59713205-SCM-N-VENSIM
-
Upload
icha-hidayah -
Category
Documents
-
view
44 -
download
1
Transcript of 59713205-SCM-N-VENSIM
5
2. DASAR TEORI
2.1. Supply chain management
Supply chain management adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk
mencapai pengintegrasian yang efisien dari supplier, manufacturer, distributor,
retailer, dan customer. Artinya barang diproduksi dalam jumlah yang tepat, pada
saat yang tepat, dan pada tempat yang tepat dengan tujuan mencapai cost dari
sistem secara keseluruhan yang minimum dan juga mencapai service level yang
diinginkan (David Simchi-Levi, Philip Kaminsky, and Edith Simchi-Levi, 2000).
Dalam perusahaan, channel yang berhubungan sampai barang ke tangan
end customer adalah sebagai berikut:
Gb. 2.1. Rantai aliran barang di perusahaan
Dengan tercapainya koordinasi dari rantai supply perusahaan, maka di tiap
channel dari rantai supply perusahaan tidak akan mengalami kekurangan barang
juga tidak sampai kelebihan barang terlalu banyak. Tujuan dari supply chain
management adalah mencapai biaya yang minimum dan service level yang
maksimum. Supply chain management mempertimbangkan semua fasilitas yang
berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan dan biaya yang diperlukan dalam
memenuhi kebutuhan customer.
Supply chain management akan membahas seluruh aktivitas dari suatu
perusahaan mulai dari level strategis, level tactical, dan level operasional.
Kebijakan yang dihasilkan dari supply chain management nantinya mencakup
banyak hal sebagai berikut:
a. Kebijakan strategis. Kebijakan yang menyangkut kegiatan jangka panjang dari
perusahaan seperti network configuration ( dimana mengambil bahan baku,
Supplier Factory
Endcustomer
Retailer
6
dimana membangun pabrik, perlu menambah warehouse atau tidak), kebijakan
inventory, kebijakan produksi, dan lain-lain.
b. Kebijakan taktis. Kebijakan untuk menentukan parameter-parameter
perusahaan seperti menentukan reorder level, order-up-to-level, dan lain-lain.
c. Kebijakan operational. Kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan supply
chain sehari-hari seperti pembelian bahan baku, penjadwalan dalam produksi,
penjadwalan dari pengiriman barang ke customer, dan lain-lain.
Dua alasan sulitnya terjadi pengintegrasian dari supply chain adalah
(David Simchi-Levi, Philip Kaminsky, and Edith Simchi-Levi, 2000):
a. Fasilitas yang berbeda dari supply chain dapat memiliki perbedaan dari tujuan
yang ingin dicapai dan terdapat konflik dari tujuan tersebut
b. Supply chain adalah sistem dinamik yang selalu berubah dari waktu ke waktu.
Hal-hal yang menimbulkan biaya dari supply chain secara umum ada 2
yaitu:
a. Aktivitas fisik. Aktivitas fisik dari suatu perusahaan yaitu sourcing, proses
produksi, delivery, dan return.
b. Market mediation. Bagaimana supply chain bisa menjadi mediasi pasar yaitu
penghubung apa yang diinginkan customer dengan yang dilakukan supply
chain.
Ada 2 fokus utama dari supply chain yaitu:
a. Supply chain yang menginginkan efisiensi yang tinggi (cost efficiency)
Dalam melakukan semua aktivitas dari supply chain diusahakan dengan cost
yang rendah. Supply chain dengan fokus ini didesign dengan melihat :
- Economic of scale yang tinggi. Semua aktivitas dilakukan dalam unit
yang cukup tinggi.
- Jumlah fasilitas seperti warehouse dibuat seminimum mungkin
- Dalam memilih channel yang lain dilihat atau dipilih cost yang paling
murah
7
- Semua fasilitas digunakan dengan maksimal sehingga utilitas tinggi
- Berkaitan dengan inventory diusahakan seminimum mungkin sehingga
turnover rate harus tinggi
b. Supply chain yang menginginkan responsiveness yang tinggi
Dalam melakukan aktivitas dari supply chain diusahakan semuanya dengan
waktu yang singkat (cepat tanggap). Apa yang diinginkan oleh customer harus
dipenuhi dengan cepat. Strategi ini tidak melihat cost sama sekali, jadi
walaupun cost tinggi tidak apa-apa tetapi mampu memenuhi keinginan pasar
dengan cepat. Dalam mendesign yang dilihat adalah:
- Economic of scale yang tidak terlalu tinggi
- Jumlah fasilitas dibuat banyak tidak apa-apa, asalkan dapat memenuhi
kebutuhan customer dengan cepat
- Dalam memilih channel yang lain dipilih yang responsive
- Fasilitas yang ada dapat digunakan secara fleksible, utilitas tidak harus
tinggi
- Berkaitan dengan inventory diusahakan agar inventory tidak kurang,
diusahakan service level tinggi
Dalam memilih strategi yang ingin digunakan tergantung pada tipe produk
yang diproduksi. Secara umum ada 2 jenis produk yang diproduksi yaitu:
a. Produk yang inovatif. Sifatnya adalah sebagai berikut:
- Life cycle pendek. Hal ini menyebabkan supply chain yang didesign harus
banyak melakukan product design. Disini harus memperhatikan berapa
kali produk harus diganti karena kalau diganti terlalu sering jadinya biaya
tinggi.
- Variasi banyak. Karena inovatif maka tiap orang maunya tidak sama, yang
dilihat bukan fungsinya tapi lebih ke arah fashion.
- Sulit untuk dilakukan peramalan karena keinginan customer yang
berfluktuatif sehingga errornya akan tinggi.
- Profit margin bisa tinggi karena produk sudah ada tambahan features
baru. Hal ini bisa terjadi karena kalau produk dapat memenuhi yang
diinginkan oleh customer maka customer tidak apa-apa membayar lebih
8
karena yang dilihat tidak hanya fungsinya tapi juga modelnya. Disamping
itu juga hal ini dilakukan untuk mengganti semua biaya yang dikeluarkan
untuk memproduksi mulai dari error peramalan sampai nanti adanya
resiko tidak laku terjual.
b. Produk yang standard (functional). Sifatnya adalah sebagai berikut:
- Life cycle panjang. Produk tidak dilihat modelnya, tapi yang dilihat
fungsinya. Supply chain yang didesign tidak harus banyak melakukan
product design.
- Variasi sedikit.
- Jauh lebih mudah diramalkan. Hal ini karena customer tidak lihat model
tetapi lihat fungsinya, jadi jika fungsi terpenuhi maka customer akan
senang.
- Profit margin bisa rendah karena semuanya standard sehingga kalau
diberi harga yang mahal bisa saja produk jadinya tidak laku. Customer
tidak lihat model, yang dilihat fungsinya. Jadi kalau ada yang lebih murah
dan fungsi terpenuhi maka customer akan memilih produk dengan harga
yang lebih rendah.
Strategi yang digunakan nantinya sebaiknya disesuaikan dengan tipe dari
produk ini. Strategi yang paling baik adalah ada hubungan yang linear antara
variasi dari produk dan karakteristik dari supply chain (cost efficiency atau
responsiveness).
2.2. Kinerja dari supply chain management
Kinerja supply chain management adalah semua aktivitas pemenuhan
permintaan customer yang dinyatakan secara kuantitatif. Hasilnya nantinya adalah
angka atau prosentase dari aktivitas pemenuhan permintaan perusahaan kepada
customer. Tujuan dari pengukuran adalah :
• Untuk menciptakan proses delivery secara fisik (barang mengalir dengan
lancar dan inventory tidak terlalu tinggi)
• Melakukan stream lining information flow (adanya aliran informasi diantara
tiap channel)
9
• Cash flow yang baik pada setiap channel dari supply chain
Untuk pengukuran akan ditujukan pada proses-proses yang terjadi di
dalam perusahaan sehari-hari, dan kemudian dengan didasarkan atas kinerja yang
telah didapat dari berbagai referensi akan dilakukan penilaian atas proses yang
terjadi yang menggambarkan kinerja yang diukur tersebut.
Berikut ini adalah jenis kinerja yang diukur yaitu:
Tabel 2.1. Kinerja supply chain management
Kinerja Definisi
1. Delivery performance to request Kinerja perusahaan dalam memenuhi
permintaan untuk dapat sesuai dengan
jumlah yang diminta oleh customer
2. Order fullfilment lead time Waktu yang diperlukan perusahaan
untuk memenuhi permintaan customer
3. Perfect order Tingkat keakuratan perusahaan dalam
melakukan pemenuhan permintaan dari
customer
4. Order fill rate Kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kebutuhan customer pada
kedatangan pertama kali
5. Performance to promise Keadaan perusahaan berkaitan dengan
pemenuhan janji yang diberikan oleh
perusahaan jika terjadi kekurangan atau
jika terjadi kekosongan dari barang
yang diminta
6. Upside production flexibility Fleksibilitas dari supplier perusahaan
dalam memenuhi permintaan
perusahaan
10
Tabel 2.1. (Sambungan)
Kinerja Definisi
7. Fixed production Stabilitas produksi yang dilakukan oleh
perusahaan
8. Total supply management cost:
- Order manufacturing cost Biaya order dari perusahaan
- Equipment related to
production as a % of revenue
Besarnya pembelian perlengkapan yang
diperlukan perusahaan
- Inventory carrying cost Biaya simpan dari inventory
- Inventory investment as % of
sales
Besarnya investasi dari inventory
- % of raw material, purchased
component, product compare
to total inventory investment
Jumlah bahan baku yang dibeli
perusahaan
13. Measure of excess/ obsolete
inventory
Adanya inventory yang
kelebihan/menjadi tidak tergunakan
14. Projected nventory turns Perpindahan inventory yang diinginkan
perusahaan di masa depan
15. Inventory accuracy Ketepatan penggunaan dari jumlah
inventory yang disimpan
16. Value of slow moving product Jumlah dari barang dalam inventory
yang lama perpindahannya
17. Forecast accuracy:
- Unit of forecast accuracy Ketepatan dari peramalan yang
dilakukan
- Dollar of forecast accuracy Ketepatan dari peramalan yang
dilakukan dilihat dari besarnya nilai
yang harus disediakan
11
Tabel 2.1. (Sambungan)
Kinerja Definisi
18. Transportation:
- Freight cost per unit shipped Biaya angkut dari pengiriman per unit
- Outbound freight cost as
percentage of net sales
Biaya kirim yang dibandingkan
terhadap penjualan
- Inbound freight cost as
percentage of purchases
Biaya angkut yang terjadi di dalam
perusahaan dibandingkan terhadap
pembelian
- Claims as % of freight costs Biaya klaim yang dibandingkan
terhadap biaya angkut
- Accecorials as percent of total
freight
Biaya tambahan dalam mengirim
- Percent of truckload capacity
utilized
Penggunaan ruang dalam kendaraan
- Mode selection vs optimal Cara pengiriman yang paling optimal
- Truck turn around time Lama waktu untuk mengisi kendaraan
yang datang
- Shipment visibility /
traceability percent
Kemampuan melihat kinerja pengiriman
dari ekspedisi yang digunakan
perusahaan
- Number of carriers per mode Jumlah ekspedisi yang menggunakan
cara pengangkutan yang sama dengan
perusahaan
- On time pickups Ketepatan waktu pengambilan dari
ekspedisi ke perusahaan
19. Return:
- Return processing cost as % of
product revenue
Biaya memproses barang yang
dikembalikan dibandingkan terhadap
penerimaan produk yang sejenis yang
dikirim
12
Tabel 2.1. (Sambungan)
Kinerja Definisi
19. Return:
- Return processing cost as % of
product revenue
Biaya memproses barang yang
dikembalikan dibandingkan terhadap
penerimaan produk yang sejenis yang
dikirim
- Return inventory status Jumlah inventory dari barang yang
dikembalikan
- Return cycle time:
- Cycle times to process excess
product return to resale
Waktu untuk memproses barang yang
dikembalikan untuk dijual kembali
- Cycle time to process obsolete
& end of life product return
disposal
Waktu untuk memproses barang yang
dikembalikan yang sudah habis masa
expired
- Cycle time to repair of
refurbish return for use
Waktu untuk memperbaiki barang yang
dikembalikan untuk digunakan kembali
- Percent actual achievement
versus published service
agreement cycle time
Waktu yang direncanakan dibandingkan
waktu aktual yang dilakukan berkaitan
dengan return
- # of repairs performed as % of
total units shipped annualy
Jumlah yang diperbaiki dibandingkan
terhadap jumlah yang dikirim
- # of repairs performed
internally as a % of total #
repairs performed
Jumlah yang diperbaiki oleh perusahaan
sendiri dibandingkan terhadap jumlah
total perbaikan yang harus dilakukan
- # of repairs performed
externally ( by third party ) as
a % of total # repairs
performed
Jumlah yang diperbaiki oleh pihak luar
dari perusahaan
13
Tabel 2.1. (Sambungan)
Kinerja Definisi
- Cost of units repaired/refur-
bished internally as a % of
total
Biaya memperbaiki barang yang
dikembalikan
- Cost of units
repaired/refurbished
externally as a % of total
Biaya perbaikan yang dilakukan oleh
pihak luar dari perusahaan
- defect free order to total order Jumlah pemenuhan permintaan yang
tanpa return
Sumber : dari berbagai referensi (telah diolah kembali)
2.2.1. Objective Matrix
Objective Matrix adalah suatu metode untuk mengukur produktivitas dari
suatu proses yang dilakukan dalam beberapa periode. Setelah dilakukan
pengukuran pada 2 periode yang berbeda kemudian akan dibandingkan untuk
mengetahui terjadi peningkatan atau penurunan.
Model pengukurannya adalah sebagai berikut:
14
Tabel 2.2. Pengukuran dengan Objective Matrix
Dan
seterusnya
Kinerja 4 Kinerja 3 Kinerja 2 Kinerja 1 Supply chain normalizing score
Dan
seterusnya
Nilai
kinerja 4
Nilai
kinerja 3
Nilai
kinerja 2
# Performance
Max Max 10
9
# 8
7
6
5
4
3
2
Min Min 1
8 (#) Score (1)
A Weight (2)
Value (1 x 2)
Performance indicator:
Keterangan: # = nilai dari kinerja 1; a = kepentingan dari kinerja 1
Langkah pengisian matrix adalah sebagai berikut:
a. Menentukan kriteria yang diukur
Hal yang harus diperhatikan dalam menentukan kriteria yang diukur adalah:
- Tiap kinerja yang harus diukur harus independent. Karena jika tidak
independent, akan terjadi replikasi pengukuran yang berarti hal itu sudah
diukur sebelumnya atau terjadi pengukuran dua kali. Mengukur yang satu
sebaiknya sudah cukup, tidak perlu mengukur yang lain (dalam hal ini
berarti yang lain itu dapat diketahui dari yang diukur tadi).
- Kriteria-kriteria itu kalau dijumlahkan menjadi satu penilaian kriteria. Oleh
karena yang diukur adalah kinerja supply chain management, maka berarti
keseluruhan sudah tercakup dalam pengukuran yang dilakukan dimana
Current Previous Index
15
dalam supply chain berarti seluruh proses dalam memenuhi permintaan
sudah diukur.
b. Penentuan elemen matrix
- Score yaitu nilai dari kriteria pada berbagai kondisi. Angka yang digunakan
sebagai acuan dalam pengukuran yaitu:
- 1 untuk kondisi terjelek dari hal yang diukur
- 5 untuk kondisi normal dari hal yang diukur
- 10 untuk kondisi terbaik dari hal yang diukur
Untuk score lainnya didapat dari interpolasi antara score yang digunakan
sebagai acuan tadi dengan rumus:
(selisih dari periode acuan dimana yang ingin diukur
terdapat diantara dua periode tersebut)
∆ =
(jarak dari dua periode acuan tersebut) (2.1.)
Kemudian angka untuk periode yang ingin dicari:
angka i = ∆ + score dari period acuan di bawahnya (2.2)
- Weight yaitu bobot yang digunakan dalam melakukan penilaian nantinya
- Value yaitu nilai akhir dari setiap kriteria yang diukur
c. Melakukan penilaian untuk tiap kinerja
- Dari pengukuran yang dilakukan diletakkan di performance. Kemudian
dicocokkan dengan angka yang ada di score, maka untuk kriteria itu akan
didapatkan score sesuai dengan yang score yang terdapat di nilai itu.
- Setelah didapatkan score, kemudian dikalikan dengan weight akan
didapatkan value dari kriteria yang diukur tadi. Kemudian value yang
didapatkan dijumlahkan semua, maka akan didapat nilai untuk kriteria yang
diukur secara keseluruhan.
Dari pengukuran di atas, jika didasarkan atas nilai saat ini maka nilai akhir
diletakkan di current dan jika didasarkan atas masa lalu maka nilai akhir
diletakkan di previous. Kemudian dilakukan lagi (jika yang sebelumnya dari masa
16
lalu maka dilakukan lagi untuk kondisi sekarang) lalu dibandingkan antara current
dan previous untuk mengetahui terjadinya peningkatan atau penurunan.
2.3. Kebijakan inventory
Inventory adalah barang yang diproduksi untuk disimpan untuk digunakan
di masa mendatang baik itu bahan baku, barang ½ jadi, atau barang jadi. Biaya
untuk meletakkan inventory ini akan tergantikan dengan berkurangnya
kemungkinan terjadi keterlambatan di perusahaan dalam memenuhi permintaan di
masa mendatang. Adanya penyimpanan bahan baku menyebabkan produksi tidak
sampai terhambat jika suatu saat terjadi keterlambatan pengiriman dari supplier
atau terjadi peningkatan permintaan yang cukup signifikan.
Dalam perusahaan adalah penting untuk mengatur inventory yang ada.
Tujuannya adalah agar inventory tidak terlalu berlebihan dan juga tidak
kekurangan saat dibutuhkan. Dengan diaturnya inventory ini akan dapat mencapai
service level yang tinggi jika permintaan customer banyak yang tidak dapat
dipenuhi jika hanya dengan produksi dan sebaliknya, jika inventory tidak cukup
maka dapat dibantu dengan produksi dimana kegiatan produksi dapat
direncanakan dengan tersedianya inventory tadi. Disamping service level tadi juga
berkaitan dengan biaya dari inventory itu sendiri. Jika inventory yang ada tidak
terlalu banyak maka biaya inventory juga tidak terlalu tinggi.
Kebijakan inventory dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut (David
Simchi-Levi, Philip Kaminsky, and Edith Simchi-Levi, 2000):
• Permintaan dari customer. Karena permintaan dari customer yang berubah-
ubah maka perlu diramalkan untuk memperkirakan berapa yang sebaiknya
disediakan. Peramalan nantinya dilihat dari data historis dan juga dengan
mempertimbangkan variasi yang ada dari permintaan customer tersebut. Hal
yang penting dari pemintaan adalah jenis dari permintaan (apakah suatu item
independent atau dependent terhadap item yang lain) yang akan
mempengaruhi pemilihan metode dalam perencanaan inventory yang
dilakukan nantinya.
17
• Replenishment lead time. Hal ini perlu dipertimbangkan untuk mencegah jika
terjadi keterlambatan atau hal lain karena adanya ketidakpastian pada
replenishment lead time.
• Jumlah produk jenis lain yang disimpan di warehouse
• Lama dari jangka waktu perencanaan yang dibuat
• Biaya order dan biaya simpan. Biaya order terdiri dari cost dari produk dan
biaya transportasi. Biaya simpan terdiri dari biaya pajak dan biaya asuransi,
biaya pengaturan barang, biaya penggunaan ruang dalam gudang (atau jika
gudang disewakan kepada orang lain), obsolescence cost (resiko produk
menjadi turun nilainya yang disebabkan adanya perubahan di pasar atau
karena teknologi menjadi tidak tergunakan), cost of capital ( biaya untuk
pembelian material, tenaga kerja, dan overhead cost untuk jumlah inventory
yang disimpan)
• Service level requirement. Tingkat inventory nantinya dipengaruhi oleh
service level yang ditetapkan.
Fungsi dari pengaturan inventory adalah:
a. Perencanaan inventory. Untuk menentukan berapa yang harus disimpan dan
kapan harus melakukan penyimpanan itu.
b. Pengendalian inventory. Untuk menentukan jumlah yang sesuai dimana
barang harus dipesan kembali atau diproduksi kembali, jumlah persediaan
pengaman, dan pendataan tingkat dan kondisi dari inventory.
Dua hal yang penting dalam pengaturan inventory adalah demand
forecasting dan perhitungan order quantity (David Simchi-Levi, Philip Kaminsky,
and Edith Simchi-Levi, 2000).
Karena demand dari customer yang tidak pasti, maka perlu diatur apakah
order quantity nantinya sama dengan forecasting, lebih besar, atau lebih kecil.
Jika order quantity lebih besar dari forecasting apa resikonya, demikian juga jika
order quantity lebih kecil dari forecasting. Order quantity ini nantinya akan
mempengaruhi kebijakan inventory yang dilakukan. Metode yang dapat
digunakan untuk mengatur kebijakan inventory salah satunya adalah order point.
18
2.3.1. Order point
Order point atau stastitical inventory control atau stock replenishment
adalah sekumpulan data, prosedur, dan keputusan yang digunakan untuk
memastikan adanya pengadaan barang secara kontinu, walaupun permintaan tidak
dapat diperkirakan dan dilakukan untuk semua item yang disimpan (George W.
Plossl, 1994).
Dalam menentukan order point digunakan asumsi :
a. Demand bersifat independent
b. Adanya cadangan pengaman
c. Variasi permintaan tidak besar
Dengan order point, jumlah inventory yang ada dipantau dan jika
mencapai suatu titik tertentu ((re)order point) dilakukan pengisian kembali
(George W. Plossl, 1994). Hal ini dilakukan untuk semua item yang berada di
inventory dengan besarnya adalah permintaan selama lead time untuk memperoleh
produk tersebut ditambah dengan adanya safety stock.
Rumusnya adalah sebagai berikut (George W. Plossl, 1994):
Order point = Demand during lead time + safety stock (2.1)
Dengan digunakannya order point ini dapat membantu ketika terjadi
forecast errors dan hal-hal lain yang tidak diperkirakan dengan menambahkan
inventory tambahan yaitu safety stock. Safety stock yang disebut juga cadangan
dan stock penyangga, adalah inventory yang ditambahkan dalam perencanaan
kebutuhan untuk memenuhi permintaan yang tidak diperkirakan (George W.
Plossl, 1994).
Dalam menentukan safety stock digunakan tabel z distribusi normal dan
didasarkan atas service level yang ingin dicapai oleh perusahaan. Langkahnya
adalah sebagai berikut:
- Menentukan service level yang diinginkan
- Melihat tabel z distribusi normal sesuai service level yang telah ditentukan
di atas
19
- Kemudian hasil dari tabel z tadi dikalikan dengan standard deviasi dari
permintaan yang ada
Rumusnya adalah sebagai berikut:
SS = std dev x z (tabel distribusi normal) (2.2)
Setelah ditentukan order point, kemudian diatur jumlah yang akan
dipesan. Konsep dari stock replenishment memiliki perbedaan tujuan dengan 3
tujuan dasar manajemen yaitu (George W. Plossl, 1994):
- Customer service yang tinggi untuk penerimaan yang tinggi
- Jumlah inventory yang sedikit untuk return on investment yang tinggi
- Biaya yang rendah untuk profit yang tinggi
Dengan adanya stock replenishment, inventory dari suatu barang
diusahakan untuk ada setiap kali diperlukan. Hal ini adalah kondisi yang paling
baik dimana inventory ada setiap kali diperlukan, tidak terlalu cepat dan tidak
terlambat.
Metode yang disebut dengan time-phased order point (TPOP)
meningkatkan kemampuan dari order point dalam mengatur inventory untuk
barang dengan permintaan yang independent (George W. Plossl, 1994). Time-
phased order point melihat kemungkinan di masa mendatang dari keberadaan
suatu inventory untuk menentukan pemesanan yang harus dilakukan.
Time-phased order point tidak tergantung pada keadaan aktual ketika
dilakukan pengamatan untuk melakukan pemesanan dan alternatif yang baik
untuk melakukan pengisian ketika jumlah inventory mencapai order point karena
alasan sebagai berikut (George W. Plossl, 1994):
- Dengan time-phased order point dapat terlihat rencana pemesanan yang
akan dilakukan di masa mendatang.
- Mengijinkan adanya perencanaan ulang dari kebutuhan.
- Tersedianya hubungan antara perencanaan yang dilakukan untuk barang
dengan permintaan yang independent dan barang dengan permintaan yang
dependent.
20
- Time-phased order point mengijinkan adanya perencanaan dari kekurangan
yang dapat terjadi dari permintaan di masa mendatang.
Ciri-ciri dari time-phased order point lainnya adalah:
- Beberapa replenishment orders dapat direncanakan.
- Jika hasil peramalan, on-hand inventory, on-order inventory, dan parameter
lainnya berubah, planned dan released orders yang dilakukan dapat diubah.
- Perencanaan dengan time-phased order point dapat dijadwalkan kembali
secara backward atau forward sesuai dengan perubahan dari hasil
peramalan.
2.3.2. Peramalan
Peramalan adalah tindakan untuk memperkirakan besarnya permintaan di
masa datang. Sebelum meramalkan perlu dilihat pola dari data yang akan
diramalkan, dan pemakaian metode peramalan nantinya akan disesuaikan dengan
pola dari data tersebut.
Data dapat berpola:
a. Trend. Data menunjukkan kenaikan atau penurunan dan terlihat dengan jelas
dengan kenaikan atau penurunan tersebut.
b. Acak. Data tidak menunjukkan kecenderungan apapun, tidak berpola sama
sekali.
c. Seasonal. Data menunjukkan kecenderungan berulang dalam suatu periode
yang berbeda.
d. Cycle. Data menunjukkan adanya pola seasonal tapi dalam periode yang lebih
panjang.
Terdapat banyak metode peramalan dan penggunaan nantinya akan
disesuaikan dengan pola dari data yang ada. Beberapa metode peramalan adalah:
a. Moving Average. Metode ini meramalkan dengan menarik rata-rata dari data
dengan periode rata-rata yang disesuaikan dengan kecenderungan seasonal
pada data. Metode ini digunakan untuk data dengan pola data acak, stabil, dan
21
seasonal. Kurang baik jika digunakan untuk meramalkan data yang
mengandung trend.
b. Single Exponential Smoothing. Metode ini meramalkan dengan menggunakan
konstanta pemulusan tertentu sesuai dengan jumlah data yang akan
diramalkan. Metode Single Exponential Smoothing ini digunakan untuk data
dengan pola acak, stabil, dan ada seasonal.
c. Double Exponential Smoothing. Metode ini memuluskan kembali hasil
peramalan dari Single Exponential Smoothing. Digunakan untuk pola data
acak dan trend.
d. Metode Holt Winter. Metode ini disebut juga dengan metode Double
Exponential Smoothing dengan 2 parameter. Digunakan untuk data dengan
pola acak dan trend.
e. Dekomposisi multiplikatif. Metode ini digunakan untuk meramalkan data
yang mengandung pola trend, seasonal, acak, dan cycle. Digunakan
multifplikatif karena adanya variasi seasonal dari data.
f. Metode Winter’s (Winter’s multiplikatif). Metode ini digunakan untuk
meramalkan data dengan pola trend dan ada variasi seasonal.
2.4. Simulasi kebijakan yang dihasilkan
Di dalam tugas akhir ini akan dilakukan simulasi untuk melihat apakah
kebijakan yang dihasilkan untuk tiap kinerja yang telah diukur dapat digunakan,
dengan memperhatikan semua kemungkinan yang dapat terjadi di masa
mendatang. Dengan memberikan suatu kebijakan, dilihat apa yang terjadi
terhadap kinerja supply chain yang diukur. Simulasi yang digunakan adalah
sistem dinamik.
Dari hasil simulasi akan dilihat apakah yang harus dilakukan dengan
supply chain yang ada untuk dapat meningkatkan kinerja dari supply chain
tersebut, dan juga untuk melihat dampak dari suatu kebijakan terhadap biaya atau
kepuasan customer yang dicapai dari supply chain yang ada.
22
2.4.1. Sistem dinamik
Sistem dinamik adalah suatu metode yang digunakan untuk
mendeskripsikan, memodelkan, dan mensimulasikan suatu sistem yang dinamis
(dari waktu ke waktu terus berubah). Didalam sistem dinamik diajarkan
bagaimana berpikir secara sistem. Artinya adalah dalam menyelesaikan suatu
masalah tidak dilihat pada satu pokok bagian saja, tetapi dilihat semua
pengaruhnya terhadap semua yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Langkah-langkah yang digunakan untuk menyelesaikan masalah secara
sistem dinamis adalah dengan menggunakan system approach yaitu:
• Mengidentifikasi masalah
• Tentukan tujuan yang ingin dicapai
• Tentukan kriteria untuk masing-masing tujuan tadi
• Membangun model dari masalah yang dihadapi. Kemudian tentukan alternatif-
alternatif perbaikan yang ada
• Analisa alternatif yang telah ditentukan tadi
Dilihat hasil dari alternatif tadi bagaimana dan kemudian dibandingkan hasil
yang didapat dengan 2 cara yaitu:
- Verifikasi. Untuk melihat apakah model yang dibuat sudah menggambarkan
masalah sesungguhnya dengan benar dengan bertanya kepada orang yang
ahli berkaitan dengan masalah yang dimodelkan.
- Validasi. Untuk melihat apakah model yang dibuat sudah sesuai dengan
kenyataan atau tidak. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memasukkan
nilai yang ekstrem pada model yang dibuat tadi. Jika pada model hasilnya
berbeda dengan kenyataan maka model harus dilihat lagi.
• Terapkan alternatif pada masalah
• Monitor dan evaluasi hasilnya
Dalam membuat model simulasi dari sistem dinamis dilakukan langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Membuat meta model dari suatu sistem. Didalam menghadapi suatu masalah
sebaiknya tidak berpikir secara lokal. Hal ini akan membuat pola pikir yang
ada menjadi berorientasi pada sebab akibat dan tidak akan menemukan solusi
23
yang terbaik. Solusi yang terbaik tidak akan didapatkan karena semuanya
selalu ada sebabnya dan dari sebab itu lalu akibat lagi, demikian seterusnya.
Dengan sistem dinamis, orientasi sebab akibat sebisa mungkin dihilangkan.
Dalam memodelkan suatu masalah dilihat peta hubungannya, struktur dari
sistem tersebut nantinya dilihat dari hubungannya. Dengan cara ini akan
didapatkan suatu feedback yang tertutup (loop). Loop ini dinamakan causal
loop diagram.
b. Dari causal loop yang telah dibuat tadi kemudian dibuat model simulasinya.
Dalam membuat model simulasi dikembangkan dari causal loop yang telah
dibuat. Dalam sistem dinamik dilihat pola perilaku dari masing-masing
komponen yang ada dalam causal loop yang telah dibuat tadi. Pola perilaku
adalah perubahan kinerja dari komponen yang diukur. Misalkan: yang ingin
diukur kelulusan mahasiswa, kinerja adalah jumlah mahasiswa. Maka pola
perilakunya adalah perubahan jumlah mahasiswa.
Karakteristik perilaku dari sistem dalam sistem dinamis adalah:
a. Exponential. Karakteristik ini menunjukkan adanya kenaikan atau penurunan
dari suatu sistem, tidak menuju ke suatu nilai tertentu.
b. Goal seeking. Karakteristik ini menunjukkan adanya kenaikan atau penurunan
dan mengarah ke suatu nilai. Semakin baik jika mendekati nilai yang
diinginkan.
c. Oscillation. Karakteristik ini menunjukkan perilaku yang berubah-ubah dari
sistem.
d. S-shaped. Karakteristik ini menunjukkan perubahan dari suatu perilaku
dimana perubahan mula-mula lambat lalu menjadi cepat dan akhirnya
mencapai kondisi stagnant.
e. Kombinasi dari karakteristik di atas. Misalkan exponential dan oscillation,
goal seeking dan oscillation, s-shaped dan oscilation.
Dari feedback loop yang telah dibuat tadi kemudian dilihat hubungan antar
komponen yang ada didalamnya. Hubungannya positif jika kenaikan yang satu
menyebabkan kenaikan yang lain. Hubungannya negatif jika kenaikan yang satu
24
menyebabkan turunnya yang lain. Kemudian dilihat jika jumlah hubungan yang
negatif genap maka causal loop tersebut adalah causal loop yang positif
(reinforcing feedback loop) dan jika jumlah hubungan yang negatif ganjil maka
causal loop tersebut adalah causal loop yang negatif (balance feedback loop).
Untuk causal loop yang negatif, hasil pengukuran dari perubahan perilakunya
nanti adalah goal seeking atau oscillation. Sedangkan untuk causal loop yang
positif, hasil pengukuran dari perubahan perilakunya akan berupa exponential atau
S-shaped.
Setelah membuat causal loop diagram, kemudian membuat modelnya.
Dalam membuat model digunakan software Vensim PLE. Variabel yang
digunakan dalam model adalah sebagai berikut:
a. Stock/level. Variabel yang dapat diketahui jumlahnya pada saat tertentu.
Misal: hari itu, tahun itu. Stock ini merupakan akumulasi dari rate/flow. Stock
akan menunjukkan suatu nilai tertentu pada saat simulasi dihentikan.
b. Rate/flow. Variabel yang dapat diketahui jumlahnya pada periode waktu
tertentu. Misalnya: dari tahun ini sampai tahun ini. Pada saat simulasi
dihentikan, rate akan bernilai nol atau nilai awal yang telah ditentukan.
c. Variabel tambahan yang disebut auxiliary variables. Jika variabel tidak
konstan maka ditulis dengan huruf kecil semua (kecuali untuk kasus tertentu),
jika variabel adalah fungsi yang ditentukan pada waktu tertentu maka tiga
huruf awal ditulis dengan huruf besar dan selebihnya dengan huruf kecil.
2.4.1.1. Memodelkan System Dynamic dalam Supply Chain Management
Tujuan memodelkan system dynamic dalam supply chain management
adalah:
a. Menentukan kebijakan inventory.
b. Pengembangan dari kebijakan yang sudah ditetapkan.
c. Mengantisipasi adanya pembesaran permintaan yang signifikan.
d. Pengurangan waktu.
e. Melakukan perubahan design dari supply chain dan jika dilakukan
pengintegrasian apa yang akan terjadi.
25
Sudut pandang yang digunakan dalam system dynamic adalah information
feed back dan delays. Dua hal ini dimaksudkan untuk melihat perilaku dinamis
dari suatu bentuk fisik, biologis, dan sosial dari suatu system. Feedback dan delay
ini sendiri juga menyebabkan perilaku dari suatu sistem.
Penerapan system dynamic dalam supply chain pertama kali berasal dari
konsep industrial dynamic yang diperkenalkan oleh Jay W. Forrester. Industrial
Dynamic adalah “…. suatu penelitian tentang karakter dari information feedback
suatu aktivitas industri untuk menunjukkan bagaimana perilaku organisasi yang
terjadi, perbesaran yang terjadi (berkaitan dengan kebijakan), dan adanya delay
(dalam keputusan atau tindakan) yang saling berinteraksi untuk mempengaruhi
suksesnya suatu perusahaan. Industrial dynamic memperlakukan interaksi dari
aliran informasi, uang, orders, materials, personnel, dan capital equipment dalam
suatu perusahaan, industry, atau national economy”. Suatu model production-
distribution system yang dikenal dengan nama “Forrester model”,
menggambarkan adanya 6 aliran yang saling berinteraksi dalam suatu sistem yaitu
aliran dari informasi, uang, material, permintaan, man power, dan capital
equipment. Dengan menggunakan Forrester model sebagai contoh, Forrester
mendeskripsikan bahwa dalam proses memodelkan suatu permasalahan, adalah
penting untuk memperhatikan adanya information feedback dalam metode system
dynamic yang digunakan. Di dalam Forrester model, terdapat hal yang penting
dalam supply chain dynamics yaitu demand amplification. Forrester menemukan
aturan dasar untuk merancang design dari supply chain yang efektif yaitu untuk
mengatasi adanya demand amplification harus dilakukan pengurangan dan
penghilangan dari delay dan membuat adanya feedback loop yang cocok (Towill
1996b).
Beberapa hal yang dibahas dalam memodelkan system dynamic pada
suppy chain adalah sebagai berikut:
a. Inventory management. Dengan meningkatnya persaingan dari pasar sekarang,
menyebabkan dikembangkannya system respon yang cepat dalam memenuhi
permintaan. System ini bertujuan untuk memberikan respon yang cepat
terhadap permintaan yang berubah dan mencapai inventory level yang tidak
terlalu tinggi.
26
b. Demand amplification. Suatu perbesaran permintaan yang terjadi, dan ketika
hal ini terjadi dilihat apa yang terjadi dengan performance atau kinerja suatu
perusahaan. Hasilnya adalah berapa performance setelah terjadi perbesaran
permintaan, lead time apakah harus berubah atau tidak, dan lain-lain yang
berhubungan dengan respon terhadap demand amplification.
c. Supply chain re-engineering. Respon yang berulang-ulang, efektif, dan efisien
terhadap perubahan di pasar adalah tantangan utama dalam supply chain
modern (Towill 1996b). Maka untuk menghadapi tantangan ini harus
dilakukan pengurangan waktu. Adanya pengurangan waktu ini dapat
memprediksikan peningkatan dari supply chain performance (Towill 1996b).
Dengan menggunakan Forrester model sebagai kerangka kerja untuk
meningkatkan performance dari system, Towill menyediakan beberapa urutan
dari strategi supply chain re-engineering. Suatu performance metric yang
diperkenalkan oleh Johansson et al. (1993) yang digunakan untuk melakukan
benchmarking dari supply chain adalah sebagai berikut:
Quality * customer_service_level
PI = (2.3)
Total_ cost * lead_time
Berdasarkan Towill 1996b, adanya pengurangan dari lead time mempunyai
pengaruh yang positif terhadap 3 komponen lainnya. Karena lead time
mempunyai pengaruh yang penting terhadap stabilitas dari supply chain,
keuntungan dari pengurangan waktu adalah peningkatan dari peramalan
permintaan, mendeteksi adanya defect lebih cepat lagi, barang lebih cepat ke
pasar, dan dapat menyediakan barang lebih cepat dari permintaan customer.
Dengan melihat hasil dari simulasi, Towill (1996b) menyarankan penggunaan
strategi re-engineering sebagai berikut:
- Pengurangan semua lead time (material, informasi, dan cash flow)
- Eliminasi waktu tunggu dalam pengambilan keputusan
- Penyediaan informasi yang telah dipercaya di semua pengambil keputusan
di arah hulu dari supply chain
27
2.4.1.2. Menyelidiki Pengaruh dari Model Fidelities pada Perubahan dari
Supply Chain
Dua hal yang menjadi tujuan dalam memodelkan supply chain adalah
(Jayendran Venkateswaran, Young-Jun Son, dan Boonserm Kulvatunyou
,2002):
a. Untuk menganalisa perubahan dari supply chain yang ada dan menentukan
strategi untuk meminimumkan perubahan tersebut.
b. Untuk mengetahui pengaruh yang signifikan dari keandalan suatu model yang
mewakili keadaan supply chain sesungguhnya.
Setelah didapatkan model yang dapat menggambarkan keadaan supply
chain, hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana menentukan strategi yang
paling efektif untuk dapat meningkatkan performance dari supply chain yang ada.
(apakah strategi yang dihasilkan dari simulasi jika diterapkan keadaan supply
chain sesungguhnya tetap efektif atau tidak). Karena dalam simulasi dilihat
pengaruh dari suatu strategi sebelum diterapkan pada keadaan sesungguhnya,
maka kedekatan model dengan keadaan nyata perlu diperhatikan. Beberapa
peneliti telah menggunakan model simulasi untuk menganalisa beberapa aspek
yang terdapat pada supply chain seperti instabilitiy dari supply chain (Bhaskaran
1998), performance effects dari operational factors (Beamon and Chen 2001),
demand amplification effects (Wikner, Towill, and Naim 1991), dan masih banyak
lagi lainnya.
Tujuan dari memodelkan dan menganalisa supply chain yang ada adalah
untuk mencapai tujuan yang terukur dan tidak terukur. Tujuan yang terukur
seperti biaya minimum, output yang meningkat, biaya per unit yang lebih rendah,
pengurangan lead time, menurunkan system dynamic yang ada, dan lain-lain
(Ayers 2001). Tujuan yang tidak terukur seperti mensinkronisasikan kebutuhan
dari customer melalui aliran barang dari supplier, meningkatkan service level dari
customer, membangun competitive advantage dari supply chain yang ada, dan
lain-lain (Cooper, Lambert and Pagh 1997).
28
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengurangi efek dari
demand amplification pada supply chain sebagai berikut:
a. Penentuan inventory levels. Strategi ini digunakan untuk menganalisa
stabilitas dari permintaan yang ada. Tingkat inventory yang paling minimum
untuk tiap channel telah ditentukan sebelumnya. Tujuan yang dipilih adalah
meminimumkan permintaan maksimum dari manufacturer. Dengan
menggunakan cara ini meskipun perubahan dari supply chain yang ada telah
diminimumkan sampai yang paling minimum yang bisa dicapai, inventory
levels yang ada tidak selalu dengan biaya yang minimum. Cara lain dapat
ditempuh dengan tujuan mengoptimalkan model supply chain yang ada
dengan biaya yang minimum dan dengan persyaratan perubahan yang ada
dijaga pada tingkat yang paling minimum pada setiap simulasi yang
dilakukan.
b. Pengurangan lead time. Strategi ini digunakan untuk melihat pengaruh dari
berkurangnya lead time pada supply chain yang ada, dan dilakukan dengan
menggunakan desired inventory levels yang telah dihasilkan dari strategi 1 di
atas.