2
-
Upload
ivana-natalia -
Category
Documents
-
view
212 -
download
0
description
Transcript of 2
1 : Kedatangan yang tak terduga(ANA)
Kami berhenti. “Seperti biasa, kita bermulai dan berpisah di sini,” ucapku dengan
sedih bercampur kecewa yang dibuat-buat, tapi dia tahu kalau aku pura-pura.
Sudah kebiasaan kami.
“Yah, sayang sekali, ya. Harus seperti ini setiap hari,” jawabnya dengan canda.
“Kalau begitu,” ucapku, “sampai jumpa besok. Dah, Ayucchan!” Aku
melambaikan tanganku padanya menuju jalan ke kanan.
“Dah!” jawabnya, kemudian melanjutkan, “besok jangan terlambat lagi, ya!”
Mendengar ucapan itu, aku tertawa malu. “Oke,” jawabku.
Aku sampai di depan rumahku. Namun, ada yang sedikit berbeda. “Mobil-mobil
siapa ini?” gumamku penasaran. Seingatku, kami tidak punya kerabat dan
keluarga yang punya mobil-mobil semewah ini. Tiga mobil ini merupakan mobil
toyota keluaran terbaru. Ya, ampun, yang pasti pemilik mobil ini orang adalah
orang kaya. Semoga ini pertanda baik.
Kulangkahkan kakiku menuju pintu dan membukanya. “Aku...” kataku terputus
melihat ramainya isi rumahku. Aku tidak yakin apa yang kurasakan saat ini,
senang, bingung, penasaran, atau – marah? Aku melihat ayah dan ibuku seperti
terpidana di depan hakim tanpa ada pembelaan. Wajah mereka terlihat sedih
bercampur marah dan terlihat seperti sudah melawan namun kalah dan menyerah.
Apa-apaan ini?
Aku menghambur ke arah mereka seraya melindungi mereka dari peluru yang
melesat ke arah mereka. Aku bisa melihat para orang asing itu dari belakang
mataku yang tenggelam dalam pelukan orangtuaku, mereka memasang wajah
bosan dan menjijikkan pada kami. Aku memang sudah memantapkan diriku
bahwa jika suatu hari hal ini terjadi, aku akan baik-baik saja dan bersikap wajar
seperti hal ini sudah terjadi berulang kali padaku, tapi ketika dihadapkan seperti
ini aku tidak sanggup. Aku goyah.
“Pa, ada apa ini?” suaraku teredam. Masih dalam pelukan.
Tidak ada jawaban. Kemudian aku mendengar suara asing, yang aku yakin bahwa
suara itu berasal dari lelaki gemuk yang tepat duduk berhadapan dengan
orangtuaku. “Apa ya? Aduh, aku tidak tahu bagaimana mengatakannya.”
Nadanya mengejek, pikirku.
Aku masih menenggelamkan kepalaku di dalam pelukan erat orangtuaku.
“Oh, seperti ini saja,” katanya, “aku akan menikahimu – lebih tepatnya, kau akan
menjadi istriku, sayang. Orangtuamu setuju itu. Ya, kan?”
Aku terlonjak kaget dari pelukan itu. Pertama, aku menatap si lelaki gemuk
hidung belang itu dengan wajah marah, kemudian menatap mata kedua
orangtuaku. Aku memasang sorot mata yang mengatakan, ‘Tidak! Katakan tidak!
Kalian tidak mungkin menyetujuiku menikah dengan lelaki hidung belang ini,
kan? Aku belum mau menikah’
Namun, mereka hanya tertunduk ke bawah. Menatap tangan mereka dan tidak
menjawabku. Akhirnya, aku mengeluarkan suaraku, “Katakan T-I-D-A-K! Aku
tidak mau menikah dengannya!”
“Kau tidak punya pilihan lain yang baik dan sebagus ini,” ucap lelaki itu.
Aku mengalihkan perhatianku padanya dan melotot. Dia menyeringai.
Menjijikkan.
“Ya, benar,” jawab suara yang sangat kukenal – suara yang hanya dimiliki
ayahku. “Kau akan menikah dengannya, Ana. Dan, tidak ada pilihan – pilihan
untuk kita.” Suara itu kedengaran sedih dan rapuh sama seperti hatiku saat ini.
Adrenalinku terpacu. Aku marah, ya sangat marah. Mataku tertuju pada si lelaki
gemuk hidung belang itu. Masih menyeringai dan menjijikkan. Aku melotot
padanya dengan sorotan sinis. Aku benar-benar marah – bukan hanya marah,
kalau ada tingkatan di atas marah, itulah perasaanku saat ini.
Aku menghambur ke arahnya, melepaskan pukulanku pada wajahnya yang
menjijikkan itu. Hal itu tidak terjadi sama sekali, tangan dan tubuhku ditahan oleh
pria berbaju hitam yang datang bersamanya. Mungkin mereka adalah pengawal si
lelaki.
Tidak kubiarkan mereka menahanku begitu saja, aku melawan dan meronta-ronta.
Ototku sudah mulai melemas. Pada akhirnya, aku merosot. Dan, mengalah. Aku
sangat lemah.
Aku mengangkat tanganku ke wajah. Aku kaget, wajahku basah. Ternyata, tanpa
kudasari aku menangis. Kapan tangisku pecah? Bodoh! Kenapa aku harus
menyia-nyiakan air mataku untuk hal seperti ini?
Mataku tetap tidak mau berhenti mengeluarkan air mata. Aku sudah mencoba
menghentikannya. Semua sia-sia. Aku bahkan tidak bisa mengendalikan diriku
sendiri, bagaimana mungkin aku bisa menyelamatkan orangtuaku dan keluargaku.
Aku memang bodoh dan lemah. Aku tidak ada gunanya.
Semua hening. Tak ada satupun yang mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.
Namun, aku – aku yang memecah keheningan itu. “Pasti ada pilihan. Buruk atau
tidak, aku tidak peduli. Yang pasti, aku tidak mau dan tidak akan mau menikah
dengannya,” aku menatap kedua orangtuaku dengan bermacam-macam ekspresi
yang tidak aku ketahui, entah itu marah, kecewa, ataupun sedih.
“Hm... Ya, memang ada pilihan,” ucap suara itu tidak berkata kepada siapa-siapa,
yang pada akhirnya aku tahu ternyata itu ditujukan padaku.
Aku melonjak menatapnya yang sedang berusaha berdiri dari kursi yang
didudukinya. Kalau saja situasi sekarang ini tidak tegang, aku pasti akan tertawa
saat dia kesulitan mengangkat tubuhnya yang super itu. Tapi aku tahu aku tidak
mungkin tertawa. Ada secercah harapan dalam diriku saat dia mengatakan ‘masih
ada pilihan’. Aku menunggu seperti apa pilihan itu.
Kini, ia sudah berdiri di depanku yang sedang terduduk di lantai. Dia
menyeringai. “Memang ada pilihan, tapi–” Matanya tertuju kepada orangtuaku
yang saling berpelukan dan sedih. Aku mengikuti pandangan matanya. Kemudian,
ia melanjutkan, “pilihan itu sudah kadaluarsa.”
Kadaluarsa? Aku bingung, “Apa maksudmu dengan ‘Kadaluarsa’”
“Itu tidak berlaku lagi,” suaranya melembut. Ia menunduk menatapku, dan
tangannya menjulur untuk menangkupkan tangannya ke daguku. Aku
menepisnya. Tapi, tangannya kembali lagi ke daguku.
Mataku seketika membelalak ketika mendengar jawabannya. Aku tahu bahwa
sekarang aku heran dan marah. Dia seakan-akan tahu apa maksud yang disiratkan
mataku. “Pilihan itu adalah kalian harus melunasi hutang kalian yang sangat besar
itu. Kemarin adalah batas pelunasan. Kalian beruntung, aku sudah memberi waktu
selama 18 tahun pada kalian untuk membayar itu semua. Tapi, kenapa aku datang
ke sini dan memaksamu menjadi istriku?” ucapnyanya datar. Aku diam dan
mendengarkan. Ia melanjutkan, “Itu karena kalian tidak sanggup membayar
semua hutang kalian padaku,” suaranya meninggi—yang dapat kukenali bahwa
dia sedang marah saat ini. Aku menunduk. Ucapan itu ada benarnya. Tapi, tetap
saja, kenapa aku harus jadi istrinya? Ini tidak adil.
“Apakah hanya itu pilihannya? Tidak ada yang lain?” tanyaku sedikit gugup dan
takut.
Dia menarik tangannya kembali dari daguku dan memasukkannya ke dalam
kantong celananya. Kemudian dia mengalihkan pandangannya dari mataku.
“Tidak. Tidak ada pilihan lain. Hanya itu pilihan terakhir dan satu-satunya untuk
kalian.”
“Aku tidak mau jadi istrinya. Tidak, aku tidak mau!” teriakku dalam hati.
Aku menangkupkan wajahku pada kedua tanganku. Air mata kini terus mengalir.
“Oke, aku rasa kau setuju dengan pilihan ini, Ana sayang. Besok aku akan datang
menjemputmu. Jadi, persiapkanlah dirimu sebaik mungkin” Dia beranjak keluar
dari rumahku, diikuti oleh pengawal-pengawalnya.
“Sampai jumpa besok, Tuan dan Nyonya Hanako. Tidak lama lagi, kalian akan
menjadi mertuaku.”
Mereka pergi. Syukurlah, pikirku.
2 : Pertemuan yang aneh (ANA)
Jika bisa memilih, aku tidak akan memilih hidup seperti ini. Kata-kata itu terlintas
dalam benakku ketika aku terbangun. Untung saja, aku sudah menyelesaikan
semua ujian akhir sekolah. Sekolah atau tidak, tidak masalah bagiku. Aku hanya
tinggal menunggu pengumuman kelulusan.
Aku bangkit dari tempat tidur.
“Ana? Sudah bangun? Ayo cepat bersiap-siap. Kau hampir terlambat sekolah.”
tanya sebuah suara dari luar. Itu suara ibuku.
Aku keluar dari kamar. Sambil mengucek mata, aku berkata, “Aku tidak sekolah,
Ma.”
Dengan keadaan mata yang baru bangun tidur, aku melihat sekeliling. Ayahku
sedang menggunakan handphone-ku. Apa yang dilakukannya? Seolah dia tahu
apa kupikirkan, dia berkata, “Tadi si Ayumi meneleponmu—bertanya kenapa kau
lama sekali. Jadi, ayah suruh saja dia pergi tanpamu. Nah, ini kalau kau mau
bicara dengannya.” Ayah mengulurkan handphone padaku.
Gawat! Gawat! Gawat! Bodohnya aku! Teriakku dalam hati. Aku menggigit
bibirku sendiri—menyesal karena lupa pada janjiku kemarin.
“Besok jangan terlambat lagi, ya!”
“Oke,” jawabku.
Aku menyambar handphone-ku. Kemudian masuk ke kamar. Aku langsung
mengirim pesan maaf kepada Ayumi. Salahku.
Tanpa sengaja, aku melihat jam weker di meja di samping tempat tidurku yang
kusut. Pukul 07.50. Teringat akan kejadian kemarin, mentalku jatuh lagi. Aku
kembali ke tempat tidurku yang kusut itu. 2 jam 10 menit lagi waktuku berada di
rumah ini.
Tiba-tiba, aku mendapati diriku terbangun. Tanpa sadar, aku ketiduran selama—
aku melihat jam weker di sampingku—2 jam? Ya, ampun. Lama sekali aku
tertidur. Sepuluh menit lagi.
Aku langsung melompat dari tempat tidurku, kemudian meraih kenop pintu.
“Apakah semua sudah siap?” tanya ibuku dengan wajah sedih. Begitu juga dengan
ayahku. Mereka tampak begitu rapuh.
Aku mematung tak berdaya di depan pintu. Tapi, mataku berkeliaran di dinding
dan tepat berhenti di sebuah foto. Ayah dan ibuku tersenyum lepas di foto itu,
begitu juga dengan aku. Kalau tidak salah, itu foto sewaktu aku berumur 15—atau
mungkin 16 tahun. Aku lupa. Aku sadar bahwa bibirku membentuk senyum tipis.
Andaikan saja saat ini adalah seperti dulu. Begitu damai dan bahagia.
“Mungkin sudah semua,” jawabku dengan suara yang sangat pelan sehingga bisa
saja mereka tidak bisa mendengarku.
“Kalau begitu, cek semua. Ibu yakin kau tidak akan diberi waktu dan kesempatan
untuk datang ke rumah ini lagi. Seperti—” kata-kata ibuku terpotong saat ayahku
memeluk ibuku. Tanpa melihat wajahnya, aku bisa merasakan ibuku menangis
dalam dekapan ayahku. Beberapa saat kemudian, ibuku menegakkan kepalanya,
dan berkata, “Aku tahu kau takkan pernah diberi kesempatan untuk bersama kami
lagi, meski itu hanya sedetik. Sudah ada buktinya, Yuuta tidak pernah datang
untuk menemui kami, atau mungkin dia tidak akan pernah mengenal kami lagi.
“Yuuta? Siapa dia?” tanyaku penasaran. Apakah Yuuta mengalami hal yang sama
sepertiku. Tapi, bagaimana mungkin? Bukankah dia laki-laki? Itu tidak mungkin.
“Dia adalah—” kata-kata ibuku terpotong lagi. Kini tangisnya semakin menjadi-
jadi seperti duka yang sangat dalam.
Kemudian ayahku berkata, “Tidak. Dia bukan siapa-siapa. Tidak ada
hubungannya denganmu. Tidak apa-apa. Tenanglah. Ayah yakin kau akan baik-
baik saja. Tetaplah jaga dirimu baik-baik dan jadi kuatlah.” Matanya
menunjukkan bahwa dia masih berusaha melepasku. Aku anak terakhir mereka.
Aku tahu bagaimana sulitnya bagi mereka untuk tidak melihatku lagi seperti yang
dikatakan ibu—atau mungkin lebih tepatnya mereka tidak mau kehilangan aku.