45790104 Mekanisme Gatal Pruritus

download 45790104 Mekanisme Gatal Pruritus

of 5

description

pruritus

Transcript of 45790104 Mekanisme Gatal Pruritus

  • Pruritus oleh Evan Regar, 0906508024

    Pendahuluan

    Pruritus, atau gatal, adalah sensasi yang menimbulkan keinginan kuat untuk

    melakukan penggarukan.1 Definisi ini bahkan telah diungkapkan oleh Samuel

    Hafenreffer sekitar 340 tahun yang lalu. Secara umum, pruritus adalah gejala

    dari pelbagai penyakit kulit, baik lesi priemr maupun lesi sekunder, meskipun

    ada pruritus yang ditimbulkan akibat faktor sistemik non-lesi kulit. Pruritus

    yang tidak disertai kelainan kulit disebut pruritus esensial (pruritus sine

    materia).2

    Lesi kulit primer yang merupakan tahap diagnostik utama dapat mengalami

    obiterasi atau perubahan menjadi bentuk lesi kulit sekunder, sehingga

    diagnosis menjadi sulit ditegakkan.

    Jenis Pruritus

    Menurut Twcross, jenis penyebab pruritus dapat digolongkan menjadi: (1)

    pruritoseptif; (2) neuropati; (3) neurogenik; dan (4) psikogenik. Gatal

    pruritoseptif adalah gatal yang berasal dari kulit dan terjadi akibat adanya

    pruritogen, seperti kulit yang kering, terjadi inflamasi, serta terjadi kerusakan

    kulit. Gatal neuropatik adalah gatal yang terjadi akibat terdapat lesi di jaras

    aferen penghantaran impuls, seperti neuralgia dan gangguan serebrovaskuler.

    Gatal neurogenik adalah gatal yang berasal dari pusat (sentral) tanpa disertai

    keadaan patologis. Contohnya adalah sumbatan kantung empedu yang akan

    meningkatkan kadar senyawa opioid yang akan memicu timbulnya pruritus.

    Sementara itu, gatal psikogenik adalah gatal yang cenderung ditimbulkan

    akibat aktivitas psikologis dan kebiasaan berulang. Misalnya, ketakutan

    terhadap parasit (parasitofobia) dapat menyebabkan sensasi gatal.

    Patofisiologi

    Diketahui bahwa zat-zat kimia dan rangsangan fisik (mekanik) dapat memicu

    terjadi pruritus. Stimulasi terhadap ujung saraf bebas yang terletak di dekat

    junction dermoepidermal bertanggung jawab untuk sensasi ini. Sinaps

    terjadi di akar dorsal korda spinalis (substansia grisea), bersinaps dengan

    neuron kedua yang menyeberang ke tengah, lalu menuju traktus

    spinotalamikus kontralateral hingga berakhir di thalamus. Dari thalamus,

    terdapat neuron ketiga yang meneruskan rangsang hingga ke pusat persepsi

    di korteks serebri.

    Sempat diduga bahwa pruritus memiliki fungsi untuk menarik perhatian

    terhadap stimulus yang tidak terlalu berbahaya (mild surface stimuli),

    sehingga diharapkan ada antisipasi untuk mencegah sesuatu terjadi. Namun

    demikian, seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran dan penemuan

    teknik mikroneurografi (di mana potensial aksi serabut saraf C dapat diukur

    menggunakan elektroda kaca yang sangat halus) berhasil menemukan

    serabut saraf yang terspesiaslisasi untuk menghantarkan impuls gatal, dan

    dengan demikian telah mengubah paradigma bahwa pruritus merupakan

    stimulus nyeri dalam skala ringan.5

    Saraf yang menghantarkan sensasi gatal (dan geli, tickling sensation)

    merupakan saraf yang sama seperti yang digunakan untuk menghantarkan

    rangsang nyeri. Saat ini telah ditemukan serabut saraf yang khusus

    menghantarkan rangsang pruritus, baik di sistem saraf perifer, maupun di

    sistem saraf pusat.4 Ini merupakan serabut saraf tipe C tak termielinasi. Hal

    ini dibuktikan dengan fenomena menghilangnya sensasi gatal dan geli ketika

    dilakukan blokade terhadap penghantaran saraf nyeri dalam prosedur

    anestesi.3 Namun demikian, telah ditemukan pula saraf yang hanya

    menghantarkan sensasi pruritus. Setidaknya, sekitar 80% serabut saraf tipe

    C adalah nosiseptor polimodal (merespons stimulus mekanik, panas, dan

  • kimiawi); sedangkan 20% sisanya merupakan nosiseptor mekano-insensitif,

    yang tidak dirangsang oleh stimulus mekanik namun oleh stimulus kimiawi.

    Dari 20% serabut saraf ini, 15% tidak merangsang gatal (disebut dengan

    histamin negatif), sedangkan hanya 5% yang histamine positif dan

    merangsang gatal. Dengan demikian, histamine adalah pruritogen yang

    paling banyak dipelajari saat ini. Selain dirangsang oleh pruritogen seperti

    histamin, serabut saraf yang terakhir ini juga dirangsang oleh temperatur.

    Gambar 1 Jaras naik dan turun yang memodulasi pruritus, gambaran

    tersimplifikasi4

    Lebih dari itu, perkembangan ilmu kedokteran telah menunjukkan bahwa sel-

    sel keratinosit mengekspresikan mediator neuropeptida dan receptor yang

    diduga terlibat dalam patofisiologi pruritus, termasuk diantaranya NGF

    (nerve growth factor) dan reseptor vanilloid TRPV1 ; serta PAR 2

    (proteinase activated receptor type 2), juga kanal ATP berbasis voltase.

    Dengan demikian, epidermis dan segala percabangan serabut saraf

    intraepidermal terlebih tipe C-lah yang dianggap sebagai reseptor gatal,

    bukan hanya persarafan saja.

    TRPV1 diaktivasi dan didesentisasi oleh senyawa yang terkandung dalam

    cabe, capsaicin. Reseptor kanabioid (CB1) terletak bersama-sama dengan

    TRPV1 dan menyebabkan endokanabioid juga dapat merangsang TRPV1 dan

    memungkinkan kanabioid berperan dalam modulasi pruritus.4

    Melaui jaras asenden, stimulus gatal akan dipersepsi oleh korteks serebri.

    Saat ini, melalui PET (ositron-emission tomography) dan fMRI (functional

    MRI), aktivitas kortikal dapat dinilai dan terkuak bahwa girus singuli anterior

    (anterior singulate) dan korteks insula terlibat dan berperan dalam

    kesadaran sensasi gatal6, menyebabkan efek emosional berpengaruh

    kepada timbulnya gatal, serta korteks premotor yang diduga terlibat dalam

    inisasi tindakan menggaruk.

    Sensasi gatal hanya akan dirasakan apabila serabut-serabut persarafan

    nosiseptor polimodal tidak terangsang. Rangsangan nosiseptor polimodal

    terhadap rangsang mekanik akan diinterpretasikan sebagai nyeri, dan akan

    menginhibisi 5% serabut saraf yang mempersepsi gatal. Namun demikian,

    setelah rangsang mekanik ini dihilangkan dan pruritogen masih ada, maka

    sensasi gatal akan muncul lagi.

    Perlu diingat bahwa tidaklah semua rangsang gatal dicetuskan dari serabut

    saraf histamin positif ini, melainkan ada pula rangsang gatal yang dicetuskan

    oleh rangsangan nosiseptor polimodal.

    Pada hewan, ditemukan refleks garuk (scratch reflexes) yang timbul akibat

    adanya eksitasi terhadap reseptor pruritus. Fenomena refleks ini kontras

    dengan fenomena refleks tarik (withdrawal reflex) apabila terjadi rangsang

    nyeri.

  • Keterlibatan Pemrosesan Sensasi Gatal di Sistem Pusat

    Melaui jaras asenden, stimulus gatal akan dipersepsi oleh korteks serebri.

    Saat ini, melalui PET (ositron-emission tomography) dan fMRI (functional

    MRI), aktivitas kortikal dapat dinilai dan terkuak bahwa girus singuli anterior

    (anterior singulate) dan korteks insula terlibat dan berperan dalam

    kesadaran sensasi gatal6, menyebabkan efek emosional berpengaruh

    kepada timbulnya gatal, serta korteks premotor yang diduga terlibat dalam

    inisasi tindakan menggaruk. Selain itu, korteks prefrontal, orbitofrontal,

    serebelum, dan periaqueductal gray diketahui memiliki keterlibatan dalam

    pruritus. Endovanilloid dan endokanabinoid ditemukan di sistem pusat dan

    dapat meregulasi TPRV1 secara terpusat.

    Kontras terhadap kejadian gatal yang muncul di perifer, gatal sentral adalah

    kopmleks dan belum dimengerti secara mendalam. Gatal jenis ini dipersepsi

    terjadi di kulit, namun tidak diinisiasi dari kulit melainkan berasal dari sistem

    saraf pusat. Gatal jenis ini cenderung diakibatkan disfungsi proses dari

    informasi sensoris di jaras pusat.4 Terjadi interaksi kompleks antara eksitasi

    di perifer dengan disinhibisi (dis-, menegatifkan kata inhibisi) pusat.

    Peptida opioid selain bekerja di perifer, juga berperan penting di pusat.

    Morfin, sebagai contoh, dapat mengurangi rasa nyeri, namun meningkatkan

    rangsang gatal.5 Nalokson (atau peptida- opioid lain) justru mengurangi

    rasa gatal. Peptida ini memodulasi kanal ion kalsium di serabut saraf C yang

    terletak di sistem saraf pusat.

    (miu) opioid menginhibisi pruritus central, sementara (kappa)-opioid

    memiliki efek antirpruritus. Dengan diketahui mekanisme ini,

    ketidakseimbangan kedua sistem ini di sistem saraf pusat dapat

    menimbulkan pruritus sentral. Mekanisme ini juga menjadi dasar

    penggunaan obat-obat antipruritus secara efek farmakologis.

    Mediator yang Berperan Dalam Gatal Pruritoseptif4, 5, 6

    Senyawa terpenting adalah histamin. Histamin merupakan produk

    degranulasi sel mast dan basofil, selain dapat dihasilkan oleh makrofag dan

    limfosit. Jenis histamin H1 ditemukan menyebabkan gatal. Histamin banyak

    dilepaskan setelah terjadi cidera yang melibatkan dermal. Sementara itu,

    reseptor H3 terlibat dalam modulasi gatal, dan bekerja antagonis dengan H1.

    H4 juga dapat menyebabkan gatal. Serotonin terutama terlibat dalam gatal

    pusat, dan mungkin berperan dalam gatal neurogenik pada pasien uremia

    (gagal ginjal). Keduanya merupakan golongan amina.

    Asetilkolin, bekerja melalui reseptor muskarinik, menyebabkan gatal di

    individu atopik; dan sensasi terbakar di individu non-atopik. Pada penderita

    dermatitis atopik, ACh yang dihasilkan oleh keratinosit akibat inflamasi dapat

    mencetuskan rasa gatal.6

    Eikosanoid dilepaskan oleh infiltrat leukosit dan sel mast, dan bekerja

    dengan mengaktifkan TRPV1 dan TRPV4. Prostaglandin mengurangi ambang

    letup gatal akibat eikosanoid (memudahkan tiimbulnya gatal). Sebagai

    contoh, endovanniloid mengaktifkan TRPV1 dengan memengaruhi kanal ion

    kalsium terutama di sel neuron dan non-neuronal (termasuk keratinosit),

    sehingga meningkatkan kecenderungan untuk gatal. Aktivasi TRPV1

    keratinosit menyebabkan pelepasan mediator pruritogenik. Penggunaan

    vanniloid topikal (seperti capsaicin) mendesensitisasi TRPV1 baik neuronal

    maupun non-neuronal, sehingga melawan aktivitas pruritogenik dan

    mencegah timbulnya gatal.

    Sitokin, seperti IL-2 dan IL-31 terlibat dalam pruritus. IL-2 terutama adalah

    penginduksi yang poten, sementara IL-31 ditemukan menyebabkan pruritus

    di individu atopik yang overekspresi IL-31.

  • NEUROPEPTIDA yang terpenting adalah substansi P (SP) yang dihasilkan

    akibat aktivasi serabut saraf C (disebut dengan refleks aksonal), selain juga

    akan melepaskan mediator eikosanoid inflamasi dan histamin. Substansi P

    akan meningkat jumlahnya apabila terjadi inflamasi, sehingga zat ini adalah

    salah satu mediator terpenting yang berperan dalam gatal akibat inflamasi.

    Substansi P secara selektif menyebabkan pelepasan histamin oleh sel mast.

    Aktivitasnya menurun akibat stress, serta meningkat akibat penuaan dan

    keadaan malam. CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide) juga

    neurotransmiter golongan pptida utama, disamping neuropeptida lain

    seperti VIP (Vasoactive intestinal peptide), endothelin, neurotensin, dan

    neurotrophin, serta neurokinin A (NKA). Neurotrophin, seperti NGF bekerja

    dengan menurunkan ambang gatal, meningkatkan regulasi reseptor

    vanilloid, serta meningkatkan produksi substansi P. Berperan terutama

    pada gatl akibat dermatitis atopik.

    Menggaruk Memodulasi dan Meregulasi Gatal

    Tindakan menggaruk (scratching) merupakan tindakan yang mengaktivasi

    serabut saraf A- termielinasi yang akan menekan proses rangsang gatal di

    tingkat substansia gelatinosa korda spinalis dan mengaktivasinya.

    Mekanisme modulasi gatal pada umumnya menggunakan sistem gerbang

    (gated mechanism) Selain itu, akar dorsal juga menerima sinyal inhibisi dari

    daerah periakuaduktus otak tengah. Selain itu, menggaruk akan merangsang

    serabut saraf C polimodal yang akan menimbulkan impuls nyeri dan

    menginhibisi timbulnya impuls gatal.

    Alloknesis4,5

    Alloknesis merupakan stimulus yang dalam keadaan normal tidak

    mencetuskan sensasi gatal (seperti sentuhan ringan, perubahan temperatur),

    namun dipersepsikan sebagai pruritus. Fenomena ini terjadi akibat sensitisasi

    central, yang akan ditemukan pada pasien dengan dermatitis atopik sebagai

    respons terhadap keringat dan perubahan temperatur. Dugaan sementara

    kejadian ini adalah akibat eksitasi berlebihan pemroses rangsang gatal pusat

    akibat proses gating (mekanisme inhibisi) yang terganggu. Gatal yang

    kronis juga timbul akibat sensitisai terhadap jaras pruritus di pusat, sehingga

    menggaruk justru menambah intens tingkat kegatalan daripada

    menguranginya.

    Etiologi Gatal1,2

    Faktor eksogen antara lain:

    Penyakit dermatologik

    Dermatitis kontak (dengan pakaian, logam, serta benda asing)

    Rangsangan dari ektoparasit (misal: serangga, tungau skabies,

    pedikulus, larva migrans)

    Faktor lingkungan (menyebabkan kulit kering atau lembab)

    Faktor endogen antara lain adanya reaksi obat atau adanya penyakit.

    Penyakit sistemik dapat menimbulkan gejala pruritus di kulit. Pruritus ini

    disebut dengan pruritus primer, dan dapa bersifat lokalista atau generalista.

    Bahkan pruritus psikogenik cenderung dapat muncul pada seseorang yang

    sering merasa malu, memiliki perasaan bersealah, masokisme, serta

    ekshibisonisme.

    Pruritus yang timbul akibat faktor sistemik antara lain disebabkan oleh:

    1. Kehamilan

    Pruritus gravidarum, melibatkan induks oleh estrogen dan kadang

    berhubungan dengan kolestasis. Terjadi terutama di trimester

    terakhir kehamilan.

  • 2. Penuaan

    Pruritus yang timbul akibat kulit yang sudah tua dan bisa terjadi

    akibat stimulasi yang sangat ringan.

    3. Penyakit hepar

    Gejala berhubungan dengan kolestasis. Adanya kolestasis ini

    mengakibatkan peningkatan sintesis opioid.

    4. Penyakit endokrin

    Terjadi pada pasien diabetes, terjadi akibat hiperglikemi.

    5. Penyakit ginjal, neoplastik, dan penyakit lain.

    Tatalaksana5

    Pada gatal yang tergeneralisasi dan terjadi hampir di seluruh tubuh, asien

    sebaiknya tetap dalam keadaan tubuh yang dingin dan menghindari udara

    panas. Hindari konsumsi alkohol dan makanan yang pedas. Penggunaan

    menthol secara topikal dapat menimbulkan sensasi dingin melalui persarafan

    reseptor TPR nosiseptor dan dapat menekan terjadinya gatal.

    Apabila gatal bersifat terlokalisasi, penggunaan capsaicin secara topikal dapat

    meredakan gatal. Selain itu, penggunaan terapi dengan transepidermal

    electrical nerve stimulation (TENS) sangatlah efektif.

    Farmakoterapi dengan obat-obatan dapat dilakukan untuk menekan pruritus.

    Antihistamin memiliki efek yang kurang baik, kecuali pada pruritus yang

    dicetuksan terutama akibat aksi histamin. Contohnya adalah urtikaria.

    Sementara itu, kortikosteroid baik secara topikal maupun sistemik cenderung

    tidak menimbulkan efek antipruritus dan jika efek antipruritus terlihat, maka

    ini lebih disebabkan penekanan efek inflamasi.

    Antagonis opioid, seperti naltrexone dapat sangat efektif di beberapa pasien,

    terutama gatal akibat kolestasis. Namun perlu diingat bahwa obat-obatan

    antagonis opioid banyak memiliki kontraindikasi, terutama bagi pasien

    dengan penyakit hati. Selain itu, analgesik opioid menimbulkan efek

    ketergantungan (withdrawal symptoms). Butorfanol, kombinasi antagonis

    miu dan kappa diberikan sebagai semprotan (nasal spray).

    Secara ringkas, obat-obat yang bekerja secara perifer6 antara lain antagonis

    H1, agonis H3, antagonis SP, antagonis TRPV1, agonis CB1, antagonis PAR-2.

    Sementara yang bekerja secara sentral adalah gabapentin (untuk gatal

    neuropati), talidomit (mensupresi persarafan), mirtazapin, inhibitor uptake

    serotonin, dan opioid miu antagonis atau agonis kappa.

    Keputsakaan:

    1. Moschella SL. Hurley HJ. (editor). Dermatology: third edition.

    Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1986. p.2042-7.

    2. Djuanda A. Hamzah M. AIsah S. (editor). Buku ajar ilmu penyakit kulit

    dan kelamin: edisi kelima. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran

    Universitas Indonesia; 2007. p. 321-29.

    3. Guyton AC. Hall JE. Human physiology and mechanism of disease.

    Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1982. p.378-9

    4. Burns T. Breathnach S. Cox N. Griffiths C. (editor). Rooks textbook of

    dermatology: volume 1, eight edition. Oxford: Wiley-Blackwell

    Publishers; 2010. p.931-48

    5. Greaves MW. Recent advances in pathophysiology and current

    management of itch. Ann Acad Mes Singapore. 2007 Sep;36(9):788-92

    6. Burton G. Pathophyisiology of pruritus. Australian College of Veterinary

    Scientists Dermatology Chapter Science Week Proceeding. 2006;

    34(6):18-25

    The nature of human is, more than anything else, to itch...

    Clarence Petersen