7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)
Transcript of 7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)
7-ELEVEN : GAYA HIDUP REMAJA PERKOTAAN SAAT INI (?)
Mirna Desira, Linda Darmajanti
Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Abstrak
Tulisan ini berisi gambaran mengenai gaya hidup remaja perkotaan, khususnya Jakarta, terkait dengan kehadiran
convenience store 7-Eleven. Nongkrong di 7-Eleven menjadi identik dengan kehidupan remaja Jakarta saat ini,
dimana mereka yang nongkrong didominasi oleh usia remaja awal yaitu antara 13 hingga 15 tahun. Kebiasaan
nongkrong di 7-Eleven dilihat sebagai suatu bentuk gaya hidup baru yang dianut para remaja Jakarta saat ini.
Dibalik kebiasaan nongkrong ini terdapat faktor-faktor sosial yang mendorong kebiasaan ini menjadi suatu gaya
hidup tersendiri bagi para remaja, yang diantaranya adalah sosialisasi keluarga, konformitas terhadap peer group,
serta status sosial ekonomi yang dimiliki. Penelitian terhadap remaja tersebut dilakukan menggunakan metode
kuantitatif terhadap 100 orang responden remaja. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sosialisasi keluarga dan
konformitas terhadap peer group memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap pembentukan gaya hidup
nongkrong di 7-Eleven pada remaja-remaja tersebut. Gaya hidup ini terlihat semakin menguat kecenderungannya
pada mereka yang memiliki status sosial ekonomi rendah. Dalam hal ini peran pemerintah, perusahaan pengelola
7-Eleven, serta orang tua menjadi sangat penting bagi keberlangsungan masa depan para remaja-remaja di
Jakarta maupun perkotaan lainnya.
7-Eleven : Today’s Urban Teenage Lifestyle (?)
Abstract
This paper provides an overview of the urban youth lifestyle, especially in Jakarta, related to the emergence of
convenience store 7-Eleven. Hang out at 7-Eleven become identically to teenagers‟ life in Jakarta recently. They
are who hanging out at 7-Eleven dominated by the early adolescence between 13 to 15 years old. This habit is
seen as a new form of urban lifestyle today. Behind the habit of hang out, there are social factors that encourage
this habit to become a lifestyle of the teenagers, which include family socialization, conformity to the peer
group, and also the socio-economic status. This research uses quantitative method to 100 teenage respondents.
From the results of this research found that family socialization and conformity to peer group has significant
influence to the formation of teenagers‟ hang out lifestyle. This lifestyle trend looks stronger in those with lower
socio-economic status. In this case the role of government, corporation, and parents become very important for
the sustainability of the teenage‟s future in Jakarta and other urban areas.
Keyword : Conformity; Family Socialization; Hang out; Lifestyle; Social-Economic Status
Pendahuluan
Masyarakat modern kota saat ini cenderung lebih mementingkan aspek konsumsi
dibandingkan produksi. Konsumsi tidak lagi sekedar sebagai kegiatan pemenuhan kebutuhan-
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
kebutuhan dasar dan fungsional manusia semata, namun telah menjadi suatu budaya di
masyarakat. Disamping budaya konsumtif, budaya instan juga menjadi salah satu ciri khas
kehidupan masyarakat perkotaan saat ini. Budaya instan yang dimaksud merupakan keinginan
serba cepat dalam menjalani berbagai bidang kehidupan pada masyarakat kota. Dimana
menurut Susanto (2011) masyarakat kota saat ini memang indentik untuk menginginkan
segala sesuatu berjalan serba cepat dan memanfaatkan waktu seefisein mungkin. Dengan
mempelajari kecenderungan pola perilaku masyarakat kota tersebut, akhirnya para pebisnis
memanfaatkannya untuk mengembangkan strategi bisnis mereka, khususnya dalam bidang
jasa. Para pebisnis dan investor berlomba-lomba menyediakan fasilitas yang dapat menunjang
kebutuhan masyarakat kota tersebut. Berawal dari hal inilah muncul 7-Eleven dengan konsep
convenience store yaitu toko ritel yang fokus menjual produk fast moving non sembako dan
memiliki konsep gerai seperti lokasi hangout (Berita-bisnis, 2012), dengan menyediakan
fasilitas seperti tempat duduk, ruangan AC dan Non-AC, serta wi-fi gratis, yang dianggap
dapat menjawab kebutuhan masyarakat perkotaan, khususnya Jakarta, saat ini. Sehingga
kehadirannya pun menarik minat berbagai kalangan masyarakat di Jakarta, khususnya mereka
yang masih berusia remaja. Dimana menurut data statistik, sebanyak 65% pengunjung yang
datang ke 7-Eleven setiap harinya adalah para remaja (VibizManagement Research, 2011).
Fenomena 7-Eleven yang sedang gencar berkembang di tengah-tengah kehidupan
masyarakat kota Jakarta saat ini sedikit banyak memberikan pengaruh yang cukup signifikan
terhadap dinamika gaya hidup masyarakat di kota tersebut. Kajian yang telah ada selama ini
cenderung hanya melihat dari sudut pandang 7-Eleven sebagai pelaku bisnis dalam hal
menarik pelanggannya. Hasil yang didapat dari berbagai kajian tersebut mengungkapkan
bahwa keberhasilan yang dicapai oleh 7-Eleven sebagai sebuah bisnis ritel terletak pada
kemampuannya untuk menjawab kebutuhan anak-anak muda akan gaya hidup modern ala
Barat yang identik dengan kebebasan memilih dan berkreasi. 7-Eleven dianggap berhasil
memanfaatkan peluang yang ada dengan strategi yang diusungnya yaitu menggabungkan
beberapa jenis organisasi ritel seperti, convenience store, supermarket, dan speciality store
dengan konsep resto, memperhatikan perkembangan jaman (tersedia wifi), serta
memperhatikan kebutuhan konsumen.
Tetapi, tidak bisa hanya berhenti sampai disitu, keberhasilan 7-Eleven dalam menarik
pelanggan dan menjadi salah satu icon dari gaya hidup remaja atau anak muda saat ini juga
harus dilihat dari sisi remaja itu sendiri. Karena dibalik keberhasilan yang dicapai oleh 7-
Eleven dalam mengembangkan startegi bisnisnya, juga ada peran dari konsumen terutama
remaja yang notabene adalah sasaran utama dari 7-Eleven itu sendiri. Maka dari itu, perlu
untuk dilihat dari sisi faktor-faktor sosial yang mendorong para pelanggan remaja cenderung
untuk nongkrong di 7-Eleven yang pada akhirnya membentuk gaya hidup tersendiri bagi
remaja tersebut.
Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi gaya hidup remaja diasumsikan berasal dari
latar belakang sosial ekonomi dan juga lingkungan sosial yang dimiliki remaja tersebut.
Dalam tahapan usia remaja, seseorang akan cenderung mendapatkan pengaruh baik secara
langsung maupun tidak langsung dari lingkungan terdekatnya, seperti keluarga dan peer group
atau teman sebaya yang berlaku sebagai significant other bagi individu tersebut (So‟oed,
1999). Oleh sebab itu akan berkaitan langsung dengan gaya hidup seseorang, dimana baik
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
keluarga maupun peer group dianggap memiliki pengaruh terhadap pembentukan gaya hidup
dalam kehidupan remaja.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, tulisan ini dibangun berdasarkan keingintahuan
mengenai apakah proses sosialisasi keluarga dan konformitas terhadap peer group
remaja mempengaruhi pembentukan gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven?
Tinjauan Teoritis
Remaja dianggap sebagai masa peralihan status dari anak-anak menjadi dewasa.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh John W. Santrock (2003), remaja atau adolescence
merupakan masa perkembangan atau transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang
mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio emosional. Masa remaja dimulai kira-kira
pada usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 sampai 22 tahun. Namun, batasan
yang paling umum digunakan oleh para ahli adalah antara usia 12 hingga 21 tahun (Desmita,
2010).
Selanjutnya, mengenai konsep gaya hidup, secara sosiologis, gaya hidup mengacu
pada suatu bentuk kehidupan masyarakat modern. Dimana menurut Chaney (2004), gaya
hidup digunakan oleh siapapun yang hidup pada masyarakat modern sebagai suatu gagasan
yang dipakai untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain. Melanjutkan
penjelasan Chaney, gaya hidup juga dilihat sebagai cara kehidupan yang khas -- yang
dijalankan bersama oleh sekelompok orang tertentu -- yang dapat dikenali dari perilaku
ekspresif dan pola-pola tindakan yang dapat membedakan antara satu orang dengan orang
lain. Sobel menambahkan, bahwa perilaku ekspresif disini terfokus pada konsumsi barang dan
jasa, sehingga hal ini menambahkan anggapan bahwa gaya hidup dipandang sebagai respons
fungsional terhadap modernitas (Chaney, 2004, h.50).
Gaya hidup dianggap memiliki hubungan erat dengan status sosial yang dimiliki.
Menurut Weber, status dapat ditunjukkan melalui persamaan gaya hidup (style of life). Dalam
bidang pergaulan, status ini dapat berwujud pembatasan pergaulan terhadap pergaulan erat
dengan orang yang statusnya lebih rendah. Berdasarkan keterkaitan gaya hidup dengan status
sosial, pada akhirnya juga memunculkan keterkaitan dengan pola konsumsi seseorang.
Menurut penjelasan dari Engel, Blackwell, dan Miniard (1995), bahwa gaya hidup terdiri dari
kegiatan atau aktivitas, minat, dan opini. Kegiatan adalah tindakan nyata seperti menonton
suatu media, berbelanja di toko, atau menceritakan kepada orang lain mengenai hal baru
(perilaku konsumtif). Minat akan semacam objek, peristiwa, atau topik adalah tingkat
kegairahan yang menyertai perhatian khusus maupun terus menerus kepadanya. Opini adalah
“jawaban” lisan atau tertulis yang orang berikan sebagai respon terhadap situasi stimulus
dimana semacam pertanyaan diajukan. Sejalan dengan penjelasan tersebut, Susanto (2004)
menyebutkan bahwa gaya hidup merupakan frame of reference yang dipakai seseorang dalam
bertingkah laku yang tertuang dalam aktivitas, minat, dan opininya
Mengenai konsep nongkrong, secara ilmiah memang tidak ada yang membahas secara
eksplisit tentang definisi konsep ini. Namun, berdasarkan pemaknaan secara empiris,
nongkrong dapat dilihat sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan baik oleh sekelompok orang
pada suatu tempat dalam kurun waktu tertentu. Saat nongkrong, kegiatan yang dilakukan
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
dapat bermacam-macam, seperti duduk-duduk, mengobrol, bercanda dengan kerabat, dan lain
sebagainya, yang pada intinya menyebabkan terjadinya interaksi sosial di antara orang-orang
yang melakukan kegiatan nongkrong tersebut. Nongkrong juga dapat dikatakan sebagai suatu
aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk menghabiskan waktu (Kegiatan Yang
Biasa Dilakukan, 2012). Nongkrong biasanya identik dengan menghabiskan waktu bersama
dengan teman-teman atau kerabat. Untuk melakukan kegiatan ini dibutuhkan waktu, tempat,
dan fasilitas tertentu (Hidayat, 2012).
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka disimpulkan bahwa gaya hidup
nongkrong remaja merupakan cara kehidupan khas yang dilakukan oleh remaja yang dikenali
melalui kegiatan yang dilakukan untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman atau
kerabat mereka, sehingga dapat membedakan antara satu orang dengan orang lain, yang
diukur melalui aktivitas atau kegiatan waktu luang, minat, serta opini. Gaya hidup pada remaja dapat terbentuk karena dipengaruhi oleh faktor-faktor
pendukungnya, yang dimana dalam penelitian ini faktor-faktor tersebut diasumsikan berasal
dari sosialisasi keluarga, konformitas terhadap peer group, serta status sosial ekonomi. Dalam
penelitian ini sosialisasi keluarga dan konformitas terhadap peer group dianggap sebagai
variabel independen, sementara status sosial ekonomi dijadikan sebagai variabel kontrol untuk
melihat kecenderungan pembentukan gaya hidup pada remaja.
Faktor pertama yaitu sosialisasi keluarga, yang merupakan proses penanaman nilai dan
norma dari keluarga kepada individu. Terkait dengan gaya hidup nongkrong, keluarga
melakukan proses transmisi nilai dan norma mengenai gaya hidup nongkrong kepada para
remaja. Sehingga sosialisasi keluarga mengenai gaya hidup nongkrong dapat didefinisikan
sebagai proses penanaman nilai dan norma mengenai gaya hidup nongkrong yang diberikan
oleh keluarga kepada individu. Gaya hidup yang dimiliki oleh seseorang dapat terbentuk
berdasarkan sosialisasi yang ia dapatkan dari keluarga. Keluarga dapat menjadi salah satu
agen yang memiliki pengaruh kuat dalam pembentukan gaya hidup seseorang.
Faktor kedua yaitu konformitas terhadap peer group, dapat diartikan sebagai bentuk
interaksi dimana seseorang meniru sikap atau tingkah laku teman sebayanya dikarenakan
adanya tekanan yang nyata maupun yang hanya dibayangkan oleh mereka. Pada masa remaja,
peran teman sebaya memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perkembangannya. Salah
satu fungsi dari teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai informasi mengenai dunia
di luar keluarga. Salah satu hasil penelitian juga menyebutkan bahwa seseorang akan
cenderung banyak menghabiskan waktu untuk berinteraksi dengan teman sebaya ketika
mereka berusia remaja. Interaksi yang intens dengan teman sebaya ini juga mendorong
terciptanya konformitas bagi remaja itu sendiri terhadap lingkungan pertemanannya.
Konformitas semacam ini termasuk dalam normative conformity atau konformitas normatif.
Menurut Deutsch&Gerrard (1995) dan Kelley (1952) konformitas yang dimaksud disini
terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang ingin mendapat social rewards seperti rasa
kepemilikan dan penerimaan atau pengakuan dari kelompok lain sehingga mereka dapat
terhindar dari social punishment seperti dikucilkan, dipermalukan, dan lain sebagainya.
Konformitas normatif juga terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang mengekspresikan
perilaku dalam cara yang dapat diterima atau dapat membuatnya terhindar dari penolakan
kelompok lain. (Stangor, 2004, h. 90). Konformitas ini juga dapat memicu pembentukan gaya
hidup yang dimiliki oleh remaja. Dimana seorang remaja yang memiliki teman yang
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
nongkrong di 7-Eleven akan cenderung mendorong remaja tersebut untuk ikut nongkrong di
7-Eleven, sehingga akan terbentuk gaya hidup nongkrong di 7-Eleven.
Selanjutnya, status sosial ekonomi sebagai variabel kontrol dalam penelitian ini,
dimana menurut Soekanto (1990), status sosial ekonomi (SSE) mengarah pada konsep yang
menggambarkan posisi seseorang di dalam masyarakat berdasarkan penilaian terhadap tiga
unsur utamanya, yaitu tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jumlah pendapatan. Dalam
penelitian ini status sosial ekonomi digunakan sebagai variabel kontrol untuk melihat
pembedaan mengenai kelas sosial mana saja yang menjadi pengunjung di 7-Eleven. Dari sana
akan dapat terlihat kelas sosial apa yang paling banyak terpengaruh maupun dipengaruhi oleh
kehadiran 7-Eleven ini. Namun, karena objek penelitian ini merupakan remaja khususnya
yang masih usia sekolah, maka status sosial ekonomi mereka akan diukur dengan hanya
melihat pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan orang tua mereka.
Berdasarkan kajian teoritis ini, maka penelitian ini akan menguji beberapa hipotesis,
diantaranya :
1. Semakin tinggi sosialisasi keluarga tentang penerapan penanaman nilai-nilai dan
norma mengenai kebiasaan nongkrong maka akan semakin tinggi pula
kecenderungan remaja untuk memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven
2. Semakin tinggi tingkat konformitas seorang remaja terhadap temannya yang
nongkrong di 7-Eleven, maka akan semakin tinggi pula kecenderungan remaja
tersebut untuk memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven.
Disamping kedua hipotesis utama tersebut, peneliti akan juga menguji sebuah
hipotesis turunan, yaitu : Semakin tinggi status sosial ekonomi yang dimiliki oleh remaja
maka akan semakin tinggi pula kecenderungan remaja tersebut untuk memiliki gaya hidup
nongkrong di 7-Eleven.
Metode Penelitian
Penelitian kuantitatif ini menggunakan pengumpulan data melalui data primer yang
didapat dari kuesioner sebagai instrumen penelitian utama. Disamping itu, data juga
dilengkapi melalui wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang terkait dengan isu
gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven ini. Kriteria populasi dalam penelitian ini adalah
remaja yang berusia 13 hingga 21 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Sementara lokasi
penelitian dilakukan di 6 gerai 7-Eleven yang berada di wilayah Jakarta Selatan, yaitu . 7-
Eleven Tebet Barat Dalam, 7-Eleven Tebet Raya, 7-Eleven Bulungan, 7-Eleven Taman
Puring, 7-Eleven Karang tengah, serta 7-Eleven Pondok Labu. Gerai yang dipilih merupakan
gerai yang memiliki pengunjung teramai berdasarkan dari hasil observasi yang peneliti
lakukan. Proses pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2013.
Berdasarkan kriteria populasi tersebut, maka sampel ditarik secara non-random
dengan teknik purposive sampling. Purposive sampling merupakan pemilihan anggota sampel
yang didasarkan pada tujuan dan pertimbangan tertentu dari peneliti (Babbie, 1998). Tujuan
peneliti menggunakan teknik penarikan sampel ini adalah karena keterbatasan yang peneliti
miliki dalam hal pendataan pengunjung berusia remaja yang datang ke gerai 7-Eleven setiap
harinya, sebab pengunjung yang datang dapat berbeda-beda setiap harinya sehingga tidak
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
memungkinkan untuk mendata populasi secara keseluruhan. Maka dari itu, penentuan sampel
dilakukan dengan cara mewawancarai langsung pengunjung yang datang ke gerai 7-Eleven.
Sampel yang dipilih dalam penelitian ini berjumlah 100 orang. Untuk mengetahui apakah
seseorang dapat memenuhi karakteristik populasi, pertama-tama peneliti akan terlebih dahulu
menanyakan usianya. Jika usianya memenuhi batasan populasi yaitu remaja yang berusia 13
sampai 21 tahun maka proses wawancara akan dilanjutkan.
Temuan dan Analisis
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa karakteritik responden sebagian
besar didominasi oleh remaja berusia 13 hingga 15 tahun dengan persentase sebanyak 56%.
Hal ini menunjukkan bahwa mereka yang datang ke 7-Eleven merupakan anak-anak yang
masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Para remaja datang baik disaat
hari biasa atau weekday maupun hari libur atau weekend seperti hari sabtu dan minggu.
Sebagian dari mereka datang disaat jam pulang sekolah, untuk sekedar membeli produk
makanan dan minuman, ataupun memang dengan tujuan untuk nongkrong serta mengabiskan
waktu bersama teman-teman mereka.
Jika dilihat dari status sosial ekonomi keluarga responden yang diukur berdasarkan
pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan orang tua mereka, ditemukan bahwa sebagian besar
responden atau sebanyak 50% dari jumlah keseluruhan responden penelitian ini memiliki
tingkat status sosial ekonomi tinggi. Hanya sebanyak 22% responden yang memiliki tingkat
status sosial ekonomi yang rendah, sedangkan sisanya sebanyak 28% responden tergolong
dalam kategori tingkat SSE sedang. Tingginya status sosial ekonomi responden
memperlihatkan bahwa remaja pengunjung 7-Eleven memiliki latar belakang sosial dan
ekonomi keluarga yang tinggi. Hal ini didukung pula oleh tingginya pendidikan terakhir yang
dimiliki oleh orang tua responden yang juga berkaitan dengan pekerjaan serta penghasilan
yang dimiliki oleh orang tua responden.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa pengunjung 7-Eleven didominasi oleh
mereka yang berasal dari kelas sosial menengah ke atas. Dengan kata lain, kebiasaan untuk
nongkrong di 7-Eleven dimulai oleh mereka yang berada di kelas menengah atas. Jika hal ini
sudah menjadi kebiasaan pada masyarakat kelas menengah keatas maka kecenderungan untuk
diikuti kelas sosial lain dan kemudian menjadi gaya hidup akan sangat kuat atau besar. Sebab,
dapat dikatakan bahwa di masyarakat Indonesia saat ini, khususnya mereka yang hidup di
perkotaan, mereka yang termasuk dalam kelas sosial menengah keatas selalu menjadi
trendsetter bagi kelas sosial lain yang berada di bawahnya, dimana kecenderungan ini juga
dapat terjadi pada kebiasaan nongkrong di 7-Eleven.
Temuan lain yang menarik dalam penelitian ini adalah mengenai kecenderungan gaya
hidup nongkrong remaja di 7-Eleven. Berdasarkan hasil olah data statistik ditemukan bahwa
sebanyak 31% responden masuk ke dalam kategori rendah, dimana hal ini berarti 31 orang
responden cenderung belum menjadikan nongkrong di 7-Eleven sebagai suatu gaya hidup.
Hal ini dapat disebabkan berbagai macam hal, termasuk diantaranya terkait dengan ketiga
dimensi yang digunakan untuk mengukur kecenderungan gaya hidup ini. Mereka yang
memiliki gaya hidup nongkrong rendah dapat berarti bahwa kegiatan waktu luang yang
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
mereka gunakan di 7-Eleven masih sedikit, minat mereka terhadap 7-Eleven rendah, serta
opini yang mereka miliki tentang 7-Eleven cenderung negatif sehingga mengakibatkan
kecenderungan mereka untuk memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven masuk ke dalam
kategori rendah. Namun sebaliknya, bagi responden yang termasuk dalam kategori tinggi,
yaitu sebanyak 20% atau 20 orang responden, dapat berarti bahwa ketiga dimensi tersebut
masing-masing bernilai cukup tinggi sehingga mereka termasuk kategori remaja yang
memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven.
Sementara kecenderungan gaya hidup nongkrong yang dimiliki hampir sebagian besar
dari responden atau sebanyak 49% masih termasuk dalam kategori sedang. Yang dimaksud
dengan kategori sedang adalah bahwa kegiatan nongkrong di 7-Eleven belum signifikan
dikatakan menjadi gaya hidup para remaja perkotaan saat ini. Karena melalui kategori ini
dapat digambarkan bahwa kegiatan nongkrong di 7-Eleven masih dilihat sebagai sebuah
proses kearah pembentukan gaya hidup remaja perkotaan nongkrong di 7-Eleven. Dengan
kata lain, dapat dikatakan hal ini masih merupakan suatu kebiasaan baru bagi para remaja dan
belum melekat kuat sehingga belum dapat dijadikan sebagai sebuah gaya hidup.
Hal ini sejalan dengan penuturan informan K1 yang menyatakan bahwa kegiatan
nongkrong yang ia lakukan di 7-Eleven menurutnya bukanlah sebuah gaya hidup yang ia
miliki, melainkan hanyalah suatu kebiasaan baru yang dilakukannya sebagai efek dari
antusiasme yang tinggi akan kehadiran 7-Eleven. Sebab informan menganggap bahwa 7-
Eleven merupakan tempat yang menurutnya berbeda dari kafe-kafe yang selama ini ia
temukan di Jakarta sehingga ia menjadi tertarik untuk selalu mencoba hal-hal baru yang
ditawarkan oleh 7-Eleven. Disamping itu, informan juga menambahkan bahwa tidak menutup
kemungkinan kegiatan nongkrong yang dilakukan para remaja di 7-Eleven saat ini nantinya
akan membentuk sebuah gaya hidup tersendiri. Seperti halnya yang telah terjadi pada
kebiasaan ngopi-ngopi di kafe ataupun nongkrong di mall yang telah lebih dahulu terbentuk
sebagai suatu gaya hidup pada masyarakat Kota Jakarta ini.
Pada fase usia remaja, gaya hidup yang mereka anut dapat dikatakan sebagai „gaya
hidup sementara‟ menuju gaya hidup yang sesungguhnya berdasarkan identitas diri yang lebih
stabil (Susanto,2001). Sebab, pada fase usia ini identitas diri remaja dianggap belum stabil
atau dengan kata lain para remaja masih mengalami krisis identitas. Maka, gaya hidup disini
hadir sebagai pengekespresian identitas diri remaja atau dengan kata lain sebagai alat untuk
mengkomunikasikan siapa diri mereka, yang mereka tampilkan melalui kebiasaan nongkrong
tersebut.
Sosialisasi Keluarga Mengenai Gaya Hidup Nongkrong
Seperti yang telah diapaparkan sebelumnya, bahwa dalam penelitian ini melihat bahwa
ada faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gaya hidup nongkrong pada remaja,
dimana salah satunya adalah sosialisasi keluarga. Dalam kaitannya dengan gaya hidup
nongkrong, sosialisasi keluarga disini diartikan sebagai suatu proses penanaman nilai dan
norma mengenai gaya hidup nongkrong yang diberikan oleh keluarga kepada individu.
Penanaman nilai dan norma tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara, yang diantaranya
1 Wawancara mendalam pada tanggal 21 April 2013
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
melalui pengenalan, pembicaraan, saran, pengaturan tentang hal yang sebaiknya dilakukan
dan tidak mengenai kegiatan nongkrong, hingga kepada fasilitas yang diberikan untuk
melakukan kegiatan nongkrong tersebut. Berikut adalah grafik yang dapat menggambarkan
mengenai kecenderungan sosialisasi keluarga tentang gaya hidup nongkrong pada remaja.
Grafik 1. Sosialisasi Keluarga Mengenai Gaya Hidup Nongkrong
N=100
Sumber : Hasil Data Studi Peneliti 2013
Grafik tersebut memperlihatkan bahwa kecenderungan sosialisasi dari keluarga yang
didapatkan oleh responden mengenai gaya hidup nongkrong adalah sedang cenderung tinggi,
karena dapat dilihat bahwa hanya 2% responden yang mendapatkan sosialiasi mengenai gaya
hidup nongkrong dengan kategori rendah dari keluarganya. Hal ini sejalan dengan tingginya
tingkat persentase responden yang mendapatkan pengenalan serta melakukan pembicaraan
dengan keluarga mengenai kegiatan nongkrong. Selain itu, didukung juga tingginya
persentase responden yang mendapatkan izin untuk nongkrong serta banyaknya fasilitas yang
diberikan oleh keluarga terhadap responden.
Disamping itu, hasil temuan diatas juga dapat mendukung bahwa masyarakat
perkotaan saat ini memang sudah identik dengan gaya hidup nongkrong. Semakin banyaknya
fasilitas yang menyediakan tempat untuk nongkrong semakin melekatkan gaya hidup ini pada
kehidupan masyarakat perkotaan saat ini. Maka tidak mengherankan jika para remaja
perkotaan saat ini sejak dini sudah mulai membiasakan diri untuk melakukan kegiatan
nongkrong, sebab hal ini sudah diawali dari sosialisasi keluarga yang mendorong terciptanya
perilaku tersebut.
Hal ini dapat pula dikaitkan dengan temuan mengenai kecenderungan gaya hidup
nongkrong remaja, yang memperlihatkan bahwa kegiatan nongkrong di 7-Eleven masih dalam
proses untuk terbentuk menjadi suatu gaya hidup di kalangan remaja Jakarta. Kehadiran 7-
Eleven yang masih terbilang sangat baru dalam kehidupan masyarakat Jakarta, membuat
kegiatan nongkrong di 7-Eleven belum tersosialisasi secara mendalam pada diri remaja-
remaja perkotaan saat ini. Tetapi dengan melihat kecenderungan sosialisasi keluarga yang
cukup tinggi dapat menunjukkan bahwa seiring dengan jalannya proses sosialisasi dari
keluarga pada akhirnya akan turut membentuk kebiasaan nongkrong di 7-Eleven menjadi
sebuah gaya hidup para remaja Jakarta.
Rendah Sedang Tinggi
2%
50% 48%
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
Konformitas Terhadap Peer Group Mengenai Gaya Hidup Nongkrong
Sebagai salah satu kelompok yang memiliki pengaruh cukup besar dalam kehidupan
seorang remaja, peer group juga akan turut menentukan pembentukan gaya hidup seseorang.
Hal ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian yang menyebutkan bahwa tekanan yang
datang dari peer group akan cenderung menentukan bagaimana seorang remaja bersikap
sehingga dapat mempengaruhi gaya hidup yang dimilikinya. Dalam variabel ini, konformitas
terhadap peer group dilihat berdasarkan keinginan untuk meniru, tekanan yang diperoleh dari
peer group, serta sanksi yang diberikan oleh peer group. Berikut adalah kecenderungan
responden berkonformitas terhadap peer groupnya terkait dengan kebiasaan nongkrong.
Grafik 2. Konformitas Terhadap Peer Group Mengenai Gaya Hidup Nongkrong
N=100
Sumber : Hasil Data Studi Peneliti 2013
Berdasarkan kecenderungan tersebut, didapatkan hasil bahwa konformitas responden
terhadap peer group berada dalam kategori sedang cenderung rendah. Peneliti katakan
demikian karena dapat terlihat bahwa kategori rendah memiliki persentase yang lebih tinggi
dibanding dengan kategori tinggi, yaitu sebesar 16%. Meskipun tidak menunjukkan
perbedaan yang cukup jauh antara kedua kategori tersebut, tetapi dari deskripsi mengenai
pertanyaan dalam variabel yang mencakup tingkat keinginan untuk meniru, tekanan yang
diperoleh dari peer group, serta tingkat sanksi yang diberikan oleh peer group terlihat bahwa
tingkat konformitas responden cenderung rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan
rendahnya tingkatan sanksi dan tekanan yang didapatkan responden dari peer group-nya.
Kecenderungan persentase yang cukup tinggi hanya berada pada aspek keinginan untuk
meniru tetapi tidak disertai adanya tekanan dan sanksi dari peer group mereka dalam
melakukan kegiatan nongkrong.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kecenderungan responden nongkrong
di 7-Eleven didasarkan pada keinginan yang tinggi untuk meniru perilaku peer group mereka
yang juga biasa nongkrong di 7-Eleven. Keinginan yang tinggi untuk meniru perilaku
nongkrong peer group ini juga turut menjadi aspek utama penyebab semakin banyaknya anak-
anak remaja yang nongkrong di 7-Eleven. Karena seperti hasil temuan diatas, bahwa para
remaja ini memiliki keinginan besar untuk ikut nongkrong bersama teman-temannya. Begitu
pula yang terjadi di 7-Eleven, dimana para remaja yang datang ke 7-Eleven sebagian besar
karena meniru atau mengikuti teman-temannya yang juga pergi ke 7-Eleven.
Rendah Sedang Tinggi
16%
74%
10%
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
Hubungan Sosialisasi Keluarga dan Konformitas Peer Group Terhadap Pembentukan
Gaya Hidup Nongkrong Remaja Di 7-Eleven
Disamping melihat kecenderungan dari gaya hidup nongkrong yang dimiliki
responden, sosialisasi yang didapatkan responden dari keluarga mengenai gaya hidup
nongkrong, serta konformitas remaja terhadap peer group yang memiliki kebiasaan
nongkrong, maka selanjutnya akan dilihat pula bagaimana hubungan diantara sosialisasi
keluarga dan konformitas peer group terhadap pembentukan gaya hidup nongkrong remaja di
7-Eleven.
Pertama, ketika diuji hubungan antara sosialisasi keluarga dan gaya hidup nongkrong
di 7-Eleven didapatkan hasil bahwa kecenderungan gaya hidup nongkrong responden yang
semakin tinggi diikuti dengan sosialisasi keluarga yang cenderung semakin tinggi pula. Hal
ini ditunjukkan dengan hasil uji statistik Somers‟d yang menunjukkan arah positif, seperti
dalam tabel berikut :
Tabel 1. Hasil Uji Statistik Somers’d Antara Sosialisasi Keluarga Mengenai Gaya Hidup Nongkrong
Dengan Gaya Hidup Nongkrong Remaja Di 7-Eleven
Uji Statistik Variabel Nilai
Hubungan Signifikansi
Sosialisasi Keluarga Mengenai Gaya Hidup Nongkrong Dengan
Gaya Hidup Nongkrong Remaja Di 7-Eleven 0,279 0,001
Sumber : Hasil Data Studi Peneliti 2013
Dari tabel ini dapat terlihat bahwa nilai hubungan antara kedua variabel tersebut
adalah 0,279 yang berarti diantara varibel sosialisasi keluarga dan gaya hidup nongkrong ini
memiliki hubungan yang korelasinya positif dan kekuatan hubungannya termasuk dalam
kategori lemah. Korelasi positif yang didapat dari hubungan kedua variabel ini, membuat
hipotesis penelitian ini diterima. Dimana dalam hipotesis telah disebutkan bahwa semakin
tinggi sosialisasi keluarga tentang penerapan penanaman nilai-nilai dan norma mengenai
kebiasaan nongkrong maka akan semakin tinggi pula kecenderungan remaja untuk memiliki
gaya hidup nongkrong di 7-Eleven.
Sementara hubungan yang lemah antar kedua variabel ini dapat menggambarkan
bahwa belum tersosialisasinya kebiasaan untuk nongkrong di 7-Eleven, sebab 7-Eleven
sendiri dapat dikatakan sebagai tempat yang kehadirannya terbilang baru di tengah-tengah
masyarakat Jakarta saat ini. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa pada akhirnya
kebiasaan nongkrong di 7-Eleven akan disosialisasikan oleh keluarga seperti halnya kebiasaan
nongkrong di kafe atau mall yang saat ini sudah menjadi gaya hidup pada masyarakat
perkotaan. Jadi, dapat dikatakan gaya hidup nongkrong di 7-Eleven masih dalam suatu fase
pembentukan untuk mengarah menjadi sebuah gaya hidup baru di masyarakat.
Keberlakuan hubungan antar variabel ini pada tingkat populasi dapat dilihat dari nilai
signifikansi yaitu sebesar 0,001 yang lebih kecil dari nilai alpha (0,05). Sehingga hubungan
yang lemah antara sosialisasi keluarga dan gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven dapat
diberlakukan atau digeneralisasikan pada tingkat populasi. Dalam artian, secara luas atau
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
dalam kehidupan masyarakat perkotaan, terutama Jakarta, sosialisasi keluarga memiliki
pengaruh terhadap pembentukan gaya hidup yang dimiliki seseorang, salah satunya adalah
gaya hidup nongkrong pada remaja.
Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ternyata memang benar jika
dikatakan sosialisasi yang didapatkan dari keluarga akan membentuk gaya hidup seseorang.
Sebab keluarga sebagai agen sosialisasi primer dalam fase kehidupan seseorang, merupakan
tempat utama individu mendapatkan pelajaran mengenai bagaimana cara-cara kehidupan
masyarakat yang diatur melalui normai dan nilai yang berlaku di masyarakat itu sendiri.
Seorang individu, terutama mereka yang berada pada fase usia remaja, berada pada fase
dimana ia akan mencari identitas dirinya, sehingga ia dapat mengetahui perannya di
masyarakat saat memasuki usia dewasa kelak. Lebih jauh, pada masa ini peran keluarga
dalam mensosialisasikan nilai dan norma dalam kehidupan masyarakat menjadi penting untuk
kemudian mulai dipraktekkan oleh remaja tersebut ketika ia memasuki dunia yang jauh lebih
luas diluar keluarganya.
Sosialisasi yang mereka dapatkan sejak usia dini mengenai kebiasaan nongkrong
membuat mereka menerapkannya dalam kehidupan sosialnya -- bersama dengan kelompok
teman sebaya -- sehingga banyak dari remaja tersebut pada akhirnya menjadikan nongkrong
sebagai suatu gaya hidup. Disamping itu, meskipun ditemukan bahwa hubungan antara
sosialisasi keluarga dan gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven masih cenderung lemah,
tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa lambat laun keluarga juga akan mensosialisasikan
kebiasaan nongkrong di 7-Eleven kepada para remaja. Sehingga pada akhirnya nongkrong di
7-Eleven terbentuk sebagai suatu gaya hidup baru di tengah-tengah masyarakat perkotaan.
Seperti yang diungkapkan Chaney, bahwa dengan memiliki gaya hidup nongkrong,
para remaja ingin membedakan diri mereka dalam rangka menunjukkan identitas diri, dengan
memiliki suatu cara kehidupan yang khas yang dapat dikenali melalui perilaku ekspresif
berupa kebiasaan nongkrong. Sehingga mereka dapat terlihat berbeda dibandingkan dengan
orang lain yang tidak memiliki gaya hidup ini. Terbukti dengan tingginya tingkat antusiasme
para remaja dalam menyambut kehadiran 7-Eleven, yang notabene menjadikan remaja sebaga
target pemasaran mereka, sehingga secara kasat mata pun dapat terlihat bahwa yang memiliki
kebiasaan nongkrong di 7-Eleven adalah mereka yang berusia remaja.
Selanjutnya, kecenderungan serupa juga dapat terlihat pada hubungan antara variabel
konformitas terhadap peer group dengan gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven, yang
memperlihatkan kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat konformitas terhadap peer
group maka semakin tinggi pula kecenderungan untuk memiliki gaya hidup nongkrong di 7-
Eleven. Hal ini terlihat dari persentase responden yang memiliki gaya hidup semakin tinggi
diikuti dengan tingkat konformitas terhadap peer group yang semakin tinggi pula. Secara
sosiologis temuan ini menjadi menarik dan menunjukkan kecenderungan bahwa gaya hidup
nongkrong di 7-Eleven merupakan bagian dari gaya hidup kelompok remaja 13-21 tahun.
Melalui tabel berikut akan lebih jelas dipaparkan mengenai korelasi atau hubungan
antara konformitas peer group dan gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
Tabel 2. Hasil Uji Statistik Somers’d Antara Konformitas Terhadap Peer Group Mengenai Gaya Hidup
Nongkrong Dengan Gaya Hidup Nongkrong Remaja Di 7-Eleven
Uji Statistik Variabel Nilai
Hubungan Signifikansi
Konformitas Terhadap Peer group Mengenai Gaya Hidup Nongkrong
Dengan Gaya Hidup Nongkrong Remaja Di 7-Eleven 0,239 0,013
Sumber : Hasil Data Studi Peneliti 2013
Berdasarkan uji statistik Somers’d tersebut terlihat bahwa kedua variabel ini memiliki
nilai hubungan sebesar 0,239, yang berarti bahwa antara variabel konformitas terhadap peer
group dan variabel gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven memiliki kekuatan hubungan
yang tergolong lemah dengan korelasi yang positif. Hubungan ini menggambarkan bahwa
konformitas terhadap peer group yang memiliki kebiasaan nongkrong memiliki pengaruh
terhadap pembentukan gaya hidup nongkrong remaja di 7-Eleven, meskipun pengaruh yang
didapatkan terbilang lemah. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini dapat
diterima, dimana dalam hipotesis disebutkan bahwa semakin tinggi tingkat konformitas
seorang remaja terhadap temannya yang nongkrong di 7-Eleven, maka akan semakin tinggi
pula kecenderungan remaja tersebut untuk memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven.
Dengan nilai signifikansi sebesar 0,013 berarti bahwa korelasi antara kedua variabel ini dapat
diberlakukan di tingkat populasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada kehidupan remaja pada
umumnya, kecenderungan mereka untuk berkonformitas terhadap peer group-nya akan
mempengaruhi gaya hidup yang mereka miliki, terutama yang terkait dengan gaya hidup
nongkrong ini.
Sebagai sebuah tempat baru yang hadir ditengah kehidupan masyarakat Jakarta, 7-
Eleven menjadi salah satu tempat alternatif bagi para remaja untuk menghabiskan waktu
dengan nongkrong bersama teman-teman mereka. Selain didukung oleh adanya sosialisasi
keluarga tentang kebiasaan nongkrong, tingginya minat dan antusiasme para remaja terhadap
kehadiran 7-Eleven ini ternyata didukung juga oleh keinginan mereka untuk meniru perilaku
teman-teman mereka yang memiliki kebiasaan nongkrong di 7-Eleven. Hal ini lah yang
membuat semakin banyaknya para remaja yang nongkrong di 7-Eleven baik saat hari-hari
sekolah maupun saat hari libur seperti weekend dan musim liburan sekolah.
Tinggi rendahnya konformitas seseorang terhadap peer groupnya sangat ditentukan
oleh bagaimana interaksi dalam peer group tersebut berjalan. Dengan melihat data temuan
yang menyatakan bahwa tingkat tekanan dan sanksi yang diberikan oleh peer group tergolong
rendah pada pembahasan sebelumnya, memperlihatkan bahwa kecenderungan pembentukan
gaya hidup nongkrong pada remaja lebih banyak didasari oleh keinginan individual untuk
meniru semata, tanpa adanya tekanan yang berarti dari peer group mereka. Hal ini sejalan
dengan hasil wawancara informan T2 berikut :
“ya ga ada sih paling buat seru-seru aja ngobrol sama ngumpul-ngumpul. Trus juga supaya
lebih deket aja sama mereka. Seneng aja sih aku ngumpul –ngumpul gitu….”
“ngga ko temen-temen ngga ada yang maksa aku untuk ikut nongkrong sama mereka. Soalnya
kalo aku ngga ikut pun mereka juga ngga akan marah. Paling awalnya aku dibujuk-bujuk dulu supaya
mau ikut. Tapi kalo emang aku nya ngga bisa ya mereka juga ngga maksa lagi.”
2 Wawancara mendalam pada tanggal 20 April 2013
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
Disamping itu, informan K3 juga menyebutkan bahwa kebiasaan nongkrong yang ia
lakukan di 7-Eleven berawal dari pengaruh yang dibawa oleh teman-temannya yang
menceritakan pengalaman tentang keberadaan 7-Eleven. Hal tersebut akhirnya membuat
informan ingin mengikuti perilaku peer groupnya yang sudah terlebih dahulu memiliki
kebiasaan nongkrong di 7-Eleven, tanpa didasari tekanan atau paksaan dari peer groupnya
tersebut, seperti yang terdapat dalam kutipan wawancara berikut :
“awalnya ke sevel gara2 diajakin temen, mereka bilang makanannya enak-enak trus murah.
Setelah gw coba sendiri ternyata emang bener enak trus tempatnya juga enak buat duduk2. Jadi ya
smp skrg gw suka aja pergi ke sevel”
Menurut Baron, Branscombe, dan Byrne (2008), ada tiga faktor yang dapat
mempengaruhi konformitas, diantaranya kohesivitas kelompok, besar kelompok, dan tipe dari
norma sosial (Sarwono dan Meinarno, 2011). Kohesivitas adalah sejauh mana seseorang
tertarik pada kelompok sosial tertentu dan ingin menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Dalam kasus para remaja ini, kohesivitas yang terjadi antara para remaja dengan peer group-
nya dapat tergolong cukup besar, karena seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa
remaja cenderung ingin menjadi bagian dari kelompok teman sebayanya dengan cara
mengikuti teman-temannya untuk nongkrong agar menjadi lebih akrab.
Kemudian mengenai faktor besar kelompok, dimana semakin besar ukuran kelompok
maka akan semakin banyak orang yang berperilaku dengan cara-cara tertentu, sehingga
semakin banyak yang mau mengikutinya. Melihat banyaknya kelompok remaja yang saat ini
memiliki kebiasaan nongkrong cenderung membuat remaja lain untuk mengikuti perilaku ini.
Dengan hadirnya 7-Eleven maka semakin bertambah fasilitas bagi para remaja untuk
nongkrong.
Selanjutnya mengenai faktor tipe norma sosial, dimana norma sosial terbagi menjadi
dua macam yaitu norma injunctive (hal apa yang seharusnya dilakukan) dan norma
descriptive (hal apa yang kebanyakan orang lakukan). Dalam kasus ini, kebiasaan nongkrong
termasuk kedalam tipe norma descriptive, dimana nongkrong telah menjadi suatu hal yang
kebanyakan orang lakukan, khususnya bagi para remaja. Sehingga para remaja ini akan
cenderung untuk melakukan kegiatan nongkrong seperti yang dilakukan oleh remaja lainnya.
Sehingga semakin meningkatkan kecenderungan remaja berkonformitas terhadap peer group-
nya yang memiliki kebiasaan nongkrong.
Pada pembahasan mengenai kecenderungan konformitas pada remaja ditemukan
bahwa kecenderungan remaja untuk ikut nongkrong bersama teman-temannya cukup tinggi,
yaitu lebih dari 70% dari keseluruhan responden. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari
informan T dan K yang menyatakan bahwa mereka memang selalu ikut dengan teman-
temannya ketika teman mereka pergi nongkrong. Kecenderungan ini juga dapat menjadi dasar
dari munculnya “anak-anak sevel”4 di tengah-tengah kehidupan remaja Jakarta saat ini. Maka
dari itu, meski ditemukan bahwa kebiasaan nongkrong di 7-Eleven belum menjadi suatu gaya
hidup atau dapat dikatakan masih berproses menjadi sebuah gaya hidup, tetapi dengan adanya
3 Wawancara mendalam pada tanggal 21 April 2013 4 “anak-anak sevel” ditujukkan pada para remaja yang biasa menghabiskan waktu luangnya untuk nongkrong di 7-Eleven.
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
kecenderungan konformitas para remaja terhadap peer group-nya untuk nongkrong di 7-
Eleven ini akan semakin meningkatkan proses pembentukan gaya hidup nongkrong tersebut.
Hubungan Antara Sosialisasi Keluarga dan Konformitas Terhadap Peer group Dengan
Gaya Hidup Nongkrong Remaja Di 7-Eleven berdasarkan Status Sosial Ekonomi
Setelah dikontrol dengan variabel status sosial ekonomi, terjadi perubahan nilai
hubungan dan nilai signifikansi pada hubungan antara variabel sosialisasi keluarga dan gaya
hidup nongkrong. Dimana pada tingkat SSE rendah terjadi peningkatan nilai hubungan
menjadi 0,538, yang berarti bahwa hubungan antar kedua variabel tersebut menjadi cukup
kuat dan korelasinya positif. Pada tingkat SSE sedang juga terjadi peningkatan nilai hubungan
menjadi 0,342 namun masih tetap tergolong hubungan yang lemah dengan korelasi positif.
Sementara hal sebaliknya terjadi pada kategori tingkat SSE tinggi dimana nilai hubungan
antar kedua variabel turun menjadi 0,121 yang berarti bahwa hubungannya menjadi semakin
lemah dan korelasinya masih tergolong positif.
Hasil temuan ini memperlihatkan bahwa sosialisasi keluarga pada mereka yang
memiliki SSE rendah justru menjadi paling signifikan untuk memiliki gaya hidup nongkrong
di 7-Eleven. Hal ini didukung juga dengan nilai signifikansi kategori ini yang bernilai kurang
dari nilai alpha, sehingga temuan ini dapat diberlakukan atau digeneralisasikan pada tingkat
populasi. Dari aspek sosiologis, temuan ini menjadi menarik karena sebelumnya pada
hipotesis turunan, diduga bahwa mereka yang mempunyai kecenderungan untuk memiliki
gaya hidup nongkrong di 7-Eleven adalah mereka yang memiliki SSE cenderung semakin
tinggi. Namun hipotesis turunan tersebut ternyata tidak terbukti, sebab pada temuan ini
ternyata justru semakin rendah tingkatan SSE yang dimiliki maka menjadi semakin signifikan
untuk memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven.
Hasil tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat yang berada dikelas bawah justru
memiliki sosialisasi mengenai gaya hidup nongkrong paling tinggi dibanding mereka yang
berada dikelas menengah dan atas. Hal ini berarti bahwa para orang tua yang berada pada
kelompok SSE rendah cenderung lebih kuat mensosialisasikan tentang gaya hidup nongkrong
kepada anak-anak mereka. Para orang tua tersebut memiliki keinginan agar anak-anak remaja
mereka dapat mengikuti gaya hidup yang dimiliki oleh kelompok SSE menengah dan tinggi,
meskipun secara status sosial ekonomi mereka berada pada kelompok rendah. Dalam hal ini
mereka yang berada pada kelompok SSE sedang dan tinggi memiliki peranan sebagai
reference group bagi mereka yang berada pada kelompok SSE rendah. Reference group
merupakan kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang yang bukan anggota
kelompok untuk membentuk pribadi dan perilakunya (Soekanto, 1990, h.125). Mereka yang
berada pada SSE rendah mencoba menjadikan gaya hidup kelompok sedang dan tinggi
menjadi acuan mereka dalam berperilaku, yang pada akhirnya membuat mereka mengikuti
gaya hidup yang dimiliki oleh kelompok SSE sedang dan tinggi dengan cara
mensosialisasikan gaya hidup tersebut di dalam keluarga. Hal ini dapat dipahami karena gaya
hidup kelas menengah atas di perkotaan seringkali dijadikan “trendsetter” bagi strata sosial
lainnya.
Kecenderungan ini dapat terjadi sebagai akibat dari usaha masyarakat kelas bawah
untuk mencapai prestise dalam masyarakat. Sebab, dalam status sosial tersimpan unsur
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
prestise sehingga pemakaian symbol status menjadi suatu hal yang penting (Susanto, 2001,
h.10). Simbol status yang dimaksudkan disini adalah berupa gaya hidup nongkrong di 7-
Eleven tersebut. Tujuan dari penggunaan simbol status ini adalah untuk memproyeksikan citra
diri yang dimiliki oleh seseorang, dimana dalam hal ini meskipun mereka berasal dari
kelompom SSE rendah, tetapi dengan memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven dapat
membuat mereka mendapatkan respect atau pengakuan dari masyarakat akan citra yang ingin
mereka tampilkan, yaitu sebagai masyarakat yang tergolong „mampu‟ karena bisa nongkrong
di tempat yang dianggap modern dan elit oleh masyarakat, khususnya remaja perkotaan saat
ini.
Bagi mereka yang memiliki tingkat SSE tinggi justru memiliki kecenderungan gaya
hidup nongkrong di 7-Eleven yang lebih rendah dengan dipengaruhi oleh sosialisasi mengenai
kebiasaan nongkrong yang cenderung rendah pula dari keluarga mereka. Namun, temuan ini
tidak dapat digeneralisasikan di tingkat populasi karena nilai signifikansi mengalami
peningkatan menjadi 0,375 dan lebih besar dari nilai alpha yang berarti bahwa kecenderungan
ini hanya dapat berlaku di tingkat sampel saja. Sehingga, dapat dikatakan bahwa remaja-
remaja lain yang berada di luar sampel penelitian ini belum tentu memiliki kecenderungan
yang serupa. Karena pada kenyatannya, berdasarkan hasil observasi di lapangan dan
wawancara mendalam dengan informan ditemukan bahwa meskipun mereka memiliki tingkat
SSE yang tergolong tinggi mereka tetap menjadikan nongkrong di 7-Eleven sebagai suatu
kebiasaan baru dan tidak tertutup kemungkinan akan menjadi suatu gaya hidup bagi mereka.
Ditambah lagi jika hal ini juga didukung dengan besarnya tingkat sosialisasi dari keluarga
mengenai kebiasaan nongkrong seperti yang terjadi pada informan T, dimana ia menyatakan
bahwa orang tua dan saudaranya sering mengajaknya untuk pergi nongkrong baik di kafe,
mall dan juga di 7-Eleven pada hari libur atau weekend.
Selanjutnya, pada hubungan antara konformitas peer group dengan gaya hidup
nongkrong remaja di 7-Eleven setelah dikontrol dengan variabel status sosial ekonomi, terjadi
perubahan nilai baik pada korelasi maupun nilai signifikansi didalam hubungan antara
variabel konformitas terhadap peer group dan gaya hidup nongkrong. Pada tingkat SSE
rendah nilai hubungan mengalami peningkatan menjadi 0,515, yang berarti bahwa kekuatan
hubungan kedua variabel menjadi lebih kuat dan berkorelasi positif. Sedangkan pada tingkat
SSE tinggi, juga terjadi sedikit peningkatan hubungan dengan nilai 0,250 dengan hubungan
positif. Namun, hal sebaliknya terjadi pada tingkat SSE sedang, dimana terdapat perubahan
korelasi antara kedua variabel menjadi negatif dengan nilai hubungan -0,041.
Temuan ini memperlihatkan bahwa bagi mereka dengan kelompok SSE rendah, akan
semakin memiliki keinginan untuk menjadi seperti kelompok SSE rendah dan tinggi, atau
dengan kata lain kelompok SSE bawah berkonformitas terhadap kelompok SSE menengah
dan atas. Semakin rendah SSE yang dimiliki mereka akan semakin cedenrung untuk
berkonformitas terhadap peer groupnya sehingga semakin signifikan untuk memiliki gaya
hidup nongkrong di 7-Eleven.
Kelompok SSE rendah memiliki keinginan menjadi seperti kelompok kelas menengah
dan atas sehingga mereka semakin kuat kecenderungannya berkonformitas terhadap peer
groupnya untuk memiliki gaya hidup nongkrong di 7-Eleven. Konformitas semacam ini
termasuk dalam normative conformity, dimana menurut Deutsch&Gerrard (1995) dan Kelley
(1952) konformitas yang dimaksud disini terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
ingin mendapat social rewards seperti rasa kepemilikan dan penerimaan atau pengakuan dari
kelompok lain sehingga mereka dapat terhindar dari social punishment seperti dikucilkan,
dipermalukan, dan lain sebagainya (Stangor, 2004, h. 90). Untuk menghindar dari social
punishment di masyarakat, maka sebagai kelompok yang memiliki status rendah pada
akhirnya mereka akan berkonformitas dengan kelompok lain yang berstatus lebih tinggi agar
bisa mendapatkan pengakuan di masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan teori reference
group, dimana kelompok SSE rendah menjadikan kelompok SSE sedang dan tinggi sebagai
kelompok acuannya dalam berperilaku, sehingga mereka cenderung untuk mengikuti gaya
hidup yang dimiliki oleh kelompok yang kedudukannya lebih tinggi.
Disamping itu, dalam teori pertukaran sosial, disebutkan bahwa mereka yang sadar
bahwa dirinya berada pada kelompok status yang lebih rendah daripada kelompok lain, akan
cenderung untuk meninggalkan kelompok tersebut. Namun, jika pilihan untuk meninggalkan
kelompoknya menjadi tidak memungkinkan, maka mereka yang berada pada kelompok status
rendah akan meninggalkan kelompok tersebut secara psikologis dengan menciptakan jarak
mereka dengan kelompok mereka berasal atau berusaha meyakinkan diri mereka sendiri
bahwa mereka bukanlah bagian dari kelompok tersebut (Stangor, 2004, h. 79). Penjelasan ini
dapat mendukung temuan diatas, dimana masyarakat yang berada pada tingkat SSE rendah
secaramodal ekonomi tidak dapat meninggalkan kelompok status tersebut. Maka dari itu
mereka berusaha mencari cara lain, yaitu diantaranya dengan menjadikan masyarakata pada
kelompok SSE sedang dan tinggi sebagai reference group mereka. Hal ini bertujuan agar
masyarakat SSE rendah bisa mendapatkan pengakuan dari kelompok masyarakat lain, dengan
meyakinkan diri bahwa mereka bisa mengikuti gaya hidup yang dianut oleh kelompok atas.
Temuan ini dapat menjadi suatu masalah besar pada kehidupan masyarakat perkotaan
di Indonesia saat ini. Disini terjadi sebuah pemaksaan gaya hidup dari kelas bawah kepada
kelas atas. Sebab, kelompok bawah sebagai kelompok yang secara umum dianggap tidak
memiliki cukup modal baik modal ekonomi maupun sosial, memaksakan diri mereka untuk
dapat mengikuti gaya hidup kelompok menengah dan atas. Sehingga hal ini dapat
menimbulkan berbagai permasalahan sosial, terutama yang menyangkut remaja sebagai
generasi penerus bangsa. Jika remaja terbiasa untuk memiliki kecenderungan memaksakan
gaya hidup yang mereka miliki padahal secara modal mereka tidak mampu, maka
permasalahan sosial seperti kriminalitas, prostitusi dan lain sebagainya akan mengalami
peningkatan yang cukup signifikan, hanya demi untuk mencapai gaya hidup yang dianut oleh
kelas atas.
Namun pola sebaliknya justru terjadi pada pada kelompok SSE sedang, dimana
hubungan antara konformitas dengan gaya hidup nongkrong menjadi negatif. Hal ini dapat
diartikan bahwasecara sosiologis memang bisa terjadi kecenderungan pada masyarakat
dengan srata lebih rendah cenderung mengikuti gaya hidup masyarakat yang memiliki strata
lebih tinggi atau dengan kata lain masyarakat kelas menengah atas menjadi “trendsetter” bagi
mereka yang berada di kelas bawah. Agar masyarakat bisa menerima mereka yang berada di
kelas bawah sebagai kelas menengah atas. Disini terjadi apa yang disebut dengan gaya hidup
semu atau gaya hidup yang tidak sesuai dengan keberadaan kelas sesungguhnya.
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
Kesimpulan
Fenomena nongkrong di 7-Eleven telah menjadi sebuah kebiasaan baru pada remaja
Jakarta saat ini. Berdasarkan temuan, didapatkan hasil bahwa kebiasaan nongkrong di 7-
Eleven membentuk kecenderungan untuk menjadi sebuah gaya hidup baru bagi para remaja
tersebut. Proses pembentukan gaya hidup nongkrong ini sudah berpola atau telah menjadi
suatu pola sosial yang dipengaruhi oleh dua faktor utama, yang diantaranya adalah pengaruh
dari sosialisasi keluarga dan konformitas remaja terhadap peer group-nya yang memiliki
kebiasaan nongkrong
Berdasarkan hasil temuan, terlihat bahwa sosialisasi keluarga dan konformitas
terhadap peer group memberikan pengaruh terhadap terbentuknya gaya hidup nongkrong
remaja di 7-Eleven. Meskipun ditemukan bahwa masing-masing variabel memiliki hubungan
yang lemah, tetapi korelasinya tetap bernilai positif sehingga menunjukkan bahwa baik antara
variabel sosialisasi keluarga dengan gaya hidup nongkrong maupun antara variabel
konformitas peer group dengan variabel gaya hidup nongkrong memiliki pengaruh antara satu
sama lain.
Setelah dikontrol dengan variabel status sosial ekonomi, ternyata didapatkan hasil
bahwa mereka yang berada pada tingkat status sosial ekonomi rendah cenderung menguatkan
hubungan baik antara variabel sosialisasi keluarga dengan gaya hidup nongkrong, mapun
antara variabel konformitas peer group dengan gaya hidup nongkrong. Temuan ini
memperlihatkan bahwa pada kelompok status SSE rendah terdapat kecenderungan
menjadikan kelompok sse sedang dan tinggi sebagai reference group mereka, sehingga
mereka meniru gaya hidup yang dianut oleh kelompok yang statusnya lebih tinggi tersebut
Saran
Saran Akademis
Bagi perkembangan Sosiologi sebagai suatu ilmu, kajian-kajian terhadap kehidupan
remaja di perkotaan akan memberikan kontribusi terhadap dinamika perubahan sosial yang
cepat di masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyadari bahwa penelitian
ini memiliki banyak keterbatasan dan kekurangan, oleh karena itu diperlukan berbagai studi
lanjutan secara mendalam (kualitatif) untuk mengungkapkan bagaimana proses sosialisasi
kondusif membentuk gaya hidup berbagai kelompok usia di perkotaan.
Selain itu, peneliti berharap penelitian ini akan dapat lebih dikembangkan dengan
melihat lebih banyak lagi faktor-faktor sosial lain yang dapat membentuk gaya hidup
masyarakat di perkotaan, serta penelitian selanjutnya diharapkan akan lebih dapat
mengungkap dampak dari gaya hidup yang dimiliki masyarakat perkotaan saat ini. Kajian
seperti ini akan bermanfaat baik bagi pemerintah, pasar (pengusaha) dan masyarakat,
khususnya di tingkat keluarga dan komunitas.
Selain bermanfaat bagi kajian sosiologi perkotaan, temuan dalam penelitian ini juga
dapat menjadi sumbangan bagi kajian sosiologi keluarga. Dimana untuk penelitian
selanjutnya disarankan untuk dapat melihat lebih spesifik kearah hubungan antara keluarga
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
dengan gaya hidup. Misalnya secara kualitatif menelaah keluarga seperti apa yang cenderung
membentuk gaya hidup nongkrong pada anak-anak remaja.
Saran Praktis
Dalam era globalisasi yang tanpa melihat lagi batas-batas wilayah dan negara,
dinamika pasar mampu mendorong perubahan sosial di masyarakat perkotaan. Bagi aktor
yang bergerak di bidang bisnis terkait pasar, peneliti memberikan saran praktis kepada PT.
Modern Indonesia selaku perusahaan yang mengelola 7-Eleven, dan juga kepada pemerintah
serta masyarakat yang dalam hal ini merupakan stakeholders dari perusahaan tersebut.
Pemerintah selaku pejabat negara memiliki andil yang cukup besar dalam hal pesatnya
pertumbuhan 7-Eleven di Jakarta saat ini, terutama dalam hal perizinan pembangunan gerai-
gerai 7-Eleven tersebut. Sebaiknya pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah DKI Jakarta
bersama dengan kepala dinas pendidikan, membuat peraturan yang lebih tegas dan ketat
dalam hal perizinan pembangunan toko ritel di Jakarta yang berada pada wilayah sekolah.
Karena seperti apa yang telah ditemukan dalam penelitian ini bahwa persebaran 7-Eleven saat
ini banyak yang berlokasi di dekat sekolah-sekolah. Maka, pemerintah sebaiknya mulai
membuat peraturan yang dapat mengatur jarak lokasi gerai 7-Eleven dengan wilayah sekolah
di Jakarta. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat penelitian ini telah menunjukkan bahwa
banyak dari para remaja, yang notabene merupakan anak-anak usia sekolah, yang
menghabiskan waktu luang dengan nongkrong di 7-Eleven.
Selanjutnya, kepada perusahaan pengelola 7-Eleven peneliti menyarankan tidak hanya
mengutamakan remaja sebagai target pasar yang strategis tetapi juga harus bisa bertanggung
jawab secara sosial khususnya kepada para remaja yang masih berusia 13 hingga 15 tahun
yang notabene menjadi kategori umur terbesar sebagai pengunjung 7-Eleven. Tanggung
jawab sosial yang dimaksud disini adalah para pengusaha harus menyadari bahwa konsumen
mereka datang dari remaja yang masih “rentan” terhadap pengaruh perilaku “negatif”,
sehingga aktor di bidang bisnis ikut memberikan edukasi dan menegakkan aturan yang
berlaku, misal pembelian minuman keras, merokok di lingkungan bisnis mereka. Petunjuk
yang akan mempengaruhi terhadap perilaku menyimpang dibuat dalam bentuk menarik atau
ajakan peringatan preventif bagi para konsumen remaja.
Disamping itu, diharapkan juga pengelola 7-Eleven untuk dapat bekerjasama dengan
pemerintah dalam membuat peraturan yang melarang remaja untuk berada di 7-Eleven pada
jam-jam sekolah atau melarang pelajar berpakaian sekolah untuk nongkrong di 7-Eleven. Hal
ini diharapkan akan dapat mengurangi kebiasaan nongkrong yang dimiliki para remaja saat ini
khususnya pada hari-hari sekolah. Sehingga akan mampu membuat para remaja untuk
berkembang lebih produktif. Disamping itu, untuk mengontrol akses para remaja terhadap
rokok dan minuman beralkohol, pengelola 7-Eleven sebaiknya memperketat peraturan
mengenai pembelian rokok dan minuman keras dengan melarang mereka yang tidak berusia
diatas 21 tahun untuk membeli rokok dan minuman keras tersebut.
Saran berikutnya kepada masyarakat, khususnya bagi para remaja sebaiknya dapat
mencari kegiatan-kegiatan yang bersifat kreatif dan produktif dalam rangka menghabiskan
waktu luang yang dimiliki, sehingga nongkrong tidak lagi menjadi pilihan utama bagi mereka
dalam menghabiskan waktu luang. Mendukung hal ini, orang tua juga sebaiknya mengambil
peran secara aktif untuk mengontrol aktivitas atau kegiatan anak-anak remaja mereka,
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
khususnya bagi orang tua yang memiliki anak-anak berusia remaja awal seperti usia 13
hingga 15 tahun, terutama yang terkait dengan kegiatan dalam waktu luang remaja-remaja
tersebut. Disamping itu, studi ini juga menemukan bahwa ternyata peer group memiliki
pengaruh terhadap pembentukan gaya hidup remajaperkotaan saat ini. Berdasarkan hal
tersebut diharapkan orang tua lebih dapat mengamati dan mengontrol siapa saja yang menjadi
teman anak-anak mereka. Karena teman sebaya ternyata memiliki pengaruh yang cukup
signifikan bagi perkembangan remaja di perkotaan saat ini.
Disamping itu, berdasarkan temuan dalam penelitian ini, orang tua diharapkan untuk
lebih berhati-hati dalam mensosialisasikan nilai-nilai, terutama terkait dengan hal bersifat
material yang dapat membuat anak merasa harus mempunyai gaya hidup yang dimiliki oleh
kelas atas. Agar pada akhirnya tidak menimbulkan berbagai permasalahan sosial seperti
kriminalitas, prostitusi dan sebagainya, yang terjadi akibat adanya pemaksaan gaya hidup dari
kelas bawah terhadap kelas atas. Orang tua diharapkan lebih dapat memilah-milah hal-hal apa
saja yang sebaiknya diajarkan dan tidak kepada anak khususnya bagi orang tua yang memiliki
anak-anak usia remaja.
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
Daftar Referensi
I. Buku
Chaney, David. (2004). Lifestyle sebuah pengantar komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra.
Daljoeni, N. (1992). Seluk beluk masyarakat kota. (Cetakan ke IV). Bandung
Desmita. (2010). Psikologi perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Henslin, James M. (2009). Sosiologi dengan pendekatan membumi. Jakarta : Erlangga
Ismani. (1991). Pokok-pokok sosiologi perkotaan. Cetakan pertama. Malang
Neuman, W. Lawrence. (2006). Social research methods.(6th
ed.). Boston: Pearson Education
Inc.
Rojek, Chris. (2005). Leisure theory : principles and practice. Palgrave Macmillan.
Santosa, Slamet. (2006). Dinamika kelompok. (Ed. Rev., Cet.2). Jakarta : Bumi Aksara
Sarwono, Sarlito W., Meinarno, Eko A. (2011). Psikologi sosial. Jakarta : Salemba
Humanika.
Soekanto,Soerjono. (1990) Sosiologi suatu pengantar. (Cetakan IV). Jakarta.
Stangor, Charles. (2004). Social groups in action and interaction. New York : Taylor and
Francis Books, Inc.
Sunarto, Kamanto. (2003). Pengantar sosiologi. Depok: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Susanto, A.B. (2001). Potret-potret gaya hidup metropolis. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Wim van Zanten. (1994). Statistika untuk ilmu-ilmu sosial. (Edisi Kedua). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
II. Karya Akademis
Amalia, Rani Puti. (2007). Clubbing sebagai gaya hidup remaja Jakarta dalam mengisi waktu
luang. Skripsi Program Sosiologi FISIP UI. Depok.
Anasita, Founda. (2007). Memanfaatkan waktu luang di mal sebagai cermin gaya hidup
perkotaan. Skripsi Program Sosiologi FISIP UI. Depok.
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013
Fandhy H., Muhammad. (2005). Faktor-faktor yang mendorong remaja melakukan kegiatan
main biliar sebagai aktivitas mengisi waktu luang. Skripsi Program Sosiologi FISIP
UI. Depok.
Ismayawati , Dian. (2007). Sosialisasi peer group terhadap pola konsumsi pelajar laki-laki
dan pelajar perempuan SMUN 6 Jakarta. Skripsi Program Sosiologi FISIP UI. Depok.
MPS Kuantitatif Kelompok B. (2010). Mobilitas sosial vertikal antargenerasi di bidang
okupasi di Desa Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Laporan Akhir Metode Penelitian
Sosial. Depok
Vibiz Management Research. (2011). Kunci keberhasilan penetrasi pasar gerai 7-Eleven di
Jakarta.
III. Website
www.7elevenid.com
www.bps.go.id
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/12/19/07433945/Kelas.Menengah.Tidak.Diantis
ipasi
http://metro.sindonews.com/read/2012/07/31/64/661851/menggapai-peluang-hindari-jebakan
http://www.berita-bisnis.com/data-bisnis/1196--7-Eleven-rajai-bisnis-convenience-store.html
http://finance.detik.com/read/2012/06/19/201642/1945524/4/kisah-awal-masuknya-7-Eleven-
ke-indonesia
http://www.antaranews.com/berita/300726/nongkrong-di-cafe-jadi-gaya-hidup
http://industri.kontan.co.id/news/7-eleven-targetkan-penambahan-23-gerai-baru-pada-2012
http://organisasi.org/kegiatan-yang-biasa-dilakukan-orang-saat-sedang-nongkrong-bersama-
teman
http://www.konsultankreatif.com/2012/11/nilai-tambah-nongkrong.html#axzz2FyC4wxTX
Pengaruh sosialisasi..., Mirna Desira, FISIP UI, 2013