??
-
Upload
aldila-dina-hairunnisya -
Category
Documents
-
view
216 -
download
0
description
Transcript of ??
I. Penyimpangan Demokrasi yang Berjalan di Indonesia
Unggul ZR Wicaksono
1. Demokrasi Perlementer (Liberal)
Demokrasi Perlementer di pemerintahan kita telah dipraktekkan pada
masa berlakunya UUD 1945 periode pertama (1945-1949) kemudian
dilanjutkan pada masa berlakunya Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan
UUDS 1950. Pelaksanaan Demokrasi Parlementer tersebut secara yuridis
resmi berakhir pada tanggal 5 juli 1959 bersamaan dengan pemberlakuan
kembali UUD 1945.
Pada masa berlakunya Demokrasi Parlementer (1945-1959),
kehidupan politik dan pemerintahan tidak stabil,sehingga program
pembangunan dari suatu pemerintahan tidak dapat dilaksanakan dengan
baik dan berkeseimbangan. Salah satu penyebab ketidakstabilan tersebut
adalah sering bergantinya pemerintahan yang bertugas sebagai pelaksana
pemerintahan. Suatu pertanyaan Mengapa dalam sistem pemerintahan
parlementer, pemerintahan sering diganti ? Hal ini terjadi karena dalam
negara demokrasi dengan sistem pemerintahan parlementer,kedudukan
negara berada di bawah DPR dan keberadaanya sangat tergantung pada
dukungan DPR,dan pemerintahan lain adalah timbulnya perbedaan pendapat
yang sangat mendasar di antara partai politik yang ada saat itu.
Namun demikian praktik demokrasi pada masa ini dinilai gagal
disebabkan :
Dominannya partai politik
Landasan sosial ekonomi yang masih lemah
Tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti
UUDS 1950
atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Bubarkan konstituante
Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950
Pembentukan MPRS dan DPAS
2. Demokrasi Terpimpin
Kegagalan konstituante dalam menetapkan UUD baru, yang diikuti
suhu dan situasi politik yang memanas dan membahayakan keselamatan
bangsa dan Negara,maka pada tanggal 5 juli 1959 Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden.Dekrit Presiden dipandang sebagai usaha
untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan
kepemimpinan yang kuat. Untuk mencapai hal tersebut, di Negara kita saat
itu digunakan Demokrasi Terpimpin.
Mengapa lahir Demokrasi Terpimpin? Demokrasi Terpimpin lahir dari
keinsyafan, kesadaran, dan keyakinan terhadap keburukan yang diakibatkan
oleh praktik Demokrasi Parlementer (liberal) yang melahirkan terpecahnya
masyarakat, baik dalam kehidupan politik maupun dalam tatanan kehidupan
ekonomi.
Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain:
Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak
yang dipenjarakan
Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh
presiden dan presiden membentuk DPRGR
Jaminan HAM lemah
Terjadi sentralisasi kekuasaan
Terbatasnya peranan pers
Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok
Timur)
Terjadinya peristiwa pemberontakan G 30 September 1965
oleh PKI.
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di
bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannya bertentangan
dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden.
Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan
Presiden No. 2 Tahun 1959. Tindakan tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD
1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga
tertinggi negara harus melalui pemilihan umum sehingga
partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-
anggota yang duduk di MPR.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955
dibubarkan karena DPR menolak RAPBN tahun 1960 yang
diajukan pemerintah. Presiden selanjutnya menyatakan
pembubaran DPR dan sebagai gantinya presiden
membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR).
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk
berdasarkan Penetapan Presiden No.3 tahun 1959.
Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri. Keanggotaan
DPAS terdiri atas satu orang wakil ketua, 12 orang wakil
partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang wakil
golongan. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas
pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada
pemerintah.
Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden
No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah
organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita
proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD
1945.
Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja.
Sebagai wakil presiden diangkatlah Ir. Juanda. Hingga
tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan
(reshuffle).
Perbedaan ideologi dari partai-partai yang berkembang masa
demokrasi parlementer menimbulkan perbedaan
pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan
bernegara yang berdampak pada terancamnya persatuan
di Indonesia.
Adanya ajaran RESOPIM. Tujuan adanya ajaran RESOPIM
(Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional)
adalah untuk memperkuat kedudukan Presiden Sukarno.
Ajaran Resopim diumumkan pada peringatan Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16.
3. Demokrasi Pancasila pada Era Orde Baru
Latar belakang munculnya Demokrasi Pancasila adalah adanya
berbagai penyelewengan dan permasalahan yang dialami bangsa Indonesia
pada masa berlakunya Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin.
Kedua jenis demokrasi tersebut tidak cocok diterapkan di Indonesia yang
bernapaskan kekeluargaan dan gotong royong. Sejak lahirnya Orde Baru,
diberlakukan Demokrasi Pancasila, sampai saat ini. Secara konseptual,
Demokrasi Pancasila masih dianggap dan dirasakan paling cocok diterapkan
di Indonesia. Demokrasi Pancasila bersumberkan pada pola pikir dan tata
nilai sosial budaya bangsa Indonesia, dan menghargai hak individu yang
tidak terlepas dari kepentingan sosial.
Demokrasi Pancasila mengandung arti bahwa dalam menggunakan
hak-hak demokrasi haruslah di sertai rasa tanggung jawab kepada Tuhan
Yang Maha Esa menurut agama dan kepercayaan masing-masing,
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan martabat dan
harkat manusia, haruslah menjamin persatuan dan kesatuan bangsa, dan
harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Jadi, Demokrasi
Pancasila berpangkal dari kekeluargaan dan gotong royong. Semangat
kekeluargaan itu sendiri sudah lama dianut dan berkembang dalam
masyarakat Indonesia, khususnya di masyarakat pedesaan.
Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini
dianggap gagal sebab:
Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada
Rekrutmen politik yang tertutup
Pemilu yang jauh dari semangat demokratis
Pengakuan HAM yang terbatas
Tumbuhnya KKN yang merajalela
Pada tahun 1960 presiden membubarkan DPR hasil pemilu,
sedangkan dalam penjelasan UUD ditentukan bahwa
presiden tidak mempunyai wewenanguntuk membubarkan
DPR
Penyelenggaraan pemilu yang tidak jujur dan tidak adil.
Pengekangan kebebasan berpolitik bagi pegawai Negeri Sipil
(PNS) kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang tidak
mandiri / tidak independen karena para hakim adalah
anggota PNS Departemen Kehakiman
Kurangnya jaminan kebebasan mengemukakan pendapat.
Sistem kepartaian yang tidak otonomi dan berat sebelah.
Maraknya praktik kolusi ,korupsi dan nepotisme diberbagai
bidang
Menteri-menteri dan Gubernur diangkat menjadi anggota
MPR
Organisasi sosial dipegang/dipangku oleh para pejabat
birokrasi.
4. Demokrasi Pada Era Reformasi
Reformasi suatu orde untuk melakukan perubahan untuk
demokratisasi dalam segala bidang kehidupan, diantara bidang kehidupan
yang menjadi sorotan utama adalah dibidang Politik, Ekonomi, Hukum.
Perubahan yang terjadi pada era orde reformasi ini adalah dilakukakan
secara bertahap, oleh karena konsep reformasi tidak sama dengan konsep
revulosi yang berkonotasi suatu perubahan total dan mendasar pada semua
sektor atau komponen dalam suatu sistem politik yang mengarah kepada
sistem kekerasan.
Menurut Hutington bahwa reformasi mengandung suatu arti
“perubahan yang mengarah pada persamaan politik Negara,ekonomi lebih
merata,perluasan basis partisipasi politik rakyat”Reformasi yang
dilaksanakan di Negara kita Indonesia sasaran utamanya adalah suatu upaya
meningkatkan partisipasi politik rakyat dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara.
Masalah pada saat demokrasi reformasi sangat beragam, atara lain :
Institusi-institusi demokrasi telah dikuasai (kembali) oleh
kalangan elite; sementara para aktivis pro-demokrasi yang
dulu merebutnya dari Orde Baru tetap berada pada posisi
marginal. Demokrasi liberal ternyata hanya menguntungkan
kalangan elite, dan menjadi suatu bentuk demokrasi elitis –
untuk tidak menyebutnya oligarki liberal;
Korupsi terus tidak tertanggulangi, bahkan makin merajalela
sampai ke tingkat lokal. Sementara desentralisasi berpotensi
menyebabkan munculnya kekuasaan bos-lokal yang pada
gilirannya berpotensi menjadi kaki-tangan berbagai kekuatan
sentralistis yang berada di Jakarta, Tokyo, New York, London
dan pusat-pusat kekuasaan ekonomi politik.
Depolitisasi masyarakat sipil masih terus berlangsung dengan
menguatnya suasana anti-politik yang terus meluas.
Partisipasi memang tumbuh subur, tetapi perluasan
partisipasi tampaknya tidak berbanding lurus dengan
perubahan hubungan-hubungan kekuasaan yang
memungkinkan rakyat banyak menikmati sumber-sumber
daya politik dan ekonomi.
II. Kasus-Kasus Penyimpangan dan Kegagalan Demokrasi Di
Indonesia.
Indonesia tengah dilanda berbagai masalah yang kompleks. Sistem
demokrasi yang seyogyanya menghasilkan masyarakat yang bebas dan
sejahtera, tidak terlihat hasilnya, malah kenyataannya bertolak belakang.
Berikut ini adalah beberapa fenomena kegagalan demokrasi di Indonesia.
A. Pertama, Presiden tidak cukup kuat untuk menjalankan
kebijakannya.
Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ini membuat posisi
presiden presiden kuat dalam ati sulit untuk digulingkan. Namun, di
parlemen tidak terdapat partai yang dominan, termasuk partai yang
mengusung pemerintah. Ditambah lagi peran lagislatif yang besar
pasca reformasi ini dalam menentukan banyak kebijakan presiden.
Dalam memberhentikan menteri misalnya, presiden sulit untuk
memberhentikan menteri karena partai yang “mengutus” menteri
tersebut akan menarik dukungannya dari pemerintah dan tentunya
akan semakin memperlemah pemerintah. Hal ini membuat presiden
sulit mengambil langkah kebijakannya dan mudah di-“setir” oleh
partai.
B. Kedua, rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat justru di
tengah kebebasan demokrasi.
Tingkat kesejahteraan menurun setelah reformasi, yang justru
saat itulah dimulainya kebebasan berekspresi, berpendapat, dll. Ini
aneh mengingat sebenarnya tujuan dari politik adalah kesejahteraan.
Demokrasi atau sistem politik lainnya hanyalah sebuah alat. Begitu
pula dengan kebebasan dalam alam demokrasi, hanyalah alat untuk
mencapai kesejahteraan.
C. Ketiga, tidak berjalannya fungsi partai politik.
Fungsi partai politik paling tidak ada tiga: penyalur aspirasi
rakyat, pemusatan kepentingan-kepentingan yang sama, dan sarana
pendidikan politik masyarakat. Selama ini dapat dikatakan ketiganya
tidak berjalan. Partai politik lebih mementingkan kekuasaan daripada
aspirasi rakyat.Fungsi partai politik sebagai pemusatan kepentingan-
kepentingan yang sama pun tidak berjalan mengingat tidak adanya
partai politik yang konsisten dengan ideologinya.
Partai politik sebagai sarana pendidikan politik masyarakat lebih
parah. Kita melihat partai mengambil suara dari masyarakat bukan
dengan pencerdasan terhadap visi, program partai, atau kaderisasi.
Melainkan dengan uang, artis, kaos, yang sama sekali tidak
mencerdaskan malah membodohi masyarakat.
D. Keempat, ketidakstabilan kepemimpinan nasional.
Jika kita cermati, semua pemimpin bangsa ini mualai dari
Soekarno sampai Gus Dur, tidak ada yang kepemimpinannya berakhir
dengan bahagia. Semua berakhir tragis alias diturunkan. Ini
sebenarnya merupakan dampak dari tidak adanya pendidikan politik
bagi masyarakat. Budaya masyarakat Indonesia tentang pemimpinnya
adalah mengharapkan hadirnya “Ratu Adil” yang akan menyelesaikan
semua masalah mereka. Ini bodoh. Masyarakat tidak diajari bagaimana
merasionalisasikan harapan-harapan mereka. Mereka tidak diajarkan
tentang proses dalam merealisasikan harapan dan tujuan nasional.
Hal ini diperburuk dengan sistem pemilihan pemimpin yang ada
sekarang (setelah otonomi), termasuk pemilihan kepala daerah yang
menghabiskan biaya yang mahal. Calon pemimpin yang berkualitas
namun tidak berduit akan kalah populer dengan calon yang tidak
berkualitas namun memiliki uang yang cukup untuk kampanye besar-
besaran, memasang foto wajah mereka besar-besar di setiap
perempatan. Masyarakat yang tidak terdidik tidak dapat memilih
pemimpin berdasarkan value.
E. Kelima, birokrasi yang politis, KKN, dan berbelit-belit.
Birokrasi semasa orde baru sangat politis. Setiap PNS itu Korpri
dan wadah Korpri adalah Golkar. Jadi sama saja dengan PNS itu Golkar.
Ini berbahaya karena birokrasi merupakan wilayah eksekusi kebijakan.
Jika birokrasi tidak netral, maka jika suatu saat partai lain yang
memegang pucuk kebijakan, maka dia akan sulit dalam menjalankan
kebijakannya karena birokrasi yang seharusnya menjalankan kebijakan
tersebut memihak pada partai lain. Aknibatnya kebijakan tinggal
kebijakan dan tidak terlaksana. Leibih parahnya, ini dapat memicu
reformasi birokrasi besar-besaran setiap kali ada pergantian
kepemimpinan dan tentunya ini bukanlah hal yang baik untuk
stabilitas pemerintahan. Maka seharusnya birokrasi itu netral.
Banyak sekali kasus KKN dalam birokrasi. Contoh kecil adalah
pungli, suap, dll. Ini menjadi bahaya laten karena menimbulkan
ketidakpercayaan yang akut dari masyarakat kepada pemerintah.
Selain itu berdampak pula pada iklim investasi. Investor tidak berminat
untuk berinvestasi karena adanya kapitalisasi birokrasi.
Hal di atas mendorong pada birokrasi yang tidak rasional. Kinerja
menjadi tidak professional, urusan dipersulit, dsb. Prinsip yang
digunakan adalah “jika bisa dipersulit, buat apa dipermudah”.
F. Keenam, banyaknya ancaman separatisme.
Misalnya Aceh, Papua, RMS, dll. Ini merupakan dampak dari
dianaktirikannya daerah-daerah tersebut semasa orde baru, yang
tentunya adalah kesalahan pemerintah dalam “mengurus anak”.
Tentunya ini membuat ketahanan nasional Indonesia menjadi lemah,
mudah diadu domba, terkurasnya energi bangsa ini, dan mudah
dipengaruhi kepentingan asing.
Sumber Referensi :
Asri, Tapa M, 2009.Perjalanan Demokrasi di Indonesia. Makassar:
Universitas Veteran Republik Indone