70300946-Patofisiologi-cedera-kepalA

37
Patofisiologi Cedera Kepala Pendahuluan Cedera kepala masih menjadi penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas di Amerika Serikat, meskipun sudah terjadi kemajuan dalam bidang ilmu kegawatdaruratan, perawatan intensif, dan ilmu bedah saraf mengenai trauma. Adanya berbagai program pencegahan seperti penggunaan peralatan keselamatan seperti sabuk pengaman, kantung udara (airbag), penggunaan helm, dan batas kadar alkohol dalam darah yang diizinkan, telah memberikan dampak yang positif pada epidemiologi cedera kepala berat. Hasil keluaran dari pasien yang mengalami cedera kepala, kadang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada di luar kontrol para klinisi, seperti tingkat keseriusan dari cedera kepala yang mendasari dan adanya cedera pada sistem organ utama yang lainnya. 1-2 Cedera kepala mayor didefinisikan oleh Yayasan Cedera Kepala Nasional di Amerika Serikat sebagai akibat traumatik pada otak yang dapat menyebabkan perubahan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan tingkah laku. Cedera kepala berat umumnya didefinisikan sebagai cedera yang mengakibatkan kondisi koma, dimana koma yang terjadi 1

description

pdf

Transcript of 70300946-Patofisiologi-cedera-kepalA

Patofisiologi Cedera Kepala

Pendahuluan

Cedera kepala masih menjadi penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas

di Amerika Serikat, meskipun sudah terjadi kemajuan dalam bidang ilmu

kegawatdaruratan, perawatan intensif, dan ilmu bedah saraf mengenai trauma.

Adanya berbagai program pencegahan seperti penggunaan peralatan keselamatan

seperti sabuk pengaman, kantung udara (airbag), penggunaan helm, dan batas kadar

alkohol dalam darah yang diizinkan, telah memberikan dampak yang positif pada

epidemiologi cedera kepala berat. Hasil keluaran dari pasien yang mengalami cedera

kepala, kadang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada di luar kontrol para klinisi,

seperti tingkat keseriusan dari cedera kepala yang mendasari dan adanya cedera pada

sistem organ utama yang lainnya. 1-2

Cedera kepala mayor didefinisikan oleh Yayasan Cedera Kepala Nasional di

Amerika Serikat sebagai akibat traumatik pada otak yang dapat menyebabkan

perubahan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan tingkah laku. Cedera kepala berat

umumnya didefinisikan sebagai cedera yang mengakibatkan kondisi koma, dimana

koma yang terjadi tidak disebabkan oleh kondisi ekstrakranial (seperti intoksikasi

yang berat) dan tetap berlanjut setidaknya dalam beberapa waktu setelah periode

resusitasi akut. Dengan menggunakan Skala Koma Glasgow, yang merupakan metode

yang paling umum untuk mendiagnosis koma traumatik, adalah pada pasien yang

tidak membuka matanya meskipun telah diberikan stimulus nyeri, tidak mengluarkan

kata-kata, atau bahkan mengikuti perintah sederhana, dinyatakan dalam keadaan

koma. 3-4

Insiden

Insiden cedera kepala di Amerika Serikat adalah sekitar 200/100.000 orang

setiap tahun. Dari jumlah penduduk Amerika Serikat yaitu sekitar 250 juta jiwa,

1

sekitar 500.000 orang mengalami cedera kepala setiap tahun yang cukup berat dan

membutuhkan pertolongan medis. Diantara mereka, sekitar 40.000-50.000 orang

meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Di Amerika Serikat setiap tahun, sekitar 1

juta orang dirawat akibat cedera kepala, dan sekitar 230.000 orang lainnya masuk ke

rumah sakit akibat cedera kepala. Di Amerika Serikat, sekitar 50% cedera kepala

merupakan akibat dari kecelakaan lalu lintas, dan sekitar 13-15% cedera kepala

merupakan akibat dari luka tembak. Di Amerika Serikat, lebih dari separuh kasus

kecelakaan lalu-lintas mengakibatkan kematian (15% dari semua kematian

merupakan akibat dari kecelakaan lalu lintas) atau cedera kepala berat. Diperkirakan

sekitar 5,3 juta penduduk Amerika Serikat saat ini hidup dengan disabilitas yang

permanen akibat cedera otak traumatik. Penggunaan helm telah terbukti dapat

mengurangi kasus ini secara signifikan. Sedangkan di negara lainnya, didapatkan pola

kejadian cedera yang berbeda. Cedera kepala yang terjadi pada pejalan kaki,

insidennya tinggi di Nigeria dan beberapa tempat di Inggris. Di beberapa tempat di

Afrika Selatan, cedera otak akibat luka tusuk pisau merupakan hal yang sangat sering

terjadi. Cedera otak didapatkan pada setengah dari kematian akibat trauma, dan

penggunaan alkohol serta obat-obatan ditemukan pada setengah dari kasus tersebut.

Para pengguna alkohol kronik memiliki risiko yang lebih tinggi akibat tingginya

frekuensi kejadian cedera kepala, atrofi cerebral, dan koagulopati. Biaya finansial

yang dibutuhkan sangat tinggi (lebih dari 4 milyar dolar setiap tahun) tidak hanya

untuk perawatan pada kasus akut tetapi juga untuk biaya perawatan jangka panjang

serta hilangnya kemampuan kerja akibat yang terkena cedera kepala biasanya mereka

yang tergolong umur produktif (umur rata-rata 30 tahun). 1, 4-7

Insiden puncak dari kejadian cedera kepala terjadi pada umur 15-24 tahun

atau pada dekade kedua sampai ketiga. Insiden puncak yang kedua terjadi pada bayi

dan orang berumur tua. Cedera kepala masih tetap merupakan penyebab kematian

utama pada dewasa muda dan 2 sampai 3 kali lebih sering terjadi pada laki-laki.

Perbandingan antara laki-laki dengan perempuan bervariasi antara 2:1 dan 3:1. Orang

yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya cedera otak traumatik adalah dewasa

2

muda berumur 15-30 tahun, bayi umur 6 bulan sampai 2 tahun, anak umur sekolah,

dan orang berumur tua. Bayi memiliki risiko yang lebih tinggi karena ukuran dari

kepala yang relatif lebih besar, dan kompresibilitas dari tulang tengkorak. Orang

berumur tua memiliki risiko tinggi untuk terjadinya cedera intrakranial, khususnya

hematom subdural. Atrofi cerebral menyebabkan peregangan vena-vena penghubung

antara duramater dengan parenkim otak, dan membuat vena ini rawan untuk

mengalami robekan akibat kekuatan deselerasi. Cedera kepala traumatik ditemukan

paling sering pada orang kulit hitam dan keluarga berpenghasilan rendah. Pasien

dengan cedera kepala berat, atau mereka yang masuk rumah sakit dalam keadaan

koma, merupakan sebagian kecil dari pasien dengan cedera kepala, tetapi mereka

memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang paling tinggi. 1, 3, 5, 6, 8

Etiologi

Hampir semua cedera otak traumatik disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,

akibat peristiwa yang berhubungan dengan aktivitas olehraga, dan akibat tindakan

kekerasan. Penyebab yang paling sering dari cedera kepala tertutup adalah kecelakaan

lalu lintas, dimana hal ini meliputi cedera yang terjadi pada penumpang kendaraan

bermotor, pejalan kaki, pengendara motor, dan pengendara sepeda. Penyebab yang

lainnya adalah akibat terjatuh. Cedera akibat luka tembak merupakan penyebab utama

dari cedera kepala penetrasi di Amerika Serikat dan terhitung sebanyak 44% dari

semua kasus cedera kepala. Dewasa muda merupakan orang yang paling sering

terlibat dalam kecelakaan lalu lintas (umur 5-64 tahun), tetapi populasi ini memiliki

sedikit insiden dari lesi massa intrakranial. Sedangkan pasien berumur tua (65 tahun

atau lebih) paling sering mengalami cedera akibat terjatuh dan memiliki insiden yang

tinggi dari lesi massa intrakranial. Intoksikasi alkohol dan obat-obatan lainnya

merupakan faktor yang signifikan sebagai penyebab cedera dan tersebar hampir sama

pada semua kelompok umur, kecuali pada umur sangat muda dan sangat tua. 3, 5, 8, 9

3

Tabel 1 Penyebab cedera kepala 3

Jenis cedera MekanismeCoup dan countrecoup Objek yang membentur bagian depan (coup) atau bagian

belakang (countrecoup) kepala; objek yang membentur bagian samping kepala (coup atau countrecoup); kepala yang mengenai objek dengan kecepatan rendah

Hematom ekstradural Kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, kecelakaan saat olahraga

Hematom subdural Kecelakaan lalu lintas atau terjatuh, khususnya pada orang berusia tua atau orang dengan penyalahgunaan alkohol yang kronik

Perdarahan intracerebral

Kontusi yang disebabkan oleh gaya dengan kekuataan yang besar, biasanya akibat kecelakaan lalu lintas atau terjatuh dari jarak yang jauh

Fraktur campuran Objek yang mengenai kepala dengan kekuatan yang besar atau kepala yang membentur objek dengan sangat kuat; fraktur tulang temporal, fraktur tulang occipital, dampak ke arah atas dari vertebra cervical (fraktur dasar tulang tengkorak)

Cedera penetrasi Misil (peluru) atau proyektil yang tajam (pisau, pemecah es, kapak, baut)

Cedera aksonal difus Kepala yang sedang bergerak dan membentur permukaan yang keras atau objek yang sedang bergerak membentur kepala yang dalam kondisi diam; kecelakaan lalu lintas (saat kerja atau pejalan kaki); gerakan kepala memutar

Klasifikasi

Cedera kepala secara umum dikelompokkan menjadi trauma tertutup (tumpul)

dan trauma terbuka (penetrasi). 3

1. Trauma kepala nonpenetrasi

Trauma kepala nonpenetrasi atau trauma kepala tertutup, merupakan akibat

dari cedera tumpul. Tidak ada penetrasi benda asing pada dura (dura masih intak),

meskipun dapat terjadi laserasi dura akibat terjadinya fraktur tulang tengkorak, dan

4

jaringan otak tidak terpapar dengan lingkungan luar. Trauma tumpul lebih sering

terjadi dan meliputi benturan kepala pada permukaan yang keras, atau objek

berkecepatan tinggi yang mengenai kepala.. Trauma tumpul dapat mengakibatkan

baik cedera otak fokal maupun cedera aksonal difus. 1, 3

2. Trauma kepala penetrasi

Saat terjadi penetrasi pada dura, maka akan menimbulkan paparan dari isi

tengkorak pada lingkungan luar, dimana terjadi trauma terbuka, yang mengakibatkan

cedera otak fokal. Cedera kepala penetrasi dihubungkan dengan morbiditas dan

mortalitas yang tinggi. Diperkirakan, tingkat mortalitas setiap tahun adalah sekitar

2,4/100.000 orang di Amerika Serikat, dimana nilai ini dipengaruhi oleh umur, ras,

dan jenis kelamin. Cedera kepala penetrasi semakin meningkat frekuensinya dan

sekarang ini terhitung sebanyak 15% kematian akibat cedera kepala. Peluru dan

fragmen tulang yang masuk ke intrakranial dapat menyebabkan terjadinya gelombang

getaran dan cedera kavitasi yang dapat menimbulkan destruksi yang luas. Terjadinya

destruksi jaringan dihubungkan dengan koagulopati konsumtif dan vasospasme, yang

selanjutnya dapat memperberat cedera. Tingkat mortalitas melebihi 60%, dan diantara

orang yang berhasil bertahan, 10% diantaranya tetap dalam kondisi vegetatif dan

memiliki ketidakmampuan (disabilitas) yang berat. 1, 3, 7

Cedera kepala penetrasi dapat disebabkan oleh mekanisme trauma yang

berbeda. Trauma dapat disebabkan oleh proyektil yang memiliki kecepatan tinggi

atau rendah. Cedera lainnya dapat meliputi luka tusukan, cedera akibat terkena panah,

cedera senjata di industri dan cedera akibat penggunaan mesin bor. Pada cedera otak

yang disebabkan oleh objek dengan kecepatan rendah, kerusakan hanya terbatas pada

adanya disrupsi jaringan secara langsung. Kadang-kadang tidak terjadi hilangnya

kesadaran. Pada cedera yang disebabkan oleh misil, cavitasi dapat terbentuk di

sepanjang jalur misil, dan tergantung pada ukuran dan kecepatan misil, maka disrupsi

dari jaringan otak di sekitarnya kadang-kadang dapat menyebar dan sifatnya berat.

Baik cedera penetrasi dengan kecepatan tinggi maupun rendah dapat menyebabkan

5

disrupsi dari kulit, tulang tengkorak, dan selaput otak, sehingga dapat memudahkan

kontaminasi cairan cerebrospinal atau otak dengan mikroorganisme infektif. 1, 4

Cedera kepala yang paling sering terjadi disebabkan oleh misil seperti peluru,

fragmen batu atau logam, atau pecahan peluru. Dalam usaha untuk lebih memahami

penemuan patologis yang akan didapatkan, maka diperlukan pemeriksaan balistik.

Misil dengan kecepatan rendah dapat hanya menyebabkan cedera pada kulit atau otot

kepala, tanpa menimbulkan adanya penetrasi tulang tengkorak. Hal ini biasanya

terjadi jika senjata ditembakkan dari jarak jauh. Saat misil dapat menembus tulang

tengkorak, dan menimbulkan lubang atau fraktur, maka bentuk dari peluru dapat

berubah. Ada energi yang hilang selama proses benturan pada kepala. Penetrasi dan

kerusakan otak, selanjutnya akan bergantung pada jumlah energi kinetik yang tersisa.

Gelombang energi merupakan akibat langsung dari penetrasi pada jaringan. Kematian

yang terjadi segera setelah kejadian trauma, dapat merupakan akibat dari peningkatan

tekanan intrakranial yang signifikan yang disebabkan oleh benturan tersebut.

Kerusakan yang disebabkan oleh gelombang, juga dapat berjarak jauh dari jalur misil.

Setelah misil menembus otak, maka dapat terbentuk jalur yang selanjutnya kadang

menjadi rongga yang permanen. Selain itu juga dapat terbentuk rongga yang bersifat

sementara (temporer), yang selanjutnya kolaps dalam waktu yang singkat, sekitar 20

milidetik. Diameter dari rongga yang temporer ini, dapat lebih besar dari diameter

misil dan merupakan akibat dari kecepaan misil. Saat misil menembus tulang

tengkorak dan otak, maka jalur yang terjadi dapat berbentuk tidak reguler secara

sempurna. Debris, rambut, dan fragmen tulang dapat ikut masuk, tetapi tetap lebih

dekat pada tempat masuk karena energi kinetiknya yang rendah. 1

Misil dengan energi yang rendah dapat tidak keluar dari tulang tengkorak,

tetapi dapat berubah arah dan terpantul (richochet) dan mengakibatkan kerusakan

tambahan pada otak. Sebaliknya, pada senjata dengan kaliber yang besar, jika

ditembakkan pada jarak yang dekat, dapat membawa energi yang cukup besar untuk

dapat masuk sekaligus keluar dari tulang tengkorak. Fraktur tulang tengkorak yang

6

bersifat ledakan pada lokasi keluar dari misil, dapat ditemukan pada cedera misil

dengan kecepatan tinggi. 1

Patofisiologi trauma kraniocerebral

Cedera akselerasi-deselerasi

Cedera pada otak disebabkan oleh transfer energi pada tengkorak dan struktur

di dalamnya. Cedera akselerasi deselerasi terjadi sebagai akibat dari mekanisme

benturan atau impuls yang dapat menyebabkan disrupsi dari jaringan otak (laserasi

dan atau kontusi), cedera aksonal difus, atau keduanya. Pada cedera tumpul, dorongan

akselerasi-deselerasi angular menyebabkan timbulnya strain (gaya) yang terbagi

secara merata pada parenkim otak, dimana hal ini bertanggung jawab pada terjadinya

cedera aksonal difus. Adanya dorongan atau benturan ini, dapat secara langsung

terjadi pada kepala (cedera benturan) atau secara tidak langsung melalui tubuh

(cedera impuls). Tanda fisiologis dari terjadinya cedera otak difus adalah hilangnya

kesadaran. 8

Cedera otak dapat terjadi secara langsung di bawah lokasi cedera (cedera

coup), tetapi karena otak sifatnya lebih relatif dibandingkan tulang tengkorak dan

dura, maka kompresi otak yang berjauhan dengan lokasi benturan juga dapat terjadi,

dimana dapat ditemukan pada permukaan orbitofrontal dari lobus frontal dan atau di

bagian anterior dari lobus temporal, yang jauh dari lokasi benturan (cedera

countrecoup). Hal ini dapat menjelaskan mengapa cedera otak dapat terjadi pada

daerah intrakranial yang berlawanan dengan lokasi trauma atau benturan (cedera

countrecoup). Trauma kraniocerebral dapat menyebabkan konkusi, kontusi cerebral,

perdarahan intrakranial, atau cedera aksonal difus. 2, 8

Patofisiologi

Mekanisme cedera otak merupakan hal yang bersifat kompleks, bervariasi,

dan belum sepenuhya dipahami. Trauma mekanik, iskemia, kerusakan energi seluler,

cedera reperfusi eksitotoksin, edema, cedera vaskuler, dan cedera yang menginduksi

7

apoptosis, merupakan factor-faktor yang berpengaruh pada hampir semua cedera otak

akut. Ada dua fase utama dari cedera kepala yang diakibatkan oleh trauma kepala.

Fase pertama adalah kerusakan otak awal yang terjadi segera pada saat benturan,

yang meliputi cedera neural, cedera glial primer, dan respon vaskuler, dimana hal ini

dapat meliputi laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, kontusi, perdarahan

pungtat, perdarahan subarachnoid dan cedera aksonal difus. Ada dua jenis cedera

primer yang dapat terjadi yaitu cedera otak fokal dan difus. Tipe yang paling sering

dari cedera otak traumatik (75-90%) adalah konkusi ringan dan konkusi cerebral

klasik. Cedera otak fokal terhitung sebanyak lebih dari dua per tiga dari kematian

akibat cedera otak, sedangkan cedera aksonal difus terhitung sebanyak kurang dari

sepertiganya. Sedangkan fase kedua dari cedera merupakan perkembangan kerusakan

neurologi yang terjadi setelah cedera primer, dimana hal ini dapat berkembang dalam

waktu beberapa hari sampai minggu. Cedera sekunder dapat diakibatkan oleh adanya

edema cerebral, hipoksia, dan perdarahan yang tertunda. 1, 3, 10

Cedera primer

Cedera primer didefinisikan sebagai cedera otak traumatik primer yang

disebabkan oleh kekuatan eksternal pada kepala yang menimbulkan kerusakan

jaringan di luar toleransi strukturalnya. Kekuatan ini daapat dikelompokkan menjadi

kekuatan kontak atau inersia. Kekuatan kontak umumnya menimbulkan cedera fokal

seperti fraktur tulang tengkorak, kontusi, hematom epidural dan subdural. Kekuatan

inersia terjadi akibat otak yang mengalami akselerasi atau deselerasi (tranlasional,

rotasional, atau keduanya). Kekuatan inersia dapat menyebabkan cedera otak fokal

atau difus, dimana akselerasi tranlasional yang murni dapat menyebabkan cedera

fokal seperti kontusi countrecoup, hematom intracerebral, dan hematom subdural,

sedangkan akselerasi rotasional atau angular (sering terjadi pada kecelakaan lalu

lintas dengan kecepatan tinggi), biasanya menyebabkan cedera otak difus. Cedera

primer ini dapat berlanjut pada kerusakan yang irreversibel akibat disrupsi sel,

bergantung pada mekanisme dan keseriusan dari kejadian tersebut. Trauma kepala

dapat mengakibatkan kerusakan pada kulit kepala, tulang tengkorak dan otak.

8

Laserasi kulit kepala, dapat menyebabkan perdarahan yang signifikan tetapi pada

hampir semua kasus, hemostasis dapat terjadi dengan mudah. Fraktur dapat

dikelompokkan menjadi fraktur linier, depresi, campuran, atau melibatkan dasar

tengkorak. Fraktur tulang tengkorak linier atau simpel merupakan tipe yang paling

sering terjadi, umumnya terjadi pada konveksitas lateral dari tulang tengkorak, dan

tidak membutuhkan terapi yang spesifik. Fraktur tulang tengkorak depresi terjadi saat

tabula eksterna dari tengkorak mengalami depresi atau penurunan di bawah tabula

interna dan dapat menyebabkan robeknya dura atau laserasi otak. Biasanya terjadi

akibat trauma tumpul oleh objek yang memiliki area permukaan yang relatif kecil

seperti palu. Mungkin dibutuhkan perbaikan operatif, khususnya pada fraktur depresi

yang melibatkan dinding posterior sinus frontal atau berhubungan dengan perdarahan

intrakranial. Fraktur depresi campuran didefinisikan sebagai fraktur yang disertai

laserasi dari kulit kepala dan dapat ditangani dengan debridement luka melalui

operasi. Fraktur dasar tengkorak dapat terjadi akibat trauma tumpul yang berat pada

daerah frontal atau occiput, dan didiagnosis dengan penemuan klinik dari adanya

ekimosis periorbital (raccoon eyes), ekimosis pada daerah postaurikuler (Battle’s

sign), hemotimpanum, atau kebocoran cairan cerebrospinal, dapat memiliki penyulit

berupa meningitis atau abses otak. Pasien dengan fraktur tulang tengkorak memiliki

risiko yang tinggi untuk terjadinya hematom intrakranial yang tertunda, dan harus

diobservasi dalam waktu 12-24 jam setelah cedera awal. Cedera primer dapat

meliputi cedera aksonal difus kontusi hematom, dan perdarahan subarachnoid

traumatik. 2, 4, 5

Konkusi

Konkusi merupakan kehilangan fungsi neurologik sentral yang sifatnya

segera, terjadi tiba-tiba, dan tanpa disertai sekuel yang diakibatkan oleh trauma

kraniocerebral. Karakteristiknya adalah hilangnya kesadaran, amnesia sementara

(hilangnya memori), konfusi, disorientasi, perubahan visual, disfungsi otonom, sakit

kepala, tinitus, dan iritabilitas dengan derajat yang bervariasi, tanpa adanya

9

abnormalitas cerebral yang bermakna (tidak disertai adanya kerusakan patologis pada

otak). 2, 6, 9

Kontusi cerebral

Kontusi cerebral merupakan area yang mengalami kerusakan pada parenkim

otak dan dapat menimbulkan defisit neurologis bergantung pada lokasi anatominya.

Kontusi umumnya ditemukan paling sering pada lobus frontal, khususnya pada

bagian ujung dan sepanjang permukaan orbital inferior; pada lobus temporal,

khususnya pada kutub anterior dan sepanjang permukaan inferior; dan pada daerah

sambungan frontotemporal. Bagian anterior dari lobus frontal dan temporal

merupakan bagian yang rawan atau rapuh karena kontur yang kasar dari tulang

tengkorak pada regio ini. Kontusi kadang dihubungkan dengan disrupsi dari sawar

darah otak dan dapat disertai penyulit berupa perluasan dari perdarahan yang terjadi,

pembentukan edema, atau kejang. Kontusi yang besar dapat menimbulkan efek massa

yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi otak. Hal ini

mengakibatkan perubahan pada fungsi perhatian, memori, afek, emosi, dan tingkah

laku. Pada kasus yang jarang terjadi, kontusi terjadi pada lobus parietal dan occipital.

Kontusi cerebral fokal dapat bersifat superfisial, dan hanya melibatkan girus otak.

Kontusi hemoragik dapat berkumpul menjadi hematom intrakranial konfluen yang

luas. 1-3

Kontusi biasanya bersifat lokal dan dihubungkan dengan adanya perdarahan,

edema, dan nekrosis. Kontusi dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kontusi coup

lebih berat pada jaringan otak dibawah lokasi benturan dan biasanya berhubungan

dengan cedera akselerasi. Kontusi countrecoup berlokasi pada permukaan otak yang

berlawanan dengan lokasi trauma dan dihubungkan dengan cedera deselerasi. Kontusi

traumatik juga dihubungkan dengan kejadian hematom intracerebral superfisial.

Edema yang terjadi di sekitar kontusi merupakan jenis vasogenik. Edema vasogenik

uumnya terjadi pada substansi alba, dan merupakan akibat dari adanya destruksi

jaringan dan disrupsi sawar darah otak. Perdarahan yang terjadi pada otak dapat

10

bersifat fokal atau multifokal. Hematom intracerebral juga dapat terjadi pada lobus

frontal dan temporal, dan kadang muncul sebagai perluasan perdarahan dari kontusi.

Lokasi terjadinya kontusi yang kurang sering ditemukan adalah pada fossa posterior

dan ganglia basalis. 1

Hematom intrakranial

Cedera kepala dapat menyebabkan perdarahan pada ruang epidural, subdural

atau subarachnoid. Perdarahan intrakranial ini, yang mungkin membutuhkan evakuasi

melalui tindakan operasi, bergantung pada ukuran dan lokasinya. Perdarahan

intrakranial dapat menyebabkan efek massa dimana dapat hal ini dapat menimbulkan

peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi otak disertai kompresi struktur otak

yang vital. 1

Hematom epidural

Hematom epidural terhitung sebanyak 1-2% dari cedera otak mayor dan

terjadi pada semua kelompok umur tetapi paling sering pada umur 20-40 tahun.

Sumber perdarahan berasal dari arteri (85%) dan akibat dari cedera pada vena

meningea atau dura sinus (15%). Mayoritas hematom epidural terjadi pada daerah

temporal atau parietal, tetapi juga dapat terjadi pada lobus frontal atau oksipital, dan

pada kasus yang jarang terjadi pada fossa posterior. Fossa temporalis merupakan

lokasi yang paling sering dari hematom ekstradural yang disebabkan oleh cedera pada

arteri dan vena meningea media. Lesi ini umumnya diakibatkan oleh fraktur tulang

tengkorak dan laserasi pembuluh darah meningeal, paling sering pada cabang

posterior dari arteri meninga media. Hal ini dapat terjadi setelah terjadinya cedera

benturan dengan kecepatan rendah. Karena dura melekat dengan erat pada tabula

interna dari tulang tengkorak, maka hematom yang terjadi biasanya memiliki

konfigurasi lentiformis homogen. Lobus temporal dapat bergeser ke medial,

mempresipitasi herniasi girus uncal dan hippocampal melalui celah tentorial.

Perdarahan ekstradural umumnya ditemukan pada area subfrontal, khususnya pada

populasi berumur muda dan tua yang disebabkan oleh cedera pada arteri meningea

11

anterior atau sinus venosus. Dan pada area suboccipital dapat mengakibatkan herniasi

dari isi fossa posterior melalui foramen mágnum. 2-3, 5

Pada hematom epidural bentuk klasik, pasien yang mengalami kehilangan

kesadaran akibat konkusi awal, secara perlahan dapat pulih dalam waktu beberapa

menit, dan memasuki lucid interval dimana pasien relatif tidak mengalami gejala

(asimtomatik) dengan hasil pemeriksaan neurologik yang normal. Selama interval ini,

akumulasi dari darah arteri pada ruang epidural, kadang dapat menyebabkan

kompresi dan pergesaran otak dari garis tengah. Proses ini diikuti oleh penurunan

level kesadaran dan tanda herniasi pada pupil dan motorik pasien. Bentuk klasik ini

hanya terjadi pada sekitar 30% kasus. 6, 9

Hematom subdural

Hematom subdural terhitung sebanyak 10-20% dari orang yang mengalami

cedera otak traumatik. Hematom subdural akut dapat berkembang dengan cepat,

biasanya timbul dalam 3 hari pertama setelah cedera. Pada gambaran CT scan

terdapat daerah hiperdens berbentuk bulan sabit dan biasanya terletak di bagian atas

tengkorak (pada konveksitas cerebral). Jika penderita mengalami anemis berat atau

terdapat CSS yang mengencerkan darah di subdural, gambaran tersebut bisa isodens

atau hipodens. Hematom subdural subakut berkembang dalam waktu yang lebih

lambat, yaitu gejala timbul antara hari ke 4 sampai 20. Gambaran CT scan berupa

campuran hiper, iso, dan hipodens. Hematom subdural kronik umumnya ditemukan

pada orang berumur tua dan orang dengan penyalahgunaan alkohol yang mengalami

kondisi atrofi otak dengan konsekuensi penambahan pada ruang ekstradural, sehingga

perkembangannya dapat berlangsung dalam waktu setelah 3 minggu. Adanya robekan

dari vena penghubung (bridging vein) dapat menyebabkan timbulnya hematom

subdural yang bersifat akut maupun subakut.. Hematom subdural ini, berperan seperti

massa yang sifatnya makin meluas, dan dapat menimbulkan peningkatan tekanan

intrakranial, sehingga juga dapat menyebabkan herniasi. Hematom subdural juga

dapat disebabkan oleh robeknya pembuluh darah kortikal seperti vena penghubung

yang berjalan dari korteks menuju sinus sagital superior. Hal ini umumnya disertai

12

dengan cedera lain seperi kontusi cerebral, dan memiliki prognosis yang lebih buruk

dibandingkan hematom epidural. Karena tidak berhubungan dengan perlekatan dura,

maka perdarahan biasanya meluas secara difus pada permukaan korteks. 2-3, 5, 11

Hematom subarachnoid

Perdarahan subarachnoid paling sering disebabkan oleh trauma kranicerebral.

Perdarahan subarachnoid sendiri biasanya tidak menyebabkan kerusakan neurologik,

tetapi hidrocephalus dan vasospasme cerebral, yang merupakan komplikasi lambat

biasanya terlihat beberapa hari atau minggu setelah terjadinya perdarahan. Terdapat

bukti yang menunjukkan bahwa perdarahan subarachnoid akibat trauma dapat

menyebabkan vasospasme cerebral yang signifikan yang dapat diukur melalui

peningkatan kecepatan aliran pada evaluasi Doppler transkranial. Perdarahan

subarachnoid traumatik cenderung terdistribusi pada konveksitas otak, dan juga dapat

terjadi pada basal, intrasilvial, dan intraventrikular. 1-2

Hematom intracerebral

Hematom intracerebral terjadi pada 2-3% orang yang mengalami cedera

kepala, dapat bersifat tunggal atau multipel, dan juga dapat disertai kontusi otak.

Meskipun paling sering terjadi pada lobus frontal atau temporal, hematom ini juga

dapat terjadi pada substansi alba dari bagian dalam hemisfer otak. Pembuluh darah

yang kecil mengalami trauma akibat cedera penetrasi atau benturan dengan tenaga

yang besar. Selanjutnya hematom intracerebral berperan seperti massa yang makin

meluas, dapat meningkatkan tekanan intrakranial, menimbulkan kompresi jaringan

otak, dan menyebabkan koma. Hematom intracerebral yang tertunda dapat terjadi

dalam waktu 3-10 hari setelah kejadian cedera kepala. 3

Cedera aksonal difus

Cedera aksonal difus menggambarkan kerusakan otak dimana terjadi disrupsi

dari proyeksi akson neuronal pada substansi alba cerebral, dan terjadi pada pasien

yang mengalami kehilangan kesadaran segera atau menjadi koma pada saat terjadinya

trauma kepala. Bergantung pada tingkat keseriusan cedera, pasien dapat mengalami

13

cedera aksonal difus yang ringan, sedang, atau berat. Akibat adanya perbedaan

gradien akselerasi pada beberapa area di otak selama terjadintya benturan primer,

maka dapat terjadi efek kekuatan yang tersebar pada perhubungan substansi alba

dengan grissea, corpus callosum, atau batang otak. Akibat dari kekuatan ini adalah

robekan difus dari akson-akson dan pembuluh darah kecil. Cedera aksonal difus

merupakan akibat dari efek kocokan (efek inersia dari input mekanik pada kepala

yang berhubungan dengan level akselerasi dan deselerasi yang tinggi, efek gerakan

kepala). Akselerasi rotasional (gerakan memutar) merupakan mekanisme primer

cedera, yang menimbulan adanya gaya dan distorsi di dalam otak. Gerakan kepala

yang secara bebas melekat pada leher, memberikan dorongan atau gaya rotasional

untuk menimbulkan dorongan atau gaya yang disebarkan pada jaringan otak. Cedera

aksonal yang paling berat berlokasi lebih perifer dari batang otak, dan dapat

menimbulkan gangguan kognitif dan afektif yang luas. Kerusakan yang terjadi, dapat

mengurangi kemampuan dalam proses dan respon terhadap informasi, dan

mengganggu perhatian. 1-3, 6

Secara patofisologi, kerusakan aksonal hanya dapat dilihat dengan

menggunakan mikroskop elektron dimana melibatkan banyak akson, baik terjadi

sendiri maupun disertai dengan robekan jaringan. Area dimana akson dan pembuluh

darah kecil mengalami kerusakan, dapat terlihat sebagai perdarahan kecil, khususnya

pada corpus callosum dan kuadran dorsolateral dari batang otak bagian rostral di

superior pedunculus cerebellar. Akson yang mengalami kerusakan dapat terlihat

dalam waktu 12 jam sampai beberapa hari setelah terjadinya cedera. Tingkat

keseriusan dari kerusakan difus bergantung pada seberapa besar daya benturan

mengenai batang otak. Cedera aksonal difus tidak dihubungkan dengan hipertensi

intrakaranial yang segera terjadi setelah cedera, tetapi kadang dapat terjadi

pembengkakan otak yang sifatnya akut yang disebabkan oleh peningkatan volume

darah intravaskuler di dalam otak dan vasodilatasi. 3

14

Cedera sekunder

Banyak penelitian yang telah melaporkan bahwa autoregulasi cerebral dapat

mengalami gangguan setelah terjadinya cedera otak traumatik. Hal ini menyebabkan

pasien dengan cedera kepala menjadi rawan terhadap akibat dari cedera sekunder

seperti hipotensi, hipertensi intrakranial, hipoksia, perdarahan intrakranial, iskemia,

peningkatan tekanan intrakranial, infeksi, dan ketidakseimbangan elektrolit dan

metabolik. Insiden cedera sekunder umumnya semakin meningkat dengan keseriusan

cedera primer meskipun hubungan dari kedua hal ini tidak sepenuhnya sama. Pasien

dengan cedera primer yang berat, mungkin awalnya masih mengalami cedera

sekunder yang sedikit. Sebaliknya, pasien dengan cedera primer yang ringan, dapat

meninggal atau menjadi lumpuh akibat adanya perluasan hematom intrakranial.

Secara klinik, gangguan neurologik yang disebabkan oleh cedera primer sifatnya

maksimal pada onset trauma dan selanjutnya semakin berkurang atau tetap stabil.

Tetapi, adanya cedera sekunder dapat memperburuk status neurologik pasien, dimana

efeknya ditambahkan dengan gangguan neurologi pada cedera primernya. Proses

sekunder ini dapat dimulai pada waktu terjadinya cedera atau beberapa waktu

setelahnya, dimana hal ini dapat memicu lebih buruknya cedera yang sudah terjadi

pada otak. Setelah terjadinya cedera otak traumatik, banyak sel yang mengalami

kerusakan secara langsung dan irreversibel. Tetapi sel-sel yang lainnya masih dapat

dipertahankan dan fungsinya tidak terganggu dan tidak rusak secara mekanik. Hal ini

dapat pulih jika tersedia kondisi lingkungan yang optimal untuk dapat bertahan. 2, 8

Cedera sekunder secara potensial dapat dicegah dan ditangani. Cedera

sekunder meliputi efek hipotensi, hipoksia, dan herniasi dengan peningkatan tekanan

intrakranial akibat efek massa. Kerusakan otak hipoksik dapat ditimbulkan oleh

tingginya tekanan intrakranial atau vasospasme. Koreksi dari kondisi syok dan

hipoksia merupakan manajemen pertama pada pasien yang mengalami cedera kepala,

dan setiap pasien cedera kepala yang dicurigai memiliki kemampuan ventilasi yang

buruk harus segera mendapatkan intubasi. 4

15

Kejang post trauma dapat dikelompokkan menjadi segera (terjadi dalam

waktu 7 hari setelah trauma), atau lambat (terjadi > 7 hari setelah trauma). Beberapa

faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk terjadiya kejang post

truama antara lain skor GCS < 10, kontusi kortikal, fraktur depresi tengkorak,

hematom subdural, hematom epidural, hematom intracerebral, luka penetrasi, dan

kejang dalam waktu 24 jam setelah trauma. Edema otak difus atau lokal merupakan

komplikasi yang serius dari cedera kepala dan dapat berlanjut pada peningkatan

tekanan intrakranial. Efek massa dari edema meningkat dalam waktu 72 jam setelah

trauma. 1, 4

Akibat intrakranial sekunder (peningkatan tekanan intrakranial)

Hipertensi intrakranial setelah terjadinya trauma kranioserebral dapat

disebabkan oleh hematom intrakranial, edema cerebral, atau hiperemia cerebral.

Hukum Monro Kellie menyatakan bahwa adanya sedikit perubahan pada volume

intrakranial dapat secara jelas menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial karena

sifat tulang tengkorak yang rigid (kaku) dan inelastik. Pada situasi normal, volume

intrakranial terdiri dari 80% jaringan otak, 10% cairan cerebrospinal, dan 10%

volume darah intrakranial yang terdapat didalam tulang tengkorak yang kaku dan

tidak dapat meluas. Tiga komponen ini memiliki pengaruh terhadap tekanan

intrakranial yang secara normal tetap terjaga dalam batas 0-15 mmHg sat diukur pada

ventrikel lateral. Adanya peningkatan volume dari salah satu kompartemen atau

adanya penambahan kompartemen baru yang sifatnya patologis (seperti perdarahan

intrakranial), harus dapat dikompensasi oleh pengurangan volume dari kompartemen

lainnya. Mekanisme kompensasi yang merupakan buffer atau penyangga seperti

perubahan volume, meliputi peningkatan absorpsi cairan cererospinal, redistribusi

cairan cerebrospinal dari ruang intrakranial ke ruang subarachnod medula spinalis,

dan reduksi volume darah cerebral. Daya tampung (komplians) cerebral menunjukkan

adanya perubahan volume intrakranial dapat mempengaruhi perubahan tekanan

intrakranial. Saat terjadi edema otak, cerebrum meluas dan cairan mengalami

pergeseran tempat dari kompartemen intrakranial. Sehingga, komplians akan

16

menurun dan tekanan intrakranial meningkat dengan cepat. Saat uncus ipsilateral dari

lobus temporal bagian medial membengkak dan menekan serat saraf

pupilokonstriktor dari nervus oculomotorius perifer maka dapat terjadi dilatasi pupil. 2, 6, 7, 12

Falx cerebri, tentorium cerebelli, dan foramen magnum merupakan struktur

yang relatif kaku (rigid) dan menjadi pemisah daerah otak. Karena banyak proses

patologik bersifat fokal, maka gradien tekanan dapat disebarkan secara merata

diantara setiap kompartemen intrakranial. Adanya peningkatan tekanan intraranial

dapat menimbulkan efek yang buruk melalui adanya gradien tekanan diantara setiap

kompartemen otak yang berbeda. Kombinasi dari pergeseran otak akibat adanya

massa fokal, tekanan intrakranial yang tinggi, dan gradien tekanan diantara pemisah

dura dan tulang (falx cerebri, tentorium, dan foramen magnum) dapat menyebabkan

jaringan otak mengalami herniasi dari kompartemen dengan tekanan yang tinggi ke

kompartemen dengan tekanan yang rendah. Jika gradien tekanan ini memiliki besar

yang cukup, maka dapat terjadi pergeseran atau herniasi jaringan otak dan dapat

mengakibatkan kompresi struktur yang vital. Sebagai contoh, herniasi transtentorial

dapat terjadi saat peningkatan tekanan dan volume supratentorial cukup untuk

menggeser uncus dan bagian medial dari lobus temporal melalui celah tentorial; yang

menyebabkan kompresi dan disfungsi dari midbrain dan nervus okulomotorius.

Herniasi transtentorial ditunjukkan oleh adanya pupil yang dilatasi ipsilateral dan

pupil yang terfiksasi atau reaktif. Kompresi medula terjadi saat tekanan intrakranial

meningkat dan tonsilla cerebellar mengalami herniasi melalui foramen magnum.

Kondisi ini yang dikenal sebagai herniasi tonsilar, dapat berakibat fatal karena lokasi

pusat respirasi dan vasomotor yang vital berada pada area di batang otak ini. Selain

itu, karena tekanan perfusi cerebral berhubungan dengan tekanan intrakranial, maka

peningkatan tekanan intrakranal dapat menimbulkan gangguan perfusi cerebral. Pada

otak yang normal, aliran darah ke otak tetap konstan sekitar 50 ml/100 gr jaringan

otak per menit, selama mekanisme autoregulasi cerebral masih intak, dimana terjadi

perubahan diameter dan resistensi dari pembuluh darah cerebral akibat adanya

17

perubahan tekanan, sehingga aliran darah ke otak yang konstan tetap dipertahankan

selama tekanan perfusi cerebral sekitar 50-150 mmHg. Jika tekanan rata-rata arteri

sangat menurun atau terjadi peningkatan tekanan intrakranial, maka selanjutnya

tekanan perfusi cerebral menjadi sangat rendah untuk dapat dikoreksi oleh

mekanisme autoregulasi, sehingga hal ini dapat menimbulkan iskemi cerebral. Jika

tekanan perfusi cerebral berkurang dalam jumlah yang besar (< 40-50 mmHg) maka

dapat terjadi iskemi atau infark cerebral. Sehingga monitoring tekanan darah sistemik

merupakan hal yang penting dilakukan saat terjadi peningkatan tekanan intrakranial. 2, 8

Saat hematom intrakranial makin meluas, maka akan menimbulkan kompresi

dan pergeseran dari struktur di sekitarnya. Perluasan ini dapat menimbulkan

peningkatan tekanan intrakranial saat kapasitas penyangga dari isi tengkorak sudah

habis. Bukti adanya iskemia kadang ditemukan pada saat autopsi setelah cedera

kepala tumpul. Iskemi fokal dapat terjadi pada lokasi kontusi atau dapat diakibatkan

oleh vasospasme yang diinduksi oleh perdarahan subarachnoid traumatik. Iskemi

global dapat disebabkan oleh hipotensi sistemik atau menurunnya tekanan perfusi

cerebral yang ditimbulkan oleh peningkatan tekanan intrakranial. 8

Iskemia pasca trauma dapat menginisiasi kaskade peristiwa metabolik yang

berlanjut menjadi peningkatan produksi radikal bebas oksigen, asam amino

eksitatorik, sitokin, dan agen inflamasi lainnya. Glutamat dan aspartat merupakan

asam amino eksitatorik yang paling sering terbentuk pada cedera eksitotoksik, dimana

pembentukannya dimediasi oleh aktivasi N-metil-D-aspartat, alfa-amino-3-hidroksi-

5-metilisoazol-4-proprionic acid, atau reseptor asam kainak. Adanya overaktivasi dari

reseptor-reseptor ini, dapat menyebabkan influx yang besar dari kalsium yang

terionisasi ke dalam sitosol, dan menyebabkan peningkatan jumlah kalsium

terionisasi intraseluler yang memegang peranan pada terjadinya neurodegenerasi

setelah cedera pada sistem saraf pusat. 5

Infeksi dapat bersifat lokal (meningitis atau abses otak) atau sistemik. Infeksi

lokal dapat terjadi saat timbul gangguan pada integritas menings yang diakibatkan

18

oleh cedera penetrasi atau fraktur campuran pada atap dan basis tengkorak. Infeksi

sistemik umumnya melibatkan saluran pernafasan dan genitourinarius. Sepsis

sistemik dapat menyebabkan gangguan neurologis yang dapat semakin membaik

dengan resolusi dari infeksi. Hipertermia yang terjadi kadang dapat menjadi penyulit

masalah tekanan intrakranial yang sudah ada. 8

Akibat sistemik sekunder

Diantara akibat sistemik sekunder, yang paling signifikan adalah meliputi

hipoksia dan hipotensi. Penelitian klinis prospektif telah menunjukkan bahwa dua

kondisi ini memiliki pengaruh dan hasil keluaran yang jelek pada cedera kepala berat.

Hipotensi sistemik yang terjadi pada saat kedatangan pasien cedera kepala berat di

rumah sakit, telah terbukti berhubungan dengan peningkatan 150% terjadinya

kematian. Pada pasien dengan cedera kepala yang signifikan, hipoksemia dapat

disebabkan oleh obstruksi saluran nafas bagian atas, pneumothorax, hemothorax,

edema pulmonal, dan hipoventilasi. Hipoksemia harus dikoreksi dengan cepat untuk

mencegah potensi kerusakan jaringan saraf. Hipotensi dapat menurunkan perfusi

cerebral, yang selanjutnya dapat menimbulkan iskemi dan infark cerebral. Hal ini

berbahaya jika disertai dengan peningkatan tekanan intrakranial. Selain itu, gangguan

pada autoregulasi cerebral dapat terjadi setelah cedera otak. Dengan auoregulasi yang

normal, maka aliran darah ke otak tetap konstan meskipun terjadi fluktuasi dari

tekanan arteri rata-rata antara 60 dan 180 mmHg. Autoregulasi dibutuhkan untuk

memberikan pasokan yang tetap stabil dari oksigen dan nutrii ke jaringan otak dan

membuang sampah metabolik. Konstriksi dan dilatasi dari arteriol yang terjadi

dengan cepat merupakan respon dari adanya perubahan tekanan. Dilatasi pembuluh

darah cerebral terjadi saat tekanan darah arteri menurun atau saat metabilisme otak

meningkat. Tetapi, jika respon normal ini terganggu, maka aliran darah ke otak secara

langsung akan berhubungan dengan tekanan darah sistemik. Sehingga jika terjadi

hipotensi, maka dapat terjadi penurunan perfusi jaringan dan iskemi. Operasi yang

berhubungan dengan episode hipotensi dapat menimbulkan dampak yang negatif

untuk perfusi otak dan dapat mempengaruhi kualitas hasil keluaran. Penyebab

19

sistemik lainnya dari cedera otak sekunder, yang masih dapat dicegah antara lain

adanya ketidakseimbangan elektrolit, anemia, hipoglikemia, hipertermia, gangguan

pembekuan darah (koagulopati), dan kejang. 2, 6, 10

Gangguan elektrolit sering ditemukan pada pasien dengan cedera kepala

sedang dan berat. Yang paling sering terjadi adalah sindrom sekresi antidiuretik

hormon yang tidak sesuai. Serum sodium dapat menurun secara signifikan, dimana

gangguan status neurologi pasien dapat terjadi pada level dibawah 120-125 mEq/L.

Diabetes Insipidus dapat terjadi pada cedera kepala yang lebih berat, kadang sebagai

kejadian preterminal pada pasien dengan gangguan neurologi rostrocaudal progresif

yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial yang tidak terkontrol. 8

Cedera kepala yang berat dapat menginduksi kondisi katabolisme dengan

ekskresi nitrogen yang sama dengan pada cedera lainnya. Takikardi yang diinduksi

oleh katekolamin, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan curah jantung setiap

menit, merupakan kondisi yang sering terjadi. Iskemi otot jantung juga dapat terjadi

akibat cedera kepala tertutup. 8

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Vender JR, Flannery AM. Head Injury. In : Critical Care Medicine Principles of

Diagnosis and Management in the Adult Second Edition. Parrillo JE, Dellinger

RP. editors. Mosby, Inc. St. Louis. 2002. p. 1330-35.

2. Lycette CA, Doberstein C, Rodts GE, McBride DQ. Neurosurgical Critical Care.

In : Current Critical Care Diagnosis & Treatment Second Edition. Bongard FS,

Sue DY. editors. The McGraw-Hill Companies. New York : 2003. p. 730-34.

3. Boss BJ. Alterations of Neurologic Function. In : Understanding Pathophysiology

3rd edition. Huether SE, McCance KL. editors. Mosby, Inc. St. Louis. 2004. p.

392-95

4. Chin LS, Aldrich EF, DiPatri AJ, Eisenberg HM. Neurosurgery. In : Sabiston

Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice 17 th

edition. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. editors. Elsevier.

Philadelphia. 2004. p. 2152-54.

5. Cohen SM, Marion DW. Traumatic Brain Injury. In : Textbook of Critical Care

Fifth Edition. Fink MP, Abraham E, Vincent J, Kochanek PM. editors. Elsevier

Inc. Philadelphia. 2005. 377-81.

6. Newton E. Head Trauma. In : Emergency Medicine Secrets Fourth Edition.

Markovchick VJ, Pons PT. editors. Mosby, Inc. Philadelphia. 2006. p. 592-95.

7. Adams GA, Garland AM, Shatney CH, Sherck JP, Wren SM. Surgery Clerkship

Guide. Mosby, Inc. St. Louis. 2003. p. 525-29

8. Moulton RJ, Pitts LH. Head Injury and Intracranial Hypertension. In : Principles

of Critical Care Third Edition. Hall JB, Schmidt GA, Wood LDH. editors. The

McGraw-Hill Companies. New York : 2005. p. 1395-1400.

9. Henry MC, Stapleton ER. EMT Prehospital Care Revised Third Edition. Mosby,

Inc. St. Louis. 2007. p. 678-81.

21

10. Banasik JL. Acute Disorders of Brain Function. In : Pathophysiology Third

Edition. Copstead LC, Banasik JL. editors. Elsevier Inc. St. Louis. 2005. p. 1095-

99.

11. Japardi I. Cedera Kepala. PT Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. 2004. hal. 21.

12. Porth CM, Gaspard KJ. Essential of Pathophysiology. Liipincott Williams &

Wilkins. Philadelphia. 2004. p. 668-75.

22