45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

20
ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT Para pihak : Penggugat : CV. MUTIARA Tergugat : Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan. Obyek Sengketa : Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : SK.17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000 Kasus Posisi : 1. Bahwa CV. MUTIARA adalah pemegang izin pemanfaatan sarang burung wallet di habitat alamnya di kawasan hutan Negara Goa-Goa di desa Tasuk dan desa Birang, Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur berdasarkan surat keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000. 2. Bahwa pada tanggal 15 Februari 2008 Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan mengeluarkan surat keputusan nomor : SK.17/IV/SET-3/2008 tentang Pencabutan Keputusan Dirjen Perlindugan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000. 3. Keputusan 131/KPTS/DJ/-V/2000 dicabut karena telah melanggar ketentuan Pasal 5 PP No. 62 Tahun 1998 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 71 Tahun 1999 4. Menurut penggugat prosedur pencabutan keputusan tersebut melanggar peraturan perundang-undangan serta melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Transcript of 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Page 1: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA

NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT

Para pihak :

Penggugat : CV. MUTIARA

Tergugat : Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Departemen Kehutanan.

Obyek Sengketa : Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam Nomor : SK.17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang

Pencabutan Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Departemen Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6

Desember 2000

Kasus Posisi :

1. Bahwa CV. MUTIARA adalah pemegang izin pemanfaatan sarang burung wallet di habitat

alamnya di kawasan hutan Negara Goa-Goa di desa Tasuk dan desa Birang, Kecamatan

Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur berdasarkan surat keputusan

Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan nomor :

131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000.

2. Bahwa pada tanggal 15 Februari 2008 Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Departemen Kehutanan mengeluarkan surat keputusan nomor : SK.17/IV/SET-3/2008

tentang Pencabutan Keputusan Dirjen Perlindugan Hutan dan Konservasi Alam

Departemen Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000.

3. Keputusan 131/KPTS/DJ/-V/2000 dicabut karena telah melanggar ketentuan Pasal 5 PP

No. 62 Tahun 1998 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 71 Tahun 1999

4. Menurut penggugat prosedur pencabutan keputusan tersebut melanggar peraturan

perundang-undangan serta melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Page 2: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

5. Dengan terbitnya surat keputusan nomor : SK.17/IV/SET-3/2008 tersebut penggugat

mengalami kerugian karena tidak dapat meneruskan kegiatan usahanya dan harus

melakukan PHK pekerjanya.

ANALISA KASUS:

1. Apakah obyek gugatan termasuk wewenang PTUN

Salah satu karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN) yaitu

terletak pada obyek gugatan yang berupa Beschikking (Penetapan) dan subyek gugatannya

adalah orang pribadi atau Badan Hukum Perdata melawan Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat

TUN) dalam keadaan yang tidak seimbang. Mengenai obyek gugatan TUN yang berupa

Beschikking (Penetapan), diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi:

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual

dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Dari isi ketentuan Pasal 1 butir 3 tersebut dapat dirumuskan unsur-unsur sebagai berikut:

a. Penetapan Tertulis

Maksud dari kata “Penetapan Tertulis” menunjuk kepada isi yang ditetapkan dalam

keputusan TUN yang dapat berupa:1

- Kewajiban-kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau untuk

membiarkan sesuatu

- Pemberian suatu subsidi atau bantuan

- Pemberian izin

- Pemberian suatu status

1 Subur, Fungsi, Tugas, Wewenang dan Mekanisme Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara

Page 3: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Terkait dengan kasus, surat keputusan yang dikeluarkan oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam No. 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008 merupakan Penetapan tertulis

yang berisi hubungan hukum yaitu mencabut SK 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember

2000 yang mengakibatkan tidak berlakunya izin pemanfaatan sarang burung walet milik CV.

MUTIARA.

b. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara

Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen

yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka

pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang

dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1

angka 2 :

“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan

urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau

Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari

urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat

itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN. Sedang yang dimaksud dengan

urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara

yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja

tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah

saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif

maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan

atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun2.

Terkait dengan kasus bahwa yang mengeluarkan Penetapan Tertulis berupa SK No.

17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008 adalah Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam yang merupakan pejabat yang melaksanakan jabatannya dalam urusan pemerintahan di

bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

2 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I dan II, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), h. 166

Page 4: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

c. Berisi tindakan hukum TUN

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu

bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan

suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang

menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum

TUN yang telah ada.3 Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka

tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya

dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.

Dalam kasus tersebut, Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

No. 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008 merupakan penetapan tertulis yang berisi

pencabutan Surat Keputusan terdahulu No. 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000

yang berarti pula pencabutan terhadap izin pemanfaatan sarang burung walet milik CV.

MUTIARA.

d. Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku

Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan

urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang

berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang

dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah)4. Dari kata “berdasarkan” itu juga

dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang

urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan

dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam kasus tersebut, penerbitan Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam No. 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008 didasarkan pada wewenang

yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 41

Tahun 1991 Jo. Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.

3 Ibid., h. 171-1724 Subur, Op.cit., h. 5

Page 5: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

e. Bersifat Konkret, Individual dan Final

Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam

Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan5. Dalam kasus,

SK Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Pebruari

2008 menetapkan pencabutan Izin Pemanfaatan sarang burung walet. Bersifat Individual artinya

Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa

Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju. Jadi sifat individual itu

secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada. SK Dirjen tersebut

ditujukan secara tegas kepada CV. MUTIARA selaku pemilik izin. Bersifat Final artinya akibat

hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus

sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum

yang definitif tersebut ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada

saat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang

bersangkutan secara final. Dalam kaitannya dengan kasus, maka penerbitan SK Dirjen tersebut

hanya berlaku terhadap pencabutan izin pemanfaatan sarang burung walet milik CV MUTIARA.

f. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata

Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana

hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka

sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan

suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu

tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam

hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru,

menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.

Dalam kasus ini, bahwa dengan penerbitan Surat Keputusan Direktur Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: SK 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari

2008 tentang Pencabutan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Nomor: 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000 maka timbul akibat hukum yang

membawa suatu perubahan dalam suasana hubungan hukum yang telah ada yaitu CV.

5 Indroharto, Op.cit., h.173

Page 6: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

MUTIARA sudah tidak memiliki izin pemanfaatan sarang burung walet sehingga tidak berhak

lagi melakukan pemanfaatan sarang burung walet.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Surat Keputusan

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: SK 17/IV/SET-3/2008

tanggal 15 Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan

dan Konservasi Alam Nomor: 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000 merupakan

Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek gugatan yang termasuk dalam wewenang

peradilan Tata Usaha Negara.

2. Kompetensi Pengadilan Tata Usaha

Kompetensi Absolut

Dengan terpenuhinya Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam Nomor: SK 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang Pencabutan

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: 131/KPTS/DJ/-

V/2000 tanggal 6 Desember 2000 sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan obyek

gugatan yang termasuk dalam wewenang Peradilan Tata Usaha Negara, maka berdasarkan Pasal

47 UU Nomor 9 Tahun 2004 jo. UU Nomor 5 Tahun 1986 secara absolut Pengadilan Tata Usaha

Negara berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara

di tingkat pertama, dan berdasarkan putusan merupakan acara biasa.

Kompetensi Relatif

Menurut Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2004 jo. UU Nomor 5 Tahun 1986 bahwa

gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang meliputi daerah hukum

tempat kedudukan tergugat. Pasal ini merupakan pencerminan dari asas Actor Sequitor Forum

Rei yang diatur juga dalam ketentuan Pasal 118 HIR.6

Dalam kasus ini, tindakan penggugat (CV. MUTIARA) dalam mengajukan surat gugatan

terhadap Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Republik

Indonesia berkedudukan di Gedung Manggala Wanabakti Blok I lt 8, Jalan Gatot Subroto –

Jakarta 10270 ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta adalah sudah tepat. Karena kedudukan

tergugat telah diketahui secara jelas, berada di wilayah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara

6 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1995), h. 11

Page 7: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Jakarta. Oleh sebab itu Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta berwenang untuk memeriksa dan

mengadili perkara gugatan tersebut.

3. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan

Tenggang waktu gugat adalah batas waktu atas kesempatan yang diberikan oleh UU

kepada seseorang atau Badan Hukum Perdata untuk memperjuangkan haknya dengan cara

mengajukan gugatan. Bila tenggang waktu tersebut tidak dipergunakan maka kesempatan untuk

mengajukan gugatan menjadi hilang dan gugatan akan dinyatakan tidak diterima.7 Berdasarkan

Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 90 hari terhitung

sejak diterimanya atau setelah diumumkannya KTUN yang digugat.

Ketentuan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tidak perlu dibedakan antara penggugat sebagai

alamat yang dituju, dengan penggugat sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. SEMA No. 2

Tahun 1991 Tanggal 3 Juli mendefinisikan tenggang waktu pengajuan gugatan bagi pihak yang

tidak dituju oleh suatu KTUN, tetapi merasa kepentingannya dirugikan yaitu 90 hari dihitung

secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh KTUN yang bersangkutan

dan mengetahui adanya KTUN yang bersangkutan.

Berkaitan dengan penghitungan tenggang waktu maka KTUN dapat dibedakan menjadi 2

yaitu8:

a. KTUN Positif yaitu penghitungan tenggang waktu 90 hari tergantung pada cara

penyampaian KTUN kepada penggugat seperti melalui kurir, menerima langsung di

kantor Badan/Jabatan TUN, melalui pos, dan melalui pengumuman ditempat

pengumuman atau media massa.

b. KTUN Negatif yaitu penghitungan tenggang waktu 90 hari terhitung setelah lewatnya

jangka waktu yang ditentukan peraturan dasarnya yang dihitung sejak tanggal

diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 5

Tahun 1986 dan setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak

tanggal diterimanya permohonan tersebut.9

7 Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntunan Praktek Beracara di PTUN, (Jakarta: Primamedia Pustaka-Gramedia, 1999), h. 2-3.

8 Indroharto, Op.cit., h. 55-609 Indroharto, Op.cit., h. 55-60.

Page 8: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Dalam kasus ini, obyek gugatan merupakan KTUN positif yang diterbitkan pada tanggal

15 Februari 2008. Maka tenggang waktu pengajuan gugatan oleh penggugat adalah 90 hari

terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya KTUN tersebut. CV. MUTIARA selaku pihak

yang dituju oleh KTUN dan bertindak sebagai penggugat, telah mendaftarkan gugatannya ke

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 14 April 2008. Maka gugatan penggugat

diajukan masih dalam tenggang waktu 90 hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 UU No. 9

Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986. Sehingga dapat dibuat ilustrasi sebagai berikut:

Jangka waktu pengajuan gugatan vide Pasal 55 UU No. 1986

15/02/2008 14/04/2008 14/052008

Pengajuan Gugatan oleh Penggugat

4. Apakah obyek gugatan Termasuk Dalam Ruang Lingkup Pasal 48 dan 49 UU

Peratun?

Dalam pasal 48 UU PTUN setiap Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang untuk

menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara terlebih dahulu sebelum melalui

Pengadilan Tata Usaha Negara. Karena berdasarkan ayat (2) pasal 48 UU PTUN tersebut

Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha

Negara jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan dan tidak

menghasilkan kata sepakat.

Upaya Administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan

hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur

tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri atau terdiri atas dua bentuk. Dalam hal

penyelesaian itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan

keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan “banding administratif”.

Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus dilakukan sendiri

oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur

Page 9: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

yang ditempuh tersebut disebut “keberatan”. Berbeda dengan prosedur di Pengadilan Tata Usaha

Negara, maka prosedur banding administratif atau prosedur keberatan dilakukan penilaian yang

lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang

memutus.

Dalam Pasal 74 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa:

“Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan

berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa (ayat (1)) dan apabila telah

dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melalui

pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara para pihak yang

bersengketa (ayat 2).” Berdasarkan bunyi pasal tersebut terdapat ketentuan harus terdapat

perundang-undangan bahwa penyelesaian sengketa dalam bidang kehutanan dapat diselesaikan

dengan melalui pengadilan atau upaya lain diluar pengadilan untuk mencapai kesepakatan

bersama.

Dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya

Keputusan Tata Usaha Negara Nomor 40/G/2008/PTUN-JKT terdapat point-point sebagai

berikut:

1. Objek gugatan dalam putusan PTUN No. 40 /G/2008/PTUN-JKT adalah Surat Keputusan

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konversi Alam; SK 17/IV/SET-3/2008

tanggal 15 Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan

dan Konversi Alam Nomor 131/KPTS/DJ/V/2000 tanggal 6 Desember 2000 tentang

Pemberian Izin Pemanfaatan Sarang Burung Walet di Habitat Alamnya di Kawasan Hutan

Negara pada Goa-Goa di Desa Tasuk, Kecamatan Gunung Tabur dan Desa Birang,

Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur kepada CV.

Mutiara.

2. Dalam hal ini, pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang yaitu Direktorat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam memiliki pilihan untuk menyelesaikan sengketa

Tata Usaha Negara secara administratif sesuai dengan Pasal 74 UU No 41 Tahun 1999

Tentang Kehutanan.

3. Pilihan yang diambil oleh Pejabat Tata Usaha Negara dalam kasus ini merupakan pilihan

penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.

Page 10: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam putusan pengadilan Tata Usaha Negara Nomor

40/G/2008/PTUN-JKT ini para pihak tidak menggunakan upaya administratif dalam

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Sehingga obyek gugatan tersebut tidak termasuk

dalam ruang lingkup pasal 48 UU PTUN.

Berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 40/G/2008/PTUN-JKT tersebut,

keputusan yang diambil merupakan keputusan Pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan

pertimbangan atas adanya Surat Menteri Sekretaris Negara kepada Menteri Kehutanan Republik

Indonesia No B-263/M.Sesneg/SA/06/2007 bahwa kewenangan pemberian ijin terhadap

pemanfaatan sarang burut walet bukan lagi menjadi kewenangan Direktorat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konversi Alam melainkan ijin dari Bupati/Walikota setempat.

Sehingga berdasarkan tersebut, Ketentuan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh

Pejabat Tata Usaha Negara tersebut juga bukan merupakan keputusan yang termasuk dalam

ruang lingkup Pasal 49 UU PTUN yang menyatakan bahwa keputusan yang disengketakan itu

dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa

yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ayat 1) dan atau

dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku (ayat 2).

5. Persyaratan Formil Gugatan

Gugatan harus dalam bentuk tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyertakan alasan-

alasan berdasarkan hukum dan hal-hal yang diminta oleh penggugat untuk diputuskan oleh

hakim. Gugatan harus memuat identitas para pihak10 serta memperhatikan tenggang waktu

pengajuan gugatan.

Dalam kasus ini, gugatan diajukan CV. MUTIARA secara tertulis dalam bahasa Indonesia

pada 14 April 2008 di pengadilan TUN Jakarta melalui kuasa hukum tergugat yaitu Sayid

Machmud, S.H. dengan surat kuasa khusus nomor 11/CV.M/V/2008 tertanggal 10 April 2008

yang masih dalam tenggang waktu pengajuan gugatan. Dalam gugatan tersebut menyebutkan

para pihak yang bersengketa secara jelas dan lengkap. Dengan demikian persyaratan formil

gugatan telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan Pasal 53, 54, 55 dan 56 Pasal 55 UU No. 9

Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986.

10 Pasal 56 ayat (1) huruf c UU No. 5 Tahun 1986

Page 11: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

6. Permohonan Penundaan KTUN

Penundaan pelaksanaan KTUN atas SK Nomor : SK17/IV/SET-3/2008 tgl 15 Feb 2008,

dapat diajukan karena penundaan tersebut merupakan pelaksanaan di dalam beracara di

Pengadilan Tata Usaha Negara sebab sesuai dengan ketentuan Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986

antara lain:

“Ayat (1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan

atau Pejabat TUN serta tindakan Badan atau Pejabat TUN yang digugat.”

Jadi apabila ketentuan tersebut dilaksanakan maka, jelas bahwa gugatan Penggugat mengenai

penundaan pelaksanaan KTUN tetap dilaksanakan maka untuk menggugat tidak ada artinya lagi,

sebelum gugatan di proses dan diputus berdasarkan Pasal 67 ayat (2) UU No.5 Th 1986,

Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan KTUN ditunda selama pemeriksaan

sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh

kekuatan hukum tetap.

Cara mengajukan Penundaan

Dalam kasus ini, Penggugat (CV. Mutiara) mengajukan permohonan penundaan KTUN

yang dimaksud dengan cara mengajukannya bersama-sama dengan pengajuan gugatan.

Alasan-alasan Permohonan

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Penggugat (CV Mutiara) dalam mengajukan

permohonan penundaan KTUN yang digugat yaitu:

1. Penggugat memanen hasil sarang burung walet milik Penggugat yang terdapat di 3 (tiga)

lokasi goa sarang burung dengan keuntungan sekali panen di ketiga lokasi tersebut

sejumlah +Rp. 60 juta;

2. Penggugat masih memiliki kewajiban secara yuridis untuk memberikan upah kepada

karyawan/pekerja sejumlah 50 orang, dengan adanya SK yang menjadi obyek sengketa

maka Penggugat akan melakukan PHK terhadap pekerja tsb.

3. Penggugat telah kehilangan kesempatan dua kali untuk memanendan berarti Penggugat

telah merugi sekitar Rp.120 juta (keuntungan sekali panen Rp. 60 juta) sejak SK obyek

sengketa diterbitkan (tanggal 15 Februari 2008 s/d 14 Mei 2008).

Page 12: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Untuk mencegah kerugian lebih banyak lagi dan berdasarkan pasal 67 ayat (2) UU No. 5

Th 1986 jo. UU No.9 Th 2004, maka Penggugat mengajukan permohonan penundaan KTUN tsb.

Menurut Pasal 67 ayat (4) huruf a, permohonan penundaan KTUN dapat dikabulkan hanya

apabila keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat

dirugikan jika KTUN yang digugat tetap dilaksanakan.

Berdasarkan permohonan penundaan pelaksanaan KTUN tersebut, Tergugat dalam

persidangan menyampaikan jawaban sebagai berikut :

- bahwa terhadap permohonan penundaan KTUN, menurut Pasal 67 ayat (4) permohonan

penundaan KTUN dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak

mengakibatkan kepentingan Penggugat sangat dirugikan jika KTUN tetap dilaksanakan.

- bahwa alasan karyawan yang dipakai dalam pertimbangan hukum adalah tidak benar

karena dari 220 karyawan hanya ada 10 karyawan yang merupakan pegawai tetap,

sehingga alasan terjadinya PHK tidak benar.

- bahwa alasan kerugian pemanenan yang diderita Penggugat pada intinya bertentangan

dengan prinsip-prinsip konservasi dalam pengelolaan sarang burung walet sebagaimana

terdapat dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 449/Kpts-II/1999 jo. No.: 100/Kpts-

II/2003.

- Bahwa penggugat melakukan pemanfaatan sarang burung walet telah memanen sebelum

waktunya, sehingga merusak kelestarian satwa burung walet.

Putusan Majelis Hakim

Namun berdasarkan pertimbangan majelis hakim menolak permohonan penundaan

penggugat karena gugatan dinyatakan ditolak dan tidak relevan untuk dipertimbangkan. Majelis

hakim juga mempertimbangkan bahwa dalam masa persidangan penggugat maupun kuasanya

tidak pernah hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, sehingga tidak terdapat satu (1) alat

buktipun, baik surat maupun saksi. Oleh karenanya majelis hakim berpendapat tidak terdapat

cukup bukti untuk membuktikan dalil penggugat dan penggugat adalah pihak yang tidak

bersungguh-sungguh dalam mengajukan gugatan.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka menurut Tergugat tidak terdapat kepentingan mendesak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986. jo. UU No. 9 Th 2004. Selain itu

Page 13: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

terdapat pertimbangan bahwa permohonan penundaan KTUN tidak dapat dikabulkan apabila

kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya KTUN yang

dimaksud (pasal 67 ayat (4) huruf b UU No. 5 Tahun 1986. jo. UU No. 9 Th 2004).

7. Kepentingan Penggugat dan alasan gugatan

“Majelis Hakim dalam ini memberikan pertimbangan sehubungan dengan kepentingan

penggugat dalam mengajukan gugatan dalam pertimbangannnya berdasarkan bukti

salinan Keputusan Direktur Jenderal perlindungan dan konservasi alam No.

131/Kpts/DJ-V/2000, tanggal 6 Desember 2000 berupa izin pengelola sarang burung

walet kepada penggugat ternyata penggugat adalah pemegang izin pengelolaan sarang

burung walet di desa tasuk dan desa birang kecamatan gunung tabur kabupaten daerah

tingkat II Berau, Propinsi kalimantan timur untuk jangka waktu 10 tahun yang berakhir

sampai dengan tanggal 6 desember 2010, sehingga dengan terbitnya keputusan objek

sengketa, penggugat menjadi kehilangan haknya untuk melakukan pengelolaan sarang

burung walet tersebut sebagaimana dimaksud surat izin tersebut, termasuk menempuh

jalur hukum dengan mengajukan gugatan di pengadilan tata usaha negara sehingga

penggugat memenuhi ketentuan pasal 53 ayat 1 undang-undang nomor 5 tahun 1986

sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang nomor 9 tahun 2004”11

Kepentingan penggugat dalam mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 53 ayat 1, dengan

alasan-alasan yang memenuhi persyaratan pada ayat 2 undang-undang nomor 5 tahun 1986

sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang nomor 9 tahun 2004

Pasal 53 :

1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu

Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan

yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang

disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan

ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) adalah:

11 Lihat Putusan PTUN Jakarta No. 40/G/2008/PTUN.JKT, h.23-24

Page 14: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas

umum pemerintahan yang baik.

Apabila kita melihat pasal 53 ayat 1 maka, Alasan yang dikemukakan penggugat dalam

mengajukan gugatan yang “menganggap” keputusan yang di keluarkan oleh tergugat merugikan

kepentingan penggugat sudah memenuhi syarat, dibuktikan dengan adanya kepentingan atas

kerugian ekonomis berupa ekspektasi keuntungan yang akan diperoleh dari bisnisnya namun

sayangnya penggugat tidak mengajukan alat bukti yang menguatkan gugatan tersebut, alat bukti

yang dapat digunakan untuk menguatkan dalil yang diajukan dapat berupa laporan keuangan

penggugat atau tanda terima penjualan yang dapat menunjukan keuntungan nyata yang diperoleh

penggugat yang dapat digunakan sebagai gambaran ekspektasi keuntungan dimasa datang.

Selanjutnya pada pasal yang sama pada ayat 2 menjelaskan dasar alasan yang dapat

digunakan dalam gugatan dengan analisa : Pada kasus ini sehubungan pada butir a, “keputusan

yang bertentangan dengan undang-undang”, Keputusan yang dikeluarkan harus berdasarkan

fakta-fakta yang lengkap, dalam kasus ini tergugat telah mengajukan bukti-bukti yang memadai

untuk membuktikan cukupnya syarat-syarat yang melatarbelakangi pengambilan keputusan.

Sehingga keputusan yang dibuat tergugat tidak memenuhi syarat sebagai keputusan yang

bertentangan dengan undang-undang yang dapat dijadikan objek gugatan.

Namun yang juga harus dipertimbangkan adalah apabila yang dipermasalahkan disini

adalah prosedur dalam melakukan pencabutan SK , apakah pencabutan ini sudah memenuhi tata

cara sesuai dengan peraturan perundang-undangan, seharusnya tergugat harus juga memasukan

bukti Keputusan Menteri Kehutanan No 069/Kpts-II/1984, tentang Pencabutan beberapa

Perizinan di Bidang Kehutanan, yang menunjukan apa yang dilakukan tergugat sudah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan sehingga selain dari bukti-bukti yang dilampirkan perlu

juga dilampirkan bukti yang dapat membuktikan bahwa yang dilakukan oleh tergugat dalam

melakukan pencabutan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait.

Pada butir b, “bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik” dalam

penjelasan pasal ini yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik dijelaskan

pada penjelasan Pasal 3 Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara

Page 15: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dalam kita dapat melihat apakah

unsur-unsur ini dapat dipenuhi sebagai alasan diajukannya gugatan

Unsur Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” dan “Asas Tertib

Penyelenggaraan Negara” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan

peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara

Negara, dalam kasus ini dicabutnya 131/KPTS/DJ-V/2000 dengan SK 17/IV/SET-3/2008 adalah

berdasar atas Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2000 tentang pembagian kewenangan antara

pusat dan daerah yang mengakibatkan pemberian ijin tersebut dilakukan oleh bupati atau

walikota, justru merupakan perwujudan dari AAUPB dan dan demi tertibnya penyelenggaran

negara sehingga alasan gugatan yang justru beranggapan bahwa keputusan ini bertentangan

dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik tidak memenuhi kriteria untuk dijadikan alasan

gugatan

Demikian juga halnya dengan “Asas Keterbukaan” “Asas Akuntabilitas”, dalam kasus ini

pemerintah juga sudah melakukan pengundangan terhadap Peraturan Pemerintah No. 25 tahun

2000, yang menjadi dasar keputusan yang menjadi objek sengketa, dalam hal adanya peraturan

perundangan yang disahkan oleh pemerintah masyarakat sudah dianggap tahu dengan logika

dengan adanya persetujuan wakil-wakil dari masyarakat yang ada di DPR, sehingga unsur ini

pun tidak dapat dijadikan alasan oleh penggugat

Ada unsur lain dalam AAUPB yang juga masuk kedalam alasan penggugat, jika yang

dimaksudkan oleh penggugat keseluruhan Asas-asas AAUPB maka dalam hal “Asas

Kepentingan Umum” adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang

aspiratif akomodatif dan selektif dan unsur “Asas Proporsionalitas” adalah asas yang

mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Maka alasan yang digunakan

penggugat dalam hal ini yang bersinggungan dengan kepentingan umum yaitu adanya kerugian

masyarakat apabila keputusan yang menjadi objek sengketa dilaksanakan, seolah-olah penggugat

bertindak mewakili kepentingan umum dalam melakukan gugatan.

Hal ini tidak dapat diterima karena kepentingan umum dapat tetap dijaga tanpa harus

diakomodir oleh penggugat karena siapa saja berhak melakukan pengelolaan sarang burung

walet di kabupaten berau asalkan mendapatkan ijin dari bupati berau berdasarkan Peraturan

pemerintah No. 25 tahun 2000 yang ditindak lanjuti oleh keputusan menteri dalam negeri No. 71

tahun 1999, akibat yang timbul adalah pengelolaan sarang burung walet di prioritaskan pada

Page 16: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

penemu, hal ini didukung oleh Surat Bupati Berau No. 180/204/HK/2006, sehingga terlihat

pemerintah lebih mengutamakan masyarakat sekitar tempat sarang burung walet berada (dengan

memberikan kesempatan kepada penemu sarang memperoleh hasil atas temuanya) dibandingkan

menyerahkannya pada kepentingan pribadi (CV Mutiara) karena bagaimanapun keinginan besar

untuk mensejahterakan masyarakat, pembentukan sebuah usaha adalah pasti disertai tujuan untuk

mengeruk keuntungan yang jumlahnya lebih besar dari apa yang diberikan pada masyarakat

sekitar.

Dari uraian analisa diatas terlihat kendati memenuhi kriteria tentang adanya kepentingan

atas kerugiannya (Pasal 53 ayat (1)) gugatan penggugat tidak memenuhi alasan-alasan yang ada

pada Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986, yang berhubungan dengan adanya pelanggaran

terhadap undang-undang dan asas-asas umum pemerintahan yang baik sehinnga sesungguhnya

tidak cukup alasan bagi penggugat untuk melakukan gugatan. Selain yang menjadi substansi

dari permasalahan pada kasus diatas terdapat juga makna pilihan terbuka yang tersirat pada kata

“dapat” yang ada pada Pasal 53 ayat 2 apakah kata “dapat” ini diartikan sebuah pilihan

kebolehan atas alasan gugatan yang hanya tercantun dalam angka a dan b saja, atau makna lain

kalimat terbuka “dapat” yang fakultatif menimbulkan konsekuensi bahwa alasan yang digunakan

untuk mengajukan gugatan sesuai dengan angka a dan b namun juga dibolehkan menggunakan

alasan lain sepanjang dapat memenuhi syarat yang ada pada pasal 53 ayat 1 dan ketentuan lain

dalam Undang-undang ini.

Logika yang timbul adalah jika memang hanya ada 2 pilihan alasan pada pasal 53 ayat 2,

Undang-undang ini akan memilih kata “harus” atau kata “wajib” dibandingkan kata “dapat” yang

merupakan kebolehan (mogen) sehingga akan menutup celah hukum kepentingan atas kerugian

yang mungkin oleh penggugat dinilai secara subjektif. Sehingga sehubungan dengan kasus ini

adalah apabila kata “dapat” kita artikan terbuka (boleh menggunakan alasan pada huruf a dan

atau b boleh juga tidak), maka sepanjang dapat dibuktikan ada kepentingan dari penggugat,

tentang keputusan yang merugikan dirinya, alasan gugatan tidak harus merupakan keputusan

yang bertentangan dengan undang-undang dan atau bertentangan dengan asas asas umum

pemerintahan yang baik, dan alasan gugatan dalam kasus ini yang diajukan oleh penggugat

menjadi dapat diterima.

8. Pembuktian dan Putusan Majelis Hakim

Page 17: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Dalam suatu proses beracara di pengadilan, salah satu tugas hakim adalah untuk

menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang berperkara. Hubungan hukum

inilah yang harus dibuktikan kebenarannya di depan sidang pengadilan. Pada prinsipnya, yang

harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang

kebenarannya di bantah oleh pihak lain. Pihak penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu

untuk membuktikan kebenaran dalil gugatannya. Setelah itu, pihak tergugat diberikan

kesempatan untuk membuktikan kebenaran dalil sangkalannya.

Ada perbedaan sistem antara sistem hukum pembuktian dalam hukum acara TUN dengan

acara perdata. Dalam hukum acara TUN, dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi

dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim

TUN bebas untuk menentukan :12

• Apa yang harus dibuktikan

• Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh pihak

yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri

• Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian

• Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan

Umumnya, sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara TUN adalah sistem “Vrij

bewijsleer”, yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka memperoleh kebenaran materiil.

Apabila kita baca pasal 100 UU No.5/1986, maka dapatlah disimpulkan bahwa hukum acara

TUN Indonesia menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas.13 Karena alat-alat bukti yang

digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal tersebut. Selain itu hakim juga

dibatasi kewenangannya dalam menilai sahnya pembuktian, yakni paling sedikit 2 alat bukti

berdasarkan keyakinan hakim. Sedangkan pembuktian dalam hukum acara perdata dilakukan

dalam rangka memperoleh kebenaran formil.

Berkaitan dengan kasus, dalam proses pembuktian perkara, hakim telah memberikan waktu

yang cukup kepada para pihak untuk mengajukan alat bukti yang menguatkan dalil-dalil yang

disampaikannya. Namun pihak penggugat tidak pernah hadir tanpa alasan yang sah di

12 lihat, pasal 107 UU No.5/198613 A. Pitto, Pembuktian dan Kadaluarsa, cet.I, (Intermasa, Jakarta, 1978), h. 150

Page 18: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

persidangan serta tidak mengajukan satupun alat bukti yang dapat menguatkan dalil gugatannya.

Sedangkan pihak tergugat telah mengajukan bukti surat sebagaimana tercantum dalam putusan

tersebut untuk menyangkal gugatan penggugat.14 Dengan demikian adalah hal yang tepat jika

hakim menolak seluruh gugatan penggugat baik dalam pokok perkara maupun dalam

permohonan penundaan pelaksanaan obyek gugatan karena penggugat tidak dapat membuktikan

dalil gugatannya serta tidak bersungguh-sungguh untuk menggugat.

KESIMPULAN

1. Bahwa Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Nomor: SK 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: 131/KPTS/DJ/-

14 Lihat Putusan PTUN Jakarta No. 40/G/2008/PTUN-JKT, h. 20-21

Page 19: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

V/2000 tanggal 6 Desember 2000 merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi

obyek gugatan yang termasuk dalam wewenang peradilan Tata Usaha Negara.

2. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta berwenang untuk memeriksa, memutus dan

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama.

3. Gugatan penggugat diajukan masih dalam tenggang waktu 90 hari sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 55 UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986.

4. Obyek gugatan termasuk dalam ruang lingkup Pasal 48 dan 49 UU UU No. 9 Tahun 2004

jo. UU No. 5 Tahun 1986.

5. Persyaratan formil gugatan telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan Pasal 53, 54, 55 dan 56

Pasal 55 UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986.

6. Permohonan penundaan pelaksanaan obyek dinyatakan ditolak dan tidak relevan untuk

dipertimbangkan karena penggugat tidak dapat membuktikan dalilnya sebagai dasar

penundaan pelaksanaan obyek sengketa.

7. Sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara TUN adalah pembuktian bebas yang

terbatas. Sehingga alasan gugatan tidak harus merupakan keputusan yang bertentangan

dengan undang-undang dan atau bertentangan dengan asas asas umum pemerintahan yang

baik.

DAFTAR PUSTAKA

A. Pitto, Pembuktian dan Kadaluarsa, cet.I, Intermasa, Jakarta, 1978.

Page 20: 45500238 Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I dan II,

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.

Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntunan Praktek Beracara di PTUN, Jakarta: Primamedia

Pustaka-Gramedia, 1999.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori

dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 1995.

Subur (Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang), Fungsi, Tugas, Wewenang dan

Mekanisme Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara.