3. Nurul Huda

18
35 Nurul Huda, Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam: 35-52 KAWIN HAMIL DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (Tinjauan Maqashid Syariah) Nurul Huda Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Pabelan Tromol Pos I Kartasura, Surakarta 57102 E-mail: [email protected] Abstrak Perkawinan merupakan salah satu perbuatan yang disyari’atkan Islam untuk mengikat pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Islam telah mengatur masalah perkawinan dengan sangat rinci, dan itu ditunjukkan dalam syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dalam perkawinan. Meskipunpun demikian, lem- baga perkawinan tetap menghadapi tantangan, bahkan bisa terancam eksis- tensinya ketika dihadapkan pada problem sosial tentang masalah kehamilan yang terjadi di luar nikah. Problem ini menjadi semakin bertambah rumit ketika dalam kehidupan sosial dewasa ini ternyata kasus ini banyak terjadi di kalangan masya- rakat. Kasus ini tidak hanya menyangkut perbuatan zina dari para pelaku dan hukuman hudud atas perbuatannya, melainkan juga menyangkut status dan nasib hidup bayi yang ada dalam kandungannya. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah, apa dasar hukum yang dipakai dalam merumuskan keten- tuan kawin hamil dalam Kompilasi Hukum Islam? Bagaimana ketentuan hukum kawin hamil dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut ditinjau dari pendekatan maqashid syariah?. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research), sebagai analisisnya menggunakan pendekatan yuridis dan pendekatan maqashid syariah. Berdasarkan analisis yang dilakukan, penelitian ini memperoleh kesimpulan: pertama, Dasar hukum yang dipakai dalam ketentuan pasal 53 Kompilasi Hukum Islam adalah hadits Nabi Muhammad saw “awwaluhu sifahun wa al-ahiruhu nikahun, wa al-haramu la yuharrimu al-halala”. Selain itu kete- tapan pasal 53 KHI ini juga mempertimbangkan landasan filosofis, sosiologis, dan psikologis, sebagai pertimbangan menjadi landasan hukum. Kedua, melalui analisis maqashid syariah ketentuan pasal 53 KHI ini juga memperhatikan kemashlahatan, terutama kemashlahatan bagi wanita hamil dan anak di dalam kandungannya, sehingga dengan dibolehkan melangsungkan perkawinan

description

hukum perkawinan

Transcript of 3. Nurul Huda

Page 1: 3. Nurul Huda

35Nurul Huda, Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam: 35-52

KAWIN HAMIL DALAMKOMPILASI HUKUM ISLAM(Tinjauan Maqashid Syariah)

Nurul Huda

Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah SurakartaJl. A. Yani Pabelan Tromol Pos I Kartasura, Surakarta 57102

E-mail: [email protected]

Abstrak

Perkawinan merupakan salah satu perbuatan yang disyari’atkan Islamuntuk mengikat pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahromsehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Islam telah mengaturmasalah perkawinan dengan sangat rinci, dan itu ditunjukkan dalam syarat danketentuan yang harus dipenuhi dalam perkawinan. Meskipunpun demikian, lem-baga perkawinan tetap menghadapi tantangan, bahkan bisa terancam eksis-tensinya ketika dihadapkan pada problem sosial tentang masalah kehamilan yangterjadi di luar nikah. Problem ini menjadi semakin bertambah rumit ketika dalamkehidupan sosial dewasa ini ternyata kasus ini banyak terjadi di kalangan masya-rakat. Kasus ini tidak hanya menyangkut perbuatan zina dari para pelaku danhukuman hudud atas perbuatannya, melainkan juga menyangkut status dan nasibhidup bayi yang ada dalam kandungannya. Permasalahan yang diangkat dalampenelitian ini adalah, apa dasar hukum yang dipakai dalam merumuskan keten-tuan kawin hamil dalam Kompilasi Hukum Islam? Bagaimana ketentuan hukumkawin hamil dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut ditinjau dari pendekatanmaqashid syariah?. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (libraryresearch), sebagai analisisnya menggunakan pendekatan yuridis dan pendekatanmaqashid syariah. Berdasarkan analisis yang dilakukan, penelitian ini memperolehkesimpulan: pertama, Dasar hukum yang dipakai dalam ketentuan pasal 53Kompilasi Hukum Islam adalah hadits Nabi Muhammad saw “awwaluhu sifahunwa al-ahiruhu nikahun, wa al-haramu la yuharrimu al-halala”. Selain itu kete-tapan pasal 53 KHI ini juga mempertimbangkan landasan filosofis, sosiologis,dan psikologis, sebagai pertimbangan menjadi landasan hukum. Kedua, melaluianalisis maqashid syariah ketentuan pasal 53 KHI ini juga memperhatikankemashlahatan, terutama kemashlahatan bagi wanita hamil dan anak di dalamkandungannya, sehingga dengan dibolehkan melangsungkan perkawinan

Page 2: 3. Nurul Huda

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 200936

diharapkan mampu memelihara dan mewujudkan lima unsur pokok, yaitu: agama,jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Kata kunci: kawin hamil, maqashid syariah, Kompilasi Hukum Islam

PendahuluanPerkawinan merupakan salah satu

perbuatan yang disyariatkan Islam yangmengikat pergaulan antara laki-laki danperempuan yang bukan mahrom yangmenimbulkan hak dan kewajiban antarakeduanya (Mawardi, 1984: 1). Lebih kon-krit dalam Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 (UU No. 1/1974), Bab I Pa-sal 1 dijelaskan bahwa perkawinan ialahikatan lahir batin antara seorang priadengan seorang wanita sebagai suamiisteri dengan tujuan membentuk keluargabahagia dan kekal berdasarkan Ketuha-nan Yang Maha Esa. Dengan demikian,pada hakekatnya perkawinan tidak hanyamerupakan ikatan lahiriah saja, namunmerupakan ikatan batiniah antara suamiisteri dalam jalinan kehidupan rumahtangga yang harmonis, tenteram dandibina dengan pernuh kasih sayang sesuaidengan yang dikehendaki Allah SWT(Basyir,1990:11).

Islam mengatur masalah perkawi-nan dengan amat rinci dan teliti. Perka-winan dilaksanakan atas dasar kerelaanpihak-pihak yang bersangkutan yangtercermin dengan adanya ketentuan pemi-nangan sebelum dilaksanakan perkawi-nan, ijab qabul akad nikah oleh wali daripihak perempuan yang menandakansahnya perkawinan dengan dipersaksikansekurang-kurangnya dua orang laki-laki.

Ini menunjukkan bahwa pada hakekatnyaperkawinan merupakan peristiwa sakralyang mengatur pergaulan antara laki-lakidan perempuan yang semula diharamkan,kemudian setelah diikat dengan perkawi-nan pergaulan tersebut menjadi halal dandibolehkan.

Dengan demikian, perkawinanmempunyai kedudukan amat pentingdalam Islam. Hukum perkawinan telahmengatur tentang tata cara kehidupandalam keluarga, sebagai komponen pokokdan terkecil dalam kehidupan masyarakat.Kehidupan masyarakat akan terjalin baikkalau di dalamnya terdiri dari keluargayang dibina dengan baik dan hubunganantar individu yang berjalan harmonis.Ketentuan ini sesuai dengan hakekatmanusia sebagai makhluk yang terhor-mat. Untuk menjaga kehormatan manusiatersebut maka perlu dilakukan pembinaanterhadap hubungan antar manusia denganbaik dan sesuai dengan fitrah dan kedu-dukannya sebagai manusia. Oleh karenaitu, di sinilah pentingnya dilakukan hubu-ngan yang legal untuk menjaga kehorma-tan manusia. Dalam hal ini, lembaga per-kawinan yang bertugas dan bertanggungjawab membentuk hubungan yang legalantar manusia dalam melakukan perka-winan tersebut.

Kendatipun demikian, dalam per-kembangan selanjutnya, lembaga perka-

Page 3: 3. Nurul Huda

37Nurul Huda, Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam: 35-52

winan akan menghadapi tantangan,bahkan bisa terancam eksistensinyaketika dihadapkan pada problem sosialyang coba mengusik kesakralan institu-sinya. Salah satu problem tersebut adalahmunculnya masalah kehamilan yangterjadi di luar nikah. Problem ini menjadisemakin bertambah rumit ketika dalamkehidupan sosial dewasa ini ternyatakasus ini banyak terjadi di kalanganmasyarakat. Permasalahannya sekarang,ternyata dalam kasus ini tidak hanyamenyangkut perbuatan zina dari parapelaku dan hukuman hudud atas perbu-atannya, melainkan juga menyangkutstatus dan nasib hidup bayi yang adadalam kandungannya (Qutb, 1987:24-55).

Dalam konteks ini, maka yang men-jadi persoalan adalah mengenai statuspelaksanaan perkawinan dalam kondisihamil tersebut. Terdapat beberapa penda-pat dalam menjawab permasalahan terse-but. Imam Syafi’i membolehkan danmenganggap sah perkawinannya. AbuHanifah juga berpendapat demikian,namun dengan menambahkan persya-ratan kebolehan wanita hamil dinikahkantetapi tidak boleh berhubungan sebelumia melahirkan. Pendapat sebaliknyadiberikan oleh Imam Malik dan ImamHanbali yang mengharamkan pelaksa-naan nikah tersebut (Muhdlor, 1995: 58).Begitu pula dengan Ibnu Taimiyyah yangberpendapat perkawinan perempuanhamil dari hasil zina hukumnya haram(Taimiyyah, 1997:206).

Dalam Kompilasi Hukum Islam(kumpulan keputusan hukum Islam yangdiputuskan oleh Departemen Agama

Republik Indonesia dan disetujui olehUlama Indonesia) pada pasal 53 dijelas-kan tentang kebolehan melangsungkanperkawinan bagi perempuan yang hamildi luar nikah dengan pria yang mengha-milinya. Ketentuan dalam KHI tersebutsama sekali tidak menggugurkan statuszina bagi pelakunya, meskipun terjadikehamilan di luar nikah. Memang dalamUU No. 1/1974 pasal 42 tentang perka-winan dan Kompilasi Hukum Islam pasal99 menyebutkan bahwa anak yang sahadalah anak yang dilahirkan dalam ikatanperkawinan yang sah. Namun dalampasal 100 Kompilasi Hukum Islam dise-butkan bahwa anak yang lahir di luarperkawinan hanya mempunyai hubungannasab dengan ibunya dan keluarga ibunya(Muhdlor, 1995: 59). Permasalahantersebut kembali menghangat kembalisetelah pemerintah (Departemen Aga-ma) mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Terapan Pera-dilan Agama Bidang Perkawinan yangdiatur dalam bab VIII Pasal 45 pada ayat1 disebutkan, bahwa “setiap wanita hamildi luar perkawinan hanya dapat dikawin-kan dengan pria yang menghamilinya”(Depag RI, 2005:16). Pada prinsipnyaketentuan kawin hamil dalam RUUidentik dengan KHI, perbedaannyahanya redaksinya saja.

Beberapa pendapat di atas menun-jukkan kalau masalah perkawinan bagiwanita hamil akibat perbuatan zinamemang kontroversial dan sangat rumit.Di satu sisi, kebolehan bagi wanita hamiluntuk melangsungkan perkawinan adalahbermaksud menyelamatkan status hidup

Page 4: 3. Nurul Huda

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 200938

dan nasib bayi, agar setelah lahir dirinyamendapatkan hak yang sama dan meng-hindarkan dirinya dari perlakuan yangdiskriminatif. Namun, di sisi lain, kebo-lehan bagi wanita hamil untuk melang-sungkan perkawinan bisa menimbulkankemadlaratan, yaitu menjadi salah satupenyebab meningkatnya angka perzinaanyang dapat merusak tatanan kehidupanmasyarakat.

Dua persoalan di atas menjadikanlandasan kasus perkawinan bagi wanitahamil menjadi menarik untuk diteliti.Mengingat permasalahan kawin hamiltermasuk wilayah khilafiyah, maka tidakmenutup kemungkinan terjadi perbedaanpendapat. Untuk itu, pembahasan akandifokuskan dari segi landasan hukumyang digunakan dan juga argumentasiyang dipakai, karena tidak menutupkemungkinan untuk memperluas carapembacaan terhadap teks dengan meng-gunakan pendekatan kontekstual. Sehing-ga akan terjalin korelasi yang integratifantara teks dengan konteks. Apalagikalau permasalahan tersebut ditinjau darisudut pandang maqashid syariah (mak-sud atau tujuan disyriatkannya hukumIslam), yang secara operasional menitik-beratkan pada aspek kemaslahatan baikdi dunia maupun di akhirat denganmempertimbangkan lima unsur yangharus dipelihara, yaitu: agama, jiwa, akal,keturunan, dan harta. Penggunaan meto-de maqashid syariah ini bertujuan untukmemecahkan persoalan-persoalan hukumkontemporer yang kasusnya tidak diatursecara eksplisit oleh al-Qur’an danHadits (Djamil, 1999: 123-134). Berda-

sarkan pertimbangan ini diharapkanmemberi warna baru dalam pemahamanhukum Islam tentang permasalahankawin hamil, khususnya rumusan hukumyang lebih mengedepankan aspek moraldan kemaslahatan. Adapun perma-salahan yang diangkat dalam penelitianini adalah:

(1) Apa Dasar hukum yang dipakaidalam merumuskan ketentuan hukumkawin hamil dalam Kompilasi HukumIslam? (2) Bagaimana ketentuan hukumkawin hamil dalam Kompilasi HukumIslam tersebut apabila ditinjau dariperspektif maqashid syariah?

Tujuan yang hendak dicapai dalampenelitian ini adalah (1) Menjelaskanketentuan hukum kawin hamil sebagai-mana tercantum dalam Kompilasi HukumIslam. (2) Menjelaskan tentang permasa-lahan hukum kawin hamil apabila ditinjaudari perspektif maqashid syariah.Sedangkan manfaat penelitian ini adalah(1) Memperkaya wawasan tentanghukum kawin hamil sebagaimana tercan-tum dalam Kompilasi Hukum Islam. (2)Memberi sumbangan akademis, terlebihpermasalahan tersebut ditinjau dari sudutpandang maqashid syariah.

Metode Penelitian

1. Jenis PenelitianPenelitian ini termasuk jenis pene-

litian kepustakaan (library research),karena itu data yang diteliti berupanaskah, buku-buku, majalah, dan jurnalyang semuanya bersumber dari khazanahkepustakaan (Nazir, 1985:54).

Page 5: 3. Nurul Huda

39Nurul Huda, Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam: 35-52

2. Pendekatan PenelitianAdapun pendekatan dalam peneli-

tian ini mengunakan beberapa pendeka-tan, yaitu: pertama, pendekatan yuridis,pendekatan ini digunakan untuk mema-hami permasalahan kawin hamil dariperspektif hukum dengan menelusurilandasan hukumnya berikut metodeistinbath hukum yang digunakan.Kedua, pendekatan filosofis, digunakanuntuk menganalisis teks agar mendapat-kan makna yang mendalam sampaikeakar permasalahan sebenarnya, apa-lagi permasalahan ini akan ditinjau darisudut pandang maqashid syariah yangbanyak membutuhkan penalaran danberupaya memahami makna yang terkan-dung di balik teks.

2. Pengumpulan DataMetode pengumpulan data yang

dipakai dalam penelitian ini adalah metodedokumentasi (Arikunto, 1992:131), yaitumencari data dari beberapa buku yangmemuat tentang permasalahan kawinhamil dan buku tentang maqashidsyariah. Sumber data di sini dibedakanmenjadi dua, yaitu: data primer dan datasekunder. Data primer dalam penelitianini bersumber dari Kompilasi HukumIslam. Sedangkan data sekunder terdiridari buku lain yang mengkaji tentangkasus kawin hamil. Buku-buku tersebutdi antaranya: Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh(Jilid II) (1995), Quraish Shihab,Kumpulan Tanya Jawab: Mistik Seks,dan Ibadah (2004), Tim PP Muham-madiyah Majlis Tarjih, Tanya JawabAgama (Jilid I sampai IV).

3. Analisis DataMenurut Moleong, analisis data

merupakan proses pengaturan urutandata, mengorganisir ke dalam pola,kategori, dan uraian dasar, sehingga dapatditemukan tema dan dapat dirumuskanhipotesis kerja yang digunakan untukmenganalisis data (Moleong, 1995:112).Untuk menganalisis data yang terkumpul,penulis menggunakan analisis deskriptif-kualitatif. Data yang diperoleh berupakumpulan karya tulis atau komentar orangatau perilaku yang diamati yang didoku-mentasikan melalui proses pencatatanakan diperluas dan disusun dalam teks(Haberman, 1992:15). Selain itu datatersebut juga akan dianalisis denganmenggunakan pendekatan maqashidsyariah, dengan mengoperasionalkananalisis terhadap maslahah dan mafsa-dah, serta menguji data tersebut denganmenggunakan lima unsur yang harus di-pelihara seperti disyaratkan dalam pen-dekatan maqashid syariah yaitu: agama,akal, jiwa, harta, dan keturunan. Untukmemudahkan dalam proses analisis, seca-ra berurutan dan interaksionis analisisdata dilakukan dengan melalui beberapatahap, yaitu: dimulai dari pengumpulandata. Setelah data selesai dikumpulkankemudian dilakukan penyusunan datadengan cara mengolongkan, mengarah-kan, membuang yang tidak perlu danmengorganisir sehingga data terpilah-pilah untuk selanjutnya dilakukan analisis.Tahap berikutnya data tersebut diinter-pretasikan, lalu diambil kesimpulan(Surakhmad, 1990:139).

Page 6: 3. Nurul Huda

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 200940

Hasil dan Pembahasan1. Landasan Hukum Ketentuan

Kawin HamilKasus kawin hamil di luar nikah

secara khusus diatur dalam Pasal 53KHI. Pasal tersebut menjelaskan tentangkebolehan melangsungkan perkawinanbagi wanita hamil di luar nikah. Meskipundemikian, ada ketentuan yang harusdipenuhi dalam perkawinan tersebut,diantaranya:a. Seorang wanita hamil di luar nikah

bisa dikawinkan dengan pria yangmenghamilinya.

b. Perkawinan dengan wanita hamilyang disebut pada ayat (1) dapatdilangsungkan tanpa menunggu lebihdahulu kelahiran anaknya.

c. Dengan dilangsungkannya perkawi-nan pada saat wanita hamil, tidakdiperlukan perkawinan ulang setelahanak yang dikandung lahir.

Ketentuan Pasal 53 KHI tentangkebolehan melangsungkan perkawinanbagi wanita hamil ini bisa dikategorikankontroversial karena akan melahirkanperdebatan dan silang pendapat dariberbagai kalangan. Pendapat yang kontratentu akan merasa keberatan denganketentuan ini yang dinilai longgar dancenderung kompromistis. Bisa dimung-kinkan ketentuan ini justru akan dijadikanpayung hukum legalisasi perzinaan.

Pasal 53 KHI tersebut tidak mem-berikan sanksi atau hukuman bagi pezina,melainkan justru memberi solusi kepadaseseorang yang hamil akibat perzinaanitu untuk segera melangsungkan perka-

winan. Padahal dalam fiqh telah dijelas-kan perihal hukuman terhadap pelakuzina, diantaranya: jika pelaku zina itusudah menikah (zina muhsan) hukuman-nya adalah didera seratus kali dan kemu-dian dirajam. Bagi pelaku zina yang belummenikah (zina ghairu muhsan) huku-mannya adalah didera seratus kali dankemudian diasingkan ke tempat lainselama satu tahun (Asy Syaukani, 1994:550).

Kendati demikian, ketentuan Pasal53 KHI tersebut juga berpegangan padaalasan logis dan bisa dijadikan landasanhukum untuk diterapkan dalam tatanankehidupan masyarakat di Indonesia.Kebolehan melangsungkan perkawinanbagi wanita hamil menurut ketentuanPasal 53 KHI, secara tegas dibatasi padaperkawinan dengan laki-laki yang meng-hamilinya. Hal tersebut berlandaskanpada firman Allah SWT dalam surat al-Nur ayat 3:

Laki-laki yang berzina tidakmengawini melainkan perempuan yangberzina, atau perempuan yang musyrik.Dan perempuan yang berzina tidakdikawini melainkan laki-laki yang ber-zina atau laki-laki yang musyrik. Danyang demikian itu diharamkan atasorang-orang mukmin (Q.S. al-Nur: 3).

’ ÎΤ# ¨“9$# Ÿω ßx Å3Ζ tƒ ωÎ) ºπ uŠ ÏΡ#y— ÷ρ r& Zπ x.Îô³ ãΒ

èπ u‹ÏΡ# ¨“9$# uρ Ÿω !$yγßsÅ3Ζ tƒ ωÎ) Aβ#y— ÷ρ r& Ô8 Îô³ ãΒ 4

tΠ Ìh ãm uρ y7Ï9≡sŒ ’ n?tã t⎦⎫ÏΖÏΒ ÷σßϑ ø9$# ∩⊂∪

Page 7: 3. Nurul Huda

41Nurul Huda, Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam: 35-52

Hadits riwayat ’Aisyah, yaitu ketikaRasulullah SAW ditanya tentang seoranglaki-laki yang berzina dengan seorangwanita, lalu laki-laki itu berniat menga-wininya. Saat itu Rasulullah s.a.w.menjawab:

Permulaannya perzinaan, tetapiakhirnya adalah pernikahan (perka-winan). Dan yang haram itu tidakmengharamkan yang hala (HR. Al-Thabraniy dan al-Daruquthniy) (Da-radjat, 1995: 113).

Perzinaan merupakan perbuatanyang haram, sedangkan perkawinan me-rupakan perbuatan yang halal, sehinggadalam konteks hadits ini menunjukkanbahwa perbuatan yang haram (zina) tidakbisa mengharamkan perbuatan yanghalal (kawin). Dengan demikian, keha-raman perzinaan itu tidak dapat meng-haramkan pelaksanaan perkawinan,meskipun yang melangsungkan perka-winan itu adalah pasangan yang sebe-lumnya melakukan perzinaan sehinggamenyebabkan wanita hamil.

Selain itu, peristiwa yang diriwa-yatkan Ibnu Umar, yaitu ketika AbuBakar al-Shiddiq sedang di masjid, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan berbicaratidak jelas serta tampak kebingungan.Kemudian, Abu Bakar menyuruh Umaruntuk mendatangi dan melihat laki-laki itu,dan ketika Umar mendapatkan jawaban

bahwa laki-laki itu mempunyai seorangtamu, lalu tamunya itu berzina dengananak perempuannya. Seketika itu Umarlangsung memukul laki-laki itu danberkata:

Jelek sekali engkau ini. Kenapatidak engkau tutupi, tidak engkaurahasiakan saja hal anakmu itu? AbuBakar lalu memerintahkan agar laki-laki yang berzina dan anak perem-puan itu dihukum had, kemudian AbuBakar mengawinkan keduanya, lalumengasingkan keduanya setahun”(al-‘Arabi, tt: 262).

Peristiwa riwayat Ibnu Umar terse-but menyiratkan pesan implisit agar tidakmenyebarkan perzinaan yang dilakukananggota keluarga kepada khalayak ataudi depan publik, tetapi dengan menutupatau merahasiakan sehingga tidak menja-di aib keluarga maupun pasangan yangberzina. Untuk kemudian segera melaku-kan langkah penyelesaian secara konkretyaitu dengan segera melangsungkanperkawinan agar perzinaan itu tidak terusberlanjut dan berulang-ulang dilakukan.

Uraian normatif di atas merupakanlandasan bagi istimbat hukum ditetapkanketentuan Pasal 53 KHI tersebut. Selainberpegang pada landasan normatif seba-gaimana dalam uraian di atas, ketentuan

Page 8: 3. Nurul Huda

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 200942

Pasal 53 tersebut juga berpegangan padabeberapa faktor yang dapat memperkuatkedudukan Pasal 53 tersebut. Dalam halini ada tiga (3) faktor yang bisa menjadilandasan hukum atas terbitnya ketentuanpasal 53 KHI, yaitu:

a. Faktor filosofisSetiap pembuatan undang-undang,

peraturan, maupun ketentuan hukumharus didasari adanya landasan filosofis.Landasan filosofis mutlak diperlukankarena keberadaannya untuk menjelas-kan maksud, cita-cita, atau tujuan ditetap-kan sebuah hukum, peraturan, maupunketentuan. Jika sebuah hukum, peraturan,maupun ketentuan itu tidak didasarilandasan filosofis ini maka dalam produkhukum, peraturan, maupun ketentuantersebut akan hampa dan kehilanganmakna karena mengalami disorientasi.

Hal yang sama juga berlaku dalamketentuan Pasal 53 KHI tersebut. Keten-tuan Pasal 53 tersebut mempunyai landa-san filosofis untuk melindungi kelangsu-ngan hidup wanita hamil di luar nikah,sekaligus menjaga kelangsungan hidupanaknya, agar kelak setelah lahir dapatmelangsungkan kehidupannya secaranormal dan tidak kehilangan haknyasebagai manusia secara individu maupunsebagai anggota masyarakat.

Didasari semangat itulah, makaketentuan Pasal 53 KHI tersebut membo-lehkan wanita hamil di luar nikah melang-sungkan perkawinan dengan laki-lakiyang menghamilinya, untuk menghindaridampak negatif lain yang akan diterimakhususnya oleh wanita dan anak sebagai

pihak yang paling merasakan akibatnya.Keberadaan ketentuan Pasal 53 KHItersebut sekaligus menjadi landasan bagipihak wanita untuk menuntut pihak laki-laki agar bersedia bertanggung jawab,dan diwujudkan dengan melangsungkanperkawinan serta menjalankan kewaji-bannya sebagai suami sebagaimanadalam keluarga yang normal. Selanjutnya,landasan filosofis tersebut akan didukungoleh landasan-landasan lain, yang secaralogis menjadi dasar perlu ditetapkanketetapan Pasal 53 KHI tersebut.

b. Faktor SosiologisDi Indonesia, sebelumnya tidak ter-

dapat hukum tertulis perihal penyelesaianwanita hamil di luar nikah. Masyarakatbiasanya menggunakan penyelesaiandengan cara melangsungkan perkawinanantara wanita hamil tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa menunggukelahiran anak yang dikandung. Cara inibertujuan untuk menutup aib agar tidakdiketahui masyarakat luas. Selama parapelaku zina dan keluarga mampu menjagarahasia itu, maka para pezina dan jugaanaknya akan selamat dari respons ma-syarakat.

Masyarakat dalam merespons per-zinaan biasanya dengan melakukanpengasingan atau pengisolasian terhadappelaku zina, keturunan, dan bahkankepada keluarganya sekalipun. Responsmasyarakat tersebut tentu tidak mema-nusiakan pelaku zina, keluarga, bahkananak yang semestinya tidak melakukandosa namun harus menerima hukumanitu. Sehingga, dalam rangka menjaga

Page 9: 3. Nurul Huda

43Nurul Huda, Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam: 35-52

kelangsungan hidup pelaku zina danterutama anaknya, maka diperlukanpayung hukum berupa ketentuan yangmengatur tentang kebolehan melangsung-kan perkawinan bagi wanita hamil karenazina.

Selain itu, ketentuan Pasal 53 KHItersebut bisa dikatakan mengadopsipenyelesaian masyarakat dengan caramelangsungkan perkawinan antarapasangan zina tersebut. Sistem adopsitersebut didukung oleh realitas sejarahyang menunjukkan bahwa produk-produkpemikiran yang sering dianggap sebagaihukum Islam itu tidak lebih merupakanhasil interaksi antar pemikir hukumdengan lingkungan sosio-kultural atausosio-politik yang mengitarinya (Mudzhar,1998: 105). Produk hukum semacam itubisa diterima sebagai hukum positif danbagian dari pengembangan hukum yangbersifat ijtihadiyah (Mu’allim dan Yusdani,1999: 131). Sistem adopsi ini jugadidukung kaidah ushul fiqh yangmengatakan: ةكمحة مادالع “Adat kebia-saan itu bisa menjadi hukum” (Ha-roen, 1996: 142).

Kaidah ushul fiqh tersebut menun-jukan kebolehan mengadopsi adat ataukebiasaan masyarakat tertentu untukditerapkan menjadi sebuah ketentuanhukum. Imam al-Qarafi (w. 684 H)membolehkan mengadopsi adat ataukebiasaan masyarakat tersebut denganmeneliti kebiasaan yang berlaku dalammasyarakat setempat, sehingga hukumyang ditetapkan itu tidak bertentanganatau menghilangkan kemaslahatanmasyarakat setempat (Haroen, 1996:

142). Kebolehan tersebut sekaligusmenetapkan, dalam pelaksanaan produkhukum diberlakukan asas lex specialisderogat legi generali, yang berartipenerapan hukum yang bersifat danberlaku khusus bisa mengesampingkanpenerapan hukum yang bersifat danberlaku umum (Hamzah, 1986: 352).Melalui langkah ini maka ketentuan Pasal53 KHI ini mempunyai landasan sosio-logis yang kuat, sehingga akan efektifditerapkan dalam masyarakat Indonesia.

c. Faktor PsikologisKehamilan seorang wanita disebab-

kan zina pada dasarnya adalah kehamilanyang tidak diinginkan. Dihadapkan padasituasi ini, wanita menjadi pihak yangpaling merasakan tekanan psikologis yangsangat kuat. Jika kondisi seperti itu dibiar-kan berlarut-larut dan tidak segera dilang-sungkan perkawinan dengan laki-lakiyang menghamilinya, maka dikhawa-tirkan situasi lebih buruk akan terjadi.Seperti kasus bunuh diri dan aborsi biasa-nya didominasi oleh tekanan psikologisakibat kehamilan di luar nikah. Keduakasus tersebut bisa terjadi karena wanitamerasa hidupnya tidak nyaman, selaludihantui rasa malu, rendah diri, perasaanberdosa, depresi, pesimis, dsb. (Zein danSuryani, 2005: 114).

Namun ternyata, jika kemudian wa-nita hamil tersebut tetap menjalani kehi-dupannya seperti semula dan memilihmenjadi orang tua tunggal (singleparent), langkah itu juga tidak mampumemberi garansi bagi kesehatan mentalpada anak. Seperti ibunya, anak juga akan

Page 10: 3. Nurul Huda

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 200944

mendapatkan tekanan psikologis yangsama. Perkembangan psikologis anakmenjadi tidak sehat selain karena faktoraib latar belakang kelahirannya sehinggaeksistensinya dilabeli sebagai “anakharam”, juga karena disebabkan faktorrealitas keluarganya yang tidak utuh.Realitas tersebut tentu akan menjadidampak lanjut, karena keutuhan keluargajuga menjadi faktor yang mempengaruhiperkembangan psikologis dan sosialseorang anak (Gerungan, 2004: 199).

Dalam perkembangan hidup sepertiitu, anak tidak mendapatkan perhatiandan kasih sayang secara utuh, karenahanya mendapatkan kasih sayang secarasepihak dari ibunya. Dalam situasi yangtimpang ini tidak menutup kemungkinananak tersebut menjadi pribadi yangpesimis, rendah diri, atau bahkan kelakjustru berubah menjadi kejam karenamerasa ditelantarkan bapaknya. Problemlanjut inilah yang menjadi landasanpsikologis perlu ditetapkan ketentuanPasal 53 KHI tersebut.

Perspektif psikologis tersebut mem-perlihatkan bahwa ketetapan Pasal 53KHI tersebut ditujukan untuk melakukanupaya preventif guna mencegah terja-dinya problem lanjut dan sudah barangtentu akan menimbulkan persoalan barubagi upaya pembangunan kesehatanbangsa yang meliputi, kesehatan jasmanidan kesehatan mental bangsa.

2. Tinjauan Maqashid SyariahTerhadap Kawin HamilMaqashid syariah identik dengan

kajian filsafat hukum Islam. Hal ini akan

menjadi menarik kalau dijadikan pende-katan dalam mengkaji Pasal 53 KHI,guna mengkritisi ketentuan hukum yangditetapkan Pasal 53 KHI. Dengan demi-kian, penerapan ketentuan tersebutdiharapkan terhindar dari bias makna dantujuan yang hendak dicapai, terutamadalam mewujudkan ajaran Islam yangrahmatan li al-‘alamin.

Secara bahasa, maqashid syariahterdiri dari dua kata, yakni maqashid dansyariah. Maqashid merupakan jama’dari maqsudun yang berarti kesengajaanatau tujuan (al-Afriqi, tt: 175). Sedangkansyariah secara bahasa berarti jalanmenuju sumber air. Jalan menuju sumberair ini dapat pula dikatakan sebagai jalanke arah sumber pokok kehidupan (Syari-fuddin, 1993: 13).

Sebelum melangkah kepada pe-ngertian istilah maqashid syariah, perluterlebih dahulu dijelaskan pengertiansyariah secara terpisah. Dalam periode-periode awal, syariah merupakan al-nusus al-muqaddasah dari al-Qur’andan al-Sunnah yang mutawatir dan belumsama sekali dicampuri oleh pemikiranmanusia. Dalam wujud seperti ini syariahdisebut al-tariqah al-mustaqimah (al-Sayis, 1970: 8), yang mencakup aqidah,amaliyah, dan khulukiyah.

Dalam perkembangan selanjutnya,syariat mengalami reduksi terhadapmuatan maknanya. Misalnya, MahmoutSyaltout memberikan pengertian bahwasyariat adalah aturan-aturan yang dicip-takan oleh Allah untuk dipedomani manu-sia dalam mengatur hubungan denganTuhan, dengan manusia baik sesama

Page 11: 3. Nurul Huda

45Nurul Huda, Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam: 35-52

muslim atau non-muslim, alam danseluruh kehidupan (Syaltout, 1966: 12).Ali al-Sayis mengatakan syariah adalahhukum-hukum yang diberikan oleh Allahuntuk hamba-hambaNya agar merekapercaya dan mengamalkannya demikepentingan mereka di dunia dan akhirat(al-Sayis, 1970: 8). Kedua pengertiantersebut, secara tidak langsung memuatkandungan maqashid syariah.

Dengan demikian, maqashid syari-ah adalah tujuan hukum yang turunkanAllah swt. Menurut al-Syathibi, hukum-hukum disyariatkan bertujuan untukkemaslahatan umat manusia (Al-SyathibiI, tt: 21). Kemaslahatan tersebut terbagike dalam dua sudut pandang, yaitu:maqashid syari’ (tujuan Tuhan) danmaqashid mukallaf (tujuan manusia),yang merupakan sikap mukallaf terhadapmaqashid syariah.

Adapun tujuan disyari’atkan hukumadalah untuk memelihara kemashlahatanmanusia sekaligus untuk menghindarimafsadah baik di dunia maupun di akhi-rat. Dalam rangka mewujudkan kema-shlahatan tersebut, berdasarkan peneli-tian para ahli ushul fiqh, ada lima unsurpokok yang harus dipelihara dandiwujudkan. Kelima unsur pokok tersebutadalah: agama (Hifzh al-Din), jiwa(Hifzh al-Nafs), akal (Hifzh al-‘Aql),keturunan (Hifzh al-Nasl), dan harta(Hifzh al-Mal) (Djamil, 1999: 125).

Terkait dengan penetapan hukum,maka kelima unsur pokok di atas dibeda-kan menjadi tiga peringkat, yaitu: daru-riyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat (Djamil,1999: 126). Jika kelima unsur pokok di

atas dikaitkan dengan ketiga peringkat ini,maka dalam penetapan hukum, pemeli-haraan kelima unsur pokok di atas harusdikelompokkan dalam ketiga peringkat ini.Hal ini perlu dilakukan untuk menem-patkan urutan hukum yang akan diterap-kan sesuai porsi dan urgensinya.

Al-Syathibi memberikan pengertianterhadap ketiga peringkat tersebut sehing-ga tampak perbedaan masing-masingperingkat tersebut. Daruriyyat adalahkebutuhan yang bersifat esensial bagikehidupan manusia (primer), yang meli-puti: kebutuhan memelihara agama, jiwa,akal, keturunan dan harta. Apabila tidakterpenuhi atau tidak terpelihara kebu-tuhan-kebutuhan itu akan berakibatterancamnya eksistensi kelima pokoktersebut (al-Syathibi, tt (II): 4). Sebagaicontoh sederhana, upaya memeliharaagama berarti harus beribadah dan me-ninggalkan hal-hal yang dapat merusak-nya, memelihara jiwa berarti harus makandan minum dengan tidak melampaui batas(isyraf), memelihara akal berarti harusbelajar serta harus menjauhi perbuatanyang dapat merusak akal, memeliharaketurunan berarti harus menikah danmenjauhi perbuatan zina, sedangkanmemelihara harta berarti harus mena-bung, bermu’amalah, dan tidak melaku-kan perbuatan-perbuatan, seperti men-curi, merampok, korupsi, dsb., yang dapatmerugikan orang lain.

Kemudian untuk peringkat kelompokhajiyyat itu tidak termasuk kebutuhanyang esensial seperti kelompok daru-riyyat, melainkan kebutuhan yang dapatmenghindarkan manusia dari kesulitan

Page 12: 3. Nurul Huda

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 200946

hidup (sekunder). Pengertian darikelompok hajiyyat ini bisa diartikan sebagikebutuhan yang dilakukan untuk memu-dahkan kelompok daruriyyat. Kelompokhajiyyat ini erat kaitannya denganrukhsah atau keringanan, seperti istilahdalam ilmu fiqh (al-Syathibi, tt (II): 4).Contoh sederhana pada tingkatan kelom-pok ini adalah, kalau dalam tingkatandaruriyyat memelihara agama harusdiaplikasikan melakukan ibadah, sedang-kan dalam tingkat hajiyyat bisa diapli-kasikan dengan menyediakan sarana danprasarana yang dapat menunjang terlak-sananya ibadah tersebut, seperti mendi-rikan masjid, mushola dsb. Menyediakansarana dan prasarana di sini bisa diapli-kasikan juga pada contoh kasus pemeli-haraan terhadap jiwa, akal, keturunan,dan harta, sesuai dengan porsinya ma-sing-masing.

Pengertian dari peringkat ketigayaitu kelompok tahsiniyyat adalah kebut-uhan yang menunjang peningkatanmartabat seseorang dalam masyarakatdan di hadapan Tuhannya sesuai dengantingkat kepatutannya, dalam istilah yangmudah dipahami adalah kebutuhanpelengkap (tersier) (al-Syathibi, tt (II): 5).Aplikasi dari tingkatan tahsiniyyat ini bisadiurutkan melalui aplikasi tingkatandaruriyyat dan hajiyyat. Pada tingkatdaruriyyat adalah berupa ibadah, danpada tingkat hajiyyat berupa penyediaanterhadap sarana dan prasarana penunjangpelaksanaan ibadah. Setelah unsur-unsurdalam kedua peringkat tersebut terpenuhi,baru kemudian, unsur dalam peringkattahsiniyyat ini bisa dilakukan. Jika diapli-

kasikan pada pemenuhan tingkat tahsi-niyyat dalam melindungi agama adalahdengan menentukan bentuk bangunanmasjid atau mushola tempat shalat. Bisadisimpulkan, pemenuhan pada tingkattahsiniyyat ini lebih bersifat estetis dantergantung pada selera individu yangmemenuhinya, sehingga tidak mengede-pankan pemaksaan dan penyeragamanpada setiap orang yang melaksanakan-nya.

Keberadaan agama, jiwa, akal, ke-turunan, dan harta, yang disebut sebagailima unsur pokok, kemudian dikaitkandengan kelompok peringkat daruriyyat,hajiyyat, dan tahsiniyyat, akan dijadikananalisis keberlakuan ketentuan Pasal 53KHI. Dengan demikian, ketentuan Pasal53 KHI harus diuraikan ke dalam limaunsur pokok (agama, jiwa, akal, ketu-runan, dan harta) sekaligus dianalisisdengan menggunakan ketiga kelompoktingkatan (daruriyyat, hajiyyat, dantahsiniyyat) untuk menguraikan maksudketentuan Pasal 53 KHI tersebut.

Pertama, pemeliharaan agama. Jikapemeliharaan terhadap agama dikaitkandengan ketentuan Pasal 53 KHI, berartidengan dibolehkan melangsungkanperkawinan bagi pasangan zina, meskipundilakukan atas dasar keterpaksaan hal itusudah menunjukkan bukti melakukantaubat. Dengan demikian, pasangantersebut berhenti melakukan perzinaan,dan kemudian melangsungkan perka-winan untuk memulai kehidupan yangbaru dalam ikatan perkawinan yang sah.Kendati demikian, upaya tersebut belummampu memberikan pemeliharaan

Page 13: 3. Nurul Huda

47Nurul Huda, Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam: 35-52

agama secara optimal, karena denganmembolehkan perkawinan justru bisaberakibat bagi legalisasi perzinaan.Seharusnya upaya yang dilakukan untukmemelihara dalam konteks perzinaanadalah dengan mengoptimalkan upayapencegahan. Perzinaan adalah perbuatanyang melanggar ajaran agama, sehinggakeberadaannya harus diberantas dandiperangi. Salah satu upaya yang dilaku-kan adalah dengan memberikan sanksiterhadap pasangan zina untuk memberi-kan hukuman atas perbuatannya. Pembe-rian sanksi diharapkan mampu memberi-kan efek jera, sekaligus melakukan upayapreventif kepada orang lain agar tidakmelakukan pelanggaran serupa dikemudian hari. Dengan demikian, perka-winan sebagai ibadah untuk memeliharaagama akan senantiasa dilakukan atasdasar kerelaan dan keinginan untuk beri-badah dan bukan dilandasi keterpaksaandan keterdesakan untuk menyembunyi-kan aib (hamil).

Kedua, pemeliharaan jiwa. Kebole-han melangsungkan perkawinan bagiwanita hamil di luar nikah mempunyaimakna penting bagi upaya pemeliharaanterhadap jiwa. Setelah dilangsungkanperkawinan, wanita (dan mungkin anak-nya jika kelak lahir) akan mendapatnafkah dari laki-laki yang menghamilinya.Sehingga, wanita akan dapat memenuhikebutuhan hidupnya, terutama kebutuhanyang menyangkut kebutuhan primer ataupokok dalam kehidupan sehari-hari,berupa: kebutuhan pangan, sandang, danpapan. Kondisi sebaliknya akan terjadijika ternyata laki-laki yang menghamili

tidak mau bertanggung jawab atau tidakdibolehkan mengawininya. Bisa dimung-kinkan, dalam kondisi seperti ini wanitaakan menjalani hidup seorang diri danbahkan sampai menjadi orang tua tunggal(single parent). Memenuhi kebutuhanhidup dengan cara bekerja sendiri tentuakan memberikan kesulitan bagi kehi-dupan seorang wanita, lebih-lebih jikakondisi itu disebabkan karena sikap laki-laki pasangan zinanya tidak mau bertang-gung jawab.

Ketiga, pemeliharaan akal. Seorangwanita hamil di luar nikah sangat rentanmengalami tekanan psikologis. Jikatekanan itu dibiarkan terus-menerus tidakmenutup kemungkinan berpengaruhterhadap kesehatan akal, terutama bagipihak wanita. Meskipun pemeliharaanakal di sini tidak dilakukan melalui mediapendidikan formal (lembaga pendidikan),namun dengan melangsungkan perkawi-nan itu sudah cukup menyelamatkan akal.

Keempat, pemeliharaan keturunan.Ketentuan Pasal 53 KHI mempunyaiorientasi jangka panjang berupa pemeli-haraan terhadap keturunan. Keturunanmerupakan manifestasi jangka panjangbagi orang tua. Oleh sebab itu, eksistensiketurunan (anak) harus dipelihara dandiselamatkan. Dengan demikian, melang-sungkan perkawinan bagi pasangan zinamerupakan langkah konkret untukmemberinya kejelasan status hukum.Karena jika sampai terlambat anak akanmengalami kesulitan dalam mengurussegala keperluan administratifnya sebagaiwarga negara.

Kelima, pemeliharaan harta. Untuk

Page 14: 3. Nurul Huda

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 200948

memelihara harta, Islam sudah menge-nalkan tentang cara untuk memeliharadan melindungi harta dari kemafsadatanjika upaya tersebut tidak dilakukan.Pemeliharaan pada konteks keberlakuanketentuan Pasal 53 KHI tersebut, adalahdengan dilangsungkan perkawinan akanberimplikasi pada terpeliharanya harta,berupa penggunaan dan pendistribusianharta sebagaimana mestinya. Kontekspemeliharaan harta pada kasus kawinhamil menunjukkan, setelah dilangsung-kan perkawinan maka penggunaan hartaakan terbatasi pada kegiatan yangberkaitan dengan pihak-pihak yangberkaitan, di antaranya digunakan untukmenafkahi dan memenuhi kebutuhankeluarga. Selain itu, hal pokok lain yangtidak kalah penting adalah terkait denganhak anak (hasil zina) untuk ikut menikmatiharta tersebut, termasuk juga menyang-kut hak waris anak jika suatu saat orangtuanya meninggal dunia. Karena, secarahukum telah dinyatakan jelas sebagaiketurunan dari pemilik harta yangbersangkutan.

Berangkat dari analisis pemelihara-an lima unsur tersebut bila dikaitkandengan ketentuan Pasal 53 KHI, ditemu-kan kontradiksi, yaitu: belum terpenuhinyapemeliharaan terhadap agama. Pemeliha-raan agama tidak ditempatkan padatingkatan daruriyyat sebagai ranahprimer yang harus dipelihara. Sebaliknya,ketentuan Pasal 53 KHI justru menem-patkan keempat unsur lain (jiwa, akal,keturunan, dan harta) dalam tingkatdaruriyyah untuk segera dilakukanpemeliharaan. Pemeliharaan agama yang

berorientasi menggapai kemaslahatandunia dan akhirat (al-mashalih al-dunyawiyyah wa al-ukhrawiyyah) se-akan dikesampingkan untuk lebih meng-utamakan pemeliharaan terhadap ke-empat unsur yang sekedar berorientasimenggapai kemaslahatan dunia (al-mashalih al-dunyawiyyah). Kalau ber-henti pada analisis ini, maka ketentuanPasal 53 KHI lebih berorientasi mengga-pai kemaslahatan dunia.

Oleh sebab itu, diperlukan analisislanjut guna mengungkap persoalan terse-but. Penempatan terhadap pemeliharaankeempat unsur dalam tingkatan daru-riyyat lebih disebabkan perzinaan itutelah terjadi dan menyebabkan keha-milan. Dalam konteks ini maka yangmenjadi dasar pijakan adalah kondisi yangsangat mendesak (daruriyyat), berupahamilnya seorang wanita dan juga anakyang dikandungnya.

Hal inilah yang menjadi dasardiutamakannya pemeliharaan terhadapkeempat unsur dan mengesampingkanunsur pemeliharaan agama. Keberadaanwanita hamil dan juga anak dalam kandu-ngan merupakan alasan yang tidak bisadikesampingkan, untuk kemudian mem-prioritaskan pemeliharaan agama. Kare-na apabila pemeliharaan agama dipriori-taskan, maka keberadaan wanita hamildan juga anak dalam kandungan justruakan terancam kelangsungan hidupnya.Sebagai akibatnya, pemeliharaan terha-dap keempat unsur berupa: jiwa, harta,akal, dan keturunan, akan musnah. Seba-liknya, jika pemeliharaan terhadap ke-empat unsur ini dipertahankan justru di

Page 15: 3. Nurul Huda

49Nurul Huda, Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam: 35-52

lain kesempatan bisa merealisasikanpemeliharaan terhadap agama, yaitupemeliharaan agama bagi anak di masamendatang.

Kesimpulan dan SaranBerdasarkan uraian-uraian di atas,

dapat ditarik beberapa kesimpulan seba-gai berikut:1. Dasar hukum yang dipakai dalam

merumuskan ketentuan hukumkawin bagi wanita hamil pada Pasal53 KHI didasarkan pada Haditsriwayat imam al-Thabraniy danDaruquthniy, di mana Nabi Muham-mad SAW pernah bersabda:“permulaannya perzinaan, tetapiakhirnya adalah perkawinan. Danyang haram tidak bisa mengha-ramkan yang halal”, merupakanlandasan normatif bagi ketentuanPasal 53 KHI tersebut. Selain itu,ketentuan Pasal 53 KHI tersebutjuga didasari alasan empiris berupalatar belakang filosofis, sosiologis,dan psikologis sebagai dasar terbit-nya ketentuan hukum.

2. Berdasarkan tinjauan maqashidsyariah ketentuan Pasal 53 KHIdengan menggunakan lima unsuryang harus dipelihara yaitu: agama,jiwa, akal, harta, dan keturunan, danjuga ditimbang dengan menggunakantiga tingkatan berupa: daruriyyat,

hajiyyat, dan tahsiniyyat, menun-jukkan bahwa ketentuan Pasal 53KHI tersebut lebih mengutamakanpemeliharaan empat unsur berupa:jiwa, akal, harta, dan keturunan.Keputusan ini dilakukan karenakeempat unsur tersebut merupakanpersoalan yang sangat mendesak(daruriyyat) dan harus diprioritas-kan untuk merealisasikan kemas-lahatan yang lebih besar.

Berdasarkan beberapa temuan diatas, disarankan, bahwa analisis terhadapketentuan Pasal 53 KHI memang telahditemukan dasar hukum yang dipakai,sekaligus pemenuhan terhadap kelimaunsur (agama, jiwa, akal, harta, dan ketu-runan) yang harus dipelihara. Namundemikian, ketentuan Pasal 53 KHI terse-but masih mempunyai celah untuk diman-faatkan sebagai legalisasi perzinaan.Oleh karena itu, perlu disarankan agartidak terkesan melegalkan perzinaan,keberadaan ketentuan Pasal 53 KHI inijuga perlu didampingi dengan dibuat-kannya ketentuan atau peraturan lainyang bisa mencegah perzinaan. Sepertimisalnya membuat peraturan yang berisitentang pemberian sanksi yang mampumemberikan efek jera bagi pelaku zina,sehingga dapat memberikan dampakpositif bagi orang lain agar tidak mela-kukan perbuatan zina tersebut.

Page 16: 3. Nurul Huda

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 200950

DAFTAR PUSTAKA

Al-Afriqi, Ibn Mansur. tt. Lisan al-Arabi, Beirut: Dar al-Sadr.

Al-’Arabi, Abu Bakar Muhammad bin Abdullah. tt. Ahkamul Qur’an, Beirut: Daral-Fikr.

Al-Hasybi, M. Bagir. 2002. Fiqh Praktis Menurut al-Quran, Sunnah, dan PendapatPara Ulama. Bandung: Mizan.

Al-Khatib, Yahya Abdurrahman. 2003. Hukum-Hukum Wanita Hamil: Ibadah,Perdata, Pidana. Bangil: al-Izzah.

Al-Sayis, Ali. 1970. Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Atwaruh, Kairo: Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah.

Al-Syathibi, Abu Ishaq. tt. al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam I, Beirut: Dar al-Fikr.

_______. tt. al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam II, Beirut: Dar al-Fikr.

Asy-Syaukani, Imam Muhammad. 1994. Nailul Authar, (terj. Adib Bisri Musthafa),Semarang: Asy-Syifa’.

Arikunto, Suharsimi. 1992. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:Rineka Cipta.

Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Basyir, Ahmad Azhar. 1990. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Gajah madaUniversity Press.

Daradjat, Zakiah. 1995. Ilmu Fiqh (Jilid II), Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.

Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama Republik Indonesia.2005. Draf Kelima Hukum Terapan Peradilan Agama BidangPerkawinan.

Djamil, Fathurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Gerungan, W.A.. 2004. Psikologi Sosial, Bandung: Rafika Aditama.

Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Publishing House.

Hamzah, Andi. 1986. Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Page 17: 3. Nurul Huda

51Nurul Huda, Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam: 35-52

Karim, Zairina Anaris. 2009. Perkawinan Hamil Zina Dalam Mencapai KeutuhanRumah Tangga (Studi Pandangan Tokoh Masyarakat Di KelurahanPrenggan Kotagede Yogyakarta) (Skripsi) Fakultas Syariah UIN SunanKalijaga Yogyakarta

Kompilasi Hukum Islam. 2007. Bandung: Fokus Media.

Lexy J, Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.

Marwadi. 1984. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Yogyakarta: BPFE.

Mu’allim, Amir dan Yusdani. 1999. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta:UII Press.

Mudzhar, Atho. 2000. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi,Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Muhdlor, A. Zuhdi. 1995. Memahami Hukum Islam. Bandung: al-Bayan.

Qutb, Sayyid. 1987. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Beirut: Darus Syuruq.

Ramulyo, Moh. Idris. (1996). Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dariUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.Jakarta: Bumi Aksara.

Sariyanti. 2007. Dispensasi Kawin Karena Hubungan Luar Nikah (StudiPenetapan Hakim di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2005) (Skripsi),Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.

Shihab, Quraish. 2004. Kumpulan Tanya Jawab: Mistik, Seks dan Ibadah, Jakarta:Penerbit Republika.

Surakhmad, Winarto. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah (Dasar Petodik Teknik).Bandung: Tarsito.

Syaltout, Mahmoud. 1966. Islam: Aqidah wa Syari’ah, Kairo: Dar al-Qalam.

Syarifuddin, Amir. 1993. Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang:Angkasa Raya Padang.

Syifa, Muh. Nur. 2009. Kawin Hamil Dan Implikasinya Di Kua Kecamatan ImogiriBantul Yogyakarta Tahun 2006-2007 Dalam Tinjauan Hukum Islam,(Skripsi), Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan KalijagaYogyakarta.

Page 18: 3. Nurul Huda

Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 200952

Taimiyyah, Ibnu. 1997. Hukum-Hukum Perkawinan. Penterj. Rusnan Yahya. Jakarta:Pustaka al-Kautsar.

Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih. 1995. Tanya Jawab Agama, Yogyakarta:Penerbit Suara Muhammadiyah.

_______. 1997. Tanya Jawab Agama, Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah.

_______. 2003. Tanya Jawab Agama, Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah.

Yunus, Mahmud. 1981. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: PT. HidakaryaAgung.

Zein, Asmar Yetti dan Suryani, Eko. 2005. Psikologi Ibu dan Anak. Yogyakarta:Fitramaya.