5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional...
Transcript of 5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN … · BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI 5.1 Rasional...
130
5. INDEKS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI
5.1 Rasional
Permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa mencakup aspek
lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Permasalahan yang bersifat
multidimensi tersebut pada hakekatnya pertama kali dipicu oleh pertambahan
jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan sumberdaya
lahan sawah menjadi tertekan, sehingga terjadi penyusutan lahan karena adanya
konversi lahan sawah menjadi daerah permukiman dan industri. Apabila tekanan
penduduk terhadap lahan sawah terus meningkat, cepat atau lambat daya dukung
lahan sawah akan terlampaui. Terlampauinya daya dukung lahan sawah ini
tentunya dapat berdampak pada timbulnya masalah degradasi lingkungan biofisik,
ekonomi, dan sosial-budaya. Dampak multidimensi tersebut berpotensi
mengancam keberlanjutan lahan sawah. Terancamnya keberlanjutan lahan sawah
dapat mengancam kelangsungan hidup manusia generasi mendatang. Oleh
karena itu, keberlanjutan lahan sawah sangat berkaitan dengan daya dukungnya
dalam menopang kelangsungan hidup manusia dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Seperti yang telah dikaji di bab sebelumnya (bab 4), daya dukung lahan
sawah dapat berperan untuk mendeteksi status keberlanjutan lahan sawah di
suatu wilayah. Keunggulan daya dukung lahan sawah tersebut, namun demikian,
belum dapat menjelaskan status keberlanjutan lahan sawah yang sesuai dengan
kondisi ekologisnya. Keterbatasan ini disebabkan oleh basisdata kependudukan
dikelola berdasarkan batas wilayah administrasi, bukan berdasarkan pada batas
ekologi. Salah satu cara untuk mengetahui status keberlanjutan lahan sawah
yang sesuai dengan kondisi ekologisnya adalah dengan melakukan pemetaan
indeks keberlanjutan lahan sawah berdasarkan zona agroekologi.
Zona agroekologi lahan sawah yang telah didefinisikan di bab 4
mencerminkan pewilayahan lahan sawah yang sesuai dengan potensi lahan dan
daya dukung di suatu wilayah. Karena pertambahan penduduk, agroekosistem
dalam zona agroekologi lahan sawah menjadi semakin tertekan, sehingga dapat
menimbulkan perubahan atribut dimensi lingkungan biofisik (ekologis), ekonomi,
131
dan sosial-budaya yang menjadi kaidah pertanian berkelanjutan. Untuk
mendeteksi perubahan setiap dimensi pertanian berkelanjutan tersebut diperlukan
indikator yang tepat, yaitu yang dapat mencirikan gejala kondisi keberlanjutan
lahan sawah yang mulai terancam. Menurut Rao dan Rogers (2006), indikator
keberlanjutan harus dari atribut yang dapat diukur dan dikuantifikasikan yang
sesuai dengan tujuannya. Dalam penelitian ini, indikator dimensi ekologis
dicerminkan oleh karakteristik zona agroekologi lahan sawah, seperti ketersediaan
air, bahan organik tanah, ketersediaan unsur hara tanah, bahaya banjir,
pencemaran air tanah, serangan hama dan penyakit tanaman, dan lain-lain.
Indikator dimensi ekonomi dan sosial-budaya dicerminkan oleh kondisi dan nilai
manfaat ekonomi, dan sosial-budaya masyarakat yang hidupnya tertumpu pada
produksi lahan sawah. Indikator dimensi ekonomi yang penting adalah
keuntungan yang diperoleh petani, modal usaha tani, pemasaran hasil produksi,
ancaman konversi lahan, dan lain-lain. Indikator sosial-budaya yang dapat
mencerminkan keberlanjutan lahan sawah diantaranya adalah motivasi bertani,
kearifan lokal, adopsi teknologi, peran aktif kelompok tani (Poktan), penguasaan
lahan, dan lain-lain. Indikator multidimensi tersebut dapat diseleksi dengan
analisis faktor, sehingga diperoleh indikator utama yang digunakan sebagai dasar
pemetaan indeks keberlanjutan dengan menggunakan perangkat SIG.
Peta indeks keberlanjutan digunakan untuk menentukan status keberlanjutan
lahan sawah. Indikator utama yang mencakup dimensi ekologis, ekonomi, dan
sosial-budaya di setiap zona agroekologi pada peta indeks keberlanjutan tersebut
digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan sawah untuk merumuskan
kebijakan teknis dalam mendukung penataan ruang yang berkaitan dengan upaya
untuk menjaga ketahanan pangan, terutama dari aspek ketersediaan pangan
(beras).
5.2 Tinjauan Pustaka
5.2.1 Konsep Indikator Keberlanjutan Pertanian
Istilah indikator dalam keberlanjutan pertanian dapat dianalogikan dengan
indikator kesehatan manusia. Apabila kita merasa sakit demam, suhu badan akan
naik. Kenaikan suhu badan tersebut, namun demikian, belum dapat memastikan
132
jenis penyakit apa yang kita derita. Yang pasti kesehatan kita mulai terganggu.
Contoh lainnya adalah tekanan darah. Apabila kita pergi ke dokter karena merasa
kesehatan kita terganggu, dokter dipastikan akan mengukur tekanan darah kita.
Tekanan darah yang naik merupakan indikator kesehatan jantung kita terganggu.
Menurut Bach (2005), indikator adalah suatu parameter yang digunakan
untuk menyederhanakan, mengkomunikasikan, dan mengkuantifikasikan suatu
masalah. Indikator harus dapat memberikan informasi tentang makna fenomena
yang terdekteksi. Suhu badan kita merupakan informasi sangat penting bagai
kesehatan kita. Demikian juga dalam kesehatan lingkungan, banyaknya
kandungan muatan sedimen air sungai memberikan informasi penting tentang
terganggunya ekologi daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu. Dalam contoh
tersebut, indikator muatan sedimen air sungai mampu mengkomunikasikan
masalah kesehatan kita atau lingkungan DAS. Dalam hal ini, komunikasi berperan
dalam menyederhanakan fenomena yang kompleks. Ringkasnya, identifikasi
indikator lingkungan dimaksudkan untuk mengkuantifikasi aspek penting
lingkungan yang dapat menyederhanakan masalah-masalah kompleks sehingga
informasi permasalahannya mudah dikomunikasikan untuk dicarikan solusinya.
Bach (2005) menjelaskan konsep mengidentifikasi indikator keberlanjutan
lingkungan berdasarkan hubungan sebab akibat antara tenaga pemicu (driving
force), kondisi tekanan (pressure state), dampak (impacts), dan respon
(responses), yang dikenal dengan model DPSIR (Driving Force-Pressure-State-
Impacts-Responses) (Gambar 53). Model DPSIR dimaksudkan untuk
menginventarisasi dan mengidentifikasi indikator keberlanjutan lingkungan.
Tenaga pemicu adalah aktivitas manusia yang dapat mengakibatkan perubahan
lingkungan berbagai sektor, seperti pertanian, transportasi, industri, dan lain-lain.
Dampak adalah hasil dari tekanan tenaga pemicu pada ekosistem dan kesehatan
manusia.
Model DPSIR telah banyak diaplikasikan oleh organisasi-organisasi dunia
seperti PBB, Bank Dunia, FAO untuk mengidentifikasi indikator keberlanjutan
lingkungan. Contoh aplikasi model DPSIR terbaru adalah indeks keberlanjutan
lingkungan (Environmental Sustainability Index, ESI) yang dikembangkan oleh
Forum Ekonomi Dunia (Wolrd Economic Forum, WEF) yang bekerjasama
133
dengan Yale University dan Columbia University, Amerikat Serikat ( Esty, 2005).
ESI menggunakan indikator yang disusun berdasarkan model DPSIR, yang
dikelompokkan menjadi lima kategori/komponen tematik, yaitu 1) sistem
lingkungan, 2) stres lingkungan, 3) kerentanan manusia (human vulnerability), 4)
kapasitas sosial dan kelembagaan, dan 5) pelayanan global (global stewardship).
Contoh indikator dari setiap komponen untuk ESI disajikan pada Tabel 28.
Seperti yang telah dikemukakan di bab sebelumnya, pertanian berkelanjutan
pada hakekatnya mengandung empat aspek, yaitu (1) kesadaran ekologi
(ecological sound), (2) bernilai ekonomi (economic viability), (3) berkeadilan
sosial (social justice), dan (4) berperikemanusiaan (humaneness). Definisi
tersebut memberikan petunjuk bahwa pertanian berkelanjutan harus menekankan
kesadaran ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya. Pengalaman pada era revolusi
hijau di Indonesia telah membuktikan bahwa pembangunan pertanian lebih
banyak mengedepankan aspek produksi (ekonomi) telah membawa dampak
degradasi lahan dan lingkungan. Selain itu, masalah kemiskinan masih tetap
Tenaga Pemicu Perkembangan penduduk Sektor : - Pertanian - Industri - Transportasi - Perumahan
Tekanan Akitivias manusia yang mempengaruhi lingkungan: - Eksploitasi hutan - Perubahan land use - Resiko teknologi - Penggunaan pupuk kimia
Kondisi Perubahan lingkungan terukur: - Kualitas air - Pelandaian produksi padi - Kesuburan tanah - Spesies endemik - Emisi CO2
Respon - Mitigasi bencana alam - Penataan ruang - Pemupukan berimbang - Konservasi tanah & air - Reforma agraria - Program keluarga berencana
Dampak Pengaruh perubahan lingkungan - Pelandaian produksi padi - Kekeringan - Banjir - Urbanisasi
Gambar 53. Kerangka model DPSIR (modifikasi dari Bach, 2005)
134
membelenggu kehidupan petani. Kondisi tersebut seharusnya tidak terjadi kalau
penerapan revolusi hijau juga memperhatikan aspek ekologis dan sosial-budaya.
Tabel 28. Contoh komponen, indikator, dan variabel untuk keberlanjutan
lingkungan (modifikasi dari Esty et al., 2005)
Kompoenen Indikator Variabel
Sistem lingkungan Kualitas udara Konsentrasi NO2, SO2
Keragaman hayati Spesies burung terancam (%)
Lahan % lahan terancam konversi
Kualitas air Konsentrasi oksigen terlaurut
Jumlah air Ketersediaan air tawar
Pengurangan stres lingkungan Pengurangan polusi udara Emisi NO2, CO
Pengurangan stres ekosistem Laju deforestasi
Pengurangan tekanan penduduk Kepadatan penduduk
Pengelolaan sampah Laju pengolahan sampah
Pengurangan stres air Penggunaan pestisida per ha
Pengelolaan sumberdaya alam Produktivitas
Pengurangan kerentanan manusia Kesehatan lingkungan % kematian karena infeksi pernapasan
Makanan pokok manusia % kurang gizi, % penduduk akses air
Kerentanan bencana alam % korban tewas karena banjir, kekeringan
Kapasitas sosial dan kelembagaan Pengaturan lingkungan % Kawasan lindung, indeks korupsi
Efisiensi lingkungan
Respon sektor swasta % perusahaan/lembaga tersetifikasi ISO
Ilmu dan teknologi % peneliti
Pelayanan global Kerjasama internasional Keikutsertaan organisasi lingkungan dunia
Emisi gas rumah kaca Emisi karbon/kapita
Pengurangan tekanan lingkungan Ekpor SO2, % impor barang tercemar
lintas negara
Dampak negatif penerapan revolusi hijau juga telah melanda dunia.
Kegagalan revolusi hijau di dunia ditunjukkan oleh masih banyaknya penduduk
yang kelaparan dan kurang gizi, selain terjadinya degradasi lahan dan lingkungan
(Dalgaard et al., 2003). Kegagalan revolosi hijau ini memberikan ide bagi
Gliessman (1998; dalam Gliessman, 2002) untuk mengemukakan konsep
agroekologi yang bertujuan memfasilitasi terwujudnya pertanian berkelanjutan.
Konsep agroekologi ini digunakan oleh Rao dan Rogers (2006) untuk
mengembangkan metode kajian pertanian berkelanjutan.
135
Kajian pertanian berkelanjutan berdasarkan konsep agroekologi dari
pemikiran Rao dan Rogers (2006) mengacu model DPSIR yang dikemukakan
oleh Bach (2005). Pada model DPSIR untuk mengkaji keberlanjutan pertanian
yang berdasarkan konsep agroekologi, hubungan sebab akibat dikelompokkan
menjadi empat komponen, yaitu agroekosistem, stres agroekosistem, kerentanan
agroekosistem, dan pengelolaan agroekosistem. Indikator tenaga pemicu
diarahkan ke lima komponen agroekosistem, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, sumberdaya keuangan, sumberdaya infrastruktur, dan sumberdaya sosial.
Indikator tekanan berkaitan dengan stres agroekosistem yang dicirikan dengan
mayor atribut multidimensi keberlanjutan (produktivitas, stabilitas, reliabilitas,
resilien, dan adaptabilitas). Indikator kondisi (state) dan dampak (impact)
menentukan kepekaan agroekosistem dan masing-masing dicirikan dengan
indikator lingkungan dan indikator sosial-ekonomi. Indikator respon
mendefinisikan instrumen kebijakan dan pengelolaan, serta strategi kelembagaan
untuk menjaga keberlanjutan agroekosistem pada jangka panjang. Variabel yang
mencirikan setiap indikator diidentifikasi pada Tabel 29. Variabel-variabel
tersebut bisa distandarkan, kemudian dirata-ratakan untuk memperoleh nilai
indikator. Untuk menentukan indeks keberlanjutan, nilai atribut indikator dapat
dirata-ratakan, seperti yang ada pada ESI. Atribut indikator (variabel) yang
dapat diagregasi dalam zona agroekologi dan dapat diintegrasikan dengan
perangkat SIG.
5.2.2 Konsep Indeks Keberlanjutan Pertanian
Indeks keberlanjutan adalah nilai agregasi dari indikator-indikator yang
menunjukkan kelangsungan fungsi suatu sistem, sehingga dapat dimanfaatkan
untuk pengkajian terpadu dari keberlanjutan suatu sistem tersebut (Rao dan
Rogers, 2006). Indeks keberlanjutan tersebut ditentukan dari integrasi nilai atribut
–atribut indikator dengan menggunakan berbagai metode.
Pada Indeks keberlanjutan lingkungan (ESI) yang dikembangkan oleh Esty
et al. (2005), indikator yang digunakan sebanyak 21 indikator yang terdiri dari 76
variabel. Nilai indeks pada ESI merupakan nilai rata-rata dari 21 indikator, yang
diidentifikasi dengan model DPSIR. ESI digunakan sebagai alat kebijakan untuk
136
mengidentifikasi masalah-masalah lingkungan yang menjadi perhatian dalam
lingkup nasional dan negara lain. Dengan menggunakan ESI, negara dimudahkan
untuk mengambil kebijakan dalam menangani masalah-masalah lingkungan yang
paling praktis. Hal ini dapat dilakukan karena ESI memberikan pedoman untuk
mengontrol polusi dan tantangan pengelolaan sumberdaya alam, serta
memberikan informasi penting tentang kondisi lingkungan di negara lain yang
memerlukan bantuan keuangan dalam mengatasi permasalahannya. Kegunaan ESI
yang penting adalah dalam hal memberikan informasi kondisi lingkungan negara-
negara di dunia, yang dirangking tidak hanya pada produk domestik bruto (GDP:
Gross Domestic Product) tetapi juga pada tujuan kebijakan penanganan masalah
lingkungan.
Tabel 29. Komponen, indikator, dan variabel untuk kajian keberlanjutan pertanian (modifikasi dari Rao dan Rogers, 2006) Kompoenen Indikator Variabel
Agroekosistem Modal sumberdaya alam Agroklimat , kesuburan tanah, luas lahan (ha)
Modal sumberdaya manusia Jumlah petani, jumlah petani produktif
Modal keuangan Modal usaha tani (Rp/ha), subsidi pupuk (Rp/kg)
Modal infrastruktur Kualitas irigasi, aksesibilitas, fasilitas pascapanen,
perolehan pupuk, pasar
Modal sosial Poktan, kearifan lokal, pemilikan lahan, motivasi
bertani
Stres agroekosistem Kualitas air Kadar salinitas (ppm)
Konversi lahan Potensi konversi lahan
Produksi Produktivitas (ton/ha), keuntungan diperoleh (Rp/ha)
Stres tanaman % daerah serangan hama dan penyakit tanaman
Degradasai tanah Kandungan C-organik tanah (%), erosi (ton/ha)
Kerentanan agroekosistem Lingkungan Penggunaan air tanah (l/ha), % daerah rawan banjir,
erosi (ton/ha), penurunan air tanah
Ekonomi Peningkatan pendapatan petani
Sosial Fragmentasi lahan (ha), penguasaan lahan
Pengelolaan agroekosistem Ilmu dan teknologi Adopsi teknologi, tingkat pendidikan
Kelembagaan dan sosial Keaktifan petani dalam keanggotaan Poktan,
Pelayanan lembaga Uji kualitas tanah, uji kualitas air, rekomendasi pupuk,
rekomendasi dosis pestisida, introduksi bibit unggul,
penyuluhan
137
Tidak seperti hanya dengan kajian keberlanjutan lingkungan yang telah
banyak diinisiatif oleh lembaga internasional dan nasional, kajian keberlanjutan
pertanian masih diinisiatif oleh para ahli secara individu. Dengan demikian,
metode yang ada berbeda-beda, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga grup,
yaitu kajian berdasarkan agroekosistem, faktor total produktivitas, dan tingkat
usahatani (Rao dan Rogers, 2006). Di Indonesia, kajian indeks keberlanjutan
yang berkaitan dengan pembangunan pertanian telah dilakukan oleh beberapa
ahli. Penilaian indeks keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil telah
dilakukan oleh Susilo (2003), dengan menggunakan Multidimensional Scaling
(MDS). Agar lebih mudah diaplikasikan oleh para praktisi di daerah, Susilo
(2006) telah membuat Indeks Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil
(IBPK) dengan menggunakan metode Sidik Kriteria Ganda (SKG). Salah satu
keunggulan metode SKG selain mudah dan mempunyai basis teori yang kuat, juga
dapat menangani berbagai jenis data (kuantitatif dan kualitatif) serta berbagai
jenis variabel yang diukur dalam satuan yang berbeda-beda. Penilaian IBPK
terdiri dari beberapa tahap kegiatan, yaitu 1) inventarisasi indikator yang relevan
berdasarkan dimensi ekologis, ekonomi, sosial, dan kelembagaan; 2) penapisan
indikator berdasarkan aspek potensi dan dampak pemanfaatan sumberdaya alam
dan lingkungan untuk menjamin kehidupan masyarakat pulau-pulau kecil, dan 3)
penilaian IBPK dengan menggunakan model penjumlahan terbobot (MJB) yang
dirumuskan sebagai berikut:
IBPKm= ∑WiXim
Wi = bobot standar setiap atribut indikator ke-i
Xim = nilai skor standar setiap atribut indikator ke-i pada pulau ke-m.
Penentuan nilai bobot dalam rumus IBPKm berdasarkan wawancara atau
diskusi dengan para praktisi pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia. Untuk
masing-masing atribut mencerminkan pentingnya atribut tersebut di dalam
menentukan keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil.
Indeks keberlanjutan pertanian yang berkaitan dengan sistem ketersediaan
beras (IKSKB) telah diteliti oleh Nurmalina (2008). Penelitian IKSKB
dimaksudkan untuk menentukan status keberlanjutan sistem ketersediaan beras
berbasis wilayah. Analisis indeks keberlanjutan sistem ketersediaan beras ini
138
menggunakan berbagai data statistik yang dikelompokkan menjadi 5 dimensi,
yaitu ekologi, ekonomi, sosial-budaya, kelembagaan, dan teknologi; yang
kesemuanya terdiri dari 60 atribut indikator (Tabel 30). Penilaian indeks
keberlanjutan sistem ketersediaan beras dilakukan melalui empat tahapan
kegiatan, yaitu 1) penentuan atribut indikator, 2) penilaian setiap atribut dalam
Tabel 30. Dimensi dan indikator sistem ketersediaan beras (Nurmalina, 2008)
Dimensi Indikator
Ekologi % luas hutan, dosis pupuk/ha, suhu tahunan, curah hujan tahunan, jumlah bulan kering, Kesesuaian lahan, kemampuan lahan, sistem irigasi, produktivitas padi, alih fungsi lahan, Pencetakan sawah, puso karena banjir, puso karena kekeringan, puso karena jasad pengganggu, status lahan
Ekonomi Efisiensi ekonomi, tingkat keuntungan, PDRB, produksi padi, nilai tukar petani, upah riil buuruh, jumlah rumah tangga petani dengan luas lahan > 0,5 ha, jumlah tenaga kerja pertanian di subsektor tanaman pangan, harga eceran beras, % penduduk miskin, % pangsa produksi padi, banyak desa yang memiliki sarana pemasaran produksi
Sosial –budaya % tingkat partisipasi konsumsi beras wilayah perkotaan, % tingkat partisipasi konsusmi beras wilayah pedesaan, % desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai, penduduk, jumlah rumah tangga petani padi, rumah tangga pertanian yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, pertumbuhan konsumsi per kapita, perempuan berpendidikan, pendidikan formal, desa yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor tanman pangan
Kelembagaan Perkembangan KUD, kelembagaan sekolah tinggi penyuluhan pertanian, sekolah pertanian pembangunan, Jumlah unit pelaksana teknis Balitbang (BPTP), jumlah unit pelaksana teknis ditjen BP tanaman pangan (BPSBTPH), lembaga keungan mikro, kelompok usaha pertanian, jumlah kelompok taruna tani, junlah kelompok wanita tani
Teknologi Jumlah mesin pengolah lahan jenis traktor roda dua, jumlah alat penanaman, jumlah alat pemupukan ure tablet, pompa air, jumlah mesin pemberantas jasad penggangu, jumlah mesin pemberantas jasad pengganggu jenis emposan tikus (fumigator). Jumlah mesin perontok padi, jumlah mesin pengering gabah, jumlah mesin pembersih gabah, jumlah mesin penyosoh beras, jumlah mesin penggiling padi, jumlah mesin rice miling unit (RMU), jumlah mesin pemecah kulit gabah
139
skala ordinal (skoring) berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, 3)
mereduksi dimensi atribut indikator dengan metode MDS seperti yang digunakan
oleh Susilo (2003), dan 4) menilai indeks keberlanjutan berdasarkan nilai atribut
indikator terpilih yang telah distandarkan dengan menggunakan rumus:
Xik sd = nilai skor standar wilayah ke-i pada atribut ke-k, k = 1,2,.....,p
Xik = nilai skor wilayah ke-i pada atribut ke-k, k = 1,2,..........p
Xk = nilai tengah skor pada setiap atribut ke-k, k = 1,2,..........p
Xk = simpangan baku pada setiap atribut ke-k, k = 1,2,..........p
Tabel 31. Faktor kunci dan alternatif kebijakan (Nurmalina, 2008)
Faktor kunci Strategi Kebijakan
Produktivitas Pengelolaan tanaman padi terpadu
Produksi padi Peningkatan indeks pertanaman
Konversi lahan sawah dan pencetakan sawah Lahan berkelanjutan
Kelembagaan pemerintah Peningkatan optimalisasi
Ketersediaan sistem irigasi Peningkatan investasi irigasi
Kesesuaian lahan Pencetakan sawah disesuaiakan
dengan zona agroklimat yang sesuai
untuk tanaman padi
Pertumbuhan penduduk Keluarga Berencana (KB)
ditingkatkan
Pertumbuhan konsumsi per kapita Diversifikasi pangan
Hasil penelitian IKSKB yang dilakukan oleh Nurmalina (2008) menemukan
delapan faktor kunci untuk menentukan strategi kebijakan dalam menjaga
keberlanjutan sistem ketersediaan beras di Indonesia (Tabel 31). Faktor kunci
tersebut merupakan permasalahan utama yang harus diatasi agar keberlanjutan
sistem ketersediaan beras terjaga. Penerapan kebijakan yang ditawarkan ini,
namun demikian, tidak dapat menjelaskan lokasi lahan sawah yang menghadapi
permasalahan keberlanjutan yang disebabkan faktor produktivitas, produksi padi,
Xik - Xk Sk
Xik sd =
140
konversi lahan, sistem irigasi, dan kesesuaian lahan. Kelemahan ini disebabkan
oleh kajian yang dilakukan berdasarkan pada batas wilayah adminisistrasi, bukan
berdasarkan batas dimensi ekologi.
5.3 Bahan dan Metode
Indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dipetakan pada skala 1: 250. 000.
Satuan pemetaan menggunakan satuan pemetaan zona agroekologi lahan sawah
yang telah dibahas di bab 4. Analisis IKLS dilakukan melalui beberapa tahapan
kegiatan, yaitu penentuan indikator, penapisan indikator, standarisasi nilai atribut
indikator, dan penilaian IKLS.
5.3.1 Penentuan Indikator Keberlanjutan Lahan Sawah
Analisis IKLS menggunakan 28 atribut indikator atau variabel yang
mencakup 11 atribut indikator dimensi biofisik (ekologi), 6 atribut indikator
ekonomi, dan 11 atribut indikator sosial-budaya (Tabel 32). Indikator
keberlanjutan lahan sawah tersebut diturunkan dari model DPSIR: Driving
Force-Pressure-State-Impact-Response (Bach, 2005). Dalam model DPSIR
(Tabel 33), 28 atribut indikator IKLS diturunkan dari komponen tenaga pemicu
(Driving force): agroekosistem, komponen tekanan (Pressure): stres
agroekosistem, komponen kondisi (State)-dampak (Impact): kerentanan
agroekosistem, dan komponen respon (Response): pengelolaan agroekosistem.
Komponen agroekosistem terdiri dari 5 indikator: modal sumberdaya lahan (6
variabel: ketersediaan air, N-total, P-total, K-total, penguasaan lahan), modal
sumberdaya manusia (2 variabel: pendidikan petani, usia petani), modal keuangan
(1variabel: modal usahatani), dan modal infrastruktur (3 variabel: kondisi irigasi,
fasilitas pengolahan pascapanen, pemasaran), dan modal sosial (5 variabel:
motivasi bertani, persepsi terhadap harga padi, persepsi terhadap konversi lahan,
keanggotaan Poktan, budaya lokal). Komponen stres agroekosistem terdiri dari 6
indikator : kualitas air (1 variabel: bebas bahaya salinitas), stres lahan (1 variabel:
potensi konversi lahan), produksi (1variabel: produktivitas lahan), stres tanaman
(1 variabel: bebas serangan hama dan penyakit tanaman), degradasi kesuburan
tanah (3 variabel: kandungan C-organik tanah, P-tersedia, K-tersedia).
141
Tabel 32. Indikator keberlanjutan lahan sawah
Faktor/Variabel Indikator Satuan Sumber Data
Faktor Biofisik:
Ketersediaan air (X1) Skala ordinal Peta Irigasi (PU, 2003), pengamatan lapang
Kualitas air (X2) ppt Pengukuran di lapangan : water checker
Bebas bahaya banjir (X3) % area aman Pengamatan lapangan, peta banjir (PU,2007)
Bebas serangan hama & penyakit tanaman (X4) % area aman Pengamatan lapangan
Kandungan C- organik tanah (X5) % Analisis laboratorium: Walkley & Black
Kandungan hara N-total (X6) % Analisis laboratorium: Kjeldahl
Kandungan hara P-tersedia (X7) ppm Analisis laboratorium: Bray I
Kandungan hara P-total (X8) Skala ordinal Peta status hara P & K (Puslitanak, 2006)
Kandungan hara K-tersedia (X9) ppm Analisis laboratorium: Bray I
Kandungan hara K-total (X10) Skala ordinal Peta status hara P dan K (Puslitanak, 2006)
Kondisi irigasi (X11) % Pengamatan lapang, Peta Irigasi (PU, 2003) Faktor Ekonomi:
Perolehan keuntungan (X12) % keuntungan Wawancara dengan petani, data sekunder
Modal usahatani (X13) skala ordinal Wawancara dengan petani, data sekunder
Perolehan pupuk (X14) skala ordinal Wawancara dengan petani, data sekunder
Potensi konversi lahan (X15) km Wawancara dengan petani, pengukuran di lapangan
Fasilitas pengolahan pascapanen (X16) skala ordinal Wawancara dengan petani, data sekunder
Pemasaran (X17) skala ordinal Wawamcara dengan petani, data sekunder Faktor Sosial -Budaya:
Motivasi petani bertani (X18) skala ordinal Wawancara dengan petani
Persepsi terhadap harga padi HPP (X19) skala ordinal Wawancara dengan petani
Persepsi terhadap konversi lahan sawah (X20) skala ordinal Wawancara dengan petani
Keanggotaan Poktan (X21) skala ordinal Wawancara dengan petani
Adopsi teknologi (X22) skala ordinal Wawancara dengan petani
Fungsi penyuluhan (X23) skala ordinal Wawancara dengan petani
Penguasaan lahan (X24) skala ordinal Wawancara dengan petani
Fragmentasi lahan (X25) ha Wawancara dengan petani, pengukuran lapangan
Pendidikan petani (X26) skala ordinal Wawancara dengan petani
Usia petani (X27) tahun Wawancara dengan petani
Budaya lokal (X28) skala ordinal Pengamatan lapangan, wawancara dengan petani
Komponen kerentanan agroekosistem terdiri dari 3 indikator: lingkungan
(1 variabel: bebas bahaya banjir), ekonomi (1 variabel: perolehan keuntungan),
sosial (1 variabel: fragmentasi lahan). Komponen pengelolaan agroekosistem
terdiri dari 2 indikator: ilmu dan teknologi (1 variabel: adopsi teknologi),
142
kelembagaan dan sosial (1 variabel: fungsi penyuluhan). Variabel indikator
tersebut dinyatakan dalam satuan berbeda-beda. Penilaian indikator menggunakan
kriteria keberlanjutan lahan sawah (Lampiran 3).
Tabel 33. Komponen, indikator, dan variabel untuk kajian keberlanjutan lahan sawah
Komponen Nomor
Indikator
Indikator Variabel (atribut)
1 Modal sumberdaya lahan Ketersediaan air (X1), N-total (X6), P-total (X8), K-total (X10), penguasaan lahan (X24)
2 Modal sumberdaya manusia Pendidikan petani (X28), usia petani (X27)
Agroekosistem 3 Modal keuangan Modal usaha tani (X15)
4 Modal infrastruktur Kondisi irigasi (X11), fasilitas pengolahan pascapanen (X16), pemasaran (X17)
5 Modal sosial-budaya Motivasi bertani (X20), persepsi terhadap harga padi (X21), persepsi terhadap konversi lahan (X19), keanggotaan dalam Poktan (X21), budaya lokal (X28),
6 Kualitas air Bebas bahaya salinitas (X2)
7 Stress lahan Potensi konversi lahan (X17)
Stres agroekosistem 8 Produksi Produktivitas lahan (X12), perolehan keuntungan (X14)
9 Stres tanaman Serangan hama dan penyakit tanaman (X4)
10 Penurunan kesuburan tanah Kandungan C-organik tanah (X5), P-tersedia (X7), K-tersedia (X9)
Kerentanan
agroekosistem
12 Lingkungan Bebas bahaya banjir (X3),
13 Ekonomi Perolehan keuntungan (X12)
14 Sosial Fragmentasi lahan (X25)
Pengelolaan
agroekosistem
15 Ilmu dan teknologi Adopsi teknologi (X22)
16 Kelembagaan dan sosial Fungsi penyuluhan (X23), perolehan pupuk (X14)
5.3.2 Penapisan Indikator Keberlanjutan Lahan Sawah
Penapisan variabel indikator dimaksudkan untuk menyeleksi variabel-
variabel indikator, sehingga diperoleh indikator utama yang mempengaruhi
keberlanjutan pertanian lahan sawah. Proses penapisan variabel indikator
menggunakan metode statistik analisis faktor seperti yang dijelaskan oleh
Srivasta dan Carter (1983). Model matematik analisis faktor dapat dinyatakan
dengan rumus:
X = µ + Λƒ + ε
143
X = matrik variabel indikator keberlanjutan (p x n)
µ = matrik nilai tengah indikator keberlanjutan (p x n)
Λ = λ jk matrik faktor loading variabel indikator keberlanjutan (p x k)
ƒ = matrik faktor (laten variables) (k x n)
ε = matrik galat dengan ukuran k x n
p = banyaknya variabel indikator keberlanjutan
n = ukuran sampel
k = banyaknya faktor yang dipilih.
Penetapan banyaknya faktor yang dipilih dalam model ini berdasarkan
nilai eigen matrik korelasi > 1.0 (Srivasta dan Carter, 1983). Untuk
memaksimalkan nilai keragaman, dilakukan rotasi faktor dengan menggunakan
metoda varimax. Dalam penelitian ini, variabel indikator yang memiliki faktor
loading ≥ 0.50 di setiap faktor dipilih sebagai indikator utama se tiap ZAELS.
Penghitungan nilai parameter untuk model analisis faktor dimaksud
menggunakan program statistik Systat versi 12.0.
5.3.3 Standarisasi Data Atribut
Karena variabel indikator memiliki satuan yang berbeda-beda, maka data
atribut indikator perlu distandarkan. Standarisasi data atribut diperlakukan di
setiap variabel indikator (x) ke-j pada hasil pengukuran sampel ke-i hingga ke-n.
Rumus yang digunakan untuk menstandarkan nilai atribut dimaksud adalah:
Xji = nilai standar pada variabel indikator utama ke-j pada sampel ke-i
xji = nilai asli variabel indikator utama ke-j pada sampel ke-i
min xj = nilai minimum variabel indikator utama ke-j
maks xj= nilai maksimum variabel indikator utama ke-j
Melalui standarisasi seperti ini diperoleh data atribut dalam skala yang
sama, sehingga dapat digunakan sebagai input data untuk penilaian IKLS. Nilai
atribut standar yang dihasilkan memiliki kisaran 0 – 1.
(xji - min xj)
(maks xj - min xj)
Xji =
144
5.3.4 Penilaian Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah
Nilai Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah (IKLS) didasarkan pada nilai
respon variabel-variabel indikator utama untuk masing-masing faktor yang diteliti,
yaitu faktor lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Penghitungan nilai
IKLS di setiap zona agroekologi menggunakan nilai standar dari variabel-
variabel indikator utama ketiga faktor tersebut.
Nilai IKLS memiliki kisaran angka 0 – 1 (jika dikalikan 100 kisarannya
menjadi 0 - 100). Kisaran nilai indeks ini menunjukkan bahwa semakin besar
nilai indeks semakin baik tingkat keberlanjutannya. Sebaliknya, semakin rendah
nilai indeks semakin buruk tingkat keberlanjutan. Dalam penelitian ini, nilai
IKLS diklasifikasikan menjadi 4 kelas status keberlanjutan, yaitu: 0-25 (buruk),
>25-50 (kurang), >50-75 (cukup), >75-100 (baik).
5.3.5 Pengkategorian Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah
Pengkategorian nilai IKLS di setiap zona agroekologi menggunakan analisis
diskriminan. Dengan analisis diskriminan, status keberlanjutan lahan sawah di
setiap zona agroekologi dapat dikelompokkan apakah termasuk kategori buruk,
kurang, cukup, atau baik. Model analisis diskriminan untuk pengkategorian IKLS
di setiap zona agroekologi merupakan fungsi linear, yang menurut Supranto
(2004) dapat dinyatakan sebagai berikut:
Di = nilai (skor) diskriminan dari kategori IKLS ke-i
i = 1, 2, ........ n. D merupakan variabel tak bebas
Xij = variabel (atribut) indikator utama ke-j dari kategori IKLS ke-i
bj = koefisien diskriminan dari atribut indikator utama ke-j
Penghitungan nilai parameter statistik seperti koefisien diskriminan dan nilai
eigen, korelasi kanonik, Wilk’s lamda (λ), serta nilai F untuk uji nyata statistik
model menggunakan perangkat lunak Systat versi 12.0. Menurut Supranto (2004),
nilai eigen mencerminkan tingkat superior fungsi diskriminan. Korelasi kanonik
mengukur seberapa kuat asosiasi antara skor diskriminan dan kelompok (kategori).
Wilk’s lamda nilainya antara 0 dan 1. Kalau nilai besar (mendekati 1)
Di = bo + b1Xi1 + b2Xi2 + b3Xi3 ......+ bjXij + .......+ bkXik
145
menunjukkan bahwa rata-rata antar kelompok tidak berbeda, sebaliknya kalau
angkanya kecil (mendekati 0), rata-rata kelompok sangat berbeda, artinya fungsi
diskriminan yang diperoleh adalah cukup nyata untuk membedakan suatu
kelompok.
5.4 Hasil dan Pembahasan
5.4.1 Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah
Hasil analisis faktor (Tabel Lampiran 4-12) menunjukkan bahwa setiap
zona agroekologi lahan sawah memiliki indikator utama yang berbeda-beda.
Indikator utama hasil seleksi dengan faktor analisis tersebut didasarkan pada nilai
muatan faktor (faktor loading) minimal 50%. Nilai varian faktor dari indikator
utama untuk semua zona agroekologi berkisar dari 71.20% hingga 94.2%. Nilai
varian minimum ditunjukkan oleh indikator utama keberlanjutan lahan sawah di
zona B (S1/IP200), sedangkan terbesar di zona F (S2/IP100).
Berdasarkan hasil analisis diskriminan (Tabel 34), nilai IKLS dari indikator
utama yang terseleksi dengan analisis faktor dapat dikategorikan menjadi dua
kelas, yaitu “cukup berkelanjutan” (nilai IKLS rata-rata: 52% - 60%) dan “kurang
berkelanjutan” (nilai IKLS rata-rata: 43% - 50%) . Indikator utama tersebut ada
yang berperan sebagai faktor penghambat dan pendukung keberlanjutan lahan
sawah. Indikator utama yang berperan sebagai faktor penghambat ditunujukkan
dengan nilai koefisien diskriminan negatif, sedangkan yang berperan sebagai
faktor pendukung ditunjukkan dengan nilai koefisien diskriminan positif.
Kategori IKLS dari hasil analisis diskriminan dipetakan pada Gambar 54.
Hasil pemetaan tersebut menunjukkan bahwa status keberlanjutan lahan sawah
di P. Jawa dengan luas total 3,101,354 ha terdiri dari 2,867,055 ha (92%) dengan
kategori “cukup berkelanjutan” dan 234,299 ha (8%) dengan kategori ”kurang
berkelanjutan”. Lahan sawah yang termasuk kategori ”cukup berkelanjutan”
meliputi zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), C (S2/IP100), dan D (S2/IP300), G
(S3/IP300) dan H (S3/IP200); sedangkan yang termasuk kategori ”kurang
berkelanjutan” terdiri dari zona E (S2/IP200), F (S2/IP100), dan I (S3/IP100).
Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 35, zona agroekologi lahan sawah
yang memiliki status ”cukup berkelanjutan” tersebut sebagian besar merupakan
dataran aluvial volkanik dengan jenis tanah dominan: Alluvial (Epiaquepts),
146
Tabel 34. Hasil analisis diskriminan untuk pengkategorian IKLS berbasiskan zona agroekologi
Zona Agroekologi
Kategori IKLS
Fungsi Diskriminan (Di) Wilk’s λ
F-rasio
Nilai-p
A (S1/IP300) Cukup berkelanjutan
0.39X1 + 0.34X2 – 0.02X3 + 0.01X4 – 0.16X5 – 0.16X6 – 0.06 X7 + 0.16X8 – 0.11X9 – 0.71X10 – 0.16X12 – 0.01X13 – 1.24X14 + 0.16X15 + 1.24X16 + 0.24X17 + 0.21X18 + 0.20X20 + 0.50X21 + 0.31X22 + 0.14X23 – 1.64X24 – 0.05X25 – 0.08X26 – 0.17X27 – 0.50X28; (Rk = 0.94)
0.11 29.55 0.00
B (S1/IP200) Cukup berkelanjutan
– 0.06X1 + 0.18X2 – 0.23X3 – 0.24X5 – 0.40X6 – 0.04X7 + 0.64X8 – 0.34X9 + 0.21X10 + 0.23X11 – 0.16X13 – 0.24X14 – 0.20X15 + 0.19X16 + 0.21X17 + 0.09X18 – 0.03X19 + 0.21X20 + 0.18X21 + 0.57X23 – 0.60X24 – 0.24X26 - 0.23X27 + 0.34X28; (Rk = 0.85)
0.29 30.63 0.00
C (S1/IP100) Cukup berkelanjutan
–7.53X1 + 6.05X2 + 1.68X3 + 0.03 X4 – 0.46X5 – 4.09X6 + 4.04X7 + 0.24X8 – 7.35X9 + 0.21X10 – 0.23X11 – 0.16X12 – 0.09X13 – 0.24X14 + 0.27X15 + 0.19X16 + 0.21X17 + 0.09X18 – 0.80X19 + 0.25X20 + 0.20X21 + 0.31X22 + 0.57X23 – 0.70X24 -– 0.05X25 – 0.27X26 – 0.23X27 + 0.64X28; (Rk = 0.98)
0.03 23.85 0.01
D (S2/IP300) Cukup berkelanjutan
1.35X1 + 2.76X2 + 1.21X3 + 0.72X4 + 2.91X5 + 4.23X6 + 0.07X7 + 0.10X8 + 2.64X9 + 0.51X10 + 1.89X11 – 3.23X12 - 0.87X13 - 0.89X14 – 0.65X15 + 1.43X16 + 0.65X17 + 0.09X18 - 0.85X19 + 0.35X20 + 0.22X21 + 0.33X22 + 0.67X23 - 0.71X24 - 0.15X25 - 0.21X26 - 0.25X27 - 0.66X28; (Rk = 0.95)
0.02 20.53 0.06
E (S2/IP200) Kurang berkelanjutan
0.45X2 + 0.10X3 + 2.07X4 - 1.52X5 – 0.94X6 – 0.15X7 – 0.23X8 – 3.95 X9 – 0.20X10 + 1.51X11 – 0.09X12 – 0.45X13 – 0.78X14 - 0.40X15 + 1.32X16 + 2.34X17 + 0.23X18 - 0.45X19 + 1.10X20 - 0.62X24 - 1.18X26 – 0.75X27 + 2.91X28; (Rk = 0.97)
0.06 15.25 0.00
F (S2/IP100) Kurang berkelanjutan
– 0.67 X1 + 1.39X3 – 0.23X4 + 1.04X4 – 7.04X5 – 12.40X6 – 0.54X7 – 4.14X8 – 4.05 X9 + 0.67X10 – 0.77X11 – 2.59X12 – 1.46X13 – 0.78X14 + 1.31X15 + 0.45X16 + 0.38X17 + 0.77X18 – 1.45X19 – 0.33X20 – 0.41X21 + 1.66X22 – 0.23X23 – 0.45X24 + 0.33X25 – 0.33X26 – 0.44X27 + 1.31X28 (Rk = 0.98)
0.04 25.46 0.00
147
Tabel 34 (lanjutan)
Zona Agroekologi
Kategori IKLS
Fungsi Diskriminan (Di) Wilk’s λ
F-rasio
Nilai-p
G (S3/IP300) Cukup berkelanjutan
1.24X1 + 0.14X2 + 1.60X3 + 1.94X4 +– 0.50X5 – 1.60X6 – 1.73X7 + 0.87X8 – 2.08X9 + 0.15X10 + 0.5X11 - 4.28X12 – 1.23X13 – 1.67 X15 + 0.46X16 + 0.26X17 + 0.35X18 – 0.15X19 + 0.58X20 + 1.72X21 + 1.33X22 + 2.83X23 - 1.52X24 - 5.75X25 - 0.94X26 – 0.01 X27 - 0.34X28; (Rk = 0.94)
0.12 2.80 0.05
H (S3/IP200) Cukup berkelanjutan
–7.60X1 + 0.35X2 + 3.22 X3 + 3.70X4 – 1.02X5 – 0.15X6 – 6.12X7 – 7.06X8 – 6.96X9 + 6.50X10 – 6.40X11 – 0.78X12 – 1.02X13 – 0.63X14 + 2.39X15 + 1.37X16 + 0.19X17 + 1.78X18 – 4.24X19 + 0.80X20 + 0.73X21 + 2.39X22 + 0.72X23 – 1.55X24 – 1.61X 25 – 0.81X27 + 6.60X28; (Rk = 0.94)
0.12 3.01 0.03
I (S3/IP100) Kurang berkelanjutan
– 1.17X1 + 0.30X3 + 10.13X4 – 1.32X5 – 0.47X6 – 0.11X7 – 0.10X8 – 0.02X9 – 0.10X10 – 1.50X11 – 0.64X12 – 10.27X13 – 0.23X14 + 0.30X15 + 0.20X16 + 1.77X17 + 5.67X18 – 3.50X19 – 2.13X20 + 0.28X21 + 0.31X22 + 0.53X23 – 5.18X24 – 2.74X25 – 0.51X26 – 0.31X27 + 0.30X28; (Rk = 0.99)
0.02 26.15 0.00
Keterangan: X1: ketersediaan air, X2: salinitas, X3 : bahaya banjir, X4 : hama & penyakit tanaman, X5 : C-organik X6 : N-total, X7 : P-tersedia, X8 : P-total, X9 : K-tersedia, X10 : K-total, X11 : irigasi, X12 : keuntungan, X13 : modal usahatani, X14 : akses pupuk, X15: konversi lahan, X16 : fasilitas pascapanen, X17 : pemasaran, X18 : motivasi bertani, X19 : persepsi terhadap harga padi HPP, X20 : penolakan konversi lahan, X21 : keanggotaan Poktan, X22 : adopsi teknologi, X23 : penyuluhan, X24 : penguasaan lahan, X25 : fragmentasi lahan, X26 : pendidikan petani, X27 : usia petani, X28 : budaya lokal Rk : korelasi kanonik
Grumusol (Epiaquerts), Latosol (Eutrudepts), dan Regosol (Udipsamments);
sedangkan yang kurang berkelanjutan terjadi pada lahan sawah dengan jenis
tanah dominan Podsolik (Epiaquults).
Hasil analisis pada Gambar 55 menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan
lahan sawah di setiap zona agroekologi memiliki nilai indeks faktor biofisik,
ekonomi, dan sosial-budaya yang berbeda-beda. Sebagian besar nilai indeks dari
setiap faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lahan sawah tersebut berkisar
antara 36% dan 76%. Nilai indeks terendah dan tertinggi ditunjukkan oleh faktor
biofisik, yaitu 36% di zona I (S3/IP100) dan 76% di zona D (S3/IP300). Nilai
indeks faktor ekonomi terendah (45%) ditunjukkan oleh zona E (S2/IP200),
sedangkan tertinggi (59%) ditunjukkan oleh zona C (S1/IP100). Untuk faktor
148
Gambar 54 . Peta indeks keberlanjutan lahan sawah pulau Jawa
149
sosial-budaya, nilai indeks terendah (44%) ditunjukkan oleh zona I (S3/IP100),
sedangkan tertinggi (58%) ditunjukkan oleh zona C (S1/IP100) dan H (S3/IP200).
Untuk zona B (S1/IP200) dan H (S3/IP200) yang mendominasi lahan sawah di
Jawa, nilai indeks faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya berkisar antara
50% dan 58%. Zona B memiliki nilai indeks antara 53% dan 55%, sedangkan
zona H (S3/IP200) antara 50% dan 58%. Nilai indeks terendah di zona B
(S1/IP200), yaitu 53%, ditunjukkan oleh faktor biofisik dan ekonomi. Untuk zona
Ekonomi (0,56)
0 20
40 60
80 100
Sos-bud (55%)
Ekonomi (53%)
Biofisik (53%) Zona B (S1/IP200)
0 20
40
60 80
100 Ekonomi (59%)
Sos-bud (58%) Biofisik (57%) Zona C (S1/IP100)
Sos-bud (51%)
0 20
40
60 80
100 Ekonomi (54%)
Biofisik (76%) Zona D (S2/IP300)
100
Biofisik (44%)
Ekonomi (59%)
0 20
40
60
80
Sos-bud (48%)
Zona F (S2/IP100)
0 20
40 60
80
100
Zona E (S2/IP200) Biofisik (49%) Sos-bud (50%)
Ekonomi (45%)
0 20 40
60 80
100
Biofisik (71%) Sos-bud (55%)
Ekonomi (54%)
Zona G (S3/IP300)
0 20
40
60
80
100
Biofisik (54%) Sos-bud (58%)
Ekonomi (50%)
Zona H (S3/IP200)
0 20 40
60
80
100
Zona I (S3/IP100) Sos-bud (44%) Biofisik (36%)
Ekonomi (49%)
0 20 40
60
80
100
Biofisik (51%) Sos-bud (53%) Zona A (S1/IP300)
Gambar 55. Indeks keberlanjutan lahan sawah di setiap zona agroekologi
150
Tabel 35. Indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) di Jawa berdasarkan zona agroekologi
ZAE Bentuklahan Jenis Tanah Dominan
Irigasi IKLS
A (S1/IP300) Dataran alluvial, topografi datar Aluvial,Grumusol (Epiaquepts, Epiaquerts)
Baik Cukup berkelanjutan
B (S1/IP200) Dataran alluvial-volkanik, topografi datar-berombak
Alluvial, Grumusol (Epiaquepts, Epiaquerts)
Sedang-Baik Cukup berkelanjutan
C (S1/IP100) Dataran alluvial volkanik, topografi datar-berombak
Aluvial (Epiaquerts) Tadah hujan Cukup berkelanjutan
D (S2/IP300) Dataran sedimen tufa, topografi berombak-bergelombang
Latosol , Podsolik (Epiaqualfs, Epiaquults)
Baik Cukup berkelanjutan
E (S2/IP200) Dataran sedimen tufa, topografi berombak-bergelombang
Podsolik (Epiaquults) Sedang-Baik Kurang berkelanjutan
F (S2/IP100) Dataran sedimen tufa, topografi berombak-bergelombang
Latosol (Epiaqualfs) Podsolik (Epiaquults)
Tadah hujan Kurang berkelanjutan
G (S3/IP300) Dataran volkanik, topografi bergelombang-berbukit
Latosol (Eutrudepts)
Baik Cukup berkelanjutan
H (S3/IP200) Lereng volkanik, topografi bergelombang-berbukit
Latosol (Eutrudepts) Regosol (Udipsamments)
Sedang-Baik Cukup berkelanjutan
I (S3/IP100) Dataran hillok berbatuan sedimen tuf
Podsolik (Dystrudepts)
Tadah hujan Kurang berkelanjutan
H (S3/IP300), nilai indeks terendah ditunjukkan oleh faktor ekonomi (50%).
Beragamnya nilai indeks tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengaruh faktor
biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya terhadap keberlanjutan lahan sawah berbeda-
beda, tergantung pada karakteristik lahan zona agroekologinya yang dicerminkan
oleh indikator dari setiap faktor.
5.4.1.1 Faktor Biofisik
Indikator utama faktor biofisik yang mempengaruhi keberlanjutan lahan
sawah diilustrasikan pada Gambar 56a, 56b, 56c. Berdasarkan hasil analisis
diskriminan (Tabel 34), indikator utama faktor biofisik yang mengancam
keberlanjutan lahan sawah (nilai koefisien diskriminan negatif) di zona
agroekologi yang telah dipetakan umumnya berbeda-beda (Tabel 36). Dari
aspek tanah, indikator C-organik (rata-rata 1.29%), N-total (rata-rata 0.13%), P-
tersedia (rata-rata 9.14 ppm), dan K-tersedia (rata-rata 100.45 ppm) mengancam
keberlanjutan lahan sawah di semua zona agroekologi. Menurut Pramono (2004),
151
rendahnya kandungan C-organik tanah menunjukkan kondisi tanah sawah sudah
diusahakan lama secara intensif dengan penggunaan pupuk kimia dosis tinggi,
sehingga tanah mengalami gejala sakit. Kondisi ini berakibat tanah menjadi tidak
produktif lagi atau mengalami pelandaian produktivitas karena terganggunya
Tabel 36. Indikator utama faktor biofisik yang mengancam keberlanjutan lahan sawah
Zona Agroekologi
Indikator Utama
A (S1/IP300) Bahaya banjir (β: -0.02), C-organik (β: -0.16) N-total (β: -0.16 ), P-tersedia (β:-0.06), K-tersedia (β: -0.11), K-total (β: -0.71)
B (S1/IP200) Ketersediaan air (β: -0.06), Bahaya banjir (β: -0.23), C-organik (β: -0.24), N-total (β: -0.40), P-tersedia (β: -0.04), K-tersedia (β : -0.34)
C (S1/IP100) Ketersediaan air (β:-7.53), C-organik (β: -0.46), N-total (β:-4.09), K-tersedia (β: -7.53), kondisi irigasi (β:-0.23)
D (S2/IP300) C-organik (β: -2.91), N-total (β: -4.23). P-tersedia (β:-0.07)
E (S2/IP200) Bahaya banjir (β: -0.10), C-organik (β: -1.52), N-total (β:-0.94), P-tersedia (β:-0.15), P-total (β: -0.23), K-tersedia (β: -3.95), K-total (β: -0.20)
F (S2/IP100) Ketersediaan air (β: -0.67), serangan hama dan penyakit tanaman (β: -0.23), C-organik (β: -7.04, N-total (β: -12.40), P-tersedia (β: -0.54), P-total (β: -4.14), K-tersedia (β: -4.05), kondisi irigasi (β: -0.77)
G (S3/IP300) C-organik (β: -0.50), N-total (β: -1.60), P-tersedia (β: -1.73), K-tersedia (β : -2.08)
H (S3/IP200) Ketersediaan air (β: -7.60), C-organik (β: -1.02), N-total (β: -0.15), P-tersedia (β: -6.12), P-total (β: -7.06), K-tersedia (β: -6.96), kondisi irigasi (β: -6.40)
I (S3/IP100) Ketersediaan air (β: -1.17), C-organik (β: -1.32), N-total (β: -0.47). P-tersedia (β: -0.11), P-total (β: - 0.10), K-tersedia (β: -0.02), K-total (β: -0.10), kondisi irigasi (β: -0.150)
Keterangan: β = koefisien diskriminan (disarikan dari fungsi diskriminan pada Tabel 34)
keseimbangan hara tanah. Adiningsih (1992) mengemukakan bahwa indikasi
pelandaian produktivitas lahan sawah disebabkan oleh degradasi kesuburan tanah
dan perubahan fisik akibat reaksi fisiko-kimia tanah sawah. Berdasarkan data
BPS (2001-2008), pelandaian produktivitas lahan sawah mencapai 52,48 kw/ha
(Gambar 59). Menurut Mulyanto et al. (2000), rendahnya kandungan C-
organik tanah sawah karena dikonsumsi oleh mikroorganisma tanah untuk
152
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Ketersediaan air
Tingkat Salinitas
Bebas Banjir
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
C-organik
N-total
P-tersedia
P-total
K-tersedia
K-total
Nilai Indeks
80%
78%
52%
60%
36%
16%
30%
70%
33%
51%
Indi
kato
r U
tam
a
Zona A (S1/IP300)
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Ketersediaan air
Tingkat Salinitas
Bebas Banjir
C-organik
N-total
P-tersedia
P-total
K-tersedia
K-total
Kondisi irigasi 73%
53% 70%
58% 42%
34% 14%
67%
23% 83%
Nilai Indeks
Indi
kato
r U
tam
a
Zona B (S1/IP200)
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Ketersediaan air
Tingkat Salinitas
Bebas Banjir
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
C-organik
N-total
P-tersedia
P-total
K-tersedia
K-total
Kondisi Irigasi
Nilai Indeks
10% 78%
90% 80%
40%
39% 65%
80%
51% 80%
10%
Indi
kato
r U
tam
a
Gambar 56a. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100)
Zona C (S1/IP100)
153
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Ketersediaan air
Bebas Banjir
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
C-organik
N-total
P-tersedia
P-total
K-tersedia
K-total
Kondisi irigasi
Nilai Indeks
92%
92%
Gambar 56b. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Ketersediaan air
Tingkat Salinitas
Bebas Banjir
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
C-organik
N-total
P-tersedia
P-total
K-tersedia
K-total
Kondisi irigasi
86%
79%
93%
86%
52%
59%
52%
86%
63%
86%
90% In
dika
tor
Uta
ma
Zona D (S2/IP300)
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Tingkat Salinitas
Bebas Banjir
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
C-organik
N-total
P-tersedia
P-total
K-tersedia
K-total
Kondisi irigasi
77%
55%
64% 39%
41%
26%
47%
26%
44%
72%
Indi
kato
r U
tam
a
Zona E (S2/IP200)
50%
17%
25%
27% 54%
50% 26%
8%
Indi
kato
r U
tam
a
Zona F (S2/IP100)
Nilai Indeks
Nilai Indeks
154
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Ketersediaan air
Bebas Banjir
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
C-organik
N-total
P-tersedia
P-total
K-tersedia
K-total
Kondisi irigasi
Indi
kato
r U
tam
a
Nilai Indeks
Zona I (S3/IP100)
28%
33%
40%
25%
40%
4%
26%
60%
96% 4%
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Ketersediaan air
Tingkat Salinitas
Bebas Banjir
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
C-organik
N-total
P-tersedia
P-total
K-tersedia
K-total
Kondisi irigasi
Zona H (S3/IP200)
Nilai Indeks
Indi
kato
r U
tam
a
56% 78%
93%
66%
39%
35%
34% 54%
28% 67%
56%
Nilai Indeks 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Ketersediaan air
Tingkat Salinitas
Bebas Banjir
Bebas Hama dan Penyakit Tanaman
C-organik
N-total
P-tersedia
P-total
K-tersedia
K-total
Kondisi irigasi
Indi
kato
r U
tam
a
97% 77%
82%
91%
55% 40%
40%
76%
45%
81% 96%
Zona G (S1/IP300)
Gambar 56c. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor biofisik zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100)
155
proses mineralisasi, penguapan dalam bentuk gas karbondioksida (CO2) dan gas
metan (CH4). Rendahnya kandungan C-organik tanah mengakibatkan unsur hara
N menjadi rendah karena suplai N pada tanah sawah salah satunya berasal dari
proses mineralisasi bahan organik oleh mikroba tanah tertentu yang menghasilkan
amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-) (Prasetyo et al., 2004). Adiningsih et al.
(2004) menambahkan bahwa rendahnya kandungan C-organik tanah dapat
mengakibatkan penurunan efisiensi pemupukan P. Rendahnya ketersediaan unsur
hara P, menurut Sofyan et al. (2000) karena sebagian besar terikat dalam tanah.
Efisiensi pemupukan P pada tanah sawah sangat rendah, hanya sekitar 10-
20% dari jumlah pupuk yang diberikan. Rendahnya ketersediaan unsur hara K
bisa dimaklumi karena sifat inheren kation K+ ini yang monovalen, sehingga
mudah hilang tercuci oleh air. Selain itu, seperti yang dijelaskan oleh Krauskopf
(1979), kation K+ hasil pelapukan mineral primer (K-feldspar) terikat cukup
kuat pada permukaan lapisan-lapisan Si-tetrahedron mineral liat (illit dan
muskovit) yang bermuatan negatif. Ketersediaan unsur hara K rata-rata 100 ppm
yang terukur dalam penelitian ini sebenarnya cukup memenuhi kebutuhan unsur
hara K yang diperlukan oleh tanaman padi sawah karena cadangan unsur hara K
(K-total) tanah sawah di semua zona agroekologi cukup tinggi (> 400 ppm).
Kelangsungan ketersediaan unsur hara K ini juga didukung oleh kearifan lokal
petani dalam pengolahan tanah sawah dengan cara mencangkul atau membajak
tanah sawah (sapi bajak) yang membalikkan lapisan olah pada kedalaman 20 – 30
cm sebagai tempat terakumulasinya unsur hara K yang tercuci dari lapisan atas.
Menurut Poniman (1989), pengolahan tanah sawah dengan sapi bajak atau
mencangkul merupakan ciri khas budaya padi di Jawa dan Bali karena kondisi
tanahnya yang berbahan induk bahan volkan.
Indikator utama lainnya yang berperan sebagai faktor penghambat
keberlanjutan lahan sawah adalah ketersediaan air dan atau kondisi irigasi.
Ancaman kedua indikator tersebut terjadi di zona C (S1/IP100), F (S2/IP100),
dan I (S3/IP100), yang ada di daerah provinsi Banten (467 ha; 0.01%),
Jawa Barat (64,156 ha; 1.80%), Jawa Tengah (36,926 ha; 1.03% ), D.I
Yogyakarta (9,251 ha; 0.26%) , dan Jawa Timur (22,147 ha; 0.63%). Ancaman
indikator ketersediaan air dan kondisi irigasi ini bisa dimaklumi, mengingat
156
ketiga zona agroekologi tersebut merupakan sawah tadah hujan dengan
agroklimat tipe C3 dan D3 yang memiliki periode bulan basah 3–6 bulan.
Prediksi suplai air dan kebutuhan air tanaman padi sawah varietas
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
A (S1/IP
300)
B (S1/IP
200)
C (S1/I
P100)
D (S2/I
P300)
E (S2/IP
200)
F (S2/I
P100)
G (S3/I
P300)
H (S3/I
P200)
I (S3/I
P100)
Zona Agroekologi
Pers
en (%
)
C-organik
N-total
Gambar 57. Kandungan unsur hara C-organik dan N-total di setiap zona agroekologi lahan sawah di Jawa
0.000.501.001.502.002.503.003.504.00
A (S1/IP
300)
B (S1/IP
200)
C (S1/I
P100)
D (S2/I
P300)
E (S2/IP
200)
F (S2/I
P100)
G (S3/I
P300)
H (S3/I
P200)
I (S3/I
P100)
Zona Agroekologi
Ting
kat K
andu
ngan
Har
a
P-tersediaP-totalK-tersediaK-total
Gambar 58. Tingkat kandungan unsur hara P dan K di setiap zona agroekologi lahan sawah di Jawa (n = 624, α = 4%)
P-tersedia (ppm) – P2O5 Skor 0 – 1 : sangat rendah (< 10) Skor 1 – 2 : rendah ( 10 – 15) Skor 2 – 3 : sedang (16 – 25) Skor 3 – 4 : tinggi (26 – 35)
P-total (mg/100g) – P2O5 Skor 0 – 1 : sangat rendah (< 10) Skor 1 – 2 : rendah ( 10 –20) Skor 2 – 3 : sedang (21 – 40) Skor 3 – 4 : tinggi (41 – 60)
K-tersedia (mg/100g) – K2O Skor : 0 – 1 : sangat rendah (< 5) Skor : 1 – 2 : rendah ( 5 - 10) Skor : 2 – 3 : sedang (11 - 15) Skor : 3 – 4 : tinggi (16 – 25)
K-total (mg/100g) – K2O Skor : 0 – 1 : sangat rendah (< 10) Skor : 1 – 2 : rendah ( 10 – 20) Skor : 2 – 3 : sedang (21 - 40) Skor : 3 – 4 : tinggi (41 - 60)
Sumber: CSR/FAO Staff (1983)
Keterangan:
157
Ciherang yang dominan ditanam di Jawa, seperti pada Tabel 37,
menunjukkan bahwa pada musim hujan (musim tanam), suplai air sekitar 8.4 –
9.7 juta liter/ha di ketiga zona agroekologi ini masih cukup untuk memenuhi
kebutuhan air yang diperlukan oleh tanaman padi sawah varietas Ciherang, yaitu
sekitar 8.0 – 9.2 juta liter/ha. Selain pada ketiga zona tersebut, indikator
ketersediaan air juga cukup berpotensi mengancam keberlanjutan lahan sawah di
Jawa karena sebagian besar zona agroekologi yang didominasi oleh zona B
(S1/IP200) dan H (S3/IP200) memiliki nilai indeks antara 0.53 dan 0.54, yang
mendekati angka batas kritis status ”kurang berkelanjutan”. Ancaman
keberlanjutan lahan sawah tersebut dimungkinkan disebabkan oleh menurunnya
daya dukung sumberdaya air karena peningkatan jumlah penduduk dan perubahan
iklim.
Penelitian yang dilakukan oleh Guritno (2006) menyimpulkan bahwa daya
dukung sumberdaya air di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Jawa
Timur yang berperan sebagai lumbung beras sudah terlampaui. Terlampauinya
daya dukung sumberdaya air tersebut ditunjukkan oleh indikator bahaya
banjir yang sering menimpa di beberapa wilayah di Jawa. Dalam penelitian ini,
indikator bahaya banjir mengancam keberlanjutan lahan sawah yang ada di zona
A (S1/IP300) dan zona B (S1/IP200), yang cakupannya cukup luas (sekitar 2 juta
ha) Kejadian banjir yang sering terjadi merupakan banjir genangan di dataran
0
10
20
30
40
50
60
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Pro
dukt
ivita
s (k
w/h
a)
Gambar 59. Produktivitas lahan sawah di Jawa (2001 – 2008) (Sumber data: BPS, 2008)
158
Tabel 37. Prediksi suplai air dan kebutuhan air tanaman padi sawah varietas Ciherang di Jawa
Zona Agroekologi
Tipe Agroklimat1)
Curah Hujan Efektif 2)
(mm/musim)
Tipe Irigasi
Debit Air Irigasi3)
(l/det/ha)
Suplai Air per Musim
4)
(liter/ha)
Kebutuhan Air
per Musim5)
( liter/ha) A
(S1/IP300) A1, B1, B2 1,040
Teknis 10 105,440,000
9,187,724
B
(S1/IP200) B3 1,000
Teknis 5 57,520,000
9,187,724
C
(S1/IP100) D3 968
Tadah hujan
0 9,680,000
9,187,724
D (S2/IP300)
A1,B1,B2 1,032
Teknis 10 105,360,000
8,607,768
E (S2/IP200)
C3 960
Teknis 5 57,120,000
8,607,768
F (S2/IP100)
D3 888
Tadah hujan
0 8,880,000
8,607,768
G (S3/IP300)
A1,B1, B2 1,020
Teknis 10 105,240,000
7,982,026
H (S3/IP200)
C3 920
Teknis 5 56,720,000
7,982,026
I. (S3/IP100)
D3 840
Tadah hujan
0 8,400,000
7,982,026
banjir atau banjir bandang di daerah perbukitan dari daerah aliran sungai (DAS)
bagian hulu; seperti yang terjadi di kecamatan Panti, kabupaten Jember (provinsi
Jawa Timur), kecamatan Sidareja, kabupaten Cilacap (provinsi Jawa Tengah),
dan kecamatan Kibin, kabupaten Serang (provinsi Banten). Masalah banjir di
Jawa salah satunya dipicu oleh penggundulan hutan di DAS bagian hulu seperti
yang sering menimpa daerah persawahan dan permukiman dikecamatan Panti,
kabupaten Jember. Ancaman bencana banjir di daerah ini adalah sebagai akibat
penggundulan hutan oleh masyarakat di wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai )
Bedadung bagian hulu atau lereng atas gunung Argopuro. Penggundulan hutan
diisebabkan oleh adanya kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar
Keterangan: 1) : Berdasarkan peta agroklimat BMG (2008) 2) : Dihitung dengan rumus: 0.80 x CH bulan basah rata-rata pada periode 1998-2007 3) : Berdasarkan peta potensi indikasi air tanah dan daerah irigasi (Departemen PU, 2003) 4) : Dihitung dengan rumus: suplai air irigasi + curah hujan efektif (Arsyad, 2006) 5) : Dihitung berdasarkan konsumsi air padi sawah varietas Ciherang 2.348 liter/kg beras, hasil penelitian Nurrochmad (2007). Lama muism tanam 110 hari. Data produktivitas padi didasarkan pada data BPS (2007), yaitu Zona A (S1/IP300): 6.02 ton/GKG/ ha, zona B (S1/IP200): 6.02 ton GKG /ha, zona C (S1/IP100): 6.02 ton GKG/ha, zona D (S2/IP300): 5.64 ton GKG /ha, zona E (S2/IP200: 5.64 ton GKG/ha, zona F (S2/IP100): 5.64 ton GKG/ha, zona G (S3/IP300): 5.02 ton GKG /ha, zona H (S3/IP200): 5.02 ton GKG/ha, zona I (S3/IP100): 5.02 ton GKG/ha. Angka rendemen padi sawah 65 %.
159
wilayah DAS Bedadung bagian hulu tersebut (Tenure dan Huma, 2008). Hasil
kajian perubahan penutup lahan dengan citra satelit ETM yang dilakukan oleh
LAPAN (2006) menunjukkan bahwa lahan di DAS Bedadung bagian hulu
didominasi oleh tanaman semusim dan semak belukar yang tidak memiliki daya
serap air baik dan perakarannya kurang dalam. Arsyad (2006) menjelaskan
bahwa penggundulan hutan mengakibatkan hilangnya penutup vegetasi yang
berperan menekan laju aliran permukaan atau meningkatkan infiltrasi tanah.
Sampai saat ini, lahan di DAS Bedadung bagian hulu tersebut masih kritis,
sehingga sewaktur-waktu pada musim hujan bencana banjir berpotensi merusak
daerah permukiman, tanaman padi dan infrastruktur jaringan irigasi di zona B
(S1/IP200) dan G (S3/IP300) yang terletak di bagian hilir DAS Bedadung atau
lereng bawah gunung Argopuro. Ancaman bencana banjir terhadap keberlanjutan
sawah ini nampaknya masih memerlukan kewaspadaan karena tendensi frekwensi
kejadian banjir per tahun diprediksi masih cukup tinggi (Gambar 60).
Selain disebabkan oleh penggundulan hutan di DAS bagian hulu, masih
maraknya kejadian banjir di Jawa dimungkinkan disebabkan oleh perubahan iklim.
Susandi (2009) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa perubahan iklim di
Indonesia telah terjadi, yang ditandai dengan munculnya fenomena cuaca ekstrim,
badai tropis yang semakin sering, dan pergeseran musim. Pergeseran musim
dapat mengakibatkan musim hujan memendek/musim kemarau memanjang atau
musim hujan memanjang/musim kemarau memendek. Seperti yang diperlihatkan
pada Gambar 61, sebagian besar wilayah di Jawa telah mengalami pergeseran
musim 0.1 – 1.5 hari per tahun. Apabila musim hujan menjadi lebih panjang,
0
5
10
15
20
25
30
1997 1998 1999 2000' 2001 2002
Tahun
Frek
uens
i Ban
jir/th
Kejadian aktualTendensi kejadian
Gambar 60. Tendensi perubahan frekuensi banjir di Jawa (Guritno, 2006)
160
petani dimungkinkan diuntungkan karena ketersediaan air untuk menanam padi
menjadi surplus. Sebaliknya, apabila musim kemarau menjadi lebih panjang,
petani akan mengalami kesulitan air untuk menanam padi. Memanjangnya musim
kemarau sebagai dampak perubahan iklim ini diduga juga ikut memicu terjadi
keterbatasan air yang sering menimpa lahan sawah di Jawa.
Terjadinya fenomena yang terakhir ini ada yang direspon secara cerdas oleh para
petani di kabupaten Bantul, provinsi DI. Yogyakarta (Gambar 62). Kearifan lokal
petani di daerah ini berupaya untuk tetap dapat melakukan usahatani dengan
menanam tanaman palawija (kacang tanah ) dan hortikultura (bawang merah) di
lahan sawah pada musim kemarau, yaitu dengan membuat sumur untuk pengairan
tanaman. Pengambilan air sumur dilakukan dengan ditimba dan disalurkan
melalui parit-parit kecil. Penyiraman tanaman dilakukan dengan menggunakan
gayung yang terbuat dari tempurung buah kelapa. Penggunaan penaung daun
kelapa dimaksudkan untuk mengurangi evapotranspirasi persemaian bibit
tanaman. Cara cerdas yang dilakukan oleh petani Bantul tersebut merupakan
contoh sederhana adaptasi terhadap perubahan iklim yang dapat dijadikan contoh
oleh petani di daerah lain dalam menyikapi kelangkaan air untuk bertani.
Dalam penelitian ini, indikator yang berperan sebagai faktor pendorong
keberlanjutan lahan sawah di sebagian besar zona agroekologi, seperti zona B
(S1/IP200) dan H (S3/IP200) adalah tingkat salinitas yang rendah atau bebas
bahaya salinitas (faktor loading: 0.76 – 0.79; nilai indeks:70% – 78%), kandungan
Gambar 61. Kecenderungan perubahan panjang musim (Susandi, 2009)
0.1-0.3 hari per tahun 0.4-0.6 hari per tahun 0.7-0.9 hari per tahun 1.0-1.2 hari per tahun 1.3-1.5 hari per tahun
0.1-0.3 hari per tahun 0.4-0.6 hari per tahun 0.7-0.9 hari per tahun 1.0-1.2 hari per tahun 1.3-1.5 hari per tahun
Tetap
161
unsur hara K-total (faktor loading: 0.81 – 0.92 nilai indeks: 67% – 92%), dan
kandungan unsur hara P-total (faktor loading: 0.77 – 0.83; nilai indeks: 54% –
67%). Bebas dari bahaya salinitas disebabkan oleh genesa bentuklahan yang ada
terbentuk dari proses volkanik dan fluvial, bukan proses marin. Tingginya unsur
hara K di daerah penelitian ini diduga disebabkan oleh bahan induk tanah berasal
dari batuan volkanik andesitik. Mohr (1944) menunjukkan bahwa batuan volkan
di seluruh Jawa sebagian besar bersifat intermedier (andesitik atau andesitik
basaltik) dengan kandungan silika (SiO2) berkisar 49,95 hingga 59,91%.
Menurut Krauskopf (1979) dan Sarwono (2003), unsur hara K dalam tanah
bersumber dari mineral feldspar (ortoklas) yang bersifat felsik atau masam.
Gambar 62 Contoh kearifan lokal petani untuk tetap dapat bertani pada musim kemarau (Lokasi desa Parangtritis, kecamatan Kretek, kabupaten Bantul, provinsi DI. Yogyakarta, tanggal 15 Agustus 2009)
b) Sumur untuk pengairan tanaman a) Gayung dari tempurung kelapa untuk menyiram tanaman
c) Parit untuk pengairan d) Naungan untuk mengurangi evapotranspirasi tanaman
162
kandungan hara P-total yang tinggi diprediksi merupakan hasil akumulasi
pemupukan P yang telah berlangsung lama.
5.4.1.2 Faktor Ekonomi
Pengaruh indikator utama terhadap keberlanjutan lahan sawah diilustrasikan
pada Gambar 63a, 63b, 63c. Berdasarkan koefisisan diskriminan yang bernilai
negatif (Tabel 34), indikator utama faktor ekonomi yang mengancam
(penghambat) keberlanjutan lahan sawah umumnya meliputi indikator
keuntungan, modal usahatani, akses pupuk , dan potensi konversi lahan (Tabel
38). Dari keempat indikator utama tersebut, indikator modal usahatani dan akses
pupuk sensitif mempengaruhi keberlanjutan lahan sawah di semua zona
agroekologi. Hasil wawancara dengan petani memperlihatkan bahwa sebagian
besar para petani memperoleh keuntungan pas-pasan (42%) dan rugi (22%).
Yang mengaku memperoleh keuntungan layak hanya sekitar 36 %. Selain itu,
sebagian besar petani juga mengeluh kekurangan modal (54%) dan kesulitan
memperoleh pupuk (63%) (Gambar 64).
Masalah perolehan keuntungan rendah berkaitan dengan ketimpangan
penguasaan dan fragmentasi lahan. Sempitnya lahan garapan mengakibatkan
proses produksi tidak efisien, sehingga keuntungan yang diperoleh petani bersifat
marginal karena hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya produksi yang
dikeluarkan. Berdasarkan data BPS (2008b), kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP)
rata-rata di Jawa dari tahun 2004 – 2007 hanya sekitar 4%, yang tidak sebanding
dengan kenaikan nilai inflasi setiap tahun sekitar 10%. Kenaikan NTP tersebut
tidak merata di semua wilayah. Nilai NTP tertinggi dicapai di provinsi D.I
Yogyakarta: 122.73 – 127.67, kemudian menyusul secara berurutan provinsi Jawa
Barat: 117.11 – 116.78, Jawa Tengah 91.42 – 103.12, Jawa Timur: 87.78 –
101.64 (Gambar 65). Nilai NTP tersebut menunjukkan usahatani padi sawah
kurang memberikan keuntungan yang layak karena produksinya tidak efisien.
Inefisiensi produksi tersebut dimungkinkan disebabkan oleh harga padi penetapan
pemerintah (HPP) masih relatif rendah dan subsidi yang diberikan kepada petani
masih belum memadai. Pada saat survei dilakukan, harga padi GKG (Gabah
Kering Giling) dari HPP adalah sekitar Rp 2,500,-/kg. Kondisi ini diperparah
163
Tabel 38. Indikator utama faktor ekonomi yang mengancam keberlanjutan lahan sawah
Zona Agroekologi
Indikator Utama
A (S1/IP300) Keuntungan (β: -0.16), modal usahatani (β: -0.01), akses pupuk (β: -1.24)
B (S1/IP200) Modal usahatani (β: -0.16), akses pupuk (β : -0.24), potensi konversi lahan (β: -0.20)
C (S1/IP100) Keuntungan (β:-0.16), modal usahatani (β: -0.09), akses pupuk (β: -0.24)
D (S2/IP300) Keuntungan (β: -3.23), modal usahatani (β: -0.87), akses pupuk (β: -0.89), potensi konversi lahan (β: -0.65)
E (S2/IP200) Keuntungan (β: -0.09), modal usahatani (β: -0.45), akses pupuk (β: -0.78), potensi konversi lahan (β: -0.40 )
F (S2/IP100) Keuntungan (β: -2.59), modal usahatani (β: -1.46 ), akses pupuk (β: - 0.78)
G (S3/IP300) Keuntungan (β: -4.28), modal usahatani (β: -1.23 ), potensi konversi lahan (β: -1.67)
H (S3/IP200) Keuntungan (β: -0.78), modal usahatani (β: -1.02), akses pupuk (β: -0.63)
I (S3/IP100) Keuntungan (β: -0.64), modal usahatani (β: -10.27), akses pupuk (β: -0.23).
Keterangan: β = koefisien diskriminan (disarikan dari fungsi diskriminan pada Tabel 34)
oleh sulitnya petani untuk memperoleh pupuk dan kecilnya modal yang
mereka miliki. Berdasarkan hasil wawancara dengan para petani di beberapa
daerah persawahan di semua provinsi, kesulitan memperoleh pupuk disebabkan
oleh tidak dijualnya pupuk di pasar bebas. Petani hanya dapat membeli di
kelompok tani (Poktan) yang ada. Ironisnya, tidak semua wilayah pertanian
lahan sawah memiliki Poktan yang dapat melayani kebutuhan pupuk para petani.
Pada kondisi demikian, banyak diantara para petani dengan terpaksa membeli
pupuk dengan harga mahal. Kesulitan petani yang demikian serius ini, menurut
Irawan et al. (2004), disebabkan oleh sifat multifungsi lahan sawah yang
dikategorikan sebagai barang publik, sehingga nilai manfaat jasa petani lahan
sawah tidak dinilai dalam mekanisme pasar (market failure) dan dalam banyak hal
kurang memberikan keuntungan yang layak karena produksinya tidak efisien.
Inefisiensi terabaikan dalam pengambilan keputusan. Keengganan pemerintah
tetap memberikan harga patokan padi yang relatif rendah karena beras merupakan
komoditi politik yang mengorbankan kepentingan petani demi untuk meredam
gejolak sosial yang dapat membahayakan kestabilan keamanan nasional.
164
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Keuntungan
Modal usahatani
Akses pupuk
Konversi lahan
Fasilitas pascapanen
Pemasaran
49%
44%
48%
64%
67%
66%
Nilai Indeks
Indi
kato
r U
tam
a
Zona A (S1/IP300)
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Modal usahatani
Akses pupuk
Konversi lahan
Fasilitas pascapanen
Pemasaran
Nilai Indeks
38%
41%
Zona B (S1/IP200)
Indi
kato
r U
tam
a
31%
76%
79%
0,10
0,35
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Keuntungan
Modal usahatani
Akses pupuk
Konversi lahan
Fasilitas pascapanen
Pemasaran
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Keuntungan
Modal usahatani
Akses pupuk
Konversi lahan
Fasilitas pascapanen
Pemasaran
50%
90%
80%
90%
Zona C (S2/IP100)
Indi
kato
r U
tam
a
Nilai Indeks
35%
10%
Gambar 63a. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100)
165
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Keuntungan
Modal usahatani
Akses pupuk
Konversi lahan
Fasilitas pascapanen
Pemasaran
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Keuntungan
Modal usahatani
Akses pupuk
Konversi lahan
Fasilitas pascapanen
Pemasaran
Nilai Indeks
45%
21%
29%
50%
86%
79%
Zona D (S2/IP300) In
dika
tor
Uta
ma
Nilai Indeks
48%
19%
13%
47%
71%
73%
Zona E (S2/IP200)
Indi
kato
r U
tam
a
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Keuntungan
Modal usahatani
Akses pupuk
Konversi lahan
Fasilitas pascapanen
Pemasaran
Nilai Indeks
46%
50%
17%
67%
92%
83%
Zona F (S2/IP100)
Indi
kato
r U
tam
a
Gambar 63b. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)
166
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Keuntungan
Modal usahatani
Konversi lahan
Fasilitas pascapanen
Pemasaran
50%
37%)
31%
82%
68%
Zona G (S3/IP300)
Indi
kato
r U
tam
a
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Keuntungan
Modal usahatani
Akses pupuk
Konversi lahan
Fasilitas Pascapanan
Pemasaran
Indi
kato
r U
tam
a
Nilai Indeks
Zona H (S3/IP200)
47%
48%
23%
64%
59%
59%
Nilai Indeks
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Keuntungan
Modal usahatani
Akses pupuk
Konversi lahan
Fasilitas pascapanen
Pemasaran
Indi
kato
r U
tam
a
Zona I (S3/IP300)
40%
32%
28%
60%
68%
64%
Nilai Indeks
Gambar 63c. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100)
167
Dalam penelitian ini, ancaman keberlanjutan yang disebabkan oleh konversi
lahan didekati dengan data tingkat harga tanah sawah yang terletak disekitar jalan
arteri. Seperti pada Tabel 37, indikator potensi konversi lahan pada zona B
(S1/IP200) yang mendominasi lahan sawah di Jawa (KD: -0.20) berperan sebagai
faktor penghambat. Timbulnya ancaman konversi lahan tersebut
dimungkinkan disebabkan oleh status kepemilikan lahan yang pada umumnya
Gambar 65. Nilai Tukar Petani (NTP) di Jawa periode 2004 – 2007 (Sumber data: BPS, 2008)
0
20
40
60
80
100
120
140
2004 2005 2006 2007
Tahun
NTP
(%)
DI. YogyakartaJawa BaratJawa TengahJawa TimurRata-rata
Gambar 64. Indikator penghambat keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi (n = 624, α = 4%)
05
1015202530354045
Sangat rugi Rugi Pas-pasan Untung Sangat untung
Keuntungan
Pro
po
rsi
(%)
0
10
20
30
40
50
60
Tidak ada Kurang Cukup Besar Sangat besar
Modal Usahatani
Pro
po
rsi
(%)
0
10
20
30
40
50
60
70
Sangat sulit Sulit Sedang Mudah Sangat mudah
Akses Perolehan Pupuk
Pro
po
rsi
(%)
a) Keuntungan petani b) Modal usahatani
c) Akses pupuk
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Sangat Rentan Rentan Sedang Sulit Sangat Sulit
Potensi Konversi
Pro
po
rsi
(%)
d) Potensi konversi lahan
0
20
40
60
80
100
120
140
2004 2005 2006 2007
Tahun
NTP
(%)
DI. YogyakartaJawa BaratJawa TengahJawa TimurRata-rata
168
dikuasai oleh tuan-tuan tanah dari luar wilayah desa dimana lahan sawah
berada. Kondisi ini diperkuat oleh data status penguasaan lahan sawah yang
didominasi oleh petani penggarap. Selain itu, hasil overlay antara peta zona
agroekologi dengan peta pola ruang RTRW (Departemen Pekerjaan Umum, 2003)
mengindikasikan adanya rencana konversi lahan sawah di zona B (S1/IP200)
menjadi kawasan permukiman sebesar ± 296,948 ha (9%). Temuan ini
menguatkan prediksi yang dikemukakan oleh Isa (2006) tentang adanya indikasi
kuat mengenai rencana sistimatis untuk mengkonversi lahan sawah irigasi
menjadi non-sawah melalui mekanisme RTRW provinsi atau kabupaten.
Ancaman konversi lahan sawah menjadi daerah permukiman tersebut harus
dicegah karena konversi lahan sawah dapat menimbulkan berbagai dampak
negatif, seperti degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional, penurunan
pendapatan pertanian dan meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal,
pemubaziran investasi, pengubahan struktur kesempatan kerja, dan pendapatan
komunitas setempat. Selain itu, karena fungsinya secara hidrologis dapat
menahan aliran permukaan dari daerah hulu, hilangnya lahan sawah sangat
dimungkinkan dapat memicu bencana banjir di daerah hilir (Sumaryanto et al.,
2001).
Selain adanya indikator yang berperan sebagai faktor penghambat
keberlanjutan lahan sawah, hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya faktor
pendukung, yaitu indikator fasilitas pascapanen (faktor loading 0.90; nilai indeks
0.76) dan pemasaran (faktor loading 0.80; nilai indeks 0.79). Berdasarkan hasil
survei di lapangan (Gambar 66), lebih dari 95% petani merasa mudah dalam
pengolahan dan pemasaran hasil panen. Dalam pengolahan hasil panen, fasilitas
pengolahan pascapanen hampir tersedia di setiap desa. Dalam hal pemasaran
hasil, para petani juga merasa tidak kesulitan. Mereka dapat menjual hasil
panennya ke Depot Logistik (DOLOG) atau ke tengkulak. Walaupun tidak
mengalami kesulitan untuk menjual hasil panennya, para petani di beberapa
wilayah, seperti daerah-daerah di kabupaten Jember, ada juga yang mengeluh
terhadap peranan DOLOG yang belum optimal untuk membeli hasil panen,
apabila dibandingkan dengan penjualan ke tengkulak. Banyak diantara petani
169
menjual padi hasil panennya kepada tengkulak pedagang beras dari kota-kota
besar seperti Surabaya. Para petani merasa lebih senang menjual hasil panennya
ke tengkulak daripada ke DOLOG karena tengkulak berani membeli hasil
panen petani dengan harga melebihi harga HPP. Hasil temuan ini bermakna
bahwa peranan DOLOG dalam membeli hasil panen petani perlu dikaji oleh
pihak-pihak terkait. Peranan DOLOG sebagai lembaga pemerintah harus
dioptimalkan dalam menampung hasil panen agar para petani sebagai pelaku
utama produsen beras tetap bersemangat melakukan usahatani padi sawah.
5.4.1.3 Faktor Sosial-Budaya
Pengaruh indikator utama terhadap keberlanjutan lahan sawah yang
dicerminkan oleh nilai indeks diilustrasikan pada Gambar 67a, 67b, 67c.
Berdasarkan koefisien diskriminan yang bernilai negatif (Tabel 34), indikator
0
10
20
30
40
50
60
Sangat Sulit Sulit Sedang Mudah Sangat Mudah
Akses Pemasaran
Pro
pors
i (%
)
0
10
20
30
40
50
60
Sangat Kurang Kurang Cukup Banyak Sangat Banyak
Ketersediaan
Prop
orsi
(%)
a) Pemasaran
b) Fasilitas pascapanen
Gambar 66. Indikator pendukung keberlanjutan lahan sawah dari faktor ekonomi , a dan b (n = 624, α = 4%)
170
utama dari faktor sosial-budaya yang mengancam keberlanjutan lahan sawah
adalah persepsi terhadap harga padi HPP, fragmentasi lahan, penguasaan lahan,
pendidikan petani, usia petani, dan budaya lokal (Tabel 39). Indikator utama
tersebut mempengaruhi keberlanjutan lahan sawah di zona agroekologi yang
berbeda-beda. Indikator utama yang mengancam keberlanjutan lahan sawah di
semua zona agroekologi meliputi indikator penguasaan lahan, pendidikan petani,
dan usia petani. Indikator persepsi terhadap harga padi HPP mengancam
keberlanjutan lahan sawah di semua zona agroekologi, kecuali di zona A
(S1/IP300). Indikator fragmentasi lahan mengancam keberlanjutan lahan sawah
di zona A (S1/IP300), C (S1/IP100), D(S2/IP300), G (S3/IP300), H (S3/IP200),
Tabel 39. Indikator utama faktor sosial-budaya yang mengancam keberlanjutan lahan sawah
Zona Agroekologi
Indikator Utama
A (S1/IP300) Penguasaan lahan (β: -1.64), fragmentasi lahan (β: -0.05), pendidikan petani (β: -0.08), usia petani (β: - 0.17), budaya lokal (β: - 0.50)
B (S1/IP200) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.03), penguasaan lahan (β: -0.60), pendidikan petani (β: -0.24), usia petani (β: -0.23)
C (S1/IP100) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.80), penguasaan lahan (β: -0.70), fragmentasi lahan (β:-0.05 ), pendidikan petani (β: -0.27), usia petani (β: -0.23)
D (S2/IP300) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.85), penguasaan lahan (β: -0.71), fragmentasi lahan (β: -0.15), pendidikan petani (β:-0.21 ), usia petani (β: -0.25), budaya lokal (β: -0.66)
E (S2/IP200) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.45), penguasaan lahan (β: -0.62), pendidikan petani (β: -1.18), usia petani (β: -0.75)
F (S2/IP100) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -1.45), penolakan konversi lahan (β: -0.33), keanggotaan dalam Poktan (β: -0.41), peranan penyuluhan (β: -0.23), penguasaan lahan (β:-0.45), pendidikan petani (β: -0.33), usia petani (β: -0.44)
G (S3/IP300) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -0.15), penguasaan lahan (β: -1.52), fragmentasi lahan (β: -5.75). pendidikan petani (β: -0.94), usia petani (β: -0.01), budaya lokal (β: -0.34)
H (S3/IP200) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -4.24), penguasaan lahan (β : -1.55), fragmentasi lahan (β: -1.61), usia petani (β: -0.81)
I (S3/IP100) Persepsi terhadap harga padi HPP (β: -3.50), penolakan konversi lahan (β: -2.13), pengusaaan lahan (β: -5.18), fragmentasi lahan (β: -2.74). pendidikan petani (β: -0.51), usia petani (β: -0.31)
Keterangan: β = koefisien diskriminan (disarikan dari fungsi diskriminan pada Tabel 34)
171
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Motivasi bertani
Penolakan konversi lahan
Keanggotaan dalam Poktan
Adopsi teknologi
Peranan penyuluhan
Penguasaan lahan
Fragmentasi lahan
Pendidikan petani
Usia petani
Budaya lokal
Nilai Indeks
60%
74%
71%
62%
72%
50%
17%
34%
47%
38%
Zona A (S1/IP300) In
dika
tor
Uta
ma
Nilai Indeks
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Motivasi Bertani
Persepsi terhadap harga padi HPP
Penolakan konversi lahan
Keanggotaan dalam Poktan
Adopsi teknologi
Peranan penyuluhan
Penguasaan lahan
Fragmentasi lahan
Pendidikan petani
Usia petani
Budaya lokal
Nilai Indeks
Indi
kato
r U
tam
a
Zona C ( S1/IP100)
80% 10%
90%
80%
90%
80%
10%
46% 13%
50%
90%
Gambar 67a. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100)
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Motivasi bertani
Persepsi terhadap harga padi HPP
Penolakan konversi lahan
Keanggotaan dalam Poktan
Peranan penyuluhan
Penguasaan lahan
Pendidikan petani
Usia petani
Budaya lokal
Indi
kato
r U
tam
a
Zona B (S1/IP200)
66% 27%
35%
47% 63%
60% 74%
50% 74%
172
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Motivasi bertani
Persepsi terhadap harga padi HPP
Penolakan konversi lahan
Adopsi teknologi
Penguasaan lahan
Pendidikan petani
Usia petani
Budaya lokal
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Motivasi bertani
Persepsi terhadap harga padi HPP
Penolakan konversi lahan
Keanggotaan dalam Poktan
Adopsi teknologi
Peranan penyuluhan
Penguasaan lahan
Fragmentasi lahan
Pendidikan petani
Usia petani
Budaya lokal
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Motivasi bertani
Persepsi terhadap harga padi HPP
Penolakan konversi lahan
Keanggotaan dalam Poktan
Adopsi teknologi
Peranan penyuluhan
Penguasaan lahan
Fragmentasi lahan
Pendidikan petani
Usia petani
Budaya lokal
Zona D ( S2/IP300)
Indi
kato
r U
tam
a
Nilai Indeks
7%
86%
14% 79%
71%
61%
86%
29%
44%
36%
49%
Nilai Indeks
Indi
kato
r U
tam
a
Zona E ( S2/IP200)
93% 2%
71%
77% 12%
37%)
48%
64%
83% 42%
17% 67%
17%
33% 65%
17% 47%
92%
Indi
kato
r U
tam
a
Zona F ( S2/IP100)
Nilai Indeks
Gambar 67b Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100)
54%
173
Nilai Indeks
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Motivasi bertani
Respon harga padi HPP
Penolakan konversi lahan
Keanggotaan dalam Poktan
Adopsi teknologi
Peranan penyuluhan
Penguasaan lahan
Fragmentasi lahan
Pendidikan petani
Usia petani
Budaya lokal
Indi
kato
r U
tam
a
Nilai Indeks
Zona G( S3/IP300)
6%
66%
68%
69%
90%
47%
26%
45%
46%
46%
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Motivasi bertani
Persepsi terhadap harga padi HPP
Penolakan konversi lahan
Keanggotaan dalam Poktan
Adopsi teknologi
Peranan penyuluhan
Penguasaan lahan
Fragmentasi lahan
Usia petani
Budaya lokal
Nilai Indeks
Indi
kato
r U
tam
a
Zona H( S3/IP200)
64%
21% 63%
69%
78%
86% 49%
30% 49%
68%
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Motivasi bertani
Persepsi terhadap harga padi HPP
Penolakan konversi lahan
Keanggotaan dalam Poktan
Adopsi teknologi
Peranan penyuluhan
Penguasaan lahan
Fragmentasi lahan
Pendidikan petani
Usia petani
Budaya lokal
Indi
kato
r U
tam
a
Zona I ( S3/IP100)
72% 8%
46%
60% 64%
60% 22%
19% 23%
50%
60%
Gambar 67c. Indeks keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100)
94%
174
0102030405060708090
Sangat TidakPuas
Tidak Puas Kurang Puas Puas Sangat Puas
Persepsi Petani
Pro
po
ri (
%)
0
10
20
30
40
50
60
70
Buruh Tani Penggarap Penyewa Pemilik Konglomerasi
Penguasaan Lahan
Pro
po
rsi
(%)
05
101520
2530354045
Sangat Sempit Sempit Sedang Luas Sangat Luas
Fragmentasi Lahan
Pro
po
rsi
(%)
0
10
20
30
40
50
60
70
Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Diploma/Sarjana
Tingkat Pendidikan
Usia
(ta
hu
n)
a) Persepsi terhadap harga padi HPP b) Penguasaan lahan garapan
d) Fragmentasi lahan e) Tingkat pendidikan petani
Gambar 68. Indikator penghambat keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial-budaya: a,b,c,d,e (n = 624, α = 4%)
05
101520
2530354045
Sangat Muda Muda Agak Lanjut Lanjut Sangat Lanjut
Tingkat Usia
Pro
po
sri
(%)
c) Usia petani
D.I. Yogyakarta 374,811
Jawa Timur 3,441,091
Jawa Tengah 3,145,975
Jawa Barat 2,579,063
Banten 430,576
Gambar 69. Distribusi rumah tangga petani gurem di Jawa (Sumber data: BPS, 2004)
175
dan I (S3/IP100). Indikator budaya lokal hanya mengancam keberlanjutan lahan
sawah di zona yang menerapkan IP300, yaitu zona A (S1/IP300), D (S2/IP300),
dan G (S3/IP300). Hasil penelitian tersebut bermakna bahwa pengaruh indikator
sosial-budaya terhadap ancaman keberlanjutan lahan sawah tergantung pada
karakteristik zona agroekologi.
Berdasarkan data hasil wawancara dengan petani, sekitar 81% petani
merasa kurang puas dan tidak puas terhadap harga jual padi HPP (Gambar 68).
Menurut mereka harga padi HPP terlalu rendah. Selain itu, penguasaan lahan
sawah didominasi oleh petani penggarap (sekitar 58%) yang memiliki lahan
garapan sempit (< 0.5 ha) sekitar 49%. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian
tahun 2003 (Gambar 69), jumlah rumah tangga petani gurem (RTPG) di Jawa
mencapai 9.97 juta atau 73% dari jumlah RTPG di Indonesia yang mencapai
13.67 juta (BPS, 2004). Dari jumlah tersebut, sebagian besar RTPG berada di
provinsi Jawa Timur (3.4 juta), Jawa Tengah (3.1 juta), Jawa Barat (2.6 juta),
Banten (0.43 juta), dan DI. Yogyakarta (0.37 juta). Kondisi ini diperparah oleh
tingkat pendidikan petani rendah dan umumnya berusia lanjut.
Data dari hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa sebagian
besar petani di Jawa berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) (79%), berusia agak lanjut hingga lanjut atau
berumur 40- 60 tahun (83%). Kedua ancaman sosial yang terakhir ini
mempengaruhi tingkat profesionalitas usahatani dan keberlanjutannya. Semakin
profesional petani, semakin cerdas petani dalam melakukan bisnis usahatani.
Tingginya usia lanjut ini menunjukkan kurangnya regenerasi petani, yang
dapat mengancam usaha pertanian lahan sawah kekurangan tenaga kerja.
Menurut Mubyarto (1978) seperti yang dikutip oleh Jamal et al. (2002), masalah
penguasaan lahan pertanian yang sempit dan timpang sudah ada sejak awal abad
ke-20 pemerintah Belanda. Tidak terselesaikannya masalah ini hingga saat ini
disebabkan oleh tekanan penduduk yang makin tinggi yang tidak diimbangi
penambahan lahan pertanian. Tambunan (2008) mengemukakan bahwa
pertambahan jumlah penduduk di pedesaan semakin menambah ketimpangan
penguasaan lahan. Jumlah petani gurem atau petani yang tidak memiliki lahan
sendiri atau dengan lahan sangat sempit yang tidak mungkin menghasilkan
176
produksi yang optimal semakin bertambah. Selain itu, terbatasnya lahan pertanian
menjadikan harga jual atau sewa lahan semakin mahal, sehingga hanya sedikit
petani yang mampu membeli atau menyewanya. Menurut Isa (2006),
keberadaan hukum waris menyebabkan terfragmentasinya lahan pertanian,
sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang
menguntungkan.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Sangat Terpaksa Terpaksa Biasa Tinggi Sangat Tinggi
Motivasi Bertani
Pro
po
rsi
(%
)
0
10
20
30
40
50
60
SangatMendukung
Mendukung Biasa Menentang SangatMenentang
Persepsi Petani
Pro
po
rsi
(%)
0
10
20
30
40
50
60
70
Tidak ada Poktan Tidak Aktif Agak Aktif Aktif Sangat Aktif
Keaktifan Petani
Pro
po
rsi
(%)
0
10
20
30
40
50
60
70
Sangat Sulit Sulit Agak Mudah Mudah Sangat Mudah
Adopsi Teknologi
Po
rsi
(%)
a) Motivasi bertani b) Persepsi petani terhadap konversi lahan
d) Keaktifan keanggotaan dalam Poktan
e) Persepsi terhadap adopsi teknologi
Gambar 70. Indikator pendukung keberlanjutan lahan sawah dari faktor sosial- budaya: a,b,c,d,e (n = 624, α = 4%)
010203040
5060708090
Tidak Ada Tidak Berguna Agak Berguna Berguna Sangat Berguna
Peranan Penyuluhan
Pro
po
rsi
(%)
c) Persepsi petani terhadap peranan penyuluhan
177
Indikator yang berperan sebagai faktor pendukung keberlanjutan lahan sawah
meliputi motivasi bertani (faktor loading 0.61 – 0.85, nilai indeks 0.60 – 0.93),
persepsi penolakan konversi lahan (faktor loading 0.66 – 0.99, nilai indeks 54% –
90%), keanggotaan dalam Poktan (faktor loading 0.78 – 0.96, nilai indeks 60% -
80%), adopsi teknologi (faktor loading 0.51 – 0.99, nilai indeks 61% – 90%), dan
peranan penyuluhan (faktor loading 0.57 – 0.98, nilai indeks 60% – 90%). Hasil
survei wawancara dengan para petani menunjukkan bahwa sebagian besar para
petani memiliki motivasi yang tinggi (74%) dan sangat tinggi (17%) untuk
bertanam padi sawah (Gambar 70). Petani yang memiliki motivasi untuk
bertanam padi dalam kategori biasa adalah 8%, yang terpaksa 1%. Motivasi yang
tinggi ini dilatarbelakangi oleh pandangan mereka tentang pentingnya meneruskan
usahatani padi sawah yang telah diwariskan oleh para leluhur. Walaupun
pendapatan dari usaha tani padi sawah yang diperoleh petani, yang sebagian besar
merupakan petani penggarap, adalah relatif rendah, para petani tetap bersemangat
untuk tetap berupaya melakukan usahatani padi sawah. Berdasarkan hasil survei
ini, usahatani padi sawah nampaknya sudah terinternalisi atau menjadi
budaya, sehingga dapat digunakan sebagai suatu aset budaya untuk menjaga
keberlanjutan pertanian lahan sawah. Hasil penelitian ini juga menemukan
indikator budaya lokal ada yang bersifat pendukung atau penghambat
keberlanjutan lahan sawah. Indikator budaya lokal yang berperan sebagai
pendukung keberlanjutan diindikasikan dengan nilai indeks 60% – 92%. Hasil
0
10
20
30
40
50
60
70
IP 100 IP 200 IP 300
Intensitas Pertanaman
Jum
lah
Peta
ni (%
)
Gambar 71. Intensitas pertanaman padi sawah yang diterapkan petani di Jawa (n = 624, α = 4%)
178
survei di lapangan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar
petani padi sawah di Jawa menerapkan penanaman padi dengan IP200 (Gambar
71). Data hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 65% petani padi sawah di Jawa
yang memiliki kearifan lokal dengan menerapkan budaya bertani dengan pola
tanam IP200 (2 kali padi sawah, 1 kali palawija). Kearifan lokal ini diterapkan di
zona B (S1/IP200), dan H (S3/IP200) yang mendominasi cakupan lahan sawah
produktif di Jawa.
Pada pola tanam IP200 (2 kali padi sawah, 1 kali palawija), petani secara
cerdas memberikan waktu istirahat pada tanah untuk restorasi. Pada saat tanah
ditanami tanaman palawija, tanah dalam kondisi kering atau oksidatif. Kyuma
(2004) menjelaskan bahwa pengeringan tanah sawah mengakibatkan ion Fe2+ (ion
ferro) teroksidasi menjadi ion Fe3+ (ion ferri), yang ditunjukkan oleh bercak-
bercak (mottles) warna karat (coklat kekuningan) yang umumnya terbentuk pada
zona perakaran. Bercak-bercak warna karat ini menunjukkan adanya mineral
amorf hematit (Fe2O3.nH2O). Pada saat tanah kondisi kering diari atau terjadi
hujan, senyawa Fe2O3 bereaksi dengan H2O untuk membentuk senyawa ferri
hidrooksida Fe(OH)3, yang mengandung gugusan ion Fe3+ dan OH-. Ion Fe3+
menjadi tercuci dan pH tanah menjadi naik karena meningkatnya ion OH- dalam
larutan tanah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yamazaki (1960, dalam
Kyuma, 2004) menunjukkan bahwa pengairan pada tanah sawah yang
dikeringkan mengakibatkan pH tanah naik dari 5,6 menjadi 6,3. Peningkatan pH
ini seiring dengan peningkatan potensi redoks (Eh).
Pengelolaan tanah sawah dengan menggunakan intesitas penanaman IP200-
PL (Padi, Padi, Palawija) yang umum diterapkan di Jawa juga memungkinkan
tanah terhindar dari ancaman ion Fe2+ yang dapat meracuni tanaman padi. Pada
kondisi pengelolaan tanah dengan intensitas penanaman IP200-PL, reaksi tanah
masih dalam kondisi oksidatif, sehingga masih dimungkinkan ion Fe3+ menjadi
tercuci ketika terjadi hujan atau dilakukan pengairan. Pengurangan ion besi
melalui sistem bera total (IP200-Bera) atau pergiliran dengan tanaman palawija
Fe2O3 + 3H2O
2Fe3+ + 6OH- (tercuci)
179
(IP200-PL) merupakan tindakan bijak dari para petani untuk menjaga
keberlanjutan pertanian lahan sawah.
Kebalikan dari pola tanam IP200, budaya lokal dengan pola tanam IP300 di
zona A (S1/IP300) dan G (S3/IP300) yang banyak dijumpai di desa-desa di
wilayah kecamatan Ajung, Balung, Jelbuk, Mayang, Silo, dan Tanggul tidak
memberi kesempatan tanah beristirahat. Pada kondisi demikian, tanah secara
terus menerus dalam kondisi reduksi. Ponnamperuma (1976) menjelaskan bahwa
pada tanah sawah tergenang, ion Fe3+ tereduksi menjadi ion Fe2+ yang larut
dalam larutan tanah. Penggenangan tanah sawah secara terus menerus
dikhawatirkan terjadi akumulasi ion Fe2+ yang dapat meracuni tanaman. Selain
itu, penggenangan tanah sawah terus menerus diindikasikan dapat menimbulkan
pencemaran tanah, air, dan lingkungan karena efek residu pupuk dan pestisida
secara berlebihan, serta produksi gas rumah kaca (GRK), terutama gas metan
(CH4), nitro oksida (N2O), dan CO2 (Kyuma, 2004; Las, 2006). Munculnya gas
metan pada tanah sawah , menurut Kyuma (2004), dipicu oleh kondisi tanah yang
ekstrim reduktif. Pada kondisi reaksi tanah yang demikian, gas CO2 tereduksi
membentuk gas metan, yang dinyatakan dengan reaksi kimia sebagai berikut:
(1/8) CO2 + H+ + e = (1/8) CH4 (g) + (¼ ) H2O
Dari penjelasan perspektif ilmu tanah tersebut, penerapan IP200 dapat
berperan untuk menjaga tanaman padi sawah agar tidak mengalami keracunan ion
Fe2+ (ion ferro) yang berlebihan apabila tanah sawah digenangi air terus-menerus.
Selain itu, penerapan IP200 juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan
karena emisi gas rumah kaca, yaitu gas metan (CH4), karbondiosida (CO2) dan
nitrooksida (N2O), dari tanah sawah seperti yang dikemukakan oleh Prasetyo et al.
(2004). Pengaruh budaya lokal terhadap proses pedogenesis tersebut tidak
terlepas dari konsep pembentukan tanah yang dikemukakan oleh Jenny (1941),
yang dikatakan bahwa tanah sebagai benda alami tiga dimensi terbentuk dari hasil
interaksi antara iklim, organisma, relief, bahan induk, dan waktu. Pengaruh
budaya dalam konsep pedologi adalah melalui faktor organisma yang mencakup
perilaku manusia. Pengaruh budaya melalui perilaku manusia terhadap proses
pedogenesis ini mencerminkan konsep pedologi dalam lingkup ekologi, yang
dikenal sebagai ekopedologi.
180
Berdasarkan hasil survei di lapangan, pola tanam padi sawah dengan IP300
banyak yang dipaksakan oleh para petani di beberapa daerah kabupaten Jember,
Madiun, Nganjuk (provinsi Jawa Timur), Sragen (provinsi Jawa Tengah), Bantul
(provinsi DI. Yogyakarta); dengan melakukan penyedotan air tanah pada musim
kemarau (Gambar 72). Ketersediaan air di daerah-daerah ini sebenarnya hanya
mampu untuk pola tanam padi sawah dengan IP200. Karena tuntutan kebutuhan
hidup, para petani di daerah-daerah tersebut memaksakan menanam padi pada
musim kemarau, walaupun suplai air dari irigasi tidak mencukupi. Dengan
berbekal pengetahuan yang sederhana, mereka memompa air tanah agar dapat
menanam padi pada musim kemarau, tanpa menyadari dampaknya yang dapat
menimbulkan krisis air karena air tanah berperan sangat vital untuk mendukung
sektor kehidupan lainnya, terutama sektor pemukiman dan industri. Sampai
dengan saat ini, dampak fenomena pemompaan air tanah untuk menanam padi
memang belum menimbulkan krisis persediaan air tanah. Namun demikian,
a) Lokasi: Desa Mojokerto, kecamatan Kedawung, kabupaten Sragen (16 Agustus 2009)
b) Lokasi: Desa Gandul, kecamatan Bagor, kabupaten Nganjuk (26 September 2009)
c) Daerah Parangtritis, kecamatan Kretek kabupaten Bantul (15 Agustus 2009)
d) Lokasi: desa Bagi, kecamatan Madiun kabupaten Madiun (18 Juli 2009)
Gambar 72. Contoh budaya eksploitatif usahatani padi sawah di kabupaten Sragen, Nganjuk, Bantul, dan Madiun (a, b,c,d)
181
budaya lokal petani yang eksploitatif tersebut perlu dicermati agar keseimbangan
ketersediaan air secara sunnatullah melalui siklus hidrologi di daerah aliran
sungai (DAS) dapat terjaga. Penyedotan air tanah mengakibatkan percepatan
penurunan tinggi muka air tanah (water table), sehingga penyedotan air tanah
dalam skala luas dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan air tanah.
Apabila volume pengisian air tanah (ground water recharge) tidak sebanding
dengan volume air yang disedot, maka krisis air dimungkinkan akan terjadi.
Berdasarkan hasil pemetaan neraca sumberdaya air yang dilakukan oleh Suryanto
et al. (2001), neraca air di Jawa pada musim kemarau (Mei – Agustus) pada
umumnya mengalami defisit sebesar 118 – 653 juta m3/th. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Sukrisno dan Warsono (1990) dan Muhammad (1997)
dalam Asdak (2004) menunjukkan bahwa pengambilan air tanah telah dan
sedang memberikan dampak serius terhadap kelangsungan persediaan air tanah di
daerah Bandung dan sekitarnya. Dari tahun 1970 – 1995, pengambilan air tanah
dengan jumlah sumur bor 96 menjadi 2.225 telah mengakibatkan penurunan
produksi air tanah rata-rata dari 0.11 juta m3/th menjadi 0.03 juta m3/th. Hasil
penelitian para ahli tersebut mengisyaratkan perlunya upaya-upaya pengaturan
dari pihak-pihak terkait terhadap pengambilan air tanah untuk pemaksaan pola
tanam padi sawah dengan IP300 pada musim kemarau, agar kekhawatiran
terjadinya krisis persediaan air tidak terjadi. Asdak (2004) mengemukakan
bahwa peningkatan pengambilan air tanah yang tidak direncanakan dengan baik
dan terutama tidak diikuti dengan usaha-usaha konservasi air tanah yang memadai
dapat mengakibatkan terjadinya degradasi dan deplesi sumber-sumber air tanah.
5.4.2 Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah untuk Penataan Ruang
Pada hakekatnya tujuan penataan ruang sebagaimana yang telah
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 2 (UUPR Pasal 2) adalah untuk mewujudkan pembangunan nasional
berkelanjutan di berbagai sektor. Untuk mewujudkan pembangunan pertanian
berkelanjutan, perlindungan lahan pertanian dilakukan dengan melakukan
pengalokasian pemanfaatan ruang (lahan) harus didasarkan pada dukung
lingkungannya. Dalam penelitian ini, IKLS yang dipetakan berdasarkan zona
182
agroekologi dapat digunakan untuk mendeteksi status keberlanjutan lahan sawah
yang sesuai dengan kondisi ekologisnya.
Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, hasil pemetaan IKLS dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar status keberlanjutan lahan di
Jawa termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan, yang dicerminkan oleh nilai
indek indikator utama dari faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya.
Berdasarkan nilai indeks di setiap indikator utama yang berperan sebagai faktor
penghambat, kegunaan nilai IKLS di setiap zona agroekologi dapat digunakan
sebagai basis kajian pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang
dalam rangka mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan. Kegunaan
nilai IKLS berdasarkan hasil kajian pengelolaan sawah dapat berperan untuk
mendukung pelaksanaan penataan ruang, terutama dari aspek pengendaliannya.
5.4.2.1 Faktor Biofisik
Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, indikator utama dari faktor
biofisik yang berperan sebagai faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah
berbeda-beda di setiap zona agroekologi. Hasil kajian pengelolaan lahan sawah
untuk mendukung penataan ruang berdasarkan nilai IKLS di setiap zona
agroekologi lahan sawah disajikan pada Tabel 40. Pada zona A (S1/IP300)
dengan nilai rata-rata IKLS 0,36 (kurang berkelanjutan), permasalahan
keberlanjutan lahan sawah yang ditunjukkan oleh indikator kandungan C-organik,
N-total, P-tersedia, K-tersedia, K-total, serta serangan hama dan penyakit tanaman
dapat diatasi dengan pengelolaan lahan sawah yang menerapkan penambahan
unsur hara berimbang dan pengendalian hama & penyakit tanaman secara terpadu.
Penambahan unsur hara berimbang dapat dilakukan dengan pemupukan organik
dan anorganik secara berimbang. Pengelolaan lahan sawah tersebut bersinergi
dengan penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang dikemukakan oleh
Zaini et al. (2009). Pemupukan organik dilakukan dengan menggunakan bahan
organik berupa sisa tanaman (jerami padi), kotoran hewan, pupuk hijau, dan
kompos (humus). Pengendalian hama & penyakit tanaman secara terpadu
dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah populasi orgasnisma pengganggu
183
tanaman (OPT) yang mengakibatkan tingkat kerusakan tanaman menurut kerugian
ekonomi atau aman tindakan.
Tabel 40. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang
berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari faktor biofisik
ZAELS (Nilai IKLS)
Indikator Utama (Sebagai Faktor Penghambat)
Pengelolaan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang
A (S1/IP300) (IKLS: 0.36)
C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia, K-total, serangan hama dan penyakit tanaman
Penambahan unsur hara berimbang dan pengendalian hama & penyakit tanaman
B (S1/IP200) (IKLS:0.33)
Ketersediaan air, C-organik, N-total, K-tersedia, P-tersedia, kondisi irigasi
Perbaikan irigasi, penambahan unsur hara berimbang, penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumuhan padi
C (S1/IP100) (IKLS:0.30)
Ketersediaan air, C-organik, N-total, K-tersedia, kondisi irigasi
Pembangunan irigasi, penambahan unsur hara berimbang
D (S2/IP300) (IKLS:0.54)
C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia Penambahan unsur hara berimbang
E (S2/IP200) (IKLS:0.49)
Bahaya banjir, C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia, P total, dan K-total
Konservasi tanah dan air, penambahan unsur hara berimbang
F (S2/IP100) (IKLS:0.32)
Ketersediaan air, serangan hama dan penyakit tanaman, C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia, kondisi irigasi
Pembangunan irigasi, penambahan unsur hara berimbang, penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumuhan padi, pengendalian hama & penyakit tanaman.
G (S3/IP300) (IKLS:0.45)
C-organik, N-total, P-tersedia, K-tersedia, Penambahan unsur hara berimbang
H (S3/IP200) (IKLS:0.41)
Ketersediaan air, serangan hama dan penyakit tanaman, C-organik, N-total, P-tersedia, P-total, K-tersedia, kondisi irigasi
Pembangunan dan perbaikan irigasi, penambahan unsur hara berimbang, penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumuhan padi, pengendalian hama & penyakit tanaman.
I (S3/IP100) (IKLS:0.25)
Ketersediaan air, serangan hama dan penyakit tanaman, C-organik, N-total, P-tersedia, P-total, K-tersedia,, K-total, kondisi irigasi
Pembangunan dan perbaikan irigasi, penambahan unsur hara berimbang, penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumuhan padi, pengendalian hama & penyakit tanaman.
Keterangan: nilai IKLS ratar-rata dari indikator yang berperan sebagai faktor penghambat
Pada zona B (S1/IP200) dengan nilai rata-rata IKLS 0.33 (kurang
berkelanjutan) yang dicerminkan oleh indikator utama ketersediaan air, C-
organik, N-total, P-tersedia, dan kondisi irigasi; pengelolaan lahan sawah untuk
mendukung penataan ruang dapat dilakukan dengan perbaikan saluran irigasi,
penambahan unsur hara berimbang, dan penyediaan ketersediaan air minimum
untuk pertumbuhan tanaman padi. Perbaikan saluran irigasi dimaksudkan untuk
memperbaiki saluran-saluran irigasi yang rusak karena bencana banjir,
pendangkalan oleh bahan sedimen karena erosi yang banyak dijumpai pada saat
survei lapangan seperti di kabupaten Jember, Malang, Blitar, Nganjuk, Madiun,
Tuban, Sragen, Bantul, Cilacap, Tegal, Pemalang; Subang, Pandegelang, dan lain-
184
lain. Adapun penyediaan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan tanaman
padi dimaksudkan untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan pengairan dengan
teknik berselang (intermitten), yaitu teknik pengairan dengan mengatur kondisi
sawah tergenang dan kering secara bergantian dalam periode tertentu.
Pada zona C (S1/IP100) dengan nilai rata-rata IKLS 0.30 (kurang
berkelanjutan), pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang
meliputi pembangunan irigasi dan penambahan unsur hara berimbang untuk
mengatasi keterbatasan ketersediaan air, rendahnya C-organik, N-total, K-tersedia,
P-tersedia, dan kondisi irigasi. Pembangunan irigasi di zona C (S1/IP100) yang
merupakan lahan sawah tadah hujan sangat berpotensi untuk meningkatkan
produksi padi di zona ini, mengingat kesesuaian lahannya termasuk kategori
sangat sesuai (S1). Seperti di zona A (S1/IP300) dan zona B (S1/IP200),
pengelolaan lahan sawah di zona C (S1/IP100) adalah dengan melakukan
penambahan unsur hara berimbang untuk mengatasi permasalahan kesuburan
tanah yang disebabkan oleh rendahnya kandungan C-organik, N-total, P-tersedia,
dan K-tersedia. Kandungan C-organik tanah yang rendah dapat diatasi dengan
pemberian bahan organik berupa sisa tanaman (jerami padi), kotoran hewan,
pupuk hijau dan kompos. Kandungan N-total, P-tersedia, dan K-tersedia yang
rendah dapat diatasi dengan pemupukan anorganik berdasarkan kebutuhan
tanaman dan status hara tanah.
Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang di zona D
(S2/IP300) dengan nilai rata-rata IKLS 54% (cukup berkelanjutan) dapat
dilakukan melalui penambahan unsur hara berimbang untuk mengatasi
permasalahan kesuburan tanah yang disebabkan oleh rendahnya kandungan C-
organi, N-total, K-tersedia, dan P-tersedia. Masalah ketersediaan air di zona D
(S2/IP300) ini tidak menjadi kendala karena zona ini memiliki debit air tanah
yang besar, yaitu > 10 liter/det/ha, yang dapat mensuplai ketersediaan air untuk
kebutuhan air lahan sawah sepanjang tahun.
Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang di zona E
(S2/IP200) dengan nilai rata-rata IKLS 0.49 (kurang berkelanjutan) dapat
dilakukan melalui konservasi tanah dan penambahan unsur hara berimbang.
Konservasi tanah dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan
185
lahan sawah yang disebabkan oleh indikator bahaya banjir yang memiliki nilai
indeks 0.55, sedangkan penambahan unsur hara berimbang dimaksudkan untuk
mengatasi rendahnya kandungan unsur hara tanah (C-organik tanah, P dan K).
Indikator ketiga unsur hara tanah ini memiliki nilai indek < 0.50 (kurang
berkelanjutan). Konservasi tanah di zona E (S2/IP200) ini perlu dilakukan di
DAS bagian hulu yang mengalami penggundulan hutan. Seperti yang telah
dikemukan sebelumnya, bencana banjir akibat penggundulan hutan ini sering
dialami di kecamatan Panti (Kabupaten Jember) yang terletak wilayah DAS
Bedadung (Lereng G.Argopuro). Konservasi tanah di bagian DAS hulu dimaksud
dapat dilakukan dengan menggunakan metode vegetatif seperti yang dijelaskan
oleh Arsyad (2006, 2008), yaitu dengan melakukan penanaman tumbuhan hutan
(penghutanan).
Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang di zona F
(S2/IP100) yang merupakan sawah tadah hujan dan memiliki nilai rata-rata IKLS
0.32 (kurang berkelanjutan) meliputi pembangunan irigasi, penambahan unsur
hara dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi, serta pengendalian
hama & penyakit tanaman terpadu. Pembangunan dan perbaikan irigasi adalah
untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh
indikator kondisi irigasi, yang memiliki nilai IKLS 0.08. Penambahan unsur
hara berimbang dan ketersediaan air minimun untuk pertumbuhan padi
dimaksudkan untuk mengatasi masalah ketersedian air (IKLS: 0.50) dan unsur
hara tanah C-organik (IKLS: 0.25), N-total (IKLS: 0.27), K-tersedia (0.26), dan
P-tersedia (IKLS: 0.54). Adapun pengendalian hama & penyakit tanaman terpadu
adalah untuk mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman, terutama hama
tikus sawah, keong emas, wereng coklat, penggerek batang padi, penyakit tungro
dan hawar daun bakteri.
Seperti halnya di zona D (S2/IP300), pengelolaan lahan sawah untuk
mendukung penataan ruang di zona G (S3/IP300) juga dapat dilakukan melalui
penambahan unsur hara berimbang untuk mengatasi permasalahan kesuburan
tanah yang disebabkan oleh rendahnya kandungan C-organik, N-total, K-tersedia,
dan P-tersedia. Faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah ini dicerminkan
oleh nilai IKLS dari keempat unsur hara tanah yang rendah (0.40 – 0.55).
186
Besarnya debit air irigasi (> 10 liter/der/ha) dari air tanah di zona G (S3/IP300) ini
memungkinkan penanaman padi dapat dilakukan 3 kali dalam setahun (IP300).
Di zona H (S3/IP200) yang memiliki nilai IKLS 0.41 (kurang berkelanjutan),
pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang dapat dilakukan
melalui pembangunan dan perbaikan irigasi, penambahan unsur hara berimbang,
penyediaan ketersediaan air menimum untuk pertumbuhan padi, dan pengendalian
hama & penyakit tanaman secara terpadu. Pengelolaan lahan sawah dengan
pembangunan dan perbaikan irigasi didasarkan pada indikator utama ketersediaan
air dan kondisi irigasi, yang sama-sama memiliki nilai IKLS 0.55 (cukup
berkelanjutan). Berdasarkan survei lapangan dan data sekunder, ketersediaan air
di zona H (S3/IP200) yang memiliki tipe agroklimat C3 (periode bulan basah 5 –
6 bulan) dan debit air irigasi dari air tanah (2.5 – 10 liter/det/ha) masih dapat
dikategorikan cukup untuk dapat menerapkan penanaman padi sawah dengan
IP200. Namun demikian, pengelolaan lahan sawah dengan menerapkan
penyediaan air minimum untuk pertumbuhan padi dinilai masih cukup penting
untuk mengefisiensikan penggunaan air, mengingat musim kemarau panjang
sebagai dampak perubahan iklim global (Susandi, 2009) masih sering menerpa
Indonesia pada umumnya dan pulau Jawa pada khususnya.
Seperti halnya di zona F (S2/IP100), pengelolaan lahan sawah untuk
mendukung penataan ruang di zona I (S3/IP100) yang merupakan sawah tadah
hujan dan memiliki nilai rata-rata IKLS 0.25 (keberlanjutan buruk) juga dapat
dilakukan melalui pembangunan irigasi, penambahan unsur hara dan ketersediaan
air minimum untuk pertumbuhan padi. Pengelolaan lahan sawah dimaksud
adalah untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang
dicerminkan oleh indikator utama ketersediaan air (IKLS: 0.04 ), C-organik
(IKLS: 0.26), N-total (IKLS: 0.28 ), K-tersedia (IKLS: 0.25), P-tersedia (IKLS:
0.33), P-total (IKLS: 0.40), K-total (IKLS: 0.40), dan kondisi irigasi (IKLS: 0.04).
Pengelolaan lahan sawah untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan
sawah yang dicerminkan oleh nilai IKLS dari indikator faktor biofisik ini adalah
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UUPR, yaitu Pasal 3
butir a (penyelenggaraan penataan ruang harus harmonis antara lingkungan alam
dan lingkungan buatan), Pasal 3 butir b (keterpaduan dalam penggunaan
187
sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya
manusia), dan Pasal 3 buitir c (terwujudnya perlindungan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang).
5.4.2.2 Faktor Ekonomi
Hasil kajian pengelolaan lahan untuk mendukung penataan ruang
berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah disajikan pada Tabel 41. Secara
keseluruhan, faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah di hampir semua zona
agroekologi pada umumnya dicerminkan oleh indikator utama keuntungan, modal
usahatani, akses pupuk, dan konversi lahan. Berdasarkan nilai IKLS indikator-
indikator utama tersebut, pengelolaan lahan sawah untuk mengatasi keberlanjutan
lahan sawah dapat melalui peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran,
pemberian subsidi/kredit kredit usahatani, revisi peta RTRW, serta pemberian
insentif dan disinsentif. Pengelolaan lahan sawah dengan peningkatan posisi
tawar petani dan pemberian subsidi/kredit usahatani merupakan faktor kunci
untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh
indikator utama keuntungan yang diperoleh petani (IKLS: 0.10 – 0.50), modal
usahatani (0.19 – 0.48), dan akses pupuk (0.13 – 0.50). Revisi peta RTRW
provinsi atau kabupaten serta pemberian insentif dan disinsentif dimaksudkan
untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang disebabkan oleh
konversi lahan sawah.
Permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator
keuntungan yang diperoleh petani (IKLS: 0.10 – 0.50) dan modal usahatani
(IKLS: 0.19 – 0.48) merupakan masalah mendasar yang dihadapi oleh petani padi
sawah di Jawa. Kedua indikator utama ini berperan esensial dalam menentukan
keberlanjutan lahan sawah. Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya,
rendahnya keuntungan yang diperoleh petani dan keterbatasan modal usahatani
membuktikan adanya kegagalan mekanisme pasar yang dipicu oleh sifat lahan
sawah yang multifungsi yang dapat dikategorikan sebagai barang publik dan
ketidakberpihakan pemerintah kepada petani. Oleh karena itu, penataan ruang
untuk mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan mustahil akan dapat
188
terwujud apabila pemerintah tetap tutup mata terhadap keterpurukan kehidupan
ekonomi para petani.
Tabel 41. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari faktor ekonomi
ZAELS (Nilai IKLS)
Indikator Utama (Sebagai Faktor Penghambat)
Pengelolaan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang
A (S1/IP300) (IKLS:0.47)
Keuntungan,, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani
B (S1/IP200) (IKLS:0.37)
Modal usahatani, akses pupuk, konversi lahan Pemberian subsidi/kredit usahatani, dan revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif
C (S1/IP100) (IKLS:0.32)
Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani
D (S2/IP300) (IKLS:0.36)
Keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, dan konversi lahan
Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani , revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif
E (S2/IP200) (IKLS:0.27)
Keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, dan konversi lahan
Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani , revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif
F (S2/IP100) (IKLS:0.38)
Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani
G (S3/IP300) (IKLS:0.39)
Keuntungan, modal usahatani, konversi lahan Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani , revisi RTRW, pemberian insentif dan disinsentif
H (S3/IP200) (IKLS:0.39)
Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani
I (S3/IP100) (IKLS: 0.33)
Keuntungan, modal usahatani, dan akses pupuk Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, pemberian subsidi/kredit usahatani
Keterangan: nilai IKLS ratar-rata dari indikator yang berperan sebagai faktor penghambat
Pengelolaan lahan sawah dengan melakukan revisi peta RTRW provinsi atau
kabupaten serta pemberian insentif dan disinsentif adalah untuk mengatasi
ancaman keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator konversi
lahan. Indikator utama ini mengancam keberlanjutan lahan sawah di zona B
(S1/IP200), zona D (S2/IP300), zona E (S2/IP200), dan zona G (S3/IP300). Nilai
IKLS indikator konversi lahan sawah di ZAE-ZAE berkisar antara 0.31 dan 0.50.
Berdasarkan penelitian ini, timbulnya ancaman keberlanjutan lahan sawah oleh
konversi lahan disebabkan oleh rencana sistematis melalui mekenaisme RTRW
(Isa, 2006) dan tuntutan kebutuhan hidup petani. Untuk mengatasi ancaman
konversi lahan sawah karena mekanisme RTRW, peta RTRW provinsi dan
kabupaten mutlak dilakukan. Ancaman konversi lahan sawah menjadi non-sawah
189
karena RTRW ini sebenarnya tidak boleh terjadi karena hal ini melanggar
undang-undang penataan ruang itu sendiri.
Menurut Rustiadi et al. (2008), di dalam hukum ekonomi pasar, alih fungsi
lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-
aktivitas yang land rent lebih tinggi. Alih fungsi lahan merupakan bentuk dan
konsekuensi logis dari perkembangan potensial land rent di suatu lokasi. Karena
lahan sawah memiliki sifat multifungsi, maka konversi lahan sawah menjadi non
sawah karena pergeseran nilai land rent tidak selalu dapat membawa keuntungan
bagi petani karena ada nilai fungsi lahan sawah yang tidak ditransaksikan di pasar,
seperti fungsi sosial-budaya dan kelestarian sumberdaya tanah. Adanya kegagalan
pasar ini harus dikendalikan oleh institusi non-pasar. Oleh karena itu, pengelolaan
lahan sawah melalui pemberian insentif dan disinsentif kepada petani dinilai
penting agar petani tidak begitu mudah menjual lahan sawahnya karena hanya
sekedar untuk memenuhi tuntutan kebutuhan ekonomi semata. Upaya pengelolaan
lahan sawah melalui pemberian insentif dan disinsentif ini sesuai dengan
ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang dalam UUPR, yaitu bab 3 Pasal 35
dan Pasal 38.
5.4.2.3 Faktor Sosial-Budaya
Berdasarkan nilai rata-rata IKLS dari indikator utama sosial-budaya yang
berperan sebagai faktor penghambat keberlanjutan, pengelolaan lahan sawah
untuk mendukung penataan ruang meliputi pengendalian jumlah penduduk,
usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agraria (Tabel 42).
Penentuan pilihan pengelolaan lahan sawah tersebut merujuk pada permasalahan
keberlanjutan lahan sawah yang dicerminkan oleh indikator utama pada Gambar
67a, 67b, dan 67c yang memiliki nilai IKLS ≤ 0. 50, yaitu persepsi petani
terhadap harga padi HPP (nilai IKLS: 0,06 – 0,50), penguasaan lahan (IKLS: 0.10
– 0.50), fragmentasi lahan (IKLS: 0.17 – 0.49), pendidikan petani (IKLS: 0.13 –
0.48), usia petani (IKLS: 0.47 – 0.50), dan budaya lokal (IKLS: 0.07 – 0.46).
Hasil penelitian ini bermakna bahwa permasalahan keberlanjutan lahan sawah
yang disebabkan oleh faktor sosial-budaya terjadi di hampir semua zona
agroekologi.
190
Tabel 42. Pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang berdasarkan indeks keberlanjutan lahan sawah (IKLS) dari faktor sosial-budaya
ZAELS (Nilai IKLS)
Indikator Utama (Sebagai Faktor Penghambat)
Pengelolaan Lahan Sawah untuk Mendukung Penataan Ruang
A (S1/IP300) (IKLS:0,37)
Penguasaan lahan, fragmentasi lahan, pendidikan petani,
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
B (S1/IP200) (IKLS:0,40)
Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, pendidikan petani, usia petani, budaya lokal
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
C (S1/IP100) (IKLS:0,26)
Penguasaan lahan, fragmentasi lahan, pendidikan petani, usia petani
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
D (S2/IP300) (IKLS:0,30)
Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, pendidikan petani, usia petani, budaya lokal
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
E (S2/IP200) (IKLS:0,25)
Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, pendidikan petani, usia petani
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
F (S2/IP100) (IKLS:0,32)
Persepsi terhadap harga padi HPP, keanggotaaan dalam Poktan, peranan penyuluhan, penguaasaan lahan, pendidikan petani, usia petani
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
G (S3/IP300) (IKLS:0,36)
Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, usia petani, budaya lokal
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
H (S3/IP200) (IKLS:0,33)
Persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan lahan, fragmentasi lahan, usia petani
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
I (S3/IP100) (IKLS:0,28)
Persepsi terhadap harga padi HPP, penolakan konversi lahan, peenguasaan lahan, fragmentasi lahan, pendidikan petani, usia petani
Pengendalian jumlah penduduk, usahatani bersama, pemberdayaan petani & Poktan dan reforma agrarria
Keterangan: nilai IKLS ratar-rata dari indikator yang berperan sebagai faktor penghambat
Pengelolaan lahan dengan melalui pengendalian jumlah penduduk, usahatani
bersama, pemberdayaan petani & Poktan, dan reforma agraria merupakan faktor
kunci untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah dari faktor
sosial-budaya. Pengendalian jumlah penduduk (petani) dan reforma agraria dapat
berperan untuk mengurangi penguasaan lahan yang timpang (hampir 75% petani
di Jawa merupakan petani penggarap) dan fragmentasi lahan yang semakin
menyempit (lahan garapan petani penggarap < 0.3 ha) karena penerapan sistem
hukum waris. Usahatani bersama adalah untuk mengefisiensikan usahatani secara
kolektif dari para petani yang memiliki lahan sempit, agar petani dapat
memperoleh keuntungan yang layak. Pemberdayaan petani &Poktan dimaksudkan
untuk memberdayakan petani yang tergabung dalam Poktan melalui kegiatan
penyuluhan (adopsi teknologi, budaya tani yang ramah lingkungan) dan
191
menanamkan “cinta bertani” kepada generasi muda agar usahatani padi sawah
tetap dapat berkelanjutan. Semua upaya pengelolaan lahan sawah dimaksud
adalah untuk mewujudkan penataan ruang kawasan perdesaan yang diarahkan
untuk pemberdayaan masyarakat perdesaan (UUPR Pasal 48 ayat 1 butir a) dan
konservasi sumberdaya alam dan lingkungan (UUPR Pasal 48 butir c).
5.5 Kesimpulan dan Saran
5.5.1 Kesimpulan
1. Status keberlanjutan lahan sawah ditentukan oleh indikator faktor biofisik,
ekonomi, dan sosial-budaya petani yang ada di setiap zona agroekologi lahan
sawah. Jumlah indikator utama dari ketiga faktor tersebut bervariasi,
tergantung pada karakteristik zona agroekologi lahan sawah.
2. Indeks keberlanjutan lahan sawah di Jawa sebagian besar termasuk kategori
cukup berkelanjutan. Indikator utama yang sebagian besar berperan sebagai
faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah adalah ketersediaan air, bahaya
banjir, kandungan C-organik tanah, N-total, P-tersedia, K-tersedia, perolehan
keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, potensi konversi lahan, persepsi
terhadap harga padi, penguasaan dan fragmentasi lahan, pendidikan petani,
dan usia petani. Indikator utama yang berperan sebagai pendukung
keberlanjutan di semua zona agroekologi lahan sawah adalah tingkat salinitas,
kandungan unsur hara K-total dan P-total, fasilitas pengolahan hasil panen dan
pemasaran yang kondusif, serta kondisi sosial-budaya masyarakat petani yang
memiliki motivasi bertani tinggi, menolak konversi lahan sawah menjadi non-
sawah, dan kearifan lokal pengelolaan lahan sawah yang mendukung
kelestarian sumberdaya tanah.
3. Indeks keberlanjutan sawah yang dipetakan berdasarkan zona agroekologi
dapat digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan untuk mendukung
pelaksanaan penataan ruang, terutama dalam hal pengendalian ruang yang
bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan.
192
5.5.2 Saran
1. Penanganan permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa disarankan
untuk dapat difokuskan pada indikator utama yang berperan sebagai faktor
penghambat, dengan tetap menjaga indikator yang berperan sebagai faktor
pendukung keberlanjutan. Indikator yang berperan sebagai faktor penghambat
keberlanjutan lahan sawah dapat digunakan sebagai basis kajian pengelolaan
lahan sawah untuk merumuskan kebijakan pengelolaan lahan sawah yang
mendukung penataan ruang dalam rangka menjaga ketahanan pangan dari
aspek ketersediaan beras. Indikator yang berperan sebagai faktor pendukung
perlu dijaga kualitasnya agar tidak berbalik menjadi faktor penghambat yang
dapat mengancam keberlanjutan lahan sawah.
2. Kekhawatiran budaya eksploitatif petani dengan melakukan pemompaan air
tanah untuk memaksakan penanaman padi dengan IP300 disarankan untuk
dikaji lebih detil agar tidak berkembang meluas. Pengkajian dampak
pemompaan air tanah untuk pengairan padi sawah pada musim kemarau dapat
diarahkan ke langkah-langkah pencegahan agar tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan karena gangguan keseimbangan neraca air.
3. Untuk mengantisipasi ancaman konversi lahan sawah menjadi non-sawah
perlu dibuat peraturan yang melarang pemilikan lahan sawah di luar wilayah
desa kawasan persawahan. Lahan sawah tidak boleh dikonversi menjadi non-
sawah tanpa seijin penduduk di wilayah desa dimana lahan sawah berada.
4. Para pemangku kepentingan disarankan melakukan sosialisasi kepada petani
padi sawah tentang konservasi lingkungan dan adaptasi perubahan iklim
dengan menggali potensi kearifan lokal, agar kelangkaan air dan bahaya
banjir sebagai dampak perubahan iklim global yang dapat mengancam
keberlanjutan lahan sawah dapat dikurangi secara efektif dan efisien.