53238229-bank-syariah.docx
-
Upload
homework-ping -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
Transcript of 53238229-bank-syariah.docx
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
1
IDENTITAS DOKUMEN (Preview)
Judul : RINGKASAN RISET KAJIAN TERHADAP KEPATUHAN SYARIAH DALAM
PRAKTIK PEMBIAYAAN DI BMT SLEMAN, YOGYAKARTA
Nama Jurnal : Jurnal Fenomena
Edisi : Volume 6-Nomor 1-Maret 2008
Penulis : Nur Kholis, S.Ag, M.Sh.Ec
Abstrak : This research is about Syariah compliance of the financing practice
at Baitul Mal
Wattamwil (BMT), Sleman, Yogyakarta. Objectives of this research are: (1)
study to
the practice of BMT’s financing products, its procedures and its application in
the
BMTs, Sleman, Yogyakarta. The practices of them will be analyzed by
Syariah’s
rules to prove its compliance to it or not, (2) study to mark up price and loss
sharing
method as a way to get profit in financing product to show its similarities or
differences with interest rate determination in conventional bank and to
show its
compliance to Syariah’s rules or not, (3) study to the policies and actions of
BMT’s
management if default payment by client occured. The practice of the
policies and
actions of BMT’s management to the default payment case will be analyzed
by
Syariah’s rules to prove its compliance to it or not.
It is a qualitative research. It applies theoretical and empirical methods.
Reflective
thinking analytical method, with combination of deductive, inductive, and
comparative thinking pattern applies in this research as method of analysis.
The
research found that the most of methods, procedures and operations of
financing
product at BMT’s sample in Sleman, Yogyakarta is in line with Syari‘ah
principles/are
compliance to Syari‘ah rules and regulations.
keywords : Syariah compliance, BMT, Praktik Pembiayaan
Kesimpulan : Berdasarkan pada analisis yang telah dilaksanakan, telah
nampaklah tiga
kesimpulan sebagai jawaban terhadap rumusan masalah yaitu (1) Sebagian
besar
prosedur (yang meliputi tiga fase yaitu fase permulaan pembiayaan, fase
masa
pembiayaan, dan fase setelah pembiayaan), dan pelaksanaan akad
pembiayaan
oleh BMT di Yogyakarta telah sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah. Walau
terdapat
transaksi di BMT Dana Syariah yang terlibat dengan jual beli fuduli. (2)
Penentuan
margin keuntungan dan bagi hasil dalam kontrak pembiayaan di BMT Dana
Syariah
dan BMT FORMANIS ditentukan dengan cara negosiasi antara pihak BMT dan
nasabah sehingga kedua-dua pihak bersepakat untuk mengadakan kontrak
pembiayaan. Cara penentuan margin keuntungan dan bagi hasil seperti ini
telah
memenuhi syarat-syarat akad pembiayaan. (3) Sikap dan tindakan pihak
manajemen BMT apabila terjadi kelewatan atau keingkaran pembayaran
oleh
nasabah dari waktu jatuh tempo yang telah ditetapkan adalah sesuai dengan
ketentuan Syariah, kecuali ada tindakan pihak manajemen BMT Dana
Syariah yang
perlu diluruskan.
Penerbit : Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM)
Univervitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Format : PDF
Web : http://www.uii.ac.id ; http://dppm.uii.ac.id
Tag : Jurnal Penelitian dan Pengabdian
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
2
RINGKASAN RISET
KAJIAN TERHADAP KEPATUHAN SYARIAH
DALAM PRAKTIK PEMBIAYAAN DI BMT SLEMAN, YOGYAKARTA
A. Pendahuluan
Dalam praktiknya BMT melaksanakan dua jenis kegiatan yaitu Baitul
Tamwil dan Baitul Mal.Baitul Tamwil bergiat mengembangkan usaha-usaha
produktif dan investasi dalam meningkatkan
kualitas kegiatan pengusaha kecil bawah dan kecil dengan mendorong
kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan ekonomi. Sedangkan baitul
Mal menerima titipan zakat, infaq, dan shadaqah serta menjalankannya
sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Menurut Dawam Rahardjo, pendirian dan perkembangan BMT di
Indonesia dipelopori oleh Muhammadiyah,1 suatu ormas yang menganut
paham purifikasi (pemurnian) ajaran Islam dan cenderung kepada reformis
modernis yang berpusat di Yogyakarta. Diduga, karakteristik itu berimplikasi
pada sikap para jemaahnya terhadap pengembangan perbankan Syariah.
Muhammadiyah lebih terbuka dan cepat menerima daripada ormas lain.2
Kader-kader Muhammadiyah dengan aktif melakukan promosi dan aktivitas
dalam hal perbankan Syariah, di antaranya dengan mendirikan BMT-BMT.
Selain itu, dalam kenyataannya, keberadaan perbankan Syariah masih
berpusat di masyarakat perkotaan dan lebih melayani pada usaha-usaha
golongan menengah ke atas. Sementara umat Islam Yogyakarta yang
menginginkan bermu‘amalah secara Islam tidak hanya yang berada di kota
tetapi juga mereka yang berada di pinggiran kota dan desa. Mereka
umumnya memiliki perusahaan yang relatif kecil dan terbatas. Untuk itu,
sekalipun sudah cukup banyak didirikan bank-bank Syariah di Yogyakarta,
namun mereka (kaum muslimin di desa ataupun muslimin di kota yang
mempunyai perusahaan kecil) masih belum mendapatkan akses yang 1 M.
Dawam Rahardjo, (2004) “Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi”,
kata pengantar Buku Bank Islam. Jakarta: Rajawali Press, h. xxii; Soertiana
Nitisoemantri (2000), “Muhammadiyah dan Perkembangan Mu‘amalah
Kontemporer”, dalam Muhammad Azhar et al. (eds.), Pengembangan
Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi. Yogyakarta:
LPPI UMY dan Majlis Tarjih Muhammadiyah, hh. 77-84.
2 Abdul Mughits (2003), “Sosialisasi Bank Syariah di Kantong-kantong NU”,
dalam Irwan Kelana et al. (eds.), Perbankan Syariah Masa Depan. Jakarta:
Senayan Abadi Publishing, hh. 59-60. Jurnal Penelitian & Pengabdian
dppm.uii.ac.id
3 optimum kepada perbankan Syariah.
Karena itulah dikembangkan institusi-institusi keuangan Syariah mikro yang
dapat berinteraksi dengan umat di desa dengan kemudahan memberikan
pembiayaan usaha-usaha kecil yang diberi nama Baitul Mal wat-Tamwil
(BMT). 3 Barangkali unit-unit keuangan Syariah kelas mikro inilah yang
memberikan keunikan terhadap perkembangan institusi keuangan Syariah di
Indonesia dibandingkan dengan yang berkembang di negara-negara Islam
lainnya. Skala usaha seperti ini nampaknya kurang atau memang tidak
dikembangkan di Timur Tengah dan juga Malaysia serta Brunei, karena
perbedaan tingkat pendapatan per kapita penduduknya. Mereka lebih tinggi
pendapatannya dan lebih banyak tinggal di kota. Mereka lebih mudah dan
confident untuk mendapatkan akses kepada perbankan syariah.4 BMT
diperlukan masyarakat dengan pertimbangan-pertimbangan: pertama,
masih terdapat kurang lebih 34,8 juta pengusaha kecil di Indonesia.5 Kedua,
masih sangat sedikit lembaga perbankan yang mampu berhubungan
langsung dengan pengusaha kecil bawah dan kecil.
Kalaupun ada lembaga-lembaga keuangan yang dapat berhubungan
langsung dengan pengusaha kecil bawah dan kecil bersifat profit oriented
sehingga ada kecenderungan mereka selalu menjadi pihak yang dirugikan.
Pendirian lembaga-lembaga keuangan syariah kelas BMT, dalam realitasnya
belum berbanding lurus dengan pemahaman masyarakat soal perbankan
syariah. Hasil Riset Direktorat
Riset dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia (DPNP-BI)
bekerjasama dengan tiga universitas di pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa
Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur) pada tahun 2000 menunjukkan masih
banyak terjadi kesalahpahaman dan rendahnya pemahaman masyarakat
tentang perbankan syariah. Sebanyak 94 % dari 4000 responden yang telah
dijelaskan mengenai sistem perbankan syariah mengakui bahwa sistem bagi
hasil (profit sharing) adalah sistem yang dinilai universal dan dapat diterima
karena bersifat menguntungkan baik bagi bank maupun bagi nasabah.
Disamping itu awareness masyarakat akan eksistensi sistem perbankan
syariah juga relatif tinggi (79 %).
Namun pemahaman tentang keunikan dan karakteristik dari produk-
produk perbankan syariah masih sangat rendah. Bahkan terdapat kecurigaan
dan ketidakpuasan masyarakat yang menganggap bahwa bank syariah sama
saja dengan bank konvensional (10,2 persen dari 1500 responden).
Sedangkan bagi hasil atau marjin/mark-up akad murabahah (prinsip jual beli)
yang digunakan bank syariah dianggap sama saja dengan bunga (16,5
persen dari 1500 responden).
Bahkan sebagian responden yang telah menjadi nasabah ada yang
sebagiannya mempunyai kecenderungan untuk berhenti menjadi nasabah
karena faktor pelayanan yang kurang baik atau keraguan terhadap
konsistensi penerapan prinsip syariah.6 Kecurigaan dan ketidakpuasan
tersebut didasarkan pada pengalaman interaksi dengan sejumlah bank
syariah (khususnya BMT) yang belum melaksanakan prinsip-prinsip syariah
secara konsisten. Ada ambivalensi antara konsep syariah pengelolaan BMT
dengan operasionalisasinya di lapangan. Terdapat ketidakcocokan (kalau
tidak dikata penyimpangan) dari garis syariah yang ditentukan. Hal ini
menyebabkan berkurangnya kepercayaan dari nasabah ataupun masyarakat
3 Heri Sudarsono (2004), Bank dan Lembaga Kewangan Syariah; Deskripsi
dan Ilustrasi. Yogyakarta:
EKONISIA., h. 97.
4 Sulistyowati (2003), “Mengembangkan Franchise BMT-BMI”, dalam Irwan
Kelana et al. (eds.), Perbankan
Syariah Masa Depan. Jakarta: PT Senayan Abadi, h. 156.
5 Lihat Robert Rice (2004), “The Contribution of Household and Small
Manufacturing Establishment to The
Rural Economy”, dalam Thomas R. Leinbach (ed.) (2004), The Indonesian
Rural Economy, Mobility, Work and
Enterprise. Pasir Panjang Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, h.
79.
6 Bank Indonesia (2000), Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat
terhadap Bank Syariah di Pulau Jawa.
Jakarta: Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
4
calon nasabah.7 Selain itu ada juga karena prasangka, salah interpretasi,
dan bias komunikasi dari masyarakat pengguna jasa lembaga keuangan
syariah. Bahkan hasil kajian yang dilaksanakan oleh Magister Studi Islam UII
(MSI UII), menunjukkan bahwa mayoritas pegawai yang direkrut oleh BMT
belum mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang pengelolaan
institusi keuangan Syariah.8 Realitas yang demikian itu menyebabkan
timbulnya isu-isu kontorversi yang berkembang di masyarakat seputar
praktik pembiayaan yang diterapkan BMT. Oleh sebab itulah, perlu
meningkatkan purifikasi praktik lembaga keuangan syariah yang konsisten
dalam menerapkan prinsip dan kegiatan sesuai syariah. Penyimpangan dari
konsepsi lembaga keuangan syariah akan menghilangkan jati diri dan
keunikan lembaga keuangan syariah (BMT), yang pada gilirannya akan
menghilangkan eksistensi lembaga keuangan syariah. Oleh karena itulah,
kajian ini akan memfokuskan pada kajian tentang isu-isu kontroversi dalam
pelaksanaan produk pembiayaan di BMT Sleman, Yogyakarta.
Tujuan penelitian ini yaitu
1. Mengkaji praktik pelaksanaan pembiayaan di BMT Sleman untuk
membuktikan sesuai atau tidaknya praktik pelaksanaan pembiayaan di
BMT Slemantersebut dengan prinsip-prinsip Syariah,
2. Mengkaji cara penentuan margin keuntungan atau bagi hasil dalam
kontrak pembiayaan selanjutnya dikaji persamaan dan perbedaannya
dengan penetapan tingkat bunga dalam bank konvensional untuk
membuktikan sesuai atau tidaknya dengan prinsip-prinsip Syariah,
3. Mengkaji sikap dan tindakan pihak BMT apabila terjadi kegagalan
pembayaran (default payment) oleh nasabah sesuai waktu yang telah
ditetapkan untuk membuktikan sesuai atau tidaknya sikap dan
tindakan pihak BMT apabila terjadi kegagalan pembayaran (default
payment) dengan prinsip-prinsip Syariah.
Secara khusus, kajian ini penting untuk dijalankan untuk membuktikan
benar atau tidaknya isu-isu yang berkembang di masyarakat agar
masyarakat mendapatkan informasi yang sebenarnya berkaitan dengan isu-
isu tersebut. Dengan demikian, kajian ini bermanfaat untuk memberikan
jawaban terhadap benar atau tidaknya isu-isu yang berkait dengan praktik
pembiayaan BMT kepada masyarakat.
Di samping itu, hasil temuan kajian ini juga berkemungkinan untuk
bisa dijadikan dasar untuk memperbaiki sebarang kelemahan sekiranya ada
atau memberi penjelasan terhadap persepsi masyarakat yang berkenaan
dengan pelaksanaan pembiayaan di BMT.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang diaplikasikan dalam riset ini terdiri dari dua
macam, yaitu kaedah
teoritikal dan kaedah empirikal.
1. Kaedah Teoritikal
Metode ini digunakan untuk mengetahui secara pasti konsep
pembiayaan, cara penyelesaian default payment, dan penentuan
keuntungan secara teori dalam Islam. Ini dilakukan untuk menghindari salah
paham dalam memahami konsep pembiayaan, cara penyelesaian default
payment, dan penentuan keuntungan yang sesungguhnya dalam hukum
Islam.
Untuk mendapatkan informasi yang lengkap dalam kaedah teoritikal
ini pengkaji menggunakan penyelidikan perpustakaan dengan merujuk
kepada al-Qur’an, al-Sunnah, kitabkitab, buku-buku yang telah diterbitkan,
artikel-artikel dari jurnal, makalah seminar dan juga profil-profil institusi BMT
serta dokumen-dokumen yang berkaitan. Disamping itu untuk melengkapi
kaedah teoritikal ini pengkaji menggunakan internet untuk mendapatkan isu-
isu mutakhir yang berkaitan dengan judul penelitian.
7 Amir Muallim (2003), “Persepsi Masyarakat terhadap Lembaga Keuangan
Syariah” dalam Jurnal al-Mawarid,
Edisi X Tahun 2003, p. 19. Lihat pula Muhammad (2002), Manajemen Bank
Syari’ah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN,
h. 4
8 Tim Peneliti Magister Studi Islam Universiti Islam Indonesia (MSI UII)
(2004), Profesionalisme Praktisi BMT
di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Yogyakarta: MSI UII, hh. 50-51.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
5
2. Kaedah Empirikal
Kaedah empirikal digunakan untuk membuktikan benar atau tidaknya
isu-isu dalam pelaksanaan pembiayaan oleh BMT yang dikaji dalam
penelitian ini. Tolok ukur untuk menilai kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip
Syariah adalah kaedah teoritikal yang telah menjadi teori asas dalam
penyelidikan ini. Untuk mendapatkan bukti empirikal dalam kajian ini,
pengkaji menggunakan tiga tahap, yaitu tahap penentuan subjek, tahap
pengumpulan data dan tahap penganalisaan data.
a. Metode Penentuan Subjek
Wilayah penelitian ini adalah Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Dipilihnya Sleman sebagai wilayah penelitian karena ternyata BMT
mengalami perkembangan yang sangat pesat, paling tidak dari segi
kuantitas, di Kabupaten Sleman. Dari jumlah total 83 BMT yang aktif di DI
Yogyakarta, 3 di antaranya terletak di Sleman.
Sedangkan penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan
metode cluster sampling yaitu suatu metode pengambilan sampel yang
dilakukan dengan membagi populasi dalam subkelompok. Sub-kelompok
yang dimaksud adalah sub-kelompok BMT berbasis masjid dan BMT berbasis
pasar. Berdasarkan klaster tersebut, unit sampel dalam penelitian ini adalah
1 BMT berbasis masjid yaitu BMT FORMANIS di Wedomartani dan 1 BMT
berbasis pasar yaitu BMT Dana Syariah di Pakem.
Penentuan sampel ini dipilih berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut:
1. BMT yang ada di wilayah Kabupaten Sleman baik yang berbasis masjid
maupun yangberbasis pasar relatif bersifat homogen baik dari sisi
mekanisme pendirian, struktur organisasi, jenis produk dan jasa, dan
pola manajemen organisasi.
2. Penelitian sampel dapat dilakukan lebih cepat dan lebih efisien,
sehingga pengumpulan dan pengolahan datanya dapat dilakukan lebih
cepat.
3. Penelitian sampel dapat menghasilkan informasi yang lebih
komprehensif, sebab sebuah sampel kecil dapat diselidiki secara lebih
mendalam.
b. Teknik Pengumpulan Data
Guna menghasilkan temuan yang sesuai dengan tujuan penelitian ini,
beberapa teknik akan digunakan untuk pengumpulan data, yaitu:
1). Penyebaran Kuisioner
Alat ini akan dirancang sedemikian rupa, yakni dalam bentuk isian dan
pertanyaan terbuka, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang dimuat di
dalamnya dapat mengungkap pandangan, pengetahuan dan pemahaman
para praktisi BMT tentang isu-isu yang dikaji. Responden dalam penyebaran
kuisioner ini adalah para praktisi BMT berjumlah 6 orang. Kuisioner tersebut
dikirimkan kepada responden sebelum menjalankan wawancara dengan
pengurus BMT.
2). Wawancara Mendalam (In-dept Interview)
Responden diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan yang
disampaikan dalam riset ini. Metode ini digunakan untuk mendapatkan
informasi lebih lanjut tentang beberapa isu yang dikaji dalam riset ini.
Persoalan yang dikemukakan relatif sama dengan pertanyaan-pertanyaan
yang dituangkan dalam kuisioner, cuma ditambah dengan beberapa
persoalan tambahan lain yang berkaitan dengan persoalan-persoalan dasar
tersebut berdasarkan kondisi dan situasi di lapangan. Persoalan-persoalan
tambahan tersebut diutarakan untuk mendapat penjelasan terperinci
berkenaan jawaban responden terhadap persoalan yang diajukan.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
6
3). Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah cara mengumpulkan data dengan menjalankan
penyelidikan terhadap segala bentuk dokumen yang berkaitan dengan
kajian. Metode ini dibuat dengan pengambilan data dan informasi dari
sumber-sumber sekunder yaitu buku-buku, majalah, jurnal, makalah
seminar, laporan, dan rekod-rekod yang berkaitan dengan judul riset.
c. Metode Analisis Data
Metode analisis akan dilakukan dengan cara kualitatif dengan menggunakan
metode reflective thinking dengan pola deduktif-induktif dan komparatif.9
Model analisis tersebut lebih mementingkan pengolahan dan menganalisis,
serta mengkonstruksi data secara kualitatif. Sedangkan yang dimaksud
dengan metode kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan
data deskriptif-analitis yakni data yang dinyatakan dalam bentuk tulisan dan
pernyataan yang nyata yang dikaji dan dipelajari sebagai sesuatu yang
utuh.10 Metode reflective thinking dengan pola deduktif-induktif akan
digunakan untuk menganalisis ketepatan prosedur dan pelaksanaan produk
pembiayaan oleh BMT dengan prinsip-prinsip Syariah.
Metode reflective thinking dengan pola komparatif akan digunakan untuk
menganalisis persamaan atau perbedaan antara penentuan margin
keuntungan atau bagi hasil dengan bunga di bank konvensional. Sedangkan
metode reflective thinking dengan pola induktif-deduktif akan digunakan
untuk menganalisis sikap dan tindakan pihak BMT terhadap isu default
payment.
C. Analisis terhadap Praktik Pembiayaan, Penentuan Margin
Keuntungan atau Bagi Hasil
dan Sikap Manajemen BMT terhadap Default Payment
Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan bahwa prosedur
pembiayaan di BMT Yogyakarta meliputi proses-proses yang dapat dibagi
menjadi tiga fase yaitu11 fase permulaan pembiayaan, fase masa
pembiayaan, fase setelah pembiayaan. Ringkasnya fase permulaan
pembiayaan meliputi: permohonan pembiayaan oleh nasabah dengan
disertai syarat-syarat yang ditetapkan BMT, selanjutnya dilakukan proses
analisis pembiayaan permulaan oleh komite pembiayaan. Jika rapat komite
pembiayaan menyetujui, maka akan dilanjutkan dengan survey kepada
nasabah yang di lakukan oleh surveyor dari pihak BMT. Data-data yang
diperoleh dari survey ke nasabah kemudian dibawa ke rapat komite
pembiayaan yang anggotanya terdiri dari ketua pemasaran, surveyor,
bagian keuangan dan staf pemasaran.
Apabila suatu permohonan telah diluluskan oleh komite pembiayaan,
maka tahap selanjutnya adalah pencairan pembiayaan dengan tahap-tahap
seperti berikut:
1. Pembuatan kesepakatan dengan nasabah (termasuk di dalamnya
perundingan tentang margin keuntungan,model pembayaran
angsuran, pengikatan jaminan dan sebagainya).
2. Pengikatan akad pembiayaan.
3. Pembacaan akad yang dihadiri oleh saksi dari kedua belah pihak.
Berdasarkan pada penjelasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa
prosedur pembiayaan
ada fase permulaan pembiayaan tidak didapati hal-hal yang bertentangan
dengan ketentuan Syariah. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh pihak BMT
dalam permohonan pembiayaan masih dalam batas yang dibolehkan oleh
Syariah. Tindakan survey ke nasabah yang dilakukan oleh surveyor dari
pihak BMT merupakan langkah berjaga-jaga untuk menghindari kelalaian
nasabah, sekaligus salah satu bentuk dan wujud tanggungjawab terhadap
amanah yang diberikan para penabung dan investor di BMT, supaya pihak
penabung dan pihak BMT tidak dirugikan karena kelalaian nasabah yang
tidak bertanggungjawab. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
9 Noeng Muhadjir (1990), Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake
Sarasin, h.109.
10 Roni Hanitijo Soemitro (1982), Metodologi Penelitian Hukum. Bandung:
Sinar Baru, h. 93.
11 Wawancara dengan Ismiyanto (Direktur BMT Dana Syariah) pada 10 Mei
2007, di rumah beliau, Pakem,
Sleman Yogyakarta.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
7
__ __ __ _ __ ___ __ __ _____ ___ _ __ ____ __ ___ _ ____ ____ _ !_"#_ __$
%& __ _'(")_ __ __
_*+_ _,- _'
Artinya:
“Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan
(memerintahkan kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia,
lakukan secara adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Terjemahan Surah al-Nisa’ (4):
58
Rapat komite pembiayaan dalam prosedur pembiayaan berarti forum
musyawarah untuk
memutuskan baik permohonan pembiayaan diluluskan atau tidak.12
Keputusan yang diambil
dalam forum musyawarah yang melibatkan banyak pihak yang pakar dalam
bidang masing-masing
akan menghasilkan keputusan yang lebih bisa menjadi pegangan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian rapat komite pembiayaan ini juga
merupakan salah
satu bentuk dan wujud tanggungjawab pihak BMT terhadap amanah yang
diberikan para
penabung di BMT supaya pihak penabung dan pihak BMT tidak dirugikan
karena kelalaian
nasabah yang tidak bertanggungjawab. Tindakan yang demikian ini
bertepatan dengan firman
Allah SWT dalam Surah al-Nisa’ (4): 58 tersebut.
Tindakan BMT untuk membuat kesepakatan dengan nasabah (termasuk di
dalamnya
negosiasi tentang margin keuntungan dan bagi hasil, model pembayaran
angsuran, pengikatan
jaminan dan sebagainya) menunjukkan bahwa akad pembiayaan antara
pihak BMT dan nasabah
pembiayaan dilaksanakan berasaskan kesepakatan dan keridaan antara
kedua belah pihak (‘an
taradin minkum). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT Surah Al-Nisa’ (4):
29, yaitu:
_ ./__ ____0& 1_ _ _" 2_(& 34 567 __ & __ 1_ 89:__ _ _,_ _ ___"_ ___')&
1 ___"; 3_<__ ___ _
_,_6 _ _ _' __ __
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang
kepadamu.
Pembacaan akad pembiayaan yang dihadiri saksi dari kedua belah pihak
yang menjadi
bagian prosedur pembiayaan di BMT semakin mengukuhkan asumsi bahwa
akad pembiayaan
yang dibuat antara BMT dan nasabah pembiayaan merupakan hasil
kesepakatan dan keridaan
dari kedua belah pihak. Tindakan ini menunjukkan sikap hati-hati pihak BMT
terhadap uang
simpanan anggota yang merupakan amanah bagi pihak BMT untuk
menginvestasikan secara halal
dan menguntungkan, di samping itu akan memberikan kesadaran bagi pihak
nasabah pembiayaan
untuk menepati akad yang disepakati, terutamanya dalam hal pembayaran
angsuran, karena
disaksikan oleh para saksi yang membolehkan nasabah didakwa di
pengadilan jika ia lalai atau
mungkir janji. Tindakan pihak BMT ini sesuai dengan firman Allah SWT:
12 Al-Quran banyak menyebutkan perintah tentang musyawarah ini,
misalnya Surah ’Ali ‘Imran (3): 159;
Surah al-Syura (42): 38. Untuk mendapatkan pendedahan lebih lebih luas
tentang syuro, musyawarah dan demokrasi,
sila lihat Dawam Rahardjo (2002), Ensiklopedi Al-Quran, Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta:
Paramadina, hh. 440-460.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
8
=____ 8>& __ ?___@__ 3" __A(& 3B _&_("__ 8C(D __C6 __ _ E _FD _ _C6
3" 3__,_G ____@_H__
I(J#_ =____ ('<_D
Artinya:
“Dan hendaklah persaksikanlah (akad mu‘amalah secara hutang itu) dengan
dua orang
saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki,
maka harus satu
orang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika
seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”. Terjemahan Surah al-
Baqarah (2): 282.
Model pelaksanaan akad pembiayaan sebagaimana dilaksanakan oleh BMT
BMT
FORMANIS telah memenuhi syarat dan rukunnya. Terdapat aspek yang perlu
diperhatikan terkait
pelaksanaan akad pembiayaan dengan instrumen murabahah antara pihak
BMT Dana Syariah
dengan pihak nasabah dalam hal pembiayaan untuk barang-barang tertentu
seperti bensin, buahbuahan,
bawang merah, bawang putih dan sebagainya. Dalam hal ini, kontrak
pembiayaan
dengan instrumen murabahah antara pihak BMT dan nasabah dilaksanakan
di kantor BMT Dana
Syariah. Pihak BMT biasanya langsung memberikan uang tunai kepada
nasabah, kemudian untuk
pembelian barang yang dikehendaki, pihak BMT mengamanahkannya
kepada nasabah tersebut
untuk membelinya sendiri. Pihak BMT tidak terlibat dalam pembelian.13
Kontrak pembiayaan murabahah antara BMT Dana Syariah dan nasabah
sebagaimana
pada mekanisme tersebut, berarti barang yang menjadi objek kontrak belum
ada atau belum
menjadi hak milik pihak BMT Dana Syariah. Dalam hal ini, menurut hukum
Muamalat Islam, rukun
akad murabahah mewajibkan wujudnya barang yang dijadikan objek akad.14
Apabila hal ini terjadi,
bisa dikatakan BMT Dana Syariah terlibat dengan transaksi jual beli fuduli15
yaitu transaksi jual beli
di mana pihak penjual (BMT Dana Syariah) belum benar-benar memiliki
barang yang dijual tetapi
sudah dijual lagi kepada pihak pembeli (nasabah). Transaksi jual beli yang di
dalamnya terlibat
unsur fuduli, menurut sebagian ulama, diantaranya Ulama Hanabilah,
Syafi‘iyyah, dan Zahiriyyah
adalah dilarang oleh Syariah.16 Padahal salah satu unsur pembeda antara
praktik pemberian
pinjaman kredit di bank konvensional dengan pembiayaan murabahah di
lembaga keuangan Islam
adalah adanya transaksi jual beli terhadap barang yang menjadi objek akad
dalam pembiayaan
dengan instrumen murabahah.17
Pada fase masa pembiayaan, pihak BMT Dana Syariah maupun BMT
FORMANIS
melakukan kunjungan ke nasabah, memberikan pembinaan dalam memanaj
keuntungan usaha
dengan membaginya untuk membayar angsuran maupun untuk kepentingan
tabungan supaya
pengusaha dapat menikmati keuntungan pada masa depan dengan
meningkatnya aset.18 Hal ini
akan mempererat hubungan antara pihak BMT dan nasabah, karena model
hubungan antara
keduanya bukanlah sekedar hubungan si piutang dan si berhutang dengan
batas yang telah
13 Ibid.
14 Muhammad al-Khatib al-Syarbini (1958), Mughni al-Muhtaj, juz 1.
Kaherah: Syarikah Maktabah wa
Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladih, h. 253; Al-Kasani (t.t), Bada’i‘
al-Sana’i‘ fi Tartib al-Syara’i‘ , juz
5. Beirut: Matba‘ah al-‘Asimah, h. 138; ‘Abd al-Razzaq al-Sanhuri (1981),
Masadir al-Haq fi al-Fiqh al-Islami, juz 3.
Beirut: al-Majma‘ al-‘Arabi al-Islami, h. 16.
15 Lihat Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (t.t.), Al-Majmu‘ Syarh al-
Muhadhdhab, juz 9. Kaherah:
Matba‘ah al-Tadamun al-Akhawi, h. 265.
16 Menurut Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah, ia diharuskan dengan
persyaratan tertentu, iaitu (1) akad itu
mendapat keizinan ketika ketika akad itu berlangsung, (2) keizinan itu mesti
wujud ketika wujudnya penjual, pembeli,
pemilik barangan yang dijual. Jika syarat ini tidak ada, maka akad itu batal,
(3) tidak mungkin meneruskan akad ketika
pihak yang berkepentingan menolak memberi izin. Lihat Wahbah al-Zuhayli
(1989), al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz
4. Beirut: Dar al-Fikr, hh. 3341-3343.
17 Muhammad Syafi‘i Antonio (1999), Bank Syariah Wacana Ulama dan
Cendekiawan. Jakarta: Bank
Indonesia, h. 56.
18 Wawancara dengan Ismiyanto (Direktur BMT Dana Syariah) pada 10 Mei
2007, di rumah beliau, Pakem,
Sleman Yogyakarta.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
9
ditetapkan undang-undang, tetapi berasaskan nilai-nilai ukhuwwah
islamiyyah yang bersifat
alamiah.19 Dengan melakukan pembinaan kepada nasabah pembiayaan,
pihak BMT bisa
mendapatkan keuntungan yang diperuntukkan kepadanya jika nasabah
membayar angsurannya
tepat waktu. Kunjungan ini juga menjadikan pihak BMT dapat mengetahui
sebab sebenarnya
keterlambatan nasabah membayar angsurannya (jika terlambat bayar
angsuran), seperti keadaan
bangkrut dan sebagainya. Dalam hal ini, BMT bisa memberikan toleransi
yang sewajarnya terkait
keterlambatan angsuran. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
_____& ___' __ _ _ *J __K_+& ___ 5(.," _ 5(_D 5(.4 __ _' ___
Artinya:
“Dan jika ia (orang yang berhutang itu) masih dalam kesukaran, maka
berilah tangguh
sampai ia kelapangan/berkemudahan”. Terjemahan Surah al-Baqarah (2):
280
Tindakan mendokumentasikan pembiayaan oleh pihak BMT pada fase masa
pembiayaan,20
adalah sangat penting bagi institusi BMT karena data tersebut dapat
digunakan untuk
melakukan pengawasan dan pembinaan nasabah. Ini sesuai dengan perintah
Allah SWT:
_ _____ ___ ___ _____ _______ ____ ___ __ ___ ___ __ !_ ___" __#_
_$_ __
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bermu‘amalah tidak secara tunai
(secara hutang)
untuk masa yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
(mencatatkannya). Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”.
Terjemahan Surah
al-Baqarah (2): 282
Kegiatan pencatatan dan dokumentasi ini menjadikan aktivitas hutang
piutang menjadi
semakin mudah dipertanggungjawabkan dan mudah mengingatnya.
Semakin lengkap pencatatan
manajemen pembiayaan semakin baik, karena semakin memudahkan untuk
menunaikan amanah
dan mempertanggungjawabkannya.
Prosedur pembiayaan di BMT juga melibatkan fase setelah pembiayaan yang
meliputi
kegiatan menjalin ikatan lebih lama dengan silaturahmi ke kediaman
nasabah dan penawaran
pembiayaan baru.21 Fase ini memanglah sangat penting karena
perhubungan antara BMT dan
nasabah pembiayaan bukanlah sekedar hubungan si piutang dan si
berhutang dengan batas yang
telah ditetapkan undang-undang, tetapi berasaskan nilai-nilai ukhuwwah
islamiyyah yang bersifat
alamiah. Di samping itu, BMT juga sangat berkepentingan untuk
melaksanakan fase setelah
pembiayaan ini karena ia perlu mempunyai banyak nasabah yang
mempunyai loyalitas tinggi,
supaya ia bisa eksis di tengah masyarakat. Para nasabah pembiayaan yang
mempunyai prestasi
baik, pihak BMT dapat menawarkan pembiayaan lagi, karena dari sinilah
sebenarnya pihak BMT
bisa memperoleh pendapatan yang menguntungkan.
Penentuan margin keuntungan dan bagi hasil dalam kontrak pembiayaan di
BMT Dana
Syariah dan BMT FORMANIS sebagaimana diuraikankan pada sub bab
terdahulu, ditentukan
dengan cara negosiasi antara pihak BMT dan nasabah.22 Cara penentuan
margin keuntungan
seperti ini telah memenuhi syarat-syarat akad pembiayaan, sepertimana
yang diterangkan para
19 Lihat penjelasan lebih luas lagi pada artikel Joni Tamkin bin Borhan
(2001), “Falsafah Ekonomi dan
Instrumen Muamalah dalam Amalan Perbankan Islam di Malaysia”, Jurnal
Ushuluddin, Bil 14, hh. 127-130: idem
(2000), “The Tawhidic Paradigm in Islamic Banking”, dalam Jurnal
Ushuluddin, Bil 11, hh. 45-58. Lihat pula Farhad
Nomani dan Ali Rahnema (1994), Islamic Economic Systems. London: Zed
Books Ltd., hh. 31-32.
20 Wawancara dengan Ismiyanto (Direktur BMT Dana Syariah) pada 10 Mei
2007, di rumah beliau, Pakem,
Sleman Yogyakarta.
21 Ibid.
22 Wawancara dengan Ismiyanto (Direktur BMT Dana Syariah) pada 10 Mei
2007, di rumah beliau, Pakem,
Sleman Yogyakarta.; Wawancara dengan Henri Wibowo (Pemasaran BMT
Dana Syariah) pada 14 Mei 2007, di kantor
BMT Dana Syariah.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
10
ulama.23 Cara seperti yang diamalkan BMT ini menyerupai dengan cara
Rasulullah SAW
melakukan perniagaan. Dalam menentukan harga jual, Rasulullah SAW
secara detail menjelaskan
berapa harga belinya, berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk setiap
komoditas dan berapa
keuntungan wajar yang diinginkan.24 Cara seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW ini
merupakan salah satu cara yang sangat tepat dalam menentukan harga jual
terhadap barang
dengan akad murabahah.
Cara penentuan margin keuntungan oleh BMT Yogyakarta tersebut berbeda
dengan cara
penetapan tingkat bunga di bank konvensional sebagai bentuk keuntungan
bank dalam pemberian
kredit. Bank konvensional yang mempraktikkan sistem bunga25
menggunakan konsep biaya (cost
concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya bunga yang dijanjikan di
muka kepada nasabah
penabung merupakan biaya yang harus dibayar oleh bank. Oleh karena itu,
pihak bank harus
mengenakan bunga yang lebih tinggi kepada nasabah yang meminjam
daripada tingkat bunga
yang diberikan pihak bank kepada penabung.26
Metode penghitungan margin keuntungan yang dipraktikkan pihak BMT
Dana Syariah ialah
dengan cara menjumlahkan keseluruhan harga total, kemudian dibagi dalam
berapa kali angsuran,
secara lahiriah menyerupai dengan penghitungan tarif keuntungan
berasaskan tingkat bunga di
bank konvensional yang menggunakan tarif flat. Walaupun pihak manajemen
BMT menyatakan
bahwa pihak BMT tidak mempertimbangkan tingkat bunga yang sedang
berkembang di bank
konvensional dalam penentuan margin keuntungan.27 Akan tetapi hal ini
perlu mendapat perhatian
karena bisa menimbulkan kesan bahwa tidak ada perbedaan ekonomi yang
mendasar antara
pinjaman dengan bunga di institusi keuangan konvensional dengan praktik
pembiayaan dengan
instrumen murabahah di institusi keuangan Islam.28
Kesan negatif itu misalnya terlihat dalam temuan kajian Direktorat Kajian
dan Pengaturan
Perbankan Bank Indonesia (DPNP-BI) bekerjasama dengan tiga universitas di
pulau Jawa
(Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Universitas Brawijaya) pada
tahun 2000 yang
menunjukkan bahwa masih banyak terjadi salah faham dan rendahnya
pemahaman masyarakat
tentang perbankan Syariah. Temuan tersebut di antaranya, terdapat
kecurigaan dan ketidakpuasan
23 Misalnya ‘Abd al-Salam Ibn Sa‘id Ibn Habib al-Tanukhi Sahnun (t.t.), Al-
Mudawwanah al-Kubra, jil. 3.
Beirut: Dar al-Sadir, h. 325; Ibn Qudamah (1972), op.cit., jil. 4, h. 102.
24 Lihat Afzalur Rahman (1979), Muhammad Blessing for Mankind. London:
The Muslim Schools Trust
London, hh. 134-136; Afzalur Rahman (1997), Muhammad: Encyclopedia of
Seerah. Isnan et al. (terj.), Muhammad
Sebagai Seorang Pedagang. Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, hh. 24-28;
Muhammad Husain Haekal (1981), Hayat
Muhammad. Ali Audah (terj.), Sejarah Hidup Nabi Muhammad. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, hh. 71-73;
H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini (2000), Membangun Peradaban Sejarah
Muhammad SAW Sejak Sebelum Diutus
Menjadi Nabi. Bandung: Pustaka Hidayah, hh. 224-226.
25 Teori asas sistem keuangan pada bank konvensional adalah teori nilai
uang. Teori tersebut dapat
diilustrasikan seperti berikut: bahwa nilai uang Rp 1000.000,- pada masa
sekarang akan berbeda dengan nilai uang Rp
1000.000,- pada masa lima tahun mendatang. Uang Rp 1000.000,- tersebut
mempunyai kesempatan untuk
menghasilkan uang. Terdapat dua hal pokok yang mendasari konsep
tersebut: yaitu adanya inflasi (presence of
inflation) dan preferensi konsumsi untuk masa sekarang daripada masa
depan. Lihat Damadaron Aswath (2001),
Corporate Finance: Theory and Practice. New York: John Wiley & Sons, h. 112
26 Lihat Muhammad Uzair (1980), “Some Conceptual and Practical Aspect of
Interest Free Banking, dalam
Khursid Ahmad (ed.), Studies in Islamic Economics. Leicester: The Islamic
Foundation and Jeddah: International
Center for Research in Islamic Economics King Abdul Aziz University, h. 47.
27 Walau sebenarnya penentuan margin keuntungan dalam kontrak
murabahah dengan mempertimbangkan
tingkat bunga yang sedang berkembang di bank konvensional
(benchmarking) adalah tidak menjadikan kontrak
murabahah menjadi batal/tidak sah, sepanjang ketentuan syarat dan rukun
terpenuhi dalam kontrak tersebut. Hanya saja
benchmarking yang seperti itu perlu dihindari sejauh mungkin. Lihat
Muhammad Taqi Usmani (2002), An Introduction
to Islamic Finance. London: Kluwer Law International, h. 48.
28 Seperti dikemukakan oleh Volker Nienhaus (1986), “Islamic Economics,
Finance and Banking Theory and
Practice”, dalam Butterworths Editorial Staff (ed.), Islamic Banking and
Finance. Edinburgh: Butterworth & Co
(Publishers) Ltd, h. 10. Muhammad Taqi Usmani menyatakan bahwa asalnya
murabahah bukanlah sebagai instrumen
pembiayaan, ia hanyalah suatu bentuk penyimpangan dari usaha untuk
menghindari bunga. Ia bukanlah instrumen yang
ideal untuk mencapai tujuan ekonomi Islam yang sesungguhnya. Lihat
Muhammad Taqi Usmani (2002), op.cit., h. 41.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
11
masyarakat yang menganggap bahwa bank Syariah sama saja dengan bank
konvensional (10.2
% dari 1.500 responden). Margin keuntungan atau mark-up harga dalam
akad murabahah yang
dipraktikkan bank Syariah dianggap sama saja dengan bunga bank (16.5 %
dari 1.500
responden).29
Dalam praktik akad murabahah oleh BMT Dana Syariah, terlihat bahwa
bagian keuntungan
yang diperoleh oleh pihak BMT adalah bagian keuntungan yang pasti (fixed
return),30 yang mana
hal ini secara lahiriah dan sepintas lalu menyerupai dengan apa yang
berlaku dalam praktik kredit
oleh bank-bank konvensional. Dalam perkataan lain, pihak BMT menghadapi
risiko kerugian yang
minimal dalam operasinya.31 Akan tetapi sebenarnya terdapat perbedaan
yang mendasar dalam
aspek ini antara praktik akad murabahah oleh BMT dan praktik kredit oleh
bank-bank konvensional
yaitu jika nasabah BMT terlambat atau gagal membayar angsuran, secara
fikih mereka tidak akan
dikenakan denda. Sementara praktik di bank-bank konvensional jika nasabah
terlambat atau gagal
membayar angsuran pinjaman (pinjaman pokok tambah bunga), maka bank
akan mengenakan
denda.
Dalam praktik akad murabahah oleh BMT, terlihat bahwa dalam hal
penghitungan jumlah
margin keuntungan senantiasa mempertimbangkan jangka waktu
pembiayaan. Semakin lama
jangka waktu pembiayaannya, maka semakin besarlah margin keuntungan
yang diminta oleh
pihak BMT. Walaupun jumhur ulama baik dari mazhab Hanafiyyah,
Hanabilah, Syafi‘iyyah, maupun
Malikiyyah32 dan para intelektual muslim kontemporar seperti Yusuf al-
Qaradawi,33 Rafiq Yunus al-
Misri,34 dan Muhammad Uthman Syubair35 memperbolehkan bahwa jual
beli dengan pembayaran
tangguh penjual dapat menaikkan harga disebabkan oleh penangguhan
pembayaran dengan
syarat harga jual telah dinyatakan dalam kontrak pada peringkat awal jual
beli dilakukan. Akan
tetapi, secara lahiriah hal ini menyamai dengan penghitungan tingkat bunga
dalam pinjaman kredit
di bank konvensional yang juga mempertimbangkan jangka waktu kredit.
Semakin lama jangka
masa kreditnya, maka semakin besarlah bunga yang dikenakan pihak bank
konvensional terhadap
peminjamnya.
Namun demikian, sebenarnya terdapat perbedaan yang mendasar dalam
aspek ini antara
praktik akad murabahah oleh BMT Dana Syariah dan praktik kredit oleh
bank-bank konvensional
yaitu jika nasabah di bank-bank konvensional terlambat atau gagal melunasi
hutang pinjaman
pada waktu yang telah ditetapkan, maka bank akan mengenakan denda.
Sementara jika nasabah
BMT terlambat atau gagal membayar hutang, mereka tidak bisa dikenakan
denda, karena pada
hakikatnya ketika kontrak murabahah sudah ditandatangani, maka harga
itulah yang akan berlaku
hingga akhir, tidak dibenarkan adanya penambahan terhadap harga
kesepakatan.36 Akademi Fikih
Islam mengeluarkan fatwa bahwa jika nasabah gagal membayar pada waktu
yang telah disepakati
29 Lihat Bank Indonesia (2000), Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat
terhadap Bank Syariah di Pulau
Jawa. Jakarta: Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan.
30 Abdullah Saeed (1996), Islamic Banking and Interest: A Study of The
Prohibition of Riba and Its
Contemporary Interpretation. Leiden: E.J Brill, hh. 84-87.
31 Achmad Tohirin (2000), “Bank Konvensional dan Bank Islam dalam
Perbandingan” (Kertas kerja Seminar
Peringkat Kebangsaan di Universiti Muhammadiyah Yogyakarta, 13 Mei
2000), h. 5.
32 Lihat Syams al-Din al-Syaikh Muhammad al-Dasuqi (t.t.), Hasyiyah al-
Dasuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir, 4 j.
Beirut: Dar al-Fikr. juz. 3, h. 165; Muhammad ‘Ala’ al-Din Afnadi Ibn ‘Abidin
(1966), Hasyiyah Ibn ‘Abidin, juz. 5.
Beirut: Dar al-Ma‘rifah, h. 142; Muhammad al-Khatib al-Syarbini (1958),
op.cit., juz. 2, h. 79.
33 Lihat Yusuf al-Qaradawi (1987), Bay‘ al-Murabahah li al-Amir bi al-Syira’
kama Tajrihi al-Masarif al-
Islamiyyah. t.t.p.: Maktabah Wahbah, h. 26.
34 Rafiq Yunus al-Misri (1999), al-Riba wa al-Fa’idah, Dirasah Iqtisadiyyah
Muqaranah. Damsyiq: Dar al-
Fikr al-Mu‘asir, h. 20.
35 Muhammad Uthman Syubair (1998), al-Mu‘amalat al-Maliyyah al-
Mu‘asirah fi al-Fiqh al-Islami, Beirut:
Dar al-Nafa’is, h. 266.
36 Lihat Mohd. Daud Bakar (1999), “Isu Syari‘ah dalam Perbankan dan
Kewangan Islam: Pelaksanaan, Potensi
dan Cabaran dalam Pasaran Kewangan Islam dan Konvensional” (Kertas
Kerja dibentangkan di Seminar Sistem
Kewangan Islam, anjuran Kolej Islam Darul Ehsan, Shah Alam, 7 Ogos 1999),
h. 5. Lihat juga Tim Ingram (1986),
“Islamic Banking: A Foreign Bank’s View”, dalam Butterworths Editorial Staff
(ed.), Islamic Banking and Finance.
Edinburgh: Butterworth & Co (Publishers) Ltd, h. 56.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
12
maka pihak bank Syariah tidak boleh mengenakan denda atau pembayaran
lain atas kelewatan
tersebut, karena hal ini sama saja dengan menerapkan konsep bunga
terhadap angsuran
tersebut.37
Jika diperhatikan lebih seksama lagi, sesungguhnya terdapat banyak
perbedaan antara
pinjaman kredit yang berasaskan bunga di institusi keuangan konvensional
dengan praktik
pembiayaan BMT Dana Syariah Yogyakarta dengan instrumen murabahah,
selain yang telah
disebutkan di atas, misalnya dari segi objeknya, di antaranya sebagai
berikut:
a. Objek dalam akad murabahah berupa barang yang diperjualbelikan
sehingga hutang
nasabah pembiayaan kepada BMT adalah hutang karena akad jual beli
barang, sementara
pinjaman kredit berasaskan bunga di institusi keuangan konvensional adalah
perjanjian
pinjam meminjam uang sehingga hutang itu timbul karena pinjaman uang.
b. Transaksi pembiayaan dengan akad murabahah berdasarkan transaksi
barang yang
diperjualbelikan yang harus jelas objek barangnya, sehingga transaksi itu
merupakan
transaksi sektor riil, sementara pinjaman kredit berasaskan bunga di institusi
keuangan
konvensional tidak berdasarkan transaksi barang riil yang diperjualbelikan,
sehingga tidak
termasuk transaksi sektor riil.
Sedangkan dalam kaitannya dengan kejadian kegagalan pembayaran oleh
nasabah baik itu
karena mungkir bayar atau penanggahan pembayaran yang memang
terkadang terjadi di BMT,
sebagaimana telah diungkapkan dalam sub bab di atas menunjukkan bahwa
sikap dan tindakan
pihak manajemen BMT Dana Syariah maupun BMT FORMANIS adalah relatif
sama, yaitu dengan
pendekatan persuasif dan kekeluargaan.38 Sikap dan tindakan ini tentu
sangat baik, humanis,
manusiawi, dan islami, sesuai firman Allah dalam QS al-Syura (42): 38.
Adanya toleransi waktu kelewatan selama 3 (tiga) hari pada setiap angsuran
sebagaimana
tersebut dalam surat akad pembiayaan di BMT menunjukkan sikap ihsan
pihak manajemen BMT
Dana Syariah terhadap nasabah dan pemahaman yang meluas terhadap
makna firman Allah SWT
dalam QS al-Baqarah (2): 280.
Akan tetapi jika terjadinya keingkaran dan penangguhan pembayaran
angsuran ini
disebabkan karena sikap lalai para nasabah untuk membayar angsuran tepat
pada waktunya,
tentu ini merupakan suatu bentuk kezaliman yang dilakukan oleh pihak
nasabah terhadap pihak
BMT. Sikap semacam ini harus dihukum supaya yang membuatnya tidak
mengulangi tindakannya.
Rasul SAW bersabda, artinya:
“Penangguhan (melalaikan) pembayaran hutang (padahal ia mampu)
merupakan
suatu bentuk kezaliman yang bisa dikenakan hukuman dan dicemarkan
nama
baiknya (semacam diblacklist)”.39
Tindakan pihak manajemen BMT yang mencoba menyelesaikan kasus
kegagalan
pembayaran dengan sistem kekeluargaan (di mana pihak BMT akan mencari
solusi dengan
mencari informasi dan kemungkinan-kemungkinan untuk menyelesaikan
kewajiban nasabah dari
sumber pendapatan nasabah itu sendiri) menunjukkan bahwa hubungan
antara keduanya
bukanlah sekedar hubungan si piutang dan si berhutang dengan batas yang
telah ditetapkan
undang-undang, tetapi berasaskan nilai-nilai ukhuwwah islamiyyah yang
bersifat alamiah.40 Hal ini
sesuai dengan firman Allah SWT:
37 Sebagaimana dikutip oleh Muhammad Taqi Usmani, op.cit., h. 58 dari
Resolution No. 53 Vth Annual
Session, Jeddah, Journal No. 6, V. I, h. 447.
38 Wawancara dengan Ismiyanto (Direktur BMT Dana Syariah) pada 10 Mei
2007, di rumah beliau, Pakem,
Sleman Yogyakarta.
39 Bukhari (t.t.), Sahih al-Bukhari. Hadis No. 2400 dengan penjelasan Ahmad
Ibn ‘Ali Ibn Hajar al-‘Asqalani
(1401H), Fath al-Bari, juz.5. Rawdah: Matba‘ah al-Salafiyyah wa
Maktabatuha, h. 62.
40 Lihat penjelasan lebih luas lagi pada artikel Joni Tamkin bin Borhan
(2001), op.cit., hh. 127-130; Idem
(2000), op.cit., hh. 45-58. Lihat pula Farhad Nomani dan Ali Rahnema (1994),
Islamic Economic Systems. London: Zed
Books Ltd., hh. 31-32.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
13
%_&'_ _(__ ) _*_ _ ___+_ , _-(./_ 0_+_ %___12 _3_
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu
damaikanlah antara kedua
saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.”
Terjemahan Surah al-Hujurat (49): 10
BMT Dana Syariah dan BMT FORMANIS memang mewajibkan pembayaran
angsuran
dilakukan secara tepat waktu. Kebijakan yang ditetapkan dua BMT ini pun
tidak bertentangan
dengan Syariah karena Allah berfirman:
4_*___ ____ ___" __#_ _$__ __
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akadmu” QS al-Maidah
(5): 1
Seseorang yang berjanji, harus memenuhi janjinya, sesuai firman Allah
dalam QS al-Isra’ (17):
34.
Akad pembiayaan merupakan suatu bentuk perjanjian antara pihak BMT dan
nasabah
pembiayaan. Masing-masing pihak harus menunaikan janjinya masing-
masing. Ayat-ayat al-Quran
tersebut di atas menjelaskan bahwa Allah SWT telah memerintahkan untuk
memenuhi akad yang
dibuat dan memenuhi janji yang telah disepakati, karena hal itu akan
dimintai pertanggungjawaban
di akhirat kelak. Dengan demikian pengkhianatan terhadap sesuatu kontrak
adalah satu kesalahan
yang bisa didakwa. Penunaian suatu perjanjian merupakan kewajiban
penting di sisi Islam.
Akan tetapi tindakan pihak manajemen BMT Dana Syariah yang mengenakan
biaya operasi
tagihan sejumlah Rp.10.000,- setiap tagihan dan denda 3% dari jumlah
margin keuntungan atau
bagi hasil yang disepakati dalam akad jika terjadi kelewatan pembayaran
angsuran, serta uang
dari denda dan biaya operasi tagihan tersebut masuk menjadi pendapatan
BMT Dana Syariah41
merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari sisi Syariah, karena
meningkatkan harga
jual atau angsuran walaupun untuk mengganti biaya operasional yang
meningkat adalah tindakan
yang tidak dibenarkan di sisi Syariah.42 Di samping itu, mayoritas ulama dan
pakar ekonomi Islam
yang membolehkan pengenaan denda terhadap kegagalan pembayaran
tidak membolehkan uang
hasil denda tersebut masuk menjadi pendapatan institusi keuangan yang
bersangkutan, tetapi
harus dimanfaatkan untuk kepentingan sosial yaitu untuk maslahah ‘ammah
(public interest). 43
Bahkan Akademi Fikih Islam, mengeluarkan fatwa bahwa pengenaan denda
atau bayaran lain atas
kelewatan pembayaran angsuran sama saja dengan menerapkan konsep
riba terhadap angsuran
tersebut.44 Konsep riba merupakan salah satu bentuk riba yang dilarang
oleh Syariah.45 Allah
berfirman:
41 Wawancara dengan Ismiyanto (Direktur BMT Dana Syariah) pada 10 Mei
2007, di rumah beliau, Pakem,
Sleman Yogyakarta.
42 Lihat Mohd. Daud Bakar (1999), op.cit., h. 5.
43 Mohammad Ali Elgari, Mohammad Nejatullah Siddiqi dan Mohammad
Anas Zarqa (1993), “Qanun al-
Masarif, Sighah Muqtarahah li-Tanzim Qita‘ fi al-Masraf al-Islami”, Review of
Islamic Economics, Vol. 2, No. 2, hh.
67-79 (Arabic section); Muhammad Taqi Usmani (2002), op.cit., hh. 58-59;
Siddiq Muhammad al-Amin Al-Darir
(1985), “al-Ittifaq ‘ala Ilzam al-Madin al-Mu‘sir bi Ta‘wid Darar al-
Mumathalah”, Journal of Research in Islamic
Economics, Vol.3, No.1, hh. 111-112 (Arabic section).
44 Sebagaimana dikutip oleh Muhammad Taqi Usmani, op.cit., h. 58 dari
Resolution No. 53 Vth Annual
Session, Jeddah, Journal No. 6, V. I, h. 447.
45 Untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas tentang rasional
pengharaman riba oleh Syari‘ah, sila lihat
M. Umer Chapra (2000), “Why has Islam Prohibited Interest? Rationale
Behind the Prohibition of Interest”, Review of
Islamic Economics, No. 9, hh. 5-20.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
14
_ '_ 5'6_ 7___ ) _6__
Artinya:“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. QS al-
Baqarah (2): 275.
Bahkan dalam ayat lain, Allah mengharamkan secara jelas dan tegas apapun
jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman. Allah berfirman:
,__1_ ___ %_ _ '_ __ 8* __ _9!_ ) _*_ ___" __#_ _$__ __
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”. Terjemahan
Surah al-Baqarah (2):
278
Tindakan pihak BMT Dana Syariah dalam penyelesaian kegagalan
pembayaran untuk peringkat 1,
2, 3, 4 dan 5 merupakan suatu tindakan yang dibenarkan, karena
menunjukkan sikap ihsan pihak
pentadbir BMT Dana Syariah terhadap nasabah dan pemahaman yang
meluas terhadap makna
firman Allah SWT dalam QS al-Baqarah (2): 280.
Apalagi jika pihak nasabah pembiayaan itu adalah benar-benar seorang yang
gharim, maka
tindakan BMT Dana Syariah yang melunaskan hutang pihak nasabah dengan
dana cadangan
risiko pembiayaan (akumulasi penyusutan) yang disediakan pihak
pengurusan BMT dan dana
Baitulmal BMT Dana Syariah46 merupakan suatu tindakan yang dibenarkan
dari sisi Syariah
berdasarkan firman Allah dalam Surah al-Baqarah (2): 280 dan Surah al-
Taubah (9).
Jika terjadi kegagalan pembayaran sampai 2 kali angsuran oleh nasabah
yang merugikan
hak pihak BMT dan nasabah penabung serta mengakibatkan kerugian yang
bisa memudaratkan
pihak BMT sebagai institusi keuangan mikro. Perbuatan yang memudaratkan
pihak lain
merupakan tindakan yang dilarang oleh Syariah, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW yang
artinya: “Tidak memudaratkan dan tidak dimudaratkan”47
D. Penutup
Berdasarkan pada analisis yang telah dilaksanakan, telah nampaklah tiga
kesimpulan
sebagai jawaban terhadap rumusan masalah yaitu (1) Sebagian besar
prosedur (yang meliputi tiga
fase yaitu fase permulaan pembiayaan, fase masa pembiayaan, dan fase
setelah pembiayaan),
dan pelaksanaan akad pembiayaan oleh BMT di Yogyakarta telah sesuai
dengan prinsip-prinsip
Syariah. Walau terdapat transaksi di BMT Dana Syariah yang terlibat dengan
jual beli fuduli. (2)
Penentuan margin keuntungan dan bagi hasil dalam kontrak pembiayaan di
BMT Dana Syariah
dan BMT FORMANIS ditentukan dengan cara negosiasi antara pihak BMT dan
nasabah sehingga
kedua-dua pihak bersepakat untuk mengadakan kontrak pembiayaan. Cara
penentuan margin
keuntungan dan bagi hasil seperti ini telah memenuhi syarat-syarat akad
pembiayaan. (3) Sikap
dan tindakan pihak manajemen BMT apabila terjadi kelewatan atau
keingkaran pembayaran oleh
nasabah dari waktu jatuh tempo yang telah ditetapkan adalah sesuai dengan
ketentuan Syariah,
kecuali ada tindakan pihak manajemen BMT Dana Syariah yang perlu
diluruskan.
46 Wawancara dengan Ismiyanto (Direktur BMT Dana Syariah) pada 10 Mei
2007, di rumah beliau, Pakem,
Sleman Yogyakarta.
47 Hadis Nabi Muhammad SAW dari riwayat Abu Hurairah, Ibn ‘Abbas, Abi
Sa‘id al-Khudri, Jabir dan
‘Aisyah. Lihat Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah (1395 H), Sunan Ibn Majah, 2 j.
Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi.
juz 2, h. 784; al-Baihaqi (t.t), al-Sunan al-Kubra. Beirut: Dar al-Fikr, juz 10, h.
133.
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
15
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Razzaq al-Sanhuri (1981), Masadir al-Haq fi al-Fiqh al-Islami, juz 3.
Beirut: al-Majma‘ al-
‘Arabi al-Islami.
‘Abd al-Salam Ibn Sa‘id Ibn Habib al-Tanukhi Sahnun (t.t.), Al-Mudawwanah
al-Kubra, jil. 3. Beirut:
Dar al-Sadir
Abdul Mughits (2003), “Sosialisasi Bank Syariah di Kantong-kantong NU”,
dalam Irwan Kelana et
al. (eds.), Perbankan Syariah Masa Depan. Jakarta: Senayan Abadi
Publishing.
Abdullah Saeed (1996), Islamic Banking and Interest: A Study of The
Prohibition of Riba and Its
Contemporary Interpretation. Leiden: E.J Brill.
Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (t.t.), Al-Majmu‘ Syarh al-
Muhadhdhab, juz 9. Kaherah:
Matba‘ah al-Tadamun al-Akhawi
Achmad Tohirin (2000), “Bank Konvensional dan Bank Islam dalam
Perbandingan” (Kertas kerja
Seminar Peringkat Kebangsaan di Universiti Muhammadiyah Yogyakarta, 13
Mei 2000).
Afzalur Rahman (1979), Muhammad Blessing for Mankind. London: The
Muslim Schools Trust
London
______________ (1997), Muhammad: Encyclopedia of Seerah. Isnan et al.
(terj.), Muhammad
Sebagai Seorang Pedagang. Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy,
Al-Kasani (t.t), Bada’i‘ al-Sana’i‘ fi Tartib al-Syara’i‘ , juz 5. Beirut: Matba‘ah
al-‘Asimah
Al-Sadiq Muhammad al-Amin al-Darir (1985) “al-Ittifaq ‘ala Ilzam al-Madin al-
Mu‘sir bi Ta‘wid Darar
al-Mumatilah”, Journal of Research in Islamic Economics, Vol. 3, No.1, hh.
111-112
(Arabic section).
Amir Muallim (2003), “Persepsi Masyarakat terhadap Lembaga Keuangan
Syariah” dalam Jurnal
al-Mawarid, Edisi X Tahun 2003
Baihaqi, al (t.t), al-Sunan al-Kubra. Beirut: Dar al-Fikr.
Bank Indonesia (2000), Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap
Bank Syariah di
Pulau Jawa. Jakarta: Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan.
Bukhari (t.t.), Sahih al-Bukhari. Hadis No. 2400 dengan penjelasan Ahmad
Ibn ‘Ali Ibn Hajar al-
‘Asqalani (1401H), Fath al-Bari, juz.5. Rawdah: Matba‘ah al-Salafiyyah wa
Maktabatuha.
Damadaron Aswath (2001), Corporate Finance: Theory and Practice. New
York: John Wiley &
Sons
Dawam Rahardjo (2002), Ensiklopedi Al-Quran, Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci.
Jakarta: Paramadina
Farhad Nomani dan Ali Rahnema (1994), Islamic Economic Systems. London:
Zed Books Ltd.
Ibn Qudamah (1972), Al-Mughni Wa al-Syarh al-Kabir, jil. 4. Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Arabi
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
16
Lashin Muhammad al-Ghayati, ia adalah diharuskan. Lihat Muhammad al-
Ghayati, “’Arbun
(Earnest Money) Sale”, Journal of Shari‘a and Islamic Studies, Vol. 10, No. 26,
Ogos
1995, Kuwait: Kuwait University
M. Dawam Rahardjo, (2004) “Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi”,
kata pengantar
Buku Bank Islam. Jakarta: Rajawali Press
M. Umer Chapra (2000), “Why has Islam Prohibited Interest? Rationale
Behind the Prohibition of
Interest”, Review of Islamic Economics, No. 9, hh. 5-20.
M.Umer Chapra and Tariqullah Khan (2000), Regulation and Supervision of
Islamic Banks.
Jeddah: Islamic Research and Training Institute and Islamic Development
Bank, h. 89.
Manajemen BMT Dana Syari‘ah (t.t.), Leafet
Manajemen BMT Dana Syariah (t.t.), Company Profil BMT Dana Syariah.
Yogyakarta: Manajemen
BMT Dana Syariah
Mohammad Ali Elgari, Mohammad Nejatullah Siddiqi and Mohammad Anas
Zarqa (1993), “Qanun
al-Masarif-- Sighah Muqtarahah li-Tanzim Qita‘ fi al-Masraf al-Islami”, Review
of Islamic
Economics, Vol. 2, No. 2, 1993, hh. 67-97 (Arabic section).
Mohd. Daud Bakar (1999), “Isu Syari‘ah dalam Perbankan dan Kewangan
Islam: Pelaksanaan,
Potensi dan Cabaran dalam Pasaran Kewangan Islam dan Konvensional”
(Kertas Kerja
dibentangkan di Seminar Sistem Kewangan Islam, anjuran Kolej Islam Darul
Ehsan,
Shah Alam, 7 Ogos 1999).
Muhammad ‘Ala’ al-Din Afnadi Ibn ‘Abidin (1966), Hasyiyah Ibn ‘Abidin, juz.
5. Beirut: Dar al-
Ma‘rifah
Muhammad al-Khatib al-Syarbini (1958), Mughni al-Muhtaj, juz 1. Kaherah:
Syarikah Maktabah wa
Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladih
Muhammad Husain Haekal (1981), Hayat Muhammad. Ali Audah (terj.),
Sejarah Hidup Nabi
Muhammad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Muhammad Taqi Usmani (2002), An Introduction to Islamic Finance. London:
Kluwer Law
International
Muhammad Uthman Syubair (1998), al-Mu‘amalat al-Maliyyah al-Mu‘asirah fi
al-Fiqh al-Islami,
Beirut: Dar al-Nafa’is.
Muhammad Uzair (1980), “Some Conceptual and Practical Aspect of Interest
Free Banking, dalam
Khursid Ahmad (ed.), Studies in Islamic Economics. Leicester: The Islamic
Foundation
and Jeddah: International Center for Research in Islamic Economics King
Abdul Aziz
University.
Noeng Muhadjir (1990), Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake
Sarasin
PINBUK (t.t.), Pedoman Cara Pembentukan BMT. Jakarta: Pusat Inkubasi
Bisnis Usaha Kecil
(PINBUK)
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
17
Rafiq Yunus al-Misri (1999), al-Riba wa al-Fa’idah, Dirasah Iqtisadiyyah
Muqaranah. Damsyiq: Dar
al-Fikr al-Mu‘asir.
Robert Rice (2004), “The Contribution of Household and Small Manufacturing
Establishment to
The Rural Economy”, dalam Thomas R. Leinbach (ed.) (2004), The
Indonesian Rural
Economy, Mobility, Work and Enterprise. Pasir Panjang Singapore: Institute of
Southeast
Asia Studies.
Roni Hanitijo Soemitro (1982), Metodologi Penelitian Hukum. Bandung: Sinar
Baru
Saad al-Harran et al. (1994), Islamic Marketing Strategy Eradicating Rural
Poverty in Malaysia.
Selangor: Pelanduk Publication.
Soertiana Nitisoemantri (2000), “Muhammadiyah dan Perkembangan
Mu‘amalah Kontemporer”,
dalam Muhammad Azhar et al. (eds.), Pengembangan Pemikiran Keislaman
Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi. Yogyakarta: LPPI UMY dan Majlis
Tarjih
Muhammadiyah.
Syams al-Din al-Syaikh Muhammad al-Dasuqi (t.t.), Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala
al-Syarh al-Kabir, 4 j.
Beirut: Dar al-Fikr.
Tim Peneliti Magister Studi Islam Universiti Islam Indonesia (MSI UII) (2004),
Profesionalisme
Praktisi BMT di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Yogyakarta: MSI UII.
Volker Nienhaus (1986), “Islamic Economics, Finance and Banking Theory
and Practice”, dalam
Butterworths Editorial Staff (ed.), Islamic Banking and Finance. Edinburgh:
Butterworth &
Co (Publishers) Ltd
Wahbah al-Zuhayli (1989), al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 4. Beirut: Dar al-
Fikr
Wawancara dengan Bapak Jufri (mantan Ketua takmir Masjid An-Nur Dusun
Sono Wedomartani)
dan Bapak Wagiran (Ketua takmir Masjid An-Nur Dusun Sono Wedomartani
saat ini),
pada 13 Mei 2007.
Wawancara dengan Henri Wibowo (Pemasaran BMT Dana Syariah) pada 14
Mei 2007, di kantor
BMT Dana Syariah.
Wawancara dengan Ismiyanto (Direktur BMT Dana Syariah) pada 10 Mei
2007, di rumah beliau,
Pakem, Sleman Yogyakarta.
Wawancara dengan teller BMT FORMANIS, pada 12 Mei 2007.
Yusuf al-Qaradawi (1987), Bay‘ al-Murabahah li al-Amir bi al-Syira’ kama
Tajrihi al-Masarif al-
Islamiyyah. t.t.p.: Maktabah Wahbah.
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/