5 HASIL DAN PEMBAHASAN · 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lulusan Pendidikan Menengah Perikanan...
Transcript of 5 HASIL DAN PEMBAHASAN · 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lulusan Pendidikan Menengah Perikanan...
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Lulusan Pendidikan Menengah Perikanan Saat ini 5.1.1 Jumlah lulusan
Pendidikan menengah kejuruan kelautan dan perikanan namanya
berubah dari SPP SPMA dan sekarang Sekolah Usaha Perikanan Menengah
(SUPM) telah lebih dahulu dikembangkan oleh Departemen Pertanian. Sejak
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) berdiri pada tahun 2000,
pengelolaan sekolah-sekolah tersebut dilimpahkan kepada DKP sesuai
penanggung jawab sektor kelautan dan perikanan. Lulusan yang disiapkan
untuk bekerja pada kapal penangkap ikan merupakan siswa yang dididik pada
program studi Nautika Perikanan Laut (NPL) dan Teknika Perikanan Laut (TKP).
Survei yang dilakukan di 25 propinsi di seluruh Indonesia yang tersebar di
beberapa kabupaten yang ada di wilayah propinsi tersebut, pengambilan data
primer mengenai lulusan pendidikan menengah kejuruan pada penelitian ini
dibedakan menjadi dua kategori yaitu lulusan pendidikan menengah perikanan
program studi NPL dan TPL. Pengambilan data jumlah lulusan pendidikan
perikanan menengah pada SMK dan SUPM pada setiap propinsi dari tahun
2001 sampai dengan 2005 yang dilakukan pada 106 sekolah menunjukkan
kenaikan persentase tahunan jumlah lulusan NPL lebih tinggi dibandingkan
dengan TPL dan dan jumlah lulusan TPL kurang dari 20% jumlah lulusan NPL
(Tabel 9).
Tabel 9 Jumlah total lulusan pendidikan menengah perikanan program studi NPL dan NPL pada 106 pendidikan menengah kejuruan kelautan dan perikanan (SMK dan SUPM) pada tahun 2001 sampai dengan 2004
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 Jumlah
NPL 300 434 824 1048 1292 3598
TPL 162 181 220 213 349 963
Jumlah 462 615 1044 1261 1641 4561
38
Gambar 5 Profil total lulusan pendidikan menengah kejuruan tahun 2001-2004 berdasarkan program studi NPL dan TPL Berdasarkan jumlah lulusan, dapat dinyatakan bahwa komposisi lulusan Nautika
Perikanan Laut (NPL) memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan program
studi Teknik Perikanan Laut (TPL). Keadaan tersebut disebabkan oleh hal-hal
berikut :
1. Peluang bekerja pada kapal penangkap lebih banyak dimiliki oleh lulusan
lulusan NPL karena tenaga kerja yang dibutuhkannya lebih banyak
berkaitan dengan kemampuan dalam bidang navigasi dan nautika
2. Program studi NPL lebih dahulu berkembang dibandingkan TPL
Berdasarkan jumlah lulusan terlihat adanya peningkatan jumlah lulusan
pendidikan menengah perikanan dari tahun 2000 sampai dengan tahun
2004 (Gambar 6).
Gambar 6 Peningkatan jumlah lulusan pendidikan menengah kejuruan perikanan program studi NPL dan TPL tahun 2000 - 2004
NPL79%
TPL21%
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000 2001 2002 2003 2004
39
5.1.2. Jumlah lulusan bersertifikat kepelautan
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) pada usaha penangkapan
didasarkan pada sertifikasi kepelautan dan kewenangan jabatan pada kapal
penangkap ikan yang telah ditetapkan mengharuskan lulusan pendidikan
menengah perikanan harus memiliki sertifikasi kepelautan yang dimaksud.
Pertimbangan hukum, sertifikasi kepelautan dan kewenangan jabatan pada
kapal penangkap ikan adalah berdasarkan pasal 41 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, yaitu setiap kapal
penangkap ikan yang berlayar, harus berdinas seorang nakhoda dan beberapa
perwira kapal yang memenuhi sertifikat keahlian pelaut kapal penangkap ikan
(Dephub, 2000)
Sertifikasi ANKAPIN dan ATKAPIN merupakan sertifikat yang diberikan
kepada pelaut kapal penangkap ikan yang memiliki kompetensi sesuai bidang
keahliannya (dek atau mesin) yang dikeluarkan oleh Dirjen Perhubungan Laut,
Departemen Perhubungan sebagai lembaga yang memiliki mandat kemaritiman
di Indonesia yang diakui oleh International Maritime Organization (IMO).
Selain mendapatkan ijasah kelulusan, pada siswa yang telah
menyelesaikan pendidikan pada menengah kejuruan perikanan mendapatkan
sertifikasi pengukuhan sebagai ahli nautika perikanan laut dan teknika perikanan
laut tingkat II atas kemampuan siswa setelah mengikuti pembelajaran selama 3
tahun yang ditandai dengan kelulusan mereka dalam ujian ANKAPIN-II dan
ATKAPIN-II. Pengukuhan tersebut diberikan kepada lulusan pendidikan tingkat
menengah untuk menyatakan bahwa siswa/ pemegang sertifikat memiliki
kemampuan untuk dapat bekerja pada industri penangkapan ikan. Pemegang
sertifikat ANKAPIN-II memiliki kemampuan dibidang nautika dan ATKAPIN-II
memiliki kemampuan dibidang teknika. Sertifikat keahlian tersebut diperoleh
oleh siswa apabila mereka dinyatakan lulusan dalam mengikuti ujian sertifikat
tersebut.
Namun demikian, kondisi yang ada pada saat ini menunjukkan masih
banyak lulusan yang belum bersertifikat keahlian kepelautan tersebut, yang
diantaranya disebabkan oleh hal sebagai berikut :
1. Sarana praktek yang dimiliki oleh banyak penyelenggara pendidikan
menengah kejuruan perikanan kurang memadai sehingga penyelenggaraan
40
ujian keahlian kepelautan ANKAPIN dan ATKAPIN yang lebih banyak
berorientasi pada praktek kerja sangatlah sulit untuk dilaksanakan
2. Banyaknya peserta ujian yang tidak lulus langsung dalam mengikuti ujian
sertifikasi disebabkan penggunaan materi ajar, sarana praktek dan
kemampuan tenaga pengajar yang belum memiliki standar yang sama untuk
semua lembaga pendidikan.
3. Masih banyak industri kapal penangkap ikan yang mempekerjakan lulusan
pendidikan menengah perikanan yang tidak memiliki ijasah keahlian
(ANKAPIN dan ATKAPIN), sehingga banyak penyelenggara pendidikan
menengah perikanan berpendapat sertifikat kepelautan tidak menjadi
prioritas
4. Belum disosialisasikannya secara optimum Peraturan Pemerintah No. 7
Tahun 2000 tentang kepelautan dan ditindaklanjuti dengan Peraturan
Menteri Perhubungan nomor KM 9 /2005, sebagai standar persyaratan
kompetensi bagi tenaga kerja berpendidikan kepelautan yang siap bekerja
menyebabkan banyak pelaku usaha penangkapan ikan yang masih
mempekerjaan tenaga lulusan pendidikan menengah yang tidak memiliki
sertifikat kepelautan. Keadaan ini menyebabkan tenaga kerja kepelautan
tersebut tidak dapat menuntut pendapatan yang lebih baik bagi mereka.
Berdasarkan data survei yang diperoleh pada 91 sekolah dan dari Panitia
Penyelenggara Ujian Kepelautan Kapal Penangkap Ikan (PPUKKAPIN)
ANKAPIN dan ATKAPIN-II tercatat baru terdapat 21 sekolah pendidikan
menengah perikanan (SMK dan SUPM ) yang telah menyelenggarakan ujian
sertifikasi tersebut dengan jumlah peserta yang lulus sebagaimana terlihat pada
Tabel 10. Terlihat disini bahwa kepemilikan ATKAPIN-II antara 5% hingga 25%
dibandingakn dengan ANKAPIN-II dan secara total porsi ATKAPIN-II hanya
sebesar 12% ANKAPIIN-II.
Tabel 10 Jumlah lulusan pendidikan menengah perikanan yang berijasah
ANKAPIN-II dan ATKAPIN-II pada Tahun 2000-2005
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Jumlah
ANKAPIN-II 157 181 336 498 579 692 2443
ATKAPIN-II 44 42 21 13 81 115 316Sumber : PPUKKPAPIN 2005
41
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan jumlah lulusan pendidikan
menengah perikanan yang memiliki sertifikat ANKAPIN-II dan ATKAPIN-II lebih
sedikit dibandingkan jumlah lulusan yang ada. Porsi lulusan bersertifikat
ANKAPIN-II sebanyak 68 % dan yang bersertifikat ATKAPIN-II hanyalah
sebanyak 33 % dari keseluruhan jumlah lulusan pendidikan menengah perikanan
dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2005.
Berkaitan dengan upaya pemerintah untuk menetapkan standar
pendidikan dan pelatihan kepelautan perikanan yang mengacu pada ketentuan
internasional tentang personil kapal penangkapan ikan yang tetapkan oleh IMO
yaitu STCW-F 1995, saat ini telah dikeluarkan ketentuan nasional sebagai bentuk
penuangan dari ketentuan internasional tersebut yaitu Peraturan Menteri No. KM
9 tahun 2005 yang berisi tentang pendidikan dan pelatihan, ujian serta sertifikasi
pelaut kapal penangkap ikan. Ketentuan tersebut diharapkan dapat menjadi
acuan bagi penyelenggaraan ujian sertifikasi kepelautan dalam rangka
mempersiapkan tenaga kerja kapal penangkap ikan yang profesional di
bidangnya. Sehingga dimasa selanjutnya ada terdapat keseragaman di dalam
penyelenggaraan ujian untuk mendapatkan kualitas lulusan yang berstandar
sama.
5.1.3 Kebijakan pengembangan pendidikan menengah perikanan
Kebijakan Pemerintah yang mengatur tentang pendidikan menengah
dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 1990.
Pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan
menengah yang mengutamakan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan
tertentu. Pendidikan diutamakan untuk mempersiapkan siswa sebelum
memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap profesional. Selanjutnya
pengembangan pendidikan menengah kejuruan dilaksanakan oleh Menteri yang
bertanggung jawab terhadap pendidikan yaitu Menteri Pendidikan Nasional. Era
otonomi daerah yang berlaku pada saat ini mengharuskan lembaga yang
bertanggung jawab terhadap pendidikan nasional lebih mempersiapkan
kebijakan pengembangan pendidikan menengah yang bersifat nasional.
Sementara pelaksanaannya di daerah sangatlah ditentukan oleh Pemerintah
Daerah setempat. Pengelolaan sumber daya perikanan tidak lagi di lihat kepada
wilayah pengelolaan perikanan tetapi lebih kepada pengelolaan sumber daya
perikanan yang dimiliki oleh masing-masing wilayah propinsi. Kondisi tersebut
42
menyebabkan masing-masing wilayah yang memiliki potensi kelautan dan
perikanan merasa sangat berkepentingan untuk mempersiapkan komponen
pembangunan perekonomian pada sektor tersebut sesuai dengan kebijakan
masing-masing. Efektivitas dan efisiensi dalam penyediaan SDM pengelola
sektor tersebut, dengan prasarana dan fasilitas pendidikan yang sangat minim,
SDM yang dihasilkan tidak memperhitungkan kualitas tetapi lebih mengarah
kepada kuantitas.
Survei yang dilakukan pada sekolah yang menyelenggarakan pendidikan
kejuruan bidang kelautan dan perikanan serta Pemerintah Daerah yang
bertanggung jawab terhadap pengembangan sekolah tersebut di wilayah Medan,
Jawa Tengah, dan Papua menunjukkan minimnya prasarana dan sarana
pendidikan yang dimiliki. Upaya yang dilakukan terhadap pengembangan
lembaga pendidikan
Pembangunan di bidang kelautan dan perikanan saat ini, walaupun telah
mendapatkan perhatian besar dari pemerintah dibandingkan dengan masa
lampau, yakni dengan terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan yang
berawal pada Kabinet Persatuan Nasional tahun 1999. Dengan demikian
perikanan dan kelautan tidak lagi menjadi sub-sektor pada sektor pertanian
melainkan telah menjadi salah satu sektor yang kedudukannya sama dengan
sektor-sektor lain. Hal ini berimplikasi terhadap besarnya peluang, harapan dan
tantangan yang diberikan agar dapat memberi kontribusi yang lebih besar
terhadap peningkatan dan pencapaian beberapa target yang dibebankan.
Harapan besar ini merupakan suatu peluang bagi masih besarnya peluang kerja
yang membutuhan banyak tenaga kerja kelautan dan perikanan, mengingat
pertumbuhan perekonomian di sektor ini.
Kebijakan dan kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan dan
kelautan oleh masing-masing Kabupaten/Kota juga didukung dengan
diberlakukannya Undang-undang No. 32 tahun 2003 tentang Otonomi Daerah,
yakni pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan penuh atas
pengelolaan sumber daya yang ada di dalam wilayah laut hingga 4 mil,
sedangkan pemerintah daerah propinsi mempunyai kewenangan untuk
pengelolaan wilayah laut dan sumber daya di dalamnya dari 12 mil menjadi
hanya 8 mil dari garis batas 4 mil ke arah laut lepas. Penerapan Undang-Undang
Otonomi Daerah ini, juga berimplikasi pada keinginan Kabupaten/Kota untuk
43
dapat menyediakan tenaga-tenaga kelautan dan perikanan yang berpendidikan
menengah melalui pendirian Sekolah Menengah Kejuruan bidang kelautan dan
perikanan atau mengalihan bidang studi menjadi bidang kelautan dan perikanan.
Sejalan dengan terbentuknya Departemen teknis yang secara langsung
bertanggung jawab terhadap pengembangan perikanan dan kelautan, kondisi
tersebut didukung dengan dikeluarkannya kebijakan Direktur Pendidikan
Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah,
Departemen Kelautan dan Perikanan, berkaitan dengan pengembangan program
pendidikan keahlian di bidang kelautan dan perikanan pada sekolah menengah
kejuruan yang dibinanya. Diawali pada tahun 2000/2001 telah diselenggarakan
10 SMK Negeri dan 52 SMK swasta yang mengembangkan program pendidikan
nautika perikanan yang kemudian telah berkembang menjadi 91 SMK yang
mengembangkan program studi NPL dan 34 yang menyelenggarakan program
studi TPL.
5.2 Daya Serap Lulusan pada Industri Perikanan Tangkap
5.2.1 Kondisi industri perikanan tangkap
Armada perikanan tangkap skala industri yang didefiniskan sebagai usaha
penangkapan ikan yang berbentuk perusahaan berbadan hukum, dengan bobot
mulai 30 GT ke atas, berdasarkan studi data statistik perikanan selama 4 tahun
terakhir (1999-2003) jumlahnya menunjukkan mengalami peningkatan yang
cukup signifikan, yaitu sebesar 206 % dari 3521 orang pada tahun 1999 menjadi
7.286 orang pada tahun 2002, atau mengalami peningkatan rata-rata 69 % per
tahun. Terdapat kenaikan yang tidak signifikan pada tahun 2002 ke tahun 2003,
hal ini menunjukkan bahwa walaupun kegiatan perekonomian di sub sektor
perikanan tangkap masih cukup menguntung namun disebabkan banyaknya
permasalahan dihadapi oleh para pemilik kapal diantaranya masalah bahan
bakar, perijinan, retribusi hasil penangkapan, tenaga kerja, dan yang lainnya
menyebabkan profesi nelayan menjadikan perkembangan armada tidak banyak
mengalami peningkatan. Permasalahan yang terus dialami karena belum adanya
penyelesaian menyebabkan semakin rendahnya jumlah armada penangkapan
ikan yang dapat melakukan operasi karena tahun 2004 tercatat hanya terdapat
sejumlah 4450 kapal ikan. Hal tersebut menunjukkan adanya penurunan 161 %
jumlah armada dari tahun 2003 ke tahun 2004. Berdasarkan data statitistik
44
perikanan tangkap yang dikeluarkan oleh Ditjen Perikanan Tangkap, keragaan
kondisi dan perkembangan armada industri penangkapan ikan menurut ukuran
pada tahun 2000 sampai dengan 2004 menunjukkan fluktuasi nyata terutama
untuk ukuran 30 GT – 50 GT dan 100 GT – 200 GT (Tabel 11) dan secara
kumulatif kenaikan jumlah kapal pada tahun 2002 – 2003 (Gambar 7).
Tabel 11 Jumlah armada kapal penangkap ikan 30 GT ke atas pada tahun 1999 - 2004
Kategori dan Ukuran Perahu/Kapal
1999 2000 2001 2002 2003
2004
Kapal Motor 3521 3 739 4 173 7 286 7 366 455030 - 50 GT 1516 1 543 781 2 685 2 338 800
50 - 100 GT 1038 1 129 1 602 2 430 2 698 1740100 - 200 GT 756 741 1 295 1 612 1 731 1342
> 200 GT 211 326 495 559 599 436 Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap (2005)
Gambar 7 Fluktuasi jumlah armada kapal penangkap ikan berdasarkan ukuran/ bobot kapal pada tahun 1999-2004 Tenaga kerja lulusan pendidikan menengah perikanan merupakan tenaga
kerja yang berorientasi bekerja pada armada kapal penangkap ikan berskala
industri, yaitu kapal-kapal penangkapan yang memiliki bobot > 30 GT, peralatan
dan alat tangkap yang berteknologi untuk produksi penangkapan skala besar dan
memiliki jenjang jabatan serta hirarki dalam pelaksanaan pekerjaannya. Peluang
bekerja bagi para lulusan tersebut sangatlah dipengaruhi oleh pengembangan
armada penangkapan ikan serta posisi jabatan yang dapat digantikan oleh
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
1999 2000 2001 2002 2003 2004
45
tenaga kerja asing yang saat ini masih banyak dipekerjakan pada kapal-kapal
penangkap ikan yang beroperasi di perairan Indonesia, dan terutama pada kapal-
kapal asing yang melalukan penangkapan di wilayah yang sama. Penyerapan
tenaga kerja bagi kapal penangkap ikan berskala industri masih memilki peluang
yang cukup besar mengingat armada penangkapan ikan di Indonesia saat ini
masih didominasi oleh armada penangkapan ikan tanpa motor. Produtivitas
penangkapan ikan armada tanpa motor yang banyak terkonsentrasi beroperasi
di wilayah peraiaran pantai telah menunjukkan hasil yang semakin menurun.
Untuk itulah kebijakan penangkapan ikan saat ini di arahkan pada peningkatan
armada penangkapan bermotor pada perairan yang lebih dalam. Jumlah
perahu/kapal perikanan pada tahun 2004 menunjukkan sebanyak 549.100, yang
46,8%-nya adalah merupakan perahu/kapal tanpa motor, yakni pelaku ekonomi
dalam kegiatan usaha penangkapan yang sangat terbatas dalam hal teknologi
dan modal. Berdasarkan komposisi rumah tangga perikanan/perusahaan
perikanan (RTP/PP), perikanan industri yang menggunakan armada di atas 30
GT, hanya sebagian kecil saja RTP/PP yang termasuk dalam kelompok ini.
RTP/PP pada tahun 2004 berjumlah 609.575 buah, dari jumlah tersebut hanya
4.318 buah (0,8%) yang termasuk perikanan industri, selebihnya 99,2 %
merupakan perikanan skala kecil. Berdasarkan gambaran jumlah kapal tersebut,
maka apabila akan dilakukan revitalisasi armada penangkapan ikan, maka
dimungkinkan akan memberikan peluang besar bagi penyerapam tenaga kerja
para lulusan pendidikan menengah perikanan
Faktor yang diduga kuat mempengaruhi jumlah armada perikanan
tangkap yang beroperasi, antara lain adalah harga bakar bakar minyak yang
semakin meningkat yang sangat tidak berimbang dengan jumlah hasil tangkapan
yang diperoleh dibandingkan dengan upaya yang dilakukan. Pada beberapa
wilayah perairan tertentu menunjukkan produktivitas penangkapan yang semakin
menurun. Kondisi saat ini menunjukkan dengan menggunakan upaya yang
sama hasil produksi yang diperoleh jauh menurun yang ditampakkan dengan
tidak terpenuhinya palka ikan. Atau dapat dikatakan diperlukan upaya yang jauh
lebih besar untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sama pada masa
sebelumnya. Apabila data produksi perikanan tangkap yang dihasilkan oleh kapal
dengan alat tangkap yang diasumsikan dipergunakan oleh armada besar
dibandingkan jumlah armada penangkapan ikan berskala industri > 30 GT yang
diasumsikan sebagai hasil rata-rata produksi penangkapan ikan untuk satu kali
46
armada kapal penangkap ikan maka diperoleh gambaran rata-rata hasil produksi
penangkapan ikan menurut katagori ukuran perahu/kapal dari tahun 2000 sampai
dengan 2004 (Tabel12).
Tabel 12 Produksi perikanan laut (ton) menurut jenis alat tangkap yang dipergunakan pada armada skala besar periode tahun 1999-2004
Alat Tangkap 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Pukat Udang/
Pukat Ikan 88 844 103 468 29 124 103 797 188 058 77 812
Pukat Cincin 585 680 609 243 668 769 709 128 696 497 607 813
Rawai Tuna 66 595 74 763 81 398 62 952 98 111 93 943
Rawai Hanyut 48 737 43 774 43 977 52 144 58 596 40 797
Rawai Tetap 75 860 78 807 98 227 86 247 100 720 72 872
Huhate 140 974 150 722 103 277 121 825 113 355 115 788
Pancing yang lain 257 960 277 045 291 551 277 571 294 194 278 697
Pancing Tonda 119 026 127 704 137 203 132 255 137 714 160 359
Jumlah Produksi 1 383 676 1 465 526 1 453 526 1 545 919 1 687 245 1 448 081
Sumber: Ditjen Perikanan Tangkap (2005)
Penurunan produktivitas yang dihasilkan oleh kapal-kapal penangkap ikan
tentu sangatlah berpengaruh terhadap tenaga kerja yang dibutuhkan pada setiap
kapal tersebut. Berdasarkan jumlah armada kapal penangkap ikan di atas
berdasarkan data yang diperoleh apabila diasumsikan bahwa rata-rata
kebutuhan tenaga kerja pada kapal-kapal tersebut terutama pada armada kapal
terbanyak pada kapal berbobot 50-100 GT adalah rata-rata berjumlah 15 orang
dan apabila diasumsikan pula bahwa rata-rata satu per lima bagian dari ABK
tersebut mempunyai pendidikan setingkat pendidikan menengah kejuruan
perikanan maka jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja pada kapal-
kapal penangkap ikan pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2005 (Tabel 13).
Tabel 13 Perkiraan jumlah kebutuhan tenaga kerja berpendidikan menengah perikanan pada armada kapal penangkap ikan Tahun 1999-2004
Tahun
1999 2000 2001 2002 2003 2004 Jumlah Tenaga
Kerja
23.473 24.927 27.820 48.573 49.107 30.333
47
5.2.2 Peluang pengembangan tenaga kerja pada industri penangkapan ikan
Berdasarkan hasil pengkajian Badan Riset Kelautan dan Perikanan
bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), potensi
sumber daya ikan laut Indonesia tersebut diperkirakan sebesar 6,410 juta ton per
tahun, yang terdiri dari perairan wilayah laut territorial sekitar 4,625 juta ton per
tahun dan perairan ZEEI sekitar 1,785 juta ton per tahun. Namun demikian,
menurut Ghofar (2003) karena manajemen perikanan menganut azas kehati-
hatian (precautionary approach), maka Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan
(JTB) ditetapkan sebesar 80 % dari potensi tersebut atau sebesar 5,1 juta ton per
tahun (Jusuf, 1999). Selain sumber daya ikan (SDI) yang hidup di wilayah
perikanan Indonesia, masyarakat Indonesia juga memiliki peluang
memanfaatkan SDI di laut lepas (high seas). Implikasi dari aturan tersebut
adalah sistem perijinan yang memadai dan keikutsertaan dalam kelembagaan
regional perikanan (regional fisheries management organization / RFMO).
Kebutuhan tenaga kerja pada kapal ikan Indonesia dapat dibagi dua, yaitu :
(1). kapal-kapal yang beroperasi di wilayah pengelolaan perairan (WPP) RI,
(2). kapal-kapal yang beroperasi di perairan internasional. Kebutuhan tenaga
kerja Indonesia (TKI) untuk kapal penangkap ikan di WPP RI dihitung
berdasarkan
(a). peluang pengembangan armada dalam pemanfaatan potensi sumber daya
ikan yang belum dimanfaatkan secara optimal;
(b). mengganti penggunaan tenaga kerja asing (TKA) yang dipekerjakan pada
kapal penangkap ikan di perairan Indonesia; dan
(c). peluang pada kapal penangkap ikan Indonesia yang akan menggantikan
kapal ikan asing (KIA) skim lisensi.
Berdasarkan potensi dan tingkat pemanfaatan SDI di WPP RI, yaitu Laut
Cina Selatan, Selat Makassar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Seram dan
Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, Laut Arafura dan Samudera
Hindia, menurut data yang diperoleh dari Ditjen Perikanan Tangkap tahun 2004
dimungkinkan masih terdapat pengembangan usaha penangkapan sebanyak
48
3.005 unit kapal dan dibutuhkan tenaga kerja/awak kapal sebanyak 29.947 orang
(Tabel 14 dan Tabel 15).
Tabel 14 Peluang pengembangan usaha penangkapan dan kebutuhan tenaga kerja (awak kapal)
No. WPP ALOKASI KAPAL TENAGA KERJA JUMLAH
< 30 GT > 30 GT < 30 GT > 30 GT KAPAL T.KERJA
1 2 3 4 5 6 7 8
1 L. Cina Selatan
- Pelagis Kecil 88 12 704 264 100 968
- Pelagis Besar - - - - - -
- Demersal 31 5 248 115 36 363
2 Sl. Makassar & L. Flores
- Pelagis Kecil 226 31 1.808 682 257 2.490
- Pelagis Besar 209 38 1.672 836 247 2.508
- Demersal - - - - - -
3 L. Banda
- Pelagis Kecil - - - - - -
- Pelagis Besar 81 15 648 330 96 978
- Demersal - - - - - -
4 L. Arafura
- Pelagis Kecil 653 96 5.224 2.112 749 7.336
- Pelagis Besar - - - - - -
- Demersal - - - - - -
5 L. Maluku & Sekitarnya
- Pelagis Kecil 385 57 3.081 1.256 442 4.337
- Pelagis Besar 20 4 165 95 24 260
- Demersal 42 6 336 135 48 471
6 L. Sulawesi & S. Pasifik
- Pelagis Kecil 452 66 3.616 1.455 518 5.071
- Pelagis Besar - - - - - -
- Demersal 51 8 408 181 59 589
7 S. Hindia
- Pelagis Kecil 47 7 376 154 54 530
- Pelagis Besar 276 49 2.210 1.086 325 3.296
- Demersal - - - - - -
JUMLAH 2.561 394 20.496 8.701 2.955 29.197
Sumber : Pusat Riset Perikanan Tangkap (2001)
49
Tabel 15 Kebutuhan TKI menurut kualifikasi keahlian/keterampilan
No. KAPAL
JENIS JABATAN JUMLAH
CPT F M C E R E R O CW
1 Penangkap < 30 GT 2.561 1.500 2.561 - 2.561 11.313 20.496
2 Penangkap > 30 GT 394 250 394 250 394 7.019 8.701
3 Pengangkut 50 - 50 50 50 550 750
JUMLAH 3.005 1.750 3.005 300 3.005 18.882 29.947
Sumber diolah dari Ditjen Perikanan Tangkap DKP, 2005
Keterangan :
- CPT = Captain - RE = Refrigeration Engineer
- FM = Fishing Master - RO = Radio Operator
- CE = Chief Engineer - CW = Crew
Sementara itu, peluang kerja TKI sebagai pengganti TKA yang saat ini
bekerja pada KII berjumlah 1.268 orang (Tabel 16).
Tabel 16 Jenis jabatan yang diduduki TKA pada KII
No. Jenis Jabatan TKA pada KII TKA pada KIA
1. Fishing Master 290 858
2. Captain 250 922
3. Chief Engineer 260 922
4. Refrigeration Engineer 210 800
5. Crew 258 19.551
Jumlah 1.268 23.053 Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap DKP, 2005
Sedangkan peluang kerja TKI pada KII sebagai pengganti KIA skim lisensi
berjumlah 23.053 orang pada 922 buah kapal. Dengan demikian peluang kerja
bagi TKI pada KII di WPP RI berjumlah 54.268 orang. Dengan demikian peluang
kerja bagi TKI pada KII di WPP RI berjumlah 54.268 orang.
Kebutuhan tenaga kerja pada kapal penangkap ikan skala industri
menunjukkan semakin banyak jumlah orang yang dapat bekerja pada kapal
tersebut berdasarkan bobot kapal serta jenis alat tangkap yang digunakan (Tabel
17).
50
Tabel 17 Standar rata-rata kebutuhan ABK menurut ukuran gross tonage dan jenis kapal / alat tangkap
Jenis Kapal/ Alat Tangkap
Gross Tonage (GT) 30-50 >50-100 >100-150 >150-200 >200-300 >300
1. Pole and Line 15 17 20 25 28 30 2. Tuna Long Line 13 16 17 18 20 25 3. Purse Seine Tanpa Power Blok
22 30 35 40 42 45
4. Purse Seine dengan Power Blok (Pelagis Besar)
17 22 23 30 35 40
5. Jaring Insang 10 12 17 19 21 22 6. Pukat Ikan 10 12 15 17 19 23 7. Pukat Udang 11 12 16 19 22 25 8. Squid Jigging 7 13 15 20 22 24 9. Pancing Rawai Dasar
12 17 19 22 - -
Rata-rata 13 17 20 23 26 29Sumber diolah dari : Ditjen Perikanan Tangkap, 2005
Kebutuhan tenaga kerja pada tabel di atas rata-rata menunjukkan bahwa
dalam satu kapal penangkap ikan terdapat ABK sebanyak 13, 17 dan 20 orang
dan pengambilan data primer yang dilakukan pada kapal-kapal penangkapan
ikan di beberapa perusahaan di Sorong, Medan dan Pekalongan, armada kapal
penangkap ikan yang berbobot > 30 GT menunjukkan walaupun semakin banyak
tenaga kerja yang dibutuhkan dengan semakin besarnya bobot kapal namun
jabatan pekerjaan yang dapat diisi oleh tenaga kerja berpendidikan menengah
juga terbatas. Misal kapal berbobot kapal 30 dapat dinakhodai oleh seorang
lulusan pendidikan menengah perikanan dengan sertifikat ANKAPIN-II tetapi
pada kapal berbobot 90 GT sudah harus dipimpin oleh seorang yang bersertifikat
ANKAPIN-I artinya minimal pendidikannya adalah Diploma III. Jabatan yang
tersedia pada kapal penangkap ikan yang memungkinkan untuk mempekerjakan
tenaga kerja berpendidikan menengah perikanan rata-rata adalah satu per lima
bagian dari seluruh tenaga kerja yang ada.
Untuk posisi atau jabatan pada kapal penangkap ikan, lulusan SMK atau
SUPM yang bekerja pada Kapal Ikan Indonesia mempunyai posisi atau jabatan
yang berbeda sesuai dengan bobot kapal. Data survei yang dilakukan pada 9
perusahaan penangkapan ikan di Sorong, Pekalongan, Sibolga dan Bitung yang
memiliki kapal penangkap ikan berbobot 50-100 GT memperlihatkan posisi yang
51
mempekerjakan tenaga kerja berpendidikan menengah perikanan, dapat dilihat
pada Tabel 18
Tabel 18 Posisi jabatan pada kapal penangkap ikan bagi tenaga kerja lulusan pendidikan menengah perikanan
Namun tentunya posisi atau jabatan kapal yang dapat diisi oleh tenaga
kerja lulusan pendidikan menengah kejuruan sangat tergantung kepada
pengalaman yang telah dimiliki oleh lulusan yang bersangkutan saat mulai
bekerja pada kapal-kapal tersebut. Berdasarkan jabatan pada kapal penangkap
ikan sebagaimana yang dijelaskan dalam Tabel 13 dapat digambarkan bahwa
Lulusan pendidikan menengah kejuruan baik yang berasal SMK dan SUPM yang
bekerja pada kapal penangkap ikan mempunyai posisi yang berbeda pada setiap
ukuran kapal dan alat tangkap yang dipergunakan.
5.2.2.1 Tenaga kerja pada kapal penangkap ikan Indonesia
Kapal penangkapan ikan skala industri merupakan kapal penangkap ikan
yang diawaki oleh tenaga kerja yang memiliki kompetensi sesuai dengan
kebutuhan pekerjaan di kapal yang didasarkan pada sertifikasi yang dimiliki oleh
tenaga kerja tersebut. Banyak kapal penangkap ikan yang berbendera Indonesia
namun masih banyak memperkerjakan tenaga kerja asing karena pemilik kapal
menganggap bahwa tenaga kerja Indonesia belum memiliki kemampuan untuk
menduduki jabatan perwira pada kapal mereka yang dibuktikan dengan belum
adanya sertikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang.
Peluang bekerja bagi tenaga lulusan pendidikan menengah kejuruan di
kapal penangkap ikan selain bergantung kepada kapal- kapal yang beroperasi
diwilayah pengelolaan perairan (WPP) khususnya terhadap peluang
pengembangan armada dari tahun ke tahun, tetapi diharapkan juga mampu
Deck Tanggungjawab 1. Nakhoda Pimpinan umum 2. Mualim I Administrasi 3. Mualim II Pelayaran 4. Mualim III Operasi penangkapan 5. Botswin Alat tangkap dan alat bantu 6 Kelasi Operasional dek Mesin 1. Kepala Kamar Mesin (KKM) Pimpinan kamar mesin 2. Masisinis II Mesin induk dan mesin bantu 3. Masinis III Mesin dek 4 Oiler Operasional mesin
52
masih memiliki peluang untuk mengisi posisi-posisi jabatan yang masih diduduki
oleh tenaga kerja asing yang dipekerjakan pada kapal penangkap ikan
Indonesia. Data yang diperoleh dari Ditjen Perikanan Tangkap, DKP Tahun 2005
menunjukkan berdasarkan potensi dan tingkat pemanfataan sumber daya ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia,yaitu Laut Cina Selatan, Selat
Makassar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Seram dan Teluk Tomini, Laut
Sulawesi dan Samudera Pasifik, Laut Arafura dan Samudera Hindia,
dimungkinkan pengembangan usaha penangkapan sebanyak 3005 unit dan
dibutuhkan tenaga kerja/ awak kapal sebanyak 29.947 orang.
5.2.2.2 Tenaga kerja pada kapal penangkap ikan di luar negeri
Negara-negara di Asia khususnya Jepang dan Korea Selatan merupakan
negara maju di Asia yang memiliki kemampuan investasi, ilmu pengetahuan dan
teknologi maju serta sumber daya lainnya dalam membangun kesejahteraan
negara dan bangsanya. Telah lami diketahui bahwa negara Jepang dan Korea
Selatan merupakan negara-negara di Asia yang memiliki banyak armada kapal
penangkap ikan yang beroperasi pada daerah penangkapan ikan hampir di
seluruh dunia. Hal berakibat pada banyak diperlukannya tenaga kerja pelaut
kapal penangkap ikan di negara tersebut. Kedua negara tersebut juga
merupakan negara pengimpor hasil laut dari berbagai negara termasuk
Indonesia serta masyarakat mereka dikenal memiliki tingkat konsumsi ikan paling
tinggi di dunia.
Para pelaut penangkap ikan Indonesia dapat diterima dengan baik oleh
pengusaha perikanan Jepang, karena para pelaut perikanan Indonesia dikenal
rajin dan ulet bekerja. Data statistik yang diperoleh dari Asosiasi Perikanan Tuna
Jepang, menunjukkan bahwa sejak tahun 1990 telah terjadi kenaikan secara
signifikan jumlah kapal penangkap ikan Indonesia di Jepang. Pelaut kapal ikan
Indonesia di Jepang pada tahun 1990 berjumlah 759 orang dan pada tahun 2002
sudah menjadi 4867. Hal tersebut menunjukkan telah terjadi peningkatan
sebesar hampir 900% sejak para pelaut perikanan Indonesia bekerja di Jepang.
Banyaknya tenaga kerja pelaut kapal penangkap ikan Indonesia yang
diterima bekerja pada kapal-kapal Jepang , hal tersebut disebabkan kondisi di
Jepang dalam 10 tahun belakangan ini, banyak pemuda di Jepang menunjukkan
minat yang sangat kurang untuk bekerja di laut. Sekalipun para pemuda tersebut
53
menduduki jabatan sebagai perwira pada kapal penangkap ikan Jepang.
Keadaan tersebut menyebabkan jumlah pelaut kapal penangkap ikan bangsa
Jepang menurun drastis. Data statistik menunjukkan jumlah pelaut kapal
penangkap ikan Jepang tahun 1990 sebanyak 10.155 orang dan pada tahun
2002 hanya terdapat 2.943 orang. Dengan kondisi tersebut perusahaan
penangkapan ikan Jepang mulai kesulitan untuk memperoleh tenaga pelaut
Jepang.
5.3 Proyeksi SDM Perikanan Tingkat Menengah
5.3.1 Lulusan pendidikan menengah perikanan Salah satu sasaran pengembangan tenaga teknis perikanan tingkat
menengah tangkap sampai dengan periode tahun 2009 yang dirumuskan oleh
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Departemen Pendidikan Nasional
adalah masih akan dibukanya lembaga-lembaga pendidikan menengah kejuruan
kelautan dan perikanan mengingat masih besarnya potensi pengembangan
sumber daya perikanan yang memberikan peluang pada kebutuhan tenaga
kerja.
Secara logis apabila kebutuhan jumlah tenaga kerja pada industri
penangkapan ikan masih sangat banyak diperlukan untuk bekerja pada armada-
armada tersebut maka aka sangat terbuka peluang bagi para lulusan pendidikan
menengah kejuruan untuk dapat bekerja selepas mereka menyelesaikan
pendidikannya. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa
masih besarnya peluang pengembangan armada penangkapan ikan disebabkan
oleh masih tersedianya potensi sumber daya ikan pada WPP Indonesia
utamanya di wilayah timur Indonesia dan masih banyaknya tenaga asing asing
yang bekerja pada kapal-kapal berbendera Indonesia.
Proyeksi jumlah lulusan pendidikan menengah kejuruan kelautan dan
perikanan yang diperhitungkan dari 91 sekolah baik SMK dan SUPM di seluruh
Indonesia menggunakan pendekatan metode dugaan analisis regresi kuadratik
dengan R2 yang lebih baik dibandingkan dugaaan regresi linier dan dugaan
regresi eksponenesial. Proyeksi dihitung hingga tahun 2009 dengan
menggunakan data dasar lulusan pada tahun 2000 sampai tahun 2005
merupakan data yang dikumpulkan langsung dari sekolah-sekolah tersebut.
Proyeksi jumlah lulusan pendidikan menengah kejuruan kelautan dan perikanan
pada tahun 2009 adalah 3.920 orang (Tabel 19).
54
Tabel 19 Proyeksi jumlah lulusan pendidikan menengah kejuruan kelautan dan perikanan sampai dengan tahun 2009.
Tahun Proyeksi Jumlah Lulusan 2005 2027 2006 2448 2007 2904 2008 3395 2009 3920
5.3.2 Kebutuhan tenaga kerja perikanan tangkap
Kebutuhan jumlah tenaga kerja pada kapal penangkap ikan > 30 GT pada
kapal penangkapan ikan Indonesia dapat diestimasi dengan melakukan tiga
pendekatan sebagai berikut :
1) Pendekatan Jumlah Kapal Perikanan
Guna memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai fluktuasi tahunan
jumlah kapal perikanan, data kapal perikanan tahun 1993-2004 dibuatkan indeks
dengan angka acuan yakni nilai 100 pada data tahun 1993 (data terkecil dalam
periode dari periode 1993-2004). Secara kasar dari tabel indeks tersebut
fluktuasi lebih jelas dengan pembanding tahun 1993. Selanjutnya diperoleh
rataan indeks sebesar 206,7 dengan standar deviasi 83,0 sehingga batas atas
289,7 dan batas bawah 123,7. Rataan indeks tersebut dibandingkan data tahun
indeknya menunjukkan bahwa kenaikan kapal tahunan sebesar 4091 kapal
dengan batas atas 5733 kapal dan batas bawah 2448 kapal. Batas bawah ini
yang digunakan secara minimal sebagai penambahan jumlah kapal tahunan.
Proyeksi kebutuhan SDM diasumsikan 20% dari jumlah awak kapal atau 0,2 x 15
x jumlah kapal.
2) Pendekatan Estimasi Potensi dan Estimasi Hasil Tangkapan Kapal Perikanan
Potensi tahunan perairan Indonesia sebesar 6.027.368 ton (Ditjen
Perikanan Tangkap, 2005). Estimasi potensi didasarkan pada porsi hasil
tangkapan kapal perikanan terhadap produksi perikanan total. Estimasi hasil
tangkapan didekati dengan asumsi ukuran palka 60% dari tonase dan hasil
tangkapnya merupakan 70% kapasitas palka, atau estimasi hasil tangkap
sebesar 0,7 x 0,6 x tonase. Sehingga diperoleh rataan porsi hasil tangkap
sebesar 22,4% dari total produksi total.
Keberadaan porsi potensi 22,4% merupakan estimasi potensi yang akan
dipakai selanjutnya dan setara dengan 1.350.130 ton. Rataan hasil tangkap
55
kapal perikanan sebesar 789,2 ton atau setara dengan 1710 kapal (berdasarkan
porsi potensi 1.350.130 ton) dengan standar deviasi 134,3. Batas atas hasil
tangkap sebesar 923,3 ton atau setara dengan upaya 1462 kapal, dan batas
bawah 654,7 ton atau setara dengan upaya 2061 kapal. Secara minimal jumlah
penambahan kapal tahunan yang digunakan adalah 1462 kapal. Selanjutnya
proyeksi SDM diasumsikan 0,2 x 15 x jumlah kapal.
3). Pendekatan Kajian Pusat Pengembangan SDMKP
Kajian kebutuhan SDM perikanan tangkap total telah dilaksanakan tahun
2005. Berkaitan dengan ini, hasil kajian tersebut dijadikan dasar untuk
menghitung proyeksi SDM menengah. Porsi SDM perikanan tangkap industri
terhadap total SDM perikanan tangkap dihitung berdasarkan asumsi kapal
perikanan diawaki oleh 20 orang. Sehingga diperoleh rataan porsi SDM
perikanan industri sebesar 2.5 % dengan standar deviasi 0.6. Batas atas rataan
ini 3.1% dan batas bawah 3.1%. Dilain pihak menurut data tahun 2003
menyatakan bahwa porsi SDM perikanan industri sebesar 1.9%. Untuk
pendekatan porsi ini dipakai rataan batas atas sebesar 3.1 % dan 2.3% darti
data tahun 2003 sehingga diperoleh rataan sebesar 2.7%. Selanjutnya proyeksi
SDM diasumsikan 0.27 x SDM perikanan tangkap total hasil kajian berdasarkan
pendekatan jumlah kapal.
Tabel 20 Proyeksi kebutuhan SDM dengan berbagai pendekatan
Tahun Proyeksi SDM Pendekatan Jml Kapal
(dasar fluktuasi tahunan)
Proyeksi SDM Pendekatan Jml
Kapal (dasar estimasi potensi)
Proyeksi SDM Pendekatan Studi
Sebelumnya
Proyeksi Lulusan
2004 12954 12954 1641 2005 20298 17340 2027 2006 27642 21726 2448 2007 34986 26112 65864 2904 2008 42330 30498 54990 3395 2009 49674 34884 45205 3920 2010 57018 39270 45205 4480
Rata-rata proyeksi SDM berdasarkan Tabel diatas sebesar 47164. Disisi lain,
kebutuhan SDM pada 2009 sebanyak 33722 orang sebagaimana dirumuskan
oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap DKP dengan komponen kebutuhan
(1) optimasi pemanfaatan potensi sumber daya ikan pada kapal > 30 GT (2) KII
pengganti KIA SKIM Lisensi, dan (3) pengganti Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Kebutuhan rumusan DKP paling dekat dengan proyeksi SDM berdasarkan
estimasi potensi pada Tabel 21 yakni sebesar 34884 orang.
56
5.3.3 Kesenjangan kebutuhan dan jumlah lulusan
Berdasarkan penjelasan proyeksi kebutuhan dan jumlah lulusan pada sub
bab sebelumnya terdapat adanya kesenjangan antara kebutuhan tenaga kerja
pada armada kapal penangkap ikan berskala industri dengan jumlah lulusan
yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan menengah kejuruan kelautan dan
perikanan. Masih besarnya peluang pengembangan armada penangkapan ikan
berarti masih terbuka dan tersedianya lapangan kerja bagi para lulusan.
Berdasarkan perhitungan jumlah lulusan yang tersedia pada saat ini dan
proyeksi jumlah lulusan sampai dengan tahun 2009 menunjukkan terdapat
perbedaan yang signifikan antara jumlah lulusan yang tersedia dengan jumlah
kebutuhan yang harus dipenuhi. Jumlah lulusan yang tersedia sampai tahun
2004 adalah 1.641 orang, sedangkan perkiraan jumlah tenaga kerja lulusan
pendidikan menengah kejuruan yang bekerja pada armada kapal penangkap
ikan skala industri pada tahun yang sama adalah berjumlah 19.717 orang.
sedangkan proyeksi kebutuhan tenaga kerja pada pengembangan armada
sampai dengan tahun 2009 diperkirakan akan tersedia tenaga kerja lulusan
tenaga menengah perikanan sebanyak 3.920 orang. Ironisnya pada survey yang
dilakukan banyak ditemukan lulusan pendidikan menengah kepelautan perikanan
yang tidak bekerja atau bekerja secara tetap secara tetap, hal tersebut
diantaranya disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :
1. Pendapatan bulanan yang ditawarkan dirasakan kurang memadai sehingga
banyak yang mencari penghasilan yang lebih baik, walaupun terpaksa harus
bekerja bukan pada latar belakang pendidikan
2. Mencari pendapatan yang lebih baik, banyak tenaga kerja pelaut perikanan
lulusan pendidikan menengah perikanan yang lebih memilih bekerja di luar
negeri karena penghasilan yang jauh lebih baik
3. Walaupun peluang bekerja berdasarkan perhitungan kebutuhan banyak
memberikan kesempatan, namun banyak perusahaan yang lebih senang
mempekerjakan tenaga asing, karena tenaga kerja lulusan pendidikan
menengah banyak yang tidak memiliki sertifikasi kepelautan
4. Jiwa melaut yang kurang dimiliki oleh para lulusan sangatlah mempengaruhi
mental para lulusan dalam ketahanan bekerja di laut yang membutuhkan
57
waktu yang cukup lama untuk berada di lautan dengan meninggalkan
keluarga
5.4. Strategi Pengembangan SDM Perikanan Tingkat Menengah 5.4.1. Identifikasi faktor-faktor strategis
Penentuan arah pengembangan tenaga perikanan menengah kelautan
dan perikanan dilakukan melalui analisis TOWS yang bersumber dari hasil
analisis holistik terhadap faktor internal dan faktor eksternal yang diperkirakan
mempengaruhi pengembangan tenaga teknis tersebut di masa yang akan
datang. Berdasarkan hasil analisis TOWS ditentukan prioritas strategi
pengembangan yang akan dijadikan acuan pembuatan model.
Bahasan tentang faktor internal berkaitan dengan identifikasi kekuatan
dan kelemahan yang selanjutnya dituangkan dalam matriks IFAS. Adapun faktor
eskternal berisi hasil identifikasi peluang dan ancaman dan dituangkan dalam
bentuk matriks EFAS. Tabel 21 dan Tabel 22 menyajikan matriks IFAS dan
EFAS pengembangan tenaga teknis perikanan tingkat menengah.
Tabel 21 Matriks analisis faktor strategi internal (IFAS) pengembangan tenaga teknis perikanan tingkat menengah
Faktor Strategi Internal Bobot Peringkat Terbobot Kekuatan 1 Potensi perikanan masih dapat dieksploitasi 0,08 3 0,24
2 Tersedianya lembaga pendidikan pencetak tenaga kerja perikanan 0,11 4 0,44
3 Partisipasi dalam kelembagaan internasional 0,07 2 0,14
4 Sistem perijinan kapal penangkap ikan sudah ada 0,08 3 0,24
5 Pengakuan internasional terhadap SDM perikanan Indonesia 0,08 2 0,16
Kelemahan 1 Adanya tumpang tindih kebijakan SDM 0,08 2 0,16
2 Kualitas sarana dan prasarana belum memadai 0,11 1 0,11
3 Rendahnya kompensasi yang diberikan kepada tenaga kerja perikanan 0,08 2 0,16
4 Kurangnya perhatian pemakai tenaga kerja perikanan 0,10 3 0,30
5 Masih banyak tenaga kerja perikanan yang belum memiliki sertifikat 0,11 1 0,11
6 Implementasi peraturan tenaga kerja perikanan masih kurang 0,10 3 0,30
Jumlah 1,00 2,07
58
Tabel 22 Matriks analisis faktor strategi eksternal (EFAS) pengembangan tenaga teknis perikanan tingkat menengah
Faktor Strategi Eksternal Bobot Peringkat Terbobot Peluang
1 Kebijakan optimalisasi pemanfaatan sumber daya perikanan 0,11 3 0,33
2 Masih banyaknya jumlah TKA pada kapal penangkapan ikan Indonesia 0,15 4 0,60
3 Permintaan tenaga kerja perikanan di luar negeri 0,13 3 0,39
4 Pengakuan regional terhadap kompetensi SDM perikanan Indonesia 0,10 2 0,20
Ancaman 1 Pencurian ikan oleh nelayan asing 0,11 2 0,22
2 Pelanggaran terhadap peraturan pengawakan kapal 0,15 3 0,45
3 Persaingan tenaga kerja dalam era perdagangan bebas 0,10 1 0,11
4 Pemberlakuan ketentuan internasional terhadap tenaga kerja perikanan 0,15 2 0,30
Jumlah 1,00 2,57
Ringkasan faktor strategis merupakan faktor kekuatan dan faktor kelemahan
pada faktor strategis internal maupun peluang dan ancaman pada faktor
eksternal dengan bobot tertinggi. Selanjutnya ringkasan faktor strategis tersebut
diberi peringkat dan dapat diidentifikasi faktor strategis dengan nilai terbobot
tertinggi sebagaimana Tabel 23.
Tabel 23 Ringkasan analisis faktor strategis kunci
No. Faktor strategis kunci Bobot Peringkat Terbobot1. Tersedianya lembaga pendidikan (S) 0.10 4 0.40 2. Kualitas sarana/prasarana belum memadai
(W) 0.10 1 0.10
3. Banyak tenaga kerja perikanan belum bersertifikat (W)
0.10 1 0.10
4. Jumlah TKA pada kapal penangkap ikan Indonesia (O)
0.10 4 0.40
5. Permintaan TKI luar negeri (O) 0.10 3 0.30 6. Pelanggaran peraturan pengawakan (T) 0.15 3 0.45 7. Pemberlakuan ketentuan internasional
terhadap tenaga kerja perikanan (T) 0.15 2 0.30
8. Kebijakan optimasi pemanfaatan SDI (O) 0.10 3 0.30 9. Pencurian ikan /illegal fishing (T) 0.10 2 0.20 1,0 2.55
59
Berdasarkan faktor-faktor strategis pengembangan tenaga teknis
perikanan tingkat menengah dianalisis pula Matriks TOWS untuk
menggambarkan relasi diantara faktor-faktor yang ada. Hubungan antara faktor-
faktor tersebut menghasilkan 7 strategi pengembangan tenaga teknis perikanan
tingkat menengah yang dikelompokkan dalam 4 strategi utama, yaitu strategi SO,
strategi ST, strategi WO dan strategi WT sebagaimana dapat dilihat pada Tabel
24 dan 25. Hasil perhitungan EFAS dan IFAS yang merupakan selisih antara
kekuatan dengan kelemahan, antara peluang dan ancaman selanjutnya
digambar pada kuadran TOWS sebagaimana pada Gambar 7.
Gambar 8 Hasil perhitungan EFAS dan IFAS dalam kuadran TOWS
Gambar 7 menunjukkan bahwa hasil perhitungan menempati posisi strategi
agresif pada kuadran TOWS dengan ordinat (0.88, 0.44)
Strategi agresif
Strategi konservatif
Strategi defensif
Strategi kompetitif
(0,88 ; 0,44)
S
O T
W
S = Strengthen/Kekuatan
W = Weakness/Kelemahan
O = Opportunity / Peluang
T = Treath / Ancaman
60
Tabel 24 Matrik hubungan antar faktor-faktor strategis
Kekuatan (S)
1. Potensi perikanan masih dapat dieksploitasi
2. Tersedianya lembaga pendidikan pencetak tenaga kerja perikanan
3. Partisipasi dalam kelembagaan internasional
4. Sistem perijinan kapal penangkap ikan sudah ada
5. Pengakuan internasional terhadap SDM perikanan Indonesia
Kelemahan (W)
1. Adanya tumpang tindih kebijakan SDM
2. Kualitas sarana dan prasarana belum memadai
3. Rendahnya kompensasi yang diberikan kepada tenaga kerja perikanan
4. Kurangnya perhatian pemakai tenaga kerja perikanan
5. Masih banyak tenaga kerja perikanan yang belum memiliki sertifikat
6. Impelementasi perauturan tenaga kerja perikanan masih kurang
Peluang (O)
1. Kebijakan optimalisasi pemanfaatan sumber daya perikanan
2. Masih banyaknya jumlah TKA pada kapal penangkapan ikan Indonesia
3. Permintaan tenaga kerja perikanan di luar negeri
4. Pengakuan regional terhadap kompeten SDM perikanan Indonesia
1. Peningkatan jumlah
lembaga pendidikan perikanan tingkat menengah berkualitas
2. Kerjasama regional penyaluran tenaga kerja perikanan
1. Pembenahan kualitas sarana
dan prasarana pendidikan 2. Kebijakan sertifikasi tenaga
kerja perikanan secara nasional
Ancaman (T)
1. Pencurian ikan oleh nelayan asing
2. Pelanggaran terhadap peraturan pengawakan kapal
3. Persaingan tenaga kerja dalam era perdagangan bebas
4. Pemberlakuan ketentuan internasional terhadap tenaga kerja perikanan
1. Peningkatan kualitas SDM
perikanan melalui pembenahan sistem pendidikan berbasis kompetensi
2. Harmonisasi sistem perizinan dan pengawakan kapal
1. Sosialisasi peraturan terkait
tenaga kerja perikanan
Tabel 25 Matriks TOWS pengembangan tenaga teknis perikanan menengah
No Strategi Faktor terkait Jumlah bobot Prioritas
Strategi SO 1 Peningkatan jumlah lembaga
pendidikan perikanan tingkat menengah berkualitas S1,S2,O1,O2,O3 2,00 2
2 Kerjasama regional penyaluran tenaga kerja perikanan S2,S3,S5,O3,O4 1,33 4
Strategi ST 1 Peningkatan kualitas SDM perikanan
melalui pembenahan sistem pendidikan berbasis kompetensi S2,S5,T3,T4 1,00 6
2 Harmonisasi sistem perizinan dan pengawakan kapal S4,T1,T2 0,91 7
Strategi WO 1
Pembenahan kualitas sarana dan prasarana pendidikan
W1,W2,W3,W4,O1, O2,O3 2,05 1
2 Kebijakan sertifikasi tenaga kerja perikanan secara nasional W1,W5,W6,O2,O3 1,56 3
Strategi WT 1 Sosialisasi peraturan terkait tenaga
kerja perikanan W6,T2,T4 1,05 5
61
5.4.2 Strategi pengembangan tenaga teknis perikanan tingkat menengah
Berdasarkan analisis TOWS dan pendapat dari nara sumber diperoleh
gambaran kondisi faktor pendorong serta faktor penghambat dalam
pengembangan tersebut. Komponen – komponen esensial dari kondisi tersebut
dijadikan acuan dalam penyusunan strategi pengembangan penyediaan tenaga
teknis perikanan tingkat menengah. Strategi pengembangan yang dirancang
meliputi : (1) pengembangan infrastruktur, (2) peningkatan kualitas lembaga
pendidikan perikanan, (3) kebijakan sertifikasi, (4) pengembangan kerjasama, (5)
peraturan tenaga kerja (6) sistem pengelolaan pendidikan, (7) perijinan kapal
penangkap ikan.
5.4.2.1 Strategi pengembangan infrastruktur
Infastruktur pendukung pengembangan tenaga teknis kelautan dan
perikanan tingkat menengah yang tersedia pada lembaga pendidikan kejuruan
yang ada pada saat ini relatif masih jauh dari memadai. Kondisi ketersediaan
infrastruktur yang tidak merata pada setiap lembaga pendidikan menyebabkan
produk kualitas lulusan yang dihasilkan masih berbeda, sehingga diperlukan
adanya suatu standar sarana dan prasarana yang dapat diacu oleh seluruh
lembaga pendidikan yang ada. Banyak lembaga pendidikan yang hanya
memiliki sarana gedung tempat belajar namun tidak memiliki sarana bagi siswa
untuk melakukan praktek. Padahal lulusan yang dihasilkan oleh lembaga
pendidikan kejuruan seharusnya merupakan tenaga kerja yang siap pakai.
Kondisi ini menunjukkan kemampuan dan keterampilan tenaga-tenaga yang
dihasilkan sangatlah bergantung pada latihan/praktek ataupun magang selama
menjalani pendidikan.
Kegiatan pengembangan pendidikan sangatlah mutlak membutuhkan
infrastruktur yang menyangkut prasarana dan sarana yang memadai. Kondisi
infrastruktur yang ada saat ini pada rata-rata lembaga pendidikan formal
menengah kejuruan kelautan dan perikanan diduga menyebabkan kurang
berkualitasnya lulusan yang dihasilkan. Sehingga untuk meningkatkan mutu
lulusan maka lembaga pendidikan dituntut untuk dapat menyediakan sarana dan
prasarana sesuai standar yang telah ditetapkan dalam STCW- F 1995.
Permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan sarana dan prasarana
sangatlah berkaitan dengan besarnya dana yang harus dipersiapkan dan
62
disediakan karena mahalnya biaya sarana tersebut. Sesuai dengan ketentuan
dalam STCW – F disebutkan bahwa selain komponen sarana pembelajaran yang
dipersiapkan selama pendidikan, juga harus disediakan sarana khusus yang
diperlukan untuk melengkapi kemampuan siswa misalnya yang berkaitan dengan
keselamatan di kapal, pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan
dan lingkungan perairan daerah penangkapan. Agar pengembangan tenaga
teknis perikanan tingkat menengah dalam menghasilkan tenaga kerja yang
memilki kemampuan sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan diperlukan
suatu kebijakan yang bersifat nasional. Hal tersebut sangatlah berkaitan dengan
kemampuan pemerintah dalam mengelola lembaga pendidikan kejuruan yang
telah eksis pada saat ini diantaranya dengan :
1. Melakukan seleksi prioritas pengembangan terhadap lembaga-lembaga
pendidikan yang ada
2. Menetapkan batas waktu kepada lembaga pendidkan untuk memenuhi
ketentuan pengembangan yang dipersyaratkan
3. Melaksanakan pengawasan pengembangan terhadap lembaga pendidkan
4. Menetapkan ketentuan yang menyangkut persyaratan pendirian lembaga
pendidikan kejuruan secara ketat
5.4.2.2 Strategi peningkatan kualitas lembaga pendidikan perikanan
Kebutuhan akan tenaga kerja kepelautan berpendidikan menengah
perikanan masih sangatlah diperlukan untuk memenuhi tenaga kerja pada
armada kapal penangkapan ikan mengingat masih tersedianya potensi
pengembangan pada usaha penangkapan ikan dalam memanfaatkan sumber
daya perairan. Banyak lulusan berpendidikan kepelautan perikanan diharapkan
dapat mengganti tenaga kerja asing yang masih dipekerjakan oleh para pemilik
kapal
Selain kebutuhan awak kapal perikanan di dalam negeri, permintaan
tenaga kerja berpendidikan kepelautan perikanan diluar negeri seperti di Korea,
Jepang dan Taiwan semakin terbuka, mengingat semakin menurunnya minat
para pemuda dinegara tersebut untuk bekerja di laut. Di luar negeri, pelaut
perikanan banyak bekerja pada kapal penangkap ikan tuna (long liner), kapal
pukat cincin (purse-seiner) dan kapal pukat harimau (trawler) dan kapal
pengangkut ikan. Pemegang sertifikat pelaut perikanan Indonesia, seperti
63
MPL/AMKPL atau ANKAPIN/ATKAPIN sebelum diberlakukannya konvensi
STCW masih diperbolehkan mengawaki kapal pengangkut ikan. Namun, dengan
adanya penggolongan bahwa kapal pengangkut ikan sebagai kapal niaga maka
pengawakan kapal pengangkut ikan oleh pemegang sertifikat MPL/AMKPL atau
ANKAPIN/ATKAPIN tidak diperkenankan lagi.
Untuk menghasilkan SDM pelaut perikanan yang memenuhi standar
internasional tahan bekerja di laut diperlukan lembaga pendidikan dan pelatihan
yang didukung dengan kurikulum berdasarkan kompetensi kerja (competency
based training), tenaga pengajar yang berpengalaman lapangan, sesuai standar
kurikulum yang digunakan, serta memiliki sarana prasarana pendidikan sesuai
dengan standard STCW-F 1995 dari IMO. Secara umum isu yang berkembang
tentang tenaga pelaut perikanan Indonesia, adalah sebagai berikut:
a. Pelaut belum memenuhi persyaratan internasional IMO sehingga rentan
untuk dipulangkan ke Indonesia;
b. Kesempatan untuk menduduki jabatan Perwira kapal perikanan asing di luar
negeri masih kecil;
c. Pelaut perikanan diberi upah lebih rendah dibanding dengan pelaut dari
negara lain pada jabatan yang setingkat;
d. Pelaut perikanan Indonesia yang dikirim ke luar negeri kurang profesional;
e. Pelaut perikanan disukai pengusaha karena loyal, patuh, dan tidak mabuk-
mabukan;
f. Pelaut perikanan sering homesick.
g. Generasi muda negara maju seperti Jepang , Korea kurang berminat bekerja
menjadi pelaut perikanan.
h. Belum dipatuhinya hukum dan peraturan pengawakan kapal perikanan,
khususnya kapal penangkap ikan berbendera asing;
i. Masih banyak pelaut perikanan belum memiliki sertifikat kepelautan.
j. Upah yang diterima pelaut perikanan di dalam negeri cenderung di bawah
upah minimum di darat.
k. Kemampuan penguasaan bahasa Inggris dan bahasa negara tempat bekerja
masih sangat lemah.
Diperlukan penyesuaian pengetahuan dan ketrampilan bagi para pelaut
perikanan Indonesia melalui lembaga pendidikan dan pelatihan perikanan yang
berstandar konvensi IMO-STCW-F 1995 sehingga para pelaut perikanan memiliki
daya saing tinggi, memiliki knowledge and skills tentang penyelamatan jiwa,
64
harta di laut, menjaga lingkungan laut, serta mampu melaksanakan penangkapan
ikan secara bertanggung jawab (responsible fishing). Hal ini perlu didukung
sistem ujian pada lembaga uji yang independent, pengawakan yang sesuai
dengan tingkat dan jenis sertifikatnya.
5.4.2.3 Strategi kebijakan sertifikasi
Berkaitan dengan kompetensi pelaut, sekarang ini untuk para pelaut
niaga dituntut untuk memenuhi persyaratan Standard Training Certification and
Watchkeeping for Seaferer, sedangkan untuk pelaut kapal perikanan dituntut
untuk memenuhi standar kompetensi berdasarkan Standard Training
Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnels (STCW-F) 1995
dari International Maritime Organization (IMO). Pelaut berstandar dimaksud,
yakni memiliki pengetahuan dan ketrampilan tentang keselamatan jiwa, harta
dan menjaga lingkungan agar laut tetap bersih dan terbebas dari polusi (clean
ocean) serta melakukan penangkapan ikan yang bertanggung jawab
(responsible fishing). Hal yang sama berlaku bagi para pengajar dan penguji
yang harus mempunyai sertifikat IMO model course 6.09 dan 3.12.
Pemenuhan kebutuhan awak kapal perikanan pada kapal-kapal
perikanan tangkap sekarang ini sangatlah ditentukan oleh kemampuan lulusan
yang ditandai dengan sertifikat yang dimiliki. Sertifikat tersebut merupakan
bentuk pengukuhan terhadap keahlian yang dimiliki oleh seseorang yang
dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dalam hal ini Ditjen Perhubungan
Laut sebagai lembaga pemerintah yang mendapat mandat dari International
Maritime Organization. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dikatakan sertifikat
ANKAPIN dan ATKAPIN merupakan hal mutlak yang harus dimiliki oleh tenaga
kerja siap pakai yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan kelautan dan
perikanan. Armada penangkap ikan di luar negeri seperti di kapal: Jepang,
Korea, Taiwan, Panama, Spanyol, dan Australia. Demikian pula di luar negeri
pelaut perikanan banyak tenaga kerja perikanan tingkat menengah yang bekerja
pada kapal penangkap ikan tuna (long liner), kapal pukat cincin (purse-seiner)
dan kapal pukat harimau (trawler) sebagai pemegang sertifikat pelaut perikanan
Indonesia, ANKAPIN atau ATKAPIN.
Untuk menghasilkan SDM pelaut perikanan yang memenuhi standar
internasional tahan bekerja di laut diperlukan lembaga pendidikan dan pelatihan
65
yang didukung dengan kurikulum berdasarkan kompetensi kerja (competency
based training), tenaga pengajar yang berpengalaman lapangan, sesuai standar
kurikulum yang digunakan, serta memiliki sarana prasarana pendidikan sesuai
dengan STCW-F 1995 dari IMO. Pengukuhan yang diberikan kepada lulusan
pendidikan menengah belum seluruhnya dilakukan oleh seluruh lembaga
pendidikan yang ada. Hal ini selain belum adanya kesadaran pada pengelola
pendidikan, juga disebabkan oleh keterbatasan sarana, prasarana serta dana
penyelenggaraan ujian. Oleh karenanya diperlukan suatu penetapan kebijakan
terhadap kualitas lulusan yang dihasilkan harus dikukuhkan dengan sertifikasi.
Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan SDM pembangunan sektor
kelautan dan perikanan khususnya kebutuhan tenaga yang berkualifikasi
nahkoda dan perwira kapal penangkap ikan, baik untuk beroperasi di perairan
Indonesia maupun perairan bebas (unlimited water), dan untuk persiapan
ratifikasi STCW-F 1995 dari IMO oleh Pemerintah Indonesia, maka telah
ditetapkan suatu ketentuan oleh pihak yang berwenang yang berisi pengaturan
tentang pengujian dan sertifikasi keahlian pelaut serta pengawakan kapal
penangkap ikan sesuai dengan ketentuan STCW-F.
5.4.2.4 Strategi pengembangan kerjasama
Kerjasama merupakan salah satu instrumen dalam pelaksanaan
penyaluran tenaga kerja yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan kejuruan
kelautan dan perikanan. Melalui kerjasama diharapkan lembaga pendidikan
dapat mengetahui kelemahan ataupun kekurangan terhadap hasil lulusan atau
tenaga kerja siap pakai yang dihasilkan sehingga dapat segera dilakukan
perbaikan atau melengkapinya sesuai kebutuhan pasar.
Kerjasama yang baik dilakukan terhadap semua unsur yang berkaitan
dengan lembaga pendidikan tersebut, yaitu baik pengguna lulusan dalam hal ini
adalah pengusaha atau pemilik perusahaan maupun pemerintah penentu
kebijakan dalam hal pendidikan nasional dan kebijakan dalam hal pengaturan
tenaga kerja. Pemilik perusahaan memilki peranan yang sangat penting karena
mereka merupakan pasar yang akan menggunakan tenaga-tenaga yang telah
terdidik dilembaga pendidikan selama 3 tahun, sehingga penyerapan lulusan
sangatlah bergantung kepada perusahaan-perusahaan penangkapan ikan
tersebut. Adapun penentu kebijakan dalam pendidikan nasional merupakan
lembaga pemerintah yang menetapkan ketentuan terkait dengan
66
penyelenggaraan pendidikan diantaranya pendidikan kejuruan perikanan.
Sedangkan lembaga pemerintah yang mengatur tentang tenaga kerja merupakan
penentu kebijakan yang mengatur ketentuan yang menyangkut hubungan kerja
antara pemilik dan pekerja.
Permasalahan yang dihadapi dalam kerjasama antara lembaga
pendidikan dan pengguna lulusan adalah belum berstandarnya kemampuan atau
mutu lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan kejuruan. Keadaan ini
memharuskan pengguna hanya menggunakan tenaga-tenaga yang mereka nilai
memiiki kemampuan yang dibutuhkan. Disamping itu belum adanya standarisasi
upah tenaga kerja perikanan pada kapal-kapal penangkap ikan menyebabkan
masih lemahnya posisi para lulusan untuk melakukan penawaran pendapatan
yang lebih layak. Oleh karena nya dibutuhkan suatu kesamaan terhadap tenaga
yang yang dihasilkan disamping diperlukannya suatu wadah untuk menampung
aspirasi dan menjadi pintu utama potensi penawaran terhadap pengguna tenaga
kerja untuk mendapatkan pendapatan dan fasilitas pekerja yang lebih layak.
Salah satu negara yang banyak menerima tenaga kerja pelaut perikanan
pada armada kapal penangkapan ikannya adalah Jepang. Para pelaut
penangkap ikan Indonesia ternyata dapat diterima dengan baik oleh pengusaha
perikanan Jepang. Data statistik menunjukkan bahwa sejak tahun 1990 terjadi
kenaikan secara signifikan jumlah pelaut Indonesia pada kapal penangkap ikan
Jepang. Pada tahun 1990 pelaut Indonesia yang bekerja pada kapal tuna di
Jepang masih berjumlah 759 orang dan pada tahun 2002 sudah mencapai 4.867
orang. Menurunnya minat pemuda Jepang, sejak dua puluh tahun belakangan
ini untuk bekerja di laut membuka peluang lebih besar untuk mengisi tenaga
kerja yang dibutuhkan. Data statistik menunjukkan bahwa jumlah pelaut
penangkap ikan Jepang tahun 1990 sebanyk 10.155 orang dan pada tahun 2002
tinggal 2.943 orang. Karena kondisi seperti ini perusahaan penangkapan ikan
Jepang mulai kesulitan untuk memperoleh tenaga pelaut Jepang. Jumlah kapal
penangkap ikan tuna Jepang saat ini lebih dari 422 kapal dengan jumlah awak
kapal (crew) per unit kapal antara 20 - 22 orang. Perbandingan crew Indonesia
dan crew Jepang adalah 13,9 dibanding 8,4 atau 65 % adalah dari Indonesia.
Selanjutnya untuk kesinambungan penggunaan tenaga pelaut perikanan
pada kapal-kapal ikan di Jepang maka kiranya perlu dibangun kerjasama yang
saling menguntungkan kedua belah pihak. Pelaut perikanan Indonesia mendapat
kesempatan kerja serta meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan
67
pengalaman dari kemajuan industri penangkapan ikan Jepang, adapun pihak
Jepang mendapat dukungan tenaga kerja penangkap ikan dari Indonesia.
5.4.2.5 Strategi peraturan tenaga kerja
Sampai saat ini masih belum ada peraturan khusus yang mengatur
tentang masalah ketenagakerjaan anak buah kapal atau tenaga kerja yang
bekerja pada kapal penangkap ikan. Peraturan tersebut menjadi sangat penting
karena akan memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban pemilik dan anak buah kapal. Kesenjangan kesejahteraan yang
diperoleh oleh para pekerja kapal penangkap ikan dan kapal niaga seringkali
menjadi penyebab berkurangnya minat pemuda untuk bekerja pada kapal
penangkap ikan. Ketentuan yang diperlukan untuk mengatur permasalahan
tenaga kerja pelaut perikanan sebaiknya bersusun secara bersama antara
lembaga pemerintah yang mengatur tentang ketenagakerjaan dan lembaga
pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pengembangan sektor tersebut.
5.4.2.6 Strategi perijinan kapal penangkap ikan
Seiring dengan keinginan para pengusaha perikanan menjadi tuan rumah
di lautnya sendiri dengan berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan
diharapkan dapat mengatur kebijakan pemberian ijin operasi bagi kapal
penangkap ikan yang melakukan kegiatan di perairan Indonesia. Termasuk juga
menghentikan kerjasama bilateral penangkapan ikan dengan beberapa negara
asing. Agar sumber daya yang tersedia masih tetap dapat dimanfaatkan dengan
baik, maka penghentian kapal-kapal asing akan digantikan armada kapal
nasional. Pengoperasian armada nasional akan membuka peluang bagi tenaga
kerja pelaut perikanan diantaranya lulusan pendidkan menengah kejuruan
kelautan dan perikanan.
Sistim perijinan yang diberikan kepada para pemilik armada kapal
perikanan harus menngikuti ketentuan yang telah dikeluarkan oleh Menteri
Kelautan dan Perikanan, sebagai bentuk kebijakan satu atap dalam upaya
menertibkan ijin operasi armada kapal penangkap ikan. Melalui pemberian ijin
yang terkendali, maka pengelolaan pemanfataan sumber daya perairan dalam
dikendalikan serta menjadi berkelanjutan.