403f449fd042a3c774eb93c0d4454034_Unair

6
Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah. Tim Peneliti : Nusdianto Triakoso, drh.MP Penyakit Metabolik Pada Sapi Perah - Dampaknya Terhadap Respon Kekebalan dan Penyakit-penyakit Lain Abstrak : <!-- @page { margin: 2cm } P { margin-bottom: 0.21cm } A.sdfootnoteanc { font-size: 57% } --> PENYAKIT METABOLIK PADA SAPI PERAH Dampaknya terhadap respon kekebalan dan penyakit-penyakit lain (disampaikan pada Continuing Education PDHI Jatim 2 di KUD Dau Malang, 16 Juli 2009) Perubahan fisiologi dari bunting, beranak, laktasi merupakan hal yang sangat berat bagi sapi perah. Banyak perubahan hormonal yang terjadi berkaitan dengan proses tersebut. Perubahan tersebut tentu akan mempunyai dampak yang sangat signifikan manakala kebutuhan metabolismenya tidak tercukupi dengan baik, selain dampak yang perlu diwaspadai meski secara fisiologi normal. Sebagian besar kejadian penyakit metabolik ataupun penyakit peripartus lain pada sapi perah seperti milk fever, ketosis, retensi plasenta, left displacement abomasum terjadi dalam dua minggu pertama laktasi. Pada tulisan ini lebih difokuskan pembahasan tentang penyakit milk fever dan dampaknya pada sistem kekebalan serta penyakit lain pada sapi perah pada periode periparturien. Periparturein, waktu yang penting Periode periparturien oleh banyak ahli ditetapkan 3 minggu sebelum partus hingga 3 minggu setelah partus. Istilah lain yang mungkin dikenal adalah transition period. Pada periode ini banyak terjadi perubahan-perubahan yang drastis mulai persiapan kelahiran, proses kelahiran dan pasca kelahiran termasuk mulainya periode laktasi. Pada saat partus sejumlah hormon yang berkaitan dengan reproduksi, pengaturan dan stress dilepas dari hipofisis, yang kemudian menstimulasi organ endokrin lain atau jaringan target, termasuk sistem kekebalan. Seperti kita ketahui bahwa proses kelahiran akan dimulai dengan meningkatnya glukortikoid. Glukokortikoid telah lama dikenal sebagai agen imunosupresif, menghambat proses kesembuhan, menurunkan limfosit. Konsekuensinya adalah kebuntingan, kelahiran dan laktasi yang berkaitan profil neuroendokrin akan berpengaruh pada respon sistem kekebalan. Penelitian Kehrli dan Goff (1989) menunjukkan hal yang lebih jelas berkaitan dengan penurunan fungsi neutrofil dan limfosit pada periode peripaturien. Ini berarti bahwa sapi yang berada pada periode periparturien mempunyai risiko yang tinggi terhadap terjadinya penyakit infeksius. Gambaran terjadinya penurunan fungsi neutrofil di sekitar waktu partus dapat dilihat pada Gambar 1. Selain itu, hal penting yang terjadi pada periode periparturient adalah keluarnya susu. Susu yang pertama kali keluar disebut kolostrum. Komposisi kolostrum ini berbeda dengan susu normal, terutama kandungan kalsium. Kandungan kalsium kolostrum bisa mencapai 2,1 gram/l atau 10 kali lipat dibanding susu normal. Kalsium susu ini berasal dari kalsium darah yang disuplai ke dalam ambing untuk menjadi bagian dari komposisi susu atau kolostrum. Karena peran kalsium yang sangat penting di dalam tubuh maka konsentrasi kalsium darah yang hilang setelah disuplai ke ambing dan keluar tubuh bersama susu, dipertahankan (homeostasis) dengan suatu mekanisme metabolisme kalsium. Bila terjadi gangguan dalam mempertahankan konsentrasi kalsium di dalam darah maka akan terjadi penurunan konsentrasi kalsium darah. Page 1

description

unair

Transcript of 403f449fd042a3c774eb93c0d4454034_Unair

Page 1: 403f449fd042a3c774eb93c0d4454034_Unair

Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untukdigunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

Tim Peneliti : Nusdianto Triakoso, drh.MP

Penyakit Metabolik Pada Sapi Perah - Dampaknya Terhadap ResponKekebalan dan Penyakit-penyakit Lain

Abstrak :

<!-- @page { margin: 2cm } P { margin-bottom: 0.21cm } A.sdfootnoteanc { font-size: 57% } -->PENYAKIT METABOLIK PADA SAPI PERAHDampaknya terhadap respon kekebalan dan penyakit-penyakit lain(disampaikan pada Continuing Education PDHI Jatim 2 di KUD Dau Malang, 16 Juli 2009)

Perubahan fisiologi dari bunting, beranak, laktasi merupakan hal yang sangat berat bagi sapi perah.Banyak perubahan hormonal yang terjadi berkaitan dengan proses tersebut. Perubahan tersebut tentuakan mempunyai dampak yang sangat signifikan manakala kebutuhan metabolismenya tidak tercukupidengan baik, selain dampak yang perlu diwaspadai meski secara fisiologi normal. Sebagian besar kejadianpenyakit metabolik ataupun penyakit peripartus lain pada sapi perah seperti milk fever, ketosis, retensiplasenta, left displacement abomasum terjadi dalam dua minggu pertama laktasi. Pada tulisan ini lebihdifokuskan pembahasan tentang penyakit milk fever dan dampaknya pada sistem kekebalan serta penyakitlain pada sapi perah pada periode periparturien.

Periparturein, waktu yang pentingPeriode periparturien oleh banyak ahli ditetapkan 3 minggu sebelum partus hingga 3 minggu setelahpartus. Istilah lain yang mungkin dikenal adalah transition period. Pada periode ini banyak terjadiperubahan-perubahan yang drastis mulai persiapan kelahiran, proses kelahiran dan pasca kelahirantermasuk mulainya periode laktasi. Pada saat partus sejumlah hormon yang berkaitan dengan reproduksi,pengaturan dan stress dilepas dari hipofisis, yang kemudian menstimulasi organ endokrin lain ataujaringan target, termasuk sistem kekebalan. Seperti kita ketahui bahwa proses kelahiran akan dimulaidengan meningkatnya glukortikoid. Glukokortikoid telah lama dikenal sebagai agen imunosupresif,menghambat proses kesembuhan, menurunkan limfosit. Konsekuensinya adalah kebuntingan, kelahirandan laktasi yang berkaitan profil neuroendokrin akan berpengaruh pada respon sistem kekebalan.Penelitian Kehrli dan Goff (1989) menunjukkan hal yang lebih jelas berkaitan dengan penurunan fungsineutrofil dan limfosit pada periode peripaturien. Ini berarti bahwa sapi yang berada pada periodeperiparturien mempunyai risiko yang tinggi terhadap terjadinya penyakit infeksius. Gambaran terjadinyapenurunan fungsi neutrofil di sekitar waktu partus dapat dilihat pada Gambar 1.Selain itu, hal penting yang terjadi pada periode periparturient adalah keluarnya susu. Susu yang pertamakali keluar disebut kolostrum. Komposisi kolostrum ini berbeda dengan susu normal, terutama kandungankalsium. Kandungan kalsium kolostrum bisa mencapai 2,1 gram/l atau 10 kali lipat dibanding susu normal.Kalsium susu ini berasal dari kalsium darah yang disuplai ke dalam ambing untuk menjadi bagian darikomposisi susu atau kolostrum. Karena peran kalsium yang sangat penting di dalam tubuh makakonsentrasi kalsium darah yang hilang setelah disuplai ke ambing dan keluar tubuh bersama susu,dipertahankan (homeostasis) dengan suatu mekanisme metabolisme kalsium. Bila terjadi gangguan dalammempertahankan konsentrasi kalsium di dalam darah maka akan terjadi penurunan konsentrasi kalsiumdarah.

Page 1

Page 2: 403f449fd042a3c774eb93c0d4454034_Unair

Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untukdigunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

Tim Peneliti : Nusdianto Triakoso, drh.MP

Apakah produksi susu mempengaruhi sistem kekebalan?Sebagaimana penjelasan di atas, pada saat partus atau sekitar waktu partus, fungsi neutrofil dan limfositsangat berkurang terutama pada sapi perah (Kehrli et al., 1989, Kehrli and Goff, 1999). Pada saat sapimemasuki tahap laktasi terjadi proses yang kompleks berkaitan dengan mekanisme metabolisme protein,karbohidrat dan keseimbangan mineral untuk memenuhi kebutuhan produksi susu. Adanyaketidakseimbangan kebutuhan karbohidrat, protein dan mineral terhadap produksi susu.Ketidakseimbangan tersebut juga bertanggung jawab terhadap imunosupresi yang terjadi pada sapi-sapipada periode periparturien.Penelitian Kehrli dan Kayako menduga bahwa mastektomi akan meningkatkan imunitas pada sapiperiparturien bila dianggap produksi susu menjadi faktor imunosupresif. Sapi yang dimastektomi maupuntidak, mengalami masalah aktifitas myeloperoksidase neutrofil sebelum proses kelahiran, dan pada sapiyang dimastektomi mengalami peningkatan aktifitas myeloperoksodase neutrofil sementara sapi yang tidakdimastektomi tetap hingga hari ke-20 pasca partus. Produksi limfosit gamma interferon secara invitromenurun drastis pada sapi yang tidak dimastektomi saat proses partus, sementara pada sapi yangdimastektomi tidak terjadi. Pada sapi yang tidak dimastektomi seluruh populasi sel T menurun termasuktotal PBMC (peripheral blood mononuclear cell) saat partus, namun persentase monosit meningkat.Berdasarkan penelitian ini dapat diduga bahwa kelenjar mamaria mungkin memproduksi suatu substansiyang secara langsung berpengaruh terhadap jumlah sel-sel kekebalan. Selain itu, kebutuhan metabolismeberkaitan dengan masuknya periode laktasi memberi dampak negatif terhadap komposisi PBMC.Asumsi yang kedua yang dikatakan Kehrli dan Kayako adalah ada dua faktor metabolik yang berpengaruhterhadap mastektomi. Mastektomi menghindarkan terjadinya hipokalsemia saat partus. Konsentrasi NEFA(Non-esterified fatty acid) plasma meningkat drastis pada sapi-sapi yang tidak dimastektomi dan tidakturun kembali ke baseline selama lebih 10 hari. Sebaliknya konsentrasi NEFA plasma pada sapi yangdimastektomi meningkat saat partus namun segera kembali ke basline 1-2 hari pasca partus. Hal iniberarti bahwa sapi-sapi yang tidak dimastektomi memobilisasi lebih banyak lemak tubuh dibanding sapiyang dimastektomi, hal mana akan menyebabkan ketidakseimbangan energi (negative energy balance)yang berat begitu memasuki masa laktasi.

Hubungan penyakit metabolik dan mastitisBeberapa penelitian epidemiologi menunjukkan adanya hubungan antara penyakit metabolik denganmastitis. Sebuah penelitian di New York terhadap 2.190 sapi perah menunjukkan adanya hubungan yangsangat erat antara milk fever dengan mastitis. Sapi-sapi penderita milk fever akan mempunyai risiko 8,1kali lebih tinggi mengalami mastitis dibanding sapi-sapi yang tidak menderita milk fever. Di Swedia, sapipenderita ketosis akan mempunyai risiko mengalami mastitis dua kali lebih tinggi. Penelitian lain jugamenunjukkan bahwa sapi perah penderita mastitis akan lebih parah bila mengalami retensi plasenta. DiInggris, lahir kembar, distokia, retensi plasenta dan kepincangan sebelum kawin pertama kali pasca partusmeningkatkan risiko mastitis (Peeler et al., 1994)

Milk Fever

Page 2

Page 3: 403f449fd042a3c774eb93c0d4454034_Unair

Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untukdigunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

Tim Peneliti : Nusdianto Triakoso, drh.MP

Milk fever dan hipokalsemia subklinis (total kalsium darah 2,0 mmol/l) adalah penyakit penting akibatgangguan makromineral pada sapi-sapi periode periparturien. Kejadian milk fever biasanya sekitar5-10%, namun beberapa penulis pernah menyatakan insidensi rate milk fever bisa mencapai 34% bahkanlebih. Di Irlandia kejadian milk fever bisa mencapai 50%, di New Zealand sebesar 33% (Mulligan et al.,2006). Namun dari semua laporan yang pernah ada, belum pernah dilaporkan prevalensi hipokalsemiasubklinis.Milk fever adalah penyakit yang terjadi akibat ketidakmampuan seekor sapi beradaptasi terhadapperubahan konsentrasi kalsium di dalam tubuhnya. Kalsium adalah makromineral yang sangat penting didalam tubuh. Kalsium berperan dalam proses pembentukan tulang, kontraksi otot, pembekuan darah danlain-lain. Bila seekor sapi kehilangan kalsium akibat proses pemerahan, maka kalsium darah harus segeratergantikan. Ketidakmampuan sapi menanggapi kebutuhan tersebut menyebabkan konsentrasi kalsiumdarahnya turun dan menyebabkan gangguan peran fungsi kalsium termasuk kontraksi otot. Pada umumnyasapi penderita mempunyai konsentrasi kalsium darah kurang dari 7 mg/dl. Implikasi menurunnya peranfungsi kalsium mempunyai dampak yang luas terhadap sistem kekebalan dan penyakit-penyakit lain padasapi periode periparturien. Penelitian Triakoso dan Willyanto (2001) pada sapi perah di KUD KarangPloso Malang, juga menunjukkan hal yang sama. Parturient hipokalsemia pada sapi-sapi di KUD KarangPloso Malang meningkatkan risiko terjadinya distokia sebesar 7,8; retensi plasenta 2,6; metritis 4,1 dankepincangan sebesar 6,6 kali dibanding sapi yang tidak megalami parturient hipokalsemia.

Milk Fever dan MastitisMilk fever meningkatkan risiko terjadi mastitis pada sapi perah. Penderita milk fever akan mengalamikesulitan mengalami kontraksi otot, termasuk juga otot-otot lubang puting. Penelitian Daniel et al. (1983)menunjukkan hubungan antara kekuatan dan laju kontraksi otot polos intestinal sejalan dengankonsentrasi kalsium darah. Sphincter lubang puting tersusun dari otot-otot polos. Kontraksi otot-otot polostersebut akan menyebabkan lubang puting menutup. Jika terjadi hipokalsemia maka akan terjadipenurunan kekuatan dan laju kontraksi otot polos tersebut dan pada akhirnya akan menyebabkangangguan penutupan lubang puting. Dan sebagaimana kita tahu bahwa lubang puting akan membukasangat lebar setelah proses pemerahan dan semakin lebar bila sapi tersebut produksi susunya tinggi.Sementara itu penderita milk fever cenderung untuk rebah karena tidak mampu menopang berat badannya,karena kelemahan kontraksi otot-otot tubuhnya. Terbukanya lubang puting dan kecenderungan sapi rebahakan meningkatkan kemungkinan masuknya bakteri melalui lubang puting yang menjadi dasar proseskejadian mastitis. Sementa itu, neutrofil dan limfosit perifer mengalami penurunan fungsi kekebalan padasapi penderita milk fever (Kehrli, Jr. and Goff, 1989). Dengan demikian memang milk fever meningkatkanrisiko mastitis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa risiko matitis meningkat 8 kali pada sapi penderitamilk fever.Hipokalsemia juga menjadi stressor bagi sapi perah. Sapi perah yang memasuki inisiasi partus akanterjadi peningkatan kadar kortisol 3-4 kali. Pada sapi hipokalsemia subklinis ditemukan peningkatankortisol 5-7 kali saat partus, sementara pada sapi yang mengalami milk fever ditemukan peningkatankortisol 10-15 kali lipat (Horst and Jorgensen, 1982). Tingginya kadar kortisol akan menyebabkanimunosupresi pada sapi pada periode periparturien dan diduga mulai terjadi 1-2 minggu sebelum partus(Kehrli et al., 1989; Ishikawa et al, 1987; Kashiwazaki et al., 1985).

Distokia dan prolapsus uteriBeberapa penlitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kejasian pada sapi penderita milk feverterhadap distokia. Beberapa kasus menunjukkan bahwa odd ratio distokia sebesar 2-3 kali lebih tinggi,bahkan hingga 6 kali lebih tinggi dibanding normal (Curtis et al., 1983;, Erb et al., 1985, Correa et al.,

Page 3

Page 4: 403f449fd042a3c774eb93c0d4454034_Unair

Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untukdigunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

Tim Peneliti : Nusdianto Triakoso, drh.MP

1993). Berkaitan dengan kejadian distokia pernah juga dilaporkan sapi penderita prolapsus uterimenunjukkan konsentrasi kalsium serum lebih rendah dibanding normal (Risco et al., 1984). Penelitiantersebut menunjukkan bahwa lebih dari 19% sapi penderita prolapsus uteri menunjukkan hipokalsemiaberat (kalsium serum <4mg/dl), sementara 28 sapi lainnya menunjukkan hipokalsemia moderat (kalsiumserum 4,1 sampai 6,0 mg/dl).

Retensi plasenta dan endometritisBeberapa penelitian yang mengungkap bahwa milk fever meningkatkan risiko kejadian retensi plasenta(House et al., 2001; Curtis et al., 1989). Dampak langsung milk fever terhadap retensi plasenta sebesar 2kali, selain interaksi tidak langsung akibat milk fever pada distokia (Erb et al., 1985). Dampak tidaklangsung milk fever terhadap retensi plasenta adalah, dimana milk fever menjadi faktor risiko terjadinyadistokia dan distokia menjadi faktor risiko retensi plasenta (Correa et al., 1993). Melendez et al. (2004)melaporkan bahwa konsentrasi kalsium plasma lebih rendah pada penderita retensi plasenta dibandingsapi normal. Berdasarkan informasi di atas, retensi plasenta cenderung lebih banyak terjadi pada sapipenderita milk fever subklinis dibanding milk fever klinis.Dalam hubungannya dengan kasus endometritis, penelitian Sheldon (2005) menunjukkan bahwa sapipenderita hipokalsemia klinis menunjukkan kejadian penyakit endometritis lebih tinggi dibanding sapinormal.

Milk fever dan FertilitasBanyak peneliti yang menduga milk fever menurunkan fertilitas sapi perah. Hal ini akibat peran kalsiumpada organ reproduksi, dimana pada penderita milk fever terjadi gangguan funsi otot uterus, adanyaperlambatan involutio uteri (Borberry and Dobson, 1989) serta adanya perlambatan aliran darah uteri(Johnson dan Daniel, 1997). Hal-hal lain yang diduga berpengaruh terhadap fertilitas secara tidaklangsung adalah kejadian distokia dan retensio plasenta serta endometritis. Penelitian Whiteford andSheldon (2005) sapi penderita milk fever klinis memiliki diameter kornua uteri lebih besar pada saatbunting ataupun saat tidak bunting antara hari ke 15 hingga 45 pasca partus. Hal ini mengindikasikanadanya perlambatan involutio uteri. Penelitian ini juga melihat adanya penurunan gambaran corpusluteum, hal mana mengindikasikan terjadinya penurunan ovulasi setelah proses kelahiran. PenelitianKamgarpour et al. (1999) menunjukkan sapi penderita hipokalsemia subklinis mempunyai folikel yangdiovulasikan pada hari ke 15, 30 dan 40 pasca partus dan ukuran folikel yang diovulasikan pertama kalilebih kecil dibanding normal. Borsbery and Dobson (1989) melaporkan bahwa terjadi peningkatan serviceper conception, calving to service interval, serta calving to service conception pada sapi penderita milkfever.

Milk fever dan saluran pencernaanBeberapa peneliti pernah melaporkan adanya keterkaitan antara milk fever dengan penyakit-penyakitgastrointestinal seperti rumen dan abomasum (Daniel, 1983; Jorgensen et al., 1998). Hal ini karenaadanya penurunan motilitas muskulus rumen dan abomasum pada sapi penderita hipokalsemia subklinismaupun klinis. Menurunnya motilitas ini juga berpengaruh terhadap intake pakan. Penurunan intakepakan akan sangat tampak pada sapi yang berpoduksi tinggi, dimana kebutuhan akan pakan juga tinggi.Goff (2003) mengindikasikan bahwa menurunnya motilitas dan kekuatan kontraksi abomaum akanberpengaruh terhadap kejadian atoni abomasun dan distensi abomasum pada sapi yang mempunyaikonsentrasi kalsium rendah di sekitar waktu partus.

Page 4

Page 5: 403f449fd042a3c774eb93c0d4454034_Unair

Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untukdigunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

Tim Peneliti : Nusdianto Triakoso, drh.MP

Hubungan energi dan respon kekebalanBelum banyak atau bahkan tidak ada penelitian yang mengungkap adanya hubungan kecukupan energidan respon kekebalan. Pada manusia serangan infeksius yang berat menyebabkan sepsis, meningkatnyakebutuhan sumber energi. Peningkatan tersebut berlangsung progresif dalam seminggu pertama infeksiterjadi sekitar 40% di atas normal dan akan terus meningkat hingga 3 minggu. Dan dalam tiga minggutersebut seorang pasien akan kehilangan 13% total body protein (Plank and Hill, 2000).Belum pernah dilaporkan pengukuran serupa pada sapi. Namun beberapa peneliti berupaya untukmelakukan ekstrapolasi dari kejadian tersebut. Energi yang diperlukan untuk kebutuhan basal sapi seberat600 kg adalah 9,7 Mcal Net energi/hari. Jika seekor sapi berkurang kebutuhan energinya sebesar 40%sebagai respon inflamasi, kebutuhannya mendekati 4 Mcal/hari. Secara kasar ini setara dengan 2,4 kgpakan, dengan asumsi bahan pakan mengandung 1,6 Mcal/kg. Pertanyaannya adalah dapatkah seekor sapidalam periode periparturien yang mengalami kekurangan energi, dapat dengan baik menanggapi responinflamasi. Jika sapi tersebut juga mengalami kekurangan protein, apakah sistem kekebalannya juga dapatmemproduksi imunoglobulin serta kebutuhan fase akut protein untuk melawan agen infeksi?

Mastitis dan Retensi PlasentaBeberapa peneliti menyatakan ada keterkaitan antara mastitis dan retensi plasenta (Emanuelson et al.,1993; Peeler et al., 1994). Namun sebelumnya telah muncul Ginnink theory. Teori Ginnink menyatakanbahwa plasenta fetal akan dikenali sebagai benda asing dan ditolak oleh sistem kekebalan induk setelahproses kelahiran sehingga terjadilah pengeluaran plasenta. Goff and Kayako memberikan hipotesis adanyagangguan fungsi neutrofil menyebabkan terjadinya retensi plasenta. Kedua peneliti tersebut kemudianmelakukan pemeriksaan kemampuan neutrofil mengenali jaringan kotiledon fetal dengan suatupemeriksaan menggunakan chemotaxis assay yang memanfaatkan homogenat plasenta yang diperoleh dariplasenta yang dikeluarkan tubuh secara spontan sebagai kemoatraktan. Kemampuan membunuh neutrofiljuga dihitung dengan memeriksa aktifitas myeloperoksidase pada neutrofil yang diisolasi. Sampel darahdiambil dari 142 sapi perah dalam periode periparturien dari dua peternakan. Sebanyak 14,1% sapimengalami retensi plasenta. Neutrofil dari sapi penderita retensi plasenta tersebut diambil dan diisolasi.Setelah diperiksa ternyata neutrofil tersebut mempunyai fungsi yang jauh lebih rendah berdasar keduametode pemeriksaan tersebut. Dan gangguan fungsi neutrofil tersebut melanjut hingga minggu keduasetelah partus. Kesimpulannya adalah retensi plasenta mungkin tidak menyebabkan mastitis tapi secarasimptomatis mendepresi sistem kekebalan.

Daftar PustakaBorsbery, S. and H. Dobson. 1989. Periparturient diseases and their effect on reproductive performancein five dairy herds. Vet records 124:217-219Correa, M.T., H.N. Erb and J. Scarlett. 1993. Path analysis for seven postpartum disorders in Holsteincows. J. Dairy Sci. 76:1305-1312Curtis, C.R., H.N. Erb, C.J. Sniffen, R.D. Smith, P.A. Powers, M.C. Smith, M.E. White, R.B. Hilman andE.J. Pearson (1983). Association of parturient hypocalcemia with eight pariparturient disorders inHolstein cows. Jour. Of the American Vet. Association. 183:559-561Daniel, R.C.W. 1983. Motility of the rumen and abomasum during hypocalcemia. Can.J.Comp.Med. 47:276Erb, H.N. 1987. Interrelationship among Production and Clinical Disease in dairy Cattle: A Review.

Page 5

Page 6: 403f449fd042a3c774eb93c0d4454034_Unair

Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untukdigunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

Tim Peneliti : Nusdianto Triakoso, drh.MP

CVMA Proceedings. Can. Vet. J :28(6) 326-329Goff, J.P. 2003. Managing transition cow – consideration for optimising energy and proteinbalance and immune function. Cattle practice. 11(2):51-63Goff, J.P. and K. Kimura. Metabolic Diseases and Their Effect on Immun Function.Jorgensen, R.J., N.R. Nyegaard, S. Hara, J.M. Enemark and P.H. Andersen. 1998. Rumen motility duringinduced hyper- and hypocalcemia. Acta.Vet.Scand. 39:331-338Kamgarpour, R., R.C.W daniel, D.C. Fenwick, K. McGuigan and G. Murphy. 1999. Postpartumsubclinical hypocalcemia and effects on ovarian function and uterine involution in a dairy herd. VeterinaryJournal. 158:59-67Kehrli, Jr., M.E. and J.P. Goff. 1989. Periparturient Hypocalcemia in Cows : Effects on Peripheral BloodNeutrophil and Lymphocyte Function. J. Dairy Sci. 72:1188-1196Kehrli, Jr., M.E., JC. Detilleux and A.E. Freeman. 1999. Immunosuppression in Dairy Cows at Calving.Kehrli, Jr. M.E, B.J. Nonnecke and J.A. Roth. 1989. Alterations in bovine neutrophil function during theperiparturient period. Am.J.Vet.Res. 50:207Lee, J.Y and I.H. Kim. 2006. Advancing parity is associated with high ilk production at cost of bodycondition and increased partipatruient disorderss in dairy herds. J.vet.Sci:7(2) 161-166Mallard, B.A., J.C. Dekkers, M.J. Ireland. K.E. Leslie, S. Sharif, C. lacey vankampen, L. Wagter and B.N.Wilkie. 1998. Alteration in Immune Responsiveness During the Peripartum Period and Its Ramification onDairy Cow and Calf Health. Symposium : Bovine Immunology. J. Dairy Sci. 81:585-595Mulligan, F., L. O’Grandy, D. Rice and M. Doherty. 2006. Production diseases of the transitioncow : Milk fever and subclinical hypocalcemia. Irish Vet Journal. 59(12)697-702Peeler, E.T., M.J. Otte, R.J. Esselmont. 1994. Inter-relationship of periparturient disease in dairy cows.Vet. Rec. 134:129-132Triakoso, N dan I. Willyanto. 2001. Hubungan Hipokalsemia dan Penyakit-penyakit Peripartus Lain padaSapi Perah : Studi Kasus KUD Karang Ploso Malang

1 Disampaikan pada Continuing Education PDHI Jatim2 di KUD DAU Malang, 16 Juli 2009

Keyword :

penyakit metabolik, peripartus, sapi perah

Page 6