5 Penghalang Mental Untuk Beresin Skripsi
-
Upload
diinredalz -
Category
Documents
-
view
6 -
download
1
description
Transcript of 5 Penghalang Mental Untuk Beresin Skripsi
5 penghalang mental untuk beresin skripsi (plus solusinya)As simply put… your tought… determine your life
Skiripsi/tugas akhir merupakan “masterpiece” dari seorang calon sarjana. Skripsi
semestinya dianggap sebagai capaian puncak dalam perjalanan kuliah. Skripsi menjadi
sebuah kebanggaan ketika bisa diselesaikan tepat waktu dan memiliki kualitas yang
baik. Namun, ngerjain dan beresin skripsi bukan hal mudah. Kemandirian yang dituntut
dari sang mahasiswa untuk beresin skripsi malah kadang jadi boomerang.
Sang mahasiswa yang tidak sanggup beresin skripsi biasanya bukan berarti sang
mahasiswa itu tidak mampu secara intelektual, bukan berarti juga kurang sumber daya,
kurang data, kurang alat, kurang dana dsb. Mahasiswa terhambat dalam menyelesaikan
skripsi memiliki dengan apa yang disebut “mental barrier”/penghalang mental. Mental
barrier ini ini yang tanpa sadar menjadi bagian pola pikir/mindset mereka ketika
berusaha mengerjakan skripsi.
Uang bisa dicari, data bisa diperoleh, alat bisa dipinjam/dibeli. Tapi… semangat dan
motivasi harus berasal dari diri sendiri. Berikut 5 penghalang mental yang saya maksud.
Penghalang ini saya tulis berdasarkan pengalaman pribadi dan pengalaman orang lain.
Sulit memulai
Mahasiswa biasanya sulit untuk memulai mengerjakan skripsi. Sulit untuk mulai
meneliti, mulai ambil data dan mulai menulis. Selalu saja otak nya memutar untuk cari
alasan, biasanya daripada ngerjain mahasiswa terjebak dalam aktivitas yang “mindless”
seperti browsing, social media atau main game.
Lebih mudah untuk browse Facebook, Twitter, Instagram, Path dan reman-temannya
yang lain ketimbang ngerjain skripsi. Aktivitas mindless tersebut menawarkan hal-hal
yang baru. Status baru, foto baru, video baru dsb. Hal hal baru tersebut tentu lebih
menarik daripada ngerjain skripsi yang aktivitasnya hanya itu-itu saja. Kalau ga ngetik,
ya ambil data, bikin program atau setting alat. Ga heran kalau pola pikir mahasiswa
cenderung untuk memilih aktivitas mindless tersebut ketimbang mulai ngerjain skripsi.
Untuk mengatasinya, mahasiswa harus mau memulai (ya iya lah…). Mulai lah dengan
pasang target selama 25 menit untuk ngerjain skripsi. Kalau udah beres 25 menit,
tambah lagi 25 menit. Ini yang disebut dengan teknik Pomodoro. Non aktifkan HP, tutup
browsing yang ga perlu atau bahkan offline dari internet (kalau ga perlu-perlu amat ya
matiin aja) dan fokus selama 25 menit. Teknik ini berguna untuk menjaga fokus dan
konsentrasi dalam mengerjakan skripsi.
“Memulai” itu sangat penting, ada yang disebut dengan efek Zeirganik dimana kita
cenderung akan menyelesaikan sesuatu yang kita mulai. Ibarat mendorong mobil,
dorongan pertama pasti sangat sulit karena mobil awalnya dalam keadaan diam, ketika
mulai bergerak akan lebih mudah untuk didorong. Demikian halnya dengan ngerjain
skripsi. 5-10 menit pertama pasti sulit, pikiran masih mengawang-awang dan tergoda
untuk melakukan aktivitas “mindless”, tapi setelahnya akan lebih mudah. Otak mulai
terbiasa bekerja dan rasanya nanggung kalau belum selesai.
Kabur dari pembimbing
Mahasiswa biasanya punya jadwal bimbingan. Di jadwal-jadwal tersebut, mahasiswa
harus “setor” progress berupa data baru, analisa baru atau menulis bab tertentu. Nah,
masalah biasanya muncul ketika sang mahasiswa tidak punya sesuatu untuk
dilaporkan.
Alhasil, sang mahasiswa malu ketemu pembimbing. Di selasar kampus selalu was-was
kalau ketemu pembimbing. Makan di kantin juga takut ketemu dan ditagih progress
report. Saya menyebutnya sebagai “buronan pembimbing”. Gimana engga, sang
mahasiswa serasa jadi kriminal. Dicari-cari pembimbing seperti dicari-cari penegak
hukum.
Well, sikap seperti ini lama-lama akan terakumulasi. Lama-lama akan makin enggan
ketemu pembimbing. Dan akhirnya menjadi penghalang mental untuk beresin skripsi.
So, untuk mencegah sikap seperti ini ke level selanjutnya (skripsi ga beres-beres), lebih
baik “menyerahkan diri” saja. Saya yakin pembimbing tidak akan seperti penegak
hukum yang akan melakukan intrograsi berlebihan.
Setelah ketemu pembimbing, mulailah curhat ada hambatan di mana, apa yang sulit
dan apa yang perlu dibantu. Namanya juga pembimbing, tugas beliau-beliau tersebut
adalah untuk membimbing mahasiswa. Bukan untuk mengintrograsi dan menghakimi.
Lalu, ini yang penting: diskusikan capaian selanjutnya karena target-targetnya tentu
harus dirubah toh?
Misalkan: kalau sang mahasiswa sudah jadi buronan selama 2 bulan, tentu ada waktu
yang terbuang selama 2 bulan. Capaian-capaian selanjutnya harus disesuaikan. Kalau
sebelumnya bab 2 ditargetkan 1 bulan selesai, tentu harus menjadi 2 minggu harus
selesai untuk mengkompensasi waktu yang terbuang.
“Stuck” di satu masalah
Dalam ngerjain skripsi ada kalanya sang mahasiswa menemui masalah yang sulit untuk
diselesaikan. Entah itu data yang aneh, alat yang ga berfungsi, program yang ga jalan,
atau referensi yang sulit dicari. Masalah ini menjadi sebuah bottleneck, sang mahasiswa
jadi stuck di satu masalah ini dan menjadikan dia enggan untuk mengerjakan skripsi.
Terlebih masalah tersebut merupakan hal yang esensial dalam skripsi, tentu sang
mahasiswa tidak bisa begitu saja mengabaikan masalah tersebut.
Biasanya, sang mahasiswa mengabaikan proses skripsi secara keseluruhan. Padahal,
tentu ada sub pekerjaan lain yang bisa diselesaikan, misalnya mulai mencicil menulis
atau hanya sekedar membaca teori dasar. Masalah yang menjadikan “stuck” tersebut
seakan-akan menjadi sebuah batu penghalang yang sangat besar.
Well, masalah bottleneck seperti itu rasanya akan selalu ada dalam pengerjaan skripsi.
Biasanya malah menjadi pekerjaan yang paling pokok/utama/esensial dalam skripsi.
Menurut saya, memang seharusnya seperti itu. Masalah seperti ini melatih mahasiswa
untuk mencari solusi kreatif, mencari ide sendiri yang terkadang memang tidak ada di
buku/referensi.
Solusinya… ya masalah tersebut harus diselesaikan dan bukan untuk dihindari. Semakin
sang mahasiswa menghindar, semakin banyak waktu yang terbuang. Ada kalanya sang
mahasiswa harus “away” dari masalah tersebut sejenak untuk mendapat solusi kreatif.
Namun, istirahat sejenak bukan berarti menghindar. Masalah tersebut biasanya bisa
diselesaikan dengan: minta bantuan dari pembimbing, dari teman, ikut seminar yang
terkait, jalan-jalan ke perpustakaan, memperbaiki alat kepada yang lebih ahli. Intinya,
jangan di-keep sendiri, ada orang lain di luar sana yang bisa membantu,
“Masih ada besok”
Kebiasaan menunda merupakan hal klasik yang menghambat pengerjaan skripsi.
Kebiasaan ini berakar dari sikap mental/pola pikir “masih ada besok”.
Lalu tibalah esok hari dan lagi-lagi pikiran sang mahasiswa berkata “masih ada besok”
dan terus dan terus dan terus. “Besok” lama-lama menjadi seminggu… lalu sebulan…
lalu satu semester dan sang mahasiswa ga nambah progress signifikan pada skripsinya.
Well, besok ya besok… dan hari ini, saat ini adalah hal yang kita punya, sumber daya
waktu yang kita punya. Semestinya sang mahasiswa berpikir “kalau bisa hari ini kenapa
harus tunggu besok ?”. Penting juga untuk membuat deadline setiap item yang harus
diselesaikan. Katanya sih, menetapkan deadline terlebih kalau ada partner akuntabilitas
(pembimbing atau teman) cenderung menjadikan pekerjaan terselesaikan
Berdalih: cari inspirasi
There you go… penghalang mental terakhir. Sang mahasiswa berdalih dalam pola
pikirnya untuk mencari inspirasi. Entah itu maen ke mall, browsing, maen game, hang
out dsb. Namun, mencari inspirasi sehingga akhirnya kebablasan, menjadikan waktu
dan energi terbuang. Mencari inspirasi tidak salah, yang salah adalah menjadikannya
pelarian ketika enggan menyelesaikan skripsi.
Well, saya pernah menulis tentang komitmen, sebetulnya yang kita perlukan bukanlah
inspirasi/motivasi/semangat. Yang kita perlu adalah komitmen, disiplin “to get things
done”. So, alokasikan waktu untuk mengerjakan skripsi setiap harinya. Kalau puncak
konsetrasi dan mood sang mahasiswa ada di pagi hari, alokasikan waktu ngerjain skripsi
di pagi hari. 1-2 jam per hari kalau terkumpul dengan konsisten, tentu ada banyak item
pekerjaan yang terselesaikan.
In summary:
Mahasiswa seringkali bermain dengan permainan yang bernama “the blame game”.
Mereka menyalahkan faktor luar seperti data yang kurang, alat yang ga ada, referensi
yang kurang, pembimbing sibuk, pembimbing kebanyakan nanya, kurang biaya, kurang
waktu dan banyak alasan lainnya. Padahal sang mahasiswa memiliki mental barrier
yang menjadikan pola pikirnya yang keliru. So, kalau sang mahasiswa bisa mengatasi
sikap berpikirnya, tentu faktor luar tersebut bisa dicari solusinya. :D
– be blessed