2

14
1 : Kedatangan yang tak terduga(ANA) Kami berhenti. “Seperti biasa, kita bermulai dan berpisah di sini,” ucapku dengan sedih bercampur kecewa yang dibuat-buat, tapi dia tahu kalau aku pura-pura. Sudah kebiasaan kami. “Yah, sayang sekali, ya. Harus seperti ini setiap hari,” jawabnya dengan canda. “Kalau begitu,” ucapku, “sampai jumpa besok. Dah, Ayucchan!” Aku melambaikan tanganku padanya menuju jalan ke kanan. “Dah!” jawabnya, kemudian melanjutkan, “besok jangan terlambat lagi, ya!” Mendengar ucapan itu, aku tertawa malu. “Oke,” jawabku. Aku sampai di depan rumahku. Namun, ada yang sedikit berbeda. “Mobil-mobil siapa ini?” gumamku penasaran. Seingatku, kami tidak punya kerabat dan keluarga yang punya mobil-mobil semewah ini. Tiga mobil ini merupakan mobil toyota keluaran terbaru. Ya, ampun, yang pasti

description

cerita 2

Transcript of 2

Page 1: 2

1 : Kedatangan yang tak terduga(ANA)

Kami berhenti. “Seperti biasa, kita bermulai dan berpisah di sini,” ucapku dengan

sedih bercampur kecewa yang dibuat-buat, tapi dia tahu kalau aku pura-pura.

Sudah kebiasaan kami.

“Yah, sayang sekali, ya. Harus seperti ini setiap hari,” jawabnya dengan canda.

“Kalau begitu,” ucapku, “sampai jumpa besok. Dah, Ayucchan!” Aku

melambaikan tanganku padanya menuju jalan ke kanan.

“Dah!” jawabnya, kemudian melanjutkan, “besok jangan terlambat lagi, ya!”

Mendengar ucapan itu, aku tertawa malu. “Oke,” jawabku.

Aku sampai di depan rumahku. Namun, ada yang sedikit berbeda. “Mobil-mobil

siapa ini?” gumamku penasaran. Seingatku, kami tidak punya kerabat dan

keluarga yang punya mobil-mobil semewah ini. Tiga mobil ini merupakan mobil

toyota keluaran terbaru. Ya, ampun, yang pasti pemilik mobil ini orang adalah

orang kaya. Semoga ini pertanda baik.

Kulangkahkan kakiku menuju pintu dan membukanya. “Aku...” kataku terputus

melihat ramainya isi rumahku. Aku tidak yakin apa yang kurasakan saat ini,

senang, bingung, penasaran, atau – marah? Aku melihat ayah dan ibuku seperti

terpidana di depan hakim tanpa ada pembelaan. Wajah mereka terlihat sedih

bercampur marah dan terlihat seperti sudah melawan namun kalah dan menyerah.

Apa-apaan ini?

Page 2: 2

Aku menghambur ke arah mereka seraya melindungi mereka dari peluru yang

melesat ke arah mereka. Aku bisa melihat para orang asing itu dari belakang

mataku yang tenggelam dalam pelukan orangtuaku, mereka memasang wajah

bosan dan menjijikkan pada kami. Aku memang sudah memantapkan diriku

bahwa jika suatu hari hal ini terjadi, aku akan baik-baik saja dan bersikap wajar

seperti hal ini sudah terjadi berulang kali padaku, tapi ketika dihadapkan seperti

ini aku tidak sanggup. Aku goyah.

“Pa, ada apa ini?” suaraku teredam. Masih dalam pelukan.

Tidak ada jawaban. Kemudian aku mendengar suara asing, yang aku yakin bahwa

suara itu berasal dari lelaki gemuk yang tepat duduk berhadapan dengan

orangtuaku. “Apa ya? Aduh, aku tidak tahu bagaimana mengatakannya.”

Nadanya mengejek, pikirku.

Aku masih menenggelamkan kepalaku di dalam pelukan erat orangtuaku.

“Oh, seperti ini saja,” katanya, “aku akan menikahimu – lebih tepatnya, kau akan

menjadi istriku, sayang. Orangtuamu setuju itu. Ya, kan?”

Aku terlonjak kaget dari pelukan itu. Pertama, aku menatap si lelaki gemuk

hidung belang itu dengan wajah marah, kemudian menatap mata kedua

orangtuaku. Aku memasang sorot mata yang mengatakan, ‘Tidak! Katakan tidak!

Kalian tidak mungkin menyetujuiku menikah dengan lelaki hidung belang ini,

kan? Aku belum mau menikah’

Page 3: 2

Namun, mereka hanya tertunduk ke bawah. Menatap tangan mereka dan tidak

menjawabku. Akhirnya, aku mengeluarkan suaraku, “Katakan T-I-D-A-K! Aku

tidak mau menikah dengannya!”

“Kau tidak punya pilihan lain yang baik dan sebagus ini,” ucap lelaki itu.

Aku mengalihkan perhatianku padanya dan melotot. Dia menyeringai.

Menjijikkan.

“Ya, benar,” jawab suara yang sangat kukenal – suara yang hanya dimiliki

ayahku. “Kau akan menikah dengannya, Ana. Dan, tidak ada pilihan – pilihan

untuk kita.” Suara itu kedengaran sedih dan rapuh sama seperti hatiku saat ini.

Adrenalinku terpacu. Aku marah, ya sangat marah. Mataku tertuju pada si lelaki

gemuk hidung belang itu. Masih menyeringai dan menjijikkan. Aku melotot

padanya dengan sorotan sinis. Aku benar-benar marah – bukan hanya marah,

kalau ada tingkatan di atas marah, itulah perasaanku saat ini.

Aku menghambur ke arahnya, melepaskan pukulanku pada wajahnya yang

menjijikkan itu. Hal itu tidak terjadi sama sekali, tangan dan tubuhku ditahan oleh

pria berbaju hitam yang datang bersamanya. Mungkin mereka adalah pengawal si

lelaki.

Tidak kubiarkan mereka menahanku begitu saja, aku melawan dan meronta-ronta.

Ototku sudah mulai melemas. Pada akhirnya, aku merosot. Dan, mengalah. Aku

sangat lemah.

Page 4: 2

Aku mengangkat tanganku ke wajah. Aku kaget, wajahku basah. Ternyata, tanpa

kudasari aku menangis. Kapan tangisku pecah? Bodoh! Kenapa aku harus

menyia-nyiakan air mataku untuk hal seperti ini?

Mataku tetap tidak mau berhenti mengeluarkan air mata. Aku sudah mencoba

menghentikannya. Semua sia-sia. Aku bahkan tidak bisa mengendalikan diriku

sendiri, bagaimana mungkin aku bisa menyelamatkan orangtuaku dan keluargaku.

Aku memang bodoh dan lemah. Aku tidak ada gunanya.

Semua hening. Tak ada satupun yang mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.

Namun, aku – aku yang memecah keheningan itu. “Pasti ada pilihan. Buruk atau

tidak, aku tidak peduli. Yang pasti, aku tidak mau dan tidak akan mau menikah

dengannya,” aku menatap kedua orangtuaku dengan bermacam-macam ekspresi

yang tidak aku ketahui, entah itu marah, kecewa, ataupun sedih.

“Hm... Ya, memang ada pilihan,” ucap suara itu tidak berkata kepada siapa-siapa,

yang pada akhirnya aku tahu ternyata itu ditujukan padaku.

Aku melonjak menatapnya yang sedang berusaha berdiri dari kursi yang

didudukinya. Kalau saja situasi sekarang ini tidak tegang, aku pasti akan tertawa

saat dia kesulitan mengangkat tubuhnya yang super itu. Tapi aku tahu aku tidak

mungkin tertawa. Ada secercah harapan dalam diriku saat dia mengatakan ‘masih

ada pilihan’. Aku menunggu seperti apa pilihan itu.

Kini, ia sudah berdiri di depanku yang sedang terduduk di lantai. Dia

menyeringai. “Memang ada pilihan, tapi–” Matanya tertuju kepada orangtuaku

Page 5: 2

yang saling berpelukan dan sedih. Aku mengikuti pandangan matanya. Kemudian,

ia melanjutkan, “pilihan itu sudah kadaluarsa.”

Kadaluarsa? Aku bingung, “Apa maksudmu dengan ‘Kadaluarsa’”

“Itu tidak berlaku lagi,” suaranya melembut. Ia menunduk menatapku, dan

tangannya menjulur untuk menangkupkan tangannya ke daguku. Aku

menepisnya. Tapi, tangannya kembali lagi ke daguku.

Mataku seketika membelalak ketika mendengar jawabannya. Aku tahu bahwa

sekarang aku heran dan marah. Dia seakan-akan tahu apa maksud yang disiratkan

mataku. “Pilihan itu adalah kalian harus melunasi hutang kalian yang sangat besar

itu. Kemarin adalah batas pelunasan. Kalian beruntung, aku sudah memberi waktu

selama 18 tahun pada kalian untuk membayar itu semua. Tapi, kenapa aku datang

ke sini dan memaksamu menjadi istriku?” ucapnyanya datar. Aku diam dan

mendengarkan. Ia melanjutkan, “Itu karena kalian tidak sanggup membayar

semua hutang kalian padaku,” suaranya meninggi—yang dapat kukenali bahwa

dia sedang marah saat ini. Aku menunduk. Ucapan itu ada benarnya. Tapi, tetap

saja, kenapa aku harus jadi istrinya? Ini tidak adil.

“Apakah hanya itu pilihannya? Tidak ada yang lain?” tanyaku sedikit gugup dan

takut.

Dia menarik tangannya kembali dari daguku dan memasukkannya ke dalam

kantong celananya. Kemudian dia mengalihkan pandangannya dari mataku.

“Tidak. Tidak ada pilihan lain. Hanya itu pilihan terakhir dan satu-satunya untuk

kalian.”

Page 6: 2

“Aku tidak mau jadi istrinya. Tidak, aku tidak mau!” teriakku dalam hati.

Aku menangkupkan wajahku pada kedua tanganku. Air mata kini terus mengalir.

“Oke, aku rasa kau setuju dengan pilihan ini, Ana sayang. Besok aku akan datang

menjemputmu. Jadi, persiapkanlah dirimu sebaik mungkin” Dia beranjak keluar

dari rumahku, diikuti oleh pengawal-pengawalnya.

“Sampai jumpa besok, Tuan dan Nyonya Hanako. Tidak lama lagi, kalian akan

menjadi mertuaku.”

Mereka pergi. Syukurlah, pikirku.

Page 7: 2

2 : Pertemuan yang aneh (ANA)

Jika bisa memilih, aku tidak akan memilih hidup seperti ini. Kata-kata itu terlintas

dalam benakku ketika aku terbangun. Untung saja, aku sudah menyelesaikan

semua ujian akhir sekolah. Sekolah atau tidak, tidak masalah bagiku. Aku hanya

tinggal menunggu pengumuman kelulusan.

Aku bangkit dari tempat tidur.

“Ana? Sudah bangun? Ayo cepat bersiap-siap. Kau hampir terlambat sekolah.”

tanya sebuah suara dari luar. Itu suara ibuku.

Aku keluar dari kamar. Sambil mengucek mata, aku berkata, “Aku tidak sekolah,

Ma.”

Dengan keadaan mata yang baru bangun tidur, aku melihat sekeliling. Ayahku

sedang menggunakan handphone-ku. Apa yang dilakukannya? Seolah dia tahu

apa kupikirkan, dia berkata, “Tadi si Ayumi meneleponmu—bertanya kenapa kau

lama sekali. Jadi, ayah suruh saja dia pergi tanpamu. Nah, ini kalau kau mau

bicara dengannya.” Ayah mengulurkan handphone padaku.

Gawat! Gawat! Gawat! Bodohnya aku! Teriakku dalam hati. Aku menggigit

bibirku sendiri—menyesal karena lupa pada janjiku kemarin.

“Besok jangan terlambat lagi, ya!”

“Oke,” jawabku.

Aku menyambar handphone-ku. Kemudian masuk ke kamar. Aku langsung

mengirim pesan maaf kepada Ayumi. Salahku.

Page 8: 2

Tanpa sengaja, aku melihat jam weker di meja di samping tempat tidurku yang

kusut. Pukul 07.50. Teringat akan kejadian kemarin, mentalku jatuh lagi. Aku

kembali ke tempat tidurku yang kusut itu. 2 jam 10 menit lagi waktuku berada di

rumah ini.

Tiba-tiba, aku mendapati diriku terbangun. Tanpa sadar, aku ketiduran selama—

aku melihat jam weker di sampingku—2 jam? Ya, ampun. Lama sekali aku

tertidur. Sepuluh menit lagi.

Aku langsung melompat dari tempat tidurku, kemudian meraih kenop pintu.

“Apakah semua sudah siap?” tanya ibuku dengan wajah sedih. Begitu juga dengan

ayahku. Mereka tampak begitu rapuh.

Aku mematung tak berdaya di depan pintu. Tapi, mataku berkeliaran di dinding

dan tepat berhenti di sebuah foto. Ayah dan ibuku tersenyum lepas di foto itu,

begitu juga dengan aku. Kalau tidak salah, itu foto sewaktu aku berumur 15—atau

mungkin 16 tahun. Aku lupa. Aku sadar bahwa bibirku membentuk senyum tipis.

Andaikan saja saat ini adalah seperti dulu. Begitu damai dan bahagia.

“Mungkin sudah semua,” jawabku dengan suara yang sangat pelan sehingga bisa

saja mereka tidak bisa mendengarku.

“Kalau begitu, cek semua. Ibu yakin kau tidak akan diberi waktu dan kesempatan

untuk datang ke rumah ini lagi. Seperti—” kata-kata ibuku terpotong saat ayahku

memeluk ibuku. Tanpa melihat wajahnya, aku bisa merasakan ibuku menangis

dalam dekapan ayahku. Beberapa saat kemudian, ibuku menegakkan kepalanya,

dan berkata, “Aku tahu kau takkan pernah diberi kesempatan untuk bersama kami

Page 9: 2

lagi, meski itu hanya sedetik. Sudah ada buktinya, Yuuta tidak pernah datang

untuk menemui kami, atau mungkin dia tidak akan pernah mengenal kami lagi.

“Yuuta? Siapa dia?” tanyaku penasaran. Apakah Yuuta mengalami hal yang sama

sepertiku. Tapi, bagaimana mungkin? Bukankah dia laki-laki? Itu tidak mungkin.

“Dia adalah—” kata-kata ibuku terpotong lagi. Kini tangisnya semakin menjadi-

jadi seperti duka yang sangat dalam.

Kemudian ayahku berkata, “Tidak. Dia bukan siapa-siapa. Tidak ada

hubungannya denganmu. Tidak apa-apa. Tenanglah. Ayah yakin kau akan baik-

baik saja. Tetaplah jaga dirimu baik-baik dan jadi kuatlah.” Matanya

menunjukkan bahwa dia masih berusaha melepasku. Aku anak terakhir mereka.

Aku tahu bagaimana sulitnya bagi mereka untuk tidak melihatku lagi seperti yang

dikatakan ibu—atau mungkin lebih tepatnya mereka tidak mau kehilangan aku.