3. BAB II

25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kejang Demam 2.1.1 Definisi Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38 o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Konsensus kejang demam 2006). Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 11 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. 2.1.2 Epidemiologi Consensus Development Panel yang diadakan oleh National Institutes of Health pada tahun 1980 menyatakan kejang demam terjadi diantara umur 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2%-5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. U.S National Collaborative Perinatal Project (NCPP) mendapatkan 54.000 anak dan menentukan prevalensi 4

description

kejang demam

Transcript of 3. BAB II

18

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Kejang Demam 2.1.1 Definisi Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Konsensus kejang demam 2006). Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 11 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.

2.1.2 EpidemiologiConsensus Development Panel yang diadakan oleh National Institutes of Health pada tahun 1980 menyatakan kejang demam terjadi diantara umur 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2%-5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun.U.S National Collaborative Perinatal Project (NCPP) mendapatkan 54.000 anak dan menentukan prevalensi terhadap kejang demam pada anak usia 7 tahun berkisar 3,5% pada anak Kaukasian dan 4,2% pada anak Afrika Amerika. Penelitian di Eropa baru juga menunjukkan hasil yang sama. Kejang demam juga sering terjadi pada anak di Jepang, 9-10% setidaknya satu kali pernah mengalami serangan kejang, yang berindikasi terdapat adanya faktor genetik. Onset pada kejang demam mengalami puncaknya pada umur 18-22 bulan dan kasus yang paling sering terjadi antara 6 bulan sampai dengan 3 tahun. Onset kejang demam setelah usia 5 tahun tidak terlalu sering, tetapi kejang dapat terjadi sampai umur usia 10 tahun. Beberapa penelitian memaparkan bahwa insiden kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan.Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian kecil berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Empat persen penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi.

2.1.3 EtiologiEtiologi dan patogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan tetapi umur anak, tingginya dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor hereditas juga mempunyai peranan yaitu 8% sampai 22% anak yang mengalami kejang demam memiliki orangtua yang memiliki riwayat kejang demam pada masa kecilnya.Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih (Soetomenggolo, 2000) Selain itu juga infeksi diluar susunan syaraf pusat seperti tonsillitis, faringitis, forunkulosis serta pasca imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) dapat menyebabkan kejang demam.

2.1.4 Klasifikasi MenurutCommission on Epidemiology and Prognosis(1993) mengklasifikasikan kejang demam menjadi kejang demam sederhana (simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure).1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)Merupakan kejang demam dengan manifestasi klinis:a. Kejang demam yang berlangsung singkat, umumnya serangan akan berhenti sendiri dalam waktu kurang dari sepuluh menit.b. Bangkitan kejang tonik atau tonik-klonik, tanpa gerakan fokal.c. Tidak berulang dalam waktu 24 jam, atau hanya terjadi sekali dalam 24 jam.

2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)Merupakan kejang demam dengan manifestasi klinis:a. Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit.b. Kejang fokal (parsial satu sisi), atau kejang umum didahului kejang parsial.c. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

Menurut Livingstone (1970), membagi kejang demam menjadi dua :1. Kejang demam sederhanaDiagnosisnya : Umur anak ketika kejang antara 6 bulan & 4 tahun Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tak lebih dari 15 menit Kejang bersifat umum, frekuensi kejang bangkitan dalam 1th tidak > 4 kali Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya seminggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.

2. Epilepsi yang diprovokasi demamDiagnosisnya : Kejang lama dan bersifat lokal Umur lebih dari 6 tahun Frekuensi serangan lebih dari 4 kali / tahun EEG setelah tidak demam abnormal

Menurut sub bagian syaraf anak FK-UI membagi tiga jenis kejang demam, yaitu :1. Kejang demam kompleksDiagnosisnya : Umur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun Kejang berlangsung lebih dari 15 menit Kejang bersifat fokal/multipel Didapatkan kelainan neurologis EEG abnormal Frekuensi kejang lebih dari 3 kali / tahun Temperatur kurang dari 39oC

2. Kejang demam sederhanaDiagnosisnya : Kejadiannya antara umur 6 bulan sampai dengan 5 tahun Serangan kejang kurang dari 15 menit atau singkat Kejang bersifat umum (tonik/klonik) Tidak didapatkan kelainan neurologis sebelum dan sesudah kejang Frekuensi kejang kurang dari 3 kali / tahun Temperatur lebih dari 39oC3. Kejang demam berulangDiagnosisnya : Kejang demam timbul pada lebih dari satu episode demam (Soetomenggolo, 1995)

Tabel 1. Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleksNOKlinisKD sederhanaKD kompleks

1.Durasi15 menit

2.Tipe kejangUmumUmum/fokal

3. Berulang dalam satu episode1 kali>1 kali

4.Defisit neurologis-

5.Riwayat keluarga kejang demam

6. Riwayat keluarga kejang tanpa demam

7. Abnormalitas neurologis sebelumnya

(Sumber : Fuadi. 2010. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak).

2.1.5 Patofisiologi Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi ada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimia, maupun anatomi.Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+, K+ dan Ca++. Bila sel saraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akam mengakibatkan menurunnya potensial membran. Penurunan potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na+ akan meningkat, sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaaan istirahat. Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon lokal, Bila rangsangan cukup kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka permeabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat secara besar-besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel saraf berikutnya melalui sinap dengan perantara zat kimia yang dikenal dengan neurotransmitter. Bila perangsangan telah selesai, maka permeabilitas membran kembali keadaan istirahat, dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori :a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.b. Perubahan permeabilitas membran sel saraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesia.c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa pada keadaan demam peningkatan reaksi kimia tubuh. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat.Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak semakin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak.Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut :a. Demam pada menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang/immatur.b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel.c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang akan merusak neuron.d. Demam meningkat Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit) biasanya diikuti dengan apneu, hipoksemia, (disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat (disebabkan oleh metabolisme anaerobik), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya kerusakan sel neuron.Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2002)2.1.5.1 Peranan Mutasi Gen pada Kejang DemamSel mempertahankan tingkat konsentrasi ion-ion ionorganik antarabagian luar dan dalamnya. Kalium mempunyai tingkat konsentrasi yang tinggi didalam sitoplasma dibanding di dalam ruang ekstraseluler, demikian juga natrium, klorida, dan kalsium yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi pada ruang ekstraseluler dibanding ruang intraseluler. Tingkat konsentrasi tersebut memungkinkan sebuah sistem sinyal elektrik yang didasarkan pada aktivitas protein kanal-kanal ion yang mengelilingi sel membran. Bentuk dari kanal ion memungkinkan ion-ion masuk dengan cepat melalui sel-sel membran dengan kecepatan masuknya berkisar 1.000.000 sampai 100.000.000 ion perdetik. Masuknya ion tersebut akan menimbulkan aliran elektrik 1012 sampai 1010 ampere per kanal. Aliran sebesar itu cukup besar untuk menyebabkan timbulnya perubahan yang cepat pada potensial membran. Karena kalsium dan natrium mempunyai konsentrasi yang lebih besar pada ruang ekstraseluler maka terbukanya kanal ion akan menyebabkan ion tersebut masuk ke dalam sel dan menimbulkan depolarisasi membran. Kanal-kanal ion dapat dirangsang dengan ligand ekstraseluler, intraseluler second messenger dan metabolit, interaksi protein, fosfolirasi dan faktor lainnya. Kanal ion yang terletak pada kompartemen subseluler berperan sebagai elemen yang memberi sinyal pada sel-sel yang akan masuk. Elemen tersebut memberikan sinyal yang lemah, ambang batas yang jelas, menginformasikan sinyal pada region lain dari sel. Para ahli kemudian menemukan bahwa kanal-kanal dengan peranannya sebagai pemberi sinyal ditempatkan dengan extraordinary precision. Akson, dendrit, terminal presinap dan pascasinap seluruhnya terdiri dari mikrodomain yang berbeda dan bahwa letak dari kanal-kanal dan protein-protein lainnya yang berperan sama memberi sinyal mengikuti perbedaan mikrodomain tersebut. (Albert B, 1994) Kanal-kanal tersebut diatas memiliki gennya masing-masing dalam jumlah yang cukup banyak, hal ini menunjukkan banyak kekhususan sinyal. Mutasi gen pada kanal-kanal akan mengakibatkan timbulnya kerja ion yang berbeda dalam menjalankan perintah sistem saraf pusat oleh karena adanya perbedaan interpretasi membaca sinyal. Gagalnya membaca sinyal akan menyebabkan kanal-kanal tidak bekerja seperti biasanya. Sebagai contoh mutasi kanal-kanal natrium berakibat kanal terbuka berulang-ulang dan menyebabkan perangsangannya yang berat atau yang memanjang, timbul depolarisasi yang hebat sehingga timbul manifestasi klinis dalam bentuk kelainan paroksismal.

2.1.6 Faktor Risiko 1. DemamDemam merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang demam. Pada penelitian sebelumnya bahwa bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9oC 39,9oC yaitu 40%-56%, 20% suhu di atas 40oC dan 11% 37oC 38,9oC. Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celcius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10%-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus Creb normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan hipoksi jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkat ion Na+ masuk ke dalam sel. Ion Na+ ke dalam sel dipermudah pada keadaan demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membrane sel. Perubahan konsentrasi ion Na intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membrane sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.

2. Faktor usiaBeberapa sumber mengatakan bahwa kejang demam sering terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Hal ini dimungkinkan karena keadaan otak yang belum matang. Pada otak belum matang reseptor untuk asam glutamate baik inotropik maupun metabotropik sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sedangkan Corticotropin releasing hormone (CRH), neuropeptid eksitator yang berpotensi sebagai prokonvulsan, lebih aktif sehingga eksitasi lebih dominan dari inhibisi. (Berg AT, 2002 & Johnson GW dkk, 1996) Pada otak yang belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi, berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam. (Chen Y dkk, 2001)

3. Faktor genBeberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor genetic merupakan faktor penting dalam terjadinya bangkitan kejang demam, dari anamnese didapati anak yang menderita kejang demam sekitar 7,5% disebabkan oleh faktor genetik. Risiko kejang demam meningkat 2-3 kali jika terdapat saudara yang menderita kejang demam dan risiko meningkat sebanyak 5% pada anak yang orang tuanya menderita kejang demam. Penelitian lain juga menyebutkan risiko untuk terjadi kejang demam pada saudara kandungnya berkisar 10%-45%.

Cara pewarisan Mode penurunan gen pada kejang demam ialahdominant, recessive,danpolygenic. Tsuboi melaporkan penelitian terhadap 32 pasang anak kembar dan 673 kasus bersaudara kandung, didapatkan tingkat kesesuaian 56% pada monozigot dan 14% pada kembar dizigot. Pewarisan secara multifaktorial lebih banyak muncul pada kebanyakan keluarga dan hanya sedikit yang melalui autosomal dominan. Walaupun demikian menurut Tsuboi mungkin sekali terdapat suatu sub kelompok anak yang mempunyai cara pewarisan autosomal dominan untuk kejang demam.Untuk mengetahui jenis gen dan linkage yang berpengaruh pada kejang demam maka perlu terlebih dahulu diketahui beberapa sindrom yang terkait dengan kejang demam, karena masing-masing sindroma memiliki jenis mutasi gen yang berbeda.Sindroma tersebut adalah sebagai berikut : Simple/benign febrile seizures Generalised epilepsy and febrile seizures plus (GEFS+) Myoclonic astatic epilepsy Severe myoclonic/polimorfic/epilepsy of infancy (SMEI) Benign focal epilepsies of childhood esp. Occipital variety Idiopatic generalised epilepsies Prolonged/focal febrile seizures and mesialGEFS+ adalah sindroma kejang demam familial di mana anggota keluarga seperti : Kejang demam tipikal Kejang demam yang tetap berlangsung setelah usia 6 bulan Kejang umum tanpa demam Umumnya diturunkan secara autosomal dominanJenis-jenis gen dan linkage yang bermutasiMekanisme peranan faktor riwayat keluarga pada terjadinya kejang demam terutama disebabkan oleh adanya mutasi gen-gen tertentu yang mempengaruhi eksitabilitas ion-ion pada membran sel. Mekanisme yang mempengaruhi peristiwa tersebut sangat kompleks. Secara teoritis defek yang diturunkan pada tiap-tiap gen pengkode protein yang menyangkut eksitabilitas neuron dapat mencetuskan bangkitan kejang.

Tabel 3. Mutasi gen pada kejang demamGenLinkageSindromaNoBangsa

SCN1B19Q13.1GEFS+3Australia

SCN1A2q24-33GEFS+5Perancis

FEB18q13-21Kejang demam1Australia

FEB219p13Kejang demam2AS

FEB35q14-15Kejang demamJepang

FEB42q23-24Kejang demam

(Sumber : Moulard B. Identification of New Locus for General Epilepsy with Febrile Seizures Plus (GEFS+). 1999)

Adapun peranan faktor gen ini terjadi sehubungan dengan mutasi reseptor GABA (gamma amino butyric acid), dan lokasi gen yang terdapat kelainan ialah 19q, 8q 13-23 dan 2q 23-24.Menurut penelitian Bahtera T (2007) terhadap 148 anak yang menderita kejang demam, didapatkan adanya hubungan mutasi gen pintu kanal voltase ion natrium (channelopathy) dengan usia, suhu, jarak waktu antara mulai demam sampai timbul bangkitan kejang, jenis kejang demam saat bangkitan kejang demam pertama, dan riwayat keluarga (first degree relative) pernah menderita kejang demam. Mutasi gen pintu kanal voltase Natrium Subunit (SCNIA) mengakibatkan terjadi pergantian asam amino argenin bersifat polar oleh asam amino alanin yang bersifat non polar dan terjadi kodon stop. Adanya kodon stop mengakibatkan deretan asam amino penyusun pintu kanal voltase ion natrium lebih pendek. Pergantian asam amino argenin bersifat polar oleh asam amino alanin bersifat non polar dan kodon stop mengakibatkan fungsi pintu voltase kanal ion natrium terganggu. Kelainan tersebut menyebabkan terjadinya defek pada kanal tersebut akan menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan antara aliran masuknya natrium dan keluarnya kalium sehingga menyebabkan membran sel menjadi hipereksitabel. Untuk seseorang dengan kondisi saraf hipereksitabel (spasmofili), suatu stresor yang sifatnya umum saja, mudah sekali pada tingkatan tertentu berubah menjadi distres.

Berikut ini contoh channelopathy pada kejang demamTabel 4. Kanal gen dan gangguannyaJenis GangguanGen Kanal

1. Benign neonatal familal convulsionKCNQ2

2. Benign neonatal familial convulsionKCNQ3

3. generalised Epilepsi with febrile seizure plusSCN1B

(Sumber : Moulard B. Identification of New Locus for General Epilepsy with Febrile Seizures Plus (GEFS+). 1999).

2.2 Riwayat Kejang dalam KeluargaAdanya riwayat kejang demam dalam keluarga adalah salah satu faktor risiko yang dapat menimbulkan bangkitan kejang demam. Keluarga dengan riwayat pernah kejang demam sebagai faktor risiko untuk terjadi kejang demam pertama adalah kedua orang tua ataupun saudara kandung (first degree relative). Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam, apakah autosomal resesif atau autosomal dominan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60%-80%. (Kugler dkk, 1998 & Singh R dkk 1999) Bila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Apabila salah satu orang tua anak kejang demam dengan riwayat kejang demam mempunyai risiko terjadi bangkitan kejang demam 20%-22%. Apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59%-64%. (Menkes H & Sankar R, 2000). Kejang demam diwariskan lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, 27% berbanding 7%. Penelitian Hauser dkk, di Amerika menunjukkan bahwa kasus kejang demam mempunyai saudara pernah menderita kejang demam mempunyai risiko 2,7% (CI 95% 2.0-3.6), sedangkan apabila pasien tersebut salah satu orang tua dengan riwayat pernah menderita kejang demam risiko tersebut meningkat menjadi 20% (CI 95% 6.3 15) dan apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam risiko tersebut meningkat menjadi 20% (CI 95% 9.6-36.8).Lennox-Buchthal (1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan masukan yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2 % anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bethune et. Al di Halifax, Novia Scosia, Canada mengemukakan bahwa 17% kejadian kejang demam dipengaruhi oleh faktor keturunan. Hal ini juga dibuktikan penelitian yang dilakukan oleh Talebian et. Al yang memperoleh hasil bahwa sebesar 42,1% kejadian kejang demam pada bayi disebabkan oleh riwayat keluarga yang juga positif kejang demam. Demikian pula diungkapkan oleh Annergers et. Al (1987) pada hasil penelitian yang dilakukannya di Minnesota Amerika pada 687 anak, dapat dibuktikan bahwa riwayat keluarga kejang demam memicu terjadinya kejang demam pada anak. Hasil penelitian dewasa ini menunjukkan adanya pengaruh faktor riwayat keluarga pada insiden kejang demam. Hal ini dimungkinkan dengan terjadinya frekuensi kejang demam yang meningkat pada anggota keluarga penderita dengan kejang demam.

Estimasi angka kejadiannya bervariasi, beberapa penulis memberikan hasil penelitiannya sebagai berikut: Annegers dkk : adanya resiko yang meningkat pada saudara kandung 2-3 kali lebih banyak dibanding populasi lokal. Tsuboi : menemukan kejadian kejang demam 17% pada orang tua dan 23% pada saudara kandung penderita kejang demam. Aicardi dkk : 31% penderita kejang demam mempunyai hubungan keluarga langsung (tingkat satu) yang pernah menderita kejang demam. Verity dkk : 26% mempunyai hubungan dengan saudara kandung. Doose dkk : perbandingan 11: 3% antara orang tua yang pernah mengalami kejang demam dan tidak pernah.

Riwayat kejang dalam keluarga juga meningkatkan risiko terjadiya kejang demam berulang pada anak. Hal ini pernah dibuktikan oleh Daoud AS, dkk (2004) yang memperoleh hasil adanya perbedaan yang bermakna kejadian kejang berulang dengan riwayat kejang dalam keluarga (p=0,000). Hal ini dihubungkan dengan adanya keterkaitan genetik pada anak dengan kejang berulang. Penelitian lain yang dilakukan Shinnar dkk menunjukkan sedikit atau tidak adanya peningkatan risiko kejang berulang pada anak dengan riwayat kejang dalam keluarga. 4