248781790-Makalah-Manajemen-tanaman-Padi-Gogo(1).doc
Transcript of 248781790-Makalah-Manajemen-tanaman-Padi-Gogo(1).doc
MAKALAH PRESENTASI KELAS
MANAJEMEN TANAMAN
Budidaya dan Manajemen Padi Gogo di Playen, Gunungkidul
Disusun oleh:
1. Andika Bayu Pratama (
2. Febriana Intan Yusria (12367)
3. Ria Anggreyni Pandia (12399)
Kelompok: 10
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara agraris di mana sebagian besar
penduduknya bermatapencarian sebagai petani. Sektor pertanian ini memiliki peran
yang sangat penting dalam memenuhi dan menunjang kebutuhan hidup manusia,
terutama bahan pangan. Beras sebagai salah satu bahan pangan utama bagi sebagian
besar penduduk Indonesia terus mengalami kenaikan permintaan dari waktu ke
waktu. Hal ini dijelaskan pula oleh Badan Litbang Pertanian (2008) cit. Azwir dan
Ridwan (2009) bahwa peningkatan kebutuhan beras di Indonesia meningkat 2% per
tahunnya.
Peningkatan kebutuhan beras ini terjadi karena adanya peningkatan jumlah
penduduk yang laju pertumbuhannya dari tahun ke tahun meningkat, kemudian hal
ini berdampak secara tidak langsung dengan penyempitan lahan pertanian yang
dialihfungsikan menjadi pemukiman. Selain itu, disertai pula perubahan pola
konsumsi penduduk dari non beras ke beras.
Beras merupakan hasil tanaman padi (Oriza sativa L.) yang merupakan
komoditas penting dan menempati urutan pertama di Indonesia. Bahan pangan ini
mengandung 8 g protein dan 73 g karbohidrat dalam setiap 100 g. Sebagai bahan
pangan utama, kesinambungan produksi sangat dibutuhkan agar kualitas dan
kuantitasnya tetap terjaga. Selain itu peningkatan teknologi, perbaikan varietas,
perbaikan teknik budidaya, dan pasca panen perlu dilakukan secara
berkesinambungan agar produksi padi terus berlanjut.
Akan tetapi, usaha peningkatan hasil komoditas ini tidak dapat
berlangsung secara optimal, bahkan penurunan produksi terjadi pada beberapa
daerah karena terjadinya alih fungsi lahan, di mana lahan untuk pertanian sekarang
ini mulai diubah menjadi tempat industri, perumahan, ataupun sektor usaha lain
yang dirasa dapat meningkatkan perekonomian negara.
Adanya penyempitan lahan produktif ini, seharusnya diikuti dengan
pemanfaatan lahan kurang produktif atau lahan marginal yang lebih efektif karena
pada dasarnya, pengolahan lahan marginal yang tepat mampu menghasilkan
pertanaman yang baik pula. Lahan marginal dapat berupa lahan kering yang
biasanya dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usaha tani bukan sawah yang
dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai (DAS) sebagai
lahan atas atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang
tergantung pada air hujan sebagai sumber air.
Ditinjau dari segi luasannya, potensi lahan kering di Indonesia tergolong
tinggi dan masih perlu mendapat perhatian yang lebih bagi pengembangannya.
Namun apabila ditinjau dari sifat fisik atau karakteristik lahan kering, maka sangat
diperlukan beberapa tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas yang menjadi
kendala dalam pengembangannya. Untuk memaksimalkan potensi lahan kering di
Indonesia yang cukup luas, dapat dilakukan dengan penanaman padi lahan kering
atau biasa disebut padi gogo.
Padi gogo merupakan tanaman padi yang ditanam baik pada lahan kering
yang datar maupun lahan kering berlereng tanpa galengan. Pengolahan lahan yang
dilakukan dan kondisi tanam yang kering tetap mempu mendukung agar tanaman
padi tumbuh. Akan tetapi, produksi maksimum hanya dapat tercapai apabila
ketersediaan curah hujan yang dibutuhkannya terpenuhi.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai budidaya dan
manajemen padi gogo yang optimal baik secara langsung dengan mengunjungi
petani ataupun tidak langsung melalui metode pustaka.
B. Tujuan
1. Mengetahui budidaya dan manajemen padi gogo secara langsung
2. Membandingkan budidaya dan manajemen padi gogo di kondisi sebenarnya
dengan standar operasional pelaksanaan pada padi secara umum.
II. BUDIDAYA DAN MANAJEMEN PADI GOGO
A. Padi Gogo dan Perkembangannya di Indonesia
Padi merupakan tanaman yang pertumbuhan dan persebarannya di dunia
paling besar. Hal ini terkait dengan luasnya adaptasi geografi-ekologi tanaman
tersebut sehingga mudah tumbuh diberbagai daerah dengan kisaran iklim tropis dan
subtropis (Smith dan Dilday, 2003). Tanaman pertanian kuno ini berasal dari dua
benua yaitu Asia dan Afrika Barat (tropis dan subtropics). Bukti sejarah
memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai pada
3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar Pradesh
India sekitar 100-800 SM. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal padi
adalah, Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, Vietnam (Toha, 2005).
Secara taksonomi, padi berasal dari famili Gramineae yang terbagi dalam
20 spesies dan tersebar di daerah tropis basah Afrika, Asia Selatan dan Asia
Tenggara, Cina Selatan, Amerika Tengah dan Selatan, serta Australia (Chang, 1976
cit. De Datta, 1981). Akan tetapi, perkembangan padi sekarang ini, telah
memperoleh 25 spesies Oryza, dan yang paling dikenal adalah O. sativa dengan dua
subspecies yaitu Indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi
cere). Akan tetapi, padi dibedakan lagi menjadi 2 berdasarkan tempat hidupnya,
yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi atau daerah dengan
ketersediaan air terbatas dan padi sawah di dataran rendah yang memerlukan
penggenangan (Ruskandar et al., 2003).
Dewasa ini, pertumbuhan tanaman padi yang ada di Indonesia terus
dikembangkan untuk dapat mencapai produksi yang optimum karena kebutuhan
akan beras di Indonesia dari tahun ke tahunnya terus meningkat. Hal ini dijelaskan
oleh Badan Litbang Pertanian (2008) cit. Azwir dan Ridwan (2009) bahwa
peningkatan kebutuhan beras di Indonesia meningkat 2% per tahunnya.
Peningkatan kebutuhan beras ini, terkait dengan luasan lahan pertanaman padi yang
makin lama makin berkurang karena alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan
industri dan perumahan sehingga hanya tersisa areal lahan tidak produktif. Hal ini
terkait dengan pertambahan jumlah penduduk yang ada di Indonesia, jika jumlah
penduduk dari tahun ke tahun makin meningkat, maka makin banyak rumah yang
harus dibangun untuk tempat tinggalnya dan makin banyak areal industri yang
dibangun sebagai sarana bekerja dan peningkat perekonomian Indonesia.
Oleh sebab itu, untuk tetap dapat meningkatkan produksi padi, maka yang
dapat dilakukan sekarang ini hanyalah dengan memperluas areal tanam pada lahan
kering dengan memanfaatkan lahan tidur dan lahan kering, meliputi pekarangan,
tegalan/kebun, dan ladang/huma. Lahan kering ini sebenarnya memiliki potensi
yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai lahan pengembangan padi gogo
(Warda, 2011).
Varietas padi gogo lokal yang berasal dari Kalimantan yang masih
diminati oleh petani karena daya adaptifnya yang baik antara lain: varietas Buyung,
Cantik, Katumping, Sabai dan Sasak Jalan. Demikian pula di Sumatera varietas
lokal seperti Arias, Simaritik, Napa, Jangkong, Klemas, Gando, Seratus Malam, dll.
Varietas-varietas lokal umumnya selain berumur panjang, potensi hasilnya rendah
sekitar 2 ton GKG/ha. Namun kelebihannya varietas lokal mempunyai rasa enak
yang sesuai dengan etnis daerah setempat. Selain itu varietas lokal toleran terhadap
keadaan lahan yang marjinal, tahan terhadap beberapa jenis hama dan penyakit,
memerlukan masukan (pupuk dan pestisida) yang rendah, serta pemeliharaan
mudah dan sederhana (Ruskandar et al., 2003).
B. Syarat Tumbuh Padi Gogo
Pada dasarnya, syarat tumbuh yang harus dipenuhi untuk dapat
memperoleh hasil yang optimum dalam penanaman padi gogo adalah dengan
memperhatikan 3 faktor utama dalam pertanaman, yaitu faktor internal, faktor
eksternal, dan manajemen. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan sehingga satu
sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Faktor internal merupakan faktor tanaman
yang berkaitan dengan sifat atau genetika dari tanaman tersebut. Hal ini dapat
mempengaruhi tingkat ketahanan tanaman terhadap lingkungan (cekaman) atau
bahkan organisme pengganggu tanaman (OPT). Pada faktor eksternal, hal ini dapat
meliputi lingkungan (abiotik dan biotik), yaitu berupa iklim, tanah, dan organisme
hidup lainnya. Faktor manajemen tanaman, lebih terkait pada pengelolaan tanaman
agar dapat mensirnergikan antara faktor internal dan eksternal yang ada pada
tanaman tersebut. Dengan manajemen yang baik dan faktor internal maupun
eksternal yang mendukung, maka pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan
optimum sehingga hasil akhir tanaman akan optimum pula.
Padi gogo memerlukan air sepanjang pertumbuhannya dan kebutuhan air
tersebut hanya mengandalkan curah hujan. Tanaman dapat tumbuh pada derah
mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Tumbuh di daerah tropis/subtropis
pada 45o LU sampai 45o LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan
musim hujan 4 bulan. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan selama
3 bulan berturut-turut atau 1500-2000 mm/tahun. Padi dapat ditanam di musim
kemarau atau hujan. Pada musim kemarau produksi meningkat asalkan air irigasi
selalu tersedia.
Di musim hujan, walaupun air melimpah prduksi dapat menurun karena
penyerbukan kurang intensif. Di dataran rendah padi memerlukan ketinggian 0-650
m dpl dengan temperatur 22-27oC sedangkan di dataran tinggi 650-1.500 m dpl
dengan temperature 19-23oC. Tanaman padi memerlukan penyinaram matahari
penuh tanpa naungan. Di Indonesia memiliki panjang radiasi matahari ± 12 jam
sehari dengan intensitas radiasi 350 cal/cm2/hari pada musim penghujan. Intensitas
radiasi ini tergolong rendah jika dibandinkan dengan daerah sub tropis yang dapat
mencapai 550 cal/cm2/hari. Angin berpengaruh pada penyerbukan dan pembuahan
tetapi jika terlalu kencang akan merobohkan tanaman (Anonim, 1990).
Padi gogo dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, sehingga jenis tanah
tidak begitu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil padi gogo, sedangkan
yang lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil adalah sifat fisik, kimia
dan biologi tanah atau dengan kata lain kesuburannya. Untuk pertumbuhan tanaman
yang baik diperlukan keseimbangan perbandingan penyusun tanah yaitu 45%
bagian mineral, 5% bahan organik, 25% bagian air, dan 25% bagian udara, pada
lapisan tanah setebal 0 – 30 cm. Struktur tanah yang cocok untuk tanaman padi
gogo ialah struktur tanah yang remah. Tanah yang cocok bervariasi mulai dari yang
berliat, berdebu halus, berlempung halus sampai tanah kasar dan air yang tersedia
diperlukan cukup banyak. Sebaiknya tanah tidak berbatu, jika ada harus < 50%.
Keasaman (pH) tanah bervariasi dari 5,5 sampai 8,0. Pada pH tanah yang lebih
rendah pada umumnya dijumpai gangguan kekahatan unsur P, keracunan Fe dan
Al. sedangkan bila pH lebih besar dari 8,0 dapat mengalami kekahatan Zn
(Prasetyo, 2001).
C. Teknik Budidaya dan Manajemen Padi Gogo
1. Pengolahan Lahan
Pengolahan tanah untuk budidaya padi gogo sebaiknya dilakukan dua
kali. Pengolahan tanah pertama dilakukan pada musim kemarau atau setelah
turun hujan pertama, dan pengolahan kedua saat menjelang tanam. Pengolahan
tanah dapat dilakukan dengan menggunakan cangkul, traktor atau ternak secara
disingkal. Lahan kemudian dibiarkan atau dikelantang. Apabila sudah turun
hujan terus menerus atau kontinyu yang memungkinkan untuk tanam, lahan
diolah lagi untuk menghaluskan bongkahan sambil meratakan tanah sampai siap
tanam Nurbaeti dan Nurawan, 2011).
Apabila kondisi lahan berlereng sampai bergelombang, setelah
pengolahan tanah pertama dilakukan pembuatan teras gulud atau perbaikan teras
yang rusak. Pada guludan atau bibir teras diusahakan ditanami tanaman penguat
teras berupa rumput unggul dan dapat dikombinasikan dengan tanaman legume
atau pohon sehingga secara periodik dapat dipangkas untuk pakan ternak. Pada
lahan yang terbuka dan relatif datar perlu dibuat bedengan memanjang dengan
lebar bedengan sekitar 5 meter. Antara bedengan di buat saluran sedalam 20 cm
yang berfungsi sebagai saluran drainase. Pembuatan saluran drainase sangat
diperlukan, karena bila terjadi hujan terus menerus pada beberapa waktu, akan
terjadi genangan yang menyebabkan kelembaban tanah yang tinggi yang dapat
merangsang munculnya jamur upas yang dapat menyerang padi gogo (Nurbaeti
dan Nurawan, 2011).
2. Penanaman
Penaman yang baik dilakukan setelah terdapat 1 – 2 kali hujan, awal
musim penghujan (Oktober – Nopember). Bahkan ada petani yang telah
menebar benih pagi gogo sebelum hujan turun atau yang lebih dikenal dengan
sistem ‘sawur tinggal’. Sistem tanam sawur tinggal dapat dianjurkan pada
daerah-daerah yang memiliki curah hujan sedikit (bulan basah antara 3 – 4
bulan) per tahun dan sulit mendapatkan tenaga kerja (Anonim, 1990).
Di Lahan kering, kegiatan tanam baru dapat dilakukan bila curah hujan
sudah cukup stabil atau curah hujan mencapai 60 mm / dekade (10 hari),
biasanya dicapai pada akhir bulan Oktober sampai akhir Nopember. Penanaman
benih padi gogo menggunakan alat bantu tugal. Benih ditanam dengan
kedalaman sekitar 5 cm (cukup dalam untuk menghindari dari gangguan semut,
dll), kemudian ditutup dengan tanah, dianjurkan untuk menanam lebih dari 3
(tiga) varietas padi gogo dan setiap varietas ditanam pada bedengan yang
berbeda (Sistem mozaik). Penanaman dengan sistem mozaik akan mengurangi
terjadinya ledakan penyakit blas. Sistem mozaik juga dapat diterapkan pada
pertanaman tumpang sari antara padi gogo dengan tanaman keras, dalam hal ini
tanaman perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda. Penanaman
sebaiknya menggunakan sistem tanam jajar legowo (2:1 atau 4:1) dengan jarak
tanam 30 x 20 x 10 cm. Untuk membuat larikan sistem legowo dapat dibantu
dengan alat semacam caplak untuk padi sawah. Alat tersebut mempunyai 4
titik/mata yang berjarak 20 cm dan 30 cm, ditambah 2 titik paku berjarak 6-7
cm. Dengan ketinggian tersebut pada saat operasional, alat akan membentuk 4
larikan dengan kedalaman 4-5 cm dan 2 garis paling pinggir sebagai panduan
untuk operasional alat selanjutnya. Bila keadaan lahan tidak datar atau berlereng,
sebaiknya pengaturan barisan tanaman harus memotong lerang, agar bila terjadi
hujan yang relatif tinggi dapat mengurangi terjadinya aliran permukaan yang
menyebabkan erosi. Setelah terbentuk larikan dengan jarak tanam legowo, benih
ditanam sebanyak 4-5 butir/lubang. Setelah benih di tanam, kemudian ditutup
dengan tanah dengan lapisan yang tipis, karena apabila terlalu tebal bibit tidak
akan tumbuh (Nurbaeti dan Nurawan, 2011).
3. Pemupukan
Pupuk yang digunakan dalam budidaya padi gogo sebaiknya
dikombinasikan antara pupuk organik dan pupuk anorganik. Pemberian pupuk
organik (pupuk kandang atau kompos), dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi
tanah, sedangkan pemberian pupuk anorganik yang dapat menyediakan hara
dalam waktu cepat, pada dosis yang sesuai kebutuhan tanaman berpengaruh
positif terhadap pertumbuhan dan hasil. Pupuk organik diaplikasikan pada saat
penyiapan lahan. Pupuk ini dipakai untuk meningkatkan kandungan C organik
tanah dan meningkatkan kehidupan mikroorganisme tanah. Dosis pupuk pada
pertanaman padi gogo harus disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanahnya.
Jenis pupuk anorganik yang diberikan berupa 150-200 kg/ha Urea, 75 kg/ha TSP
dan 50 kg/ha KCl. Pupuk TSP dan KCl diberikan saat tanam dan urea pada 3-4
minggu dan 8 minggu setelah tanam. Pupuk urea , TSP maupun KCl sebaiknya
diberikan dalam alur atau ditugal kemudian ditutup kembali dengan tanah untuk
mencegah kehilangan unsurnya (Kasijadi et al., 2010).
4. Pengairan
Pada penanaman padi gogo ini, tidak dilakukan pengairan dengan
irigasi karena pada dasarnya, kebutuhan air yang ada pada penanaman ini hanya
berdasarkan ketersediaan air hujan saja sehingga lahan yang digunakan berupa
lahan tadah hujan.
5. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman
Untuk mengurangi kerugian akibat dari gangguan gulma, hama dan
penyakit, perlu dilakukan strategi pengendalian yang terencana. Hal itu dapat
dilakukan dengan cara menerapkan konsep pengendalian secara terpadu (PHT).
Monitoring secara terjadwal harus dilakukan agar keberadaan gulma, hama dan
penyakit bisa diketahui sejak awal.
Untuk mengurangi penyakit utama yang menyerang padi gogo yaitu
penyakit blas dapat digunakan varietas tahan. Penyakit blas menginfeksi
tanaman padi pada fase vegetatif dan generatif. Pada fase vegetatif, P. grisea
menginfeksi daun disebut blas daun (“leaf blast”). Gejalanya, berupa bercak-
bercak berbentuk seperti belah ketupat dengan ujung runcing. Pusat bercak
berwarna kelabu atau keputih-putihan dan biasanya mempunyai tepi coklat atau
coklat kemerahan. Serangan pada fase generatif, P. grisea menginfeksi leher
malai yang disebut blas leher (“neck blast”). Akibatnya, ujung tangkai malai
menjadi busuk, mudah patah dan gabah hampa. Berdasarkan gejala ini, penyakit
blas pada fase generatif lebih dikenal dengan nama potong leher atau busuk
leher (“neck rot”) atau penyakit busuk pangkal malai. Penyakit blas pada fase
generatif (potong leher) lebih merugikan daripada blas daun (fase vegetatif)
(Anonim, 2013).
Selain itu, permasalahan yang sering kali muncul pada lahan
pertanaman padi gogo adalah banyaknya gulma. Gulma ini sangat mudah
tumbuh pada lahan kering. Oleh sebab itu, penyiangan sering kali harus
dilakukan terutama pada saat periode kritis tanaman agar tanaman tidak
mengalami penghambatan pertumbuhan. Pengendalian gulma pada pertanaman
padi gogo sebaiknya dilakukan lebih awal, yaitu pada umur 10-15 hari setelah
tanaman tumbuh atau menjelang pemupukan pertama. Penyiangan kedua
dilakaukan pada umur 30-45 hari atau menjelang pemupukan susulan pertama.
Penyiangan dapat dilakukan dengan menggunakan kored atau manual dengan
tangan apabila lahannya tidak terlalu luas. Ada atau tidak ada gulma sebaiknya
tanah tetap dikored agar sedikit dapat memotong akar tanaman padi yang
diharapkan akan menstimulasi pertumbuhan akar baru (Nurbaeti dan Nurawan,
2011).
6. Panen dan Pasca Panen
Panen dapat dilakukan bila sudah melebihi umur masak fisiologis atau
lebih dari 95 % gabah telah menguning. Panen dilakukan pada umur 110 – 130
hari tergantung pada varietas yang di tanam. Pemanenan biasanya dilakukan
dengan sistem babat bawah, kemudian digebot seperti panen pada padi sawah.
Hasil panen dapat langsung dibawa ke rumah dan diproses dengan dilakukan
penjemuran. Setelah gabah kering (kadar air 14%), gabah dimasukkan pada
karung, kemudian disimpan atau dijual (Nurbaeti dan Nurawan, 2011).
D. Teknik Budidaya dan Manajemen Padi Gogo yang Dilakukan di Playen,
Gunung Kidul
Berdasarkan hasil survey dan wawancara yang telah dilakukan, diketahui
bahwa padi gogo merupakan salah satu komoditas pertanian yang banyak
dibudidayakan di daerah Playen, Gunug Kidul. Kondisi lahan yang kering dan
pemanfaatan tadah hujan membuat daerah ini sesuai untuk ditanami padi gogo. Padi
gogo memerlukan air sepanjang pertumbuhannya dan kebutuhan air tersebut hanya
mengandalkan curah hujan. Secara kondisi tanah ternyata walaupun tempatnya
berada di daerah Gunung Kidul yang rata-rata terdapat tanah kapur pada kedalaman
tertentu, ternyata pada daerah ini, untuk 1 kali cangkulan, masih belum ditemukan
tanah kapuran sehingga secara kesuburan tanahpun masih memungkinkan untuk
pertumbuhan yang baik bagi padi gogo. Jika dibandingkan dengan penanaman padi
sawah, maka kondisi ini memang belum bisa dikatakan sesuai untuk pertumbuhan
padi karena padi sawah membutukan air yang lebih banyak. Akan tetapi, jika dilihat
dari produksi yang dihasilkan per hektare, ternyata padi gogo yang ada di kelompok
tani ini tidak kalah dengan padi sawah, yaitu dapat mencapai 5 ton/ha seperti halnya
padi sawah.
Budidaya padi gogo di daerah Playen sudah dilakukan sejak zaman dulu.
Ketua kelompok tani Sido Lestari menjelaskan bahwa penanaman padi gogo sudah
dilakukan sejak lama dengan menggunakan varietas lokal yang biasanya digunakan
oleh petani-petani sebelumnya. Varietas ini memiliki anakan yang lebih sedikit dan
malai yang lebih panjang. Penanaman benih juga masih disebar. Namun, sekitar 2
tahun belakangan ini manajemen penanaman padi gogo sudah mulai ditingkatkan
sehingga hasil juga sudah mulai meningkat.
Dimulai dari benih yang digunakan saja sekarang telah menggunakan
varietas unggul yang sesuai dengan kondisi lingkungannya. Varietas sekarang lebih
menghasilkan banyak anakan dan tanah akan cekaman kekeringan. Benih ini
memiliki umur panen lebih pendek dari sebelumnya yaitu sekitar 90 hari. Benih
yang sudah mengalami pengembangan ini umumnya didapatkan petani dari dinas.
Padahal, jika dibandingkan dengan umur padi pada umumnya, seharusnya baru
dapat dipanen setelah umur 110-130 hari.
Adapun manajemen ataupun pengelolaan yang dilakukan dimulai dari
memperbaiki sistem penanaman. Petani daerah ini mulai menanam padi gogo awal
musim hujan yaitu awal agustus. Pada kisaran bulan Juni-Juli, petani mulai
melakukan pengolahan lahan, setelah itu, ditunggu hingga turun hujan pertama
yang biasanya pada awal bulan Agustus. Pada saat itu, lahan diolah kembali dengan
menggunakan garit. Lamanya waktu untuk pengolahan lahan dan mulai penanaman
adalah sekitar 2 minggu. Saat pengolahan lahan, tanah dicampur dengan pupuk
dasar yaitu pupuk kandang sekitar 40 sak. Pupuk kandang yang ditambahkan ini
diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik maupun kimia tanah.
Selain itu, untuk dapat meningkatkan produksinya, petani juga mulai
menerapkan sistem jajar legowo sejak 2 tahun yang lalu. Jarak tanam yang
digunakan adalah 20 cm x 20 cm. Dengan menggunakan system jajar legowo
banyak keuntungan yang didapatkan daripada sistem sebar benih yang sudah lama
digunakan, yaitu bertambahnya jumlah tanaman padi, meningkatnya produksi
tanaman padi secara signifikan, memperbaiki kualitas gabah, dapat mengurangi
serangan hama dan penyakit pada tanaman padi, mempermudah dalam perawatan
tanaman padi baik dalam proses pemupukan maupun penyemprotan pestisida, dan
dapat menghemat pupuk, karena yang dipupuk hanya bagian dalam baris tanaman
saja. Walupun memiliki banyak keuntungan, sistem ini juga memiliki beberapa
kelemahan, seperti membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dan waktu yang
lebih lama pada saat melakukan proses penanaman padi, membutuhkan benih yang
lebih banyak karena semakin banyaknya populasi tanaman padi, dan pada
umumnya lahan yang menggunakan jajar legowo akan lebih banyak ditumbuhi
rumput atau gulma sehingga perlu dilakukan pengendalian gulma yang lebih
intensif.
Pemupukan juga dilakukan sudah mulai intensif dan teratur. Pemupukan
tanaman dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu ketika tanaman berumur 15 hst, 30 hst,
dan 60 hst. Pemupukan yang dilakukan saat tanaman sudah berumur 60 hst adalah
pemupukan untuk buah. Sehingga dihasilkan bulir-bulir yang baik dan hasil yang
tinggi. Pola tanam yang biasa dilakukan petani adalah tumpang sari. Biasanya padi
gogo ditumpangsarikan dengan jagung. Namun, sekarang hanya ditumpangsarikan
dengan ubi kayu. Ubikayu yang ditumpangsarikan hanya sedikit jumlahnya hal ini
untuk mengurangi kompetisi antar tanaman. Waktu penanaman ubi kayu sama atau
serentak dengan penanaman padi gogo. Adanya peningkatan manajemen pertanian
yang dilakukan oleh petani di daerah ini serta penggunaan sistem jajar legowo,
hasil produksi juga semakin meningkat dari yang semula hanya 3,8 ton/ha menjadi
5,8 ton/ha dalam sekali panen. Jika dibandingkan dengan produksi padi gogo yang
ada di daerah lain, ternyata sistem/pola tanam yang dilakukan di kelompok tani ini
menghasilkan produksi yang jauh lebih baik karena rata-rata produksi padi gogo di
Indonesia (sekitar 1-3 ton/ha).
Walaupun hasil yang diperoleh pada lahan ini tergolong tinggi untuk padi
gogo, tetapi petani masih dihadapkan pada beberapa kendala, seperti hama,
penyakit, gulma, dan kurangnya pengairan karena pada daerah ini tidak ada sumur
pengairan dan sangat susah mendapatkan air.
Pada pengendalian OPT yang dilakukan ternyata menunjukkan bahwa
keberadaan hama dan penyakit yang terjadi kebanyakan disebabkan karena adanya
uret dan penyakit kresek, tetapi intensitas keduanya sedikit sehingga tidak terlalu
menurunkan produksi tanaman. Pengendalaian untuk uretpun hanya dilakukan saat
tanaman nyata terserang dan dirasa dapat merugikan petani jika terus dilakukan
penanaman, sedangkan untuk penyakit kresek belum adanya penanggulangannya,
lagi pula masih belum terjadi terlalu banyak. Dengan demikian, hal ini dapat
menjadi nilai positif dalam tindak pelestarian lingkungannya karena pengedalian
hama dan penyakit meminimalisir penggunaan bahan kimia. Selain itu, kendala
berupa gulma yang sering terjadi ternyata masih dapat dikendalikan secara manual
pada kelompok tani di sini.
Jika dibandingkan dengan teori-teori dari beberapa sumber terkait
budidaya dan manajemen padi pada umumnya, ternyata padi gogo di daerah
Playen, Gunungkidul sudah sesuai dengan standar penanaman seperti pada halnya
padi pada umumnya, hanya saja, karena keterbatasan kondisi lingkungan berupa
terbatasnya ketersediaan air, maka pemanfaatan hujan memang menjadi alternative
yang paling tepat sehingga padi dapat tumbuhn dengan baik. Pengembangan yang
dilakukan pada kelompok tani ini juga sudah cukup baik karena mampu
menghasilkan produksi yang lebih besar dibandingkan dengan produksi padi gogo
daerah lain, bahkan hampir setara dengan produksi padi sawah.
Untuk panen yang dilakukan pada padi gogo di kelompok tani ini, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, karena menggunakan varietas unggul yang dapat
panen umur 90 hari, maka hal ini akan mempercepat memperoleh hasil. Walaupun,
pada kenyataannya, pemanenan yang dilakukan ini tergantung kondisi tanaman,
jika selama penanaman ketersediaan air tercukupi, maka panen dapat dilaksanakan
tepat waktu, tetapi jika belum terpenuhi, maka pemanenan dapat diundur beberapa
hari. Setelah panen, padi ini biasanya dijemur matahari selama 2 hari dan kemudian
disimpan dalam gudang penyimpanan agar terhindar dari hama berupa tikus.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Budidaya dan manajemen yang dilakukan oleh kelompok tani Sido Lestari,
Playen Gunung Kidul telah dilakukan secara baik, dimulai dari pengolahan
lahan, persiapan bahan tanam, penanaman, pemeliharaan, panen, dan pasca
panen.
2. Hasil produksi yang dapat diperoleh dengan pengolahan yang tepat di kelompok
tani Sido Mulyo, Playen, Gunung Kidul mampu menyamai hasil tanaman pada
padi sawah yaitu 5,8 ton/ha.
B. Saran
Untuk dapat meningkatkan hasil tanaman padi gogo, tidak ada salahnya
untuk juga menerapkan sistem/pola tanam seperti pada padi sawah yaitu berupa
penanaman dengan sistem jajar legowo, penggunaan varietas unggul, dan
tumpangsari karena hal ini akan mendukung pertumbuhan tanaman yang optimum
pula, tetapi karena keterbatasan ketersediaan air, maka ada baiknya, jika
manajemen penanamannya haruslah disegerakan jika diperkirakan hujan sudah
datang agar penanamannya tepat waktu.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.1990. Budidaya Tanaman Padi. Kanisius. Yogyakarta.Anonim. 2013. Penyakit Potong Leher Dapat Turunkan Panen Padi sampai 70%. < http:
//jatim.litbang.deptan.go.id/ind/index.php/berita/info-aktual/643-penyakit-potong-leher-dapat-turunkan-panen-padi-sampai-70 Diakses 4 Mei 2014.
Azwir dan Ridwan. 2009. Peningkatan produktivitas padi sawah dengan perbaikan teknologi budidaya. Akta Agrosia 12: 212-218.
De Datta, S. K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley and Sons, Inc., Canada.
Kasijadi, F., Z. Arifin, dan S. Purnomo. 2010. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). BPTP Jawa Timur. Malang.
Nurbaeti, B. Dan A. Nurawan. 2011. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Padi Gogo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Jawa Barat.
Prasetyo, Y. T. 2001. Bertanam Padi Gogo Tanpa Olah Tanah. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.
Purwono, M. S. dan H. Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ruskandar, A., A. Djatiharti, dan H.M. Toha. 2003. Identifikasi potensi dan peluang pengembangan intensifikasi padi gogo dengan participatory rural apraisal/PRA. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. 31 p.
Smith, C. W., dan R. H. Dilday. 2003. Rice: Origin, History, Technology, and Production. John Wiley and Sons, Inc., Canada.
Toha, H.M. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Setyono (Ed). Balai Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Warda. 2011. Keragaman beberapa varietas unggul baru padi gogo di Kabupaten Bantaerng, Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Serealia 2011.