82261639-rhs-kedok

33
BAB I PENDAHULUAN Sejak permulaan sejarah kehidupan umat manusia telah diketahui adanya hubungan kepercayaan diantara sesamanya. Dunia kedokteran juga mengenal hubungan kepercayaan antara dokter dengan pasien yang diwujudkan dalarn bentuk transaksi terapeutik ( Soerjono, 1998). Pasien dalarn transaksi terapeutik ini mempunyai hak atas rahasia kedokteran, yaitu segala sesuatu yang oleh pasien secara sadar atau tidak sadar disarnpaikan kepada dokter yang rnerawat dirinya. Selanjutnya dokter diwajibkan berdasarkan profesinya untuk menyirnpan rahasia yang dipercayakan kepadanya. Dokter tidak boleh mengungkap rahasia kedokteran tanpa persetujuan pasien ( Soerjono, 1998). Adanya kewajiban rnemegang teguh rahasia kedokteran adalah rnerupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalarn transaksi terapeutik, sehingga tercipta suasana saling mempercayai antara dokter dengan pasien. Hal tersebut dirnaksudkan untuk melindungi penyakit pasien sehingga tetap terpelihara kepercayaan pasien kepada dokternya ( Soerjono, 1998).

Transcript of 82261639-rhs-kedok

BAB I

PENDAHULUAN

Sejak permulaan sejarah kehidupan umat manusia telah diketahui adanya

hubungan kepercayaan diantara sesamanya. Dunia kedokteran juga mengenal

hubungan kepercayaan antara dokter dengan pasien yang diwujudkan dalarn bentuk

transaksi terapeutik ( Soerjono, 1998).

Pasien dalarn transaksi terapeutik ini mempunyai hak atas rahasia

kedokteran, yaitu segala sesuatu yang oleh pasien secara sadar atau tidak sadar

disarnpaikan kepada dokter yang rnerawat dirinya. Selanjutnya dokter diwajibkan

berdasarkan profesinya untuk menyirnpan rahasia yang dipercayakan kepadanya.

Dokter tidak boleh mengungkap rahasia kedokteran tanpa persetujuan pasien

( Soerjono, 1998).

Adanya kewajiban rnemegang teguh rahasia kedokteran adalah rnerupakan

syarat mutlak yang harus dipenuhi dalarn transaksi terapeutik, sehingga tercipta

suasana saling mempercayai antara dokter dengan pasien. Hal tersebut

dirnaksudkan untuk melindungi penyakit pasien sehingga tetap terpelihara

kepercayaan pasien kepada dokternya ( Soerjono, 1998).

Kewajiban dokter untuk merahasiakan hal-hal yang diketahui adalah

berdasarkan pada norrna kesusilaan dan norrna hukurn. Adapun norrna kesusilaan

yang menjadi pegangan para dokter sejak dahulu kala adalah Sumpah Hippocrates

(460-377 SM), yang maknanya tersimpul dalam kalimat : “Segala sesuatu yang

kulihat dan kudengar dalam melakukan praktekku, akan aku simpan sebagai

rahasia” ( Soerjono, 1998).

Ternyata norma kesusilaan yang tersimpul dalam Sumpah Hippocrates

tersebut dianggap tidak mencukupi dan hanya merupakan self imposed regulation,

karena ditaati tidaknya tergantung kepada si pelaku itu sendiri. Oleh karena itu

banyak Negara memiliki undang-undang yang umumnya disusun untuk memperkuat

rahasia jabatan dokter sehingga dapat menjamin kepentingan masyarakat

( Soerjono, 1998).

Norma kesusilaan dan norma hukum yang merupakan pedoman seorang dokter

dalam melaksanakan profesinya di Indonesia diantaranya terdapat pada: Sumpah

kedokteran Indonesia dan Pasal 13 Kodeki, Pasal 48 Undang undang Praktik

kedokteran No 29 Tahun 2004 tentang Rahasia Kedoktan, Pasal 322 dan 224

KUHP, Pasal 1909 dan 1365 KUHPerdata, Pasal 170 dan 179 KUHAP, pasal 146

ayat (3) HIR, dan PP Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia

Kedokteran ( Soerjono, 1998).

Kenyataannya, menjaga rahasia ini tidak semudah teori sehingga kerapkali

menimubulkan masalah. Tidak jarang seorang dokter dihadapkan pada suatu dilema.

Dokter harus menjaga rahasia pasien atau harus membukanya/mengungkap demi

kepentingan umum yang lebih bermanfaat. Dokter harus memilih di antara keduanya

yang sama-sama sulit ( Soerjono, 1998).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hak Pasien Terhadap Rahasia Kedokteran

Setiap pasien yang meminta pertolongan kepada dokter harus merasa

aman dan bebas. Pasien harus dapat menceritakan dengan hati terbuka segala

keluhan yang mengganggu keadaan jasmani dan rohaninya, dengan keyakinan

bahwa hak itu berguna untuk menyembuhkan dirinya. Pasien tidak boleh merasa

khawatir bahwa segala sesuatu mengenai keadaan dirinya akan disampaikan

kepada orang lain, baik oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Hal tersebut

merupakan syarat utama terjadinya hubungan baik antara dokter atau tenaga

kesehatan lainnya dengan pasien. Oleh karena itu dalam hukum kesehatan seorang

pasien diberi hak-hak tertentu. Salah satu dari beberapa hak pasien yang dimaksud

adalah hak atas rahasia kedokteran ( Soerjono, 1998).

Adapun yang dimaksud dengan rahasia kedokteran menurut ketentuan Pasal

1 PP nomor 10 Tahun 1966 tentang wajib simpan Rahasia kedokteran adalah

“Segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam Pasal 3 pada waktu

atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran” ( Soerjono,

1998).

Di dalam penjelasan Pasal 1 tentang kata-kata “segala sesuatu yang

diketahui” maksudnya adalah segala fakta yang didapat dalam pemeriksaan pasien,

intepretasinya untuk menegakkan diagnose dan melakukan pengobatan: dari

anamnesa, pemeriksaan jasmaniah, pemeriksaan dengan alat-alat kedokteran dan

sebagainya. Juga termasuk fakta yang dikumpulkan oleh pembantu-pembantunya.

Seorang ahli obat dan mereka yang bekerja dalam apotik harus pula merahasiakan

obat dan khasiatnya yang diberikan dokter kepada pasiennya. Merahasiakan resep

dokter adalah suatu yang penting dari etik pejabat yang bekerja di apotik ( Soerjono,

1998).

Ketentuan Pasal 3 menentukan bahwa pihak-pihak yang diwajibkan

menyimpan rahasia kedokteran seperti yang dimaksud oleh Pasal 1 adalah Tenaga

Kesehatan. Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang

Tenaga Kesehatan adalah sebagai berikut.

1. Tenaga Kesehatan terdiri dari:

a. Tenaga medis

b. Tenaga keperawatan

c. Tenaga kefarmasian

d. Tenaga kesehatan masyarakat

e. Tenaga gizi

f. Tenaga keterapian fisik

g. Tenaga teknisian medis

2. Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi

3. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan

4. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker

5. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, mikrobiolog

kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian

6. Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien

7. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis

wicara

8. Tenaga keteknisan medis meliputi radiographer, radioterapis, teknisi gigi,

teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik,

teknisi transfuse dan perekam medis ( Soerjono, 1998).

Selanjutnya rahasia kedokteran menurut J. Guwandi diartikan sebagai “rahasia di

bidang kedokteran” (Guwandi, 1992).

Rumusan lain tentang rahasia kedokteran seperti yang tercantum dalam

beberapa literatur, ialah “segala rahasia yang oleh pasien secara disadari atau

tidak disadari disampaikan kepada dokter dan segala sesuatu yang oleh dokter

telah diketahuinya sewaktu mengobati dan merawat pasien (Guwandi, 1992).

Berdasarkan rumusan-rumusan tentang rahasia kedokteran tersebut di atas,

maka yang dimaksud dengan hak atas rahasia kedokteran adalah suatu hak

yang dimiliki oleh pasien tentang semua fakta/keadaan pasien yang telah

disampaikan dan diketahui dokter atau tenaga kesehatan lainnya termasuk para

pembantunya atas dasar kepercayaan (Guwandi, 1992).

Rahasia kedokteran tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah berkas

yang disebut dengan Rekam Medik/Kesehatan. Dengan demikian pemilik rahasia

kedokteran dan isi rekam medik/kesehatan adalah pasien, sedangkan dokter

mempunyai kewajiban untuk merahasiakan isi rekam medis tersebut terhadap

pihak-pihak lain selain pasien (Guwandi, 1992).

Hak atas rahasia kedokteran ini bertujuan untuk melindungi hubungan baik

antara dokter dengan pasiennya, sebab rahasia merupakan hak dasar manusia

(Guwandi, 1992).

2.2 Kewajiban Dokter untuk Menyimpan Rahasia Kedokteran

Salah satu di antara beberapa kewajiban dokter adalah menyimpan rahasia

kedokteran. Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran tersebut adalah merupakan

rahasia jabatan yang harus dipegang teguh oleh dokter dan merupakan syarat yang

senantiasa harus dipenuhi untuk menciptakan suasana saling mempercayai yang

mutlak dibutuhkan dalam hubungan dokter dengan pasien. Rahasia jabatan dokter

dimaksudkan untuk rnelindungi rahasia penyakit pasien sehingga tetap terpelihara

kepercayaan pasien terhadap dokternya (Amelyn, 1999).

Kewajiban para dokter untuk merahasiakan hal-hal yang diketahui karena

jabatannya atau pekerjaannya adalah berpijak pada norma-norma kesusilaan, yang

pada hakekatnya merupakan suatu kewajiban moral, dan norma hokum (Amelyn,

1999).

Norma-norma kesusilaan tersebut tidak mencukupi karena banyak tergantung

sifat dan kelakuan perseorangan yang tentunya berbeda beda dan tidak selalu baik.

Selain daripada itu apabil terjadi pelanggaran norma kesusilaan sanksinya tidak

tegas yaitu sanksi sosial dari masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu norma

hukum, sehingga dapat lebih melindungi kepentingan manusia dan sanksinya lebih

tegas jika terjadi pelanggaran (Amelyn, 1999).

Norma-norma kesusilaan dan norma hokum tadi dicantumkan dalam

berbagai peraturan dan undang-undang yang merupakan pedoman seorang dokter

dalam menjalankan tugas dan profesinya (Amelyn, 1999).

2.3 Pengaturan Hukum Terhadap Kewajiban Menyimpan Rahasia

Kedokteran

Seperti yang telah diketahui,bahwa dalam transaksi terapeutik terdapat hak

dan kewajiban kepada masing-masing pihak secara timbal balik. Adapun salah satu

kewajiban dokter adalah berkewajiban menyimpan rahasia kedokteran yang dimiliki

pasiennya. Di bidang Etik Kedokteran, sepanjang dapat ditelusuri masalah rahasia

kedoteran mulai diatur dalam Sumpah Hipocrates pada abad 469-399 SM yang

berbunyi,”Apa yang sya melihat atau mendengar sewaktu menjalankan praktek atau

tidak, tentang kehidupan seseorang yang seharusnya tidak diungkapkan, akansaya

perlakukan sebagai rahasia.”

Selain di dalam Sumpah Hipocratos, kewajiban menyimpan rahasia kedokteran

juga terdapat pada:

1. Declaration of Geneva

Declaration of Geneva ini adalah versi Sumpah Hipocrates yang di

modernisasi yang diintroduksikan oleh World Medical Association. Khusus

yang mengenai rahasia kedokteran berbunyi: I will respect the secrets which

are confided in me, even after the patient has died”.

2. International Code of Medical Ethics

Pada tahun 1968 di Sydney diadakan perubahan pada declaration of Geneva

yang kemudian menjadi pedoman dasar untuk terbitnya International Code of

Medical Ethics ini. Khusus yang mengenai rahasia kedokteran berbunyi:”A

doctor shall preserve absolutte secrecy on all he knows about his patients

becouse the confidence entrusted in him”

3. Declaration of Lisbon 1981

Deklarasi ini menetapkan pula bahwa pasien berhak untuk meminta kepada

dokternya agara mengindahkan sifat rahasia dari segala data medik dan data

pribadinya.

4. Peraturan pemerintah Nomor 26 Tahun 1966 yang memuat Lafal Sumpah

Dokteran Indonesia. Dalam Sumpah ini khusunya di dalam Penjelasan Pasal

1 Kode Etik Kedokeran berbunyi:”Saya akan merahasiakan segala sesuatau

yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai

dokter

5. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)

Pasal 13 tercantum kalimat sebagai berikut:

“Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang

seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.”

Sumpah dalam hubungan dengan rahasia kedokteran ini jika ditinjau

secara yuridis tidak mempunyai arti. Sumpah hanyalah merupakan suatu

ikrar, suatu pernyataan kehendak secara sepihak yang pelaksaannya

tergantung kepadan hati nurani si pelaku itu sendiri. Oleh karena itu suatu

sumpah tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk penuntutan.

Demikian pula Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang termasuk

bidang etik yang sifatnya self imposed regulations. Suatau kode etik ini

bersifat intern dimana sanksi hanya dapat dijatuhkan dalam kaitan organisasi

dan oleh organisasi itu sendiri. Suatu KODEKI juga tidak mempunyai nilai

yuridis, sehingga tidak mempunyai akibat hukum

Adapaun dasar yuridis untuk menuntut yang menyangkut rahasia

kedokteran terdapat pada:

a. Hukum Perdata

1) Perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien.

2) Pasal 1909, 3e KUHPerdata

“Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau

jabatannya menurut undang- undang diwajibkan merahasiakan

sesuatu, namun hanyalah semata- mata mengenai hal-hal yang

pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian.”

3) Pasal 1365 KUHPerdata

“Tiap-tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian

terhadap ornag lain , mewajibkan orang yang karena salahnya,

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

b. Hukum Pidana

1) Pasal 322 KUHP

Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib

disimpanya karena jabatnnya atau mata pencahariannnya, baik yang

sekarang maupun yang dahulu, dahulu, akan diancam hukuman

pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak enam

ratus rupiah.

Ayat (2) jika kejahatan itu dilakukan seseorang tertentu, maka

perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.

Berdasarkan ayat (2) tersebut seorang dokter yang membuka rahasia

pasien tidak dengan sendirinya akan dituntut di pengadilan. Dokter

akan di tuntut setelah ada pengaduan yang diajukan oleh pihak

pasien.

2) Pasal 2224 KUHP

Barangsiapa yang secara sah

Dipanggil sebagai saksi, saksi ahli atau sebgai penterjemah tidak

memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi, dihukum:

(1) Dalam perkara pidana dengan hukuman penjara paling lama 9

bulan

(2) Dalam perkara lainnya dengan hukuman penjara paling lama 6

bulan.

c. Hukum Acara Pidana

1) Pasal 170 KUHP

Ayat (1) Mereka yang karena pekerjaan , harkat martabat atau

jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat diminta dibebaska

dari kewajiban untuk memeri keterangan sebgai saksi, yaitu tentang

hal yang dipercayakan kepada mereka.

Ayat (2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk

permintaan tersebut.

2) Pasal 179 KUHP

Ayat (1) setiap orang yang diminta pendapatnnya sebagai ahli

kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan

keterangan ahli demi keadilan

d. Hukum Acara Perdata

1. Pasal 146 ayat (3) HIR

2. Pasal 174 RBg.

e. Hukum Administrasi

Peraturan Pemerinta Nomor 10 Tahun 1996 tentang Wajib S impan

Rahasia Kedokteran. Pada peraturan tersebut diperluas berlakunya

wajib simpan rahasia kedokteran , juga bagi tenaga kesehatan lainnya,

seperti perawat, bidan , mahasiswa kedokteran ,ahli farmasi, analis

laboratorium, radiologi, dan lain-lainnya.

6. Undang undang Praktik kedokteran No 29 Tahun 2004

Pasal 48 tentang Rahasia Kedoktan, yaitu:

Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran

wajib menyimpan rahasia kedokteran.

Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan

kesehatan pasien, memenuhi paraturan penegak hukum dalam

rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau

berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan

Peraturan Menteri.

2.4 Hal-Hal yang dapat menggugurkan kewajiban dokter dalam menjaga

rahasia kedokteran

Seperti yang telah dibicarakan diatas, bahwa pada dasarnya kewajiban

menyimpan rahasia kedokteran sesungguhnya berlaku bagi setiap dokter yang

menjalankan tugas dan profesinya. Seorang dokter yang melanggar kewajiban

menyimpan rahasia kedokteran tanpa alasan-alasan yang dapat dibenarkan dapat

dituntut baik secara perdata maupun pidana dan tak ketinggalan pula akan mndapat

sanksi administrasi (Guwandi, 1992).

Namun terhadap kewajibannya ini sifatnya tidak mutlak. Artinya dalam

situasi-situasi tertentu seorang dokter dapat memberitahukan atau membeberkan

tentang rahasia kedokteran yang diketahuinya (Guwandi, 1992).

Menurut Herkutanto sebagai mana disitir oleh J.Guwandi ada beberapa

keadaan dimana dokter dapat membuka rahasia kedoktera tersebut tanpa sanksi

hukum. Keadaan tersebut dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu :

1. Adanya kerelaan atau izin pasien

2. Pembukaan rahasia kedokteran atas dasar KUHP pasal 48, 50, dan 51

(Guwandi, 1992).

Sementara itu, Eck mengemukakan 4 justifikasi untuk pengecualian

pengungkapan rahasia kedokteran yaitu :

1. Ijin dari yang pasien

2. Keadaan yang mendesak atau terpaksa

3. Peraturan perundang-undangan

4. Perintah jabatan yang sah

Pendapat lainnya dikemukakan oleh Fred Amelin yang mengatakan bahwa

ada 6 hal yang memungkinkan seorang dokter untuk membuka rahasia kedokteran,

yaitu :

1. Diatur oleh undang-undang

2. Pasien membahayakan umum atau membahayakan orang lain.

3. Pasien dapat memperoleh hak khusus

`4. Pasien secara sadar dan jelas memberikan izin.

5. Pasien menginginkan untuk ditemani seorang pendamping saat memasuki

ruang periksa dokter (Guwandi, 1992).

Dari beberapa pendapat diatas dapat kita simpulkan hal-hal apa saja yang

dapat menggugurkan seorang dokter dalam menjaga kerahasiannya yaitu antara lain

:

1. Adanya izin dari pasien

Dalam hal ini rahasia kedokteran adalah milik atau hak dari pasien,

sehingga hanya pasien lah yang satu-satunya dapat memutuskan apakah rahasia

tentang kondisi medisnya dapat diberitahukan kepada orang lain atau tidak . Izin dari

pasien ini juga yang melegalkan seorang dokter untuk mengungkapkan rahasia

kedokteran serorang pasien tanpa ancaman sanksi hukum. Izin ini dapat berupa izin

yang tertulis ataupun lisan (Chrisdiono, 1996).

2. Adanya keadaan yang mendesak

Hal ini sesuai dengan pasal 48 KUHP “Siapapun tak terpidana jika

melakukan suatu perbuatan karena terdorong oleh keadaan yang terpaksa” .

Terpaksa dalam hal ini bersifat relatif yaitu dimana terjadi karena adanya tekanan

atau kondisi darurat yang mana apabil kondisi itu tidak ada maka keadaan terpaksa

itu tidak ada (Chrisdiono, 1996).

3. Adanya peraturan perundang-undangan

Pasal 50 KUHP mengatakan “barangsiapa melakukan perbuatan

untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. Dalam hal ini dapat

dianggap bahwa secara materil oleh undang-undang sudah dipertimbangkan bahwa

terdapat kepentingan yang lebih besar dan secara formil justifikasinya terletak pada

adanya perundang-undangan (Chrisdiono, 1996).

4. Adanya perintah jabatan

Sebagai pembenar lain seorang dokter dapat tidak menjaga rahasia

kedokteran diatur pada pasal 51 KUHP. Pasal ini mengatur seorang dokter yang

mempunyai jabatan rangkap seperti dokter militer atau dokter penguji kesehatan

yang mana hasil medis dari pasien dapat diberitahukan kepada institusi yang

meminta tanpa perlu izin dari pasien terlebih dahulu (Chrisdiono, 1996).

5. Demi kepentingan umum

Alasan ini muncul karena dalam praktek kesaharian manusia dalam hal ini

seorang pasien merupakan public figure atau tokoh masyarakat yang dianggap

penting bagi masyarakat (Chrisdiono, 1996).

2.5 Hak Undur Diri Dokter

Hak ini dapat dipakai oleh seorang dokter apabila dia diminta untuk

memberikan kesaksian dipengadilan yang menyangkut rahasia kedokteran

(Chrisdiono, 1996).

Seorang dokter sebagai saksi atau ahli mungkin sekali diharuskan

memberikan keterangan tentang seseorang (misalnya terdakwa) yang sebelumnya

telah menjadi penderita yang ditanganinya. Ini seolah-olah dokter tersebut

diharuskan melanggar rahasia kedokterannya (Chrisdiono, 1996).

Kejadian yang bertentangan tersebut diatas dapat dihindarkan karena adanya

hak kuat undur diri, dimana seorang dokter mendapatkan perlindungan hukum

berdasarkan :

– Pasal 120 KUHAP

(1) Dalam hal penyidik perlu, ia dapat minta pendapat ahli atau orang yang memiliki

keahlian khusus

(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dimuka penyidik

bahwa ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-

baiknya, kecuali bila disebabkan harkat dan martabat pekerjaan jabatannya yang

mewajibkan ia menyimpan rahasia, dapat menolak untuk memberikan keterangan

yang diminta

– Pasal 170 KUHAP

“ Mereka yang pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan

rahasia, dapat diminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan

sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadanya”

(1) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan manusia

tersebut

– Pasal 277 HIR

(1) Barangsiapa yang karena martabatnya, pekerjaannya atau jabatannya yang sah,

diwajibkan menyimpan rahasia, boleh minta mengundurkan diri dari pada memberi

kesaksian, akan tetapi hanya dan terutama mengenai hal yang diketahuinya dan

dipercayakan padanya karena martabat, pekerjaan atau jabatannya

(2) Pertimbangan apakah permintaan untuk mengundurkan diri itu beralasan atau

tidak, diserahkan kepada pengadilan negara atau jika orang yang dipanggil untuk

memberikan kesaksian itu orang asing, maka pertimbangan itu diserahkan kepada

ketua pengadilan Negara (Chrisdiono, 1996).

2.6 Rahasia medis pasien HIV AIDS ( HAM ODHA vs HAM MASYARAKAT)

Masalah HIV / AIDS banyak sangkut pautnya dengan Rahasia Medis

sehingga kita harus berhati hati dalam menanganinya. Dalam mengadakan

peraturan hukum, selalu terdapat dilema antara kepentingan masyarakat dan

kepentingan perseorangan. Seringkali harus dipertimbangkan kepentingan mana

yang dirasakan lebih berat. Dalam sistim Demokrasi, Hak Asasi seseorang harus

diindahkan, namun Hak Asasi ini tidaklah berarti bersifat mutlak. Pembatasan dari

Hak Asasi seseorang adalah Hak Asasi orang lain didalam masyarakat itu. Dalam

hal ada pertentangan kepentingan, maka hak perorangan harus mengalah terhadap

kepentingan masyarakat banyak. Kebebasan atas kepentingan individu tidak

dipertahankan sedemikian rupa sehingga sampai membahayakan kepentingan orang

lain atau masyarakatnya. Namun kita melihat ada pengecualian bersifat rahasia

mutlak yang berkaitan dengan HIV / AIDS (Husein , 1993).

Dalam kasus kasus tertentu seorang dokter bisa berada dalam keadaan

dilema jika penyakit yang diderita pasien itu juga membahayakan masyarakat

sekitarnya ( HIV / AIDS, penyakit kelamin, wabah, dan sebagainya ). Tambah lagi

jika pasien tidak memberikan persetujuannya untuk diungkapkan rahasianya. Kecuali

kalau memang sudah diwajibkan oleh Undang Undang atau Peraturan yang lebih

tinggi tingkatnya, maka dokter itu wajib untuk melaporkan. Namun untuk HIV / AIDS

tampaknya masih dalam kedudukan istimewa, karena walaupun bisa

membahayakan atau menularkan istri dan anak anaknya, ia tetap masih dapat

perlindungan hukum (Husein , 1993).

Masalah AIDS juga ada kaitan erat dengan Informed Consent. Merupakan

tugas dan kewajiban seorang dokter untuk memberikan informasi tentang penyakit

penyakit yang diderita pasien dan tindakan apa yang hendak dilakukan, disamping

wajib merahasiakannya. Pada pihak lain kepentingan masyarakat juga harus

dilindungi (Husein , 1993).

Namun sebaliknya juga bisa timbul pertanyaan, jika seorang pasien

mengetahui bahwa dirinya sudah dihinggapi HIV / AIDS seharusnya ia pun wajib

untuk memberitahukannya, karena jika ia misalnya sampai harus dilakukan tindakan

medis seperti pembedahan terhadapnya, maka dokter dan tenaga medis lain bisa

tertular. Apakah kepentingan perseorangan harus dimenangkan terhadap

kepentingan orang lain ( dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain )? Hal ini secara

adil seharusnya juga perlu diwajibkan kepada pasiennya agar ia tidak

membahayakan orang lain. Namun sayangnya ketentuan ini belum ada, sehingga

kita masih berpedoman pada peraturan yang lama (Husein , 1993).

Pengaturan hukum tentang HIV / AIDS di negara kita pada saat ini hanya ada

2 yaitu:

1. Instruksi Menteri Kesehatan RI No 72 / Menkes / Instll / 1988 tentang kewajiban

melaporkan penderita dengan gejala AIDS. Ketentuan tersebut hanya ditujukan

kepada petugas kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan saja. Tindakan yang

diambil hanyalah pelaporan kepada Dirjen P2MPLP saja dengan memperhatikan

kerahasiaan pribadi.

2. Surat Keputusan Menko Kesra No 9 Tahun 1994 tentang Strategi Nasional

Penanggulangan HIV / AIDS " Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV / AIDS

harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang

bersangkutan ( Informed Consent ). Sebelum dan sesudahnya harus diberikan

konseling yang memadai dan hasil pemeriksaan wajib dirahasiakan." (Husein ,

1993).

Sejauh ini yang bisa diwajibkan menjalani uji HIV adalah kalangan anggota

militer dan narapidana. Para WTS pun tidak boleh dipaksakan untuk menjalani tes

HIV seperti waktu waktu dulu. Dapat ditambahkan pula, pada lamaran kerja di

perusahaan dapat dimintakan persetujuannya untuk juga dilakukan tes HIV, tetapi ini

secara sukarela dan juga harus ada persetujuan. Jika hasilnya positif maka secara

terselubung bisa ditolak penerimaannya. Biasanya dilakukan dengan cara halus,

memakai alasan lain. Pemeriksaan HIV /AIDS tidak bisa diwajibkan karena

bertentangan dengan HAM (Husein , 1993).

Kalau hasil pemeriksaan positif maka terdapat dilema, yaitu pada satu pihak

rahasia pasien harus dijaga, tidak boleh diungkap ke orang lain kecuali atas

persetujuan ( consent ) dari pasien itu sendiri. HAM akan dilanggar jika diberitahukan

kepada orang lain. Bagaimana dengan istrinya? Apakah seorang istri juga tidak

boleh diberitahu? Memang pemberitahuan ini mungkin bisa berakibat berat bagi si

suami, istri mungkin bisa minta cerai atau tidak mau melayaninya lagi. Sebenarnya

harus bisa dijelaskan dengan konseling tentang cara cara pencegahan dan

pendidikan tentang HIV / AIDS yang perlu diadakan sosialisasi yang lebih meluas.

Bagaimana dengan anak anaknya? Katanya anak anaknya bisa dikucilkan di sekolah

dan ia sendiri ada risiko diberhentikan dari pekerjaannya. Namun ini adalah risiko

yang mau tidak mau terpaksa harus dipikul oleh penderita HIV. Kalau istrinya sendiri

tidak boleh diberitahukan, apakah tidak akan bisa mengakibatkan menambah jumlah

penderita HIV / AIDS? Apakah sang istri harus turut menjadi korban? Istri / partner

seksual adalah orang yang paling rentan terhadap penularan. Jika boleh

diberitahukan, maka mata rantainya akan bisa diputuskan, dengan demikian maka

setidak tidaknya tidak akan menambah jumlah penderita AIDS.

BAB III

PEMBUKAAN RAHASIA KEDOKTERAN PASIEN HIV AIDS

Maftuh Fauzi, 27 tahun, mahasiswa Universitas Nasional yang ditangkap

polisi ketika berlangsungnya aksi pada 24 Mei silam, kemarin siang meninggal dunia.

Maftuh, mahasiswa jurusan Sastra Inggris, angkatan 2003 ini mengembuskan nafas

terakhir sekitar pukul 11.20 di ruang ICU Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta

Selatan (Bambang, 2008).

Menurut rekannya Rachel, pada tragedi Unas 24 Mei, kepala belakangnya

Fauzi dipukul tongkat karet oleh polisi. Sejak pemukulan itu, kata Rachel, kalau

kambuh Fauzi selalu marah-marah. Sedangkan Ceppy, teman sekampus almarhum

lainnya, menuturkan, setelah dibebaskan dari sel Polres Jakarta Selatan Fauzi sering

mengeluh kepalanya pusing (Bambang, 2008).

Fauzi bersama 30 mahasiswa Unas lainnya dibebaskan dari tahanan Polres

Jakarta Selatan pada 2 Juni lalu. Mereka ditangkap Sabtu pagi, 24 Mei silam, setelah

ratusan polisi menyerbu kampus Unas di Pejaten, Jakarta Selatan (Bambang, 2008).

Maftuh Fauzi mulai dirawat di RSP pertamina 18 Juni dini hari lalu. Sebelum

dia dirawat di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Jakarta

Timur, sejak 10 Juni. Sebelum dirawat di RS UKI, Fauzi berobat di Rumah Sakit

Umum Pasar Rebo (Bambang, 2008).

Dari status kesehatan dari RS UKI yang direbut dari tangan Direktur RSP

Pertamina, Mustofa Fauzi, selama dua pekan Naftuh mengalami trauma terbuka di

kepala bagian belakang. Akibatnya, pasien sering sakit kepala tiba-tiba sampai

hilang kesadaran(Bambang, 2008).

Perebutan berkas laporan kesehatan oleh aktivis Persatuan Mahasiswa

Jakarta itu dipicu ketidakpercayaan mereka terhadap penjelasan RSP Pertamina.

Menurut Dokter Widya Sarkawi, Wakil Direktur Medis RSP Pertamina, selama

dirawat kesadaran pasien menurun dan pernafasannya dibantu ventilator. Tapi, tiada

tanda-tanda kekerasan di tubuh Fauzi. "Hasil CT-scan (alat pemindai), kepala Fauzi

tak mengalami kelainan (Bambang, 2008).

Ia mengungkapkan, Fauzi meninggal karena infeksi berat pada fungsi

sistemiknya akibat kuman yang menyerang seluruh tubuh. Dua lapangan paru-

parunya terinfeksi sehingga sistem perputaran nafas tak normal. Sistem kekebalan

tubuh pun menurun (Bambang, 2008).

Akhirnya Widya membuka hasil screening, bahwa pasien positif mengidap

HIV. “Pemberitahuan ini atas izin orangtua pasien”, ujarnya di hadapan mahasiswa.

Keluarga menjemput jenasah almarhum di RSP Pertamina sekitar pukul 15.00.

Langsung dibawa ke Kebumen, ucap Mubtadi di rumah duka Jalam Danau Tempe III

Nomor 240 RT 08/06, Kelurahan Abadi Jaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok.

Rencananya, almarhum dimakamkan hari ini di Desa Adi Karto, Kecamatan Adi

Mulyo, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah (Bambang, 2008).

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesoia (PB IDI) siap membentuk tim guna

mengusut kemungkinan pelanggaran kode etik kedokteran dalam kasus kematian

Maftuh Fauzi, mahasiswa Universitas Nasional (UNAS) Pejaten Jakarta Selatan. Bila

diperlukan, IDI akan memprakarsai dibentuknya tim tertentu, kata Fahmi Idris, Ketua

Umum PB IDI (Anonim, 2008).

Dijelaskan Fahmi, PB IDI segera menggelar rapat untuk menindaklanjuti

pengaduan mahasiswa UNAS. Senin (23/6) kemarin, sejumlah perwakilan

mahasiswa didampingi pengacara publik dari LBH Jakarta mendatangi kantor PB IDI

di kawasan Menteng Jakarta Pusat. Mahasiswa meminta IDI memeriksa dokter dan

tenaga kesehatan yang telah mempublikasikan sebab kematian Fauzi karena

HIV/AIDS (Anonim, 2008).

Fahmi Idris menyatakan PB IDI belum biasa berbuat banyak merespon

desakan mahasiswa. Cuma, PB IDI bisa memprakarsai pembentukan tim

beranggotakan PB IDI, Komnas HAM, perwakilan UNAS, dan pihak RSPP. Meskipun

masih sebatas rencana mengumpulkan pengurus IDI, Fahmi dengan tegas

mengingatkan para dokter untuk taat pada sumpah dokter. Seluruh dokter terikat

sumpah untuk tidak menggunakan pertimbangan ras, politik, dan lain-lain dalam

menangani pasien, ujarnya (Anonim, 2008)

Ia juga mengecam petugas kesehatan yang membuka rahasia catatan medis

pasien tanpa persetujuan pasien atau keluarganya. Dalam konteks kematian Fauzi,

Fahmi akan menunggu hasil sidang kode etik kedokteran untuk memastikan apakah

ada alasan pemaaf dan alasan pembenar catatan medis Fauzi, khususnya yang

menyebutkan kematiannya karena infeksi HIV, dibuka ke publik. Selama tidak ada

faktor pembenar dan faktor pemaaf, sampai mati pun mereka (tenaga kesehatan-

red) tidak dapat membuka rahasia pasiennya, kata Fahmi dengan nada datar

(Anonim, 2008).

 

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus Maftuh Fauzi, diagnosa HIV ditegakkan karena kecurigaan dokter

terhadap penyakitnya yang telah merusak seluruh organ. Hal ini sangat kontradiktif

dengan keluhan sakit kepalanya setelah terkena pukulan di kepala beberapa hari

sebelumnya.

Widya, direktur RS, membuka hasil screening, bahwa pasien positif mengidap

HIV setelah mendapatkan ijin dari orang tua Mahfud. Namun Fahmi PB IDI,

mengecam petugas kesehatan yang membuka rahasia catatan medis pasien tanpa

persetujuan pasien atau keluarganya. Dalam konteks kematian Fauzi, Fahmi akan

menunggu hasil sidang kode etik kedokteran untuk memastikan apakah ada alasan

pemaaf dan alasan pembenar catatan medis Fauzi, khususnya yang menyebutkan

kematiannya karena infeksi HIV, dibuka ke publik. Selama tidak ada faktor pembenar

dan faktor pemaaf, sampai mati pun mereka (tenaga kesehatan-red) tidak dapat

membuka rahasia pasiennya.

Dalam hal ini, menurut Instruksi Menteri Kesehatan RI No 72 / Menkes /

Instll / 1988 tentang kewajiban melaporkan penderita dengan gejala AIDS yang

hanya ditujukan kepada petugas kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan,

tindakan Widya termasuk melanggar rahasia kedokteran, karena membuka rahasia

pasien pada publik tanpa seijin pasien, dalam kasus ini pasien telah meninggal. Bila

dokter menolak membuka rahasia medis dokter, dilindungi oleh pasal 120 KUHAP,

dimana dokter dapat menolak untuk membuka rahasia kedokteran seorang pasien

karena alasan jabatan.

Bila rahasia kedoteran terpaksa harus dibuka, harus memenuhi syarat yaitu

dokter dalam keadaan terpaksa, menjalankan peraturan perundang-undangan,

melakukan perintah jabatan dan demi kepentingan umum.

BAB V

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kewajiban dokter

untuk menyimpan rahasia kedokteran dapat gugur dan dokter tidak dikenai sanksi

hukum bila ada ijin dari pasien, dokter dalam keadaan terpaksa, dokter menjalankan

peraturan perundang-undangan, dokter melakukan perintah jabatan, demi

kepentingan umum.

Seorang dokter juga mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan Pasal

120 KUHAP, Pasal 170 KUHAP, pasal 277 HIR.

DAFTAR PUSTAKA

Amelyn, F.1999. Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta : Grafika Tama Jaya.

Anonim. 2008. Kematian Mahasiswa UNAS: IDI Siap Bentuk Tim Mengusut

Pelanggaran Kode Etik Kedokteran. Available at hukumonline.com. diakses pada

tanggal 16 agustus 2011 pada pukul 20.30

Bambang. 2008. Korban Tragedi Unas Meninggal. Available at

www.matahukum.com. Diakses pada tanggal 16 agustus 2011 pukul 20.30

Chrisdiono, M.Achadiat, 1996. Pernik-pernik Hukum Kedokteran (Melindungi Pasien

dan Dokter), Jakarta : Widya medika.

Husein Kerbala, 2001. Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent. Jakarta :

Pustaka Sinar Harapan.

Guwansdi, J. 1992. Trilogi Rahasia Kedokteran. Jakarta :FKUI

Soerjono Soekanto. 1998. Aspek Hukum Kesehatan (Kumpulan Catatan). Jakarta :

Ind-Hill CO.