27303128-Analisis-Toksikologi-Forensik

download 27303128-Analisis-Toksikologi-Forensik

of 105

Transcript of 27303128-Analisis-Toksikologi-Forensik

ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK Buku Ajar disusun oleh: Dr.rer.nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, Apt., M.Si. JURUSAN FARMA SI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA BUKIT JIMBA RAN

KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan syukur Om Awighnam Astu Nahma Sidham semoga tiad a aral yang melintang dan memperoleh wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bah an ajar ini disusun agar dapat memperkaya literatur dan memberi gambaran tentang Analisis Toksikologi Forensik. Analisis toksikologi forensik adalah integrasi b erbagai disiplin ilmu diantaranya kimia analisis dan prinsipprinsip dasar toksik ologi, yang mencangkup aplikasi dan telaah tentang racun, yang berhubungan denga n tindakan melawan hukum kriminal. Pada tulisan ini diawali dengan sub bahasan: Pen gantar Menuju Ilmu Forensik yang menjelaskan definisi forensic science dan bidang ilmu yang tercangkup dalam forensik sains, kemudian dilanjutkan dengan sub baha san Pengantar Toksikologi yang memberi gambaran tentang pengertian ilmu toksikolog i dan sejarah perkembangan ilmu toksikologi. Agar mahasiswa lebih mengerti bagai mana tokson dapat menimbulkan efek keracunan pada sub bahasan berikutnya dibahas Fase Kerja Toksik. Sub bahasan Analisis Toksikologi Forensik dibahas dalam bab IV, karena sebagaian besar sampel analisis toksikologi merupakan materi biologi, mak a dalam bab berikutnya dibahas sifat dan cara penanganan materi biologi dalam an alisis toksikologi. Bab berikutnya membahas metode analisis yang digunakan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi forensik. Sangat disadari tulisan ini masi h jauh dari sempurna, namun langkah/usaha sekecil apapun akan sangat berarti seb agai daya awal untuk langkah yang lebih besar. Menyadari hal tersebut penulis sa ngat mengharapkan masukan dan saran, dari berbagai pihak guna menyempurnakan mat eri ini. Saran dan masukan dapat dialamatkan ke penulis Jimbaran, Juli 2008 Horm at kami ttd Penulis Pengantar Menuju Ilmu Forensik 1

BAB I 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. BAB II 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. BAB III 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6. BAB IV 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. BAB V 5.1. 5.2. 5.3. BAB VI 6.1. 6.2. 6.3. BAB VIII 7.1. 7.2. 7.3. 7.4. 7.5. 7.6.

halaman PENGANTAR MENUJU ILMU FORENSIK Pengantar enyidikan ....................................................... . PENGANTAR TOK ...................................................... . Perkembangan Awal Toksik .............................................. . Pengertian Toksikologi dan Racun ................................... .... Cakupan dan Subdisiplin Toksikologi .... ......................... ... Perkembangan Mutahir Toksikologi .................. .............. ... Prospek Masa Depan ........................................... ............ .. FASE KERJA TOKSIK ............................................... ..... .... Fase eksposisi ....................................................... ......... ... Fase toksokinetik ................................................. ......... .. Fase Toksodinamik ................................................. ...... ... Pemodelan Farmakokinetik ............................................. ... Parameter Farmakokinetik ................................................... rmasi (metabolisme) ................................................ ... ANALISIS OGI FORENSIK .................................... .... Pendahuluan .............. ......................................................... ... Bilamana memerlukan saan toksikologik ........................ ... Langkah-langkah analisis toksikolog sik ............................. ... Interpretasi temuan analisis ............... ................................... ... Kesimpulan ............................... ............................................ ... CAIRAN BIOLOGI .................. .............................................. ... Sifat Beberapa Cairan Biologik u ..................................... ... Pengambilan Sampel ... nalisis obat dalam cairan biologi .......... REAKSI WARNA ...................... ................................................... ... Interpretasi reaksi warna ...................................................... ... Faktor Teknis ......... ............................................................... ... Beberapa Reaks .............................................................. ... KROMATOGRAFI L PIS .................................................. ... Fase Diam ............. ............................................................... ... Penotolan samp ...................................................................... ... Sistem ............................................................................... . ... Pengembangan ............................................................... ........ ... Deteksi Noda ........................................................ .................. ... Faktor-faktor yang perlu diperhatikan pada KLT ............ ........ ... 2 DAFTAR ISI 1 1 2 4 5 9 9 10 12 13 14 16 16 16 21 21 23 24 31 31 31 32 35 39 41 41 43 43 46 46 46 46 50 51 52 52 52 53 54 Pengantar Menuju Ilmu Forensik

BAB VIII 8.1. 8.2. 8.3. 8.4. 8.5. BAB IX 9.1. 9.2. BAB X 10.1. 10.2. 10.3. 10.4. 10.5. BAB XI 11.1. 11.2. 11.3. 11.4. 11.5. 11.6. 11.7.

PENGGUNAAN KROMATOGRAFI GAS DALAM ANALISIS TOKSIKOLOGI ................. Paramet er Retensi ..................................................................... . ... Peralatan .................................................................. ............ ... Analisis Kualitatif ............................................. ..................... ... Analisis Kuantitatif ................................... ............................. ... Derivatisasi Pada Kromatograti Gas Cair ........ ...................... ... PENGGUNAAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (HPLC) DALA SIS TOKSIKOLOGI ................................. ............... Pemilih .................................................... ... Analisis Obat ........... ............................................................. ... APLIKASI SPEKTRO ASSA DALAM ANALISIS PENYALAHGUNAAN OBAT .. Pendahuluan ......................... ..................................................... ... Aliran Analit/Sampel dal .................................................. ... Sistem Pengumpulan Data dan ilannya ......................... ... Kepustakaan Spektrum Massa ................. ........................... ... Analisis Beberapa Kelompok Obat .................. .................... ... APLIKASI SPEKTROSFOTOMETRI INFRA MERAH DALAM ANALISIS TOK I Pendahuluan .................................................................. ........... ... Hubungan spektra IR dengan struktur molekul ...................... n .............................................................................. .... ... Teknik Sampling Pada IR ................................................. . ... Berbagai Teknik Yang Dikombinasikan Dengan Spektroskopi IR Penerje ................................................ ... Spektrum IR obat-obatan yang disalahgunakan ............. ... 55 55 55 57 57 58 60 60 64 66 66 66 66 67 68 73 73 73 74 75 77 78 78 Pengantar Menuju Ilmu Forensik 3

BAB I PENGANTAR MENUJU ILMU FORENSIK klasifikasi ini masih kita kenal dan dimanf aatkan secara luas sampai sekarang. Dalam perkembangan selanjutnya semakin banya k bidang ilmu yang dilibatkan atau dimanfaatkan dalam penyidikan suatu kasus kri minal untuk kepentingan hukum dan keadilan. Ilmu pengetahuan tersebut sering dik enal dengan Ilmu Forensik. Saferstein dalam bukunya Criminalistics an Introductio n to Forensic Science berpendapat bahwa ilmu forensik forensic science secara umum adalah the application of science to law. Ilmu Forensik dikatagorikan ke dalam ilm u pengetahuan alam dan dibangun berdasarkan metode ilmu alam. Dalam padangan ilm u alam sesuatu sesuatu dianggap ilmiah hanya dan hanya jika didasarkan pada fakt a atau pengalaman (empirisme), kebenaran ilmiah harus dapat dibuktikan oleh seti ap orang melalui indranya (positivesme), analisis dan hasilnya mampu dituangkan secara masuk akal, baik deduktif maupun induktif dalam struktur bahasa tertentu yang mempunyai makna (logika) dan hasilnya dapat dikomunikasikan ke masyarakat l uas dengan tidak mudah atau tanpa tergoyahkan (kritik ilmu) (Purwadianto 2000). Dewasa ini dalam penyidikan suatu tindak kriminal merupakan suatu keharusan mene rapkan pembuktian dan pemeriksaan bukti fisik secara ilmiah. Sehingga diharapkan tujuan dari hukum acara pidana, yang menjadi landasan proses peradilan pidana, dapat tercapai yaitu mencari kebenaran materiil. Tujuan ini tertuang dalam Keput usan Menteri Kehakiman No.M.01.PW.07.03 tahun 1983 yaitu: untuk mencari dan mend apatkan atau setidaktidaknya mendekati kebanaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari sutau perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya memint a pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti 4 1.1. Pengantar Forensik biasanya selalu dikaitkan dengan tindak pinada (tindak m elawan hukum). Dalam buku-buku ilmu forensik pada umumnya ilmu forensik diartika n sebagai penerapan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Dalam penyidikan suatu kasus kejahatan, observasi terhadap bukti fisik dan interpretasi dari hasil analisis (pengujian) barang buk ti merupakan alat utama dalam penyidikan tersebut. Tercatat pertama kali pada ab ad ke 19 di Perancis Josep Bonaventura Orfila pada suatu pengadilan dengan perco baan keracunan pada hewan dan dengan buku toksikologinya dapat meyakinkan hakim, sehingga menghilangkan anggapan bahwa kematian akibat keracunan disebabkan oleh mistik. Pada pertengahan abad ke 19, pertama kali ilmu kimia, mikroskopi, dan f otografi dimanfaatkan dalam penyidikan kasus kriminal (Eckert, 1980). Revolusi i ni merupakan gambaran tanggungjawab dari petugas penyidik dalam penegakan hukum. Alphonse Bertillon (1853-1914) adalah seorang ilmuwan yang pertamakali secara s istematis meneliti ukuran tubuh manusia sebagai parameter dalam personal indenti fikasi. Sampai awal 1900-an metode dari Bertillon sangat ampuh digunakan pada pe rsonal indentifikasi. Bertillon dikenal sebagai bapak identifikasi kriminal (cri minal identification). Francis Galton (1822-1911) pertama kali meneliti sidik ja ri dan mengembangkan metode klasifikasi dari sidik jari. Hasil penelitiannya sek arang ini digunakan sebagai metode dasar dalam personal identifikasi. Leone Latt es (1887-1954) seorang profesor di institut kedokteran forensik di Universitas T urin, Itali. Dalam investigasi dan identifikasi bercak darah yang mengering a dri ed bloodstain, Lattes menggolongkan darah ke dalam 4 klasifikasi, yaitu A, B, AB, dan O. Dasar Pengantar Menuju Ilmu Forensik

bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapa t dipersalahkan. Adanya pembuktian ilmiah diharapkan polisi, jaksa, dan hakim ti daklah mengandalkan pengakuan dari tersangka atau saksi hidup dalam penyidikan d an menyelesaikan suatu perkara. Karena saksi hidup dapat berbohong atau disuruh berbohong, maka dengan hanya berdasarkan keterangan saksi dimaksud, tidak dapat dijamin tercapainya tujuan penegakan kebenaran dalam proses perkara pidana dimak sud. Dalam pembuktian dan pemeriksaan secara ilmiah, kita mengenal istilah ilmu forensik dan kriminologi. Secara umum ilmu forensik dapat diartikan sebagai apli kasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan huku m dan keadilan. 1.2. Ruang Lingkup Ilmu Forensik Ilmu-ilmu yang menunjang ilmu f orensik adalah ilmu kedokteran, farmasi, kimia, biologi, fisika, dan psikologi. Sedangkan kriminalistik merupakan cabang dari ilmu forensik. Cabang-cabang ilmu forensik lainnya adalah: kedokteran forensik, toksikologi forensik, odontologi f orensik, psikiatri forensik, entomologi forensik, antrofologi forensik, balistik forensik, fotografi forensik, dan serologi / biologi molekuler forensik. Biolog i molekuler forensik lebih dikenal dengan DNAforensic. Kriminalistik merupakan pen erapan atau pemanfaatan ilmu-ilmu alam pada pengenalan, pengumpulan / pengambila n, identifikasi, individualisasi, dan evaluasi dari bukti fisik, dengan mengguna kan metode / teknik ilmu alam di dalam atau untuk kepentingan hukum atau peradil an (Sampurna 2000). Pakar kriminalistik adalah tentunya seorang ilmuwan forensik yang bertanggung jawab terhadap pengujian (analisis) berbagai jenis bukti fisik , dia melakukan indentifikasi kuantifikasi dan dokumentasi dari bukti-bukti fisi k. Dari hasil analisisnya kemudian dievaluasi, diinterpretasi dan dibuat sebagai laporan (keterangan ahli) dalam atau untuk kepentingan hukum atau peradilan (Ec kert 1980). Sebelum melakukan tugasnya, seorang kriminalistik harus mendapatkan pelatihan atau pendidikan dalam penyidikan tempat kejadian perkara yang Pengantar Menuju Ilmu Forensik dibekali dengan kemampuan dalam pengenalan dan pengumpulan bukti-bukti fisik sec ara cepat. Di dalam perkara pidana, kriminalistik sebagaimana dengan ilmu forens ik lainnya, juga berkontribusi dalam upaya pembuktian melalui prinsip dan cara i lmiah. Kriminalistik memiliki berbagai spesilisasi, seperti analisis (pengujian) senjata api dan bahan peledak, pengujian perkakas (toolmark examination), pemerik saan dokumen, pemeriksaan biologis (termasuk analisis serologi atau DNA), analis is fisika, analisis kimia, analisis tanah, pemeriksaan sidik jari laten, analisi s suara, analisis bukti impresi dan identifikasi. Kedokteran Forensik adalah pen erapan atau pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum dan pe ngadilan. Kedokteran forensik mempelajari hal ikhwal manusia atau organ manusia dengan kaitannya peristiwa kejahatan. Di Inggris kedokteran forensik pertama kal i dikenal dengan Coroner. Seorang coroner adalah seorang dokter yang bertugas mela lukan pemeriksaan jenasah, melakukan otopsi mediko legal apabila diperlukan, mel akukan penyidikan dan penelitian semua kematian yang terjadi karena kekerasan, k emudian melalukan penyidikan untuk menentukan sifat kematian tersebut. Di Amerik a Serikan juga dikenal dengan medical examinar. Sistem ini tidak berbeda jauh deng an sistem coroner di Inggris. Dalam perkembangannya bidang kedokteran forensik t idak hanya berhadapan dengan mayat (atau bedah mayat), tetapi juga berhubungan d engan orang hidup. Dalam hal ini peran kedokteran forensik meliputi: melakukan o topsi medikolegal dalam pemeriksaan menyenai sebab sebab kematian, apakah mati w ajar atau tidak wajar, penyidikan ini juga bertujuan untuk mencari peristiwa apa sebenarnya yang telah terjadi, identifikasi mayat, meneliti waktu kapan kematia n itu berlansung time of death penyidikan pada tidak kekerasan seperti kekerasan s eksual, kekerasan terhadap anak dibawah umur, kekerasan dalam rumah tangga, pela yanan penelusuran keturunan, 2

di negara maju kedokteran forensik juga menspesialisasikan dirinya pada bidang k ecelakaan lalu lintas akibat pengaruh obatobatan driving under drugs influence. Bi dang ini di Jerman dikenal dengan Verkehrsmedizin Dalam prakteknya kedokteran fore nsik tidak dapat dipisahkan dengan bidang ilmu yang lainnya seperti toksikologi forensik, serologi / biologi molekuler forensik, odontologi forensik dan juga de ngan bidang ilmu lainnya Toksikologi Forensik, Toksikologi adalah ilmu yang mene laah tentang kerja dan efek berbahaya zat kimia (racun) terhadap mekanisme biolo gi. Racun adalah senyawa yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap or ganisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racu n di reseptor, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme , paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Lebih khusus, tok sikologi mempelajari sifat fisiko kimia dari racun, efek psikologi yang ditimbul kannya pada organisme, metode analisis racun baik kualitativ maupun kuantitativ dari materi biologik atau non biologik, serta mempelajari tindakan tidankan penc egahan bahaya keracunan. LOOMIS (1978) berdasarkan aplikasinya toksikologi dikel ompokkan dalam tiga kelompok besar, yakni: toksikologi lingkungan, toksikologi e konomi dan toksikologi forensik. Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplika si atau pemanfaatan ilmu toksikologi untuk kepentingan peradilan. Kerja utama da ri toksikologi forensik adalah analisis racun baik kualitatif maupun kuantitatif sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Toksikologi foren sik mencangkup terapan ilmu alam dalam analisis racun sebagi bukti dalam tindak kriminal. Toksikologi forensik merupakan gabungan antara kimia analisis dan prin sip dasar toksikologi. Bidang kerja toksikologi forensik meliputi: analisis dan mengevaluasi racun penyebab kematian, analisis ada/tidaknya alkohol, obat terlar ang di dalam cairan tubuh atau napas, yang dapat mengakibatkan perubahan prilaku (menurunnya kemampuan mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya, tindak Pengantar Menuju Ilmu Forensik kekerasan dan kejahatan, penggunaan dooping), analisis obat terlarang di darah d an urin pada kasus penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang lainnya. Odontolo gi Forensik, bidang ilmu ini berkembang berdasarkan pada kenyataannya bahwa: gig i, perbaikan gigi (dental restoration), dental protese (penggantian gigi yanng r usak), struktur rongga rahang atas sinus maxillaris, rahang, struktur tulang palat al (langit langit keras di atas lidah), pola dari tulang trabekula, pola penumpu kan krak gigi, tengkuk, keriput pada bibir, bentuk anatomi dari keseluruhan mulu t dan penampilan morfologi muka adalah stabil atau konstan pada setiap individu. Berdasarkan kharkteristik dari hal tersebut diatas dapat dijadikan sebagai acua n dalam penelusuran identitas seseorang (mayat tak dikenal). Sehingga bukit peta gigi dari korban, tanda / bekas gigitan, atau sidik bibir dapat dijadikan sebag ai bukti dalam penyidikan tindak kejahatan. Psikiatri forensik, seorang spikiate r berperan sangat besar dalam bebagai pemecahan masalah tindak kriminal. Psikogr am dapat digunakan untuk mendiagnose prilaku, kepribadian, dan masalah psikis se hingga dapat memberi gambaran sikap (profile) dari pelaku dan dapat menjadi petu njuk bagi penyidik. Pada kasus pembunuhan mungkin juga diperlukan otopsi spikolo gi yang dilakukan oleh spikiater, spikolog, dan patholog forensik, dengan tujuan penelaahan ulang tingkah laku, kejadian seseorang sebelum melakukan tindak krim inal atau sebelum melakukan bunuh diri. Masalah spikologi (jiwa) dapat memberi b erpengaruh atau dorongan bagi seseorang untuk melakukan tindak kejahatan, atau p erbuatan bunuh diri. Entomologi forensik, Entomologi adalah ilmu tentang serangg a. Ilmu ini memperlajari jenisjenis serangga yang hidup dalam fase waktu tertent u pada suatu jenasah di tempat terbuka. Berdasarkan jenis jenis serangga yang ad a sekitar mayat tersebut, seorang entomolog forensik dapat menduga sejak kapan m ayat tersebut telah berada di tempat kejadian perkara (TKP). Antrofologi forensi k, adalah ahli dalam mengidentifikasi sisa sisa tulang, tengkorak, dan 3

mumi. Dari penyidikannya dapat memberikan informasi tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur, dan waktu kematian. Antrofologi forensik mungkin juga dapat mend ukung dalam penyidikan kasus orang hidup, seperti indentifiksi bentuk tengkorak bayi pada kasus tertukarnya anak di rumah bersalin. Balistik forensik, bidang il mu ini sangat berperan dalam melakukan penyidikan kasus tindak kriminal dengan s enjata api dan bahan peledak. Seorang balistik forensik meneliti senjata apa yan g telah digunakan dalam kejahatan tersebut, berapa jarak dan dari arah mana pene mbakan tersebut dilakukan, meneliti apakah senjata yang telah digunakan dalam ti ndak kejahatan masih dapat beroperasi dengan baik, dan meneliti senjata mana yan g telah digunakan dalam tindak kriminal tersebut. Pengujian anak peluru yang dit emukan di TKP dapat digunakan untuk merunut lebih spesifik jenis senjata api yan g telah digunakan dalam kejahatan tersebut. Pada bidang ini memerlukan peralatan khusus termasuk miskroskop yang digunakan untuk membandingkan dua anak peluru d ari tubuh korban dan dari senjata api yang diduga digunakan dalam kejahatan ters ebut, untuk mengidentifikasi apakah memang senjata tersebut memang benar telah d igunakan dalam kejahatan tersebut. Dalam hal ini diperlukan juga mengidentifikas i jenis selongsong peluru yang tertinggal. Dalam penyidikan ini analisis kimia d an fisika diperlukan untuk menyidikan dari senjata api tersebut, barang bukti ya ng tertinggal. Misal analisis ditribusi logam logam seperti Antimon (Sb) atau ti mbal (Pb) pada tangan pelaku atau terduga, untuk mencari pelaku dari tindak krim inal tersebut. Atau analisis ditribusi asap (jelaga) pada pakaian, untuk mengide ntifikasi jarak tembak. Kerjasama bidang ini dengan kedokteran forensik sangat s ering dilakukan, guna menganalisis efek luka yang ditimbulkan pada korban dalam merekonstruksi suatu tindak kriminal dengan senjata api. Serologi dan Biologi mo lekuler forensik, Seiring dengan pesatnya perkembangan bidang ilmu biologi molek uler (imunologi dan genetik) belakangan ini, pemanfaatan bidang Pengantar Menuju Ilmu Forensik ilmu ini dalam proses peradilan meningkat dengan sangat pesat. Baik darah maupun cairan tubuh lainnya paling sering digunakan / diterima sebagai bukti fisik dal am tindak kejahatan. Seperti pada kasus keracunan, dalam pembuktian dugaan terse but, seorang dokter kehakiman bekerjasama dengan toksikolog forensik untuk melak ukan penyidikan. Dalam hal ini barang bukti yang paling sahih adalah darah dan/a tau cairan tubuh lainnya. Toksikolog forensik akan melakukan analisis toksikolog i terhadap sampel biologi tersebut, mencari senyawa racun yang diduga terlibat. Berdasarkan temuan dari dokter kehakiman selama otopsi jenasah dan hasil analisi snya, toksikolog forensik akan menginterpretasikan hasil temuannya dan membuat k esimpulan keterlibatan racun dalam tindak kejahatan yang dituduhkan. Sejak awal perkembanganya pemanfaatan serologi / biologi molekuler dalam bidang forensik le bih banyak untuk keperluan identifikasi personal (perunutan identitas individu) baik pelaku atau korban. Sistem penggolongan darah (sistem ABO) pertama kali dik embangkan untuk keperluan penyidikan (merunut asal dan sumber bercak darah pada tempat kejadian). Belakangan dengan pesatnya perkembangan ilmu genetika (analisi DNA) telah membuktikan, bahwa setiap individu memiliki kekhasan sidik DNA, sehi ngga kedepan sidik DNA dapat digunakan untuk menggantikan peran sidik jari, pada kasus dimana sidik jari sudah tidak mungkin bisa diperoleh. Dilain hal, analisa DNA sangat diperlukan pada penyidikan kasus pembunuhan mutilasi (mayat terpoton gpotong), penelusuran paternitas (bapak biologis). Analisa serologi/biologi mole kuler dalam bidang forensik bertujuan untuk: Uji darah untuk menentukan sumber nya (darah manusia atau hewan, atau warna dari getah tumbuhan, darah pelaku atau korban, atau orang yang tidak terlibat dalam tindak kejahatan tersebut) Uji c airan tubuh lainnya (seperti: air liur, semen vagina atau sperma, rambut, potong an kulit) untuk menentukan sumbernya (origin). 4

Uji imonologi atau DNA individu untuk mencari identitas seseorang. 1.3. Peran ilmu forensik dalam penyelesaian kasus kejahatan Perdanakusuma (1984) mengelompo kkan ilmu forensik berdasarkan peranannya dalam menyelesaikan kasus kasus krimin al ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Ilmu ilmu forensik yang menangani tindak kr iminal sebagai masalah hukum. Dalam kelompok ini termasuk hukum pidana dan hukum acara pidana. Kejahatan sebagai masalah hukum adalah aspek pertama dari tindak kriminal itu sendiri, karena kejahatan merupakan perbuatan perbuatan yang melang gar hukum. 2. Ilmu Ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah teknis. Kejahatan dipandang sebagai masalah teknis, karena kejahatan dari segi w ujud perbuatannya maupun alat yang digunakannya memerlukan penganan secara tekni s dengan menggunakan bantuan diluar ilmu hukum pidana maupun acara pidana. Dalam kelompok ini termasuk ilmu kriminalistik, kedokteran forensik, kimia forensik, fisika forensik, toksikologi forensik, serologi/biologi molekuler forensik, odon tologi forensik, dan entomogoli forensik. Pada umumnya suatu laboratorium krimin alistik mencangkup bidang ilmu kedokteran forensik, kimia forensik dan ilmu fisi ka forensik. Bidang kimia forensik mencangkup juga analisa racun (toksikologi fo rensik), sedangkan ilmu fisika forensik mempunyai cabang yang amat luas termasuk : balistik forensik, ilmu sidik jari, fotografi forensik. Apabila terjadi suatu kasus kejahatan, maka pada umumnya timbul pertanyaanpertanyaan seperti: Peristiw a apa yang terjadi? Di mana terjadinya? Bilamana terjadinya? Dengan alat apa dil akukannya? Bagaimana melakukannya? Mengapa perbuatan tersebut dilakukan? Siapa y ang melakukan? Pengantar Menuju Ilmu Forensik Pertanyaan peristiwa apa yang terjadi adalah mencari jenis kejahatan yang terjad i, misalnya pembunuhan atau bunuh diri. Dengan bantuan ilmu kedokteran forensik atau bidang ilmu lainnya, dapat disimpulkan penyebabnya adalah bunuh diri. Oleh sebab itu penyidik tidak perlu melakukan penyidikan selanjutnya guna mencari sia pa pelaku dari peristiwa tersebut, karena kematian diakibatkan oleh perbuatannya sendiri. 3. Ilmu ilmu forensik yang menangani tindak kriminal sebagai masalah m anusia. Dalam kelompok ini termasuk kriminologi, psikologi forensik, dan psikiat ri/neurologi forensik. Kejahatan sebagai masalah manusia, karena pelaku dan obje k penghukuman dari tindak kriminal tersebut adalah manusia. Dalam melakukan perb uatannya, manusia tidak terlepas dari unsur jasmani (raga) dan jiwa. Disamping i tu, kodrat manusia sebagai mahluk sosial, yang hidup di tengah tengah masyarakat . Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan juga dipengaruhi oleh faktor internal (dorongan dari dalam dirinya sendiri) dan faktor eksternal (dipengaruhi oleh li ngkungannya). Atas asas keadilan, dalam pemutusan sangsi dari tindak pidana, per lu ditelusuri faktorfaktor yang menjadi sebab seseorang itu melakukan kejahatan. Untuk itu perlu diteliti berbagai aspek yang menyangkut kehidupannya, seperti f aktor kejiwaan, keluarga, dan faktor lingkungan masyarakatnya. Seseorang melakuk an tindak kriminal mungkin didorong oleh latar belakang kejiwaannya, atau karena keadaan ekonomi keluarganya, ataupun karena pengaruh dari keadaan sosial masyar akatnya. Dalam hal ini peran serta kriminolog, psikolog forensik, dan psikiater forensik mempunyai peran penting dalam menyelesaikan kasus kejahatan. Berdasarka n klasifikasi diatas peran ilmu forensik dalam menyelesaikan masalah / kasuskasu s kriminal lebih banyak pada penanganan kejahatan dari masalah teknis dan manusi a. Sehingga pada umumnya laboratorium forensik dimanfaatkan untuk kepentingan pe radilan, khususnya perkara pidana. 5

1.4. Langkah langkah Penyidikan Dalam sistem peradilan pidana yang berlaku di In donesia, peradilan perkara pidana diawali oleh penyidikan yang dilakukan oleh pe nyidik tunggal (lebih tepatnya penyidik umum) yang dilakukan oleh kepolisian (Po lri), dalam khasus khasus khusus (tindak kejahatan ekonomi dan pelanggaran Hak A sasi Manusia) pihak kejaksaan dapat melakukan penyidikan. Sampurna (2000) mengga mbarkan proses penyidikan sampai ke persidangan (gambar 1.1). Upaya penyidikan p ada umumnya bermuara pada proses penuntutan dan disusul oleh proses pengadilan. Proses ini dikenal sebagai upaya litigasi. Upaya penyidikan dilakukan setelah su atu peristiwa atau kejadian dianggap peristiwa hukum, yaitu peristiwa atau kejad ian yang dapat mengganggu kedamaian hidup antar pribadi. Lingkup antar pribadi k hususnya antara seseorang (memikul kepentingan pribadi) dihadapkan dengan masyar akat atau negara yang memikul suatu kepentingan umum. Penyelasaian kasus kasus k riminal diperlukan pembuktian peristiwa kasus yang terjadi sampai membuktikan pe laku yang terlibat dalam tindak kriminal tersebut. Pembuktian dari suatu perkara pidana adalah upaya untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana y ang diperkarakan dan bahwa si terdakwalah pelaku tindak pidana tersebut. Pembukt ian dilakukan dengan mengajukan alat bukti yang sah ke depan persidangan. Guna m endapatkan atau setidak tidaknya mendekati kebenaraan materiil, dalam pembuktian (penyidikan dan pemeriksaan bukti fisik) harus dilakukan pembuktian secara ilmi ah. Menurut Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 184 ayat 1 menyebutkan bahwa alat bukti yang sah terdiri dari 5 jenis, yaitu: a. Keterangan saksi b. Keterang an ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa Tindak Pidana Dilaporkan ke Ditemukan oleh polisi Penyelidikan Penyidikan Pernya taan dan Catatan Pemeriksaan TKP Identifikasi Bukti fisik Penyelidikan lanjutan Pemberkasan Pelimpahan Berkas ke Penuntut Umum Persidangan Gambar 1.1: Skema penyidikan (Sampurna 2000) langkah langkah Alat bukti yang sah adalah alat bukti yang sesuai dengan hukum, yaitu memenuhi p risip admissibility (dapat diterima) sebagaimana diatur oleh perundang undangan ya ng berlaku. Pengertian keterangan saksi menurut KUHAP adalah salah satu alat buk ti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristi wa yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dan dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya tersebut. Keterangan saksi tidak boleh berupa pendap at atau hasil rekaan saksi, ataupun keterangan dari orang lain (KUHAP pasal 185) . Ketentuan keterangan saksi diatur dalam pasal 168, 170, 171 dan 185 KUHAP. Dal am pasalpasal tersebut mengatur ketentuan keterangan saksi siapa siapa yang berh ak, tidak berhak, atau berkompeten menjadi saksi pada suatu tindak pidana. Keter angan saksi dianggap sah apabila diajukan oleh sedikitnya dua orang saksi. Bila berasal dari satu orang saja, harus didukung oleh alat bukti sah lain. Keteranga n saksi juga harus diberikan oleh orang yang berkompeten, yaitu orang yang mampu secara 6 Pengantar Menuju Ilmu Forensik

hukum. Orang disebut berkompeten apabila tidak di bawah umur dan tidak di dalam pengampuan, misal sakit jiwa. Perngertian umum keterangan ahli, sesuai dengan pa sal 1 butir 28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlakukan untuk membuat terang suatu perkar a pidana guna kepentingan pemeriksaan. Pasal 186 KUHAP menjelaskan bahwa: ketera ngan ahli dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau jaksa penunt ut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat s umpah diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal tersebut diberikan pada waktu pemeriksaan oleh tim penyidik atau jaksa penuntut umum, maka pada pemeriks aan di sidang, diminta keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Ke terangan tersebut diberikan sebelum mengucapkan sumpah janji di depan hakim. Pas al 187 memuat ketentuan tentang surat sebagaimana tersebutkan pada pasal 184 hur up c, surat dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat dapat berupa: a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh peja bat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan te ntang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri, disert ai dengan alasan yang jelas dan tegas tetang keterangannya itu. b) Surat yang di buat menurut ketentuan peraturan perundang undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat yang menangani hal yang termasuk dalam tatalaksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan. c ) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlianny a yang diminta secara resmi dari padanya. d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Yang dimaksudka n surat menurut penjelasan diatas adalah surat yang dibuat oleh pejabatpejabat r esmi yang berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat yang lain Pengantar Menuju Ilmu Forensik yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili. Petunjuk menurut KUH AP adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persuaiannya, baik antar a satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bah wa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk dapat berupa fotografi, foto kopi, kaset rekaman, rekaman vidio, atau barang bukti lainnya ya ng diketemukan di tempat kejadian perkara (TKP). Barang bukti tersebut dapat dig unakan sebagai rekonstruksi kasus atau penelusuran identitas pelaku. Alat yang p aling terakhir menurut KUHAP adalah keterangan terdakwa, merupakan keterangan da ri terdakwa tentang apa yang ia lakukan, ia ketahui sendiri, atau ia alami sendi ri. Bukti fisik yang diketemukan di TKP dapat dikelompokkan menjadi 4 (Sampurna 2000), yaitu: a) Bukti transient. Bukti ini sesuai dengan sifatnya hanya sementa ra dan akan dengan mudah hilang atau berubah. Sebagai contoh adalah: buah buahan , suhu, imprints dan indentation (tanda tanda yang ditimbulkan akibat tekanan, s eperti tanda jejak sepatu, atau tapak ban mobil pada kasus kecelakaan bermotor), tanda tanda seperti lembam mayat, jejak bibir di puntung rokok, bercak darah di pakaian yang akan dicuci, dll. Bukti seperti ini diketemukan oleh penyidik di T KP, dan harus segera dicatat dan didokumentasikan. b) Bukti pola, seperti percik an bercak darah, pola pecahan kaca/gelas, pola kebakaran, pola posisi furnitur, trayektori proyektil, dan posisi mayat, dll. c) Bukti kondisional, seperti deraj at kekakuan mayat, distribusi lembam mayat, apakah pintu terkunci, apakah lampu menyala, ketebalan dan arah geraknya asap. d) Bukti yang dipindahkan (transfer), yang merupakan bukti fisik yang paling klasik. Bukti transfer terjadi karena ko ntak antara orang orang atau benda benda, atau antar orang dengan benda. Dalam k riminalistik dikenal dua prinsip utama, yaitu: prinsip Locard yang menyatakan ba hwa setiap kontak meninggalkan jejak every 7

contact leaves a trace dan prinsip individualitas yang menyatakan bahwa dua objek mungkin tidak dapat dibedakan, tetapi tidak ada dua objek yang identik. Gabunga n kedua prisip ini dapat diturunkan suatu pernyataan bahwa apabila tidak ada dua orang atau benda yang identik, maka setiap jejak yang ditinggalkan orang atau b enda harus berbeda dengan jejak orang atau benda yang lain. Ahli forensik dan kr iminilalistik berperan dalam upaya pembuktian dengan menyediakan dua alat bukti yang sah, yaitu keterang ahli dan surat (yang dibuat oleh ahli). Dalam hal ini k eterangan ahli tidak dibatasi dengan ketentuan tentang yang merupa kan hal hal ya ng dialami atau didengar atau dilihat sendiri oleh saksi, melainkan diberi peluan g untuk memberikan pendapat atau opini berdasarkan keahliannya, sepanjang ketent uan yang berlaku. Keterangan ahli atau surat keterangan oleh ahli harus diberika n oleh seseorang ahli yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan berisikan ketera ngan yang berada dalam lingkup keahliannya (bukan keterangan bersifat awam) (Sam purna, 2000). Dalam memberikan atau menuliskan pendapat atau opini seorang ahli harus berdasar kan hasil temuan atau data adekuat baik yang diperoleh dari pemer iksaan bukti fisik maupun dengan membandingkannya terhadap data di literatur, re ferensi ilmiah yang terkini, dan secara teknis dianggap benar, serta menggunakan prinsip dan metode ilmiah yang diakui. Pendapat ahli satu dengan yang lainnya t entang suatu hal tentu dapat berbeda, hal ini berdasarkan latar belakang keahlia nnya (ilmu yang mendasari dalam membuat keterangan), kecanggihan teknologi dari alat yang digunakan memeriksa barang bukti, metode analisis, dan berbagai aspek lainnya. Sehingga pemeriksaan kriminalistik harus diberi peluang untuk melakukan pemeriksaan ulang, baik oleh institusi yang sama maupun institusi yang lain. Se cara tradisi di Indonesia, bahwa sejak lama keputusan apakah di dalam pemecahan suatu kasus pidana atau perdata diperlukan buktibukti ilmiah tidak berada ditang an para ahli forensik atau kriminalistik melainkan di tangan para penegak hukum. Para ahli forensik dan kriminalistik cendrung bersikap sebagai Pengantar Menuju Ilmu Forensik pendukung saja di dalam suatu proses peradilan pidana atau perdata. Hal ini tent unya merupakan kendala dalam pembuktian secara ilmiah kasus pidana maupun penega kan hukum. Akan tetapi di lain sisi sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman No .M.01.PW.07.03 tahun 1983 dituntut pembuktian secara ilmiah dengan tujuan untuk mendapatkan kebenaran materiil. Untuk itu diperlukan kerjasama antara aparat pen egak hukum dan ahli forensik. Meskipun demikian harus diakui pula bahwa pada akh ir akhir ini memang sedang terjadi pergeseran peran ahli forensik, yaitu dari be rsifat pasif menjadi akfit. Sampurna (2000) menggambarkan bahwa ahli forensik ma upun kriminalistik dapat terlibat pada setiap tahap peyidikan (lihat gambar 1.1) . Bahan Bacaan 1) Eckert, W.G., 1980, Introduction to Forensic sciences, The C.V . Mosby Company, St. Louis, Missori 2) Kansil, CST, 1991, Pengantar hukum keseha tan Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 3) Loomis, T.A., 1978, Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.) IKIP Semarang Press, Semarang 4) Perdanakusuma, P., 1984, Bab bab tentang kedokteran forensik, Ghalia Indonesia, Jakarta 5) Purwandi anto, A. 2000, Pemanfaatan Laboratorium Forensik Untuk Kepentingan Non Litigasi, dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek Pengembangan Kewi rahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik, Lembaga Pengabdian Kepada M asyarakat Universitas Indonesia, Jakarta 6) Saferstein R., 1995, Criminalistics, an Introduction to Forensic Science, 5th Ed., A Simon & Schuster Co., Englewood Cliffs, New Jersey 7) Sampurna, B., 2000, Laboratorium Kriminalistik Segabai Sa rana Pembuktian Ilmiah, dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, P royek Pengembangan Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik, Lemb aga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta 8

BAB II PENGANTAR TOKSIKOLOGI 2.1. Perkembangan Awal Toksikologi Sejak perkembang an peradaban manusia dalam mencari makannya, tentu telah mencoba beragam bahan b aik botani, nabati, maupun dari mineral. Melalui pengalamannya ini ia mengenal m akanan, yang aman dan berbaya. Dalam kontek ini kata makanan dikonotasikan ke da lam bahan yang aman bagi tubuhnya jika disantap, bermanfaat serta diperlukan ole h tubuh agar dapat hidup atau menjalankan fungsinya. Sedangkan kata racun merupa kan istilah yang digunakan untuk menjelaskan dan mengambarkan berbagai bahan zat kimia yang dengan jelas berbahaya bagi badan. Kata racun toxic adalah bersaral dari bahasa Yunani, yaitu dari akar kata tox, dimana dalam bahasa Yunani berarti pan ah. Dimana panah pada saat itu digunakan sebagai senjata dalam peperangan, yang selalu pada anak panahnya terdapat racun. Di dalam Papyrus Ebers (1552 B.C.) oran g Mesir kuno memuat informasi lengkap tentang pengobatan dan obat. Di Papyrus in i juga memuat ramuan untuk racun, seperti antimon (Sb), tembaga, timbal, hiosiam us, opium, terpentine, dan verdigris (kerak hijau pada permukaan tembaga). Sedan gkan di India (500 600 B.C.) di dalam Charaka Samhita disebutkan, bahwa tembag a, besi, emas, timbal, perak, seng, bersifat sebagai racun, dan di dalam Susrata Samhita banyak menulis racun dari makanan, tananaman, hewan, dan penangkal racu n gigitan ular. Hippocrates (460 370 B.C.), dikenal sebagai bapak kedokteran, di samping itu dia juga dikenal sebagai toksikolog dijamannya. Dia banyak menulis r acun bisa ular dan didalam bukunya juga menggambarkan, bahwa orang Mesir kuno te lah memiliki pengetahuan penangkal racun, yaitu dengan menghambat laju absorpsi racun dari saluran pencernaan. Disamping banyak lagi nama besar toksikolog pada jaman ini, terdapat satu nama yang perlu mendapat catatan disini, yaitu besar pa da jaman Mesir dan Romawi kuno adalah Pendacious Dioscorides (A.D. 50), dikenal sebagai bapak Materia Medika, adalah seorang dokter tentara. Di dalam bukunya di a Pengantar Toksikologi mengelompok kan racun dari tanaman, hewan, dan mineral. Hal ini membuktikan, bah wa efek berbahaya (toksik) yang ditimbulkan oleh zat racun (tokson) telah dikena l oleh manusia sejak awal perkembangan beradaban manusia. Oleh manusia efek toks ik ini banyak dimanfaatkan untuk tujuan seperti membunuh atau bunuh diri. Untuk mencegah peracunan, orang senantiasa berusaha menemukan dan mengembangkan upaya pencegahan atau menawarkan racun. Usaha ini seiring dengan perkembangan toksikol ogi itu sendiri. Namun, evaluasi yang lebih kritis terhadap usaha ini baru dimul ai oleh Maimonides (1135 1204) dalam bukunya yang terkenal Racun dan Andotumny a. Sumbangan yang lebih penting bagi kemajuan toksikologi terjadi dalam abad ke 16 dan sesudahnya. Paracelcius adalah nama samaran dari Philippus Aureolus Theop hratus Bombast von Hohenheim (1493 1541), toksikolog besar, yang pertama kali me letakkan konsep dasar dasar dari toksikologi. Dalam postulatnya menyatakan: Semua zat adalah racun dan tidak ada zat yang tidak beracun, hanya dosis yang membuat nya menjadi tidak beracun. Pernyataan pernyataan ini menjadi dasar bagi konsep hu bungan dosis reseptor dan indeks terapi yang berkembang dikemudian hari. Matthie u Joseph Bonaventura Orfila dikenal sebagai bapak toksikologi modern. Ia adalah orang Spayol yang terlahir di pulau Minorca, yang hidup antara tahun 1787 sampai tahun 1853. Pada awak karirnya ia mempelajari kimia dan matematika, dan selanju tnya mempelajari ilmu kedokteran di Paris. Dalam tulisannya (1814 1815) mengemba ngkan hubungan sistematik antara suatu informasi kimia dan biologi tentang racun . Dia adalah orang pertama, yang menjelaskan nilai pentingnya analisis kimia gun a membuktikan bahwa simtomatologi yang ada berkaitan dengan adanya zat kimia ter tentu di dalam badan. Orfila juga merancang berbagai metode untuk mendeteksi rac un dan menunjukkan pentingnya analisis kimia sebagai bukti hukum pada kasus kema tian akibat keracunan. Orfila 9

bekerja sebagai ahli medikolegal di Sorbonne di Paris. Orfila memainkan peranan penting pada kasus LaFarge (kasus pembunuhan dengan arsen) di Paris, dengan meto de analisis arsen, ia membuktikan kematian diakibatkan oleh keracuanan arsen. M. J.B. Orfila dikenal sebagai bapak toksikologi modern karena minatnya terpusat pa da efek zat tokson, selain itu karena ia memperkenalkan metodologi kuantitatif k e dalam studi aksi zat tokson pada hewan, pendekatan ini melahirkan suatu bidang toksikologi modern, yaitu toksikologi forensik. Dalam bukunya Traite des poison , terbit pada tahun 1814, dia membagi racun menjadi enam kelompok, yaitu: corros ives, astringents, acrids, stupefying or narcotic, narcoticacid, dan septica ata u putreficants. 2.2. Pengertian Toksikologi dan Racun Secara sederhana dan ringk as, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk hidup dan si stem biologik lainnya. Ia dapt juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tad i. Apabila zat kimia dikatakan berracun (toksik), maka kebanyakan diartikan seba gai zat yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi t ertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: d osis, konsentrasi racun di reseptor, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme at au sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbul kan. Sehingga apabila menggunakan istilah toksik atau toksisitas, maka perlu unt uk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek berbahaya itu timbul. Sedangk an toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya m enimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada suatu organis me. Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam memperban dingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang infor matif, kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme b iologi yang sedang Pengantar Toksikologi dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut berbahaya. O leh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah / studi tenta ng berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada m ekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek berbahay a itu terjadi. Pada umumnya efek berbahaya (efek farmakologik) timbul apabila te rjadi interaksi antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan resepto r (tempat berikatnya tokson). Terdapat dua aspek yang harus diperhatikan dalam m empelajari interakasi antara zat kimia (zat aktif biologis) dengan organisme hid up, yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek farmakodinamik / toksodinam ik) dan pengaruh organisme terhadap zat aktif (aspek farmakokinetik / toksokinet ik) aspek ini akan lebih detail dibahas pada sub bahasan kerja toksik. Telah dip ostulatkan oleh Paracelcius, bahwa sifat toksik suatu tokson sangat ditentukan o leh dosis (konsentrasi tokson pada reseptornya). Artinya kehadiran suatu zat yan g berpotensial toksik di dalam suatu organisme belum tentu menghasilkan juga ker acunan. Misal insektisida rumah tangga (DDT) dalam dosis tertentu tidak akan men imbulkan efek yang berbahaya bagi manusia, namun pada dosis tersebut memberikan efek yang mematikan bagi serangga. Hal ini disebabkan karena konsentrasi tersebu t berada jauh dibawah konsentrasi minimal efek pada manusia. Namun sebaliknya ap abila kita terpejan oleh DDT dalam waktu yang relatif lama, dimana telah diketah ui bahwa sifat DDT yang sangat sukar terurai dilingkungan dan sangat lifofil, ak an terjadi absorpsi DDT dari lingkungan ke dalam tubuh dalam waktu relatif lama. Karena sifat fisiko kimia dari DDT, mengakibatkan DDT akan terakumulasi (tertim bun) dalam waktu yang lama di jaringan lemak. Sehingga apabila batas konsentrasi toksiknya terlampaui, barulah akan muncul efek toksik. Efek atau kerja toksik s eperti ini lebih dikenal dengan efek toksik yang bersifat kronis. Toksin Clostri dium botulinum, adalah salah satu contoh tokson, dimana dalam konsentrasi yang s angat rendah (10 9 mg/kg berat badan), sudah dapat mengakibatkan efek kematian. 10

Berbeda dengan metanol, baru bekerja toksik pada dosis yang melebihi 10 g. Pengo batan parasetamol yang direkomendasikan dalam satu periode 24 jam adalah 4 gram untuk orang dewasa dan 90 mg / kg untuk anak anak. Namun pada penggunaan lebih d ari 7 gram pada orang dewasa dan 150 mg/kg pada anakanak akan menimbulkan efek t oksik. Dengan demikian, resiko keracunan tidak hanya tergantung pada sifat zatny a sendiri, tetapi juga pada kemungkinan untuk berkontak dengannya dan pada jumla h yang masuk dan diabsorpsi. Dengan kata lain tergantung dengan cara kerja, frek uensi kerja dan waktu kerja. Antara kerja (atau mekanisme kerja) sesuatu obat da n sesuatu tokson tidak terdapat perbedaan yang prinsipil, ia hanya relatif. Semu a kerja dari suatu obat yang tidak mempunyai sangkut paut dengan indikasi obat y ang sebenarnya, dapat dinyatakan sebagai kerja toksik. Kerja medriatik (pelebara n pupil), dari sudut pandangan ahli mata merupakan efek terapi yang dinginkan, n amun kerja hambatan sekresi, dilihat sebagai kerja samping yang tidak diinginkan . Bila seorang ahli penyakit Farmakologi dalam menggunakan zat yang sama untuk terapi, lazimnya keadaan ini manjadi terba lik. Pada seorang anak yang tanpa menyadarinya telah memakan buah Atropa bellado nna, maka mediaris maupun mulut kering harus dilihat sebagai gejala keracuanan. Oleh sebab itu ungkapan kerja terapi maupun kerja toksik tidak pernah dinilai se cara mutlak. Hanya tujuan penggunaan suatu zat yang mempunyai kerja farmakologi dan dengan demikian sekaligus berpotensial toksik, memungkinkan untuk membedakan apakah kerjanya sebagai obat atai sebagai zat racun. Tidak jarang dari hasil pe nelitian toksikologi, justru diperoleh senyawa obat baru. Seperti penelitian rac un (glikosida digitalis) dari tanaman Digitalis purpurea dan lanata, yaitu diper oleh antikuagulan yang bekerja tidak langsung, yang diturunkan dari zat racun ya ng terdapat di dalam semanggi yang busuk. Inhibitor asetilkolinesterase jenis es ter fosfat, pada mulanya dikembangkan sebagai zat kimia untuk perang, kemudian d igunakan sebagai insektisida dan kini juga dipakai untuk menangani glaukoma. Immunologi Patologi Biologi Kimia Matematika Toksikologi Fisiologi Kesehatan masyarakat

Gambar 2.1: Hubungan ilmu dasar dan terapan dengan cabang toksikologi. Toksikolo gi modern merupakan bidang yang didasari oleh multi displin ilmu, ia dengan dapa t dengan bebas meminjam bebarapa ilmu dasar, guna mempelajari interaksi antara z at tokson dan mekanisme biologi yang ditimbulkan (lihat gambar 2.1). Ilmu toksik ologi ditunjang oleh berbagai ilmu dasar, seperti Pengantar Toksikologi kimia, biologi, fisika, matematika. Kimia analisis dibutuhkan untuk mengetahui j umlah toksikan yang melakukan ikatan dengan reseptor sehingga dapat memberikan e fek toksik. Bidang ilmu biokimia diperlukan guna mengetahui informasi penyimpang an reaksi kimia pada organisme yang diakibatkan oleh 11

Forensik:

Aspek medikolegal

Ekonomi (dari segi manfaat): pestisida

Perkembangan obat, zat tambahan pada makanan dan Diagnosis Terapi

Lingkungan:

Pencemaran

Akumulasi pencemaran

Kesehatan lingkungan kerja

zat tokson. Perubahan biologis yang diakibatkan oleh zat tokson dapat diungkap m elalui bantuan ilmu patologi, immonologi, fisiologi. Untuk mengetahui efek berba haya dari suatu zat kimia pada suatu sel, jaringan atau organisme memerlukan duk ungan ilmu patologi, yaitu dalam menunjukan wujud perubahan / penyimpangan kasar , mikroskopi, atau penyimpangan submikroskopi dari normalnya. Perubahan biologi akibat paparan tokson dapat termanisfestasi dalam bentuk perubahan sistem kekeba kan (immun) tubuh, untuk itu diperlukan bidang ilmu immunologi guna lebih dalam mengungkap efek zat toksik pada sistem kekebalan organisme. Mengadopsi konsep da sar yang dikemukakan oleh Paracelcius, manusia menggolongkan efek yang ditimbulk an oleh zat tokson menjadi konsentrasi batas minimum memberikan efek, daerah kon sentrasi dimana memberikan efek yang menguntungkan (efek terapeutik , lebih dike nal dengan efek farmakologi), batas konsentrasi dimana sudah memberikan efek ber bahaya (konsetrasi toksik), dan konstrasi tertinggi yang dapat menimbulkan efek kematian. Agar dapat menetapkan batasan konsentrasi ini toksikologi memerlukan d ukungan ilmu kimia analisis, biokimia, maupun kimia instrmentasi, serta hubungan nya dengan biologi. Ilmu statistik sangat diperlukan oleh toksikologi dalam meng olah baik data kualitatif maupun data kuantitatif yang nantinya dapat dijadikan sebagai besaran ekspresi parameter parameter angka yang mewakili populasi. Bidan g yang paling berkaitan dengan toksikologi adalam farmakologi, karena ahli farma kologi harus memahami tidak hanya efek bermanfaat zat kimia, tetapi juga efek be rbahayanya yang mungkin diterapkan pada penggunaan terapi. Farmakologi pada umum nya menelaah efek toksik, mekanisme kerja toksik, hubungan dosis respon, dari su atu tokson. 2.3. Cakupan dan Subdisiplin Toksikologi Toksikologi sangat luas cak upannya. Ia menangani studi efek toksik toksisitas di berbagai bidang, LU (1995) m engelompokkan ke dalam empat bidang, yaitu: bidang kedokteran untuk tujuan diagn ostik, pencegahan, dan terapeutik, Pengantar Toksikologi dalam industri makanan sebagai zat tambahan baik langsung maupun tidak langsung, dalam pertanian sebagai pestisida zat pengatur pertumbuhan, peyerbuk bantuan, d an zat tambahan pada makanan hewan, dalam bidang industri kimia sebagai pelarut, komponen, dan bahan antara bagi plstik serta banyak jenis bahan kimia lainnya. Di dalam industri kimia juga dipelajari pengaruh logam (misal dalam dalam pertam bangan dan tempat peleburan), produk minyak bumi, kertas dan pulpa, tumbuhan ber acun, dan racun hewan terhadap kesehatan. LOOMIS (1979) berdasarkan aplikasinya toksikologi dikelompokkan dalam tiga kelompok besar, yakni: toksikologi lingkung an, toksikologi ekonomi dan toksikologi forensik. Toksikologi lingkungan lebih m emfokuskan telaah racun pada lingkungan, seperti pencemaran lingkungan, dampak n egatif dari akumulasi residu senyawa kimia pada lingkungan, kesehatan lingkungan kerja. Toksikologi ekonomi membahas segi manfaat dan nilai ekonomis dari senobi otik. Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi ilmu toksikologi untuk k epentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah analisis racu n baik kualitatif maupun kuantitatif sebagai bukti dalam tindak kriminal (forens ik) di pengadilan. Masih dijumpai subdisiplin toksikologi lainnya selain tiga go longan besar diatas, seperti toksikologi analisis, toksikologi klinik, toksikolo gi kerja, toksikologi hukum, dan toksikologi mekanistik. Untuk menegakan terapi keracunan yang spesifik dan terarah, diperlukan kerjasama antara dokter dan toks ikolog klinik. Hasil analisis toksikologi dapat memastikan diagnose klinis, dima na diagnose ini dapat dijadikan dasar dalam melakukan terapi yang cepat dan tepa t, serta lebih terarah, sehingga ancaman kegagalan pengobatan (kematian) dapat d ihindarkan. Analisis toksikologi klinik dapat berupa analisis kualitatif maupun kuantitatif. Dari hasil analisis kualitatif dapat dipastikan bahwa kasus keracun an adalah memang benar diakibatkan oleh instoksikasi. Sedangkan dari hasil anali sis kuantitatif dapat 12

diperoleh informasi tingkat toksisitas pasien. Dalam hal ini diperlukan interpre tasi konsentrasi toksikan, baik di darah maupun di urin, yang lebih seksama. Unt uk mengetahui tepatnya tingkat toksisitas pasien, biasanya diperlukan analisis t oksikan yang berulang baik dari darah maupun urin. Dari perubahan konsentrasi di darah akan diperoleh gambaran apakah toksisitas pada fase eksposisi atau sudah dalam fase eleminiasi. Keracunan mungkin terjadi akibat pejanan tokson di tempat kerja. Hal ini mungkin dapat mengkibatkan efek buruk yang akut maupun kronik. E fek toksik yang ditimbulkan oleh kesehatan dan keselamatan kerja merupakan masal ah bidang toksikologi kerja. Toksikologi kerja merupakan subbagian dari toksikol ogi lingkungan. Toksikologi hukum mencoba melindungi masyarakat umum dari efek b erbahaya tokson dengan membuat undang undang, peraturan, dan standar yang membat asi atau melarang penggunaan zat kimia yang sangat beracun, juga dengan menentuk an syarat penggunaan zat kimia lainnya. Gambaran lengkap tentang efek toksik san gat diperlukan untuk menetapkan peraturan dan standar yang baik. Profil semacam itu hanya dapan ditentukan lewat berbagai jenis penelititan toksikologi yang rel evan, dan ini membentuk dasar bagi toksikologi hukum. 2.4. Perkembangan Mutahir Toksikologi Dalam perkembangan beradaban modern, masyarakat menuntut perbaikan k ondisi kesehatan dan kehidupan, diantaranya makanan bergizi, mutu kesehatan yang tinggi, pakaian, transportasi. Untuk memenuhi tujuan ini, berbagai jenis bahan kimia harus diproduksi dan digunakan, banyak diantaranya dalam jumlah besar. Dip erkirakan berribu ribu bahan kimia telah diproduksi secara komersial baik di neg ara negara industri maupun di negara berkembang. Melalui berbagai cara bahan kim ia ini kontak dengan penduduk, dari terlibatnya manusia pada proses produksi, di stribusi ke konsumen, dan terakhir pada tingkat pemakai. Meningkatnya jumlah pen duduk dunia menuntut, salah satunya meningkatnya jumlah produksi pangan. Dalam h al ini diperlukan bahan kimia, seperti pupuk, pestisida,rebisida. Pengantar Toksikologi Tidak jarang pemakaian pestisida yang tidak sesuai dengan atuaran, atau berlebih justru memberi beban pencemaran terhadap lingkungan, perubahan ekosistem, karen a pembasmian pada salah satu insteksida akan berefek pada rantai makanan dari or ganisme tersebut, sehingga dapan juga mengakibatkan berkurangnya atau bahkan mus nahnya predator insek tersebut. Pemakaian pestisida, telah ditengarai mengakibat kan mutasi genetika dari insektisida tersebut, sehingga pada akhirnya melahirkan mutan insek yang justru resisten terhadap pestisida jenis tertentu. Pemakaian p ertisida yang tidak benar juga merupakan salah satu penginduksi toksisitas kroni k (menahun). Petani berkeinginan mendapatkan untung yang tinggi dari hasil perta niannya, tidak jarang penyemprotan pestisida berlebih justru dilakukan pada prod uk pertanian satu dua hari sebelum panen, dengan tujuan buah atau daun sayuran t idak termakan insek sebelum panen, dengan jalan demikian akan diperoleh buah ata u sayuran yang ranun, tidak termakan oleh insek. Namun tindakan ini justru memba hayakan konsumen, karena pestisida kemungkinan dapat terakumulasi secara perlaha n di dalam tubuh konsumen, melalui konsumsi buah atau sayuran yang sebelumnya di berikan pestisida sebelum panen. Banyaknya kasus keracunan masif akut dan keracu nan kronis, yang diakibatkan oleh pencemaran lingkungan akibat proses produksi. Seperti pada tahun 1930 di Detroit, Mich. kontaminasi ginger jake oleh Tri o kre sil, mengakibatkan neurotksis, telah mengakibatkan keracunan syaraf pada 16 ribu penduduk. Di London, pada tahun 1952, terjadi peningkatan jumlah kematian pendu duk akibat penyakit jantung dan paru paru. Hal ini disebabkan oleh kontaminasi u dara oleh Belerang dioksida dan partikel tersuspensi, yang merupakan limbah buan gan pabrik di Ingris pada saat itu. Penyakit Minamata di Jepang pada tahun 1950a n diakibatkan karena pembuangan limbah industri yang mengandung metil merkuri ke teluk Minamata, yang mengakibatkan ikan di teluk tersebut terkontaminasi oleh m etil merkuri. Ikan terkontaminasi ini dikonsumsi oleh penduduk disekitar teluk, mengakibatkan 13

deposisi (pengendapan) metil merkuri di dalam tubuh. Metil merkuri adalah senyaw a toksik yang mengakibatkan penyakit neurologik berat, salah satunya mengakibatk an kebutaan. Pada akhir 1950 an sampai awal tahun 1960 an, di Eropa Barat terjad i kasus keracunan yang dikenal dengan kasus Talidomid. Talidomid adalah senyawa kimia yang pertama disintesa untuk obat menekan rasa mual, muntah. Karena efekny a tersebut pada waktu itu banyak diresepkan pada ibu ibu hamil, dengan tujuan me nekan mual mutah yang sering muncul pada trimester pertama pada kehamilan. Efek samping yang muncul dari pemakaian ini adalah terlahir janin dengan pertumbuhan organ tubuh yang tidak lengkap, belakangan diketahui bahwa salah satu dari bentu k rasemat Talidomid ini memberikan efek menghambat tertumbuhan organ tubuh pada janin di masa kandungan. Salah satu contoh, kasus pencemaran lingkungan di Indon esia akibat proses produksi adalah kasus teluk Buyat. Sampai saat ini masih kont ropersial didiskusikan. Kejadian kejadian di atas dan peristiwa tragis keracunan masif lainnya telah menghasilkan program pengujian yang lebih intensif, yang te lah mengungkapkan beragamnya sifat dan sasaran efek toksik. Pada gilirannya ini menuntut lebih banyak penelitian pada hewan, lebih banyak indikator toksisitas, persyaratan yang lebih ketat sebelum suatu bahan kimia baru dapat dilepas pemaka iannya ke masyarakat, serta melakukan evaluasi dan pemantauan efek toksik senyaw a kimia yang telah beredar dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, ad a kebutuhan untuk mempermudah tugas penilaian toksikologik atas begitu banyak ba han kimia, dimana prosedur pengujian toksisitasnya menjadi semakin komplek. Untu k memenuhi kebutuhan ini, beberapa kreteria telah diajukan dan dipakai untuk mem ilih menurut prioritasnya bahan kimia yang akan diuji. Disamping itu, sistem peni laian berlapis memungkinkan keputusan dibuat pada berbagai tahap pengujian toksik ologik, sehingga dapat dihindarkan penelitian yang tidak perlu. Prosedur ini san gat berguna dalam pengujian karsinogenisitas, mutagenisitas, dan imunotoksisitas karena besarnya biaya yang terlibat dan banyaknya sistem uji yang tersedia. Pengantar Toksikologi Karena banyaknya orang yang terpejan dengan bahan bahan kimia ini, maka kita har us berupaya mencari pengendalian yang tepat sebelum terjadi kerusakan yang hebat . Karena itu, bila mungkin, ahli toksikologi modern harus mencoba mengidentifika sikan berbagai indikator pejanan dan tanda efeknya terhadap kesehatan yang dini dan reversibel. Hal ini penting untuk menentukan ketentuan keputusan, pada saat yang tepat untuk melindungi kesehatan masyarakat baik sebagai individu yang beke rja maupun masyasakat yang terpejan. Pencapaian di bidang ini telah terbukti dap at membantu para mengambil keputusan (pemerintah) yang bertanggungjawab dalam me njalankan surveilan medik yang sesuai pada pekerja atau masyarakat yang terpejan . Contoh yang menonjol adalah penggunaan penghambat kolinesterase sebagai indika tor pejanan pestisida organofosfat dan berbagai parameter biokimia untuk memanta u pejanan timbal. Menggunakan indikator biologi seperti jenis ikan tertentu untu k memantau tingkat cemaran limbah cair insdustri sebelum dinyatakan aman untuk d ilepaskan ke lingkungan. Petanda biologik semacam itu dimaksudkan untuk mengukur p ejanan terhadap toksikan atau efeknya di samping untuk mendeteksi kelompok masya rakat yang retan. Kemajuan yang dicapai dalam bidang biokimia dan toksikokinetik , toksikologi genetika, imunotoksikologi, morfologik pada tingkat subsel, serta perkembangan ilmu biologimolekular berperan dalam memberikan pengertian yang leb ih baik tentang sifat, tempat, dan cara kerja berbagai toksikan. Misalnya perkem bangan bidang ilmu tersebut dapat memberikan berbagai metode uji toksikologi sec ara invitro, dimana target uji langsung pada tingkat sel, seperti uji senyawa ya ng mengakibatkan kerusakan sel hati hepato toksik dapat dilakukan langsung pada ku ltur sel hati secara invitro, atau uji toksikan yang mempunyai sifat sebagai kar sinogen juga dapat dilakukan pada kultur sel normal, disini dilihat tingkat pert umbuhan sel dan perubahan DNA yang dialamai oleh sel akiat pejanan toksikan uji. Banyak lagi metode uji invitro yang sangat bermanfaat dalam menunjang perkemban gan ilmu toksikologi itu sendiri. 14

Salah satu wujud perlindungan kesehatan masyarakat, ahli toksikologi akan selalu terlibat dalam menentukan batas pejanan yang aman atau penilaian resiko dari pe janan. Batas pejanan yang aman mencangkup asupan (intake) harian yang diperbolehk an, dan nilia ambang batas dari toksikan yang masih dapat ditolerir, sedangkan pen ilaian resiko digunakan dalam hubungan dengan efek bahan yang diketahui tidak be rrabang batas atau ambang batasnya tak dapat ditentukan. Penentuan ini merupakan penelitian menyeluruh tentang sifat toksik, pembuktian dosis yang aman, penentu an hubungan dosis efek dan dosisrespon, serta penelitian toksokinetik, biotransf ormasi. Meluasnya bidang cakupan dan makin banyaknya subdisiplin toksikologi sep erti digambarkan di atas memberikan gambaran tersendiri tentang kemajuan akhir d alam toksikologi. 2.5. Prospek Masa Depan Kemajuan di bidang bioteknologi pertan ian, telah terbukti memberikan bebagai kemajuan jika dibandingkan pertanian konv ensional. Melalui rekayasa genetika pada tanaman pertanian telah terbukti dipero leh bibit unggul, yang dibandingkan dengan pertanian konvensional sangat sedikit membutuhkan tanah, merupakan andalan dalam meningkatkan pasokan makanan kita. K emanan makanan semacam ini membutuhkan evaluasi keamanan yang memadai. Bersama d engan ilmu ilmu lain, toksikologi dapat menyediakan bahan kimia alternatif yang lebih aman untuk pertanian, industri, dan kebutuhan konsumen melalui penentuan h ubungan strukter toksisitas. Pengurangan sifat toksik mungkin dapat dicapai deng an mengubah toksisitas sasaran atau dengan mengubah sifat toksokinetiknya. Toksi kologi juga berperan dalam pengembangan obat baru, sudah menjadi prasat dalam pe ngembangan obat baru harus dibarengi baik uji toksisitas akut maupun toksisitas krinis, dengan persyaratan uji yang ketat. Penilaian tentang keamanannya merupak an tantangan dang tunggung jawab toksikologi. Karena imbauan masyarakat untuk me ngurangi penggunaan hewan coba dengan alasan Pengantar Toksikologi prikemanusiaan, maka lebih sering digunakan organ terisolasi, jaringan biakan, s el, dan bentuk bentuk kehidupan yang lebih rendah. Sistem ini memiliki banyak ke untungan, seperti pengujian yang lebih cepat dan lebih murah, miningkatkan kerag aman penelitian terutamanya yang berkaitan dengan mekanisme keracunan. Dengan me ningkatnya tuntutan ini akan mendorong perbaikan prosedur pengujian yang lebih s ederhana dan handal, seperti misal pengujian karsinogen uji kanker, uji mutagenesi s, menggunakan petanda biologik (biomarker) yaitu kultur sel kanker. Mingkatnya ke butuhan akan uji toksikologik, namun pada kenyataannya terdapat keterbatasan aka n fasilitas dan sumber daya manusia yang memenuhi syarat, Oleh sebab itu maka da ta toksisitas yang dihasilkan dimana saja sebaiknya dapat diterima secara intern ational. Agar data data tersebut dapat diterima secara umum, kama data tersebut harus memenuhi standar tertentu. Untuk itu lembaga terkemuka dunia mengeluarkan standar seperti yang dikeluarkan oleh Lembaga pengawas obat dan makanan Amerika (FDA) mengeluarkan Good Laboratory Practice , dimana standar ini dapat diterima se cara international. Pada akhirnya, ahli toksikologi harus terus memperbaiki pros edur uji untuk mengurangi hasil positif palsu dan negatif palsu, dan terus melak ukan penelitian yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman yang lebih baik akan pentingnya efek toksik sehingga penilaian keamanan/resiko berbagai tokson dapt dilakukan dengan hasil lebih memuaskan. Bahan Bacaan: 1. Lu, F.C., 1995, Toksiko logi Dasar, Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko, Nugroho, E. (terj.), UI P ress, Jakarta 2. Loomis, T.A., 1978, Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.) IKIP Semarang Press, Semarang 3. Ariens,E.J., Mutschler,E., Simonis,A.M., 1985, Toks ikologi Umum, Pengantar, Wattimena,Y.R.(terj.), Gadjah Mada University Press,Yog yakarta. 4. Ling, L.J., 2000, Toxikology Secrets, Hanley & Belfus, Inc. Philadel phia 15

BAB III FASE KERJA TOKSIK Dua aspek yang perlu diperhatikan dalam menelaah interaksi senobitika dengan org anisme hidup yaitu: kerja senobiotika pada organisme dan reaksi atau efek yang d itimbulkan. Kerja toksik pada umumnya I Bentuk farmasetik hancur Zat aktif melarut Zat aktif tersedia untuk diabso rpsi Ketersediaan Farmasetik II merupakan hasil sejumlah besar proses biologi yang komplek. Secara umum kerja to ksik dapat digambarkan dalam rantai kerja yang terdiri dari: fase eksposisi, tok sokinetik dan fase toksodinamik (lihat. Gam. 3.1). III Zat aktif tersedia untuk memberikan efek Ketersediaa n biologik Interaksi to ksonreseptor dalam organ efektor

Kontak/ Penggunaa Efek Fase: Eksposisi Fase: Toksodinamik Gambar 3.1: Rantai fase kerja tokson (racun) pada organisme 3.1. Fase eksposisi: Dalam fase ini organisme terpapar (terkontak) dengan senobiotika. Paparan dapat melalui kulit, oral, saluran pernafasan (inhalasi) atau dengan cara injeksi. Pa da pemakaian oral (misal sediaan dalam bentuk padat), maka terlebih dahulu kapsu l/tablet akan terdistegrasi, sehingga xenobiotika akan telarut di dalam cairan s aluran pencernaan. Xenobiotika yang terlarut akan siap terabsorpsi secara normal dalam duodenal dari usus halus dan ditraspor melalui pembuluh kapiler mesenteri ka menuju vena porta hepatika menuju hati sebelum ke sirkulasi sistemik. Paparan xenobiotika (rute administrasi) dapat melalui oral, inhalasi, topikal, rektal, atau vaginal. Sedangkan pemasukan xenobiotika langsung ke sirkulasi sistemik (in jeksi), dapat dikatakan bahwa xenobiotika tidak mengalami proses absorpsi. Tabel 3.1. Beberapa contoh rute pemakaian obat obat terlarang Rute Oral Inhalasi Merokok Intravenus Intranasal Dermal Drugs (Obat Obat terlarang) cannabinoide, opiate, LSD, meskalin, benzodiazepin, barbiturate, anti depresan trisiklik, ecst asy pelarut pelarut perangsang (terpentin, kloroform, eter, dll), alkaloid denga n titik didih yang rendah (nikotin, kokain, amfetamin) marijuana, daun ganja, Cr ack kokain, metamfetamin, heroin, morfin, kokain, metamfetamin, fensilidin kokain, heroin, methamfetamin fentanyl, nikotin. Fase Kerja Toksik 16

Adsorpsi

Distribusi Metabolism e Ekskresi Fase: Toksokinetik

3.2. Fase toksokinetik Efek toksik timbul jika tokson terabsorpsi kemudian ditra nsfer bersama sistem peredaran darah menuju reseptor, hasil interaksi tokson den gan reseptor akan menimbulkan efek farmakologi. Untuk mengakhiri efek yang timbu l, oleh tubuh tokson akan dimetabolisme dan dieliminasi dari dalam tubuh. Proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi (ADME) terangkum dalam fase tok sokinetik. Tubuh mengenal drug sebagai senyawa asing atau xenobiotika. Jika tubu h terpejan oleh xenobiotika, maka tubuh akan berusaha menghancurkan dan kemudian mengeliminasi senyawa xenobiotika ini dari dalam tubuh. Farmakokinetik dapat ju ga dipandang suatu bidang ilmu, yang mengkaji perubahan konsentrasi (kinetika) d ari xenobiotika di dalam tubuh organisme sebagai fungsi waktu. Perubahan konsent rasi xenobiotika ditentukan oleh: dimana dan berapa cepat xenobiotika diabsorpsi menuju ke sirkulasi sistemik, bagaimana terdistribusi di dalam tubuh organisme, bagaimana enzim tubuh merubah struktur molekulnya, serta dari mana dan berapa c epat dieksresi dari dalam tubuh (Mutschler dan Schfer Korting, 1997). Toksokineti k (farmakokinetik) menelaah perubahan konsentrasi tokson terhadap waktu di dalam organisme. Secara umum toksokinetik menelaah dari mana dan berapa laju absorpsi tokson dari lingkungan ke sistem peredaran darah, bagaimana distribusinya ke se luruh tubuh, bagaimana enzim tubuh memetabolismenya, dari mana dan bagaimana tok son atau metabolitnya dieliminasi dari dalam tubuh. Farmakokinetik melibatkan pr oses invasi (masuknya xenobiotika ke tubuh), trasportasi dan distribusi (pergera kan xenobiotika di dalam tubuh), serta proses eleminasi (proses hilangnya xenobi otika dari dalam tubuh). Proses ini semua menentukan efficacy (kemampuan xenobio tika mengasilkan efek), efektifitas dari xenobiotika, konsentrasi xenobiotika di reseptor, dan durasi dari efek farmakodinamiknya. Sifat sifat farmakokinetik su atu xenobiotika digunakan oleh farmakolog, ilmuwan klinik dan toksikolog untuk m engembangkan pengobatan, untuk mengertikan faktor faktor yang dapat mendorong pe nyalahgunaan xenobiotika tersebut, serta dijadikan dasar untuk mengetahui kapan dan Fase Kerja Toksik dalam bentuk apa xenobiotika tersebut masih dapat dideteksi setelah selang waktu pemakaian dan menginterpretasikan efek efek xenobitika tersebut. 3.2.1. Absorps i (Proses Invasi) Semua proses transfer tokson dari lingkungan menuju sistem per edaran darah dirangkum kedalam proses invasi, proses ini juga digambarkan sebaga i resorpsi. Tokson dapat teresorpsi umumnya berada dalam bentuk terlarut atau te rdispersi molekular. Laju resorpsi tokson ditentukan oleh daerah paparan (topika l, oral, inhalasi atau injeksi), bentuk farmasetik tokson (tablet, salep, sirop, aerosol, suspensi atau larutan), proses resorpsi, sifat fisikokimia tokson dan konsentrasinya. Proses invasi disebut juga dengan absorpsi, yang ditandai oleh m asuknya xenobiotika dari tempat kontak (paparan) menuju sirkulasi sistemik tubuh . Laju absorpsi xenobiotika ditentukan oleh sifat membran biologis dan aliran ka piler darah tempat kontak serta sifat fisiko kimia dari xenobiotika itu sendiri. Pada pemakaian oral (misal sediaan dalam bentuk padat), maka terlebih dahulu ka psul/tablet akan terdistegrasi, sehingga xenobiotika akan telarut di dalam caira n saluran pencernaan. Xenobiotika yang terlarut ini akan terabsorpsi secara norm al dalam duodenal dari usus halus dan ditraspor melalui pembuluh kapiler mesente rika menuju vena porta hepatika menuju hati sebelum ke sirkulasi sistemik. Kelar utan xenobiotika akan sangat mempengaruhi laju absorpsinya, jika xenobiotika ter lalu non polar, maka dia akan terlarut cukup kuat dalam lapisan lipofil dari mem bran sel. Demikian juga jika terlalu polar xenobiotika ini akan mudah terlarut d i dalam saluran cerna namun transport melalui membran biologis akan terhambat. P aparan xenobiotika (rute administrasi) dapat melalui oral, inhalasi, topikal, re ktal, atau vaginal. Sedangkan pemasukan xenobiotika langsung ke sirkulasi sistem ik (injeksi), dapat dikatakan bahwa xenobiotika tidak mengalami proses absorpsi. Rute pemakaian obat akan mempengaruhi onset dari aksi, durasi efek, intensitas dan qualitas efek dari obat. Pada pemakaian intravenus obat dapat langsung ditra nspor ke reseptor, rute pemakaian ini tentunya akan memberikan efek yang paling maksimum dan onset aksi yang singkat. Namun pemakaian intravenus pada penyalahgu naan obat 17

terlarang lebih banyak menimbulkan resiko yang berbahanya, oleh sebab itu pada k asus ini pemakaian melalui inhalasi dan merokok merupakan alternatif yang lebih poluler dikalangan junkies. Jika drug dihisap melalui hidung atau bersamaan deng an rokok, maka drug akan sangat cepat terabsorpsi di alveoli paruparu, dan selan jutnya melalui pembuluh darah arteri dibawa ke otak. Oleh sebab itu efek akan le bih cepat timbul. Pemakaian crack (bentuk kokain yang digunakan secara merokok) de ngan menghisap akan menimbulkan onset aksi yang sangat singkat, sehingga intesit as eforia akan cepat tercapai. Demikian juga pada pemakain heroin secara inhalas i, efek eforia akan relatif sama tercapainya dibandingkan dengan pemakaian secar a intravenus. Heroin biasanya digunakan dengan cara menguapkan dan kemudian uap dihirup, dengan merokok, atau injeksi secara intravenus. Setelah heroin sampai d i sirkulasi sistemik, maka heroin sangat cepat menuju otak. Karena sangat cepatn ya timbulnya efek pada pemakaian intravenus, maka rute pemakaian ini sangat dige mari oleh para junkis. Namun pemakain ini sangat berresiko ketimbang pemakaian s ecara inhalasi atau merokok, karena sering ditemui muncul penyakit bawaan lain p ada pemakaian injeksi, seperti infeksi HIV, hepatitis. kapiler mesenterika menuju vena porta hepatika menuju hati sebelum ke sirkulasi sistemik, dari sini akan terdistribusi ke seluruh tubuh. 3.2.2. Distribusi Setel ah tokson mencapai sistem peredahan darah, bersama darah akan terdistribusi ke s eluruh tubuh. WEISS M. (1990) membagi distribusi ke dalam konveksi (transpor tok son bersama peredaran darah) dan difusi (difusi tokson di dalam sel atau jaringa n). Transprot tokson intra dan inter organ di dalam tubuh diprasaranai oleh sis tem peredaran darah. Difusi berperan penting dalam transport suatu tokson dianta ra ekstra dan intra selular. Difusi tokson melalui membran biologi dapat berlang sung melalui berbagai proses difusi, seperti: difusi pasif, difusi aktif (melalu i sistem transport tertentu ,cariier, melalui finocitose, atau fagocitose) atau me lalui poren. Laju difusi suatu tokson sangat ditentukan oleh sifat fisikokimanya (lipofili, ukuran melekul, derajat ionisasi, ikatan dengan protein plasma). Tra nspor Transport dapat di kelompokkan ke dalam dua proses utama, yaitu konveksi ( transport xenobiotika bersama aliran darah) dan difusi (transport xenobiotika me lalui membran biologis). Sirkulasi sistemik sangat memegang peranan penting dala m transport xenobiotika antar organ dan jaringan di dalam tubuh. Sehingga laju p eredaran darah di dalam organ atau jaringan juga akan menentukan kecepatan distr ibusi xenobiotika di dalam tubuh. Pada paparan melalui oral bentuk farmasetik (tablet, kapsul, dll) akan terdisper si dan melarut di dalam cairan saluran pencernaan. Bentuk terlarut melalui pembu luh kapiler pada saluran pencernaan akan terabsorpsi. Absorpsi ini sebagaian bes ar berlangsung di pembuluh kapiler usus halus, kemudian melalui pembuluh Tabel 3 .2: Laju aliran darah pada berbagai organ pada orang dewasa Organ Prosen (%) dar i Prosen (%) dari berat badan volum jantung per menit Aliran darahnya bagus: Gin jal 0,5 20 Hati 2,8 28 Otak 2,0 12 Paru paru 1,5 100 Jantung 0,5 4 Lambung dan u sus saluran 2,8 24 pencernaan Aliran darahnya kurang bagus: Kulit 10 6 Otot otot 40 23 Aliran darahnya jelek: Jaringan Lemak 18 5 Fase Kerja Toksik Laju aliran darah (ml/min/100g organ) 400 85 54 400 84 70 5 5 2,1 18

Pada tabel 3.2 menggambarkan perbedaan jalu aliran darah di berbagai organ tubuh . Organ tubuh seperti ginjal, hati, otak, paru paru, jantung, lambung dan usus, adalah organorgan yang memiliki laju aliran darah (perfusi) yang baik. Karena la ju aliran darah dalam organ organ ini sangat baik, maka xenobiotika akan sangat cepat terdistribusi homogen di dalam organ tersebut, jika dibandingkan pada orga n organ yang memiliki laju aliran darah relatif lambat. Difusi Pada pemodelan fa rmakokinetik, tubuh dibagi menjadi berbagai ruang difusi (kompartimen). Pembagia n ruang ini hanya didasarkan pada laju distribusi xenobiotika. Perlu ditegaskan di sini bahwa, pembagaian kompartimen ini hanya merupakan langkah abstraksi guna mempermudah pemahaman ruang distribusi (difusi) xenobiotika di dalam tubuh. Mod el yang paling sederhana untuk memahami jalu difusi xenobiotika di dalam tubuh a dalah model kompartimen tunggal. Pada model ini tubuh dipandang seperti satu emb er besar, dimana difusi xenobiotika hanya ditentukan oleh daya konveksi di dalam ember. Namun pada kenyataannya, agar xenobitika dapat ditransportasi dari salur an kapiler pembuluh darah menuju sel sel pada jaringan tubuh, haruslah melewati membran biologis, yaitu membran yang menyeliputi sel sel di dalam tubuh. Secara keseluruhan luas permukaan kapiler tubuh (orang dewasa) diperkirakan berkisar an tara 6000 8000 m2, dengan panjang keseluruhan diduga sekitar 95000 km. Di bagian luar kapileredotel ini diselimuti oleh membran basal yang sangat halus dan elas tis. Struktur membran basal dapat dibedakan menjadi: kapiler yang sangat tertu tup (contoh: barier sawar darah otak) kapiler yang berjendela, pada jendela in i terjadi pertukaran cairan yang sangat intensiv, jarak jendela dalam kapiler in i adalah tidak beraturan (contoh:tubulus ginjal), kapiler yang terbuka, tidak terdapat hubungan antar sel sel endotel, sehingga pada kapiler ini terdapat luba ng lungang yang besar, yang dapat dilewati oleh plasma darah (contoh: hati). Fase Kerja Toksik Laju penetrasi xenobiotika melewati membran biologis akan ditentukan oleh strukt ur membran basal dan juga sifat lipofilitasnya. Senyawa senyawa lipofil akan dap at menembus membran biologis dengan baik, sedangkan senyawa yang polar (larut ai r) haruslah melewati lubang lunag di membran biologis, yang dikenal dengan poren. Jumlah poren dalam membran biologis adalah terbatas, oleh sebab itu dapatlah dim engerti, bahwa senyawa lipofil akan terdistribusi lebih cepat dibandingkan senya wa hidrofil (lihat tabel 3.3). Difusi xenobiotika melalui membran biologis dapat berlangsung melalui berbagai proses, seperti: difusi pasiv, difusi aktiv, melal ui poren dan juga melalui jembatan intraseluler. Ketika xenobiotika mencapai pem buluh darah, maka bersama darah melalui sirkulasi sistemik siap untuk didistribu sikan ke reseptor dan ke seluruh tubuh. Untuk memudahkan memahami sejauh mana su atu xenobiotika terdistribusi di dalam tubuh, para ilmuan farmakokinetik mengump amakan bahwa xenobitika di dalam tubuh akan terdistribusi di dalam suatu ruang, yang memiliki sejumlah volume tertentu. Jadi kemampuan suatu xenobiotika untuk t erdistribusi di dalam tubuh dinyatakan sebagai parameter yang disebut dengan vol ume distribusi. Distribusi Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses distribusi dari suatu xenobiotika, dimana faktor faktor tersebut dapat dikelomp okkan menjadi dua, yaitu: a) faktor biologis: laju aliran darah dari organ dan jaringan, sifat membran biologis perbedaan pH antara plasma dan jaringan b) faktor sifat molekul xenobiotika ukuran molekul ikatan antara protein plasm a dan protein jaringan kelarutan sifat kimia Senyawa yang larut lemak akan l ebih mudah terdistribusi ke seluruh jaringan tubuh, sehingga pada umumnya senyaw a lipofil akan mempunyai volume distribusi yang jauh lebih besar ketimbang senya wa yang hidrofil. TetraHidro Canabinol (THC) (zat halusinogen dari tanaman ganja ) adalah sangat larut lemak, 19

sehingga THC akan sangat mudah terdistribusi jaringan lemak, dan ini akan memper lambat laju ke seluruh jaringan dan akan terdeposisi di eliminasi THC. Etanol (a lkohol), senyawa yang jaringan lemak, oleh sebab itu THC memiliki bersifat agak hidrofil, sebagian besar volume distribusi yang relatif besar (4 14 l/kg). terdi stribusi di dalam cairan intra dan Karena kelarutannya yang tinggi, hal itu pun ekstraseluler tubuh. Volume distribusi (Vd) menyebabkan THC sangat lama tertamb at di etanol adalah 0,5 l/kg. Tabel 3.3: Permeabilitas beberapa membran biologis (H Nau, 1994) Membran lipid barier sawar darah otak darah ( liquor) darah ( otak ) lapisan lendir penanjang saluran pencernaan lapisan lendir di mulut tubulus ginjal kulit Membran lipid dengan Poren darah ( hati ) hati ( empedu ) paru paru plasenta darah ( kelenjar mamai) kapilar kapiler di kulit dan otot lapis an lendir (mata, hidung, kantung kemih) glomerulus ginjal (Filtrasi) hanya xen obiotika lipofil, tidak terionisasi; xenobitika polar akan terperfusi sangat lam bat atau sama sekali tidak xenobiotika lipofil dan hidrofil dapat lewat 3.2.3 Metabolisme dan Ekskresi Metabolisme dan ekskresi dapat dirangkum ke dalam eliminasi. Yang dimaksud proses eliminasi adalah proses hilangnya xenobiotika d ari dalam tubuh organisme. Eliminasi seatu xenobiotika dapat melalui reaksi biot ransformasi (metabolisme) atau ekskresi xenobiotika melalui ginjal, empedu, salu ran pencernaan, dan jalur eksresi lainnya (kelenjar keringan, kelenjar mamai, ke lenjar ludah, paruparu). Jalur eliminasi yang paling penting adalah eliminasi me lalui hati (reaksi metabolisme) dan eksresi melalui ginjal. Ginjal sangat memega ng peranan penting dalam mengekskresi baik senyawa eksogen (xenobiotika) maupun seyawa endogen, yang pada umumnya tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Proses utama ekskresi renal dari xenobiotika adalah: filtrasi glumerula, sekresi aktiv tubul ar, dan resorpsi pasiv tubular. Pada filtrasi glumerular, ukuran melekul memegan g peranan penting. Molekul molekul dengan diameter yang lebih besar dari 4 nm at au dengan berat lebih besar dari 50 kilo Dalton (k Da) tidak dapat melewati filt rasi glumerular. Oleh sebab itu hanya senyawa dengan ukuran dan berat lebih keci l akan dapat terekskresi. Fase Kerja Toksik Xenobiotika yang terikat dengan protein plasma tentunya tidak dapat terekskresi melalui ginjal. Resorpsi pasiv tubular ditentukan oleh gradien konsentrasi xenob itika antara urin dan plasma di dalam pembuluh tubuli. Berbeda dengan resorpsi t ubular, sekresi tubular melibatkan proses transport aktiv. Xenobiotika yang masu k ke dalam tubuh akan diperlakukan oleh sistem enzim tubuh, sehingga senyawa ter sebut akan mengalami perubahan struktur kimia dan pada akhirnya dapat dieksresi dari dalam tubuh. Proses biokimia yang dialami oleh xenobiotika dikenal dengan rea ksi biotransformasi. Biotransformasi pada umumnya berlangsung di hati dan sebagi an kecil di organ organ lain seperti: ginjal, paru paru, saluran pencernaan, kel enjar susu, otot, kulit atau di darah. Secara umum proses biotransformasi dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu fase I (reaksi fungsionalisasi) dan fase II (reak si konjugasi). Dalam fase pertama ini tokson akan mengalami pemasukan gugus fung si baru, pengubahan gugus fungsi yang ada atau reaksi penguraian melalui reaksi oksidasi (dehalogenasi, dealkilasi, deaminasi, desulfurisasi, pembentukan oksida , hidroksilasi, oksidasi alkohol dan oksidasi aldehida); rekasi reduksi 20

(reduksi azo, reduksi nitro reduksi aldehid atau keton) dan hidrolisis (hidrolis is dari ester amida). Pada fase II ini tokson yang telah siap atau termetabolism e melalui fase I akan terkopel (membentuk konjugat) atau melalui proses sintesis dengan senyawa endogen tubuh, seperti: Konjugasi dengan asam glukuronida asam a mino, asam sulfat, metilasi, alkilasi, pembentukan asam merkaptofurat. Enzim enz im yang terlibat dalam biotransformasi pada umumnya tidak spesifik terhadap subs trat. Enzim ini (seperti monooksigenase, glukuronidase) umumnya terikat pada mem bran dari retikulum endoplasmik dan sebagian terlokalisasi juga pada mitokondria , disamping itu ada bentuk terikat sebagai enzim terlarut (seperti esterase, ami dase, sulfoterase). Sistem enzim yang terlibat pada reaksi fase I umumnya terdap at di dalam retikulum endoplasmik halus, sedangkan sistem enzim yang terlibat pa da reaksi fase II sebagian besar ditemukan di sitosol. Disamping memetabolisme x enobiotika, sistem enzim ini juga terlibat dalam reaksi biotransformasi senyawa endogen (seperti: hormon steroid, biliribun, asam urat, dll). Selain organ organ tubuh, bakteri flora usus juga dapat melakukan reaksi metabolisme, khususnya re aksi reduksi dan hidrolisis. Pengambilan ion logam penting untuk kerja enzim Inhibisi penghantaran elektron d alam rantai pernafasan Inhibisi pada transport oksigen karena gangguan pada hemo globin Interaksi dengan fungsi umum sel Gangguan pada sintesa DNA dan RNA Kerja teratogenik Reaksi hipersensitif (alergi) 3.4. Pemodelan Farmakokinetik Dalam mempelajari farmakokinetik suatu xenobiotika haruslah disadari, bahwa semua proses farmakokinetik terjadi tidaklah seperti a lur blok yang diskret (satu proses akan diikuti oleh proses yang lain apabila pr oses sebelumnya telah tuntas berakhir), melainkan lebih merupakan suatu proses k ombinasi satu dengan yang lain. Setelah molekul xenobiotika diabsorpsi dan menuj u sirkulasi sistemik, maka akan siap di transportasi ke seluruh tubuh, dalam wak tu bersamaan akan ada molekul xenobiotika yang berikatan dengan reseptor dan ada terdapat juga molekul yang lain mengalami reaksi metabolisme, atau ada molekul yang langsung dieksresi oleh ginjal. Proses ini yang dimaksud dengan kombinasi s atu dengan yang lain. Kompartemen model adalah pemodelan klasik, yang sampai saa t ini masih banyak digunakan, yang digunakan untuk menggambarkan sifat disposisi (perubahan konsentrasi sebagai fungsi waktu) xenobiotika di dalam tubuh. Kompar temen model adalah gambaran kinetik, yang mengkarakterisasi sifat sifat absorpsi , disposisi, dan eliminasi dari suatu xenobiotika di dalam tubuh. Karena kompart emen merupakan gambaran sifat kinetik, maka seharusnya pengertian suatu komparte men dilandasi (dibatasi) atas laju dari suatu proses. Oleh sebab itu kompartemen disini tidak dapat didefinisikan sebagai suatu ruang, melainkan suatu poses yan g memiliki laju yang sama (Weis 1990). Kurva konsentrasi suatu xenobiotika di da lam cairan tubuh merupakan jumlah dari proses invasi, distribusi, dan eliminasi. Proses invasi digambarkan sebagai fungsi input I(t) dan proses ini menggambarkan bagaimana suatu xenobiotika mencapai sirkulasi sistemik. Poses distribusi dan el iminasi dirangkum ke dalam 21 3.3. Fase Toksodinamik Setelah tokson didistribusikan ke reseptor (tempat kerja tokson), maka tokson siap berinteraksi dengan reseptor. Hasil interaksi ini diim plementasikan sebagai efek farmakologik (efek racun yang ditimbulkan, seperti ef ek toksik alergi, schok anafilaktik, mutagenesis, teratogenesis, dan lainnya). K ualitas efek ini sebanding dengan konsentrasi tokson di reseptor. Mekanisme Utam a Interaksi tokson resptor adalah: Interaksi dengan sistem enzim Inhibisi enzim tak bolak balik Contoh: inhibisi asetilkolenesterase oleh organofosfat Inhibisi enzim secara reversibel Pemutusan reaksi biokimia Inhibisi fotosinteses pada tan aman Sentesis zat mematikan Fase Kerja Toksik

fungsi disposisfd(t). Sehingga kurvakonsentrasi waktu (konsentrasi profil) suatu x enobiotika merupakan gabungan dari fungsi input dan disposisi dari xenobiotika t ersebut. Persamaan matematis dari fungsi ini dapat ditulis dengan menggunakan op erasi konvulasi. Operasi ini ditandai dengan asterik (*), sehingga konsentrsi pr ofil suatu xenobiotika dapat ditulis sebagai: Jika suatu xenobiotika diberikan secara intravenus dan perubahan konsentrasinya mengikuti hukum kinetika orde ke pertama, maka fungsi profil konsetrasinya dapat dinyatakan sebagai berikut: [C ](t ) = D iv Div i e t i n (3.3) i =1 [C ](t ) = I (t ) * fd (t ) (3.1) = d h s m deng n fungsi input I(t)

T rget n isis toksiko ogi tid k h h ny seny w induk, me ink n jug met bo itny . Memperh tik n hubung n konsentr si seny w induk d n met bo it p d seti p w ktu d p t mengg mb rk n kese uruh n j ring n proses f rm kokinetik. Konste si konsentr si nt r seny w induk d n met bo itny seb g i fungsi w ktu merup k n h y ng penting b gi toksiko og forensik d m menginterpret sik n h si n isis berk it n deng n pert ny n k p n su tu p p r n itu terj di. O eh seb b i tu disini dip nd ng per u untuk menje sk n mode met bo it kinetik. D m meng n isis met bo it kinetik digun k n isti h seny w induk (p) d n jug met bo it primer (mi). Met bo it kinetik d h n is m tem tis d ri profi konsentr si seny w induk d n met bo it y ng terbentuk. S mp i s t ini terd p t beber p m ode untuk meng n is met bo it kenetik d ri su tu xenobiotik , y itu: mode ko mp rtemen k sik, mode psio ogi, d n mode komp rten terbuk (Wir sut , 2004). km ke m fd (t ) = i e it i =1 n (3.2) i d n i = p r meter diposisi n = jum h fungsi eksponensi en) t = w ktu

(j