4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengamatan Morfologi ...repository.ub.ac.id/10308/5/BAB IV.pdfdengan...

25
39 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengamatan Morfologi dan Tingkah Laku Udang Vaname Pengamatan morfologi dan tingkah laku udang vaname dilakukan secara makroskopik yaitu dengan kasat mata. Perlakuan yang diamati adalah udang kontrol positif (K+) yaitu udang sehat tanpa pemberian ekstrak rumput laut Eucheuma cottoni dan tanpa infeksi virus WSSV, udang kontrol negatif (K-) yaitu udang tanpa pemberian ekstrak rumput laut yang diinfeksi virus WSSV serta udang perlakuan P1, udang perlakuan P2, dan udang perlakuan P3 yaitu udang yang diberi ekstrak rumput laut dengan dosis 5gr/kg, 10 gr/kg, dan 15gr/kg yang diinfeksi virus WSSV. 4.1.1 Pengamatan Udang Kontrol Positif (K+) Udang perlakuan kontrol positif (K+) yaitu udang sehat tanpa pemberian ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii dan tanpa diinfeksi virus WSSV. Menurut Arafani et al., 2016, udang sehat memiliki ciri ciri yaitu tubuh udang berwarna cerah, anggota tubuh utuh, ekor utuh, udang bergerak aktif, dan mata udang memantulkan warna sinar merah bila terkena cahaya pada malam hari. Hasil pengamatan morfologi dan tingkah laku udang kontrol positif dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Ciri Ciri Tingkah Laku dan Morfologi Udang Kontrol Positif (K+) No Hari Ciri ciri tingkah laku dan morfologi 1 1 - Nafsu makan normal, udang bergerak aktif, badan terlihat segar 2 2 - Nafsu makan masih normal, rangsangan terhadap sentuhan masih normal, badan udang terlihat segar 3 3 - Nafsu makan normal, badan udang segar, pergerakan normal 4 4 - Nafsu makan normal, respon terhadap sentuhan normal - Badan udang terlihat segar 5 5 - Nafsu makan normal, respon terhadap sentuhan normal - Badan terlihat cerah 6 6 - Nafsu makan normal, pergerakan gesit, badan terlihat segar

Transcript of 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengamatan Morfologi ...repository.ub.ac.id/10308/5/BAB IV.pdfdengan...

  • 39

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Pengamatan Morfologi dan Tingkah Laku Udang Vaname

    Pengamatan morfologi dan tingkah laku udang vaname dilakukan secara

    makroskopik yaitu dengan kasat mata. Perlakuan yang diamati adalah udang

    kontrol positif (K+) yaitu udang sehat tanpa pemberian ekstrak rumput laut

    Eucheuma cottoni dan tanpa infeksi virus WSSV, udang kontrol negatif (K-) yaitu

    udang tanpa pemberian ekstrak rumput laut yang diinfeksi virus WSSV serta

    udang perlakuan P1, udang perlakuan P2, dan udang perlakuan P3 yaitu udang

    yang diberi ekstrak rumput laut dengan dosis 5gr/kg, 10 gr/kg, dan 15gr/kg yang

    diinfeksi virus WSSV.

    4.1.1 Pengamatan Udang Kontrol Positif (K+)

    Udang perlakuan kontrol positif (K+) yaitu udang sehat tanpa pemberian

    ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii dan tanpa diinfeksi virus WSSV. Menurut

    Arafani et al., 2016, udang sehat memiliki ciri – ciri yaitu tubuh udang berwarna

    cerah, anggota tubuh utuh, ekor utuh, udang bergerak aktif, dan mata udang

    memantulkan warna sinar merah bila terkena cahaya pada malam hari. Hasil

    pengamatan morfologi dan tingkah laku udang kontrol positif dapat dilihat pada

    Tabel 2.

    Tabel 2. Ciri – Ciri Tingkah Laku dan Morfologi Udang Kontrol Positif (K+)

    No Hari Ciri – ciri tingkah laku dan morfologi

    1 1 - Nafsu makan normal, udang bergerak aktif, badan terlihat segar

    2 2 - Nafsu makan masih normal, rangsangan terhadap sentuhan

    masih normal, badan udang terlihat segar

    3 3 - Nafsu makan normal, badan udang segar, pergerakan normal

    4 4 - Nafsu makan normal, respon terhadap sentuhan normal

    - Badan udang terlihat segar

    5 5 - Nafsu makan normal, respon terhadap sentuhan normal

    - Badan terlihat cerah

    6 6 - Nafsu makan normal, pergerakan gesit, badan terlihat segar

  • 40

    4.1.2 Pengamatan Udang Kontrol Negatif (-)

    Udang perlakuan kontrol negatif (K-) diperoleh dari udang yang telah

    diberi virus WSSV tanpa pemberian ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii.

    Penginfeksian virus menggunakan metode perendaman dengan dosis 20 µg/ml.

    Pengamatan dilakukan mulai hari pertama pasca infeksi hingga hari ke enam

    pasca infeksi. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 3. Ciri – Ciri Tingkah Laku dan Morfologi Udang Kontrol Negatif (K-)

    No Hari Ciri – ciri tingkah laku dan morfologi

    1 1 - Nafsu makan normal, udang bergerak aktif

    - Badan terlihat segar

    2 2 - Nafsu makan masih normal, rangsangan terhadap sentuhan

    masih normal

    - Badan udang terlihat segar

    3 3 - Nafsu makan normal, tetapi ada yang tersisa

    - Badan udang mulai terlihat kemerahan

    - Pergerakan mulai lemah, dan tidak begitu respon terhadap

    sentuhan

    4 4 - Nafsu makan mulai berkurang, udang bergerak di dasar secara

    lambat, badan sampai ekor terlihat kemerahan

    5 5 - Nafsu makan semakin berkurang dilihat dari sisa pakan yang

    masih banyak, warna merah pada udang terlihat jelas, udang

    bergerak melambat di dasar kolam,

    6 6 - Nafsu makan turun, pergerakan lambat dan lemas, mengalami

    kematian

    Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa pada hari ke-1 dan hari ke- 2

    pasca infeksi WSSV udang masih menunjukan perilaku yang normal yaitu terlihat

    dari nafsu makan yang normal dan peka terhada rangsangan. Kemudian pada

    hari ke tiga nafsu makan mulai menurun, badan mulai terlihat kemerahan yang

    dimungkinkan hal ini terjadi karena pengaruh dari virus WSSV yang mulai

    menginfeksi udang vaname. Selanjutnya pada hari ke-4 dan ke-5 nafsu makan

    dan pergerakan semakin menurun serta kemerah – merahan nampak semakin

    jelas dan pada hari ke-6 udang mengalami kematian. Menurut Utami et al., 2012

  • 41

    gejala klinis udang yang terinfeksi WSSV yaitu nafsu makan berkurang,

    berenang miring dan lemah, mendekati gelembung udara, kaki renang, telson

    dan uropod kemerahan.

    4.1.3 Pengamatan Udang Perlakuan P1

    Udang perlakuan P1 diperoleh dari udang vaname yang dberi virus

    WSSV yang sebelumnya sudah diberi ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii

    dengan dosis 5g/kg pakan. Data hasil pengamatan ciri – ciri tingkah laku dan

    morfologi dapat dilihat pada Tabel 4.

    Tabel 4. Ciri – Ciri Tingkah Laku dan Morfologi Udang Perlakuan P1

    No Hari Ciri – ciri tingkah laku dan morfologi

    1 1 - Udang bergerak aktif, responsif terhadap sentuhan - Nafsu makan normal, badan udang terlihat segar

    2 2 - Pergerakan udang aktif, nafsu makan normal

    - Respon terhadap sentuhan tinggi,

    - Badan udang masih terlihat segar

    3 3 - Nafsu makan masih normal, badan udang terlihat segar

    - Masih respon terhadpa sentuhan

    4 4 - Nafsu makan menurun, warna udang mulai memerah

    - Udang masih aktif bergerak,

    - Ketika diberi sentuhan masih menghindar

    5 5,6 - Nafsu makan menurun, pergerakan mulai menurun

    - Warna udang memerah, udang lebih banyak diam

    Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa pada hari pertama sampai

    hari ke-3 pasca infeksi udang menunjukkan perilaku normal yaitu nafsu makan

    masih normal, udang bergerak aktif dan badan masih terlihat segar. Kemudian

    pada hari ke-4, 5 dan ke-6 nafsu makan menurun, pergerakan mulai menurun,

    badan mulai memerah dan udang lebih banyak diam, hal ini dimungkinkan

    karena virus WSSV mulai menginfeksi udang vaname sehingga terjadi

    perubahan tingkah laku. Menurut Kordi (2009) gejala umum udang yang

    terinfeksi virus WSSV yaitu nafsu makan menurun, keadaanya lemah dan

  • 42

    kehilangan keseimbangan, tubuh udang berwarna merah mula – mula pada

    bagian kepala dan ekor dan akhirnya ke seluruh tubuh.

    4.1.4 Pengamatan Udang Perlakuan P2

    Udang perlakuan P2 diperoleh dari udang vaname yang dberi virus

    WSSV yang sebelumnya sudah diberi ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii

    dengan dosis 10g/kg pakan. Data hasil pengamatan ciri – ciri tingkah laku dan

    morfologi dapat dilihat pada Tabel 5.

    Tabel 5. Ciri – Ciri Tingkah Laku dan Morfologi Udang Perlakuan P2

    No Hari Ciri – ciri tingkah laku dan morfologi

    1 1,2,3 - Udang bergerak aktif, respon terhadap sentuhan baik - Badan udang terlihat segar dan cerah - Nafsu makan normal

    2 4 - Udang bergerak aktif

    - Nafsu makan mulai menurun

    - Badan udang terlihat segar

    - Masih respon terhadap sentuhan

    - apabila diberi cahaya pada malam hari udang mendekat

    3 5 - Nafsu makan menurun

    - Pergerakan lambat

    - Ada sisa pakan

    4 6 - Nafsu makan menurun

    - Respon terhadap rangsangan rendah

    - Warna udang memerah

    Berdasarkan Tabel 5 pada hari ke-1 sampai hari ke-3 pasca infeksi

    WSSV udang masih menunjukkan perilaku yang normal dilihat dari nafsu makan

    yang normal, pergerakan normal, dan badan masih terlihat cerah dan segar.

    Kemudian pada hari ke-4 udang masih bergerak aktif akan tetapi nafsu makan

    menurun, hari ke-5 nafsu makan menurun dan pergerakan lambat, hari ke-6

    warna udang memerah. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh virus WSSV yang

    mulai menyerang udang vaname sehingga terjadi perubahan morfologi dan

    tingkah laku. Menurut Hameed (1997) dalam Amrillah et al., 2015, gejala klinis

    yang timbul pada udang yang terinfeksi WSSV ditunjukkan oleh penurunan

    konsumsi pakan, udang menunjukkan perilaku lesu, terjadi pelunturan warna

  • 43

    (diskolorisasi) pada hepatopankreas dari warna merah muda hingga menjadi

    coklat kemerahan dan perubahan warna kemerahan pada abdomen.

    4.1.5 Pengamatan Udang Perlakuan P3

    Udang perlakuan P3 diperoleh dari udang vaname yang dberi virus

    WSSV yang sebelumnya sudah diberi ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii

    dengan dosis 15g/kg pakan. Data hasil pengamatan ciri – ciri tingkah laku dan

    morfologi dapat dilihat pada Tabel 6.

    Tabel 6. Ciri – Ciri Tingkah Laku dan Morfologi Udang Perlakuan P3

    No Hari Ciri – ciri tingkah laku dan morfologi

    1 1 - Udang bergerak aktif, respon terhadap sentuhan baik

    - Badan udang masih terlihat segar dan berwarna cerah

    - Udang lebih banyak di dasar bak, nafsu makan normal

    2 2 - Udang bergerak aktif, nafsu makan masih normal

    - Badan udang terlihat segar dan berwarna cerah

    3 3 - Nafsu makan normal, warna udang segar dan cerah, udang

    bergerak normal, ketika diberi sentuhan masih menghindar

    4 4 - Nafsu makan menurun, respon terhadap rangsangan baik,

    udang lebih banyak diam di dasar,

    5 5,6 - Nafsu makan menurun

    - Pergerakan lambat

    - Ada sisa pakan

    - Badan memerah

    Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa pada hari ke-1 sampai hari

    ke-3 pasca infeksi WSSV udang vaname menunjukkan morfologi dan perilaku

    yang normal yaitu ditandai dengan nafsu makan yang normal, udang bergerak

    aktif, badan terlihat segar dan cerah. Kemudian pada hari ke-4 sampai hari ke-6

    udang vaname mulai menunjukkan perubahan tingkah laku yaitu nafsu makan

    turun, pergerakan lambat, ada sisa pakan dan badan memerah. Hal ini

    dimungkinkan karena udang vaname mulai terinfeksi virus WSSV. Menurut

    Corteel (2013), gejala udang vaname yang terserang WSSV sangat bervariasi

    dan tidak spesifik. Gejala umum berupa adanya bintik-bintik putih pada karapas

    bagian kepala tidak selalu ditemukan pada udang. Namun, pada udang terinfeksi

  • 44

    WSSV muncul warna kemerahan di kepala maupun ujung ekor. Gejala-gejala

    lain WSSV, di antaranya udang bergerombol di pinggir kolam, nafsu makan

    menurun drastis, tidak peka rangsangan, dan tubuhnya berwarna kuning susu.

    4.2 Pengamatan Differential Haemocyte Count (DHC) Udang Vaname

    Pengamatan DHC udang vaname dilakukan secara mikroskopik yaitu

    dengan menggunakan mikroskop. Perlakuan yang diamati dalam penelitia ini

    yaitu perlakuan kontrol positif (K+) yaitu udang sehat yang tidak diberi virus

    WSSV maupun ekstrak rumput laut Eucheuma cottoni, udang perlakuan kontrol

    negatif (K-) yaitu udang yang telah diinfeksi virus WSSV tanpa diberi ekstrak

    rumput laut Eucheuma cottonii, udang perlakuan P1 yaitu udang yang diberi

    ekstrak rumput laut yang dicampur ke pakan dengan dosis 5 g/kg pakan dan

    kemudian diinfeksi virus WSSV, udang perlakuan P2 yaitu udang yang diberi

    ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii yang dicampur ke pakan dengan dosis 10

    g/kg pakan dan kemudian diinfeksi virus WSSV, dan perlakuan P3 yaitu udang

    yang diberi ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii yang dicampur ke pakan

    dengan dosis 15 g/kg pakan dan kemudian diinfeksi virus WSSV. Menurut Lee

    dan Shiau (2001), jumlah total hemosit merupakan indikator respon

    meningkatnya pertahanan tubuh udang. Parameter untuk mengetahui

    kemampuan suatu zat atau senyawa untuk menstimulasi sistem pertahanan

    nonspesifik udang yaitu melalui peningkatan jumlah hemosit. Selanjutnya

    Hartinah et al., (2014) menyatakan bahwa perubahan jumlah hemosit dan

    perubahan komposisi diferensiasi sel dapat menjadi indikator awal bagi kondisi

    vitalitas juvenil udang windu secara dini. Perubahan jumlah hemosit sampai

    batas tertentu, biasanya diikuti dengan perubahan komposisi diferensiasi sel-sel

    hemosit. Gambar tipe – tipe sel hemosit yang ditemukan saat penelitian dapat

    dilihat pada Gambar 6.

  • 45

    Gambar 6. (a) Sel Hyalin, (b) Sel semi granular, (c) Sel Granular

    (Dokumentasi Pribadi, 2017)

    Differential Haemocyte Count (DHC) terdiri dari 3 jenis sel yaitu sel hyalin.

    sel semi granular dan sel granular. Data DHC dapat dilihat pada Lampiran 2.

    4.2.1 Nilai DHC Udang Kontrol Positif (K-)

    Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa udang kontrol positif (+)

    memiliki jumlah rata – rata sel granular 43,86 %, nilai sel semi granular 21,80 %,

    dan sel hyalin 34,34 %. Histogram Nilai DHC udang kontrol positif (K+) dapat

    dilihat pada Gambar 7.

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    K +

    Pro

    sen

    tase

    sel

    (%)

    Perlakuan

    Hialin

    Semi Granular

    Granular

    Gambar 8. Prosentase Sel Hyalin, Semi Granular dan Sel

    Granular pada Masing-masing Perlakuan Kontrol

    Positif (K+)

    Hemosit merupakan salah satu bentuk sistem pertahanan tubuh yang

    bersifat seluler dan memainkan peranan penting dalam respon kekebalan tubuh

  • 46

    (Setyati, 2007). Berdasarkan klasifikasinya sel hemosit dibedakan menjadi 3

    yaitu sel hyalin, sel semi granular, dan sel granular. Tipe sel hemosit yang

    berbeda mempunyai fungsi yang berbeda pula dalam sistem pertahanan tubuh.

    Sel hyalin dan sel semi granular mempunyai peran penting dalam sistem

    pertahanan tubuh udang terutama dalam proses fagositosis (Ermantianingrum et

    al., 2013). Fungsi lain dari sel hemosit dalam sistem pertahanan tubuh yaitu

    berperan dalam pengaktifan sistem prophenoloxidase yang dilakukan oleh sel

    semi granular dan sel granular (Andrade, 2011).

    4.2.2 Nilai DHC Udang Kontrol Negatif (K-)

    Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa udang kontrol negatif (-)

    memiliki jumlah rata – rata sel granular 29,91 %, nilai sel semi granular 40,65 %,

    dan sel hyalin 29,44%. Histogram Nilai DHC udang kontrol positif (K+) dapat

    dilihat pada Gambar 8.

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    40

    45

    K (-)

    Pro

    sen

    tase

    sel

    (%

    )

    Perlakuan

    Hialin

    Semi Granular

    Granular

    Gambar 8. Prosentase Sel Hyalin, Semi Granular dan Sel

    Granular pada Masing-masing Perlakuan Kontrol

    Negatif (K-)

    Diferensiasi hemosit merupakan pembagian jenis/tipe sel hemosit dalam

    hemolim udang. Secara umum hemosit pada krustasea terdiri atas 3 tipe sel,

  • 47

    yakni sel hyalin, sel granular, dan sel semigranular (Kakoolaki et al., 2011). Sel

    hyalin dicirikan dengan ukuran yang lebih kecil dan tanpa granular. Sel granular

    ditandai dengan ukuran yang besar dan memilki granular dalam selnya

    sedangkan sel semi-granular mempunyai ciri seperti sel granular akan tetapi

    ukurannya cenderung lebih kecil. Hemosit merupakan faktor yang sangat penting

    dalam sistem pertahanan seluler yang bersifat non spesifik. Kemampuan hemosit

    dalam aktivitas fagositosis yang dapat meningkat pada kejadian infeksi,

    menunjukkan pertahanan tubuh yang bersifat seluler. Menurut Jusilla (1997)

    dalam Putri et al., 2012, jumlah hemosit yang bersirkulasi dalam hemolim

    krustasea menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap stressor lingkungan dan

    penyakit, sehingga dapat menjadi indikator status kesehatan krustasea dan

    adanya stressor lingkungan.

    4.2.3 Nilai Sel Hyalin Udang Vaname

    Data hasil pengamatan DHC udang vaname sebelum infeksi dan sesudah

    infeksi didapatkan data bahwa rata – rata nilai sel hyalin sebelum infeksi pada

    perlakuan kontrol negatif (-) sebesar 31,11 %, perlakuan P1 adaah sebesar

    32,48 %, perlakuan P2 sebesar 35,26 %, perlakuan P3 sebesar 32,92 %,

    sedangkan nilai sel hyalin setelah infeksi didapatkan rata – rata pada perlakuan

    kontrol negatif (-) sebesar 29,44 %, perlakuan P1 sebesar 33,87 %, perlakuan P2

    sebesar 39,48 %, perlakuan P3 sebesar 35,20 %. Histogram nilai sel hyalin

    dapat dilihat pada Gambar 9.

  • 48

    Gambar 9. Prosentase Sel hyalin pada Masing-masing

    Perlakuan Sebelum dan Sesudah Infeksi

    Keterangan :

    K (-) = perlakuan udang yang diinfeksi WSSV tanpa diberi ekstrak

    Eucheuma cottonii

    P1 = perlakuan udang yang diberi ekstrak Eucheuma cottoni

    dicampur ke pakan sebesar 5 gr/kg dan diinfeksi WSSV

    P2 = perlakuan udang yang diberi ekstrak Eucheuma cottoni

    dicampur ke pakan sebesar 10 gr/kg dan diinfeksi WSSV

    P3 = perlakuan udang yang yang diberi ekstrak Eucheuma

    cottoni dicampur ke pakan sebesar 15 gr/kg dan diinfeksi

    WSSV

    Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa jumlah sel hyalin tertinggi sebelum

    dan sesudah infeksi WSSV ditunjukkan pada perlakuan P2 dengan dosis ekstrak

    rumput laut 10gr/kg, sedangkan sel hyalin terendah pada perlakuan kontrol

    negatif (K-). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sel hyalin sesudah infeksi

    mengalami peningkatan kecuali pada perlakuan kontrol. Hal ini menunjukkan

    bahwa sel hyalin berperan aktif dalam melawan adanya patogen, karena ketika

    ada patogen sel hyalin lah yang berperan langsung dalam melawan patogen

    tersebut. Selain itu jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol positif (K+) yaitu

  • 49

    udang yang sehat tanpa perlakuan apapun menunjukkan bahwa jumlah sel

    hyalin lebih tinggi, hal ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak rumput laut

    Eucheuma cottonii memiliki potensi yang tinggi untuk meningkatkan respon imun

    udang vaname yang terseranng virus WSSV. Menurut Soderhall and Cerenius

    (1992), sel hyalin menjadi sel utama dalam proses fagositosis dan sel semi

    granular lebih berperan dalam proses enkapsulasi yang mengindikasikan adanya

    penggabungan beberapa sel hemosit untuk menghalangi partikel asing dalam

    peredaran darah.

    Menurunnya jumlah sel hyalin pada perlakuan kontrol negatif (K-) diduga

    akibat proses fagositosis yang mengakibatkan terjadinya penghancuran partikel

    patogen bersama dengan sel hyalin yang tidak didukung dengan pihak lain

    dalam hal ini adalah senyawa antioksidan yang terkandung dalam ekstrak rumput

    laut Eucheuma cottonii. Sementara pada udang yang diberi pakan dengan

    tambahan ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii mengalami peningkatan

    sesudah diinfeksi WSSV dimungkinkan karena meningkatnya proliferasi sel

    seiring dengan peningkatan dosis ektrak. Menurut Soderhall dan Cerenius (1992)

    yang menyatakan bahwa sistem kekebalan tubuh pada udang masih primitif dan

    tidak seperti pada ikan serta mamalia yang mempunyai imunoglobulin, sehingga

    imunoglobulin pada udang digantikan oleh Prophenoloxidase Activating Enzim

    (PPA). PPA tersebut merupakan protein yang berlokasi di sel granular hemosit.

    PPA ini dapat diaktifkan oleh lipopolisakarida dan β 1,3-Glukan, yang akan

    merangsang prophenoloksidase menjadi phenoloksidase. Sebagai akibat dari

    perubahan ini akan dihasilkan semacam protein Opsonin Factor yang dapat

    menginduksi sel-sel hyalin untuk melakukan proses fagositosis. Van de Braak

    (2002) dan Smith, et al. (2003) juga mendukung pernyataan diatas bahwa sel

    hemosit tersebut akan melakukan degranulasi, dan beberapa protein akan

  • 50

    dilepas untuk kepentingan respon imun, seperti : meningkatnya sel-sel haemosit,

    dan meningkatnya aktifitas penjeratan dan fagositosis.

    4.2.4 Nilai Sel Granular Udang Vaname

    Data hasil pengamatan DHC udang vaname sebelum infeksi dan sesudah

    infeksi didapatkan data bahwa rata – rata nilai sel granular sebelum infeksi pada

    perlakuan kontrol negatif (-) sebesar 33,33 %, perlakuan P1 adalah sebesar

    37,60 %, perlakuan P2 sebesar 47,30 %, perlakuan P3 sebesar 41,25 %,

    sedangkan nilai sel granular setelah infeksi didapatkan rata – rata pada

    perlakuan kontrol negatif (-) sebesar 29,91 %, perlakuan P1 sebesar 33,10 %,

    perlakuan P2 sebesar 44,97 %, perlakuan P3 sebesar 40,32 %. Histogram Nilai

    sel granular dapat dilihat pada Gambar 10.

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    K- P1 P2 P3

    Pro

    sen

    tase

    sel

    (%

    )

    Perlakuan

    Sel Granular SebelumInfeksi

    Sel Granular SesudahInfeksi

    Gambar 10. Prosentase Sel Granular pada Masing-masing

    Perlakuan Sebelum dan Sesudah Infeksi

    Keterangan :

    K (-) = perlakuan udang yang diinfeksi WSSV tanpa diberi ekstrak

    Eucheuma cottonii

    P1 = perlakuan udang yang diberi ekstrak Eucheuma cottoni

    dicampur ke pakan sebesar 5 gr/kg dan diinfeksi WSSV

  • 51

    P2 = perlakuan udang yang diberi ekstrak Eucheuma cottoni

    dicampur ke pakan sebesar 10 gr/kg dan diinfeksi WSSV

    P3 = perlakuan udang yang yang diberi ekstrak Eucheuma

    cottoni dicampur ke pakan sebesar 15 gr/kg dan diinfeksi

    WSSV

    Gambar 10 menunjukkan perbedaan persentase sel granular pada setiap

    perlakuan, dimana persentase sel granular tertinggi sebelum dan sesudah infeksi

    adalah pada perlakuan P2 dengan dosis ekstrak 10gr/kg. Sedangkan persentase

    sel granular terendah adalah pada perlakuan kontrol negatif (K-). Hal ini

    menunjukkan bahwa jumlah sel granular udang vaname yang diberi pakan

    dengan tambahan ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii lebih tinggi

    dibandingkan dengan sel granular udang vaname yang tanpa pakan dengan

    tambahan ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii. Saat terjadinya serangan

    patogen, sel granular dan semi granular akan melakukan proses degranulasi,

    cytotoxicity dan lisis terhadap material tersebut dengan demikian jumlah sel

    granular yang beredar dalam hemolim akan mengalami penurunan. Hasil proses

    degranulasi adalah pelepasan peroxinectin yang akan memicu munculnya

    fagositosis (Ekawati et al.,2012).

    Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sel granular mengalami

    penurunan setelah diinfeksi WSSV, hal ini menunjukkan bahwa sel granular

    berperan dalam menjaga ketahanan tubuh udang vaname. Menurut Ekawati et

    al., 2012, fungsi sel granular lebih pada proses menghasilkan enzim

    phenoloksidase yang memiliki peranan penting dalam sistem pertahanan non

    spesifik. Supamattaya (2002) menjelaskan granula pada sel granular hemosit

    terdiri dari propenoloksidase. Dalam aktivasi prophenoloksidase (proPO) akan

    membebaskan suatu enzim dari sel granular. Sistem ini juga dipacu oleh adanya

    komponen mikrobial seperti β-glucan. Ekawati et al., (2012) menjelaskan pada

  • 52

    saat terjadinya serangan patogen, sel granular dan semi granular akan

    melakukan proses degranulasi, cytotoxicity dan lisis terhadap material asing

    dengan demikian jumlah sel granular yang beredar dalam hemolim akan

    mengalami penurunan.

    4.2.5 Nilai Sel Semi Granular Udang Vaname

    Data hasil pengamatan DHC udang vaname sebelum infeksi dan sesudah

    infeksi didapatkan data bahwa rata – rata nilai sel semi granular sebelum infeksi

    pada perlakuan kontrol negatif (-) sebesar 34,44 %, perlakuan P1 adalah

    sebesar 29,91 %, perlakuan P2 sebesar 17,44 %, perlakuan P3 sebesar 25,83

    %, sedangkan nilai sel semi granular setelah infeksi didapatkan rata – rata pada

    perlakuan kontrol negatif (-) sebesar 40,65 %, perlakuan P1 sebesar 29,70 %,

    perlakuan P2 sebesar 15,56 %, perlakuan P3 sebesar 24,48 %. Histogram Nilai

    sel semi granular dapat dilihat pada Gambar 11.

    Gambar 11. Prosentase Sel Semi Granular pada Masing-

    masing Perlakuan Sebelum dan Sesudah Infeksi

    Keterangan :

    K (-) = perlakuan udang yang diinfeksi WSSV tanpa diberi ekstrak

    Eucheuma cottonii

    P1 = perlakuan udang yang diberi ekstrak Eucheuma cottoni

    dicampur ke pakan sebesar 5 gr/kg dan diinfeksi WSSV

  • 53

    P2 = perlakuan udang yang diberi ekstrak Eucheuma cottoni

    dicampur ke pakan sebesar 10 gr/kg dan diinfeksi WSSV

    P3 = perlakuan udang yang yang diberi ekstrak Eucheuma

    cottoni dicampur ke pakan sebesar 15 gr/kg dan diinfeksi

    WSSV

    Gambar 11 menunjukkan adanya perbedaan persentase sel pada setiap

    perlakuan. Dapat dilihat bahwa persentase sel semi granular sebelum dan

    sesudah infeksi tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol (-), sedangkan

    persentase sel terendah terdapat pada perlakuan P2 dengan dosis ekstrak

    rumput laut Eucheuma cottonii sebesar 10gr/kg. Hasil pengamatan menunjukkan

    bahwa sel semi granular mengalami penurunan kecuali pada perlakuan kontrol

    negatif, hal tersebut menunjukkan bahwa sel semi granular kurang berperan

    dalam menjaga ketahanan tubuh udang. Sel semi granular merupakan

    pematangan dari sel hyalin yang ketika terjadi serangan patogen maka yang

    berperan pertama adalah sel hyalin, sehingga sel ini tidak berkembang menjadi

    sel semi granular dan terlihat penurunan jumlah sel semi granular yang terdapat

    dalam hemosit (Van De Braak,2002). Sel semi granular berperan utama dalam

    proses enkapsulasi dan sedikit dalam proses fagositosis (Ekawati et al., 2012).

    Sel semi granular lebih dimungkinkan mudah terinfeksi virus WSSV (Andrade,

    2011) dan virus tersebut melakukan replikasi lebih cepat di sel semi granular

    daripada sel granular sehingga jumlah sel semi granular secara bertahap

    menurun dalam sirkulasi darah (Jiravanichpaisal et al.,2005).

    4.3 Kelulushidupan Udang Vaname

    Tingkat kelululushidupan atau Survival Rate udang vaname selama

    penelitian paling besar adalah perlakuan P2 yaitu 43,33 % dari jumlah semua

    perlakuan adalah 30 ekor dan setelah diuji tantang dengan WSSV menyisakan

  • 54

    13 ekor, kemudian diikuti perlakuan P3 yaitu 30 % dari jumlah semua perlakuan

    30 ekor setelah diuji tantang dengan WSSV menyisakan 9 ekor, perlakuan P1

    yaitu 23,33 % dari jumlah semua perlakuan 30 ekor dan setelah diuji tantang

    dengan WSSV menyisakan 7 ekor dan perlakuan kontrol negatif (K-) yaitu 10 %

    dari jumlah semua perlakuan 30 ekor dan setelah diuji tantang dengan WSSV

    menyisakan 3 ekor.

    Survival rate erat kaitannya dengan jumlah hemosit, dimana survival rate

    yang tinggi menandakan adanya respon imun yang baik pada udang dan begitu

    sebaliknya. Pada udang yang diberi ekstrak rumput laut Eucheuma cottonni

    diketahui memiliki survival rate yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan

    kontrol (-). Hal ini menunjukkan bahwa imunostimulan yang masuk ke dalam

    tubuh udang dapat melindungi (bersifat protektif) pada udang vaname terhadap

    adanya faktor luar yang masuk ke dalam tubuh udang, misalnya adanya infeksi

    oleh patogen yang merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kematian

    udang. Hal ini disebabkan karena imunostimulan yang masuk ke dalam tubuh

    udang akan merangsang aktifitas sel - sel haemosit baik agranular (hyalin)

    maupun ganular, sebagai upaya untuk melawan patogen yang masuk dalam

    tubuh udang tersebut (Darwantin et al., 2016). Sebagaimana diketahui bahwa

    sistem pertahanan tubuh pada krustase termasuk udang vaname adalah

    pertahanan tubuh yang didominasi dilakukan oleh hemolim. Apabila ada patogen

    yang masuk dalam tubuh maka udang akan meningkatkan produksi hemolim di

    mana dalam hemolim akan terjadi aktivitas fagositosis oleh sel hyalin dan semi-

    granular, penghancuran patogen oleh aktivitas phenoloksidase (Tassanakajon et

    al., 2011).

  • 55

    4.4 Analisis Sidik Ragam DHC Sebelum dan Sesudah Infeksi

    4.4.1 Analisis Sidik Ragam Sel Hyalin Sebelum Infeksi

    Berikut merupakan Tabel sidik ragam nilai DHC sel hyalin pada

    udang vaname sebelum diinfeksi WSSV yang disajikan pada Tabel 7.

    Tabel 7. Sidik Ragam Sel Hyalin Sebelum Infeksi

    F tabel

    SK dB JK KT F hit F 0,05 F 0,01

    Perlakuan 3 26,88597 8,961989 0,530835 4,07 7,59

    Galat 8 135,06 16,88283

    Total 11 161,95

    Berdasarkan hasil pada analisis ragam ANOVA dari perhitungan

    rancangan acak lengkap pada Tabel 7 diketahui nilai F hitung lebih kecil dari

    pada F tabel sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Nilai sel hyalin sebelum infeksi

    tidak menunjukkan adanya perbedaan, hal ini dikarenakan nilai sel hyalin pada

    setiap perlakuan hampir sama dan ekstrak rumput laut berperan sebagai

    imunomodulator. Imunomodulator membantu tubuh untuk mengoptimalkan fungsi

    sistem imun yang merupakan sistem utama yang berperan dalam pertahanan

    tubuh di mana kebanyakan orang mudah mengalami gangguan sistem imun.

    Fungsi imunomodulator adalah memperbaiki sistem imun yaitu dengan cara

    stimulasi (imunostimulan) atau menekan/menormalkan reaksi imun yang

    abnormal (imunosupresan) (Suhirman dan Winarti, 2014). Sel hyalin merupakan

    tipe sel yang paling kecil dengan ratio nukleus sitoplasma tinggi dan tanpa atau

    hanya sedikit granula sitoplasma. Sel hyalin berperan dalam proses fagositosis

    (Manopo dan Kolopita, 2014). Fagositosis merupakan mekanisme pertahanan

    non-spesifik yang secara umum mampu melindungi adanya serangan penyakit

    (Darwantin et al., 2016).

  • 56

    4.4.2 Analisis Sidik Ragam Hyalin Sesudah Infeksi

    Berikut merupakan Tabel sidik ragam nilai DHC sel hyalin pada udang

    vaname sesudah diinfeksi WSSV yang disajikan pada Tabel 8.

    Tabel 8. Sidik Ragam Sel Hyalin Sesudah Infeksi

    F tabel

    SK dB JK KT F hit F 0,05 F 0,01

    Perlakuan 3 153,6704 51,22348 2,299999 4,07 7,59

    Galat 8 178,17 22,27108

    Total 11 331,84

    Berdasarkan hasil pada analisis ragam ANOVA dari perhitungan

    rancangan acak lengkap pada Tabel 8 diketahui nilai F hitung lebih kecil dari

    pada F tabel sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Nilai sel hyalin sesudah infeksi

    tidak menunjukkan adanya perbedaan, hal ini dikarenakan ekstrak rumput laut

    berperan sebagai imunomodulator. Imunomodulator merupakan suatu senyawa

    yang dapat meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik

    maupun non spesifik. Pertahanan non spesifik terhadap antigen ini disebut

    paraimunitas dan zat bersangkutan disebut penginduksi paraimunitas. Induktor

    semacam ini biasanya tidak atau sedikit sekali kerja antigennya, bahkan

    sebagian bekerja sebagai mitogen yaitu menaikkan proliferasi sel yang berperan

    pada imunitas. Sel target dari imunomodulator adalah makrofag, granulosit,

    limfosit T dan B, karena induktor paraimunitas ini terutama menstimulasi

    mekanisme pertahanan seluler (Parlinaningrum et al., 2014). .Sel hyalin biasa

    juga disebut sel darah mudah yang akan dilepaskan oleh inang bila terjadi

    serangan bakteri atau benda asing (Braak, 2000). Sel hyalin merupakan tipe

    yang paling kecil dengan rasio nukleus sitoplasma tinggi dan bertanggung jawab

    dalam proses fagositosis (Johansson et al., 1989).

  • 57

    4.4.3 Analisis Sidik Ragam Sel Semi Granular Sebelum Infeksi

    Berikut merupakan Tabel sidik ragam nilai DHC sel hyalin pada udang

    vaname sebelum diinfeksi WSSV yang disajikan pada Tabel 9.

    Tabel 9. Sidik Ragam Sel Semi Granular Sebelum Infeksi

    F tabel

    SK dB JK KT F hit F 0,05 F 0,01

    Perlakuan 3 470,0445 156,6815 8,175515 4,07 7,59

    Galat 8 153,32 19,16473

    Total 11 623,36

    Berdasarkan hasil pada analisis ragam ANOVA dari perhitungan

    rancangan acak lengkap pada Tabel 9 diketahui nilai F hitung lebih besar dari

    pada F tabel. Karena F hitung lebih besar dari pada F tabel maka dilakukan uji

    lanjut dengan menggunakan uji BNT. Dari analisis uji BNT diketahui bahwa

    setiap perlakuan berbeda nyata, yaitu K- , P1, P2, dan P3 masing – masing

    berbeda dengan taraf 5%. Sel semi granular dikarakteristikkan dengan

    terdapatnya granula pada sitoplasma. Sel ini mampu merespon polisakarida dari

    dinding sel bakteri atau β-glucan yang berasal dari jamur. Sel semi granular ini

    dapat melakukan proses enkapsulasi dan sedikit berperan dalam proses

    fagositosis (Johansson et al., 2000). Menurut Danwattananusorn (2009),

    enkapsulasi adalah merupakan reaksi pertahanan melawan partikel dalam

    jumlah yang besar dan tidak mampu difagosit oleh sel hemosit.

    4.4.4. Analisis Sidik Ragam Sel Semi Granular Sesudah Infeksi

    Berikut merupakan Tabel sidik ragam nilai DHC sel hyalin pada udang

    vaname sesudah diinfeksi WSSV yang disajikan pada Tabel 10.

  • 58

    Tabel 10. Sidik Ragam Sel Semi Granular Sesudah Infeksi

    F tabel

    SK dB JK KT F hit F 0,05 F 0,01

    Perlakuan 3 988,0268 329,3423 29,83837 4,07 7,59

    Galat 8 88,30 11,03754 Total 11 1076,33

    Berdasarkan hasil pada analisis ragam ANOVA dari perhitungan

    rancangan acak lengkap pada Tabel 10 diketahui nilai F hitung lebih besar dari

    pada F tabel. Karena nilai F hitung lebih besar dari pada F tabel maka dilakukan

    uji lanjut dengan menggunakan uji BNT. Dari analisis uji BNT diketahui bahwa

    setiap perlakuan berbeda nyata, yaitu K- , P1, P2, dan P3 masing – masing

    berbeda dengan taraf 5%. Sel semi granular memiliki sejumlah granul kecil. Sel

    ini bertanggung jawab untuk mengenal dan merespon molekul asing atau bakteri

    patogen yang masuk ke dalam tubuh krustasea (Soderhall dan Cerenius, 1992).

    4.4.5 Analisis Sidik Ragam Sel Granular Sebelum Infeksi

    Berikut merupakan tabel sidik ragam nilai DHC sel hyalin pada udang

    vaname sebelum diinfeksi WSSV yang disajikan pada Tabel 11.

    Tabel 11. Sidik Ragam Sel Granular Sebelum Infeksi

    F tabel

    SK dB JK KT F hit F 0,05 F 0,01

    Perlakuan 3 274,1522 91,38405 2,421485 4,07 7,59

    Galat 8 301,91 37,73884

    Total 11 576,06

    Berdasarkan hasil pada analisis ragam ANOVA dari perhitungan

    rancangan acak lengkap pada Tabel 11 diketahui nilai F hitung lebih kecil dari F

    Tabel sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Sel granular sebelum infeksi tidak

    menunjukkan adanya perbedaan hal ini dikarenakanan rumput laut berperan

    sebagai imunomodulator. Imunomodulator adalah substansi atau obat yang

  • 59

    dapat memodulasi fungsi dan aktivitas sistem imun. Imunomodulator dibagi

    menjadi 3 kelompok: i) imunostimulator, berfungsi untuk meningkatkan fungsi

    dan aktivitas sistem imun, ii) imunoregulator, artinya dapat meregulasi sistem

    imun, dan iii) imunosupresor yang dapat menghambat atau menekan aktivitas

    sistem imun (Wiedosari, 2007). Fungsi lain dari sel hemosit dalam sistem

    pertahanan tubuh yaitu berperan dalam pengaktifan sistem prophenoloxidase

    yang dilakukan oleh sel semi granular dan sel granular (Andrade, 2011).

    Pengaktifan sistem prophenoloxidase ini merupakan salah satu asepek penting

    dalam sistem pertahanan tubuh udang. Sritunyalucksana and Soderhall (2000)

    menyatakan bahwa prophenoloxidase mempunyai peran penting dalam respon

    imun krustasea yang sering disertai dengan adanya proses melanisasi.

    4.4.6 Analisis Sidik Ragam Sel Granular Sesudah Infeksi

    Berikut merupakan Tabel sidik ragam nilai DHC sel granular pada udang

    vaname sesudah diinfeksi WSSV yang disajikan pada Tabel 12.

    Tabel 12. Sidik Ragam Sel Granular Sesudah Infeksi

    F tabel

    SK dB JK KT F hit F 0,05 F 0,01

    Perlakuan 3 365,7345 121,9115 2,895867 4,07 7,59

    Galat 8 336,79 42,09844

    Total 11 702,52

    Berdasarkan hasil pada analisis ragam ANOVA dari perhitungan

    rancangan acak lengkap Tabel 12 diketahui nilai F hitung lebih kecil dari pada F

    tabel sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Nilai sel granular sesudah infeksi tidak

    menunjukkan adanya perbedaan, hal ini dikarenakan ekstrak rumput laut

    berperan sebagai imunomodulator. Imunomodulator merupakan senyawa yang

    mengubah aktivitas sistem imun tubuh dengan dinamisasi regulasi selsel imun

    seperti sitokin. Cara kerja Imunomodulator meliputi mengembalikan fungsi imun

  • 60

    yang terganggu (imunorestorasi), memperbaiki fungsi sistem imun (imunostimulasi)

    dan menekan respons imun (imunosupresi) (Puspitanisngrum et al., 2015). Jumlah

    hemosit dapat sangat bervariasi berdasarkan spesies, respon terhadap infeksi,

    stres lingkungan, aktivitas endokrin selama siklus molting (Johansson et al. 2000).

    Granulosit merupakan jaringan untuk sistem pertahanan seluler melawan infeksi,

    sel ini akan bermigrasi ke daerah-daerah yang mengalami infeksi. Granulosit

    mengandung granula di dalam sitoplasmanya (Darwantin et al., 2016).

    4.5 Kualitas Air

    Hasil pengukuran kualitas air sebagai parameter penunjang dalam

    penelitian ini meliputi pengukuran suhu, DO (Oksigen terlarut), pH, salinitas dan

    amonia. Data hasil dari pengukuran dapat dilihat pada Tabel 13.

    Tabel 13. Data Parameter Kualitas Air

    Perlakuan

    Kisaran Nilai Kualitas Air

    Suhu (°C) DO (mg/l) pH Salinitas

    (Ppt)

    Amonia

    (mg/l)

    Kontrol (+) 27,9-29,5 4,45-7,59 8-8,5 10 0,01-0,02

    Kontrol (- ) 27,8-29,4 5,75-7,8 8,1-8,4 10 0,02-0,04

    P1 27,9-29,6 4,85-7,26 7,5-8,4 10 0,01-0,03

    P2 27,6-29,4 5,56-7 8-8,6 10 0,02-0,05

    P3 27,6-29,2 4,43-7,68 8-8,6 10 0,01-0,06

    Standart Baku Mutu

    Air 28-32* >3,0* 7,5-8,5* 5-40*

  • 61

    4.5.1 Parameter Fisika

    a. Suhu

    Data hasil pengamatan suhu didapatkan suhu terendah yaitu 27,6°C dan

    suhu tertinggi yaitu 29,6°C . Suhu tersebut masih dalam kisaran optimal sesuai

    dengan pendapat Kordi dan Tancung (2007) yang menyatakan bahwa Kisaran

    suhu yang optimum untuk pertumbuhan udang vaname yaitu 28-31°C dan

    tumbuh dengan baik pada suhu 24-34°. Suhu yang rendah dapat menyebabkan

    rendahnya laju konsumsi pakan pada udang, sedangkan suhu yang tinggi

    menyebabkan tingkat konsumsi pakan menjadi berhenti (Arsad et al.,2017). Suhu

    air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dan laju konsumsi

    oksigen hewan air. Toksisitas suatu senyawa kimia dipengaruhi oleh derajat

    keasaman suatu media. Sedang titik batas kematian organisme air tehadap pH

    adalah 4 dan 11 (Sucipto, 2005 dalam Jalaludin. 2014).

    4.5.2 Parameter Kimia

    a. pH

    Data hasil pengamatan pH didapatkan nilai pH terendah yaitu 7,5 dan pH

    tertinggi yaitu 8,6. Nilai tersebut masih dalam kisaran normal. Amri (2003),

    menyatakan pada nilai pH diatas 10 dapat membunuh udang, sementara nilai pH

    dibawah 5 mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat. Nilai pH perairan

    merupakan parameter yang dikaitkan dengankonsentrasi karbon dioksida (CO2)

    dalam ekosistem. Semakin tinggi konsentrasi karbon dioksida, pH perairan

    semakin rendah. Penurunan karbondioksida dalam ekosistem akan

    meningkatkan pH perairan. Sebaliknya, proses respirasi oleh semua komponen

    ekosostem akan meningkatkan jumlah karbon dioksida, sehingga pH perairan

    menurun (Wetzel, 1983).

  • 62

    b. DO

    Data hasil pengukuran oksigen terlarut didapatkan nilai terendah sebesar

    4,43 mg/l dan nilai tertinggi sebesar 7,68 mg/l. Nilai oksigen tersebut masih

    dalam batas yang normal sesuai pernyataan Haliman dan Adijaya (2005) bahwa

    kadar oksigen terlarut yang baik berkisar 4-6 mg/l. Oksigen terlarut merupakan

    suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistim perairan, terutama sekali

    dibutuhkan untuk respirasi bagi sebagian besar organisme air. Oksigen terlarut

    dalam air merupakan parameter kualitas air yang paling kritis. Konsentrasi

    oksigen terlarut dalam perairan selalu mengalami perubahan yang dinamik, oleh

    karena itu pemantauan oksigen terlarut dalam kegiatan budidaya harus selalu

    dilakukan sehingga apabila terjadi kritis oksigen maka dapat diambil suatu

    tindakan untuk mengantisipasi hal yang dapat berpengaruh buruk terhadap

    organisme yang dibudidayakan (Hendrajat et al., 2014).

    Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung dari beberapa faktor,

    seperti kekeruhan, air, suhu, salinitas, pergerakan massa air, dan udara. Pada

    lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi

    antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Kandungan

    oksigen terlarut minimum adalah 2 mg/L dalam keadaan normal dan tidak

    tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum

    ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle, 1968 dalam Fitria,

    2012).

    Menurut Purba dan Khan (2010), Oksigen terlarut memegang peranan

    sangat penting dalam perairan dalam fungsinya sebagai salah satu yang

    dibutuhkan oleh organisme perairan. Salah satu yang memengaruhi kadar

    oksigen terlarut di perairan adalah suhu. Oksigen terlarut juga menentukan

    kuantitas organisme suatu perairan. Selain itu oksigen terlarut juga dipengaruhi

    faktor lain seperti tekanan uap air dan salinitas. Oksigen larut di kolom air dengan

  • 63

    berbagai reaksi dan proses-proses kimia yang berlangsung di perairan, namun

    fluktuasi suhu akan menimbulkan perubahan konsentrasi oksigen terlarut di

    perairan.

    c. Salinitas

    Data salinitas didapatkan yaitu 10 ppt. Nilai tersebut masih dalam kisaran

    normal sesuai pernyataan McGraw dan Scarpa (2002) dalam Sahrijana dan

    Sahabbudin (2014) bahwa udang vaname dapat hidup pada kisaran 0,5-45 ppt.

    Salinitas merupakan salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhi

    proses biologi dan secara langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme

    antara lain yaitu mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah makanan yang

    dikonsumsi, nilai konversi makanan, dan daya sintasan (Andrianto, 2005).

    d. Amonia

    Data amonia didapatkan dengan nilai terendah 0,01 mg/l, dan nilai

    tertinggi yaitu 0,06 mg/l. Nilai tersebut masih dalam kisaran normal. Sesuai

    pernyataan Amri dan Khana (2008) bahwa kadar amonia dalam perairan tidak

    boleh lebih dari 0,1 mg/l. Amonia merupakan parameter kualitas air yang harus

    diketahui kadarnya di lingkungan perairan atau tambak. Udang yang

    menggunakan protein sebagai sumber energi menghasilkan amonia dalam

    metabolisme. Sumber utama amonia dalam tambak adalah ekskresi dari udang

    atau ikan maupun timbunan bahan organik dari sisa pakan dan plankton yang

    mati. (Sahrijana dan Sahabbudin, 2014). Konsentrasi amonia yang melebihi 0,45

    mg/l dapat menghambat pertumbuhan udang sampai 50%. Level amonia yang

    tinggi di perairan dapat meningkatkan konsentrasi amonia dalam darah sehingga

    mengurangi aktifitas darah (hemocyanin) dalam mengikat oksigen. Selain itu

    tingginya kadar amonia juga dapat meningkatkan kerentanan udang terhadap

    penyakit (Kilawati dan Maimunah, 2015).