungan hukum (Husein , 1993).
Masalah AIDS juga ada kaitan erat dengan Informed Consent. Merupakan
tugas dan kewajiban seorang dokter untuk memberikan informasi tentang penyakit
penyakit yang diderita pasien dan tindakan apa yang hendak dilakukan, disamping
wajib merahasiakannya. Pada pihak lain kepentingan masyarakat juga harus
dilindungi (Husein , 1993).
Namun sebaliknya juga bisa timbul pertanyaan, jika seorang pasien
mengetahui bahwa dirinya sudah dihinggapi HIV / AIDS seharusnya ia pun wajib
untuk memberitahukannya, karena jika ia misalnya sampai harus dilakukan tindakan
medis seperti pembedahan terhadapnya, maka dokter dan tenaga medis lain bisa
tertular. Apakah kepentingan perseorangan harus dimenangkan terhadap
kepentingan orang lain ( dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain )? Hal ini secara
adil seharusnya juga perlu diwajibkan kepada pasiennya agar ia tidak
membahayakan orang lain. Namun sayangnya ketentuan ini belum ada, sehingga
kita masih berpedoman pada peraturan yang lama (Husein , 1993).
Pengaturan hukum tentang HIV / AIDS di negara kita pada saat ini hanya ada
2 yaitu:
1. Instruksi Menteri Kesehatan RI No 72 / Menkes / Instll / 1988 tentang kewajiban
melaporkan penderita dengan gejala AIDS. Ketentuan tersebut hanya ditujukan
kepada petugas kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan saja. Tindakan yang
diambil hanyalah pelaporan kepada Dirjen P2MPLP saja dengan memperhatikan
kerahasiaan pribadi.
2. Surat Keputusan Menko Kesra No 9 Tahun 1994 tentang Strategi Nasional
Penanggulangan HIV / AIDS " Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV / AIDS
harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang
bersangkutan ( Informed Consent ). Sebelum dan sesudahnya harus diberikan
konseling yang memadai dan hasil pemeriksaan wajib dirahasiakan." (Husein ,
1993).
Sejauh ini yang bisa diwajibkan menjalani uji HIV adalah kalangan anggota
militer dan narapidana. Para WTS pun tidak boleh dipaksakan untuk menjalani tes
HIV seperti waktu waktu dulu. Dapat ditambahkan pula, pada lamaran kerja di
perusahaan dapat dimintakan persetujuannya untuk juga dilakukan tes HIV, tetapi ini
secara sukarela dan juga harus ada persetujuan. Jika hasilnya positif maka secara
terselubung bisa ditolak penerimaannya. Biasanya dilakukan dengan cara halus,
memakai alasan lain. Pemeriksaan HIV /AIDS tidak bisa diwajibkan karena
bertentangan dengan HAM (Husein , 1993).
Kalau hasil pemeriksaan positif maka terdapat dilema, yaitu pada satu pihak
rahasia pasien harus dijaga, tidak boleh diungkap ke orang lain kecuali atas
persetujuan ( consent ) dari pasien itu sendiri. HAM akan dilanggar jika diberitahukan
kepada orang lain. Bagaimana dengan istrinya? Apakah seorang istri juga tidak
boleh diberitahu? Memang pemberitahuan ini mungkin bisa berakibat berat bagi si
suami, istri mungkin bisa minta cerai atau tidak mau melayaninya lagi. Sebenarnya
harus bisa dijelaskan dengan konseling tentang cara cara pencegahan dan
pendidikan tentang HIV / AIDS yang perlu diadakan sosialisasi yang lebih meluas.
Bagaimana dengan anak anaknya? Katanya anak anaknya bisa dikucilkan di sekolah
dan ia sendiri ada risiko diberhentikan dari pekerjaannya. Namun ini adalah risiko
yang mau tidak mau terpaksa harus dipikul oleh penderita HIV. Kalau istrinya sendiri
tidak boleh diberitahukan, apakah tidak akan bisa mengakibatkan menambah jumlah
penderita HIV / AIDS? Apakah sang istri harus turut menjadi korban? Istri / partner
seksual adalah orang yang paling rentan terhadap penularan. Jika boleh
diberitahukan, maka mata rantainya akan bisa diputuskan, dengan demikian maka
setidak tidaknya tidak akan menambah jumlah penderita AIDS.
BAB III
PEMBUKAAN RAHASIA KEDOKTERAN PASIEN HIV AIDS
Maftuh Fauzi, 27 tahun, mahasiswa Universitas Nasional yang ditangkap
polisi ketika berlangsungnya aksi pada 24 Mei silam, kemarin siang meninggal dunia.
Maftuh, mahasiswa jurusan Sastra Inggris, angkatan 2003 ini mengembuskan nafas
terakhir sekitar pukul 11.20 di ruang ICU Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta
Selatan (Bambang, 2008).
Menurut rekannya Rachel, pada tragedi Unas 24 Mei, kepala belakangnya
Fauzi dipukul tongkat karet oleh polisi. Sejak pemukulan itu, kata Rachel, kalau
kambuh Fauzi selalu marah-marah. Sedangkan Ceppy, teman sekampus almarhum
lainnya, menuturkan, setelah dibebaskan dari sel Polres Jakarta Selatan Fauzi sering
mengeluh kepalanya pusing (Bambang, 2008).
Fauzi bersama 30 mahasiswa Unas lainnya dibebaskan dari tahanan Polres
Jakarta Selatan pada 2 Juni lalu. Mereka ditangkap Sabtu pagi, 24 Mei silam, setelah
ratusan polisi menyerbu kampus Unas di Pejaten, Jakarta Selatan (Bambang, 2008).
Maftuh Fauzi mulai dirawat di RSP pertamina 18 Juni dini hari lalu. Sebelum
dia dirawat di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Jakarta
Timur, sejak 10 Juni. Sebelum dirawat di RS UKI, Fauzi berobat di Rumah Sakit
Umum Pasar Rebo (Bambang, 2008).
Dari status kesehatan dari RS UKI yang direbut dari tangan Direktur RSP
Pertamina, Mustofa Fauzi, selama dua pekan Naftuh mengalami trauma terbuka di
kepala bagian belakang. Akibatnya, pasien sering sakit kepala tiba-tiba sampai
hilang kesadaran(Bambang, 2008).
Perebutan berkas laporan kesehatan oleh aktivis Persatuan Mahasiswa
Jakarta itu dipicu ketidakpercayaan mereka terhadap penjelasan RSP Pertamina.
Menurut Dokter Widya Sarkawi, Wakil Direktur Medis RSP Pertamina, selama
dirawat kesadaran pasien menurun dan pernafasannya dibantu ventilator. Tapi, tiada
tanda-tanda kekerasan di tubuh Fauzi. "Hasil CT-scan (alat pemindai), kepala Fauzi
tak mengalami kelainan (Bambang, 2008).
Ia mengungkapkan, Fauzi meninggal karena infeksi berat pada fungsi
sistemiknya akibat kuman yang menyerang seluruh tubuh. Dua lapangan paru-
parunya terinfeksi sehingga sistem perputaran nafas tak normal. Sistem kekebalan
tubuh pun menurun (Bambang, 2008).
Akhirnya Widya membuka hasil screening, bahwa pasien positif mengidap
HIV. “Pemberitahuan ini atas izin orangtua pasien”, ujarnya di hadapan mahasiswa.
Keluarga menjemput jenasah almarhum di RSP Pertamina sekitar pukul 15.00.
Langsung dibawa ke Kebumen, ucap Mubtadi di rumah duka Jalam Danau Tempe III
Nomor 240 RT 08/06, Kelurahan Abadi Jaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok.
Rencananya, almarhum dimakamkan hari ini di Desa Adi Karto, Kecamatan Adi
Mulyo, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah (Bambang, 2008).
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesoia (PB IDI) siap membentuk tim guna
mengusut kemungkinan pelanggaran kode etik kedokteran dalam kasus kematian
Maftuh Fauzi, mahasiswa Universitas Nasional (UNAS) Pejaten Jakarta Selatan. Bila
diperlukan, IDI akan memprakarsai dibentuknya tim tertentu, kata Fahmi Idris, Ketua
Umum PB IDI (Anonim, 2008).
Dijelaskan Fahmi, PB IDI segera menggelar rapat untuk menindaklanjuti
pengaduan mahasiswa UNAS. Senin (23/6) kemarin, sejumlah perwakilan
mahasiswa didampingi pengacara publik dari LBH Jakarta mendatangi kantor PB IDI
di kawasan Menteng Jakarta Pusat. Mahasiswa meminta IDI memeriksa dokter dan
tenaga kesehatan yang telah mempublikasikan sebab kematian Fauzi karena
HIV/AIDS (Anonim, 2008).
Fahmi Idris menyatakan PB IDI belum biasa berbuat banyak merespon
desakan mahasiswa. Cuma, PB IDI bisa memprakarsai pembentukan tim
beranggotakan PB IDI, Komnas HAM, perwakilan UNAS, dan pihak RSPP. Meskipun
masih sebatas rencana mengumpulkan pengurus IDI, Fahmi dengan tegas
mengingatkan para dokter untuk taat pada sumpah dokter. Seluruh dokter terikat
sumpah untuk tidak menggunakan pertimbangan ras, politik, dan lain-lain dalam
menangani pasien, ujarnya (Anonim, 2008)
Ia juga mengecam petugas kesehatan yang membuka rahasia catatan medis
pasien tanpa persetujuan pasien atau keluarganya. Dalam konteks kematian Fauzi,
Fahmi akan menunggu hasil sidang kode etik kedokteran untuk memastikan apakah
ada alasan pemaaf dan alasan pembenar catatan medis Fauzi, khususnya yang
menyebutkan kematiannya karena infeksi HIV, dibuka ke publik. Selama tidak ada
faktor pembenar dan faktor pemaaf, sampai mati pun mereka (tenaga kesehatan-
red) tidak dapat membuka rahasia pasiennya, kata Fahmi dengan nada datar
(Anonim, 2008).
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus Maftuh Fauzi, diagnosa HIV ditegakkan karena kecurigaan dokter
terhadap penyakitnya yang telah merusak seluruh organ. Hal ini sangat kontradiktif
dengan keluhan sakit kepalanya setelah terkena pukulan di kepala beberapa hari
sebelumnya.
Widya, direktur RS, membuka hasil screening, bahwa pasien positif mengidap
HIV setelah mendapatkan ijin dari orang tua Mahfud. Namun Fahmi PB IDI,
mengecam petugas kesehatan yang membuka rahasia catatan medis pasien tanpa
persetujuan pasien atau keluarganya. Dalam konteks kematian Fauzi, Fahmi akan
menunggu hasil sidang kode etik kedokteran untuk memastikan apakah ada alasan
pemaaf dan alasan pembenar catatan medis Fauzi, khususnya yang menyebutkan
kematiannya karena infeksi HIV, dibuka ke publik. Selama tidak ada faktor pembenar
dan faktor pemaaf, sampai mati pun mereka (tenaga kesehatan-red) tidak dapat
membuka rahasia pasiennya.
Dalam hal ini, menurut Instruksi Menteri Kesehatan RI No 72 / Menkes /
Instll / 1988 tentang kewajiban melaporkan penderita dengan gejala AIDS yang
hanya ditujukan kepada petugas kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan,
tindakan Widya termasuk melanggar rahasia kedokteran, karena membuka rahasia
pasien pada publik tanpa seijin pasien, dalam kasus ini pasien telah meninggal. Bila
dokter menolak membuka rahasia medis dokter, dilindungi oleh pasal 120 KUHAP,
dimana dokter dapat menolak untuk membuka rahasia kedokteran seorang pasien
karena alasan jabatan.
Bila rahasia kedoteran terpaksa harus dibuka, harus memenuhi syarat yaitu
dokter dalam keadaan terpaksa, menjalankan peraturan perundang-undangan,
melakukan perintah jabatan dan demi kepentingan umum.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kewajiban dokter
untuk menyimpan rahasia kedokteran dapat gugur dan dokter tidak dikenai sanksi
hukum bila ada ijin dari pasien, dokter dalam keadaan terpaksa, dokter menjalankan
peraturan perundang-undangan, dokter melakukan perintah jabatan, demi
kepentingan umum.
Seorang dokter juga mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan Pasal
120 KUHAP, Pasal 170 KUHAP, pasal 277 HIR.
DAFTAR PUSTAKA
Amelyn, F.1999. Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta : Grafika Tama Jaya.
Anonim. 2008. Kematian Mahasiswa UNAS: IDI Siap Bentuk Tim Mengusut
Pelanggaran Kode Etik Kedokteran. Available at hukumonline.com. diakses pada
tanggal 16 agustus 2011 pada pukul 20.30
Bambang. 2008. Korban Tragedi Unas Meninggal. Available at
www.matahukum.com. Diakses pada tanggal 16 agustus 2011 pukul 20.30
Chrisdiono, M.Achadiat, 1996. Pernik-pernik Hukum Kedokteran (Melindungi Pasien
dan Dokter), Jakarta : Widya medika.
Husein Kerbala, 2001. Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan.
Guwansdi, J. 1992. Trilogi Rahasia Kedokteran. Jakarta :FKUI
Soerjono Soekanto. 1998. Aspek Hukum Kesehatan (Kumpulan Catatan). Jakarta :
Ind-Hill CO.