4 · Web viewJelas terlihat bahwa Friedrich dan Finer memegang sudut pandang yang sangat berbeda...

33
TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH: TEORI MANAJEMEN PUBLIK TERJEMAHAN: CHAPTER 7: RECOGNIZE THAT ACCOUNTABILITY ISN’T SIMPLEDOSEN PENGAMPU: Drs. ANDI ANTONO, M.Si OLEH: 1. HUSNI PRAMONO NIM: P2FB07055 2. IKHSANUDIN NIM: PROGRAM PASCASARJANA ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Transcript of 4 · Web viewJelas terlihat bahwa Friedrich dan Finer memegang sudut pandang yang sangat berbeda...

TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH:TEORI MANAJEMEN PUBLIK

TERJEMAHAN:”CHAPTER 7: RECOGNIZE THAT ACCOUNTABILITY ISN’T

SIMPLE”

DOSEN PENGAMPU:Drs. ANDI ANTONO, M.Si

OLEH:

1. HUSNI PRAMONO NIM: P2FB070552. IKHSANUDIN

NIM:

PROGRAM PASCASARJANA ILMU ADMINISTRASIUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTOMEI, 2008

TERJEMAHAN:

BAB 7

MEMAHAMI JIKA AKUNTABILITAS TIDAKLAH MUDAH

Perlu dipahami jika akuntabilitas itu tidaklah mudah. Abdi masyarakat

sebaiknya lebih perhatian daripada perhatian terhadap pasar; seharusnya juga

mengikuti hukum perundang-undangan dan ketatanegaraan, nilai-nilai masyarakat,

norma politik, standar profesional dan kepentingan umum.

Permasalahan akuntabilitas dan pertanggungjawaban dalam jabatan di

pemerintahan itu sangat kompleks. Pegawai administrasi sebaiknya bertanggung jawab

terhadap konstelasi institusi dan norma-norma, termasuk kepentingan umum; hukum

pemerintahan dan undang-undang, badan-badan lain, tingkatan pemerintahan lain,

media, norma-norma profesionalitas, nilai-nilai dan norma-norma masyarakat, faktor

situasional, norma demokratis, dan tentunya juga masyarakat. Memang, kita terpanggil

agar responsif terhadap semua norma, nilai dan preferensi sistem pemerintahan yang

kompleks. Variabel yang demikian menunjukkan kesesuaian, terkadang juga

kontradiksi, dan bisa pula poin yang berkembang dari akubtabilitas. Hasilnya, ada

banyak tantangan yang signifikan yang terlibat dalam ”harapan yang terbukti, tampilan

yang bisa dibuktikan, menjaga pertanggungjawaban diri, menilai kesalahan, memilah

pertanggungjawaban, menentukan siapa pelakunya, mengatur syarat-syarat sistem

akuntabilitas yang banyak (Romzek dan Igraham 2000, 241-242).

Pelayanan Umum Baru mengetengahkan baik pemusatan akuntabilitas dalam

pemerintahan demokratis maupun realitas pertanggungjawaban administratif. Kita

menolak ide yang secara sederhana mengukur efisiensi norma-norma dasar pasar yang

dapat mengukur ataupun mendorong sikap tanggung jawab. Bahkan, kita

memperlihatkan akuntabilitas dalam sektor umum sebaiknya didasarkan pada ide kalau

penyelenggara/pengelola umum dapat dan harus melayani masyarakat demi

kepentingan umum, bahkan dalam situasi itu melibatkan anggapan nilai yang rumit dan

norma yang sesuai. Untuk melaksanakan hal yang demikian pengelola tidak boleh

membuat keputusan itu sendiri. Agaknya hal-hal tersebut harus dipecahkan tidak hanya

berdasarkan pada dialog dengan organisasi, namun juga masyarakat dan perjanjian

kewarganegaraan yang luas. Sementara itu, pelayan masyarakat tetap bertanggung

jawab dalam meyakinkan solusi untuk masalah umum, konsisten dengan hukum,

norma-norma demokratis, dan pembatas-pembatas lain, tidak masalah jika anggapan

sederhana kita acukan pada kesesuaian ide-ide umum masyarakat dan usulan setalah

1

adanya bukti. Agaknya, peranan abdi masyarakat dalam membuat konflik dan

parameter telah diketahui masyarakat sehingga realitas ini menjadi bagian proses

sebuah wacana. Melakukan hal yang demikian tidak hanya membuat solusi yang

realistis, namun juga membangun kemasyarakatan dan akuntabilitas.

Sementara itu, akuntabilitas dalam pelayanan publik secara kompleks tidak

dapat dihindarkan karena baik Administrasi Umum Lama dan Manajemen Umum Baru

cenderung berlebihan menyederhanakan permasalahan. Sebagaimana akan dikaji

secara lebih dalam Bab ini. Dalam versi klasik Administrasi Publik Lama, bahwa

pengelola publik itu sederhana dan secara langsung bertanggung jawab terhadap

pejabat politik. Pada sisi spektrum lain, dalam posisi awalnya, Manajemen Publik Baru

berfokus pada pemberian kebebasan besar si pengelola yang saat itu bertindak sebagai

pengusaha. Dalam peran usahanya, manajer publik terpanggil untuk bertanggung jawab

secara mendasar, dalam istilah efisiensinya = keefektifan biaya, dan bertanggung jawab

pada kekuatan pasar.

Bab ini membicarakan bagaimana ide kita tentang akuntabilitas dan tanggung

jawab dalam administrasi publik berkembang dan berubah berkali-kali, yang pertama

mendefinisikan beberapa kunci parameter permasalahan, kita meresum perdebatan

klasik antara Carl Friedrich (1940) yang berargumentasi bahwa profesionalisme adalah

jalan terbaik untuk memastikan akuntabilitas, dan Herman Finer (1941) yang

mengatakan akuntabilitas harus didasarkan pada kontrol eksternal. Selanjutnya kita lihat

pada maksud akuntabilitas dan evaluasi pemikiran berkenaan dengan jawaban

pertanyaan besar tentang tanggung jawab dan akuntabilitas : (1) Untuk apa tanggung

jawab administrator publik?, (2) Untuk siapa hal itu bisa dipertanggung jawabkan?,

(3) Dengan sarana apa akuntabilitas dan tanggung jawab itu seharusnya diperoleh ?.

Di akhir, kita membandingkan dan menyoroti sudut pandang implisit dan eksplisit

terhadap akuntabilitas dan pendekatan yang mereka anjurkan dalam Administrasi Publik

Lama, Manajemen Publik Baru, dan Layanan Publik Baru.

Perdebatan Klasik

Pengertiannya, lingkup administrasi publik didirikan pada klaim yang dibuat

oleh Wilson dan orang lain, jika pertanyaan tentang akuntabilitas administratif dapat

dijawab dengan mendefinisikan kerja administrator publik sebagai obyek dan dan bisnis

yang secara lengkap terpisah dari politik. Kesulitan tentang akuntabilitas setidaknya

berbicara intelektual, dimulai sekali lagi ketika kredibilitas politik/administratif tentang

dikotomi mulai pecah dibawah tekanan fungsi pemerintahan yang berkembang semakin

komplek. Jika kita tidak menjelaskan fungsi administratif yang sedang membesar secara

2

mekanis dan secara keseluruhan terpisah dari politik, dan administrator yang tidak

terpilih, kemudian bagaimana kita mengikat mereka bertanggung jawab? Jika fungsi

administratif melibatkan kebijaksanaan, bagaimana kita meyakinkan bahwa

kebijaksanaan itu dilatih dalam sebuah sikap tanggung jawab yang konsisten dengan

cita-cita demokratis? Untuk menemukan jawaban ini memang sulit karena hal itu adalah

penting. Frederich Mosher berkata : ”Tanggung jawab boleh jadi adalah kata paling

penting dalam kosa kata administrasi pribadi dan umum” (1960).

Pertanyaan tentang bagaimana yang terbaik untuk menyelamatkan

administrasi yang bertanggung jawab dan responsibel mencakup beberapa isu-isu

terpenting dalam pemerintahan demokratis. Ternyata, salah satu prinsip-prinsip yang

menentukan demokrasi adalah ide Pemerintah yang terkontrol dan dapat

dipertanggungjawabkan sebagaimana pernyataan Dwivedi ”akuntabilitas adalah

pondasi proses yang memerintah, keefektifan dari proses itu adalah bergantung pada

bagaimana dalam kekuasaan itu menerangkan sikap yang didalamnya telah dipenuhi

oleh tanggung jawab mereka, baik konstitusional dan legal..... Maka dari itu, pada akar

demokrasi terbentang persyaratan untuk tanggung jawab dan akuntabilitas publik”.

(1985, 63-64).

Parameter fundamental dari perdebatan tentang tanggung jawab dan

akuntabilitas dalam lingkup administrasi publik dipasangkan dalam pertukaran yang

telah dikenal antara Carl Friedrich dan Herbert Finer. Di Tahun 1940, ketika Amerika

siap berperang, Friedrich menulis dalam jurnal Public Policy bahwa kunci tanggung

jawab birokratis adalah profesionalisme. Tanggung jawab administratif melibatkan lebih

banyak daripada kebijakan awal pelaksanaan yang sederhana. Formulasi kebijakan dan

eksekusi ternyata menjadi luas dan tidak bisa dipisahkan. Lebih jauh lagi, administrator

adalah profesionalis yang memiliki pengetahuan spesifik dan keahlian teknis tentang

kependudukan umum yang tidak dimiliki. Karena responsibiltas mereka yang didasarkan

pada kedalaman pengetahuan profesionalis dan norma sikap, administrator harusnya

bisa bertanggung jawab pada para profesionalisnya dan bertemu dengannya, kemudian

setuju dengan nilai-nilainya.

Friedrich mengatakan, janganlah responsif terhadap sentimen publik, yang

tidak penting agaknya perubahan alami, tanggung jawab administratif menghendaki

para ahli teknis profesionalisme atau ”ketrampilan” menjadi komponen utama

akuntabilitas (1940,191). Dalam membuat argumen ini, dia menyatakan ada dua aspek

tanggung jawab ini ; personal dan fungsional. Tanggung jawab personal mengacu pada

apa yang dimiliki para administrator untuk membenarkan tindakannya menurut

peraturan, rekomendasi dan lain – lain. Tanggung jawab fungsional melibatkan pada

3

kepemilikan administrator dalam melihat fungsi dan aturan profesionalisnya sebagai

arahannya. Dia mengingatkan ada potensi pada tanggung jawab personal dan

fungsional terhadap konflik. Dalam hal ini, baik pengetahuan teknis dan hirarki harus

dipertimbangkan.

Friedrich mengatakan ada sejumlah cara untuk mengukur dan memperkuat

akuntabilitas, dan hanya sebuah kombinasi dari mereka semua yang menawarkan

prospek penyelamatan hasil yang diinginkan (1940, 201). Tetapi Dia mengatakan ”para

pegawai bekerja disemua bidang terutama pada bagian tertentu saja dari pelayanan

pemerintah, lebih banyak juga dalam kegiatan keilmuan, baik nasional maupun

internasional, lebih sensitif dan lebih berkenan dengan kritik yang dibuat oleh

aktivitasnya yang disampaikan oleh rekan seprofesionalnya dari pada oleh atasan

organisatoris yang mereka layani’ (201). Pada akhirnya, ketika masalah pemerintah

tumbuh meningkat kompleksitasnya dan memerlukan keleluasan yang telah diluaskan,

profesionalisme telah menjadi batu loncatan tanggung jawab administratif.

Herman Finer (1941), dari Universitas London, tidak setuju dengan pendapat

itu. Ia merespon Friedrich, dia mengatakan bahwa kontrol eksternal sarana satu –

satunya dan terbaik untuk menguatkan akuntabilitas administratif dalam satu demokrasi.

Dia berargumentasi bahwa para administrator sebaiknya menjadi bawahan terpilih,

karena pejabat terpilih secara langsung bertanggung jawab kepada masyarakat. Para

pejabat tersebut berdasarkan pada interprestasi keinginan publik, seharusnya

mengatakan / menyuruh apa yang dilakukan administrator. Selanjutnya administrator

bertanggung jawab dalam melaksanakan kewajiban itu menurut arahan tersebut. Dalam

membuat argumen ini, Finer mendefinisikan tanggung jawab dalam dua cara. Definisi

pertama adalah jika X dapat bertanggung jawab pada Y dan Z, keduanya adalah (dan

menurut Finer bagian yang salah) melibatkan” pengertian personal dalam kewajiban

moral”. Dia menyatakan” definisi kedua meletakkan tekanan pada hati nurani agen, dan

diikuti dari definisi tersebut bahwa jika dia melakukan satu kesalahan adalah kesalahan

hanya ketika diketahui oleh kesadaran sendiri, dan hukuman tersebut bagi agen hanya

akan menjadi tusukan balik. Orang lain secara langsung menyatakan eksekusi publik;

yang lainya hanya hara – kiri (1941: 336)

Finer berargumentasi, selain itu bahwa kemungkinan teknis dan pengetahuan

harus selalu menjadi hal kedua bagi kontrol demokratis, kontrol yang berdasarkan pada

tiga doktrin atau ide. Pertama (Dia mengacu pada ”kepemilikan publik”) menganjurkan

agar abdi masyarakat jangan bekerja untuk kebaikan masyarakat yang berdasarkan

pemikiran mereka tentang kebutuhan publik, namun lebih pada apa yang dikatakan

publik (1941 : 337). Ide kedua adalah institusi itu harus ada ditempat, khususnya

4

manusia yang terpilih, untuk mengekspresikan dan menggunakan kekuasaan publik.

Yang terpenting bagaimanapun adalah yang ketiga, bahwa institusi terpilih ini bukan

hanya kepentingan sesaat dan canel publik, namun juga memiliki otoritas untuk

memutuskan dan juga memperkuat bagaimana keinginan ini menjadi memuaskan.

Dalam proses ini, jika kontrol eksternal berkurang, penyalahgunaan tidak bisa

terelakan. Finer menghilangkan argumen Friedrich bahwa tanggungjawab administrator

lebih dari sekedar moral daripada persoalan masalah politis, dan ketaatan terhadap

norma dari profesi tersebut adalah jawabanya. Lebih jauh Dia menyatakan bahwa

Friedrich memberikan penekanan kesan yang melangkahi raga yang mati dari tanggung

jawab politis untuk meraih kesuksesan yang memijar dari keragaman moral tanggung

jawab (1941 : 339)

Finer menyimpulkan bahwa :

Tanggung jawab moral barangkali mengoperasikan dalam proporsi langsung pada kekerasan dan efisiensi tanggung jawab politis, dan untuk mengurangi segala macam ketidakwajaran ketika terakhir dipaksa secara lemah. Sementara ide profesionalis, kewajiban terhadap masyaraka, dan hak dari keefisienan teknologis adalah faktor dalam istilah operasi administrasi, itu adalah prosedur namun tidak terus menerus memotivasi faktor, suara kebijakan, dan mereka mensyaratkan kontrol publikdan politis dan aturan arahan (Finer 1941, 350).

Bertahun – tahun Friedrich menegaskan lagi posisinya, menjuluki Finer

”pembuat mistik ketaatan” yang berpandangan tidak realistisdan ketinggalan zaman

(1960). Dia berargumen bahwa pandangan Finer pada akuntabilitas tidak akan bekerja

kecuali ada persetujuan yang jelas sebagaimana yang perlu dilaksanakan dan tidak

perlu bagi kebijakan administratif. Ketika seseorang berpandangan bahwa kompleksitas

kegiatan pemerintah yang modern adalah satu bukti bahwa persetujuan yang demikian

hanya bisa dipisahkan dan tidak lengkap, tidak mengapa siapapun dia yang terlibat

(3-4). Dia menunjuk pada tanggung jawab administratif lebih dari mencoba untuk

”menjaga pemerintah dari berbuat salah” (4).Agaknya keprihatinan utama sebaiknya

meyakinkan tindakan administratif yang efektif. Untuk melakukan ini, dia mengatakan,

ketergantungan antara dunia pembuat kebijakan dan eksekusi kebijakan harus

dipertimbangkan. Dalam individu atau grup tertentu yang sedang memperoleh ataupun

kehilangan kekuatan atau kontrol dalam area yang diberikan, ada politik ; sejauh

tindakan pejabat atau tindakan yang sengaja dengan embel – embel nama kepentingan

publi, ada pula administrasinya (6).

Friedrich sekali lagi mengkritik pernyataan Finer bahwa kontrol eksternal

harus menjadi dasar untuk meyakinkan akuntabilitas. sementara kontrol politis itu juga

5

penting ” ada kemunculan satu model akuntabilitas/tanggung jawab pada bagian dari

administrator permanen, orang itu disebutkan untuk mencari dan menemukan solusi

yang kreatif untuk kebutuhan teknis yang diperlukan, yang tidak dapat secara efektif

dipaksakan kecuali oleh teknisi pengikut yang mampu menilai kebijakannya dalam

istilah keilmuan dan pengetahuan adalah bertahan(1960, 14). Selain itu mekanisme

eksternal dari akuntabilitas , kontrol dan ukurannya, ” perkiraan yang seharusnya , dan

tidak mendekati perkiraan pada hal demikian” (14). Dengan kata lain, kecuali ada

perangkat norma berdasarkan pada ilmu profesional dan teknis, bahwa administrator

menginternalkan dan memegang tiap – tiap akuntabel lainya, tanggung jawab tidak bisa

diraih.

Friedrich menyimpulkan bahwa :

Sikap tanggung jawab fungsi administratif tidak begitu banyak dipaksakan karena hal ini elisit. Namun sudah menjadi anggapan sepanjang sikap tanggung jawab itu tidak dapat dilaksanakan, bahkan di bawah pejabat administratif paling tiranipun akan melapsakan kontrol efektif-pendeknya, masalah tentang bagaimana membawa sikap bertanggung jawab dari staf administratif dalam satu organisasi besar khususnya dalam masyarakat demokratis itu sangatlah luas, pertanyaan dan aturan kerja dan moral yang efektif (Friedrich 1960,19).

Dalam bentuk yang paling sederhana, Friedrich mengklaim bahwa

administrator harus menggunakan pengetahuan profesional dan teknisnya agar bisa

menjadi bertanggung jawab. Oleh karena itu, untuk administrator publik, menjadi penuh

tanggung jawab berarti tidak tidak hanya mengikuti hukum dan melakukan perintah apa

yang harus dilakukan oleh pejabat terpilih, namun juga menggunakan keahlian dari

profesi kita.

Perdebatan antara Friedrich dan Finer mencapai beberapa pertanyaan kunci

yang tetap berada pada pokok isu kontemporer berkenaan dengan akuntabilitas

demokratis. Sebagaimana Dunn dan Legge menyatakan ”Konsep dan metode yang

mendefinisikan akuntabilitas dan tanggungjawab merupakan isu fundamental dalam

teori demokratis, karena itu semua menentukan bagaimana kebijakan publik dan

administrasi tetap responsif terhadap pilihan publik” (2000,74). Jelas terlihat bahwa

Friedrich dan Finer memegang sudut pandang yang sangat berbeda dalam caranya

yang didalamnya proses kebijakan yang seharusnya bekerja. Friedrich menerima

kebutuhannya akan keleluasaan administratif. Pada sisi lain Finer ingin membatasinya

sebanyak mungkin. Barangkali yang paling mendasarnya adalah posisinya dipatok di

atas fondasi yang agak goyah dalam dikotomi politik dan administratif: Dalam sikap apa,

kekuatan demokratis diseimbangkan dengan struktur birokrasi dan keahlian

6

profesional? Isntitusi apa ynag terbaik disusun pada kebutuhan dfan keinginan publik

yang berkesinambungan? Dapatkah kerja administrator dibuat bisa diperkirakan dan

obyektif, sehingga dapat dikontrol dengan sarana ukuran awal? Ataukah secara turun

temurun subyektif dan terlalu kompleks untuk mengurangi set dari nilai-nilai yang

dipertimbangkan sebelumnya ? Keduanyakah ? Ini adalah pertanyaan yang terus

bersambung pada upaya gangguan untuk mendorong dan memperkuat akuntabilitas

dalam layanan publik, dan tidak seperti yang dipastikanm ditentukan kapanpun dengan

secepatnya.

Pertanggungjawaban Administratif: Kepada siapa untuk apa?

Pertukaran antara Friedrich dan Finer mengkristalkan beberapa isu kunci

yang berkenaan dengan akuntabilitas administrative dalam proses demokrasi, Tidak

terlalu mengejutkan sejak saat itu, karena kebanyakan administrator dan penulis di

lapangan telah melokasikan sendiri dimanapun di tengah-tengah kontroversi. Dikatakan

bahwa akuntabilitas administrative menghendaki baik control eksternal maupu

profrsionalisme. Sebagaimana Marshall Dimock dan Gladys Dimock

mengekspresikannya bahwa akuntabilitas adalah isu yang legal dan isu moral yang

dikuatkan secara internal dan eksternal.

Menjadi bertanggung jawab berarti bertindak dengan penuh tanggung jawab, sesuai dengan norma yang ditentukan sebelumnya dari kesopanan. Bagi administrator public, akuntabilitas lebih dari masalah sikap dan kebiasaan; masalah hukum. Untuk bisa menjadi bertanggung jawab juga menjabarkan seseorang kepadanya bisa berlaku. Bagi administrator berarti tahu tugasnya dan melakukannya – jujurlah dan bertindak dengan keikhlasan. Itulah kombinasi arti modern dari akuntabilitas adalah tugas, baik legal maupun moral. (Dimock dan Dimock 1969, 123)

Akuntabilitas dalam administrasi publik diraih baik secara internal maupun

eksternal. Kontrol internal adalah yang disahkan dan ditekankan di dalam satu lembaga

ketika ”administrator sendiri ataupun seseorang selama itu ataupun di atasnya dalam

hirarkhi melihat bahwa dia melakukan tugasnya”. (Dimock dan Dimock 1969, 123)

Kontrol eksternal bisa melibatkan pengawasan legislatif; anggaran dan audit :

pengunaan satu balai sebagaimana satu kritikan tajam dan pers; kelalaian oleh

kelompok konsumen, kepentingan kelompok dan permasalahan individu orang lain.

Sayangnya meskipun permohonan ini adalah pandangan yangberimbang;

tidaklah menyelesaiakan isu akuntabilitas, maupun tidak meminta kita secara tepat apa

yang harus dilakukan. Hasilnya, pertanyaan tentang akuntabilitas telah bersambung

dengan putaran set tekanan di lingkungan administrasi publik yang dpaat diekspresikan

dalam tiga pertanyaan, yang berarti: (1) Apa yang kita pertanggungjawabkan ? (

7

2) Kepada siapa kita bertanggung jawab ? dan (3) Bagaimana yang terbaik dari

tanggung jawab itu dipastikan ? Bergantung pada bagaimana pertanyaan ini dijawab,

dan dalam susunan kepentingan apa, perspektif yang berbeda pada sistem yang paling

tepat dari akuntabilitas administratif dianjurkan. Yang paling problematis biasanya

adalah pertanyaan terakhir: Kita dapat menempatkan proporsi tentang apa yang kita

pertanggungjawabkan dan untuk siapa, namun memperhitungkan bagaimana

memastikan akuntabilitas bukanlah satu proposisi/masalah yang mudah.

Misalkan, Moass dan Rodoway (1959) secara jelas menyatakan posisinya

(yang dinamakan ”working biases”: berburuk sangka) pada dua pertanyaan pertama.

Ternyata mereka secara luas menghilangkan pertanyaan pertama (bertanggung jawab

untuk apa?) dalam satu pertanyaan, dikatakan bahwa agen administratif seharusnya

bertanggung jawab dalam merumuskan seperti halnya kebijakan yang dijalankan.

Dengan berpatokan pada pertanyaan kedua (pada siapa administrator bertanggung

jawab?), Jawabannya bagaimanapun lebih memenuhi syarat. Mereka mulai dengan

mengatakan bahwa para administrator sebaiknya tidak memegang secara langsung

tanggung jawab terhadap publik politik besar ataupun partai-partai politik. Namun agen

administratif sebaiknya bertanggung ajwab untuk menekan kelompok supaya

mengizinkannya akses yang memadai dan informasi yang melindungi kepentingannya.

Tanggung jawab mendasar administrator adalah ”terhadap pihak legislatif, namun

hanya melalui kepala eksekutif, dan pada dasarnya untuk isu-isu luas dari kebijakan

publik dan penampilan administratif umum” (1959,169), mengacu kembali pada

pertanyaan tentang untuk apa mereka bertanggung jawab. Maass and Rodaway

menyaranka jika administrator bertanggung jawab menyesuaikan dengan program

umum dari kepala eksekutif dan koordinasi aktifitas dengan agen cabang eksekutif

lainnya dalam menyelesaikan program itu. Lebih jauh, mereka seharusnya bertanggung

jawab dalam memelihara, mengembangkan dan menerapkan norma profesional yang

demikian sebagaimana relevan dengan kegiatannya”. (196).

Dengan jawaban di tangan ini, Maass dan Rodaway beralih pada pertanyaan

bagaimana akuntabilitas diraih di bawah keadaan ini. Karena prinsip dasar tanggung

jawab administratif ini sering samar-samar dan saling bertentangan, pertanyaan

bagaimana untuk memastikan akuntabilitas tidak dapat terjawab secara umum. Karena

itu, mereka menganjurkan perlunya menggunakan bahasa yang lebih praktis dan

sederhana dari kriteria tanggung jawab. Beberapa kriteria ini bisa menjadi konflik

dengan lainnya. Namun semua itu harus ditimbang dan diterpakan bersama di setiap

usaha untuk menaksir tanggung ajwab dari satu agen administratif khusus” (1959, 163).

8

Tidak ada solusi one-size-fits-all (satu ukuran yang pas untuk semua). Seperti yang

kita katakan pada awal bab ini, akuntabilitas itu kompleks.

Menurut perkataan Maars dan Rodaway:

Tanggung jawab administratif....telah diistilahkan sebanyak total dari sifat konstitusi, undang-undang administratif, yudisial, praktis secara profesional yang dengan hal itu pegawai publik dikendalikan dan dikontrol dalam tindakan kepegawaiannya. Namun tidak mungkin untuk mengidentifikasi kriteria untuk menaksir tanggung jawab administratif dengan menyandarkan pada bahasa umum yang seperti itu. Menjadi perlu untuk menghubungkan konsep umum.....tanggung jawab terhadap fungsi spesifik kekuasaan (yaitu bertanggung jawab untuk siapa ?) dan tujuan (yaitu, bertanggung jawab untuk apa) (Maass and Rodaway 1959,164).

Selanjutnya, satu jawaban akan emmastikan bahwa akuntabilitas dan

tanggung jawab (atau kewenangan/kekuasaan) akan selalu seimbang pada keadaan

yang diberikan. Dengan kata lain seorang administrator hanya akan diserahi tanggung

jawab hal-hal seperti itu yang mana mereka telah memiliki kewenangan dan tanggung

jawab. Namun ada masalah yang potensial dengan hal ini pula. Dalam Responsibility in Government (1969), menunjukan bahwa masalah yang demikian tidak begitu praktis

dan mengangkat pertanyaan yang tak dapat dihindarkan mengarah pada kegamangan.

Bahkan kata “tanggung jawab” sendiri memiliki definisi dan kegunaan yang banyak, dan

digunakan lebih sering daripada yang ditentukan kekurangjelasan pengertian ini

menurutnya memberikan kontroversi dan kebingungan.

Argumennya adalah bahwa tiga konotasi yang berbeda yang digunakan

ketika menyampaikan tanggung jawab: AKUNTABILITAS, ALASAN DAN KEWAJIBAN.

Seperti beberapa pengarang lain, walaupun menggunakan istilah yang berbeda, Spiro

berpendapat bahwa akuntabilitas tidak bisa implisit atau pun eksplisit. Akuntabilitas

eksplisit mengacu untuk memiliki jawaban dan mempertanggung jawabkan bagaimana

seorang administrator menyelesaikan tugas dinasnya. Namun Dia mengatakan “ Kita

semua secara implicit bertanggungjawab kepada tingkatan tersebut yang mungkin tidak

kita harapkan dipengaruhi oleh konsekwensi keputusan yang dibuat oleh orang lain”

(1969, 15). Dengan kata lain manusia dapat dipegang secara implisit tanggung

jawabnya sebagai akibat bahwa mereka itu secara tidak langsung adalah penyebabnya.

Tanggung jawab kausal eksplisit terdiri dari empat elemen yang dihadirkan dalam

tingkatan yang bervariasi dalam keadaan yang berbeda : akal, pengetahuan, pilihan dan

tujuan. Tanggung jawab kausal imlisit terjadi ketika satu orang atau lebih dari elemen –

elemen ini berkurang.

9

Mendiskusikan tentang tanggung jawab yang membingungkan akuntabilitas

dengan tanggung jawab kausal, ataupun berasumsi bahwa akuntabilitas dan tanggung

jawab itu dalam keadaan seimbang terikat menjadi tidak realistis. Sebagai

kenyataannya, ini tidaklah sesederhana itu. Sebagaimana nilai bagaimanapun

pembelaan keseimbangan yang baik antara tanggung jawab kausal dan akuntabilitas ini

cukup memungkinkan (Spiro. 1969, 17). Namun ketidakseimbangan yang masuk akal

itu bukanlah hal yang buruk menurut Spiro. Jika fungsi tanggung jawab adalah untuk

memelihara kesadaran social, kemudian memungkinkan menjadi sesuai kalau

seseorang itu diberi tanggung jawab untuk satu hal, maka dia tidak secara langsung

semata – mata sebagai penyebabnya. Dengan kata lain, Spiro menuliskan : dari sudut

pandang demokrasi konstitusional, bagaimanapun jua kita harus harus membela

keseimbangan yang fair antara dua bentuk tanggung jawab yang ini. Antara

akuntabilibilitas dan tanggung jawab kausal. Kita tidak ingin memegang seseorang

bertanggung jawab untuk satu masalah yang ia buat karena tidak adanya kontribusi

kausal…………kita tidak ingin dia berada pada istilah situation of responsibility (situasi

pertanggung jawaban), yang didalamnya tanggung jawab kausal itu berdiri dalam

keseimbangan yang layak dengan akuntabilitas (Spiro, 1969, 18)

Dalam keadaan yang demikian, memahami bagaimana memastikan tanggung

jawab itu sulit. Masalahnya bukan pada apakah kita menginginkan administrator public

menjadi bertanggung jawab – kita melakukannya. Hal yang lebih penting adalah

bagaimana memastikan akuntabilitas, satu masalah yang secara langsung kembali

pada perdebatan Friedrich – Finer. Jika mekanisme akuntabilitas berfokus pada rangka

kerja undang – undang dan konstitusi sendiri dan tidak mengambil tindakan dari sumber

lain yaitu akal fikiran dan ilmu pengetahuan, tujuan tersebut menjadi salah satu birokrat

tertahan yang negatif. Jika kita mengambil pendekatan yang lebih luas, akuntabilitas

dapat memiliki tujuan yang lebih positif daripada mempertinggi tanggung jawab melebihi

keadaan publik.

Spiro menyatakan :

Kita harus pasrahkan keasyikan yang berlebihan dalam situasi birokrasi untuk kepentingan tiap – tiap individu masyarakat. Memang benar karena birokrat dan masyarakat tidak selalu bertentangan berhadapan satu sama lain dalam tindakan permusuhan yang konstan. Sehingga, birokrat juga masyarakat. Dengan kebaikan tanggung jawab ekstra, khusus, terutus dan akuntabilitas qua birokrat maka kita tidak menyerahkan tanggung jawab pribadi dan umumnya qua masyarakat. Keadaanya sebagai masyarakat, dan masyarakat pengikutnya harus menjadi pokok utama dan perhatian kita (Spiro 1969, 101).

10

Kemudian dari perspektif ini, fokus seharusnya pada karakter dan etika

administrator perseorangan. Ternyata, yang lain juga mengatakan, pada intinya

akuntabilitas adalah pertanyaan etika, bahwasanya peran administrator seharusnya

disusun kembali menjadi palaku etika. Dwivedi menyatakan ”administrasi tak etis adalah

lawan dari administrasi yang bertanggung jawab”, (1985, 65). Kerja dan Terry Cooper

mencontohkan pikiran pada siapa saja yang terfokus kepada etika sebagai dasar

tindakan administrasi, akuntabilitas dan bertanggung jawab. Dalam The Responsible

Administrator (1981) Cooper menguji proses pembuatan kesimpulan yang etis dan

mengusulkan model untuk menghadapi masalah – masalah etis. Seperti kebanyakan

penulis lainnya Cooper membahas tujuan (eksternal) dan subyektif (internal) keaslian

dari tanggung jawab. Dia berargumen bahwa permasalahan yang muncul ketika ada

konflik antara dua bentuk tanggung jawab ini adalah etika yang aslinya fundamental

tindakan etis dinaikan baik dengan kontrol internal dan eksternal (menurut Cooper).

Memang demikian katanya, karena ada empat komponen dari tindakan yang

bertanggung jawab : sifat individu, budaya organisasi, struktur organisasi dan harapan

kemasyarakatan. Tindakan etis individu menuntut otonomi etis individu dan kesadaran

diri sebagai pembatas untuk meraih kesuksesan dan kekuatan organisasi.

Apa yang dapat kita simpulkan dari hal ini? Kita dapat mengatakan bahwa

beberapa generasi pelajar telah menentukan bahwa akuntabilitas administratif sulit

untuk didefinisikan dan bahkan lebih sulit dipastikan. Ini adalah bagian dari satu fungsi

kompleksitas proses administratif sebagai satu komponen dari sistem yang besar dalam

pemerintahan. Hasilnya adalah jaringan komplek mekanisme akuntabilitas dan sistem

yang mencirikan sistem pemerintahan Amekrika terkini. Romzek dan Igraham (2000)

memberikan rangka kerja yang berguna untuk memahami perspektif multi pada

akuntabilitas. Mereka mengatakan bahwa ada empat model/tipe dasar akuntabilitas

didasarkan pada apakah mereka itu internal ataukah eksternal, dan apakah mereka

berasumsi pada tingkatan rendah atau tinggi terhadap otonomi individu. Tipe yang

pertama adalah akuntabilitas hirarkis, ”yang didasarkan pada pengawasan ketat individu

yang memiliki otonomi kerja yang rendah. Kedua, akuntabilitas legal yang melibatkan

kesalahan eksternal mendetail atas penampilan untuk pemenuhan mandat – mandat

yang disahkan. Seperti struktur legislatif dan konstitusional. ” ini akan memasukan audit

keuangan dan pemeriksaan kesalahan”. Ketiga, akuntabilitas profesional didasarkan

pada penyusunan yang memberikan tingkatan yang tinggi atas otonomi individu yang

mendasarkan pembuatan keputusannya dalam memasukan norma sebagai praktek

yang tepat”. Akhirnya akuntabilitas politis menuntut respon untuk kunci eksternal para

pemegang saham, seperti pejabat terpilih, kelompok pelanggan, dan masyarakat umum

dan lainnya. (2000,242).

11

Romzek dan Ingraham menunjukan bahwa sementara semua tipe hubungan

akuntabilitas itu ada, beberapa bentuk menjadi lebih dominan, sedangkan yang lainnya

bisa saja menjadi terbengkelai secara luas dalam keadaan yang demikian. Pada saat

reformasi, katanya ”sering ada penggeseran tekanan dan prioritas antara akuntabilitas

yang berbeda tipe. (2000,242). Pada bagian yang berikutnya, kita akan berdiskusi

tentang asumsi. Bentuk akuntabilitas yang bisa dilihat sebagai hal yang dominan dalam

Administrasi Publik Lama, Manajemen Publik Baru dan Pelayanan Publik Baru.

Administrasi Publik Baru dan Akuntabilitas.

Pandangan formal, hirarki dan seluruh tentang akuntabilitas mencirikan

Administrasi Publik Lama dan bekas – bekasnya dalam banyak hal adalah model yang

paling dikenal dalam memandang tanggung jawab administratif dan akuntabilitas saat

ini. Pandangan akuntabilitas ini percaya dan bersandar pada asumsi bahwa para

administrator jangan dan seharusnya tidak menguji banyak kebijakan yang signifikan.

Agaknya mereka mengimplementasikan hukum secara sederhana, aturan – aturan dan

norma – norma yang dipasang seterusnya bagi mereka oleh atasan yang hirarkis,

pejabat terpilih dan pihak pengadilan. Menurut pengikut Administrasi Publik Lama,

akuntabilitas berfokus pada kepastian bahwa administrator taat pada norma – norma

yang sesuai dengan peraturan dan prosedur yang ditekankan kepada mereka dalam

menjalankan fungsinya. Tidaklah mengapa menggunakan kebijakan dengan tepat dan

bertanggung jawab, menjadi masalah bila menghindari penggunaan kebijakan dengan

keiikutsertaan yang dekat dengan hukum, peraturan, prosedur organisatoris dan

perintah dari atasan.

Dalam sudut pandang ini respon langsung atau akuntabilitas kepada

publik terlihat tidak tepat dan mubazir, setidaknya secara implisitnya. Jabat terpilih

nampak begitu bertanggung jawab dan bisa diandalkan dalam menterjemahkan

kemauan publik dan kebijakan. Sebagaimana disampaikan Goodnow, ” politik harus

melakukannya dengan arahan dan pengaruh kebijakan pemerintah, sedangkan

administrasi harus melaksanakannya dengan pelaksanaan kebijakan itu (1987, 28).

Publik memiliki sedikit peran atau peran tidak langsung dalam proses pelaksanaan

administratif dan kebijakan. Ternyata, Wilson nampak ingin menahan proses

memerintah dari kepentingan yang populer, demikian itu mencegah masyarakat dari

menjadi suka mencampuri urusan orang lain dengan keterlibatan langsung. Dalam

Administrasi Publik Lama, administrator yang bertanggung jawab adalah siapa yang

memiliki dan menyandarkan diri pada keahlian dan kemampuan netral. Dengan

demikian tindak administratif yang bertanggung jawab didasarkan pada ilmu

pengetahuan dan prinsip nilai yang netral.

12

Tidaklah sulit melihat pengaruh yang berkesinambungan dari perspektif ini

sekarang, yaitu sistem akuntabilitas yang dilembagakan. Pembahasan ulang yang sepat

dari topik – topik tersebut, termasuk dalam Rosen (1989) edisi Holding Goverment

Bureaucracies Accountable, sebagai contoh menghadirkan proses peraturan yang laus,

institusi, dan mekanisme untuk memastikan akuntabilitas formal. Di dalam cabang

eksekutif, pengawasan yang hirarkis, anggaran dan proses audit, sistem evaluasi

penampilan dan kekeliruan oleh agen staff seperti departemen pembelian ataupun

perorangan digunakan untuk menahan tindakan administrator dalam mengecek dan

memastikan pemenuhan dengan hukum, prosedur dan peraturan. Legislatif cabang juga

menggunakan jajaran mekanisme akuntabilitas, termasuk proses sukarela/derma, dan

audit legislatif. Pengadilan juga menerapkan sejumlah kontrol administratif, melalui

tinjauan yuridis dan kasus hukum, sebagaimana kesalahan dan interprestasi dari

Undang – Undang Prosedur Administrasi 1946 (yang mengatur prosedur dan proses

yang oleh badan eksekutif harus digunakan dalam menetapkan dan menerapkan

peraturan kepemerintahan). Kebanyakan pendekatan ini bertumpu pada tingkat yang

lebih besar ataupun lebih kecil, formalnya yaitu ide akuntabilitas administrator itu

bertanggung jawab dalam mengikuti kontrol eksternal objektif dan menjawab untuk

tindakannya yang berhubungan dengan norma – norma yang ditekankan dan preferensi

kunci pemegang saham.

Manajeman Publik Baru dan Akuntabilitas.

Dalam suatu pengertian, sudut pandang akuntabilitas didukung oleh pengikut

setia dari Manajemen Publik Baru yang menggema dari Administrasi Publik Lama yang

didalamnya ada kepercayaan yang berkesinambungan pada penilaian obyektif dan

kontrol eksternal, namun tetap ada perbedaan yang penting juga. Pertama, dalam

Manajemen Publik Baru, asumsi birokrasi tradisional itu tidak efektif karena hanya

mengukur dan mengontrol masukan daripada hasilnya. Obsborne dan Gabler

mengatakan ”karena mereka tidak mengukur hasilnya, maka pemerintahan birokratis

jarang meraihnya” (1992,139). Mengontrol input seperti uang dan anggotanya dari pada

hasil, seperti kebersihan jalan atau pengetahuan yang didapat oleh anak-anak,

mengarah pada kesalahan pemerintah. Obsborne dan Gabler berargumen bahwa

jawabannya adalah memperhatikan model bisnis: ”organisasi swasta berfokus pada

hasil karena mereka akan keluar dari bisnis jika angka-angka kunci itu mulai negatif

(139).

13

Dan lagi, sebagaimana Manajemen Publik Baru umumnya, asumsinya adalah

bisnis dan model pasar itu tinggi dan sebaiknya disamakan dalam sektor publik. Karena

badan pemerintah tidak bisa keluar dari bisnis, ketika meraka semua tidak memproduksi

hasil, maka pengukuran tampilan harus digunakan ketika pengganti mengukur terhadap

apa yang didalam bisnis adalah garis dasar keuntungan. Sehingga fokus akuntabilitas

kemudian pada nilai – nilai penampilan rapat daripada hasil produksi.

Kedua, publik kembali dikonsepkan sebagai sebuah pasar yang dibuat

pelanggan/individu yang menangkap tindakan dalam sikap melayani kepentingan

mereka sendiri. Dalam hal ini, lembaga secara mendasar tidak bisa bertanggung ajwab,

baik langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat, publik dan kebaikan

umumnya. Agaknya, mereka bisa bertanggung jawab kepada” pelanggannya”.

Tanggung jawab pemerintah selanjutnya menawarkan pilihan kepada pelanggannya

dfan merespon preferensi individu yang diekspresikan dalam istilah pelayanan dan

fungsi yang disediakan. Akuntabilitas ialah hal pemuasan pilihan/preferensi dari

pelanggan langsung dari pelayanan pemerintahan.

Yang ketiga berbeda dalam sudut pandang yang dominan pada akuntabilitas

administratif menyarankan dalam perspektif Manajemen Publik Baru adalah

kepercayaan pada privatisasi. Ada tekanan yang kkuat di dalam Manajemen Publik

Baru. Dalam menprivatkan sebelumnya dari fungsi-fungsi publik, kap[an[pun bisa

memungkinkan. Sekali lagi, pergeseran akuntabilitas ini dari umum menjadi perspektif

pribadi, yang berfokus lagi pada rangka dasar. Sebgaimnaa sistem akuntabilitas dalam

mempritatkan pemerintah menekankan pada ketentuan layanan dan fungsi yang

menghasilkan hasil yang diinginkan dengan biaya yang paling efektif, bersikap

memungkinkan bisa memuaskan paran pelanggg\annya.

Layanan Publik Baru dan Akuntabilitas.

Perse\pektif pada akuntabilitas dalam Pelayanan Bublik Baru berdiri kontras

baik pada Administrasi Publik lama dan Manajemen Publik Baru. Mengukur efisiensialis

dan hasil adalah penbting, namun mereka tak bisa menunjuk dan ataupun mencakup

harapan orang lain yang kita pegang utnuk administrator publik dalam menindak penuh

tanggung jawab, etios, dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis dan kepentingan

umum. Dalam layanan publik baru cita-citra ekmasyarakatan dan kepentingan umum

berada pada tingkatan pertengahan.

Akuntabilitas dalam Layanan Publik Bari itu beraneka ragam dan

mengharapkan pwengakuan peran yang kompleks yang dimainkan oleh administrator

publik fdalam pemerintahan masa kini. Manajemen Publik Baru secara tidak nyata lebih

14

mencontohkan isu akuntabilitas dalam beberapa cara. Kettl mengekspresikannya

dengan lebih kuat, bahwa pengejaran praktek bisnis dan reformasi pasar yang

dijalankan, mengangkat serangan agresif pada tradisi demokratis akuntabilitas (1998,v).

Pertama, privatisasi dan uapay untuk meniru sektor swasta menyempitkan sikap

akuntabilitas dan tempatkan fokus pada norma-norma rapat yang memuaskan para

pelanggan. Pendekatan yang demikan tidak merefleksikan keragaman, canel yang pas

dari akuntabilitas dalam sektor umum karena norma-norma dalam sektor swasta secara

sederhana kurang keras (Mulgan,2000). Perusahaan swasta bertanggung jawab bagi

para p[emegang sahamnya tidak dapat disamakan denganlembaga pemerintah yang

bertanggung jawab kepada masyarakat. Sementara itu, perusahaan swasta selalu dan

utamanya dapat bertanggung jawab dalam menghasilkan keuntungan, sedangkan

sektor publik lebih memperhatikan pada proses dan kebijakan. Dalam pemerintahan,

penekanan ada pada akuntabilitas kekuatan publik, sehingga bagaimana pemerintah,

lembaga – lembaga dan pegawainya lebih dapat bertanggung jawab kepada pemilik

awal, yaitu rakyat (Mulga 2000, 87).

Glen Cope (1997) juga membuat observasi penting tentang hal ini. Ia

menyarankan bahwa ada sejumlah alasan yang penuh respon bagi masyarakat itu

berbeda daripada respon kepada pelanggan. Supaya responsif kepada pelanggan,

usaha – usaha swasta berusaha untuk menyediakan produk dan jasa pada harga yang

diinginkan dan dengan mutu yang dapat diterima semurah mungkin. Pelanggan tidak

harus menyukai produk atau membelinya kecuali mereka memilih untuk membelinya

juga. Pelayanan terhadap masyarakat dikendalikan dengan motif laba : Pelanggan yang

cukup harus dibuat puas sehingga merek akan membeli barang dan jasa pada harga

yang ditentukan. Pada sisi lain, merespon masyarakat itu secara jelas berbeda.

Pemerintah sebaiknya menyediakan satu produk baranag atau jasa yang menjadi

kebutuhan utama masyarakat. Karena membeli produk barang ataupun jasa bukanlah

seiklasnya pada hal tersebut, karena didalamnya dibayar dengan hasil pajak, ” ini

menciptakan tanggung jawab khusus bagi pemerintah yang tidak hanya untuk

memuaskan pelanggan dekatnyadan beroperasi dengan harga sikap yang efisien,

namun juga memberi jas yang diinginkan masyarakat (1997, 464).

Kedua, Manajemen Publik Baru tidak menempatkan tekanan tingkat yang

tepat pada hukum publik dan norma – norma demokratis. Akuntabilitas publik dikurangi

ketika layanan pemerintah ditampilkan dengan tanpa laba atau organisasi swasta yang

tidak terikat oleh prinsip – prinsip hukum publik (Leazer, 1997). Seperti pernyataan

Gilmore dan Jensen ” karena pelaku swasta bukanlah subjek untuk konstitusional yang

sam, undang – undang dan pembatasan kekeliruan sebagai pelaku pemerintahan

15

pendelegasian fungsi publik diluar ikatan pemerintah sangat menentang ide tradisionil

akuntabilitas, membuat semuanya lebih sulit ” (1998, 248).

Dalam layanan Publik Baru, jika seorang administrator swasta berfungsi

sebagai salah satu pelayan publik, Ia sebaiknya menjadi subyek pada norma – norma

publik akuntabilitas. Berdasarkan pengujiannya pada program pensejahteraan anak –

anak negara, Leazes menyimpulkan bahwa ” efisiensi dan efektivitas itu sendiri bukan

hanya norma – norma administrasi publik yang muncul untuk mengukur kesuksesan

privatisasi. Akuntabilitas yang melekat dalam hukum publik yang berhubungan dengan

keselamatan administrasi konstitusional dan demokratis seharusnya memiliki tempat

yang sama pada meja implementasi kebijakan privatisasi” (1997, 10) Namun, cirinya

mereka tidak dapat melakukannya.

Fokus pada hasil ataupun akibatnya dipopulerkan dengan dukungan dari

Manajemen Publik Baru yang tidak puas atas kebutuhan akuntabilitas bagi norma –

norma demokratis atapun nilai – nilai Myers dan Lacey menyatakan ” Penampilan abdi

masyarakat sebaiknya dinilai menurut luasnya, yang mana mereka menjunjung tinggi

nilai – nilai yang demikian, sedikit atau banyaknya pada kesuksesan rapat target

produksi” (1996, 343). Tidak dikatakan bahwa perhatian hasil dan ukuran produk

tidaklah penting dengan berfokus pada hasil, organisasi publik dapat membuat

peningkatan yang penting pada keunggulan orang yang mereka layani. Namun benar –

benar disarankan bahwa orientasi hasil tampilan ukuran seharusnya dikembangkan

berdasarkan pada satu proses publik ; mereka seharusnya tidak dikembangkan dan

dipaksakan dengan apa yang dalam pemerintah itu mudah untuk meniru mengukur

laba.

Ketiga, Manajemen Publik Baru administrator publik disusun dari

wirausahawan, yang mencari peluang untuk menciptakan rekan kerja bisnis dan

melayani pelanggan. Perspektif ini ada pada peranan administrator publik yang sempit,

dan secara menyedihkan dicocokan untuk meraih prinsip – prinsip demokratis seperti

keadilan, kelayakan, keikutsertaan dan artikulasi kepentingan yang terbagi. Kualitas

yang demikian membuat seorang administrator menjadi usahawan yang baik ternyata

bisa membuatnya menjadi pelayan publik yang efektif dan manajemen dalam dunia

bisnis, seperti persaingan dan orientasi laba, mungkin juga tidak cocok, atau kurang

tepat dengan kepentingan masyarakat demokratis yang politis (1998, 149). Ternyata,

dia menunjuk jika perhatian keefisiensian diberikan lebih dari kepentingan sekunder,

keterbukaan terhadap kedaulatan populer itu bisa jadi dikompromikan.

16

Layanan Publik Baru menolak semua tiga asumsi ini tentang akuntabilitas

yang diajukan oleh Manajemen Publik Baru. Komleksitas akuntabilitas publik dihadapi

oleh abdi masyarakat yang diakui sebagai satu tantangan, satu peluang dan satu

panggilan. Menuntut keahlian, komitmen cita – cita demokratis, pengetahuan hukum

publik dan peradilan di informasikan pengalaman, norma komunitas, dan tindakan yang

beretika. Akuntabilitas dalam Layanan Publik Baru menganjurkan untuk

mengkonseptualkan kembali peranan abdi masyarakat sebagai pemimpin, pengurus

dan duta bagi kepentingan publik, tidak sebagai usahawan. Kevin Kearns menyatakan

meskipun kenyataannya bahwa akuntabilitas itu konstruktif tidak rapi, perdebatan

akuntabilitas sebaiknya diinformasikan dengan struktur lemahnya, tidak dihalangi

olehnya. Pada akhirnya, adanya dialog sejati yang berarti seharusnya diarakan dengan

rangka kerja yang analisis yang mencakup banyak dimensi akuntabilitas dan

memberikan faktor – faktor konstektual dan penilaian subjektif untuk memunculkan ke

permukaan dialog yang diinformasikan sebagai asumsi” (1997, 187).

Prinsip legal, konstitusional dan demokratis adalah hal yang menarik yang tak

bisa dibantah dalam tindakan administratif yang bertanggung jawab. Layanan Publik

Baru berbeda dari Administrasi Publik Lama maupun Manajemen Publik Baru yang

dalam tekanannya pada pengangkatan kepentingan dan sentralitas kemasyarakatan

dan publik sebagai basis bagi tindakan publik yang dapat dipertanggung jawabkan.

Meletakan dengan sederhana sumber kekuasaan administrator publik adalah rakyat

jelata. ”Administrator publik dipekerjakan untuk berlatih agar kewenangan ada sebagian

padanya. Mereka melakukan apa yang seperti dikerjakan rakyat jelata, mereka takan

bisa membebaskan diri sendiri karena status mereka sendiri sebagai anggota komunitas

politis dengan kewajiban sebagaimana layaknya (Cooper 1991, 145). Akuntabilitas

menghendaki agar abdi masyarakat berinteraksi dana memperhatikan masyarakat

dalam sikap yang menguatkan dan memperteguh peranannya dalam pemerintahan

demokratis. N. Joseph Cayer mengatakan ”Tujuan dari partisipasi masyarakat adalah

membuat adminitrasi itu lebih responsif kepada publik dan untuk mempertinggi

legitimasi program pemerintahan dan lembaga – lembaganya ” (1998, 171). Tingkah

laku bertanggung jawab menghendaki agar administrator publik berinteraksi dengan

masyarakat setiany, bukan sebgai pelanggan tapi sebagai anggota masyarakat yang

demokratis.

Dalam Bureauratic Responsibility (1986), John Burke mengatakan bahwa

dipandang dari sudut permasalahan dengan akuntabilitas, dan ketegangan melekat

antara nilai – nilai birokrasi dan demokrasi. Perhatian kita seharusnya berfokus pada

bagaimana pejabat birokrasi memahami peran, tugas, dan kewajibannya, khususnya

17

prinsip apa yang mungkin bisa mengarahkanya dengan lebih bertanggung jawab,

dengan arahan yang tepat pula (1985, 5). Dia mengatakan bahwa sebuah konsep yang

berjalan secara demokratis dari tanggung jawabdiperoleh bukan saja dari aturan formal,

peraturan, dan hukum. Namun dari pemahaman yang lebih luas darai tempat birokrat

dengan lebih mencakup perangkat institusi politis dan proses (39).

Ada dua komponen utama dari model tanggung jawab demokratis. Yang

pertama adalah tanggung jawababdi masyarakat untuk menerima kewenangan politis

secara serius.kedua melibatkan perangkat tanggung jawab yang bergantung pada

kewajiban dengan menghormati tugas – tugas orang lain sebagaimana pula peran abdi

masyarakat yang bertanggung jawab mengimplementasikan dan merumuskan

kebijakan. Model yang demokratis ini, kata Burke adalah ”Upaya untuk merekonsili

kesetiaan konflik potensial yang berhutang politik dan profesi dengan membatasi

wewenang yang didalamnya keahlian diakui kebebasan dan otonomi” (1986, 149).

Pentingnya kata Burke bahwa sudut pandang yang banyak kewajiban moral,

tanggung jawab dan relevansi politis tidak bisa dipecahkan berdasarkan pada

pengertian yang dimiliki administrator yang benar. Agaknya, penilaian yang demikian

harus dibuat sebagai bagian dan proses keikutsertaan. Burke menyatakan:

”Bukan hanya melakukan kewajiban spesifik yang diposisikan dengan konsepsi demokratis dari tanggung jawab yang mempertinggi proses partisipasi dan akibatnya, namun pengertian umum dari tanggung jawab adalah membantu perkembangan (-khususnya ciri dan fikiran yang demokratis-), memfasilitasi tujuan-tujuan partisipasi. Mewujudkan etos yang implisit dalam menerima demokrasi secara serius, apakah strukturnya itu formal atau informal, tersentral atau terdesentral. (Burke 1986,214).

Sudut pandang ini juga dicontohkan oleh Edward Weber’s (1999) yang

berdiskusi tentang Manajemen Ekosistem akar rumput (GREM), yang memandang

akuntabilitas administratif dalam sebuah dunia pemerintah yang terdesentral, membagi

kekuasaan, proses keputusan kolaborasi, manajemen orientasi hasil, dan partisipasi

kewarganegaraan yang luas ” (1999,451). Model GREM emmandang respon politis,

tampilan administratif, dan dimensi normatif ketika membebani akuntabilitas. Sementara

Weber berbicara secara langsung terhadap isu akuntabilitas dan resp[onan,

argumennya juga menerapkan pertanyaan bagaimana kita memandang dan

mengevaluasi kebijaksanaan administratif yang diuji dalam implementasi kebijakan. Dia

menantang pandangannya bahwa responan adalah sebuah jalan yang berasal sdari

pejabat terpilih, yang menjelaskan bahwa selain responan dan akuntabilitas adalah satu

hal komandoklebijakan atas bawah dari senior politis dan administratif serta input dasar

dari komunitas pemilik saham dan juga orang lain.” (454-55). Meskipun modelnya

18

memberikan beban ke partisipasi dasar, akuntabilitas hirarkhis dan legal juga tetap

penting. Bila mengatakan pada esensinya fokus kebijakan holistik memberikan

manajemen adatif dan ketertlibatan masyarakat.

Dalam Layanan Publik Baru, akuntabilitas secara luas didefinisikan untuk

meliputi jajaran profesional, legal, politis dan tanggung jawab demokratis. Namun tujuan

pokok dari akuntabilitas dan mekanisme tanggung jawab di dalam kebijakan politis

adalah memastikan responden oleh pemerintah kepada preferensi dan kebutuhan

masyarakat (Dunn and Legge 2000, 75) akuntabilitas dan tanggung jawab ini tercapai

sangat baik oleh servis publik yang mengakui dan merespon norma-norma konflik dan

multipel, serta faktor-faktor yang bisa dan seharusnya bisa mempengaruhi tindakan-

tindfakan administrator. Kunci untuk menyeimbangkan faktor-faktor ini dalam budaya

tanggung jawab yang demokratis berhenti bersama perjanjian masyarakat, penguatan

dan dialog. Administrator publik bukanlah para ahli yang netral dan bukan wirausaha

bisnis. Mereka terpanggil untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab di dalam

sistem pemerintahan yang kompleks, yang didalamnya mereka bisa memainkan peran

sebagai fasilitator, reformis, komisi kepentingan, ahli hubungan kemasyaarakatan (PR),

manajer krisis, perantara, analis, pengacara, dan yang terpenting adalah pemimpin dan

pelayan yang bermoral dalam kepentingan publik (Vinzant and Crpthers 1998; Terry

1995).

Jika Fungsi publik diprivatkan atau kembali diciptakan untuk mencerminkan

perusahaan sektor swasta, nilai-nilai demokratis menjadi kurang penting. Malahan,

fokusnya ditempatkan dalam efisiensi pasar dan pencapaian pemerintahan garis bawah.

Khususnya ketika privatisasi melibatkan fungsi-fungsi yang vital bagi kepentingan publik

(seperti pusat kesehatan, pusat kesejahteraan dan pusat pendidikan), hubungan antara

pemerintah dan masyarakat menjadi lebih kompleks daripada bukan semata-mata

ketentuan servis pada pelanggan. Dengan demikian, lebih dari ukuran pasar yang

terkendali dari efisiensi dikehendaki untuk memegang tanggung jawab Pemerintah

(Gilmore and Jansen 1998). Dalam ektor swasta, insentif keuangan dan preferensi

pemilik saham mengarahkan tingkah laku para administrator. Ketika fungsi-fungsi publik

tidak diberikan lebih kepada sektor swasta atau kembali disusun untuk meniru model

swasta, akuntabilitas publik untuk keadilan, jalan masuk masyarakat, konstitusional dan

hak-hak menurut undang-undang pada masyarakat hampir dikompromikan definisinya.

Jika tidak maka Shamsul Haque menyatakan ”tanda birokrasi publik adalah

akuntabilitasnya terhadap publik karena kebijakan dan juga tindakan-tindakannya.

Tanpa kesadaran dari akuntabilitas yang demikian, birokrasi publik kehilangan identitas

19

kemasyarakatannya, menyerah kepada legitimasi publik, dan bisa menurunkan sendiri

pada pemujaan pencarian diri, kepentingan pribadi ” (1994,265).

Michaewl Harmon (1995) melatakan tanggung jawab tetap sebuah paradok.

Paradok itu adalah keaslian tanggung jawab menegakkan dua cita-cita yang kontras

akuntabilitas moral versi kemampuan menjawab kepada sebuah organisasi. Dia

berargumen bahwakonsepsi tanggung jawab yang menyadarkan konsep lembaga

(bertindak sebagiannya), akuntabilitas dan kewajiban tidak menerima dalam,

memandang elemen moralitas. Karena kekurangan tekanan moralitas ini, maka tiga

paradok tersebut muncul: paradok kewajiban, paradok kesalahan dan paradok

akuntablitas. Paradok kewajiban menjelaskan jika ”abdi masyarakat bebas memilih

namun pada yang sama diwajibkan untuk bertindak hanya ketika orang lain secara

otoritas memilihnya, kemudian mereka tidak, untuk tujuan praktis, dan kebebasan. Jika

pada sisi lain abdi masyarakat benar-benar memilih dengan bebas, tindakan mereka

bisa mengganggu kewajiban otoritas., dalam kasus ini penggunaan pilihan bebas

mereka tidak dapat di[pertanggungjawabkan” (1995,102). Paradok lembaga terjadi

ketika menerima tanggung jawab perorangan dalam bertindak sebagai agen moral yang

berkonflik dengan kemampuan menjawab kepada orang lain. Sebaliknya, ”klaim

kemurnian moral dinyatakan secara tidak langsung di dalam pernyataan tegas tentang

kemampuan menjawab awal kepada orang lain dapat dicapai oleh agen penolakan

kepemilikan individu. Paradok akuntabilitas adalah (menurut Harmon):

Abdi masyarakat yang bisa bertanggung jawab semata-mata karena pencapaian efektif dari tujuan yang dimandatkan oleh penguasa politis, kemudian sebagai alat semata dari otoritas itu mereka tidak menahan tanggung jawab perseorangan sebagai agen moral sebagai akibat dari tindakanya. Dengan kata lain, jika abdi masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam menentukan tujuan publik, maka akuntabilitasnya dikompromikan dan kewenangan publiknya dikurangi (Harmon 1995,164).

Harmon menyimpulkan, reformasi nasional dari institusi pemerintah tidak

diganti, dan ternyta bisa secara baik terhndar, memperkuat ikatan komunal yang

membentuk subtansi institusi itu sendiri (1995, 207). Dengan kata lain, abdi masyarakat

secara benar terpanggil untuk bisa bertanggung jawab, bisa menjawab, bisa merespon

dan bermoral. Salah satu dari itu qualitas, ini adalah pengeluaran tempat – tempat

orang lain pada resiko pemerintahan yang demokratis, meskipun dalam ketegangan dan

dalam kesulitan, jika tidak/bukan kemustahilan, secara penuh dan sempurna

memuaskan setiap segi akuntabilitas dalam setiap kondisi, itu adalah apa yang kita

inginkan dari abdi masyarakat kita. Untungnya, dengan keberanian dan profesionalisme,

mereka melakukanya setiap hari dalam komunitas negara Amerika. Adalah kewajiban

20

kita ketika satu tempat luas menjawab kesulitan kerja mereka, menyiapkannya,

menghargai kesuksesannya dan memajukan nilai-nilai demokratis yang mengelilingi apa

yang mereka kerjakan.

Kesimpulan

Pertanyaan tentang akuntabilitas dalam servis publik adalah satu hal yang

kompleks, melibatkan keseimbangan norma-norma bersaing dan tanggung jawab dalam

jaringan rumit dari kontrol eksternal; nilai-nilai profesional; preferensi masyarakat; isu-isu

moral, hukum publik dan yang terakhir kepentingan umum. Atau kata Robert Behn

”Kepada siapa manajer publik harus bertanggung jawab ? Jawabannya adalah ”sewmua

orang” (2001,120). Dengan kata lain administrasi publik terpanggil agar responsif pada

semua norma-norma yang bersaing, ilai-nilai dan preferensi sistem pemerintahan kita

yang kompleks. Akuntabilitas tidaklah simpel dan tidak bisa dibuat. Ketegangan dan

paradoks yang diidentifikasi hormon dan yang lainnya tidak bisa diperkecil lagi dan tidak

bisa dihindari dalam sistem demokratis pemerintah kita. Adalah satu kesalahan ”dalam

taksiran kita” mecontohlebihkan keaslian akuntabilitas demokratis dengan berfokus

hanya pada sempitnya perangkat ukuran penampilan atau dengan berupaya meniru

kekuatan pasar – atau, lebih jeleknya dengan simple bersembunyi dibelakang ide para

ahli yang netral.Untuk melakukan hal yang demikan, maka kembali pada pertanyaan

kemurnian demokrasi, dan peran kemasyarakatan serta servis publik yang

didedikasikan pada melayani masyarakat demi kepentingan umum. Layanan Publik

Baru mengakui bahwa menjadi abdi masyarakat itu dikehendaki, menantang, dan

terkadang secara herois berusaha keras melibatkan akuntabilitas dengan orang lain,

mentaati hukum, bermoralitas, berpertimbangan dan bertanggung jawab.

21