230110130096 Bellamaulidya Perikanan b
-
Upload
bella-maulidya -
Category
Documents
-
view
235 -
download
0
Transcript of 230110130096 Bellamaulidya Perikanan b
MANAGEMEN AKUAKULTUR DI DANAU TEMPE
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah manajemen sumberdaya perairan semester genap
Disusun oleh :
Bella Maulidya 230110130096
Perikanan B
UNIVERSITAS PADJADJARANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANANJATINANGOR
2016
Manajemen Akuakultur di Danau Tempe
a. Sejarah Danau TempePulau Sulawesi merupakan salah satu pulau besar di Indonesia yang
memiliki kekayaan biota yang tinggi. Pulau ini termasuk dalam kawasan Wallacea
bersama-sama dengan Philipina dan Nusa Tenggara merupakan daerah peralihan
antara zoogeografi Oriental dan Australia (Whitten et al., 1987). Ada tiga tipe
danau di Sulawesi, yaitu tipe danau vulkanik (Danau Tondano, Danau Mooat),
tipe danau tektonik (Danau Matano, Danau Towuti dan Danau Poso) dan tipe
danau rawa banjiran (Danau Tempe, Danau Sidenreng). Danau Tempe dengan
tipe danau rawa banjiran, terletak di Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo,
Sulawesi Selatan. Luas sekitar 13.000 ha dengan kedalaman maksimum 5,5 meter
dan dapat mencapai lebih dari 30.000 ha saat banjir besar dan pada musim
kemarau luas genangannya hanya ± 1.000 ha dengan kedalaman maksimum 1
meter. Perbedaan tinggi permukaan air pada waktu musim hujan dan musim
kemarau ± 4 meter. Pada musim kemarau daerah yang tidak digenangi air
merupakan hamparan lahan yang subur yang digunakan sebagai lahan pertanian
palawija, sedangkan areal yang digenangi air diperkirakan ± 45 % permukaannya
tertutupi oleh tumbuhan air, selebihnya merupakan areal penangkapan ikan dan
alur pelayaran.
Danau tempe terletak dalam tiga kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan
yakni Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidrap, dan Kabupaten Soppeng. Bagian
terbesar (70%) danau ini berada di Kabupaten Wajo. Danau ini melintasi 10
kecamatan dan 51 desa. Posisi geografinya terletak antara 40 00’00” – 40 15’00”
Lintang Selatan dan 1190 52’30” – 1200 07’30” Bujur Timur.
Asal mula terjadinya Danau Tempe tidak lepas dari sejarah perubahan
geografis yang terjadi di Sulawei Selatan. Terdapat empat tahapan perubahan
bentuk fisik dari lokasi di sekitar Danau Tempe (Gambar 1). Tahap pertama yaitu
Sulawesi bagian Selatan masih terpisah dari pulau Sulawei di bagian utaranya
oleh selat yang membentang dari Selat Makassar ke Teluk Bone. Kondisi ini
diperkirakan berlangsung pada masa sebelum Masehi.
Gambar 1. Terbentuknya Danau tempe
Tahap kedua yaitu ketika terjadinya pendangkalan dan penyempitan pada
kedua ujung selat sehingga membentuk sebuah danau besar. Tahap kedua ini
diperkirakan berlangsung pada abad pertama sampai abad ke-4 Masehi. Proses
pendangkalan terus terjadi sehingga terbentuk empat sub danau. Masa ini adalah
tahap ketiga perubahan kondisi geografis yang diperkirakan berlangsung sampai
abad ke-17. Empat sub danau yang terbentuk pada tahap ini yaitu danau Alitta,
Sidenreng, tempe, dan Lapongpakka. Pada tahap ke empat, tepatnya pada abad ke-
19 hingga ke-20, Danau Alitta telah hilang. Danau yang tersisa yaitu Danau
Tempe, Danau Sidenreng, Danau Lapongpakka, dan Danau Lampulung. Pada
masa ini, jalur yang berhubungan Selat Makassar dengan Teluk Bone telah benar-
benar terputus. Sejarawan Christian Pelras (2006) mengungkapkan bahwa seorang
saksi mata portugis, Manuel Pinto, pada tahun 1548 menggambarkan danau
tersebut sebagai danau besar yang oleh penduduk setempat disebut Tappareng
Karaja yang berarti Danau Besar, yang sekarang mencakup wilayah Danau
Tempe-Sidenreng dan sekitarnya. Disebutkan bahwa Tappareng Karaja saat itu
sebagai tempat yang banyak dilalui perahu-perahu layar ayng berlayar dari laut
menuju Sidenreng. Sedimentasi yang terus menerus terjadi menyebabkan danau-
danau ini kemudian terus menyusut luasnya dan juga semakin dangkal.
Danau Tempe mendapatkan masukan air dari 23 sungai besar dan kecil,
namun outlet hanya satu yakni Sungai Cenranae yang memiliki panjang sekitar 70
km dan bermuara di Teluk Bone.
b. Potensi Ekonomi dan Biologi di Danau Tempe
Salah satu fungsi penting Danau Tempe adalah untuk perikanan. Danau ini
pernah sangat terkenal dengan tingginya produksi perikanannya di dekade 1940-
an sampai 1960-an hingga dijuluki sebagai “mangkuk ikan” (fish bowl) nya
Indonesia yang mampu memproduksi ikan tawar sampai sebesar 55.000 ton per
tahun. Seiring dengan perjalanan waktu, dan terjadinya berbagai perubahan
lingkungan setempat akibat sedimentasi, pencemaran, dan eksploitasi lebih
(overfishing) maka produksi ikan danau ini telah merosot.
Pada kurun waktu 2001 sampai dengan 2005 terjadi penurunan produksi
dengan rata-rata penurunan pertahun sebesar 6,45 %. Produksi hasil perikanan
perairan umum daratan pada tiga kabupaten yang berbatasan langsung dengan
danau tempe pada tahun 2005 tercatat sebesar 12.526,7 ton. Kabupaten wajo
memberikan kotribusi paling besar yaitu 69,9 % atau sebesar 8.756,1 ton. Andrian
dkk (2008) menyatakan pemanfaatan sumberdaya perikanan sangat dipengaruhi
oleh besarnya penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat. Diketahui bahwa
rata-rata nilai produksi sebesar 4.597 Kg/tahun dengan rata harga ikan adalah Rp.
5.368/Kg. jenis ikan yang dominan tertangkap adalah tawes (Puntius sp) yaitu
sebesar (35,7%) kemudian Sepat (Trichogaster tricopterus) (18,9%), Mujair
(Oreochromis mossambicus) ( 1 3 , 6 % ) , Gabus (Ophiocephalus pleurothalmus) (10,96%), Betok (Anabas tetudineus) (10%), Mas (Cyprinus Carpio) (6,3%), Nila (Oreochromis niloticus ) (3,9%) dan lain-lain (0,5%).
Di Danau Tempe terdapat sekitar 20 jenis ikan antara lain ikan
mas (Cyprinus carpio), ikan nilem (Osteochilus hassellti), ikan gabus
(Ophiocephalus striatus), ikan sepat siam (Trichogaster pectoralis), ikan bungo
(Glossogobius giuris), ikan tambakan (Helostoma temmincki), dan ikan nila
(Oreochromis niloticus). Ikan mas dan ikan nila adalah ikan introduksi yang
semakin mendominasi perairan danau ini, sedangkan ikan endemik seperti bungo
dan tambakan sudah semakin langka. Para nelayan Danau Tempe mempunyai
kearifan local yang unik dengan mengembangkan teknik penangkapan dengan
memanfaatkan bungka toddo yaitu semacam rumpon dari tumbuhan air yang
mengapung. Danau Tempe merupakan habitat burung air yang penting di
Sulawesi Selatan dan memiliki keanekaragaman spesies burung air yang tertinggi
di antara danau-danau yang ada di Sulawesi. Di Danau Tempe dan sekitarnya
terdapat 40 spesies burung air dan 22 spesies burung terestrial. Di antara burung-
burung air itu, 19 spesies burung pengunjung dan lima spesies burung migran
(Anas querquedula, Pluvialis scuatarola, Tringa glareola, Acitis hypoleucos dan
Gallinago gallinago).
Gambar 2. Ikan Bungo (Glossogobius giuris)
Danau Tempe dan kawasan sekitarnya mempunyai potensi yang sangat
besar untuk dikembangkan dalam bidang pariwisata. Bentangan alam,
keanekaragaman hayati dan budaya masyarakat setempat merupakan modal
penting untuk pengembangan pariwisata. Pemda dan masyarakat Kabupaten
Wajo telah mengambil langkah-langkah untuk promosi pariwisata, salah satunya
dengan penyelengaran Festival Danau Tempe secara berkala. Dalam kegiatan ini
misalnya diadakan acara budaya maccera tappareng yakni mensucikan danau
menurut adat budaya setempat, disertai berbagai atraksi lain yang terkait seni
budaya lokal.
c. Kualitas Air di Danau Tempe
Hasil pengukuran parameter kualitas air, perairan Danau Tempe
menunjukkan kualitas perairan yang subur. Kecerahan air antara 69,7- 129,5 cm,
mengklasifikasikan tingkat kesuburan perairan sedang sampai tinggi atau meso-
eutrofik (Likens, 1975 dalam Jorgensen, 1980). Nilai pH antara 6,18 - 8,15
menunjukkan perairan danau bersifat alkalis sedang, hal tersebut diperkuat oleh
nilai alkalinitas rata-rata perairan danau berkisar antara 73-86 mg/l CaCO3-eq.
menggolongkan perairan danau mempunyai kesuburan sedang. Swingle (1968)
mengatakan bahwa perairan dengan nilai alkainitas antara 50-200 mg/l CaCO3-eq
dan kesadahan diatas 50 mg/l CaCO3-eq menunjukkan produktivitas perairan
sedang sampai tinggi. Perairan demikian cukup ideal mendukung kehidupan dan
perkembang-biakan organisme perairan termasuk ikan dan organisme air lain
sebagai makanan ikan (Wardoyo, 1979). Kadar oksigen terlarut rata-rata selama
penelitian antara 4,92-7,02 mg/l, merupakan nilai kisaran kadar oksigen yang
mendukung kehidupan ikan (NTAC, 1968). Konsentrasi CO2-bebas di perairan
danau mempunyai nilai rata-rata antara 8,79-11,31 mg/l yang menurut NTAC
(1968), Pescod (1973) dan Swingle (1968) masih aman bagi kehidupan ikan
karena nilainya dibawah 12 mg/l yang dianjurkan. Kadar ammonia rata-rata antara
0,050-0,238 mg/l, merupakan kisaran nilai yang masih dalam batas-batas yang
dapat ditoleransi bagi kehidupan ikan. Pescod (1973) mengatakan suatu kriteria
pada perairan di daerah tropis yang tidak membahayakan kehidupan ikan, kadar
amonianya tidak lebih dari 1,0 mg/l. Kadar nitrat dan phosfat, perairan danau
mempunyai nilai rata-rata 0,1063-0,2620 mg/l untuk nitrat dan antara 0,0245-
0,0655 mg/l untuk phosfat, mengklasifikasikan perairan yang subur karena masuk
dalam kisaran 0,051-0,100 mg/l (Joshimura dalam Liaw, 1969). Kadar khlorofil-a
dengan nilai rata-rata 14,24-16,66 mg/L, menggolongkan perairan dengan
kesuburan sedang sampai tinggi (OECD, 1982 dalam Hilman, et al. 2008).
d. Akuakultur di Danau tempe
Danau Tempe memiliki luas permukaan air 24.000-48.000 hektar, Danau
tersebut menjadi muara bagi 13 sungai dari Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah.
Danau Tempe digunakan untuk budidaya ikan gabus. Budidaya perikanan di
Danau Tempe mencapai puncaknya pada era 1970-an, dengan produksi perikanan
mencapai 40.000 ton per tahun. Berkurangnya volume air karena sedimentasi di
danau itu mengakibatkan produksi perikanan terus turun dan kini hanya sekitar
10.000 ton per tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2015. Danau Tempe Segera Direvitalisasi. http://rumahpengetahua n.web.id/danau-tempe-segera-direvitalisasi/.
Pelras, C. 2006. Manusia Bugis. Forum Jakarta-Paris. École francaise d’Extréme-Orient, Jakarta, 2006: 449 hlm.
Surur, F. 2014. Analisis dan Arahan Pengembangan Kawasan Danau Tempe, Provinsi Sulawesi Selatan dengan Mempertimbangkan Kearifan Lokal. Institut Pertanian Bogor 2014: 132 hlm.
Whitten, T., M. Mustafa & G. S. Hendersen. 2002. The Ecology of Sulawesi. The Ecology of Indonesia Series Volume IV. Periplus Edition 2002: 754 hlm.