76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
-
Upload
onix-radempthus-obinayonk -
Category
Documents
-
view
89 -
download
1
Transcript of 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
1/23
REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA
DI LINGKUNGAN TERMINAL TERBOYO SEMARANG
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mendengar kata pedagang asongan, supir, kondektur, dan calo mungkin sudah tak
asing lagi di telinga kita. Pedagang asongan adalah para pedagang yang biasa menjajakan
dagangannya di sekitar terminal dan di dalam bus-bus. Mereka selalu berupaya untuk
menarik pembeli agar membeli dagangannya, yang kadang juga suka terlihat sedikit
memaksa. Supir adalah para pengemudi bus atau angkot yang selalu terlihat di lingkungan
terminal. Kondektur adalah orang yang membantu supir untuk menarik penumpang ke dalam
angkot atau bus, sedangkan calo adalah perantara atau reseller. Kata calo kadang bersifat
negatif karena apa yang calo lakukan adalah menggunakan kesempitan orang menjadi suatu
kesempatan. Calo juga identik dengan preman atau penguasa daerah tertentu yang sudah
menjadi objek pencariannya.
Di lingkungan terminal, kita terkadang sering mendengar pembicaraan yang
diucapkan oleh pedagang asongan, supir, kondektur, dan calo yang sering mengucapkan kata-
kata kasar. Penulis sendiri pernah melihat bagaimana para supir angkot atau bus dengan
wajah terpaksa memberi sejumlahpersenan kepada calo. Mungkin bagi sebagian orang hal
yang dilakukan calo itu biasa saja, sehingga mereka pantas menerima sejumlah uang.
Lalu apa yang akan terjadi jika para supir dan kondektur tersebut tidak memberikan
uang yang tidak sesuai dengan keinginan calo. Yang terjadi selanjutnya adalah teriakan kata-
kata makian atau kata-kata kasar (sarkasme) yang keluar dari mulut calo tersebut kepada
supir dan kondektur. Sarkasme yang keluar dari mulut calo-calo itu biasanya adalah nama-
nama binatang dan jenis kelamin seseorang seperti anjing, monyet, babi, dan
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
2/23
sebagainya. Jika supir tidak menerima perkataan yang dilontarkan calo kadang-kadang
mereka pun membalas dengan makian yang lebih kasar, sehingga sering terjadi adu mulut
antara calo, supir, dan kondektur. Hal ini juga sering diikuti oleh pedagang asongan yang
sering menambah suasana menjadi ricuh.
Penulis akan meneliti fenomena kebahasaan yang terjadi pada dua bahasa, yaitu
bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Banyak hal yang membuat kata-kata kasar keluar dari
pemakainya. Sarkasme itu sendiri kadang bisa memancing kemarahan orang yang dituju, tapi
kadang juga tidak berpengaruh karena itu sudah menjadi hal yang lumrah untuk keduanya.
Dilihat dari sudut penuturnya, bahasa itu berfungsipersonalataupribadi (Halliday
1973; Finnocchiaro 1974; Jakobson 1960 menyebutkan fungsi emotif). Maksudnya, si
penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya
mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu
menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si
penutur sedih, marah, atau gembira.
Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif,
yaitu mengatur tingkah laku pendengar (Finnocchiaro 1974; Halliday 1973 menyebutkan
fungsi instrumental; dan Jakobson 1960 menyebutkan fungsi retorikal). Disini bahasa itu
tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang
sesuai dengan yang dimaui si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan
menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, imbauan, permintaan maupun
rayuan.
Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini
berfungsi fatik (Jakobson 1960; Finnocchiaro 1974 menyebutkan interpersonal; dan
Halliday 1973 menyebutkan interactional), yaitu fungsi menjadi hubungan, memelihara,
memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas nasional.
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
3/23
Dalam masyarakat, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sangat beragam.
Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para
penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena interaksi sosial yang mereka lakukan
beragam.
MenurutMoeliono (1980:17), mengikuti Quirk, Grenbaum, Leech, Svarvik(1972),
ditinjau dari sudut pandangan penuturnya, ragam dapat diperinci menurut patokandaerah,
pendidikan, dan sikap penutur.
Sarkasme adalah sejenis majas yang mengandung mengolok-olok atau sindiran
pedas dengan menyakiti hati (Purwadarminta dalam Tarigan, 1990:92). Apabila
dibandingkan dengan ironi dan sinisme, maka sarkasme ini lebih kasar. Menurut Badudu
(1975:78), sarkasme adalah gaya sindiran terkasar. Memaki orang dengan kata-kata kasar dan
tak sopan di telinga. Biasanya diucapkan oleh orang yang sedang marah.
Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti aktivitas sosial lainnya, kegiatan bahasa
bisa terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, pembicara dan lawan
bicara sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya,
penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan
bicaranya. Setiap peserta tindak ucap bertanggung jawab terhadap tindakan dan
penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi sosial itu (Alan dalam Wijana,
2004:28).
Di dalam berbahasa juga terdapat etika komunikasi, dan di dalam etika komunikasi
itu sendiri terdapat moral. Moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan yang
memuat ajaran tentang baik dan buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai
perbuatan yang baik atau buruk (Burhanudin Salam, 2001:102).
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
4/23
Etika juga bisa diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau
tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri juga sering
digunakan dengan kata moral, susila, budi pekerti dan akhlak (Burhanudin Salam, 2001:102).
Sementara itu, secara sederhana Prof. I. R. Poedjowijatna (1986), mengatakan
bahwa sasaran etika khusus kepada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan secara
sengaja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa realisasi kesantunan berbahasa di
lingkungan terminal banyak yang tidak mengandung etika.
Dalam berkomunikasi, tidak akan pernah lepas dengan adanya pola berbahasa yang
diucapkan kasar, baik berupa mengolok-olok atau sindiran yang menyakitkan hati. Seperti
tuturan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur tidak mengandung
unsur kesantunan berbahasa. Misalnya, mudah marah, kata-katanya kasar, dan bersifat
memaksa saat meminta uang karena mereka merasa penguasa tempat tersebut.
Suparno menjelaskan dalam artikelnya, bahwa ragam bahasa yang tidak santun ini
menjadi hal yang lazim diucapkan. Sarkasisasi tersebut justru menjadikan keakraban tanpa
sekat strata, sehingga mereka yang menggunakan ragam bahasa tersebut dapat menikmatinya
dengan senang dan bangga hati.
Fenomena kebahasaan ini tentu saja menarik untuk diteliti karena dapat menambah
wawasan keilmuan linguistik saat ini. Penulis memilih analisis kesantunan berbahasa pada
tuturan orang-orang penghuni terminal berdasarkan pertimbangan bahwa; ragam bahasa yang
kasar kerap kali menjadi instrumen komunikasi dalam pergaulan sebagian masyarakat
Indonesia. Baik kalangan yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan, karena
penelitian mengenai kesantunan berbahasa ini masih jarang dilakukan, maka penulis tertarik
untuk menelitinya.
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
5/23
1. 2. Identifikasi Masalah
Hal-hal yang diidentifikasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. wujud ragam bahasa yang dipakai oleh calo, pedagang asongan, supir, dan
kondektur;
2. bahasa yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur banyak
yang tidak santun;
3. ragam bahasa yang tidak sepantasnya diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir,
dan kondektur dan;
4. penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo,
pedagang asongan, supir, dan kondektur.
1. 3. Batasan Masalah .
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya terbatas pada hal-hal
sebagai berikut:
1. tuturan calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang tidak mengandung
kesantunan;
2. ragam bahasa yang tidak sepantasnya diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir,
dan kondektur;
3. penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang
asongan, supir, dan kondektur di terminal angkot/bus.
1. 4. Rumusan Masalah:
1. Bagaimana realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal?
2. Apa sajakah wujud ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh calo,
pedagang asongan, supir, dan kondektur?
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
6/23
3. Bagaimana penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang
asongan, supir, dan kondektur?
4. Bagaimana persepsi penyimak bahasa yang berasal dari luar lingkungan terminal
terhadap realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal?
1. 5. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. mendeskripsikan kesantunan berbahasa oleh calo, pedagang asongan, supir, dan
kondektur di lingkungan terminal;
2. untuk mencari tahu ragam bahasa yang digunakan oleh calo, pedagang asongan, supir,
dan kondektur di lingkungan terminal;
3. mendeskripsikan penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo,
pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal dan;
4. mengetahui persepsi penyimak bahasa di luar lingkungan terminal terhadap
kesantunan berbahasa calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur.
1. 6. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut.
1. Untuk kajian linguistik, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya data
tentang penelitian bahasa-bahasa kasar.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendokumetasikan nilai-nilai kesantunan yang
dituturkan di lingkungan terminal.
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
7/23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Teori yang digunakan dalam penelitian ini bersifat elastis, artinya penelitian ini
tidak bertumpu pada satu teori tertentu, tetapi berpegang pada beberapa teori yang dianggap
cocok dan sejalan dengan penelitian ini. Adapun teori-teori yang dijabarkan dari tinjauan
pustaka dan ditinjau oleh penelitian sebagai landasan teori dalam memecahkan masalah.
2. 1. Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda
menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang
yang dibicarakan dan menurut medium pembicaraan (Kridalaksana, 2001:184).
Ragam bahasa yang terjadi tergantung pemakaian topik yang dibicarakan, misalnya
ada yang resmi tidak resmi, santun tidak santun, bijak tidak bijak dan lain-lain. Ragam bahasa
yang terjadi di lingkungan terminal ini akan ditelaah antara resmi tidak resmi, santun tidak
santun, dan bijak tidak bijak.
Suwito (1983: 29), mengemukakan bahwa variasi adalah sejenis ragam bahasa
yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan kaidah-
kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan.
Ragam bahasa adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu
dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Sedangkan ragam itu timbul
karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi yang sesuai dengan konteks
sosialnya. Adanya berbagai ragam menunjukkan bahwa pemakaian bahasa (tutur) itu bersifat
aneka ragam (heterogen).
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
8/23
Pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga
oleh faktor-faktor nonlinguistik. Sedangkan faktor-faktor nonlinguistik yang berpengaruh
terhadap pemakaian bahasa antara lain ialah faktor sosial dan faktor situasional. Adanya
kedua faktor itu dalam pemakaian bahasa menimbulkan ragam bahasa yaitu bentuk-bentuk
bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola-pola menyerupai pola
umum bahasa induknya (Poedjosoedarmo dalam Suwito, 1983 : 23). Adapun wujud ragam
atau ragam bahasa itu dapat berupa :
1. idiolek, sifat khas tuturan seseorang yang berbeda dengan tuturan orang lain. Sifat-
sifat khas itu bisa disebabkan oleh faktor fisik atau faktor psikis;
2. dialek, dialek dibagi menjadi dua macam yaitu:
a. Dialek geografis adalah ragam yang timbul karena perbedaan asal daerah
penuturnya.
b. Dialek sosial atau sosiolek adalah ragam yang disebabkan oleh perbedaan
kelas sosial penuturnya.
3. register yaitu ragam bahasa yang disebabkan karena sifat-sifat khas kebutuhan
pemakaiannya;
4. undak-usukyaitu ragam bahasa yang pemakaiannya didasarkan pada tingkat-tingkat
kelas atau status sosial interlekutornya (Suwito, 1983: 22-23).
2. 2. Tindak Tutur
Tindak tutur terbagi menjadi 2 jenis, yaitu 1) tindak tutur langsung dan 2) tindak
tutur tidak langsung.
Bentuk tindak tutur langsung seperti itu banyak digunakan dalam bahasa inggris
(Leech, 1983:14). Bentuk ini merupakan penggabungan dua ciri. Salah satunya adalah
penggabungan dengan ciri-ciri pertanyaan.
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
9/23
Dalam pragmatik kata tuturan ini dapat digunakan sebagai produk suatu tindak
verbal (Leech, 1983:14). Definisi ini berjalan dengan salah satu definisi tuturan menurut
Kridalaksana (1993:222) yang mengatakan tuturan sebagai kalimat atau bagian kalimat yang
dilisankan. Maksudnya tuturan adalah pemakaian satuan bahasa seperti kalimat, sebuah kata
oleh seorang penutur tertentu pada situasi tertentu.
Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu yang sebenarnya kita lakukan ketika
kita berbicara. Ketika kita terlibat dalam suatu percakapan kita melakukan beberapa tindakan
seperti melaporkan, menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, dan lain-lain. Suatu tindak
tutur dapat didefinisikan sebagai unit terkecil aktivitas berbicara yang dapat dikatakan
memiliki fungsi. Dalam kajian tindak tutur ini tuturan sebagai kalimat atau wacana yang
terkait konteks, pengistilahannya berbeda-beda. Hudson dalam sosiolinguistik Suryatin
(1998:87) memberikan istilah tuturan dengan ujaran. John L. Austin dalam Wijana
menggunakan istilah tuturan. Tuturan atau ujaran sebagai rangkaian unsur bahasa yang
pendek atau panjang yang digunakan dalam berbagai kesempatan yang berbeda untuk tujuan-
tujuan berbeda. Istilah tuturan atau ujaran ini mencakup wacana lisan dan wacana tertulis.
2. 3. Kesantunan (Politenes)
Prinsip kesantunan menurut Leech (1993) menyangkut hubungan antara peserta
komunikasi, yaitu penutur dan pendengar. Oleh sebab itulah mereka menggunakan strategi
dalam mengajarkan suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun tanpa
menyinggung pendengar.
Prinsip kesantunan adalah peraturan dalam percakapan yang mengatur penutur
(penyapa) dan petutur (pesapa) untuk memperhatikan sopan santun dalam percakapan.
Setiap kali berbicara dengan orang lain, dia akan membuat keputusan-keputusan
menyangkut apa yang ingin dikatakannya dan bagaimana menyatakannya. Hal ini tidak hanya
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
10/23
menyangkut tipe kalimat atau ujaran apa dan bagaimana, tetapi juga menyangkut variasi atau
tingkat bahasa sehingga kode yang digunakan berkaitan tidak saja dengan apa yang
dikatakan, tetapi juga motif sosial tertentu yang ingin menghormati lawan bicara atau ingin
mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota golongan tertentu.
Secara umum, santun merupakan suatu yang lazim dapat diterima oleh umum.
Santun tidak santun bukan makna absolut sebuah bentuk bahasa. Karena itu tidak ada kalimat
yang secara inheren santun atau tidak santun, yang menentukan kesantunan bentuk bahasa
ditambah konteks ujaran hubungan antara penutur dan petutur. Oleh karena itu, situasi varibel
penting dalam kesantunan.
Kesantunan merupakan sebuah fenomena dalam kajian pragmatik. Setidaknya ada
empat ancangan kesantunan dari para ahli yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda,
yaitu:
1) Kesantunan dilihat dari pandangan kaidah sosial tokohnya adalah Lakoff (1973);
2) Kesantunan dilihat dari pandangan kontak percakapan tokohnya adalah Fraser (1990);
3) Kesantunan dilihat dari pandangan maksim percakapan tokohnya adalah Leech (1993);
4) Kesantunan dilihat dari pandangan penjagaan muka tokohnya adalah Brown dan
Levinson (1987).
2. 3. 1. Prinsip Kesantunan Leech
Leech (1993) membahas teori kesantunan dengan menitikberatkan atas dasar
nosi, (1) biaya/cost dan keuntungan/benefit, (2) kesetujuan/agreement, (3)
pujian/approbation, (4) simpati/antipati. Leech (1993) sendiri mendefinisikan prinsip
kesantunan yaitu dengan cara meminimalkan ungkapan yang kita yakini tidak santun.
Ada enam maksim menurut Leech (1993) yakni:
1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
11/23
a. Kurangi kerugian orang lain.
b. Tambahi keuntungan orang lain.
2) Maksim Penerimaan/ Penghargan (Approbation Maxim)
a. Kurangi keuntungan diri sendiri.
b. Tambahi kerugian diri sendiri.
3) Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
a. Kurangi cacian pada orang lain.
b. Tambahi pujian orang lain.
4) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
a. Kurangi pujian pada diri sendiri.
b. Tambahi cacian pada diri sendiri.
5) Maksim Kesepakatan/Kecocokan (Agreement Maxim)
a. Kurangi ketidakcocokan antara diri sendiri dengan orang lain.
b. Tingkatkan kecocokan antara diri sendiri dengan orang lain.
6) Maksim Simpati (Sympath Maxim)
a. Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
b. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. (Tarigan, 1990:
82-83 dalam Rahardi 2005: 5)
Maksim yang berskala dua kutub karena berhubungan dengan
keuntungan/kerugian diri sendiri dan orang lain (Wijana, 1996: 55-60).
1. Maksim yang berpusat pada orang lain.
a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
b. Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
2. Maksim yang berpusat pada diri sendiri.
a. Maksim Penerimaan/Penghargaan (Approbation Maxim)
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
12/23
b. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim).
Maksim yang berskala satu kutub karena berhubungan dengan penilaian buruk
bagi penutur terhadap dirinya sendiri/orang lain.
1. Maksim Penerimaan (Approbation Maxim)
2. Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim)
2. 3. 2. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan
2. 3. 2. 1. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
Setiap peserta pertuturan meminimalkan kerugian orang lain atau
memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.
Contoh pematuhan:
(+) : Mari saya bawakan buku Anda.
() : Jangan tidak usah (Wijana, 1996: 56)
Dengan perkataan lain, menurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapat
dilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik.
2. 3. 2. 2. Maksim Penerimaan (Approbation Maxim)
Diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif. Agar setiap penutur sedapat
mungkin menghindari mengatakan sesuatu yang tidak mengenakan orang lain, terutama
kepada orang yang diajak bicara (lawan tutur).
Contoh pematuhan :
(+) : Saya mengundangmu ke rumah untuk makan malam.
() : Terima kasih (Wijana, 1996; 57)
Dengan perkataan lain, menurut maksim ini, bahwa orang dianggap santun
dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada orang lain. Dengan
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
13/23
maksim ini, diharapkan agar peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci,
atau saling merendahkan pihak yang lain.
2. 3. 2. 3. Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
Dengan maksim kemurahan ini, para peserta pertuturan diharapkan dapat
menghormati orang lain. Penghormatan ini akan terjadi apabila orang dapat mengurangi
keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Tidak
hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku santun, tetapi di
dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan
berperilaku demikian (Wijana, 1996: 55-60).
Contoh Pematuhan :
(+) : Permainan Anda sangat bagus.
() : Ah, biasa saja. Terima kasih. (Wijana, 1996: 58)
2. 3. 2. 4. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
Diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila kemurahan hati
berpusat pada orang lain, maksim ini berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut
setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan
meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Contoh Pelanggaran :
(+) : Kau sangat pandai.
() : Ya, saya memang pandai.
2. 3. 2. 5. Maksim Kesepakatan/Kecocokan (Agreement Maxim)
Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib
memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah,
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
14/23
penutur layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda
kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang
mendapatkan kebahagiaan dan kedukaan.
Contoh Pelanggaran :
(+) : Kemarin motorku hilang.
() : Oh, kasian deh lu. (Wijana, 1996:60)
2. 3. 2. 6. Maksim Simpati (Sympath Maxim)
Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib
memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah,
penutur layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tanda
kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang
mendapatkan kebahagiaan dan kedudukan.
Contoh Pelanggaran :
(+) : Kemarin motorku hilang.
() : Oh, kasian deh lu (Wijana, 1996:61)
2. 4. Skala Kesantunan Leech
Di dalam model kesantunan Leech (1983), setiap maksim interpersonal itu dapat
dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan.
Bersifat skala kesantunan yang disampaikan Leech ini selengkapnya.
1. Cost-benefit scale: representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer.
2. optionality scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and or hearer
by a specific liguitic act.
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
15/23
3. indirectness scale: Indicating the amount of inferencing required of the hearer in the
order to establish the intended speaker meaning.
4. authority scale: representing the status relationship between speaker and hearer.
5. sosial distence scale: Indicating the degree of familiarity between speaker and hearer.
(Leech, 1983: 123-126).
Kelima macam skala pengukur kesantunan Leech (1983) itu satu persatu dapat
dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikut:
1. cost benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar
kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada
sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin
dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu
menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu.
Apabila hal demikian itu dilihat dari kacamata si mitra tutur dapat dikatakan bahwa
semakin menguntungkan diri mitra tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah
tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri, si mitra tutur
akan semakin santunlah tuturan itu.
2. optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan
yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin
pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang
banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila
pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur
dan mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun. Berkaitan dengan
pemakaian tuturan imperatif itu menyajikan banyak pilihan tuturan akan semakin
santunlah pemakaian tuturan imperatif itu.
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
16/23
3. indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung
atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung
akan dianggap semakin santun lagi tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak
langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santun tuturan itu.
4. authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara
penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat
sosial antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan yang digunakan akan cenderung
menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial
diantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang
digunakan dalam bertutur itu.
5. sosial dictance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan
sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada
kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan
semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak
peringkat sosial antara penutur dan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang
digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur
dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan
dalam bertutur.
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
17/23
BAB 3
METODE PENELITIAN
3. 1. Metode dan Teknik Penelitian
Latar belakang dan masalah yang muncul dalam penelitian ini adalah masalah-
masalah faktual. Maksudnya, masalah kesantunan berbahasa adalah masalah yang sedang
dihadapi oleh pemakai bahasa Indonesia sekarang. Penelitian ini menggunakan analisis
kualitatif bersifat deskriptif. Data yang dihasilkannya berupa kata-kata dan kalimat-kalimat
yang termasuk kategori sarkasme yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan
kondektur di lingkungan terminal.
Istilah deskriptif itu menyarankan bahwa penelitian yag dilakukan semata-mata
hanya berdasarkan pada fakta-fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris
hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian
bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti adanya. Bahwa perian
yang deskriptif itu tidak mempertimbangkan benar salahnya penggunaaan bahasa oleh
penutur-penuturnya, hal itu merupakan cirinya yang pertama dan terutama (Sudaryanto :
1992:62).
Dalam hal ini penulis membuat deskripsi tentang bagaimana tuturan yang
digunakan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. Selain itu, penulis juga
mengumpulkan fakta-fakta mengenai respons para penutur bahasa Indonesia yang tidak
menggunakan tuturan sarkasme yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan
kondektur. Dengan demikian, dari kedua fakta tersebut di atas dapat diperoleh persepsi yang
muncul dari penutur bahasa Indonesia ketika menerima suatu tuturan sarkasme calo,
pedagang asongan, supir dan kondektur tersebut.
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
18/23
Metode penelitian deskriptif kualitatif dipilih karena penulis mengidentifikasi serta
mendeskripsikan masalah-masalah yang berkenaan dengan tuturan yang tidak santun dan
respons penutur melalui wawancara. Selanjutnya, penulis memperoleh data bagaimana
persepsi yang muncul dari para penutur bahasa Indonesia ketika menerima tuturan yang tidak
santun.
3. 1. 1. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, teknik
rekam, dan teknik catat. Penulis terlebih dahulu mengobservasi dengan mengamati situasi
dan keadaan lingkungan, kemudian melakukan wawancara kepada calo, pedagang
asongan, supir, dan kondektur dengan melakukan wawancara berstruktur untuk
mendapatkan informasi yang relevan. Selanjutnya, dengan teknik rekam penulis merekam
kejadian faktual di lapangan. Terakhir langkah dilakukan dengan teknik catat, yaitu
mencatat semua kejadian dari tuturan calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di
Terminal Terboyo Semarang.
Selanjutnya, proses pengumpulan data sebagai berikut:
1. Teknik Rekam
Penulis meminta bantuan kepada teman yang berada di Jakarta Pusat menggunakan
telepon genggam atau handphone untuk merekam tuturan yang diucapkan oleh calo,
pedagang asongan, supir, dan kondektur, sehingga penulis akan mendapatkan data
mengenai realisasi kesantunan berbahasa yang ada di lingkungan terminal, khususnya
Terminal Terboyo Semarang.
2. Teknik Catat
hasil dari proses rekaman tuturan tersebut kemudian ditranskripsi beserta konteks
yang dituturkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. Setelah itu, akan
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
19/23
didapatkan data tentang wujud ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh
calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal.
3. Teknik Observasi
setelah data tertulis didapat, selanjutnya mengobservasi situasi dan keadaan
lingkungan terminal. Melalui teknik ini kita akan mendapatkan data tentang
penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir,
dan kondektur yang ada di lingkungan terminal.
4. Teknik Wawancara
setelah hasilnya ditranskripsi selanjutnya dengan mewawancarai calo, pedagang
asongan, supir, dan kondektur. Selain itu, penulis juga mewawancarai penutur bahasa
yang bertutur kata sopan dan santun sehingga akan diketahui persepsi penyimak
bahasa terhadap realisasi kesantunan berbahasa yang berasal dari luar lingkungan
terminal.
3. 1. 2. Teknik Pengolahan Data
Untuk mengetahui tipe-tipe kesantunan berbahasa dan maksud penuturnya
memakai ragam bahasa tersebut, yaitu dengan teknik rekam dan teknik catat. Pertama,
teknik rekam, yaitu saat penutur memakai bahasa kasar, penulis tanpa diketahui oleh
penutur merekam tuturan yang diucapkan penutur yang mengandung kata-kata kasar.
Selanjutnya, data tersebut ditranskripsi agar lebih mudah mengenali unsur-unsur realisasi
kesantunan dari setiap ujaran.
Kedua, teknik catat, yaitu dengan mencatat fenomena kebahasaan yang telah
direkam, lalu dari hasil transkripsi telah diperoleh data tulis yang selanjutnya dapat
diidentifikasi. Proses identifikasi dari setiap data yang dilakukan untuk memisahkan
kalimat mana yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan lagi.
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
20/23
Setelah selesai melakukan dengan teknik rekam dan teknik catat, selanjutnya
adalah dengan penyalinan ke dalam kartu data dan menganalisisnya, sehingga akan
diperoleh data yang relevan.
Berikut ini adalah rincian langkah-langkah dalam mengolah data yaitu
sebagai berikut:
1. Mentranskrip Data Hasil Rekaman
Setelah penulis memperoleh data berupa tuturan dari calo, pedagang asongan,
supir dan kondektur melalui hasil rekaman, maka selanjutnya mentranskripsi
memindahkan data tersebut dengan cara menulis kembali semua hasil tuturan yang
diujarkan oleh calo, pedagang asongan, supir dan kondektur.
2. Mengidentifikasi dan Mengklarifikasi Data
Berdasarkan hasil transkripsi diperoleh data tertulis yang selanjutnya siap
untuk diidentifikasi. Proses identifikasi berarti mengenali/menandai data untuk
memisahkan kalimat mana yang dibutuhkan untuk tahap selanjutnya, dan mana yang
tidak dibutuhkan.
3. Menyalin ke Dalam Kartu Data
Setelah data yang diperlukan sudah terkumpul, maka selanjutnya adalah
penyalinan tiap tuturan yang telah diidentifikasi ke dalam kartu data. Hal itu
dimaksudkan agar mudah untuk mengelompokkan tuturan tersebut menurut
karakteristik tertentu.
4. Menganalisis Kartu Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan tuturan ketidaksantunan
dan teori pragmatik dengan prinsip kesopanan Leech. Dari analisis kartu data tersebut
akan tergambar kesantunan berbahasa calo, pedagang asongan, supir dan kondektur di
lingkungan terminal.
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
21/23
5. Lembar Wawancara Untuk Responden Penutur Bahasa Indonesia
Penulis mengajukan pertanyaan kepada penutur bahasa Indonesia, kemudian
menganalisis dan mengolahnya. Data dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan
data tentang penutur bahasa Indonesia (jenis kelamin, usia, pendidikan, profesi)
berdasarkan data yang telah dikelompokkan menggunakan kartu data tersebut.
6. Menyimpulkan
Untuk tahap terakhir, hasil analisis akan menghasilkan simpulan berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan.
3. 2. Sumber
3. 2. 1. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah calo, pedagang asongan, supir dan
kondektur yang terdapat di lingkungan Terminal Terboyo Semarang.
3. 2. 2. Instrumen Penelitian
Instrumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Lembar pedoman observasi.
Lembar pedoman wawancara.
Kartu data untuk memudahkan penganalisisan data.
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
22/23
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar (2003).Pokoknya Kualitatif. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya dan
Pustaka Studi Sunda.
Chaer, Abdul. 1994.Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
Hanafi, Abdillah. 1984.Memahami Komunikasi Antar Manusia. Surabaya: Usaha Nasional.
Hasan, Alwi. 1995. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Harras, Kholid A. Santun Berbahasa. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
_______. ____. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta : Balai Pustaka.
_______. 2009.Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, EYD TERBARU
(Permendiknas Nomor 46 Tahun 2009). Yogyakarta: Pustaka Timur.
Kridalaksana, Harimurti. 2001.Kamus Linguistik. Jakarta : PT. Gramedia.
Leech, Geoffrey. 1993.Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Muslich, Masnur. 2010. GARIS-GARIS BESAR TATA BAKU BAHASA INDONESIA.
Bandung: PT Refika Aditama.
Nurudin. 2003.Komunikasi Massa. Yogyakarat : Pustaka Pelajar.
Rahardi, Kunjana. 2005.PRAGMATIK, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta :
Erlangga.
Ruhendi Saefullah, Aceng. 2001.Perwujudan Prinsip Kerjasama dalam Teks Wawancara.
Tesis. Jakarta : Universitas Indonesia.
Ruhendi Saefullah, Aceng. 2003.Pragmatik Dari Morris Sampai Van Dijk Dan
Perkembangannya Di Indonesia. Jurnal @rtikulasi volume 3. Bandung : FPBS.
-
7/16/2019 76814049-REALISASI-KESANTUNAN-BERBAHASA
23/23
Sulistiany, Idris Nuny. 2006.Hand Out Perkuliahan Metode Penelitian Linguistik. Bandung :
Universitas Pendidikan Indonesia.
Sumarsono, dan Paina Partama. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan
Sabda.
Tarigan, Henry Guntur. 1985.Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung : Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1986.Pengajaran Pagmatik. Bandung : Angkasa.
Wijana, I Dewa Putu. 1996.Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta : Andi.
Akmal. 2006.Indonesia (super) ego. http : // opini pribadi. Blogspot. com
Bagus, Indonesia. 2006. Calo. http : // opini pribadi. Blogspot. com.
http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama
http://www.google.co.id/
http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utamahttp://www.google.co.id/http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utamahttp://www.google.co.id/