56131791 Full Paper Schatzker

download 56131791 Full Paper Schatzker

of 9

Transcript of 56131791 Full Paper Schatzker

GAMBARAN KELAINAN KONGENITAL LAIN YANG MENYERTAI

PENDERITA PATAH TULANG TIBIA PLATEAU BERDASARKAN KLASIFIKASI SCHATZKER YANG DIRAWATDI RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN BANDUNGPERIODE JANUARI 2004 DESEMBER 2008

Widiyatmiko A.P., Ismiarto Y. D.SMF Orthopaedi & Traumatologi FK UNPAD / RS DR Hasan Sadikin, Bandung

PendahuluanDi negara berkembang seperti Indonesia, masalah trauma pada ekstremitas masih sering ditemukan. Hal ini disebabkan karena jumlah kendaraan bermotor yang terus meningkat terutama sepeda motor. Hal ini tidak disertai dengan kesadaran berlalu lintas yang baik sehingga jumlah kecelakaan yang tinggi. Menurut data Departemen Perhubungan Republik Indonesia, sepanjang tahun 2006 untuk setiap hari terjadi 6 kasus yang menyebabkan 3 orang meninggal dunia per hari. Di sisi lain, dalam periode yang sama pada tahun 2007, kasus kecelakaan sampai bulan Agustus mengalami peningkatan, rata-rata kecelakaan lalu lintas sebanyak 9 kasus per hari dan menyebabkan 4 orang meninggal dunia. Data PBB juga menyebutkan, kerugian akibat kecelakaan di Indonesia mencapai 2,17 persen dariProduk Domestik Bruto (PDB).Akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor maka akan timbul suatu trauma. Trauma yang timbul dapat menyebabkan fraktur pada ekstremitas bawah. Salah satunya adalah fraktur pada tibia plateau. Patah tulang tibia plateau disebabkan oleh gaya varus atau valgus yang dikombinasikan dengan gaya axial. Hal ini sering disebabkan karena kecelakaan pada pejalan kaki yang tertabrak mobil, kecelakaan motor, selain itu bisa juga disebabkan karena jatuh dari ketinggian. Sendi lutut adalah satu dari tiga sendi utama yang menopang berat badan pada ektremitas bawah. Fraktur yang mengenai tibia proksimal mempengaruhi fungsi dan stabilitas sendi. Fraktur ini bisa intraartikular (tibia plateau) atau ekstra artikular, yaitu fraktur pada 1/3 proksimal tibia. Secara umum sebab dari fraktur tibia 1/3 proksimal dikategorikan menjadi dua yaitu akibat energi lemah dan energi kuat. Ada berbagai macam klasifikasi yang digunakan untuk mendeskripsikan trauma yang terjadi. Tetapi tidak ada konsensus yang mengindikasikan tindakan operasi khusus pada suatu pola fraktur. Tujuan tindakan operasi pada fraktur tibia plateau adalah untuk mengembalikan fungsi dan mempertahankan fungsi sendi lutut yang normal. Tindakan operasi sendiri dengan melakukan reduksi sehingga permukaan sendi menjadi rata seperti semula, mempertahankan aksis mekanik dan mengembalikan stabilitas ligamen dan mempertahankan fungsi sendi lutut yang bebas dari nyeri.Penelitian ini mempelajari fraktur tibia plateau berdasarkan klasifikasi Schatzker pada pasien-pasien yang dirawat di RSHS serta hasil yang didapat setelah pasien menjalani tindakan baik secara operatif maupun konservatif.

MetodaPenelitian dilakukan secara retrospektif dalam kurun waktu Januari 2004 sampai Desember 2008 dengan jumlah pasien 63 orang yang menjalani rawat inap. Data diolah secara deskriptif yang meliputi jenis kelamin, umur, jenis patah tulang, tipe Schatzker, penyebab trauma, mekanisme trauma, penatalaksanaan. Kriteria inklusi : Pasien-pasien yang mengalami fraktur tibia plateau dan dirawat di RSHSKriteria eksklusi : Pasien-pasien fraktur tibia plateau dan menolak dirawat di RSHS

Hasil Dari penelitian ini didapatkan hasil : Subjek penelitian sebanyak 63 orang jumlah pasien berjenis kelamin laki-laki sebanyak 56 orang (89 %) dan jumlah pasien berjenis kelamin perempuan sebanyak 7 orang (11 %)

Gambar 1. Distribusi menurut jenis kelamin

UsiaJumlah%

0 14 tahun 6 orang8

14 tahun 35 tahun29 orang46

35 tahun 55 tahun14 orang23

> 55 tahun14 orang23

Jumlah63 orang100

Tabel 1. Usia Pasien Saat Rawat Inap

Gambar 2. Jenis fraktur

Gambar 3. Tipe fraktur tibia plateau berdasarkan klasifikasi Schatzker

Gambar 4. Penyebab terjadinya trauma

Gambar 5. Mekanisme trauma

Gambar 6. Penatalaksanaan fraktur tibia plateau

PembahasanHasil dari penelitian, jumlah kasus fraktur tibia plateau pada pasien-pasien trauma yang dirawat di bagian Orthopaedi periode Januari 2004 sampai dengan Desember 2008 adalah sebanyak 63 kasus. Angka kejadian menunjukan kasus pada pria berjumlah 56 kasus (89 %), lebih banyak dibandingkan dengan wanita yaitu 7 kasus (11 %). Hal ini disebabkan karena aktivitas pada pria yang lebih banyak dan menggunakan kendaraan bermotor terutama roda dua untuk kegiatannya. Berdasarkan usia, kasus terbanyak terjadi pada rentang usia 14-35 tahun, yaitu sebanyak 29 kasus (46%) hal ini dikarenakan aktivitas pada usia tersebut sangat tinggi. Kemudian diikuti oleh usia 35-55 tahun sebanyak 23 kasus (36%), usia 0-14 tahun sebanyak 6 kasus (9%) dan usia lebih dari 55 tahun sebanyak 5 kasus (9 %). Pada usia diatas 55 tahun dan kurang dari 14 tahun pasien disini terbanyak menjadi korban kecelakaan lalu lintas akibat tertabrak kendaraan saat menyeberang jalan atau karena kecelakaan kendaraan bermotor akibat kelalaian pengguna jalan lain.Jenis fraktur yang terjadi dilihat dari adanya hubungan antara fragmen fraktur dengan dunia luar, maka jenis yang terbanyak adalah fraktur tertutup dimana antara fragmen fraktur dan dunia luar masih terlindung oleh jaringan lunak seperti kulit, yaitu sebanyak 34 kasus (54%). Berdasarkan klasifikasi Schatzker fraktur yang paling banyak terjadi pada pasien-pasien fraktur tibia plateau di RSHS adalah tipe VI sebanyak 17 kasus (27%), klasifikasi Schatzker tipe VI merupakan bentuk fraktur yang disebabkan karena gaya energy yang tinggi sehingga menyebabkan fraktur bikondiler dengan garis fraktur yang memanjang hingga ke area metafisis. Sering disebakan karena jatuh dari ketinggian. Secara radiologis, tampak gamabaran fraktur yang eksplosif dengan disrupsi sendi, kominutif, depresi dan pergeseran fraktur fragmen. Jenis terbanyak kedua yaitu Schatzker tipe I sebanyak 14 kasus (23%), lalu Schatzker tipe II dan III dengan jumlah kasus yang sama sebanyak 11 kasus (17%) dan Schatzker tipe IV dan V dengan jumlah kasus yang sama sebanyak 5 kasus (8%).

F.E.D.C.B.A. Gambar 2. Klasifikasi Schatzker pada fraktur tibia plateau : type I (A); type II (B); type III (C). Type IV (D); type V (E); type VI (F).

Penyebab trauma yang terbanyak dan dirawat di RSHS adalah akibat kecelakaan lalulintas sebanyak 46 kasus (73%) dan diikuti dengan kecelakaan kerja sebanyak 11 kasus (18%) lalu kecelakaan di rumah 6 kasus (9%). Tingginya angka kecelakaan lalu lintas di daerah Jawa Barat dan di Bandung pada khususnya disebabkan karena disiplin dalam berlalu lintas yang masih sangat kurang, infrastruktur perhubungan yang kurang memadai dan sosialisasi serta pembinaan kepada masyarakat yang kurang dalam mengembangkan budaya disiplin berlalu lintas. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari literatur bahwa jumlah terbanyak dari fraktur tibia plateau ini dikarenakan akibat kecelakaan lalulintas (bumper fracture).

Gambar 1. Mekanisme klasik dari fraktur tibia plateau, yaitu bumper fracture yang terjadi saat tungkai bawah dalam kondisi weight bearing dan ekstensi penuh.

Mekanisme trauma yang terjadi terbanyak yaitu akibat gabungan gaya kompresi dalam bidang koronal secara indirek dan gaya aksial yaitu sebanyak 46 kasus (73%). Hal ini sesuai dengan literatur dimana gaya yang menyebabkan fraktur dari tibia plateau adalah gaya valgus atau varus yang dikombinasikan dengan gaya axial. Kemudian diikuti oleh fraktur tibia plateau akibat gaya kompresi koronal indirek sebanyak 11 kasus (18%) dan gaya kompresi aksial sebanyak 6 kasus (9%) yang diakibatkan karena jatuh dari ketinggian dan mengakibatkan bentuk fragmen fraktur yang kominutif. Dari 63 pasien pada kasus fraktur tibia plateau yang dilakukan operasi adalah sebanyak 40 kasus (64%) dengan metode reduksi terbuka dan fiksasi interna dan sisanya sebanyak 23 kasus (6%) dilakukan reduksi tertutup. Tujuan dari penatalaksanaan fraktur tibia plateau yaitu untuk menghasilkan sendi yang stabil, lurus, bebas bergerak dan tidak nyeri, serta untuk meminimalisir resiko osteoarthritis setelah trauma. Tidak ada persetujuan yang berlaku di seluruh dunia mengenai hubungan tingkat depresi pada permukaan plateau yang mengharuskan suatu tindakan operatif walaupu ada beberapa ahli yang menyarankan suatu reduksi anatomis pada depresi artikular yang lebih dari 3-4 mm. tapi ada juga yang berpendapat bahawa pergeseran fragmen fraktur dalam rentang 4-10 mm dapat dilakukan tindakan non operatif. pada penelitian jangka panjang lebih dari 20 tahun didapatkan suatu hubungan yang inkonsisten antara tingkat residu depresi sendi dengan terjadinya osteoarthritis. Dari hasil penelitian pada pasien yang dirawat di RSHS didapatkan sebanyak 6 orang pasien yang tidak dioperasi mengeluh terjadinya suatu kekakuan sendi hingga menimbulkan kesulitan dalam berjalan dan harus dibantu dengan tongkat.

KesimpulanPatah tulang tibia plateau paling banyak terjadi pada pria dewasa muda dengan tipe fraktur tertutup dan klasifikasi Schatzker tipe VI. Mekanisme trauma berupa gabungan gaya kompresi dalam bidang koronal secara indirek dan gaya axial akibat kecelakaan lalulintas. Patah tulang tibia plateau jenis ini membutuhkan penanganan yang tepat dengan reduksi terbuka dan fiksasi interna, sehingga akan mencegah terjadinya kecacatan berupa deformitas atau arthritis yang akan mengganggu mobilitas dan produktivitas pasien.

Daftar Pustaka

1. Apley & Solomon. Apleys System of Orthopaedics and Fractures. 7 Edition, Butterworth Heinemann. 1993; pp 521-528; 539-581; 705-732.2. Koval K.J. & Egol K.A., Fractures of the Proximal Tibia in Rockwood and Wilkins' Fractures in Adults, 6th edition. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001. Pp : 2000-2025. 3. Canale & Beaty. Tibial Plateau Fracture In Campbells Operative Orthopaedics. 11th Edition. Mosby Company. St.Louis, Washington, Toronto. 2008; pp: 2053-2118. 4. http://www.jabarprov.go.id/jabar/public/33417/berita_detail.htm?id=80530

5. http://www.antara.co.id/arc/2008/10/15/sepeda-motor-dominasi-kecelakaan-lalu-lintas-di-indonesia