6 Penyakit Berbahaya Seorang Community Organiser
Click here to load reader
-
Upload
tua-hasiholan-hutabarat -
Category
Documents
-
view
50 -
download
0
description
Transcript of 6 Penyakit Berbahaya Seorang Community Organiser
6 (Enam) PENYAKIT BERBAHAYA BAGI SEORANG COMMUNITY ORGANISER
Oleh: Tua Hasiholan Hutabarat Makassar, 26 Juni 2012
emua orang menginginkan sebuah perubahan untuk masyarakatnya. Coba saja tanya seorang kepala desa,
tokoh masyarakat, atau warga desa biasa. Semua orang punya impian agar ada perubahan. Coba tanyakan
juga masalah apa yang dihadapi oleh orang-orang desa, termasuk pemimpinnya. Maka belasan buku
catatan tebal pun tidak akan pernah cukup untuk menuliskan semua keluhan, kritikan, keresahan dari orang-
orang desa. Begitu seringnya kita mendengar cerita-cerita tentang masalah kehidupan masyarakat di desa,
sehingga kerap kali kita malah menikmati cerita masalah itu. Mungkin karena sudah terbiasa dengan banyaknya
masalah di sekitar kita, akhirnya kita anggap menjadi sesuatu yang tidak perlu lagi diperhatikan, dan akhirnya
kita pun menjadi menikmati masalah-masalah itu. Namun persoalannya bukan tentang cerita masalah itu saja,
yang paling penting adalah, apakah permasalahan-permasalahan yang ada di desa-desa tersebut berupaya untuk
diselesaikan atau dicarikan solusinnya? Apakah semua orang desa hanya bisa cerita tentang masalahnya saja
namun tak ingin merubahnya.
Pertanyaan mengapa orang desa tak ingin merubah kondisi hidupnya itulah yang harus kita jawab dalam tulisan
pendek ini. Intinnya, di semua tempat selalu ada kelemahan, kekurangan, kemiskinan, dan berbagai kesulitan
ekonomi lainnya. Semua orang pasti menyadari bahwa kehidupan akan lebih jika ada yang mau berbuat dan
mulai melakukan sesuatu. Pertanyaannya, mengapa tidak ada yang mau mulai melakukan perubahan itu?
Mungkin terlalu cepat juga kalau kita menyimpulkan tidak akan ada yang mau berbuat. Sebenarnya ada
segelintir orang di desa yang ber inisiatif untuk melakukan sesuatu. Di beberapa tempat nun jauh di sana ada
beberapa orang yang memiliki tekad untuk merubah kondisi sulit yang dihadapi. Ada yang berhasil, ada yang
setengah berhasil, ada yang sukses, namun ada juga yang berhenti di tengah jalan. Keberhasilan dan kesuksesan
S
adalah impian orang yang berbuat. Namun jika tidak mencapai keberhasilan dan kesuksesan, sebenarnya masih
tetap terbuka kemungkinan untuk berhasil jika usaha dan upaya memang benar-benar serius dilakukan. Yang
banyak terjadi adalah, usaha membuat perubahan itu sering berhenti di tengah jalan, atau diam, atau usaha
perubahan mati dengan sendirinnya. Mengapa demikian? Bagi seseorang yang bekerja untuk masyarakat (antara
lain seorang Community Organiser), mati atau berhentinnya upaya membuat perubahan itu dilatarbelakangi
oleh begitu banyak hal. Di masyarakat kita bisa menemukan banyak hal yang membuat kita bersemangat
membuat perubahan, namun masih lebih banyak lagi faktor-faktor yang membuat kita berhenti atau kalah.
Berdasarkan pengalaman bersama Community Organiser selama 2 tahun di masyarakat pesisir, diperoleh 10
faktor yang membuat upaya terjadinnya sebuah perubahan berhenti di tengah jalan. Faktor-faktor itu diibaratkan
penyakit berbahaya bagi seorang CO yang ingin terjadi perubahan di masyarakat. Jika terkena salah satu saja
dari 10 penyakit ini, maka fatal akibatnya. Bukan hanya perubahan yang tidak akan terjadi, namun CO secara
pribadi akan mengalami kemunduran besar. Apa sajakah 10 penyakit berbahaya tersebut?
Malas
Perasaan malas adalah penyakit paling berbahaya bagi seorang CO. Walaupun malas adalah penyakit umum
manusia, namun seorang CO tidak boleh malas. Perasaan malas lebih disebabkan oleh kejiwaan saja, dan sangat
sering memang tanpa alasan yang jelas, atau jika pun ada alasan, itu lebih karena dibuat-buat saja. Jadi,
sebenarnya penyakit malas ini tidaklah ada. Yang sebenarnya adalah, ada alasan lain yang membuat seorang CO
menjadi mundur atau tidak mau lagi bekerja untuk komunitas. Perasaan malas tersebut tetap akan ada pada
seorang CO jika ia tidak mencari tau dengan cepat apa yang menyebabkan dirinnya menjadi malas. Bisa saja
sebenarnya rasa malas itu muncul karena kekecewaan, tidak mencapai hasil yang diharapkan, tidak dihargai dan
sebagainya. Apapun sebenarnya alasan yang membuat diri seorang CO malas, harus cepat-cepat ditemukan dan
dicarikan solusinnya. Yang sering kali terjadi, seorang CO tetap tidak mau mencari tau apa penyebabnya,
sehingga solusinnya pun tidak akan pernah ditemukan. Akhirnya CO tersebut akan berada di kubang kemalasan
saja dan lama-kelamaan benar-benar menikmati kemalasan itu.
Tidak ada rumus atau cara yang paling tepat untuk mengatasi kemalasan. Selain harus secepatnya mencaritahu
tentang apa yang membuatnya malas, dan mencari solusi secepatnya, cara yang bisa ditempuh adalah berfikir
tentang orang-orang yang sedang didampingi. Ingat-ingatlah orang-orang atau masyarakat yang ingin merasakan
perubahan dan terhimpit oleh masalah dan kemiskinan. Mereka butuh teman untuk bersama-sama melakukan
perubahan. Bayangkan kekecewaan yang akan mereka alami jika seorang CO tetap duduk saja diam menikmati
kemalasannya. Mudah-mudahan itu bisa membuat CO kembali bangkit dari kursi malasnya, dan menemui
orang-orang yang butuh kehadirannya.
Takut Resiko
Resiko adalah sesuatu yang sering diungkapkan dan membuat khawatir seorang CO dalam bekerja bersama
masyarakat. Saat akan melakukan sesuatu biasannya yang sering muncul di fikiran seorang CO adalah tentang
resiko yang akan muncul. Salah satunnya adalah ketika ada rencana seorang CO bersama komunitas untuk
terlibat dalam perencanaan pembangunan di level desa (Musrenbangdes). Upaya untuk menyuarakan
kepentingan kelompok perempuan agar didukung oleh anggaran desa (ADD) atau didukung oleh APBD pada
saat Musrenbangdes mungkin merupakan sesuatu yang cukup berat untuk diperjuangkan. Saat bersama
komunitas berencana ikut dalam Musrenbangdes, biasannya akan muncul fikiran-fikiran negatif tentang resiko
yang akan muncul. Resiko yang terfikir biasannya adalah; akan dimusuhi oleh kepala desa, dianggap “sok”
pintar atau “sok” tau, takut resiko gagal atau ditolak oleh peserta Musrenbangdes. Begitu banyak sebenarnya
resiko yang muncul ketika sebuah kegiatan sedang direncanakan. Semua resiko itu kemudian terlalu difikirkan
oleh CO dan menjadi pertimbangan untuk dilaksanakannya kegiatan tersebut. Akhirnya, ketika terlalu difikirkan
segala ketakutan-ketakutan tersebut, maka kemungkinannya bisa bermacam-macam, mulai dari pembatalan,
penundaan, atau jika pun tetap dilaksanakan maka proses pelaksanaannya setengah-setengah, menyimpang dari
rencana, sehingga hasilnya menjadi tidak maksimal.
Kekhawatiran atau ketakutan merupakan sifat dari manusia. Namun ketakutan atau kekhawatiran tersebut
biasannya muncul karena ketidaktahuan dari manusia tersebut. Kita takut dengan sesuatu karena kita tidak
mengetahui banyak tentang sesuatu itu. Jadi, sebenarnya tidaklah masuk akal jika kita terlalu khawatir atau
takut. Sampai kapanpun jika kita tidak mulai mencoba melakukan sesuatu, maka kita tidak akan pernah
mengetahui sesuatu itu. Sebagai contoh, jika kita tidak tahu bagaimana dampaknya jika kita mengkritik kepala
desa, maka jalan satu-satunnya hanyalah mulai mencoba meng-kritik, barulah kita tahu apa reaksi dari kepala
desa. Apakah akan marah, diam saja, atau malah menghargai kritikan kita.
Satu hal lagi yang harus difikirkan oleh seorang Community Organiser adalah, bahwasannya kekhawatiran atau
ketakutan kita terhadap resiko dari tidaklah sebesar atau se berat seperti yang dibayangkan atau difikirkan.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli dalam bidang pengorganisasian masyarakat; “ancaman tidak
menakutkan seperti yang dibayangkan”. Kita sering sekali membayang-bayangkan resiko, ancaman atau
dampak buruk yang akan terjadi jika kita melakukan sesuatu. Membayangkan, memikirkan atau berfikir-fikir
terus tentang bentuk dampak buruk yang akan terjadi tersebut akan membuat kita semakin ragu, dan akhirnya
kegiatan pun batal dilakukan. Padahal, ketika kegiatan tersebut cepat dilakukan tanpa terlalu banyak khawatir
tentang resiko, ternyata kenyataannya tidaklah seburuk yang dibayangkan. Sering sekali kita mengalami hal-hal
seperti itu. Sebelum dilakukan, kita terlalu takut. Saat dilakukan, ternyata tidak seperti yang dikhawatirkan.
Sayangnya, hal itu berulang-ulang terjadi. Walau sebelumnya dari pengalaman kita tidak lah ada dampak buruk
atau resiko yang muncul, tetap saja kita khawatir dan takut untuk melakukan hal yang sama.
Jadi intinnya adalah, jangan terlalu banyak khawatir kalau ingin melakukan sesuatu. Karena pada saat dilakukan
tidaklah seburuk yang kita bayangkan. Minimalkan berfikir resiko, dan perbanyak bertindak secara cepat.
Banyak Pertimbangan
Penyakit selanjutnya adalah, terlalu banyak pertimbangan dalam bertindak atau melakukan sesuatu. Memang
setiap orang selalu akan mempertimbangkan sesuatu, baik-buruknya, pengalaman sebelumnya, maupun teori
dan pandangan-pandangan dari orang lain dan diri sendiri. Kadang kala, semakin banyak pertimbangan
dianggap seseorang semakin pintar. Padahal, orang yang terlalu banyak pertimbangan sebenarnya adalah orang
yang sulit melakukan perubahan. Mengapa?
Jika seseorang, termasuk CO terlalu banyak pertimbangan dalam bertindak, sebenarnya dirinnya lah yang
memperlambat perubahan. Ia cenderung berfikir tentang dirinnya sendiri dibandingkan kepentingan orang
banyak yang menginginkan atau sudah sepakat sebuah kegiatan atau tindakan dilakukan. Misalnya saja, seorang
CO sudah sepakat dengan komunitas untuk melakukan dialog dengan kepala desa atau kepala dinas di sebuah
kabupaten tentang kasus perusakan lahan mangrove. Ketika diskusi atau pertemuan dengan masyarakat dengan
CO selesai, kemudian CO berfikir kembali sesampainya dirumah. Ia berfikir tentang bagaimana melakukan
dialog, bagaimana ia bisa lebih percaya diri pada saat dialog, bagaimana situasi pada saat dialog,
mempertimbangkan apa hasil dialog, dan sebagainnya. Kadang-kala CO akan memikirkan dampak dialog
terhadap masyarakat, apakah ada yang akan tersinggung, butuh kapasitas yang lebih baik sebelum dialog,
sampai ke hal-hal kecil akan dijadikan pertimbangan.
Akhirnya, ketika CO terlalu banyak mempertimbangkan sesuatu, maka kegiatan atau tindakan tersebut pun bisa
saja menjadi tertunda, gagak atau menyimpang dari tujuan semula. Padahal, seharusnya CO tersebut segera
melakukan kegiatan tersebut sesuai dengan kesepakatan yang telah dibicarakan bersama dengan masyarakat.
Ketika seorang CO terlalu banyak pertimbangan, maka sebenarnya ia sedang memikirkan dirinnya sendiri. Ia
seharusnya memikirkan kesepakatan dengan masyarakat, dan segera melakukan kegiatan tersebut bersama
masyarakat. Kalau ia berfikir-fikir lagi, maka sebenarnya ia sedang menyelamatkan dirinnya sendiri saja.
Intinnya, janganlah terlalu banyak berfikir dan mempertimbangkan sesuatu. Sedikit pertimbangan bukan berarti
kita tidak pintar atau cerdas. Kecerdasan seorang CO bukan diukur dari banyaknya fikiran atau
pertimbangannya dalam berbuat, namun dari kecepatannya bertindak.
Terlalu mengandalkan kapasitas
Sering sekali kapasitas atau kemampuan menjadi alasan seorang CO untuk tidak melakukan atau menunda
berbuat sesuatu. Ia beralasan, ia masih butuh pelatihan sehingga lebih percaya diri, lebih yakin dan mampu
berbuat. Kepercayaan diri, keahlian, kemampuan dan pengetahuan dianggap sangat penting sehingga menjadi
syarat penting untuk melakukan sesuatu. Untuk itu ia butuh pelatihan/training, sehingga ia lebih mampu untuk
berbuat. Apakah benar demikian? Apakah perlu sebuah pelatihan dan sebuah peningkatan kapasitas agar
seorang penggerak di masyarakat mau berbuat? Ada benarnya, namun tidak juga terlalu tepat.
Pengetahuan dan keahlian memang dibutuhkan untuk bekerja di masyarakat, namun yang paling penting adalah
pengalaman atau lebih tepatnya, pengalaman “melakukan” atau “berbuat” di dalam masyarakat. Pengetahuan
dan keahlian dari seorang CO memang penting, namun bukanlah segala-galannya. Ibarat seorang anak yang
menggunakan ketapel, faktor apa yang paling banyak mempengaruhi tepat atau tidaknya batu tersebut mengenai
sasaran?
Pemanah:
1. Mata
2. Tangan
3. Tenaga
4. Panah
Faktor lain:
1. Angin
2. Batu
3. Dahan
4. Besarnya buah
5. Kuatnya tangkai
6. Daun yang menghalangi
7. Tangkai
8. Dll
Dari contoh di atas, sebenarnya ada lebih banyak faktor yang membuat batu tersebut mengenai sasaran atau
malah meleset. Jadi, wajar-wajar saja jika memang kita harus belajar cara memanah, namun sebenarnya masih
lebih banyak hal yang membuat apa yang kita lakukan berhasil atau tidak. Dengan kata lain, lakukanlah saja apa
yang menurut kita bersama masyarakat memang ingin kita lakukan, jangan terlalu mengandalkan kemampuan
kita sendiri. Kita tidak tahu bagaimana hasil sebuah tindakan jika memang tidak dilakukan. Jika hanya
mengandalkan kemampuan saja, maka kita akan diam dan berhenti berbuat. Yang paling penting adalah ada
keputusan untuk berbuat, dan segera lakukan. Dengan berbuat, maka nantinnya kita akan mengetahui dan
belajar mengapa yang kita kerjakan tersebut berhasil atau malah tidak berhasil. Apa-apa saja yang membuat kita
bisa berhasil, dan apa juga yang tidak berhasil sehingga nantinnya bisa diperbaiki.
Diatur oleh waktu (Perangkap Istilah)
Ada yang mengatakan, yang paling mahal di dunia ini adalah waktu, karena waktu tidak bisa dibeli. Ia akan
lewat dan hilang. Jika tidak pandai-pandai memanfaatkannya, maka kita tidak akan bisa berbuat apa-apa jika
kita tidak bisa mengatur waktu. Banyak organiser yang beranggapan, bahwa kesibukannya mendampingi
masyarakat telah membatasinnya melakukan lebih banyak lagi bagi orang lain. Apakah benar bahwa seorang
bisa kehabisan waktu? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak.
Seseorang bisa kehabisan waktu atau tidak punya waktu untuk bekerja bagi masyarakat dikarenakan fikiran kita
disibukkan dengan istilah, istilah atau metode-metode tindakan yang kita rencanakan. Misalnya saja, kita akan
mendampingi diskusi-diskusi pembelajaran di masyarakat, untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi
oleh masyarakat. Ada 4 kata kunci dalam rencana kegiatan tersebut, yakni; diskusi, belajar, solusi dan masalah.
Empat kata kunci tersebut kemudian mengunci otak kita sehingga membuatnya menjadi kaku. Segala sesuatu
yang terkait dengan 4 kata kunci tersebut pasti akan kita hubungkan dengan pengetahuan kita tentang definisi,
praktek maupun pengalaman kita dan orang lain, baik itu tentang diskusi, belajar, solusi dan masalah. Akibat
dari pemahaman tersebut, kemudian mempengaruhi bentuk kegiatan yang kita lakukan. Diskusi kita anggap
sebagai pertemuan beberapa orang secara formal, membicarakan sesuatu, duduk di satu tempat, ada yang
memimpin diskusi, direncanakan waktunnya, dan lainnya. Belajar kita maknai dengan; buku, alat tulis, duduk di
satu tempat, ada ruangan, ada yang mengajar, dan sebagainya. Solusi kita maknai; ada kesepakatan, dari proses
pertemuan, dapat dicapai, sesuai dengan kemampuan, dan sebagainya. Dan yang terakhir, masalah. Masalah kita
definisikan sebagai; kendala, merugikan, harus dihindari, rumit, dan sebagainnya.
Cara berfikir seperti itu lah kemudian yang mempengaruhi kita membuat rencana. Kita mengatur waktu diskusi,
mengatur materi belajar, mempersiapkan cara-cara untuk membuat solusi, dan membicarakan atau
mengidentifikasi masalah. Ketika kita sedang mempersiapkan rencana, maka akan kita susun banyak kegiatan-
kegiatan sampai yang terkecil, kita buat waktu pelaksanaannya, kita susun siapa yang bertanggungjawab,
dimana tempatnya, dan sebagainya. Akhirnya, waktu kita sudah tersita untuk semua sub kegiatan tersebut. Arti
dari semua penjelasan di atas adalah, kita telah di atur oleh semua istilah-istilah tersebut, dan membuatnya
dalam rencana. Karena banyaknya rencana tersebut, akibatnya kita menjadi terperangkap dengan banyaknya
kegiatan, yang akhirnya akan menyita waktu kita.
Kunci masalahnya adalah, semua istilah tersebut berdampak terhadap jenis kegiatan, dan kegiatan tersebut
kemudian berdampak terhadap waktu kita. Padahal, jika kita bekerja di masyarakat, sebenarnya kita tidak harus
terlalu kaku menggunakan istilah-istilah tersebut. Karena kita memang tinggal bersama masyarakat, maka setiap
saat, setiap waktu dan dimanapun kita bisa diskusi, belajar dengan berbagai cara dan tidak harus menggunakan
guru atau orang ahli, tidak harus menggunakan buku atau alat tulis, dan sebagainya. Kita juga akhirnya tidak
harus menentukan waktu diskusi karena mereka (masyarakat) ada di sekeliling kita. Untuk berdiskusi dengan
mereka, cukup melangkahkan kaki ke tetangga, jalan sedikit ke rumah kepala desa, duduk di tempat warga
sering berkumpul, dan mulailah berdiskusi. Untuk melakukan itu tidak perlu ada membuat rencana waktu
diskusi, sehingga kita tidak akan pernah mengatakan diri kita sibuk atau tidak punya waktu.
Menganggap CO sebagai pekerjaan
Agar dapat membangun sebuah perubahan bersama masyarakat, seorang CO haruslah dikenal oleh masyarakat
dimana ia tinggal. Bukan sekedar dikenal, namun juga haruslah dikenal sebagai orang baik di dusun atau di
desannya. Bagaimana ia sehingga bisa dikenal sebagai orang baik di masyarakatnya? Ada banyak ukuran atau
syarat yang harus dimiliki oleh seorang CO agar bisa dikenal sebagai orang baik. Tidaklah mungkin seorang CO
akan didengar kata-katannya jika ia kurang dihargai oleh masyarakat, dan salah satu yang membuat kata-kata
CO didengar adalah karena ia bertanggungjawab dengan hidupnya sendiri, mandiri secara ekonomi atau
memiliki pekerjaan.
Peristiwa yang sering terjadi adalah, ketika seorang warga masyarakat yang cerdas berhubungan dengan orang
luar yang sedang melaksanakan program pemberdayaan, kemudian ia meninggalkan pekerjaannya dan
menganggap dirinnya fasilitator atau CO. Ketika ia menganggap dirinnya sebagai Organiser atau Fasilitator,
maka ia akan menjauh dengan masyarakat, karena masyarakat menganggap statusnya tersebut merupakan status
yang baru dikenal di masyarakat. Ia akan sulit menempatkan dirinya di masyarakat. Jikapun memaksa bergaul
dengan masyarakat, maka ia cenderung dianggap menjadi orang luar, sehingga masyarakat akan segan dan
kurang terbuka.
Ketika seseorang berubah status, dari warga biasa yang bekerja seperti warga lainnya menjadi seorang CO atau
fasilitator, maka pandangan masyarakat terhadap dirinnya akan berubah. Ia tidak akan mudah lagi memfasilitasi
atau mengorganisir masyarakat, karena ia dianggap sebagai utusan atau perwakilan orang atau lembaga luar,
bukan mewakili masyarakat. Lagipula, ketika seorang warga menyatakan dirinnya sebagai CO atau fasilitator
dan keluar dari pekerjaan sehari-harinnya, maka ia akan kehilangan matapencaharian. Padahal ia harus
menghidupi dirinnya atau keluargannya. Suatu saat, ketika ia membutuhkan uang untuk kehidupan diri dan
keluargannya, maka kemungkinan besar ia akan memanfaatkan posisi nya sebagai fasilitator atau organiser
untuk mendapatkan uang. Dampak dari perbuatannya tersebut akan sangat fatal, dan akhirnya akan
menggagalkan rencanannya untuk membuat perubahan. Seorang CO harus kuat dalam hal ekonomi, ia bukanlah
orang yang harus dibantu, namun orang yang akan membantu. Jadi, tetaplah hidup dengan cara sebagai warga
biasa, yang punya pekerjaan dan matapencaharian seperti orang lain di desa, sehingga ia akan didengar oleh
orang lain.