6

1
HALAMAN 6 RADAR SURABAYA MINGGU, 28 OKTOBER 2012 layouter: ayu PUISI-PUISI NINIK CHURIYANTI HARI PERTAMA Cerpen: RELLA MART T Ini hari pertamaku bekerja. Tidak, sebenarnya sudah lama aku bekerja, aku pernah berjualan buku di emperan kampus, pernah jadi guru privat anak – anak SD, pernah juga berdagang macam – macam kebutuhan yang kukelilingkan pada teman – teman kuliah dan masih banyak lagi yang pernah kucoba. Tapi ini pekerjaan yang sama sekali lain, tak pernah terlintas untuk kulalui setelah beberapa tahun terakhir aku sibuk dengan pekerjaanku yang agak terjadwal dan agak serabutan. Pekerjaan yang kulakukan dengan penuh kebebasan. Waktuku tak pernah terhadang oleh apapun. Selebihnya, aku melanglang buana sesuka hatiku. Kebanyakan aku bekerja sesuai hatiku saat itu,jika sedang tidak ingin maka aku tidak berangkat. ILUSTRASI JUJUK SUWANDONO/RADAR SURABAYA API ini adalah pekerjaan yang sungguh lain. Aku sen- diri heran mengapa pe- rusahaan ini mau mene- rimaku bekerja disini. Mak- sudku, pengalamanku sangat berse- berangan dengan tanggung jawab yang nantinya akan kuemban. Lalu mengapa aku melamar? Awalnya hanya untuk menguji diriku sendiri, aku ingin mengalahkan egoku atas kebebasan yang kuagungkan. Aku mencoba diri untuk menjadi manusia kebanyakan, punya aktifitas bekerja di kantor dan punya penghasilan tetap. Selebihnya adalah anjuran orang tuaku, mereka bilang, kerja kantoran bisa melatih diriku untuk tidak seenaknya sendiri dan belajar bertoleransi. Dan konon dimasyarakat, orang yang bekerja dikantor agak dihargai daripada pekerja serabutan, apalagi jika berhasil memakai jas dan dasi, ,duduk dibalik meja besar dengan kursi yang besar, bisa menggelinding sendiri dan bisa diputar, puih! Yang ini kedengarannya agak menyeramkan, tapi tentu bukan karena ini aku bekerja kantoran. Aku makin bertekad untuk menjadi pegawai kantoran, aku ingin mencoba beberapa saat. Ini adalah surat lamaran pertama yang pernah kubuat dan ternyata lolos. Tuhan memberkati ujianku sendiri. Aku memulai babak baru dari scenario diatas bumi manusia ini. Quantum life, begitu kata temanku me- ngartikan diriku saat ini, yang se- belumnya paham betul akan bagaimana aku. Sebuah lompatan kehidupan yang luar biasa dari seorang aku yang tak pernah diam disatu tempat dalam wak- tu yang singkat menjadi penjaga ruangan mulai dari pagi sampai menjelang senja. Sebuah bangunan kantor yang serius terhampar didepan mataku yang me- mandang dengan nanap. Aku jadi pe- gawai kantoran mulai hari ini, aku membatin, jiwa ragaku harus siap ber- ada didalam bangunan ini setidaknya delapan jam sehari. Seorang wanita berpakaian rapi dan wangi melintasiku dengan angkuh, ma- tanya menyorotkan pandangan me- nyortir, HA, anak baru ya!! Aku ber- usaha berekspresi biasa saja walaupun sungguh aku merasa gagap dengan lingkungan ini. Orang kantoran tentu berbeda dengan manusia bebas mer- deka yang sering ngawur macam aku. Seorang karyawan dari bagian per- sonalia mengantarkanku keloker dan memberi satu kunci padaku. Kumpulan wanita di loker berkumpul dan berkasak kusuk dengan bersemangat, sebuah pagi yang menderita oleh gossip. Pandangan mata mereka tak membuatku nyaman, keriuhan diloker perempuan membuatku mual. Aku tak terbiasa dengan orang banyak dan berkasak kusuk. Aku merapikan baju dan sepatuku dengan cepat, tak ada alasan untuk ber- lama – lama disini. Aku berjalan cepat melintasi koridor menuju ruanganku sendiri, beberapa orang menyapaku de- ngan ragu, ya, aku belum berkenalan dengan mereka semua. Ruanganku dingin oleh AC yang me- nyalak dengan angka 18 derajat. Seorang laki – laki mejelaskan bebe- rapa hal lalu meninggalkanku dengan tumpukan data di meja. Laki–– laki lain diseberang ruanganku melambai dan melempar senyum ramah, aku membalas sekenanya. Sekali lagi aku tak terbiasa ber- urusan dengan orang banyak sekaligus disatu tempat, jadi aku berharap orang – orang tak melihatku tampak aneh. Pekerjaan dihari pertama menyergap kegagapanku yang terlupakan. Selan- jutnya sunyi, manusia kantor sibuk de- ngan kotak ajaib masing – masing, aku memandang aneh diriku sendiri yang sama dengan mereka. Ternyata aku jadi orang kantoran yang selama ini kuanggap mesin bergerak, aku sendiri!! Tepat pukul dua belas manusia – ma- nusia kantor berhamburan keluar, aku memilih terakhir dengan merapikan mejaku terlebih dahulu. Aku tergelak dalam hati, betapa waktu istirahat yang satu jam ini jadi sangat berharga, aku tak pernah tergesa – gesa untuk istirahat atau makan, aku melakukan dengan sesukaku, sebelum hari ini. Laki–laki diseberang ruanganku mendatangi mejaku, mengajak makan siang bersama. Tak ada salahnya ku- iyakan, dia tak sedang mengajakku ma- suk neraka. Ketika berjalan dikoridor, kami berpapasan dengan rombongan lain yang mau makan siang juga, meng- goda, “Awas Mbak, itu buaya darat, air dan udara.” Tak kuhiraukan. Kantin karyawan penuh dengan ma- nusia, penuh dengan piring berisi ma- kanan, dan penuh dengan suara yang saling tumpang tindih antara tertawa, berbisik, berkelakar, merajuk dan ber- teriak juga suara piring dan sendok. Sama manusianya, tapi mereka mem- buat kelompok sendiri – sendiri saat ma- kan siang. Dengan cepat aku bisa mem- bedakan kelompok mereka, biasa masih persoalan kelas social yang jelas di- nampakkan. Ada kelompok manusia kantor yang gaul, aku tahu dari dan- danan dan topic pembicaraan mereka, ada kelompok manusia kantor yang pri- yayi dan jaim, ada kelompok yang ke- mayu, karena berisi perempuan–pe- rempuan wangi yang takut tampak je- lek, ada juga kelompok terpinggir karena jabatannya paling rendah. Yang terakhir biasanya kalau tidak memilih tak banyak bicara malah sebaliknya, paling tampak seenaknya karena apa adanya. Keluar dari kantin, bajuku mem- bawa bau makanan yang melekat. Lalu kembali keruang kerjaku se- mula, sedikit bingung memilih mulai darimana dulu enaknya. Seorang wanita paruh baya mema- suki ruanganku dengan anggun, dia di bagian lain dikantor ini, duduk didepan mejaku lalu berkata,”Dinding kantor ini adalah bangunan tua peninggalan Belanda, bukan saja kokoh tapi juga luar biasa. Karena dinding ini bisa bi- cara, melihat dan mendengar apapun, hahahaÖ. hati – hati Jeng.” Lalu meninggalkanku yang keheranan. Ada laki – laki lain di sekat ujung ruanganku, wajahnya berekspresi datar. Ekspresinya selalu agak, agak tersenyum, agak berbicara, dan banyak diam. Dia juga mendatangi mejaku, me- ngatakan selamat datang dan berucap, “Jangan percaya pada siapapun disini, termasuk saya.” Wajahnya benar – be- nar tanpa aliran apapun. Aku hanya sanggup mengangguk. Tak berapa lama, laki – laki yang tadi memberiku setumpuk data datang lagi menghampiriku dan memeriksa peker- jaanku. Matanya penuh tatapan ke- tidak percayaan bahwa aku sanggup melakukan tugas ini dan berkali – kali bilang,” Ngerti gak kamu?” Dan jika aku berusaha menyanggah dengan ar- gumenku maka dia akan berkata, “ Po- koknyaÖblablablaÖ Emang enak kerja kantoran?” meninggalkan senyum me- lecehkan. Gayanya selalu berlagak sok sibuk, memasang muka pura – pura se- rius seolah – olah dia menyelesaikan persoalan paling penting dikantor dan semua orang membutuhkan dia. Wa- laupun ini baru hari pertamaku, tapi aku tahu apa kelak yang akan terjadi antara aku dan dia, aku harus berhati– – hati dengan orang ini. Ponselku berdering, temanku me- nelpon dan ingin menyampaikan se- suatu yang penting, dia ingin mampir kantorku sebentar. Akhirnya kutunggu dia dan datang tak berapa lama ke- mudian. Temanku menyalamiku,” Selamat jadi orang kantoran ya. Luar biasa, akhirnya kemakan juga omo- nganmu, hahaha,” aku meninjunya ke- sal. Lalu dia memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki, rambut bercepol, memakai setelan rok span dan blazzer, juga sepasang sepatu berhak 7cm. “Ck ck ckÖ Tampak perempuan sekali kamu, gila! Jadi ini seragammu?” aku mengangguk, “Dipakai mulai dari pagi sampai menjelang senja?” lagi – la- gi aku hanya bisa mengangguk. “Kenapa?” aku bertanya heran. “Kejamnya dunia,” kudorong tubuh- nya kuat – kuat, dan temanku itu ter- gelak riang. Sepulang temanku, aku kembali me- nuju meja kerjaku. Membuka email de- ngan puluhan info dari divisi – divisi lain. Lalu kuluangkan waktu untuk berjalan –jalan mengelilingi area kan- tor sambil berkenalan dengan mereka semua. Tiap kali berpapasan dengan orang kantor kuperhatikan cara me- reka saling menyapa. Sangat menarik, bagi orang – orang yang jabatannya di- atasku atau setara denganku anggukan kepalanya tak lebih dari 4 cm kearah dagu, tapi untuk yang agak rendah, punggungpun bisa ikut menunduk. Aku tak tega melihat mereka menunduk be- gitu, walau tak semuanya demikian. Seorang satpam kantor tampak ngobrol bersama seorang sopir kantor pula, berdiri ditepi pintu. Dan ketika aku lewat mereka berbicara dengan jelas, “Jadi orang kantor kuncinya cuma satu, nurut aja apa kata Boss. Lha kamu, jadi sopir aja banyak cingcong, kena warning tau rasa Lu! Kerja ngotot begini aja tiap hari gak pernah cukup. Mau dilempar ke jalan lagi?” Si satpam berkata sambil berlagak jadi polisi betulan. Aku pura – pura tak mendengar. Walaupun jam istirahat sudah selesai masih ada saja rupanya yang ber- kumpul dikoperasi. Ada yang berbin- cang soal anaknya, suaminya atau ha- nya sekedar bercanda. Dibeberapa ba- gian, kantor seperti kampung digang rumahku yang riuh rendah. Bermacam – macam orang kutemui disini, ada yang ramah, tulus, dingin juga bergaya angkuh. Sekali lagi ku- pandangi tembok sekeliling kantor ba- ruku. Ini adalah satu tempat pemujaan bagi orang modern untuk melakukan satu kebajikan yang tak bisa dihindari. Seperti putaran arus kencang yang tak memberi ruang dan waktu untuk melompat keluar dan masuk kedalam diri sendiri. Aku ingat orang – orang su- ci pada jaman Gautama yang mela- kukan kontemplasi sepanjang hidupnya tanpa harus dikatakan pemalas. Orang – orang kantor berseliweran di koridor, semuanya berjalan cepat sambil membawa lembaran kertas yang ikut melambai. Semua harus cepat dan te- pat setiap hari. Semua harus tampak si- buk agar tidak dikatakan makan gaji bu- ta. Harus ada yang diurusi setiap saat tidak peduli itu urusan pribadi dan tak ada sangkut pautnya dengan kantor. Sebelum senja ditelan bulan, aku te- lah keluar dari kantorku. Tersenyum sendiri dalam perjalananku pulang, ini adalah ritus hari ini. Besok dan besok lagi kantor ini akan jadi sakramen na- tural dari keseharianku. Sampai didepan pintu rumahku, te- tangga sebelah menyapaku sambil mengacungkan batang pancing,”Besok pagi kita mancing yuk, ada lomba pan- cing bandeng di kolam Pak Mut, ha- diahnya lumayan lho.” Aku menggeleng,”Besok aku harus kekantor.” Tetanggaku membulatkan bibirnya heran, pancing di tangannya jatuh ke lantai. (*) SUJUD Kubenamkan kepalaku dalam bersujud Tapi tak pernah kurasakan arti menyembah Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar Keagungan namamu pudar Ditingkahi nama istriku Anakku Atasanku Selingkuhanku ZIKIR Subhanallah Engkau mahasuci Alhamdulillah Engkau mahaterpuji Allahu akbar Engkau mahabesar Sucikanlah hasil korupsiku Jangan kau cabut kehormatanku Limpahkanlah keberkatanmu Surabaya, 27 September 2012 MATAHARI Matahari terbit dari barat, dan kau tertawa bersama sinarnya Aku terbakar Matahari sembunyi, dan kau mengintip di balik bayangnya Aku ketakutan Matahari berlari, dan kau berdiam sejuta kata mengejarnya Ayo tak tahu di mana aku berpijak 17 Juli 2011 LANGLANG BUANA Pagi itu engkau berpamitan kepadaku, katamu pergi mencari Tuhan Tapi sehari-dua hari engkau tak kembali Kini bahkan sudah tahun ketujuh kepergianmu Apakah engkau berjumpa dengannya? Apakah engkau jatuh cinta dan enggan pulang? Sungguh, aku masih menunggumu Dan sampaikan salamku pada Tuhan Aku ingin juga bertemu 31 Desember 2010

description

berita

Transcript of 6

  • HALAMAN 6RADAR SURABAYA MINGGU, 28 OKTOBER 2012

    layouter: ayu

    PUISI-PUISI NINIK CHURIYANTI

    HARI PERTAMACerpen: RELLA MART

    T

    Ini hari pertamaku bekerja. Tidak, sebenarnya sudah lama aku bekerja, aku pernah berjualan buku di emperan kampus,pernah jadi guru privat anak anak SD, pernah juga berdagang macam macam kebutuhan yang kukelilingkan pada teman teman kuliah dan masih banyak lagi yang pernah kucoba. Tapi ini pekerjaan yang sama sekali lain, tak pernah terlintas untuk

    kulalui setelah beberapa tahun terakhir aku sibuk dengan pekerjaanku yang agak terjadwal dan agak serabutan. Pekerjaanyang kulakukan dengan penuh kebebasan. Waktuku tak pernah terhadang oleh apapun. Selebihnya, aku melanglang buana

    sesuka hatiku. Kebanyakan aku bekerja sesuai hatiku saat itu,jika sedang tidak ingin maka aku tidak berangkat.

    ILUSTRASI JUJUK SUWANDONO/RADAR SURABAYA

    API ini adalah pekerjaanyang sungguh lain. Aku sen-diri heran mengapa pe-rusahaan ini mau mene-rimaku bekerja disini. Mak-

    sudku, pengalamanku sangat berse-berangan dengan tanggung jawab yangnantinya akan kuemban. Lalu mengapaaku melamar? Awalnya hanya untukmenguji diriku sendiri, aku inginmengalahkan egoku atas kebebasanyang kuagungkan. Aku mencoba diriuntuk menjadi manusia kebanyakan,punya aktifitas bekerja di kantor danpunya penghasilan tetap. Selebihnyaadalah anjuran orang tuaku, merekabilang, kerja kantoran bisa melatihdiriku untuk tidak seenaknya sendiridan belajar bertoleransi. Dan konondimasyarakat, orang yang bekerjadikantor agak dihargai daripadapekerja serabutan, apalagi jika berhasilmemakai jas dan dasi, ,duduk dibalikmeja besar dengan kursi yang besar,bisa menggelinding sendiri dan bisadiputar, puih! Yang ini kedengarannyaagak menyeramkan, tapi tentu bukankarena ini aku bekerja kantoran. Akumakin bertekad untuk menjadi pegawaikantoran, aku ingin mencoba beberapasaat. Ini adalah surat lamaran pertamayang pernah kubuat dan ternyata lolos.Tuhan memberkati ujianku sendiri.Aku memulai babak baru dari scenariodiatas bumi manusia ini.

    Quantum life, begitu kata temanku me-ngartikan diriku saat ini, yang se-belumnya paham betul akan bagaimanaaku. Sebuah lompatan kehidupan yangluar biasa dari seorang aku yang takpernah diam disatu tempat dalam wak-tu yang singkat menjadi penjaga ruanganmulai dari pagi sampai menjelang senja.

    Sebuah bangunan kantor yang seriusterhampar didepan mataku yang me-mandang dengan nanap. Aku jadi pe-gawai kantoran mulai hari ini, akumembatin, jiwa ragaku harus siap ber-ada didalam bangunan ini setidaknyadelapan jam sehari.

    Seorang wanita berpakaian rapi danwangi melintasiku dengan angkuh, ma-tanya menyorotkan pandangan me-nyortir, HA, anak baru ya!! Aku ber-usaha berekspresi biasa saja walaupunsungguh aku merasa gagap denganlingkungan ini. Orang kantoran tentuberbeda dengan manusia bebas mer-deka yang sering ngawur macam aku.

    Seorang karyawan dari bagian per-sonalia mengantarkanku keloker danmemberi satu kunci padaku. Kumpulanwanita di loker berkumpul dan berkasakkusuk dengan bersemangat, sebuah pagiyang menderita oleh gossip. Pandanganmata mereka tak membuatku nyaman,keriuhan diloker perempuan membuatkumual. Aku tak terbiasa dengan orangbanyak dan berkasak kusuk.

    Aku merapikan baju dan sepatukudengan cepat, tak ada alasan untuk ber-lama lama disini. Aku berjalan cepatmelintasi koridor menuju ruangankusendiri, beberapa orang menyapaku de-ngan ragu, ya, aku belum berkenalandengan mereka semua.

    Ruanganku dingin oleh AC yang me-nyalak dengan angka 18 derajat.Seorang laki laki mejelaskan bebe-rapa hal lalu meninggalkanku dengantumpukan data di meja. Laki lakilain diseberang ruanganku melambaidan melempar senyum ramah, akumembalas sekenanya.

    Sekali lagi aku tak terbiasa ber-urusan dengan orang banyak sekaligusdisatu tempat, jadi aku berharap orang orang tak melihatku tampak aneh.Pekerjaan dihari pertama menyergapkegagapanku yang terlupakan. Selan-

    jutnya sunyi, manusia kantor sibuk de-ngan kotak ajaib masing masing, akumemandang aneh diriku sendiri yangsama dengan mereka. Ternyata akujadi orang kantoran yang selama inikuanggap mesin bergerak, aku sendiri!!

    Tepat pukul dua belas manusia ma-nusia kantor berhamburan keluar, akumemilih terakhir dengan merapikanmejaku terlebih dahulu. Aku tergelakdalam hati, betapa waktu istirahatyang satu jam ini jadi sangat berharga,aku tak pernah tergesa gesa untukistirahat atau makan, aku melakukandengan sesukaku, sebelum hari ini.

    Lakilaki diseberang ruangankumendatangi mejaku, mengajak makansiang bersama. Tak ada salahnya ku-iyakan, dia tak sedang mengajakku ma-suk neraka. Ketika berjalan dikoridor,kami berpapasan dengan rombonganlain yang mau makan siang juga, meng-goda, Awas Mbak, itu buaya darat, airdan udara. Tak kuhiraukan.

    Kantin karyawan penuh dengan ma-nusia, penuh dengan piring berisi ma-kanan, dan penuh dengan suara yangsaling tumpang tindih antara tertawa,berbisik, berkelakar, merajuk dan ber-teriak juga suara piring dan sendok.

    Sama manusianya, tapi mereka mem-buat kelompok sendiri sendiri saat ma-kan siang. Dengan cepat aku bisa mem-

    bedakan kelompok mereka, biasa masihpersoalan kelas social yang jelas di-nampakkan. Ada kelompok manusiakantor yang gaul, aku tahu dari dan-danan dan topic pembicaraan mereka,ada kelompok manusia kantor yang pri-yayi dan jaim, ada kelompok yang ke-mayu, karena berisi perempuanpe-rempuan wangi yang takut tampak je-lek, ada juga kelompok terpinggir karenajabatannya paling rendah. Yang terakhirbiasanya kalau tidak memilih tak banyakbicara malah sebaliknya, paling tampakseenaknya karena apa adanya.

    Keluar dari kantin, bajuku mem-bawa bau makanan yang melekat.Lalu kembali keruang kerjaku se-mula, sedikit bingung memilih mulaidarimana dulu enaknya.

    Seorang wanita paruh baya mema-suki ruanganku dengan anggun, dia dibagian lain dikantor ini, duduk didepanmejaku lalu berkata,Dinding kantorini adalah bangunan tua peninggalanBelanda, bukan saja kokoh tapi jugaluar biasa. Karena dinding ini bisa bi-cara, melihat dan mendengar apapun,hahaha. hati hati Jeng. Lalumeninggalkanku yang keheranan.

    Ada laki laki lain di sekat ujungruanganku, wajahnya berekspresidatar. Ekspresinya selalu agak, agaktersenyum, agak berbicara, dan banyak

    diam. Dia juga mendatangi mejaku, me-ngatakan selamat datang dan berucap,Jangan percaya pada siapapun disini,termasuk saya. Wajahnya benar be-nar tanpa aliran apapun. Aku hanyasanggup mengangguk.

    Tak berapa lama, laki laki yang tadimemberiku setumpuk data datang lagimenghampiriku dan memeriksa peker-jaanku. Matanya penuh tatapan ke-tidak percayaan bahwa aku sanggupmelakukan tugas ini dan berkali kalibilang, Ngerti gak kamu? Dan jikaaku berusaha menyanggah dengan ar-gumenku maka dia akan berkata, Po-koknyablablabla Emang enak kerjakantoran? meninggalkan senyum me-lecehkan. Gayanya selalu berlagak soksibuk, memasang muka pura pura se-rius seolah olah dia menyelesaikanpersoalan paling penting dikantor dansemua orang membutuhkan dia. Wa-laupun ini baru hari pertamaku, tapiaku tahu apa kelak yang akan terjadiantara aku dan dia, aku harus berhati hati dengan orang ini.

    Ponselku berdering, temanku me-nelpon dan ingin menyampaikan se-suatu yang penting, dia ingin mampirkantorku sebentar. Akhirnya kutunggudia dan datang tak berapa lama ke-mudian. Temanku menyalamiku,Selamat jadi orang kantoran ya. Luar

    biasa, akhirnya kemakan juga omo-nganmu, hahaha, aku meninjunya ke-sal. Lalu dia memandangiku dari ujungrambut sampai ujung kaki, rambutbercepol, memakai setelan rok span danblazzer, juga sepasang sepatu berhak7cm. Ck ck ck Tampak perempuansekali kamu, gila! Jadi ini seragammu?aku mengangguk, Dipakai mulai daripagi sampai menjelang senja? lagi la-gi aku hanya bisa mengangguk.

    Kenapa? aku bertanya heran.Kejamnya dunia, kudorong tubuh-

    nya kuat kuat, dan temanku itu ter-gelak riang.

    Sepulang temanku, aku kembali me-nuju meja kerjaku. Membuka email de-ngan puluhan info dari divisi divisilain. Lalu kuluangkan waktu untukberjalan jalan mengelilingi area kan-tor sambil berkenalan dengan merekasemua. Tiap kali berpapasan denganorang kantor kuperhatikan cara me-reka saling menyapa. Sangat menarik,bagi orang orang yang jabatannya di-atasku atau setara denganku anggukankepalanya tak lebih dari 4 cm kearahdagu, tapi untuk yang agak rendah,punggungpun bisa ikut menunduk. Akutak tega melihat mereka menunduk be-gitu, walau tak semuanya demikian.

    Seorang satpam kantor tampakngobrol bersama seorang sopir kantorpula, berdiri ditepi pintu. Dan ketikaaku lewat mereka berbicara denganjelas, Jadi orang kantor kuncinyacuma satu, nurut aja apa kata Boss.Lha kamu, jadi sopir aja banyakcingcong, kena warning tau rasa Lu!Kerja ngotot begini aja tiap hari gakpernah cukup. Mau dilempar ke jalanlagi? Si satpam berkata sambilberlagak jadi polisi betulan. Aku pura pura tak mendengar.

    Walaupun jam istirahat sudah selesaimasih ada saja rupanya yang ber-kumpul dikoperasi. Ada yang berbin-cang soal anaknya, suaminya atau ha-nya sekedar bercanda. Dibeberapa ba-gian, kantor seperti kampung digangrumahku yang riuh rendah.

    Bermacam macam orang kutemuidisini, ada yang ramah, tulus, dinginjuga bergaya angkuh. Sekali lagi ku-pandangi tembok sekeliling kantor ba-ruku. Ini adalah satu tempat pemujaanbagi orang modern untuk melakukansatu kebajikan yang tak bisa dihindari.

    Seperti putaran arus kencang yangtak memberi ruang dan waktu untukmelompat keluar dan masuk kedalamdiri sendiri. Aku ingat orang orang su-ci pada jaman Gautama yang mela-kukan kontemplasi sepanjang hidupnyatanpa harus dikatakan pemalas. Orang orang kantor berseliweran di koridor,semuanya berjalan cepat sambilmembawa lembaran kertas yang ikutmelambai. Semua harus cepat dan te-pat setiap hari. Semua harus tampak si-buk agar tidak dikatakan makan gaji bu-ta. Harus ada yang diurusi setiap saattidak peduli itu urusan pribadi dan takada sangkut pautnya dengan kantor.

    Sebelum senja ditelan bulan, aku te-lah keluar dari kantorku. Tersenyumsendiri dalam perjalananku pulang, iniadalah ritus hari ini. Besok dan besoklagi kantor ini akan jadi sakramen na-tural dari keseharianku.

    Sampai didepan pintu rumahku, te-tangga sebelah menyapaku sambilmengacungkan batang pancing,Besokpagi kita mancing yuk, ada lomba pan-cing bandeng di kolam Pak Mut, ha-diahnya lumayan lho.

    Aku menggeleng,Besok aku haruskekantor. Tetanggaku membulatkanbibirnya heran, pancing di tangannyajatuh ke lantai. (*)

    SUJUD

    Kubenamkan kepalaku dalam bersujud

    Tapi tak pernah kurasakan arti menyembah

    Allahu akbar

    Allahu akbar

    Allahu akbar

    Keagungan namamu pudar

    Ditingkahi nama istriku

    Anakku

    Atasanku

    Selingkuhanku

    ZIKIR

    Subhanallah

    Engkau mahasuci

    Alhamdulillah

    Engkau mahaterpuji

    Allahu akbar

    Engkau mahabesar

    Sucikanlah hasil korupsiku

    Jangan kau cabut kehormatanku

    Limpahkanlah keberkatanmu

    Surabaya, 27 September 2012

    MATAHARI

    Matahari terbit dari barat, dan kau tertawa

    bersama sinarnya

    Aku terbakar

    Matahari sembunyi, dan kau mengintip di

    balik bayangnya

    Aku ketakutan

    Matahari berlari, dan kau berdiam

    sejuta kata mengejarnya

    Ayo tak tahu di mana aku berpijak

    17 Juli 2011

    LANGLANG BUANA

    Pagi itu engkau berpamitan kepadaku, katamu

    pergi mencari Tuhan

    Tapi sehari-dua hari engkau tak kembali

    Kini bahkan sudah tahun ketujuh kepergianmu

    Apakah engkau berjumpa dengannya?

    Apakah engkau jatuh cinta dan enggan pulang?

    Sungguh, aku masih menunggumu

    Dan sampaikan salamku pada Tuhan

    Aku ingin juga bertemu

    31 Desember 2010