5 Pemetaan Sebaran Dan Kondisi Terumbu Karang Dengan Memanfaatkan Citra Satelit

15
Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015 Pemetaan Sebaran dan Kondisi Terumbu Karang dengan Memanfaatkan Citra Satelit Quickbird, Landsat-TM, EO-1 Hyperion dan ALOS-AVNIR Oleh: *Mario Putra Suhana *Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Email : [email protected] ABSTRAK Terumbu karang merupakan sekumpulan hewan karang atau polyp yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan algae yang disebut zooxanthellae. Terumbu karang terdiri dari dua kata yaitu terumbu dan karang. Ekosistem terumbu karang merupakan sumberdaya wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama yang disebabkan oleh perilaku manusia/masyarakat disekitarnya. Penginderaan jauh merupakan suatu metode untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, areal ataupun fenomena geografis melalui analisis data yang diperoleh dari sensor. Citra merupakan masukan data atau hasil observasi dalam proses penginderaan jauh. Citra dapat diartikan sebagai gambaran yang tampak dari suatu objek yang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau/sensor, baik optik, elektrooptik, optik mekanik maupun elektro magnetik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan berbagai macam citra satelit yang ada untuk memetakan kondisi terumbu karang di suatu perairan, mengetahui metode pengolahan citra satelit yang digunakan untuk pemetaan terumbu karang dan melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing citra satelit dalam memetakan sebaran terumbu karang di suatu perairan. I. PENDAHULUAN Terumbu karang merupakan sekumpulan hewan karang atau polyp yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan algae yang disebut zooxanthellae. Terumbu karang terdiri dari dua kata yaitu terumbu dan karang. Terumbu adalah endapan masif batu kapur kalsium karbonat (CaCO3), sedangkan karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum coelenterata (hewan berongga) atau cnidaria yang mampu mensekresi CaCO3. Penyebaran dan pertumbuhan terumbu karang dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu salinitas, cahaya, suhu, pH, kecerahan, arus dan substrat (Nontji, 1983 dalam Damayanti, 2012). Ekosistem terumbu karang merupakan sumberdaya wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama yang disebabkan oleh perilaku manusia/masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu pemanfaatannya harus dilakukan secara ekstra hati-hati. Apabila terumbu karang mengalami kematian atau kerusakan maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk pulih kembali (Rauf, et al., 2004). Menurut Nybakken (1988), beberapa jenis terumbu karang membutuhkan waktu ± 1 tahun untuk mencapai panjang 1 cm. Penginderaan jarak jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah atau gejala yang dikaji (Sutanto, 1986). Penginderaan jauh merupakan suatu metode untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, areal ataupun fenomena geografis melalui analisis data yang diperoleh dari sensor. Perkembangan ilmu penginderaan jarak jauh dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga manusia akan selalu mengembangkan kemampuannya dalam mengembangkan citra satelit agar dapat dipergunakan untuk kepentingan- kepentingan lainnya yang erat kaitannya dengan perolehan informasi suatu objek, daerah ataupun fenomena geografisnya (Bhian, 2010). Citra merupakan masukan data atau hasil observasi dalam proses penginderaan jauh. Citra dapat diartikan sebagai gambaran yang tampak dari suatu objek yang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau/sensor, baik optik, elektrooptik, optik mekanik maupun elektro magnetik. Citra memerlukan proses interpretasi atau penafsiran terlebih dahulu dalam pemanfaatannya (Helmi, 2011). Citra satelit merupakan hasil dari pemotretan/perekaman alat sensor yang dipasang pada wahana satelit ruang angkasa dengan ketinggian lebih dari 400 km dari permukaan bumi (Helmi, 2011). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan berbagai macam citra satelit yang ada untuk memetakan kondisi terumbu

description

Pemetaan Terumbu Karang

Transcript of 5 Pemetaan Sebaran Dan Kondisi Terumbu Karang Dengan Memanfaatkan Citra Satelit

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    Pemetaan Sebaran dan Kondisi Terumbu Karang dengan Memanfaatkan Citra Satelit Quickbird, Landsat-TM, EO-1 Hyperion dan ALOS-AVNIR

    Oleh:

    *Mario Putra Suhana *Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

    Email : [email protected]

    ABSTRAK Terumbu karang merupakan sekumpulan hewan karang atau polyp yang bersimbiosis dengan

    sejenis tumbuhan algae yang disebut zooxanthellae. Terumbu karang terdiri dari dua kata yaitu terumbu dan karang. Ekosistem terumbu karang merupakan sumberdaya wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama yang disebabkan oleh perilaku manusia/masyarakat disekitarnya.

    Penginderaan jauh merupakan suatu metode untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, areal ataupun fenomena geografis melalui analisis data yang diperoleh dari sensor. Citra merupakan masukan data atau hasil observasi dalam proses penginderaan jauh. Citra dapat diartikan sebagai gambaran yang tampak dari suatu objek yang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau/sensor, baik optik, elektrooptik, optik mekanik maupun elektro magnetik.

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan berbagai macam citra satelit yang ada untuk memetakan kondisi terumbu karang di suatu perairan, mengetahui metode pengolahan citra satelit yang digunakan untuk pemetaan terumbu karang dan melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing citra satelit dalam memetakan sebaran terumbu karang di suatu perairan.

    I. PENDAHULUAN Terumbu karang merupakan sekumpulan

    hewan karang atau polyp yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan algae yang disebut zooxanthellae. Terumbu karang terdiri dari dua kata yaitu terumbu dan karang. Terumbu adalah endapan masif batu kapur kalsium karbonat (CaCO3), sedangkan karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum coelenterata (hewan berongga) atau cnidaria yang mampu mensekresi CaCO3. Penyebaran dan pertumbuhan terumbu karang dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu salinitas, cahaya, suhu, pH, kecerahan, arus dan substrat (Nontji, 1983 dalam Damayanti, 2012).

    Ekosistem terumbu karang merupakan sumberdaya wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama yang disebabkan oleh perilaku manusia/masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu pemanfaatannya harus dilakukan secara ekstra hati-hati. Apabila terumbu karang mengalami kematian atau kerusakan maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk pulih kembali (Rauf, et al., 2004). Menurut Nybakken (1988), beberapa jenis terumbu karang membutuhkan waktu 1 tahun untuk mencapai panjang 1 cm.

    Penginderaan jarak jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung

    terhadap objek, daerah atau gejala yang dikaji (Sutanto, 1986). Penginderaan jauh merupakan suatu metode untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, areal ataupun fenomena geografis melalui analisis data yang diperoleh dari sensor. Perkembangan ilmu penginderaan jarak jauh dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga manusia akan selalu mengembangkan kemampuannya dalam mengembangkan citra satelit agar dapat dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan lainnya yang erat kaitannya dengan perolehan informasi suatu objek, daerah ataupun fenomena geografisnya (Bhian, 2010).

    Citra merupakan masukan data atau hasil observasi dalam proses penginderaan jauh. Citra dapat diartikan sebagai gambaran yang tampak dari suatu objek yang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau/sensor, baik optik, elektrooptik, optik mekanik maupun elektro magnetik. Citra memerlukan proses interpretasi atau penafsiran terlebih dahulu dalam pemanfaatannya (Helmi, 2011). Citra satelit merupakan hasil dari pemotretan/perekaman alat sensor yang dipasang pada wahana satelit ruang angkasa dengan ketinggian lebih dari 400 km dari permukaan bumi (Helmi, 2011).

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan berbagai macam citra satelit yang ada untuk memetakan kondisi terumbu

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    karang di suatu perairan, mengetahui metode pengolahan citra satelit yang digunakan untuk pemetaan terumbu karang dan melihat

    kelebihan dan kekurangan masing-masing citra satelit dalam memetakan sebaran terumbu karang di suatu perairan.

    II. METODE Dalam penelitian pemetaan sebaran dan

    kondisi terumbu karang di suatu perairan dengan menggunakan citra satelit, sangat banyak citra satelit yang dapat digunakan seperti citra Quickbird, MODIS, Landsat-TM, Ikonos ataupun EO-1 Hyperion. Dari beberapa jurnal yang membahas terkait pemetaan terumbu karang dengan menggunakan citra satelit diperoleh beberapa metode-metode berbeda tergantung dengan kebutuhan pengamatan dan data citra yang digunakan.

    2.1 Pemetaan Terumbu Karang

    Menggunakan Citra Satelit Quickbird Salah satu citra satelit yang digunakan

    dalam pemetaan terumbu karang adalah citra satelit Quickbird, dimana lokasi penelitian pemetaan terumbu karang ditentukan dengan menggunakan citra satelit Quickbird. Citra yang digunakan adalah citra Quickbird dengan akuisisi 20 Mei 2011. Band yang digunakan adalah band 1 dan band 2 dengan menggunakan algoritma Lyzenga (Wouthuyzen, 2001).

    Siregar (2010) menyebutkan, dalam pengolahan citra satelit, tahapan yang harus dilakukan adalah: 1. Koreksi citra (koreksi geometrik dan

    koreksi radiometrik). 2. Pemotongan citra sesuai dengan lokasi

    penelitian atau yang disebut cropping. 3. Pemilihan training area, pemilihan

    training area sebanyak 30 titik. Penentuan 30 titik dilakukan pada objek citra band 1 dan band 2 sebagai bagian dari ekosistem terumbu karang yang diduga melalui pengamatan secara visual.

    4. Penghitungan ragam (varian) dan peragam (covarian) dari band 1 dan band 2 untuk mendapatkan nilai ki/kj dari algoritma Lyzenga.

    5. Transformasi Lyzenga, menggunakan software ENVI 4.4 dengan menggunakan metode klasifikasi unsupervised-isodata dengan mengkelaskan menjadi 7 kelas.

    6. Pengklasifikasian terumbu karang. Hal ini dilakukan karena daratan tidak dipisahkan dengan lautan, sehingga pengkelasan dibagi menjadi beberapa objek. Dimana prosedur pengklasifikasian adalah peta hasil klasifikasi unsupervised-isodata di export ke software ArcGIS. Peta yang semula berupa data raster diubah menjadi data vektor sehingga dapat menambahkan informasi didalamnya berupa berupa pengkelasan nama berdasarkan warna hasil klasifikasi unsupervised-isodata. Selain dengan menggunakan metode tersebut, dapat juga dilakukan dengan mengekspor attribute table ke microsoft excel dengan menggunakan tools pivot table. Pada tahapan analisis data, data yang

    dianalisis meliputi data citra Quickbird, penghitungan persentase penutupan terumbu karang pada saat pengambilan data lapangan serta uji akurasi antara data citra satelit dan data lapangan. Analisis data citra satelit menggunakan algoritma Lyzenga dengan mencari koefisien atenuasi terlebih dahulu, dimana koefisien atenuasi berguna untuk penajaman terumbu karang (ki/kj0 didasarkan pada penghitungan varian dan covarian (Siregar, 2010), yaitu:

    = + + 1 (1)

    = ( )( ) (2) Rumus untuk mencari transformasi Lyzenga: = (ln 1) + (

    2) (3)

    Agar hasil pengolahan citra sesuai

    dengan data lapangan, maka yang dilakukan selanjutnya adalah membuat titik pada peta hasil penutupan terumbu karang masing-

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    masing kelas sebanyak 10 titik dan dibandingkan dengan citra satelit Quickbird dengan komposit RGB 321. Hal ini dikarenakan citra satelit Quickbird memiliki tingkat resolusi spasial yang sangat tinggi (Damayanti, 2011).

    Uji akurasi dilakukan terhadap kelompok piksel yang mewakili objek tertentu yang diambil sebagai sampel dalam suatu polygon objek dengan koordinat lokasi yang sama dengan di lapangan. Selanjutnya sampel yang telah diambil dari lapangan dibandingkan dengan piksel hasil klasifikasi dengan menggunakan metode error matrix atau confution matrix (Damayanti, 2011).

    Dalam penelitian lain mengenai pemetaan terumbu karang dengan menggunakan citra satelit Quickbird dijelaskan, metode pengumpulan data terdiri dari (Amri, 2010): 1. Penentuan ground control point 2. Pemetaan habitat ground truth point 3. Pengumpulan data ekologi meliputi

    karakteristik habitat atau tipe substrat dasar perairan.

    Lebih lanjut dijelaskan, penentuan posisi

    menggunakan metode differential global positioning system bertujuan untuk mendapatkan ketelitian posisi yang lebih baik. Dengan menggunakan metode ini ketelitian posisi yang diberikan bisa mencapai 3-4 meter. Metode ini memiliki ketentuan yaitu harus menggunakan 2 buah GPS yang bertipe sama. GPS pertama berfungsi sebagai stationer untuk koreksi GPS kedua dan GPS kedua sebagai mobile untuk menandai posisi pada saat waypoint maupun penentuan ground control (Amri, 2010).

    Untuk pengolahan data citra hampir sama dengan metode yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan tahapan yang dilakukan antara lain adalah pengumpulan peta dan citra, koreksi radiometrik dan geometrik, registrasi peta, ground truth dan ground control points, transformasi produk ke training area untuk penajaman klasifikasi citra, analisis data, konversi data raster ke vektor dan kartografi dengan urutan sebagai berikut (Amri,2010): 1. Koreksi radiometrik untuk

    menghilangkan faktor- faktor yang menurunkan kualitas citra dengan menggunakan metode histogram adjustment.

    2. Koreksi geometrik dengan acuan data lapangan dan dilakukan pada dua periode waktu yang berbeda. Koreksi ini dilakukan dengan transformasi geometris dan resampling dengan beberapa ground control point. Hal ini bertujuan menempatkan piksel citra pada posisi sebenarnya di permukaan bumi.

    3. Input algoritma Lyzenga dengan cara mengekstrak informasi distribusi spasial karakteristik dasar perairan dengan beberapa pendekatan seperti citra komposit, penajaman standar exponential attenuation (Lyzenga, 1978).

    4. Klasifikasi image hasil transformasi Lyzenga dengan menggunakan metode maximum likelihood (ML). Metode klasifikasi ini mempertimbangkan beberapa faktor antara lain peluang dari suatu piksel dikelaskan dalam kategori tertentu (prior probabilitas) dengan menghitung persentase tutupan lahan pada citra yang akan diklasifikasi. Hasil klasifikasi diinterpretasikan untuk digunakan melihat karakteristik dasar perairan.

    Untuk analisis hasil klasifikasi citra

    menggunakan bantuan data posisi dan data tipe substrat yang diperoleh dari pengamatan di lapangan. Data klasifikasi citra disusun dengan data lapangan untuk melihat kesesuaian data.

    Masih dalam penelitian yang sama yang menggunakan citra satelit Quickbird dijelaskan, citra satelit yang digunakan adalah citra Quickbird yang diperoleh dari Digital Globe akuisisi 28 September 2008. Sensor pencitraan pada Quickbird dilengkapi 5 band, yaitu pankromatik 725 nm, multispektral biru 479,5 nm, hijau 546,5 nm, merah 654 nm dan inframerah dekat 814,5 nm (Siregar, 2010).

    Resolusi spasial pada nadir untuk band pankromatik adalah 61 cm x 61 cm dan untuk band multispektral adalah 2,44 m x 2,44 m (Digital Globe, 2008). Penelitian ini menggunakan band dari multispektral band biru, hijau, merah dan inframerah dekat. Penggunaan citra satelit ini digunakan untuk evaluasi citra Quickbird yang digunakan untuk pemetaan sebaran terumbu karang yang dilakukan gobah karang lebar dan pulau Panggang.

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    2.2 Pemetaan Terumbu Karang Menggunakan Citra Satelit Landsat-TM Selain menggunakan citra satelit

    Quickbird, pemanfaatan citra satelit untuk pemetaan terumbu karang juga menggunakan citra satelit Landsat-TM. Salah satu penelitian yang menggunakan citra satelit Landsat-TM adalah studi distribusi dan kondisi terumbu karang, dimana penelitian tersebut menggunakan data satelit hasil rekaman satelit Landsat-TM pada tanggal 29 Maret 1997 dan 29 Maret 1992 sebagai data primer yang diperoleh dari Bank Data Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (PUSPATJA-LAPAN) (Rauf, 2004).

    Pengolahan data citra menggunakan software Ermapper 6.1 dan ArcView 3.2. Alat yang digunakan untuk pengamatan insitu antara lain GPS, speed boat, alat selam, roll meter, sabak dan alat tulis, underwater camera dan secchi disc. Peta yang digunakan adalah peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan peta batimetri dengan skala 1:50.000.

    Penelitian menggunakan citra satelit Landsat-TM dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu (Rauf, 2004): 1. Pengolahan citra awal. 4 bagian utama

    yang harus dilakukan untuk pengolahan awal citra satelit Landsat-TM, yaitu pembatasan wilayah penelitian (cropping data), penajaman citra (image enhancement), koreksi radiometrik dan koreksi geometrik dengan menggunakan software Ermapper 6.1.

    2. Transformasi citra. Untuk mendapatkan informasi objek dasar perairan, hal ini dikarenakan informasi yang didapat dari citra awal masih tercampur dengan informasi lain seperti kedalaman air, kekeruhan dan pergerakkan muka air laut. Pengolahan yang dilakukan meliputi penghilangan efek air, ekstraksi informasi objek dasar laut dengan menggunakan metode yang didasari oleh Exponential Attenuation Model oleh Lyzenga (1978).

    3. Klasifikasi citra. Melakukan penentuan training area, analisis ketelitian training area dan klasifikasi untuk mendapatkan citra yang telah dikelompokkan dalam kelas-kelas tertentu berdasarkan nilai reflektansi tiap-tiap objek, sehingga memudahkan dalam analisis dan pengecekkan di lapangan.

    4. Survei lapangan dengan melakukan penentuan stasiun dan pengambilan data. Penentuan stasiun pengamatan didasarkan pada pengamatan kualitatif dengan melihat keragaman penutupan karang yang dilakukan secara visual pada hasil pengolahan citra awal.

    5. Pengolahan akhir. Proses pelaksanaan hampir sama dengan pengolahan awal hanya saja pada saat interpretasi citra dan identifikasi suatu objek harus dikonfirmasikan dengan data lapangan dimana klasifikasi tersebut harus didasarkan pada data lapangan dengan posisi yang sudah dicatat sebelumnya. Analisa ini disebut analisa dengan klasifikasi supervised yaitu klasifikasi yang didasarkan pada data lapangan yang sudah ada.

    Untuk analisis citra satelit Landsat-TM

    dengan melakukan validasi klasifikasi dengan membuat matriks kontingensi yang biasa disebut dengan matriks kesalahan (confusion matrix). Jumlah piksel yang diuji didapat dari training area pada proses klasifikasi, kemudian dilakukan operasi tabulasi dan korelasi silang dengan citra hasil pengolahan dari setiap algoritma (Jupp, 1988).

    Metode lain dalam pengolahan data citra satelit Landsat-TM adalah dengan melakukan interpretasi citra dengan bantuan kaca pembesar. Interpretasi citra dengan menggunakan kaca pembesar dilakukan dengan cara (Saripin, 2003): 1. Membandingkan dan membuat batasan

    perbedaan kenampakan objek pada citra menggunakan OH pen pada citra yang dilapisi plastik transparan.

    2. Analisis citra berdasarkan perbedaan warna, pola dan tekstur yang tampak pada citra satelit berwarna dan ditekankan pada pengenalan jenis objek dan tipe lahan atau kawasan.

    Selain dengan metode tersebut, metode

    lainnya untuk pengolahan data citra satelit Landsat-TM adalah dengan pengolahan awal dan pengolahan lanjut (Asriningrum, et al., 2004). Tahapan pengolahan awal citra satelit Landsat-TM meliputi pemilihan data untuk mencari data yang bebas dari tutupan awan termasuk proses koreksi radiometrik dan koreksi geometrik seperti pengolahan citra

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    lainnya. Setelah proses ini selesai data dapat digunakan untuk mendapatkan informasi lanjutan dengan cara mengekstrak menggunakan metode yang sesuai dengan data yang dibutuhkan.

    Pengolahan lanjutan bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang objek yang diteliti dengan membuat citra komposit dan penajaman citra (Asriningrum, et al., 2004). Hal ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik terumbu karang. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software ER Mapper 5.5 dengan tujuan menonjolkan detail bentuk permukaan bumi dengan memanfaatkan konfigurasi variasi nilai spektral dan penajaman, sehingga aspek-aspek morfologi, morfogenesis dan morfokronologi bentuk lahan dapat diidentifikasi.

    Langkah selanjutnya dilakukan interpretasi bentuk lahan secara visual melalui laptop dengan menggunakan unsur-unsur interpretasi dan fasilitas memperbesar dan memperkecil liputan citra yang ada pada laptop agar lebih detail dan dapat diamati.

    Analisis geomorfologis dilakukan dengan pendekatan bentang lahan (landscape) dengan mengutamakan perhatian pada bentuk lahan, litologi, genesis dan proses-proses masa lampau dan saat ini yang bisa diamati dari citra satelit.

    Fungsi multispektral dilakukan dengan memilih 3 band, yaitu untuk membuat citra warna komposit dengan memasukkan setiap band kedalam filter merah, hijau dan biru (RGB), dan dari kombinasi tersebut diharapkan dapat menyajikan keragaman warna paling banyak agar diperoleh informasi yang optimal.

    Keragaman warna terbanyak dari 3 band, untuk resolusi radiometrik 8 bit adalah sebesar (28)3 atau sebesar 16.777.216 warna. Fusi dari 3 band tersebut selanjutnya dilakukan pada 6 band, yaitu band 1, 2, 3, 4, 5 dan 7, sehingga diperoleh kombinasi warna komposit sebanyak C36=6!/(3!) (6-3)!=20. Untuk memperoleh urutan nilai OIF dari kombinasi 3 band tersebut, digunakan algoritma (OIF) berikut:

    = () (4)

    Dimana: Sk = Standar deviasi nilai spektral pada band Abs (rj) = Nilai absolut koefisien korelasi antara tiap dua dari 3 band

    20 kombinasi warna tersebut yang merupakan hasil terbaik untuk interpretasi citra adalah yang memiliki nilai OIF tinggi. Sedangkan penajaman citra dilakukan sebagai tahap lanjutan setelah pembuatan model fusi band selesai, karena penajaman diaplikasikan pada model-model fusi band yang sudah terpilih (Jensen, 1986).

    Identifikasi karakteristik terumbu karang menggunakan data Landsat-ETM dengan resolusi spasial 30 meter dan 15 meter dianggap cukup akurat untuk klasifikasi pada skala 1:50.000 dimana bentukan lahan dikelompokkan menjadi lebih dari 189 kelas dan untuk terumbu karang dikelompokkan menjadi 9 kelas. Sedangkan penutupan lahan/penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 28 kelas (F-G UGM-Bakosurtanal, 2000).

    2.3 Pemetaan Terumbu Karang Menggunakan Citra Satelit EO-1 Hyperion Selain citra satelit Quickbird dan

    Landsat-TM, citra satelit lain yang dapat digunakan untuk pemetaan kondisi terumbu karang adalah citra satelit EO-1 Hyperion. Salah satu penelitian mengenai pemetaan sebaran dan kondisi terumbu karang menggunakan data citra satelit EO-1 Hyperion adalah penelitian mengenai kajian teknis penggunaan citra satelit EO-1 Hyperion untuk pemetaan habitat terumbu karang di Taman Nasional Bunaken (Putra, et al., 2013).

    Dimana dalam penelitian tersebut memanfaatkan citra digital EO-1 Hyperion akuisisi 6 Oktober 2012, path/row/ 112/059, 16 bit, format data TIFF (Tagged Image Format File) dan 196 band (dari 242 band terdapat 46 band yang tidak mengandung nilai kecerahan) yang diperoleh dari United States Geological Survey.

    Dijelaskan dalam penelitian tersebut kisaran panjang gelombang sinar tampak (0,45-0,7 m) pada citra satelit EO-1 Hyperion dideteksi oleh sensor band 1-band 35. Panjang gelombang near infrared

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    dideteksi oleh sensor band 36-band 70. Panjang gelombang short wave infrared dideteksi oleh sensor band 71-band 242 (Beck, 2003).

    Persiapan awal dilakukan layer stacking dan koreksi geometrik terhadap citra serta ekstraksi berdasarkan batasan lokasi pengamatan. Klasifikasi multi spektral dilakukan terhadap citra EO-1 Hyperion dalam 4 tahapan, yaitu: 1. Pemilihan training area 2. Analisis cluster dan separabilitas 3. Klasifikasi multi spektral menggunakan

    metode maksimum likelihood classifier/MLC

    4. Uji akurasi menggunakan confussion matrix.

    Pemilihan training area dilakukan

    berdasarkan data sekunder dari survei lapangan. Analisis separabilitas dilakukan untuk menguji tingkat keterpisahan antara kelas berdasarkan training area yang telah dipilih menggunakan metode transform divergence/TD.

    Metode pengkelasan MLC dilakukan setelah uji separabilitas training area diterima. Klasifikasi ini mengasumsikan bahwa nilai statistik setiap kelas dalam setiap band memiliki distribusi normal dan menghitung probabilitas setiap piksel ke dalam kelas yang ditentukan dengan cara mengestimasi rata-rata dan nilai varian setiap kelas yang telah ditentukan pada saat pemilihan training area. MLC dilakukan terhadap citra sineptik PCA dan EO-1 Hyperion menggunakan band terpilih.

    Uji akurasi dilakukan terhadap citra terklasifikasi menggunakan referensi data survei lapangan pada lokasi yang berbeda dengan training area. Penghitungan overall accuracy dihitung penjumlahan dari diagonal dibagi dengan total titik observasi. Kappa accuracy dihitung dengan OA-Expected Classification Accuracy dibagi 1-Expected Classification Accuracy. Sedangkan expected classification accuracy dihitung dengan cara menjumlahkan kolom secara diagonal dan membaginya dengan jumlah keseluruhan.

    2.4 Pemetaan Terumbu Karang Menggunakan Citra Satelit ALOS-AVNIR Citra satelit ALOS-AVNIR (Advance

    Visible and Near Infrared) memiliki resolusi spasial 10 meter dan memiliki saluran spektral yang komprehensif untuk studi perairan dangkal yaitu saluran biru, hijau dan merah (Helmi, 2011).

    Resolusi spasial yang relatif tinggi dan jumlah spektral yang dimiliki citra satelit ALOS-AVNIR mendukung untuk berbagai penelitian analisa citra digital salah satunya pemetaan kondisi dan sebaran terumbu karang. Resolusi spasial citra satelit yang semakin tinggi akan menghasilkan akurasi yang lebih signifikan untuk mengatasi faktor pembatas tersebut (Holden, 1999).

    Pemetaan terumbu karang menggunakan citra satelit ALOS-AVNIR menggunakan beberapa metode transformasi citra, yaitu transformasi Lyzenga, Brovey dan Hue Saturation Intensity (HSI) dan Principal Component Analysis (PCA).

    Pemanfaatan citra satelit ALOS-AVNIR untuk pemetaan terumbu karang menggunakan metode penginderaan jarak jauh satelit yang bekerja pada domain elektromagnetik dan domain spasial (Hooidonk, 2009). Citra satelit ALOS-AVNIR yang digunakan untuk pemetaan terumbu karang adalah citra satelit digital

    ALOS-AVNIR resolusi 10 meter, saluran spektral lengkap (full band) dengan liputan awan dan haze kurang dari 5%.

    Pengolahan citra digital ALOS-AVNIR untuk pemetaan terumbu karang menggunakan metode polynomial tipe linier untuk geocoding dan nearest neighbor untuk resampling dalam proses koreksi geometri citra. Dalam pengolahan citra digital ALOS-AVNIR dilakukan kalibrasi atmosfer dengan menggunakan metode Enhanced Dark Pixel Correction (Chavez) dengan melakukan penambahan artificial band untuk keperluan teknis pengolahan yang menggunakan Wizard Atmospheric Effect Correction pada software ER MAPPER 7.2.

    Untuk menguatkan respons spektral terumbu karang digunakan beberapa metode transformasi, yaitu transformasi Lyzenga, HSI dan Principal Component 1 (PC 1), metode ini digunakan untuk menguatkan respons spektral terumbu karang dan untuk membedakan dengan substrat dasar perairan yang lain.

    Koreksi kolom air (water column correction) dan transformasi Lyzenga dapat mereduksi pengaruh efek kedalaman, pergerakan dan kekeruhan air, untuk meningkatkan perolehan informasi

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    karakteristik dasar perairan dangkal (Lyzenga, 1978). Algoritma yang digunakan untuk pemetaan terumbu karang

    menggunakan citra digital satelit ALOS-AVNIR adalah sebagai berikut (Siregar, 1996 dalam Gaol, 2007):

    = 1 +

    ( 2) Dimana: Ki/Kj = a+(a2+1)1/2 a = (Var B1-Var B2)/(2*Cov B1B2)

    Untuk algoritma transformasi HSI yang digunakan adalah sebagai berikut (ER MAPPER, 2005): IF (MAX(i1,i2,i3)=MIN(i1,i2,i3)) THEN 0 ELSE ((IF(i1=MAX(i1,i2,i3))

    THEN ((i2-i3)/((MAX(i1,i2,i3)-MIN(i1,i2,i3))) ELSE IF(i2=MAX(i1,i2,i3))

    THEN 2+((i3-i1)/(MAX(i1,i2,i3)-MIN(i1,i2,i3))) ELSE 4+((i1-i2)/(MAX(i1,i2,i3)-MIN(i1,i2,i3)))*60+360)%360

    IF MAX(i1,i2,i3)=0 THEN 0 ELSE 1-MIN(i1,i2,i3)/MAX(i1,i2,3) MAX(i1,i2,i3)

    Sedangkan untuk algoritma PC 1 adalah sebagai berikut:

    PC1=SIGMA(I1...I3/?*PC_COV(,R1,I?,1))

    Selain itu, dilakukan juga uji confusion matrix digunakan untuk menghasilkan nilai kuantifikasi dan penilaian terhadap metode

    yang relatif baik untuk ekstraksi dan pemetaan terumbu karang di lokasi penelitian.

    III. PEMBAHASAN 3.1 Pemetaan Sebaran dan Kondisi

    Terumbu Karang di Suatu Perairan dengan Memanfaatkan Citra Satelit Quickbird Pemanfaatan citra satelit penginderaan

    jarak jauh merupakan metode yang paling ideal untuk pengamatan wilayah yang luas dan sulit dijangkau (Green, et al., 2000). Citra satelit resolusi tinggi memiliki kemampuan mendeteksi fitur-fitur substrat dasar ekosistem terumbu karang (Hochberg dan Atkinson, 2000).

    Informasi batimetri tidak saja diperlukan untuk pengelolaan pulau-pulau terpencil, tetapi juga pada pemetaan kondisi habitat karang dan pendugaan potensi pemutihan karang. Hal ini memungkinkan estimasi albedo dasar, yang dapat meningkatkan kualitas pemetaan habitat (Mumby, et al., 1998).

    Foto udara yang digunakan untuk memotret perairan dangkal yang jernih diketahui mampu mengestimasi dengan cara

    yang sama yang dilakukan oleh penginderaan jarak jauh oleh satelit. Dimana kedalaman maksimum yang dapat di deteksi oleh citra satelit merupakan fungsi dari panjang gelombang dan kecerahan perairan (IOCCG, 2000).

    Citra Quickbird merupakan satelit sumberdaya bumi komersial dengan resolusi spasial tinggi milik perusahaan swasta AS Digital Globe. Tinggi lintasan satelit Quickbird 450 km dengan sudut inklinasi 98 dengan orbit sun synchronous, periode edar satelit Quickbird adalah 93,5 menit dengan lebar sapuan 16,5 km dengan waktu yang melintas ekuator. Resolusi temporal dari satelit Quickbird adalah 1-3,5 hari tergantung posisi lintang. Satelit Quickbird memiliki 5 band (saluran) yaitu:

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    Tabel 1. Saluran Citra Satelit Quickbird Panjang Gelombang (m) Resolusi Spasial (m) Daerah Spektrum

    0,450-0,520 2,4 Biru 0,520-0,600 2,4 Hijau 0,600-0,690 2,4 Merah 0,760-0,900 2,4 Inframerah Dekat 0,450-0,900 0,61 Pankromatik

    Sumber: (Arif, 2008) Dalam sebuah penelitian tentang

    pemetaan terumbu karang menggunakan citra satelit Quickbird di perairan pulau Tabuhan (Damayanti, 2011), didapatkan hasil pengolahan citra Quickbird menggunakan algoritma Lyzenga diperoleh klasifikasi tutupan terumbu karang sebanyak 7 kelas dikarenakan dalam tahapan pengerjaan tidak dilakukan masking darat dan laut.

    Pada pengkelasan objek ada beberapa pixel yang terbaca masuk kedalam kelas yang lain. Pada citra Quickbird dengan komposit warna true color nampak jelas bahwa daerah tersebut adalah vegetasi di darat, setelah dilakukan ekstraksi algoritma Lyzenga lokasi tersebut terbaca menjadi pasir kasar. Hal ini dimungkinkan pada saat penentuan 30 titik yang diduga terumbu karang kurang tepat sehingga berdampak pada nilai ki/kj yang diperoleh. Salah tafsir terhadap sinar pantul yang diterima sensor dari objek yang ada di bumi dimungkinkan juga menjadi penyebab, sehingga berdampak pada nilai pixel value yang digunakan dalam penghitungan nilai ki/kj.

    Masih dalam penelitian yang sama dijelaskan, penghitungan luas di tiap kelas didapatkan karang hidup lebih luas daripada karang mati yaitu 142.154,79 m2 dan 118.932,215 m2. Klasifikasi terumbu karang yang dihasilkan penggambarannya secara umum yang artinya hanya pada kenampakan yang terjadi di permukaan bumi setelah pengolahan citra dilakukan dan juga didasarkan aspek keruangan dari karakteristik tempat tumbuh terumbu karang tersebut.

    Persentase lebih kecil ditemukan pada kedalaman 10 meter, namun dengan tingkat keanekaragaman yang lebih banyak. Hal ini dikarenakan topografi yang berbeda antara kedalaman 3 meter dan kedalaman 10 meter. Pada kedalaman 10 meter memiliki kemiringan lereng 45-60 dengan arus yang lebih kuat.

    Arus sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan karang karena berkaitan dengan ketersediaan makanan jasad renik, oksigen maupun terhindarnya karang dari timbunan

    endapan, namun arus yang terlalu besar juga dapat mematikan karang (Nybakken, 1988). Karena hal itulah pada kedalaman 10 meter terumbu karang lebih bervariasi jenisnya namun hampir semuanya berukuran kecil, hal ini diduga terumbu karang hanya mampu tumbuh sampai ukuran sedang.

    Pada matriks uji akurasi terdapat omisi dan komisi. Omisi merupakan jumlah pixel yang masuk ke kelas lain sedangkan komisi adalah jumlah pixel masuk dari kelas lain. Pada penelitian ini nilai omisi lebih besar, hal ini dikarenakan pada waktu perbandingan antara citra hasil transformasi algoritma Lyzenga dan citra Quickbird komposit RGB nampak jelas perbedaan yang diperoleh. Pada penelitian tersebut juga diperoleh nilai uji akurasi sebesar 60%. Nilai uji akurasi yang dianggap mewakili keadaan lapangan adalah minimal 80%, yang mana pesawat dan CASI menjadi patokan dimana keduanya memiliki uji akurasi 67% dan 81%.

    Dalam penelitian lain (Amri, 2010) disebutkan, tingkat akurasi klasifikasi tipe substrat dasar ekosistem terumbu karang dengan menggunakan citra satelit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Tingkat resolusi spasial dan spektral

    sensor satelit yang dijadikan referensi data.

    2. Algoritma klasifikasi yang digunakan 3. Kompleksitas organisme bentik yang

    menduduki habitat dasar perairan tersebut

    4. Tingkat ketepatan (akurasi) dari penyatuan sistem koordinat. Permasalahan yang dihadapi pada

    aplikasi citra satelit penginderaan jarak jauh untuk pengamatan tipe substrat dasar ekosistem terumbu karang adalah menentukan tingkat akurasi dan ketidakpastian objek yang diamati (Congalton and Green, 1999).

    Dalam sebuah penelitian lain mengenai uji akurasi citra satelit Quickbird untuk pemetaan terumbu karang (Amri, 2010), pada penelitian tersebut menggunakan 2 buah GPS, dimana pada penelitian tersebut

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    menggunakan metode differential global positioning system. Dijelaskan dalam penelitian tersebut pengolahan data menggunakan metode differential global positioning system merupakan hasil rekaman posisi pada GPS stationer yang dilakukan dalam rentang waktu 5 detik, sehingga diperoleh data posisi bias dengan cara mengurangi rekaman posisi dengan nilai masing-masing nilai rata-rata E dan N.

    Untuk koreksi analisis akurasi hasil citra menggunakan data lapangan dimana data tersebut akan dipakai sebagai posisi GCP dan data lapangan di overlay dengan klasifikasi tipe substrat dasar perairan hasil pemrosesan citra satelit. Besaran nilai akurasi diperoleh dengan mencocokkan tipe substrat dasar hasil survey lapangan dengan citra klasifikasi.

    Informasi mengenai substrat dasar perairan diperoleh melalui transformasi citra. Pendugaan awal substrat dasar perairan dangkal dapat dilihat dari penampakan citra dengan menggunakan komposit RGB 421 dan RGB 321. Kenampakan citra menggunakan kombinasi kedua band tersebut melalui penajaman histogram, substrat dasar perairan dangkal tampak berwarna biru muda dan nampak jelas sebaran terumbu karang di lokasi penelitian.

    Sebaran nilai digital hasil integrasi image processing diperoleh beberapa komponen dominan klasifikasi citra hasil algoritma Lyzenga. Analisis rentang nilai beda warna citra hasil transformasi algoritma depth invariant index menunjukkan banyaknya kelas objek yang ada di substrat dasar perairan. Hasil transformasi citra ini mampu membedakan secara jelas objek pasir, lamun, karang hidup dan karang mati.

    Kenampakan substrat dasar perairan dangkal secara maksimal dapat diperoleh dengan menggunakan metode penajaman multi image menggunakan kombinasi citra band 1 dan band 2 berdasarkan standar exponential attenuation model. Asi; dari ekstrak nilai digital band 1 dan band 2 adalah untuk menentukan nilai (Ki/Kj). Kenampakan substrat dasar yang dimaksimalkan menggunakan metode algoritma Lyzenga dengan referensi penampakan citra secara natural dan melihat nilai digital setiap band-nya dan hasil transformasi.

    Lyzenga (1978) menerapkan koreksi kolom air sebagai kompensasi efek variasi kedalaman untuk metode prediksi kedalaman perairan. Sementara Jupp (1988) melanjutkan algoritma Lyzenga dengan

    mengimplementasikan melalui 3 langkah, yaitu: 1. Menghitung zona penetrasi kedalaman

    (ZPK) 2. Melakukan interpolasi 3. Kalibrasi kedalaman dalam ZPK

    Algoritma yang dibuat oleh Jupp didasarkan oleh 3 asumsi, yaitu: 1. Atenuasi cahaya merupakan fungsi

    eksponensial kedalaman 2. Kualitas perairan tidak berubah dalam

    satu liputan citra 3. Warna untuk setiap substrat adalah

    konstan

    Dalam sebuah penelitian mengenai evaluasi citra Quickbird dalam pemetaan terumbu karang (Siregar, 2010) dijelaskan mengenai statistik citra, pemeruman, pemilihan band (spektral band), implementasi algoritma dan evaluasi konsistensi algoritma.

    Dalam statistik citra histogram frekuensi dari citra memberi gambaran informasi bagaimana nilai-nilai piksel terdistribusi menurut kelompok objek yang direkam. Secara umum nilai digital dari piksel terbagi atas tiga kelompok, yaitu nilai yang mewakili dimana sensor sudah tidak menerima lagi sinyal dari objek dasar perairan, nilai yang mewakili perairan dimana sensor masih mampu mendeteksi objek di dasar perairan dan nilai yang mewakili daratan (Siregar, 2010).

    Kelompok nilai digital piksel pertama berada di seperempat hingga sepertiga bagian kiri histogram dengan ditandai oleh nilai piksel yang rendah dan memiliki akumulasi frekuensi kejadian yang tinggi. Kelompok ketiga merupakan representasi nilai digital tinggi memiliki akumulasi frekuensi yang lebih rendah oleh karena citra yang digunakan hanya merekam sedikit bagian daratan.

    Dalam tahapan pemeruman alat perum gema digunakan untuk mendapatkan nilai-nilai kedalaman pada perairan gobah karang lebar. Nilai kedalaman ini setelah direduksi terhadap efek pasang surut dan sejumlah nilai koreksi lainnya, digunakan untuk membangun zona penetrasi kedalaman (Siregar, 2010).

    Secara umum dapat dideskripsikan bahwa semakin dalam perairan, nilai digital piksel akan semakin rendah dan sebaliknya. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa nilai-nilai piksel pada band 1 dan band 2 tidak

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    memiliki perbedaan nyata, dilihat dari banyaknya nilai yang tumpang tindih (Siregar, 2010).

    Dalam pemilihan band (spektral band) koefisien determinasi digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih rinci tentang kemampuan band 1, 2 dan 3 dalam menjelaskan variasi kedalaman perairan di sepanjang trek perum.

    Dalam implementasi algoritma setiap zona penetrasi kedalaman menggambarkan suatu kawasan perairan dimana variasi kedalamannya dapat diamati pada satu band dan tidak teramati di band lainnya. Batas pemisah zona penetrasi tersebut adalah nilai digital tertinggi untuk kawasan perairan terdalam pada band yang bersangkutan. Bila nilai digital pada band 2 lebih besar dari 42 dan pada band 3 lebih kecil atau sama dengan 50, maka kedalaman perairan diperkirakan berada pada kisaran 10 hingga 2 meter. Batasan ini kemudian menjadi dasar untuk penetapan zona penetrasi kedalaman band 2.

    Pada evaluasi konsistensi algoritma diketahui bahwa batimetri gobah pulau panggang dengan sendirinya akan tergambarkan pada citra batimetri hasil implementasi algoritma Jupp. Dasar bagi

    penentuan batas zona kedalaman, hubungan antara nilai digital maksimum pada perairan terdalam dan hitungan koefisien dalam zona kedalaman, didapati dari sampel kedalaman di gobah karang lebar.

    Secara umum dapat dikatakan bahwa citra satelit memberikan nilai-nilai kedalaman yang lebih dalam atau overestimate. Agar gambaran tersebut menjadi jelas, kedua kelompok nilai kedalaman itu kemudian di plot pada diagram pancar untuk mendapatkan koefisien determinasi.

    Hal ini menunjukkan bahwa kondisi optik perairan pada satelit meliput citra gobah karang lebar dan pulau panggang tidak sama, sehingga algoritma penduga kedalaman tidak begitu saja dapat diterapkan secara simultan untuk keduanya. Bila kondisi optik perairan pada kedua gobah berbeda, maka diperlukan prosedur pengolahan citra yang terpisah untuk kedua lokasi tersebut. Perbedaan kondisi optik ini dapat diketahui melalui perhitungan koefisien atenuasi untuk masing-masing lokasi sehingga nantinya dapat menghasilkan citra batimetri yang lebih sesuai bagi kedua lokasi tersebut.

    3.2 Pemetaan Sebaran dan Kondisi Terumbu Karang di Suatu Perairan dengan Memanfaatkan Citra Satelit Landsat-TM Penggunaan citra satelit Landsat-TM

    dalam pemetaan terumbu karang menggunakan analisis citra untuk validasi klasifikasi dengan membuat matriks kontingensi yang biasa disebut dengan matriks kesalahan (confusion matriks). Jumlah piksel yang diuji didapat dari training area pada proses klasifikasi, kemudian dilakukan operasi tabulasi dan korelasi silang dengan citra hasil pengolahan dari setiap algoritma (Jupp, 1988).

    Dalam sebuah penelitian mengenai distribusi dan sebaran terumbu karang menggunakan citra satelit Landsat-TM, distribusi dan kondisi penutupan terumbu karang di dasar perairan dapat diketahui melalui nilai luasan objek dan persentase penutupan dari hasil analisis citra terklasifikasi. Berdasarkan hasil analisis visual dan digital citra Landsat-TM tahun 1997 dan 2002 di kepulauan Spermonde, ditentukan enam kelas penutupan dasar perairan, antara lain kelas karang hidup, karang mati, pasir, lamun, daratan kepulauan dan kelas laut.

    Hasil perhitungan luasan penutupan dasar perairan tersebut memberikan indikasi bahwa dalam kurun waktu lima tahun terjadi perubahan luasan pada masing-masing kelas dimana perubahannya bervariasi. Untuk kelas terumbu karang terjadi pengurangan luasan bagi karang hidup dan terjadi peningkatan luasan bagi terumbu karang mati.

    Perubahan yang sangat drastis diduga disebabkan oleh tingginya tekanan pemanfaatan terhadap sumberdaya hayati yang terdapat pada ekosistem terumbu karang oleh nelayan dengan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan, bahan kimia beracun, mini muroami dengan peralatan seperti kayu, linggis untuk mengusir ikan keluar dari sela terumbu karang.

    Dari hasil tumpang tindih (super imposition) antara hasil klasifikasi tahun 1997 dan 2002 memperlihatkan perubahan luasan pada masing-masing kategori menjadi kategori lain. Distribusi spasial kawasan terumbu karang dapat terlihat dengan menggunakan data citra satelit Landsat-TM dengan kombinasi kanal 542 (RGB) atau 321

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    (RGB). Citra komposit 542 terlihat kawasan terumbu karang berwarna biru berbeda dengan laut yang berwarna biru tua. Dari komposit ini dapat pula dibedakan antara terumbu karang dengan kekeruhan, dimana terumbu karang memiliki warna yang lebih tegas. Sedangkan pada komposit 321 objek yang terdapat di bawah laut dapat terdeteksi dengan jelas.

    Hasil ketelitian klasifikasi citra tahun 1997 pada masing-masing kelas penutupan dasar perairan dengan users accuracy rata-rata 98,48%, prodesuers accuracy rata-rata 99,16% dan overall accuracy sebesar 99,99%. Sedangkan validasi data tahun 2002

    diperoleh ketelitian pada masing-masing kelas dengan nilai rata-rata 99,05% untuk users accuracy, producers accuracy 99,81% dan 99,99% untuk overall accuracy.

    Distribusi kondisi serta perubahan penutupan dasar perairan dalam kurun waktu 5 tahun. Berdasarkan data tahun 1997 luasan karang hidup mencapai 7.554,44 Ha, sedangkan pada tahun 2002 adalah 6.054,58 Ha. Hal ini menunjukkan penurunan yang mengindikasikan bahwa tingkat kerusakan terumbu karang yang terjadi dalam kurun waktu 5 tahun mencapai 1.499,86 Ha atau 299,97 Ha per tahun.

    3.3 Pemetaan Sebaran dan Kondisi Terumbu Karang di Suatu Perairan dengan Memanfaatkan Citra Satelit EO-1 Hyperion

    Salah satu penelitian mengenai pemetaan sebaran dan kondisi terumbu karang menggunakan citra satelit EO-1 Hyperion adalah penelitian yang dilakukan di Taman Nasional Bunaken (Putra, 2013).

    Pada penelitian pemetaan terumbu karang menggunakan citra satelit EO-1 Hyperion tersebut jumlah training area survei menjadi keterbatasan atau masalah tersendiri, hal ini dikarenakan dalam metode analisis separabilitas memerlukan piksel sejumlah n+1 dimana n merupakan jumlah band yang digunakan. Untuk mensiasati hal ini digunakan bantuan citra sintetik PCA (Principle Component Analysis) agar evaluasi separabilitas antar kelas dan hasil klasifikasi citra memiliki akurasi yang dapat diterima.

    Pada penelitian tersebut hal yang ingin diamati adalah untuk mengetahui kemampuan citra EO-1 Hyperion dalam memetakan habitat terumbu karang dan mengetahui karakteristik spektral, tingkat separabilitas antar kelas dan akurasi hasil klasifikasi citra (Putra, 2013).

    Dari hasil penelitian tersebut dijelaskan bahwa karakteristik spektral objek habitat terumbu karang dapat dinilai dari rata-rata band pada citra untuk setiap kelas yang diamati (Putra, 2013). Pada kisaran panjang gelombang sinar tampak yang terdiri dari sinar biru, hijau dan merah, setiap kelas memiliki nilai reflektansi yang tinggi, terutama pada sinar biru.

    Menurut Jensen (2000), pada panjang gelombang inframerah energi terserap nyaris tidak ada yang terpantulkan apalagi jika ada perairan dalam dan murni tanpa endapan sedimen atau bahan organik. Oleh karena itu,

    untuk aplikasi pemisahan darat dan perairan, penggunaan panjang gelombang inframerah sangat sesuai.

    Adanya algae akan meningkatkan reflektansi pada panjang gelombang NIR. Hal ini merupakan karakteristik pantulan vegetasi yang disebabkan karena kandungan klorofil pada algae. Namun untuk mendeteksi klorofil tanpa adanya gangguan dari bahan anorganik dan bahan organik yang tercampur memerlukan teknik koreksi atmosfer dan metodologi ekstraksi yang rumit.

    Kisaran panjang gelombang yang menunjukkan keterpisahan antar kelas yang baik, secara visual berdasarkan grafik rata-rata adalah pada jangkauan panjang gelombang sinar tampak. Pada jangkauan SWIR, nilai keterpisahan antar kelas berdasarkan rata-ratanya tidak begitu baik dan cenderung untuk tidak dapat dipisahkan. Pada jangkauan sinar tampak, tutupan abiotik hard oral memiliki reflektansi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tutupan habitat terumbu karang lainnya.

    Dijelaskan lebih lanjut bahwa sinar tampak pada laut dalam lebih banyak yang terserap mengisi kolom air sehingga batas perairan dalam daripada yang dipantulkan. Sinar tampak diduga mengalami hamburan pada tutupan hard oral dominan sehingga lebih sedikit yang dipantulkan. Pada jangkauan panjang gelombang NIR dan SWIR, pantulan terbesar secara visual berdasarkan grafik rata-rata adalah abiotik dominan sedangkan yang terendah adalah laut dalam.

    Citra sintetik yang dihasilkan menggunakan PCA memiliki 196 band. Dari

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    196 band tersebut hanya 3 band yang dipilih karena sudah memiliki nilai informasi beragam sejumlah 99,62% berdasarkan eigen value dari total informasi. Analisis separabilitas TD menggunakan citra sintetik PCA dengan memanfaatkan band PC1, PC2

    dan PC3 menunjukkan hasil berupa 21 kombinasi keterpisahan antar kelas yang didapatkan rata-rata separabilitas sebesar 1993, dimana nilai matriks separabilitas PCA 1,2 dan 3 citra satelit EO-1 Hyperion dapat dilihat pada tabel 2.

    Tabel 2. Matriks Separabilitas PCA 1,2 dan 3 Citra Satelit EO-1 Hyperion Kelas 1 2 3 4 5 6 7

    1 - 1999 1999 1999 1999 2000 2000 2 1999 - 2000 1993 2000 2000 2000 3 1999 2000 - 1997 1987 2000 1883 4 1999 1993 1997 - 1999 2000 2000 5 1999 2000 1987 1999 - 2000 1999 6 2000 2000 2000 2000 2000 - 2000 7 2000 2000 1883 2000 1999 2000 -

    Berdasarkan hasil analisis separabilitas, citra sintetik PCA EO-1 Hyperion diklasifikasi menggunakan metode MLC. Hasil klasifikasi menunjukkan overall accuracy sebesar 83,5% dan kappa statistic sebesar 0,833. Kurangnya training area mempengaruhi hasil klasifikasi walaupun tingkat separabilitas menunjukkan kategori yang baik.

    Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa abiotik dominan tersebar di seluruh wilayah

    pesisir, namun yang paling banyak berada pada bagian selatan kawasan penelitian. Batas antara daratan dan lautan diidentifikasi masih berupa abiotik dominan (pasir dan batuan). Hard coral dominan tersebar paling banyak berada di wilayah tanjung dan sekitarnya. Variasi tutupan lebih banyak berada di bagian utara tanjung dimana terdapat tutupan berupa abiotik hard coral dan DCA.

    Tabel 3. Luasan Tiap Kelas Hasil Klasifikasi No. Kelas Jml. Piksel Luas (ha) Persentase 1 Hard coral dominan 2130 191.7 6.17 2 Abiotik hard coral 187 16.83 0.54 3 DCA hard coral abiotik 108 9.72 0.31 4 Hard coral abiotik 246 22.14 0.71 5 Hard coral DCA abiotik 125 11.25 0.36 6 Laut dalam 28902 2601.18 83.75 7 Abiotik dominan 2812 253.08 8.15

    Sumber: Putra (2013)

    Ditinjau dari persentasenya, abiotik dominan merupakan tutupan yang terluas jika dibandingkan dengan tutupan lainnya. Jika

    dibandingkan dengan hard coral dominan, tutupannya masih relatif sama hanya terpaut 2% atau sekitar 60 ha.

    3.4 Pemetaan Sebaran dan Kondisi Terumbu Karang di Suatu Perairan dengan Memanfaatkan Citra Satelit ALOS-AVNIR Seperti yang dijelaskan sebelumnya citra

    satelit ALOS-AVNIR (Advance Visible and Near Infrared) memiliki resolusi spasial 10 meter dan memiliki saluran spektral yang komprehensif untuk studi perairan dangkal yaitu saluran biru, hijau dan merah (Helmi, 2011).

    Pemanfaatan citra satelit ALOS-AVNIR untuk pemetaan terumbu karang menggunakan metode penginderaan jarak jauh satelit yang bekerja pada domain elektromagnetik dan domain spasial (Hooidonk, 2009). Citra satelit ALOS-AVNIR yang digunakan untuk pemetaan

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    terumbu karang adalah citra satelit digital ALOS-AVNIR resolusi 10 meter, saluran spektral lengkap (full band) dengan liputan awan dan haze kurang dari 5%.

    Dalam sebuah penelitian mengenai pemetaan terumbu karang dengan memanfaatkan data citra satelit ALOS-AVNIR mengenai analisis respons spektral dan ekstraksi nilai spektral, koreksi geometri citra satelit ALOS-AVNIR resolusi spasial 10 meter yang menggunakan referensi peta rupa bumi dengan skala 1:250.000, menghasilkan root mean square error (RMSE) sebesar 0,97 (Helmi, 2011). Citra satelit hasil koreksi geometri yang memiliki datum WGS84 dan proyeksi SUTM48 ini memiliki kesalahan posisi di lapangan sebesar 9,7 meter.

    Tahap proses koreksi radiometri citra yang menggunakan metode enhanced dark pixel correction (chavez) menunjukkan bahwa kondisi atmosfer saat perekaman citra adalah sangat berkabut (very hazy) ditunjukkan dengan nilai minimum spektral citra pada panjang gelombang terpendek (spektral biru) adalah 143. Kondisi seperti

    yang dijelaskan diatas menunjukkan bahwa koreksi radiometri untuk mengurangi pengaruh hamburan atmosfer perlu dilakukan.

    Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa saluran spektral citra satelit ALOS-AVNIR yang terbaik untuk membedakan karakteristik ekosistem perairan dangkal ada pada saluran merah dan hijau. Pada saluran spektral biru dan inframerah dekat karakteristik ekosistem perairan dangkal tidak dapat dibedakan dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan jarak antara garis yang menggambarkan masing-masing ekosistem perairan dangkal yang dikaji hampir berhimpit pada inframerah dekat dan jarak yang relatif dekat pada saluran biru. Saluran spektral yang terbaik untuk membedakan terumbu karang dan Adang lamun adalah saluran hijau.

    Hal serupa dijelaskan Elvidge (2004), dimana dalam kajiannya disebutkan saluran hijau pada citra satelit IKONOS memberikan informasi spektral yang lebih baik pada karakteristik terumbu karang.

    IV. KESIMPULAN Dari beberapa penjelasan yang telah

    dijelaskan, dapat diambil kesimpulan, bahwa: 1. Uji akurasi penggunaan citra satelit

    Quickbird dalam pemetaan terumbu karang dianggap dapat memberikan informasi yang cukup mewakili keadaan lapangan.

    2. Dalam pemanfaatan citra satelit Quickbird kenampakan substrat dasar perairan menggunakan metode Lyzenga dengan referensi penampakan citra secara natural dan melihat nilai digital setiap band dan hasil transformasi.

    3. Kenampakan substrat dasar perairan yang dihasilkan citra satelit Quickbird dengan menggunakan metode Lyzenga dan direklasifikasi supervised dengan bantuan data lapangan, menunjukkan kesesuaian antara data lapangan dan hasil klasifikasi citra satelit.

    4. Untuk evaluasi citra Quickbird dalam pemetaan batimetri gobah karang lebar di pulau Panggang berdasarkan hasil algoritma Jupp (1988) dianggap tidak konsisten karena menghasilkan nilai kedalaman yang over estimate.

    5. Asumsi Jupp bahwa atenuasi cahaya merupakan fungsi eksponensial kedalaman, umumnya dapat dipenuhi. Dengan demikian, estimasi kedalaman berdasarkan ZPK seharusnya dilakukan

    dengan cara memisahkan wilayah perairan yang berbeda.

    6. Walaupun citra satelit bersifat sinoptik, namun untuk menghasilkan citra batimetri kawasan intertidal antara kedua gobah atau objek diperlukan perlakuan terpisah.

    7. Secara umum dapat dikatakan akurasi tematik peta substrat dasar dari citra satelit Quickbird menurun nilainya dengan semakin banyaknya tema yang ditampilkan. Akurasi tematik kemungkinan dapat ditingkatkan dengan menggunakan alat penentu posisi yang lebih presisi.

    8. Saluran hijau dan merah pada citra satelit ALOS-AVNIR menghasilkan respons spektral relatif tinggi terhadap terumbu karang.

    9. Transformasi HSI pada citra ALOS-AVNIR relatif lebih baik dalam menguatkan respons spektral terumbu karang dibandingkan transformasi PC1 dan Lyzenga.

    10. Berdasarkan grafik rata-rata band citra EO-1 Hyperion pada kisaran panjang gelombang sinar tampak, setiap kelas memiliki nilai reflektansi yang tinggi.

    11. Penurunan reflektansi pada citra EO-1 Hyperion terjadi pada batas sinar tampak

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    menuju panjang gelombang NIR dan SWIR.

    12. Dengan menggunakan metode PCA, citra EO-1 Hyperion mampu memetakan kondisi habitat terumbu karang.

    13. Kemampuan citra satelit Landsat-TM dalam mendeteksi objek dasar perairan maksimum pada kedalaman 10 meter.

    DAFTAR PUSTAKA Arif, M. 2008. Analisis Penentuan Ekosistem

    Laut Pulau-Pulau Kecil dengan Menggunakan Data Satelit Resolusi Tinggi Studi Kasus Pulau Bokor. Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Volume 3 No. 4 Edisi Desember 2008: 149-157.

    Amri, K., Takwir, A., Asmadin, Siregar, V. 2010. Kajian Akurasi Citra Satelit Quickbird dengan Menggunakan Metode Differential Global Positioning System untuk Klasifikasi Tipe Substrat Dasar Perairan Karang Congkak dan Karang Lebar, Kepulauan Seribu. Jurnal Kelautan Nasional; Volume 5. No. 1. Edisi April 2010.

    Asriningrum, W., Dault, A., Arifin, P. 2004. Studi Identifikasi Karakteristik Terumbu Karang untuk Pengelolaan dan Penentuan Pulau Kecil Menggunakan Data Landsat.

    Beck, R. 2003. EO-1 User Guide Version 2.3. University of Cincinnati for The Satellite Systems Branch USGS Earth Resources Observation Systems Data Center (EDC). Sioux Falls.

    Bian, R. 2010. Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh (Citra Aster dan Ikonos). [Jurnal]. Program Studi Geografi FKIP: Universitas Negeri Semarang.

    Congalton, R. G. and K. Green. 1999. Assessing The Accuracy of Remotely Sensed Data: Principles and Practices 2nd Ed. CRC Press, Taylor and Francis Group New York.

    Damayanti, R. 2012. Pemetaan Terumbu Karang di Perairan Pulau Tabuhan Kabupaten Banyuwangi Menggunakan Citra Satelit Quickbird. [Jurnal]. Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo: Madura.

    Elvidge, D. C., and Dietz, J. B. 2004. Satellite Observation of Keppel Islands (Great Barrier Reef) 2002 Coral Bleaching Using IKONOS Data.

    Springer-Verlag. Int. Journal. 23:123-132.

    ER MAPPER, 2005. ER MAPPER User Guide Ver 7.0 Earth Resource Mapping Ltd. Perth. Australia.

    F-G UGM-Bakosurtanal, 2000. Pembakuan Spek Metodologi Kontrol Kualitas Pemetaan Tematik Dasar dalam Mendukung Perencanaan Tata Ruang. Yogyakarta.

    Gaol, J. L., Arhatin, R. E., Manurung, D. dan Kawaru, M. 2007. Pemetaan Sumberdaya Laut Pulau Nias dengan Teknologi Penginderaan Jauh Satelit Pasca-Tsunami Tahun 2004. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (ISSN 0853-4217). Vol. 12 (3), hlm. 131-139.

    Green, E. P., P. J. Mumby., A. J. Edwards and C. D. Clark. 2000. Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal Management UNESCO. Paris. 316p.

    Helmi, M., Hartoko, A., Herkiki, S., Munasik, Wouthuyzen, S. 2011. Analisis Respon Spektral dan Ekstraksi Nilai Spektral Terumbu Karang pada Citra Digital Multispektral Satelit ALOS-AVNIR di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. [Jurnal]. Buletin Oseanografi Marina. Universitas Diponegoro: Semarang. Vol. 1. 120-136.

    Hochberg, E. J., Atkinson, M. J. 2000. Spectral Discrimination of Coral Reef Benthic Communities. Coral Reefs 19:64-171.

    Hooidonk, R. and Huber, M. 2009. Quantifying The Quality of Coral Bleaching Predictions. Springer-Verlag. Int. Journal. 28:579-587.

    Holden, H., LeDrew, E. 1999. Hyperspectral Identification of Coral Reef Features. International Journal of Remote Sensing. 20 (13), 2545-2563.

    IOCCG, 2000. Remote Sensing of Ocean Colour in Coastal, and Other Optically Complex, Waters. Sathyendranath, S. (eds.), Reports

  • Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Januari 2015

    of International Ocean Colour Coordinating.

    Jensen, J. R. 1986. Introductory Digital Image Processing. A Remote Sensing Prespective. Second Edition. Prentice Hall, New Jersey.

    Jensen, J. R. 2000. Remote Sensing of The Environment an Earth Resource Prespective. Prentice Hall. New Jersey.

    Jupp, D. L. B. 1978. The Application of Digital Remote Sensing Techniques in Coral Reef, Oceanographic and Estuary Studies. Report on a Regional UNESCO/GBRMPA Workshop. Australia.

    Jupp, D. L. B. 1988. The Application of Digital Remote Sensing Techniques in Coral Reef, Oceanographic and Estuary Studies. Report on a Regional UNESCO/GBRMPA Workshop. Australia.

    Lyzenga, R. D. 1978. Shallow Water Bathymetry Using Combined Lidar and Passive Multispectral Scanner Data. Journal Remote Sensing 6:1.

    Mumby, P. J., C. D. Clark., E. P. Green., A. J. Edwards. 1998. Benefits of Water Column Correction and Contextual Editing for Mapping Coral Reefs. Int. J. Remote Sens, 19:203-210.

    Nontji, A. 1983. Laut Nusantara. Djambatan: Jakarta.

    Nybakken, JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Gramedia: Jakarta.

    Putra, E. H., Handoyo, E. W. 2013. Kajian Teknis Penggunaan Citra Satelit EO-1 Hyperion untuk Pemetaan Habitat Terumbu Karang di Pesisir Utara Taman Nasional Bunaken. Info BPK Manado. Volume 3. Nomor 1. Juni 2013.

    Rauf, A., Yusuf, M. 2004. Studi Distribusi dan Kondisi Terumbu Karang dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. [Jurnal]. Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro: Semarang. Vol. 9 (2) : 74-81. ISSN 0853-7291.

    Saripin, I. 2003. Identifikasi Penggunaan Lahan dengan Menggunakan Citra Satelit Landsat Thematic Mapper. Buletin Teknik Pertanian. Volume 8. Nomor 2, 2003.

    Siregar, V. 2010. Pemetaan Substrat Dasar Perairan Dangkal Karang Congkak dan Lebar Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Satelit Quickbird. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis: IPB. Volume 2 No. 1 Edisi Juni 2010: 19-30.

    Sutanto. 1986. Penginderaan Jarak Jauh Jilid II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

    Wouthuyzen, S. 2001. Pemetaan Perairan Dangkal dengan Menggunakan Citra Satelit Landsat-TM 5 Guna Dipakai dalam Pendugaan Ikan Karang: Suatu Studi di Pulau-Pulau Padaido. In: Prosiding Seminar Potensi dan Eksploitasi Sumberdaya Alam Nasional dalam Mendukung Otonomi Daerah di Jakarta; 29 Maret 2001. LIPI.