2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistem · balik atau hubungan sebab akibat. Suatu...
Transcript of 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistem · balik atau hubungan sebab akibat. Suatu...
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model
2.1.1. Sistem
Secara leksikal, sistem berarti susunan yang teratur dari pandangan, teori,
asas dan sebagainya. Dengan kata lain, sistem adalah suatu kesatuan usaha
yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha
untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin, 2004).
Hartrisari (2007), mendefinisikan sistem sebagai kumpulan elemen-elemen yang
saling terkait dan terorganisasi untuk mencapai tujuan. Menurut Muhammadi et
al. (2001), sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek
dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Pengertian
keseluruhan adalah lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan (aggregate),
yaitu terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh
lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan.
Pengertian interaksi adalah pengikat atau penghubung antar unsur, yang
memberi bentuk/struktur kepada obyek, membedakan dengan obyek lain, dan
mempengaruhi perilaku dari obyek. Pengertian unsur adalah benda, baik konkrit
atau abstrak yang menyusun obyek sistem. Kinerja sistem ditentukan oleh fungsi
unsur. Gangguan salah satu fungsi unsur mempengaruhi unsur lain sehingga
mempengaruhi kinerja sistem secara keseluruhan. Unsur yang menyusun sistem
disebut bagian sistem atau sub-sistem (Muhammadi et al., 2001).
Sistem terdiri atas komponen, atribut dan hubungan yang dapat
didefinisikan sebagai berikut: (1) komponen adalah bagian-bagian dari sistem
yang terdiri atas input, proses dan output. Setiap komponen sistem
mengansumsikan berbagai nilai untuk menggambarkan pernyataan sistem
sebagai seperangkat aksi pengendalian atau lebih sebagai pembatasan. Sistem
terbangun atas komponen-komponen, komponen tersebut dapat dipecah
menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian komponen yang lebih kecil disebut
dengan sub-sistem, (2) atribut adalah sifat-sifat atau manifestasi yang dapat
dilihat pada komponen sebuah sistem. Atribut mengkarakteristikkan parameter
sebuah sistem, (3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan
atribut (Muhammadi et al., 2001).
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
14
Menurut Chechland (1981), ada beberapa persyaratan dalam berfikir
sistem (system thinking), di antaranya adalah: (1) holistik tidak parsial; system
thinkers harus berfikir holistik tidak reduksionis; (2) sibernitik (goal oriented);
system thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal oriented) tidak
mulai dengan orientasi masalah (problem oriented); (3) efektif; dalam ilmu sistem
erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen, dimana suatu aktivitas
mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara sistematis
dan terorganisasi guna mencapai tingkat yang efektif dan efisien. Jadi dalam ilmu
sistem, hasil harus efektif dibanding efisien; ukurannya adalah cost effective
bukan cost efficient, akan lebih baik apabila hasilnya efektif dan sekaligus efisien.
2.1.2. Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin, 2004). Menurut
Eriyatno (1999) karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar
bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru
yang dikenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem
merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya
identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat
menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan
sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk
memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem.
Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem
diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai
bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan
tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau
pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan
manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara
koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan
manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu
cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang
dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu
kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar
mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuan.
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
15
2.1.3. Model
Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia riil atau nyata
yang akan bertindak seperti sistem dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu.
Menurut Eriyatno (1999), model merupakan suatu abstraksi dari realitas yang
akan memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta timbal
balik atau hubungan sebab akibat. Suatu model dapat dikatakan lengkap apabila
dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji. Biasanya model
dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) dan evaluasi kebijakan, yaitu
menyusun strategi perencanaan kebijakan dan memformulasikan kebijakan
(Tasrif, 2004).
Menurut Muhammadi et al. (2001), berdasarkan adanya pemahaman
tentang kejadian sistemik, ada lima langkah yang dapat ditempuh untuk
menghasilkan bangunan pemikiran (model) yang bersifat sistemik, yaitu:
Langkah pertama, identifikasi proses, yaitu mengungkapkan pemikiran
tentang proses nyata (actual transformation) yang menimbulkan kejadian nyata
(actual state). Proses nyata tersebut merujuk kepada obyektivitas dan bukan
proses yang dirasakan atau subyektivitas.
Langkah kedua, identifikasi kejadian yang diinginkan adalah memikirkan
kejadian yang seharusnya, yang diinginkan, yang dituju, yang ditargetkan
ataupun yang direncanakan (desired state). Keharusan, keinginan, target dan
rencana merujuk kepada waktu yang akan datang, sehingga disebut pandangan
ke depan atau visi. Visi yang baik perlu dirumuskan dengan kriteria layak
(feasible) dan dapat diterima (aceptable).
Langkah ketiga, memikirkan tingkat kesenjangan antara kondisi faktual
dengan yang diinginkan. Kesenjangan adalah masalah yang harus dipecahkan
atau merupakan tugas (misi) yang harus diselesaikan. Perumusan masalah
secara konkrit bisa dinyatakan dalam ukuran kuantitatif atau kualitatif.
Langkah keempat, identifikasi mekanisme tentang variabel-variabel untuk
menutup kesenjangan antara faktual dengan kejadian yang diinginkan. Dinamika
tersebut adalah aliran informasi tentang keputusan-keputusan yang telah bekerja
dalam sistem, yang merupakan hasil pemikiran dari proses pembelajaran yang
dapat bersifat reaktif ataupun kreatif. Pemikiran reaktif ditunjukkan oleh aksi yang
bentuk atau polanya sama dengan tindakan masa lampau dan kurang antisipatif
terhadap kejadian yang akan datang. Sedangkan pemikiran kreatif ditunjukkan
oleh aksi yang bentuk atau polanya berbeda dengan masa lampau yang dapat
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
16
bersifat penyesuaian tindakan masa lampau (adjustment) atau berorientasi masa
depan (visionary).
Langkah kelima, analisis kebijakan, yaitu menyusun alternatif tindakan atau
keputusan (policy) yang akan diambil untuk mempengaruhi proses nyata sebuah
sistem dalam menciptakan kejadian nyata. Keputusan tersebut dimaksudkan
untuk mencapai kejadian yang diinginkan. Alternatif tersebut dapat satu atau
kombinasi bentuk-bentuk intervensi, baik yang bersifat struktural atau fungsional.
Intervensi struktural artinya mempengaruhi mekanisme interaksi pada sistem,
sedangkan intervensi fungsional artinya mempengaruhi fungsi unsur dalam
sistem. Pengembangan dan penetapan alternatif intervensi tersebut dipilih
setelah dilakukan pengujian (simulasi komputer atau simulasi pendapat pakar).
Perilaku dinamis dalam model dapat dikenali dari hasil simulasi model.
Simulasi model terdiri atas beberapa tahap, yaitu penyusunan konsep,
pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi. Model dapat dinyatakan
baik bila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses
yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.
2.2. Sistem Produksi Padi Sawah
Padi merupakan salah satu komoditas prioritas yang menjadi fokus
perhatian saat ini dan di masa yang akan datang. Prioritas komoditas ditetapkan
berdasarkan kriteria kuantitaif, mencakup: produksi, luas panen, nilai tambah,
serapan tenaga kerja dan daya saing (Suryana, 2005). Indikator dapat pula
bersifat kualitatif, seperti kebijakan, sosial-budaya, dan manajemen industri.
Pemberian indeks untuk masing-masing indikator dilakukan dengan
memanfaatkan expertise judgement oleh pakar yang berpengalaman luas pada
bidangnya.
Pada umumnya usaha tani padi di Indonesia diusahakan dalam skala kecil
oleh sekitar 18 juta petani, akan tetapi usaha tani padi menyumbang 66%
terhadap produk domestik bruto (PDB) tanaman pangan, memberikan
kesempatan kerja dan pendapatan bagi lebih dari 21 juta rumah tangga dengan
sumbangan pendapatan 25-35% (Badan Litbang Pertanian, 2005b). Oleh sebab
itu, komoditas padi tetap menjadi komoditas strategis dalam perekonomian dan
ketahanan pangan nasional, sehingga menjadi basis utama dalam revitalisiasi
pertanian ke depan.
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
17
Pengertian skala usaha tani mengacu pada konsep "retun to scale".
Selama ini konsep tersebut telah banyak diterapkan sebagai pendekatan teoritis
mengenai skala optimal usaha tani (Chavas, 2001 dalam Sumaryanto, 2009).
Penerapannya dalam studi empiris menghasilkan beragam kesimpulan. Sen
(1962) menemukan adanya hubungan terbalik antara luas garapan dengan
produktivitas pada usaha tani di India. Kemudian, pada dekade 70-an, studi
Yotopoulos and Lau (1973) dan Berry and Cline (1979) yang dikutip dari
Sumaryanto (2009) memperoleh kesimpulan bahwa pada usaha tani di India
ternyata skala kecil relatif lebih efisien daripada skala besar; dan tidak
disarankan untuk mengkondisikan konsolidasi usaha tani karena secara umum
ternyata usaha kecil berada pada kondisi "constant return to scale". Dalam
konteks penelitian ini pengertian mengenai skala usaha tani akan dikaitkan
dengan kebutuhan hidup layak minimal petani dan garis kemiskinan (poverty line)
yang diacu di wilayah perdesaan.
2.2.1. Faktor-Faktor Produksi Padi Sawah
Dalam sistem produksi padi sawah terdapat tiga faktor dasar paradigmatik,
yaitu benih, tanah dan tenaga (Sitorus, 2006). Ketiga unsur dasar tersebut
membentuk pertanian melalui proses interaksi triangular yang berpusat pada
budaya tertentu. Implikasi dari asumsi ini adalah bahwa pengembangan benih,
tanah dan tenaga yang unggul berikut pola interaksi berinti budaya antara
ketiganya harus menjadi fokus utama dalam pengembangan sistem produksi
padi. Sedangkan faktor-faktor produksi, seperti pupuk, obat-obatan, alat dan
mesin pertanian (alsintan) bersifat pendukung (supportif) terhadap ketiga unsur
dasar tersebut. Pupuk dan air irigasi adalah faktor pendukung untuk tanah; obat-
obatan adalah faktor pendukung untuk benih, sedangkan alsintan adalah faktor
pendukung untuk tenaga kerja (petani), dalam arti meningkatkan efisiensi dan
efektivitas kerja petani. Implikasi asumsi ini bahwa fokus aktivitas pengembangan
sistem produksi padi bergeser dari tiga serangkai “pupuk-obat-obatan-alsintan”
ke “benih-tanah-tenaga”.
Benih adalah faktor produksi yang menjadi penentu utama atau ”patokan
dasar” tingkat perkembangan dan kemajuan pertanian, sehingga efektivitas
faktor-faktor produksi akan ditentukan oleh tingkatan teknologi benih (Sitorus,
2006). Di antara komponen teknologi produksi, varietas unggul mempunyai
peranan yang lebih besar dalam peningkatan produktivitas padi. Hasil riset World
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
18
Bank menyimpulkan, benih varietas unggul bersertifikat (VUB) merupakan
penyumbang tunggal terbesar (16%) terhadap peningkatan produksi padi, diikuti
irigasi (5%) dan pupuk (4%). Interaksi VUB, irigasi, dan pupuk dapat
meningkatkan produktivitas mencapai 75%, sedangkan sumbangan dari
perluasan areal tanam hanya 25%. (Fagi et al., 2001).
Mayoritas produksi padi nasional (69%) disumbang oleh penggunaan benih
VUB dan sisanya oleh varietas sedang (16%), dan rendah (15%). Penggunaan
benih VUB secara nasional baru mencakup 47% dari kebutuhan benih padi
nasional (Sitorus, 2009a). Lebih lanjut Sitorus menyatakan bahwa benih padi
VUB adalah determinan pokok peningkatan produksi, sehingga dapat dikatakan
bahwa swasembada beras hanya mungkin dicapai di atas basis ketersediaan
benih padi VUB.
Peranan benih padi VUB, tidak terlepas dari peranan produsen benih dan
sistem perbenihan nasional. Data 1970-an sampai 2000-an menunjukkan bahwa
peningkatan jumlah benih padi VUB berbanding lurus dengan peningkatan
produksi padi nasional. Benih padi VUB produksi Sang Hiang Sri memasok 61%
dari pangsa penggunaan benih bersertifikat secara nasional, atau 28% dari total
kebutuhan benih nasional (292.500 ton). Fakta ini membuktikan, peran signifikan
benih VUB dalam pencapaian swasembada beras tahun 1984 dan 2008 (Sitorus,
2009a). Kemampuan industri benih padi untuk memenuhi total kebutuhan benih
nasional, baru mencapai 47%, artinya, lebih dari setengah kebutuhan benih padi
nasional (53%) dipenuhi oleh benih nonsertifikat bermutu rendah yang dihasilkan
petani dan penangkar lokal.
Faktor produksi tanah, mempunyai dua fungsi utama, yaitu (1) sebagai
matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan, dan (2)
sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan. Kedua fungsi tersebut dapat
menurun atau hilang. Hilangnya fungsi kedua dapat segera diperbaiki dengan
pemupukan, sedangkan hilangnya fungsi pertama tidak mudah diperbaiki atau
diperbaharui karena memerlukan waktu yang lama, puluhan bahkan ratusan
tahun untuk pembentukan tanah (Arsyad, 2006).
Indonesia terletak di daerah tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi,
topografi yang curam dan sumber daya manusia yang tergolong rendah,
sehingga masalah degradasi tanah cukup penting diperhatikan. Degradasi tanah
adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi kegunaan
tanah, kehilangan atau perubahan kenampakan (features) tanah yang tidak
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
19
dapat diganti (Sitorus, 2009b). Degradasi tanah adalah proses yang
menguraikan fenomena yang menyebabkan menurunnya kapasitas tanah untuk
mendukung suatu kehidupan. Salah satu indikator menurunnya kualitas lahan,
khususnya sawah adalah menurunnya kandungan C organik tanah.
Faktor-faktor yang sering menyebabkan kerusakan tanah antara lain erosi
tanah, hilangnya unsur hara dan bahan organik tanah karena pencucian
(leaching) dan atau terangkut melalui panen tanpa ada usaha untuk
mengembalikannya, timbulnya senyawa-senyawa beracun dan penjenuhan air
(Arsyad, 2006; Sitorus, 2001). Secara umum degradasi tanah disebabkan oleh
faktor alami dan faktor campur tangan manusia. Faktor alami penyebab
degradasi tanah, antara lain: lahan berlereng curam, tanah yang mudah rusak,
curah hujan intensif, dan lain-lain (Sitorus, 2009b). Sedangkan degradasi tanah
akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih
mendominasi dibandingkan faktor alami, antar lain: perubahan populasi,
marjinalisasi penduduk, kemiskinan (poverty), masalah kepemilikan lahan
(proverty), ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial
ekonomi, masalah kesehatan, pertanian tidak tepat (inappropriate agriculture)
dan aktivitas pertambangan/industri (Sitorus, 2009b).
Degradasi tanah berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanah.
Tanah yang mengalami kerusakan baik kerusakan karena sifat fisik, kimia
maupun biologi memiliki pengaruh terhadap penurunan produksi padi mencapai
sekitar 22% pada lahan semi kritis, 32% pada lahan kritis, dan diperkirakan
sekitar 38% pada lahan sangat kritis (Sudirman dan Vadari, 2000).
Faktor tenaga kerja memegang peranan yang sangat penting dalam sistem
produksi padi sawah. Ketersediaan tenaga kerja yang cukup akan mendorong
pengelolaan sistem produksi padi secara lebih intensif. Di wilayah dimana
ketersediaan tenaga kerja kurang, pengelolaan usaha tani padi cenderung
dilakukan seadanya (tidak intensif). Penggunaan alsintan sebagai pengganti
fungsi tenaga manusia memerlukan banyak pertimbangan, karena tidak semua
lokasi sesuai untuk penggunaan alsintan. Kelangkaan tenaga kerja juga
membuat upah lebih tinggi, sehingga biaya usaha tani meningkat.
Faktor iklim bukan merupakan faktor produksi padi, tetapi merupakan unsur
terpenting yang sangat berpengaruh terhadap sistem produksi padi. Terjadinya
variabilitas dan perubahan iklim global menyebabkan kondisi iklim menjadi tidak
menentu, pola iklim telah berubah dan tidak pasti, fluktuasi iklim lebih besar,
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
20
kondisi ekstrim sering terjadi. Perubahan iklim global mempengaruhi setidaknya
tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan
pertanian (Las, 2007), yaitu : (a) naiknya suhu udara yang juga berdampak
terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (b)
berubahnya pola curah hujan dan makin meningkatnya intensitas kajadian iklim
ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina dan (c) naiknya permukaan
air laut akibat mencairnya gunung es di kutub utara.
Anomali iklim El-Nino berlangsung mengikuti siklus yang dapat berulang
antara 3-4 tahun sekali. Hal ini dapat mengakibatkan musim kemarau yang lebih
panjang dari semestinya. Lahan pertanian tidak dapat digarap, mundurnya
musim tanam, defisit air di jaringan irigasi, dan terjadinya kekeringan (Las, 2007).
Pengaruh perubahan iklim terhadap sektor pertanian dapat berupa dampak
langsung, seperti (a) menurunnya produktivitas tanaman pangan yang
disebabkan oleh meningkatnya temperatur, peningkatan variabilitas curah hujan
dan salinitas air; (b) meningkatnya kehilangan hasil panen yang disebabkan
meningkatnya frekuensi maupun intensitas kejadian iklim ekstrim (bahaya iklim);
dapat juga berupa dampak tidak langsung seperti munculnya bahaya serangan
hama dan penyakit (Watanabe, 2008; Boer and Las, 2008).
2.2.2. Produksi dan Produktivitas Padi Sawah
Upaya peningkatan produksi padi telah lama menjadi kebijakan nasional.
Kilas balik sejarah peningkatan produksi dan produktivitas padi di Indonesia,
dimulai dari penerapan panca usaha tani yang mendasari program Bimas sejak
1969 dengan menggunakan varietas introduksi dari IRRI yaitu IR-8 dengan
potensi hasil 4,5 t/ha (DeDatta, 1981). Kebijakan intensifikasi pertanian melalui
Bimas pada era tersebut berhasil mewujudkan swasembada beras pada tahun
1984. Pendekatan yang lebih holistik melalui Supra Insus dicanangkan tahun
1987 dengan ”10 jurus teknologi paket-D”. Program Supra Insus didukung
berbagai VUB yang lebih tahan hama dan penyakit, terutama IR-64, sehingga
mampu kembali meningkatkan produksi padi sampai menembus 50 juta ton pada
tahun 1996, namun dengan laju kenaikan produksi per tahun lebih rendah dari
sebelumnya (Zaini, 2009).
Tahun 1997 dicanangkan Gerakan Mandiri Peningkatan Produksi Padi,
Kedelai dan Jagung (Gema Palagung). Upaya ini kurang efektif karena laju
kenaikan produksi padi, jagung, dan kedelai masih lebih rendah dari laju
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
21
kenaikan permintaan. Produktivitas dari total faktor produksi juga turun, yang
menandakan bahwa untuk memperoleh tingkat produksi yang sama diperlukan
input lebih besar atau penambahan input tidak proporsional dengan kenaikan
hasil (tidak efisien).
Pilot percontohan Sistem Usaha Tani Padi Berwawasan Agribisnis
(SUTPA) tahun 1995-1997 di 14 provinsi dimotori oleh Badan Litbang Pertanian.
Teknologi yang diintroduksi meliputi VUB Memberamo dan Cibodas serta
teknologi hemat tenaga kerja melalui sistem tanam benih langsung, pemupukan
spesifik lokasi, dan penggunaan alat tanam benih langsung (Adnyana, 1997).
Pada tahun 2002 digulirkan model Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu
(P3T) yang terdiri atas pilot percontohan penerapan ”Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT)” di 26 kabupaten dan Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT) di 20
kabupaten. Model usaha tani dan paket teknologi serta pola pengembangannya
ditetapkan berdasarkan karakteristik dan kebutuhan wilayah serta disesuaikan
dengan kebutuhan pasar sehingga kegiatan pengembangannya diharapkan
dapat meningkatkan ketahanan pangan dan mendorong berkembangnya sistem
dan usaha agribisnis di pedesaan.
Melalui model PTT, varietas unggul yang dikembangkan mampu
berproduksi sesuai dengan potensi genetiknya. Peningkatan produksi padi
dengan menerapkan model PTT di tingkat penelitian, tingkat pengkajian
(onfarm), dan tingkat petani, masing-masing mencapai 37%, 27% dan 16%.
Dalam model PTT, komponen budi daya, seperti pengelolaan hama terpadu
(PHT) dapat menekan kehilangan hasil rata-rata 2,4% tahun-1. Penerapan panen
beregu dapat menekan kehilangan hasil panen sekitar 13,1 - 18,6% menjadi
3,8% (Badan Litbang Pertanian, 2005a).
Produksi padi nasional sejak tahun 1970 hingga 2004 meningkat hampir
tiga kali lipat. Hal ini terkait dengan peningkatan produktivitas dan luas areal
tanam. Peningkatan produktivitas padi dalam kurun waktu tersebut mencapai
87,6%, dari 2,42 ton ha-1 pada tahun 1970 menjadi 4,54 ton ha-1 pada tahun
2004 (Badan Litbang Pertanian, 2005a). Dalam beberapa tahun terakhir laju
peningkatan produksi padi nasional cenderung melandai. Dalam periode 2000-
2003, laju kenaikan produksi hanya 0,2% tahun-1. Di sisi lain, laju peningkatan
produktivitas padi cukup tinggi yang mencapai 1,0% tahun-1, tetapi luas panen
turun 0,9% tahun-1. Indeks pertanaman (IP) juga menurun dari 1,56 pada tahun
2002 menjadi 1,43 pada tahun 2003. Penurunan IP mengindikasikan bahwa
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
22
usaha tani padi mendapat saingan dari usaha tani lain yang lebih
menguntungkan.
Ada tiga faktor yang dipertimbangkan dalam memproyeksikan kapasitas
produksi padi sawah, yaitu luas baku sawah, IP padi, dan produktivitas (Badan
Litbang Pertanian, 2005a). Data statistik Departemen Pertanian (2004)
menunjukkan bahwa luas baku sawah menciut 0,4% tahun-1. IP diestimasi pada
angka 154%. Peningkatan produktivitas sebesar 1,0% tahun-1 adalah nilai rata
rata peningkatan produktivitas dalam periode 2000-2004.
Menurut Badan Litbang Pertanian (2005a), potensi lahan sawah non rawa
pasang surut yang sesuai untuk tanaman padi seluas 13,26 juta ha, lebih dari
50% terdapat di Maluku dan Papua dan hanya 0,85 juta ha terdapat di Bali dan
Nusa Tenggara. Dari 13,26 juta ha potensi lahan sawah yang ada, baru 6,86 juta
ha yang telah dimanfaatkan. Dengan demikian terdapat 6,4 juta ha lahan yang
dapat dikembangkan untuk sawah. Namun perlu dipertimbangkan beberapa hal:
(1) investasi yang mungkin tinggi; (2) kelanggengan fungsi lahan pertanian yang
baru dibuka; (3) ketersediaan tenaga kerja pertanian; (4) dampak lingkungan
atau perubahan ekosistem dan degradasi lingkungan; dan (5) masih adanya
alternatif peningkatan produksi padi melalui peningkatan produktivitas dan IP.
2.2.3. Nilai Penerimaan Usaha tani Padi Sawah
Hasil studi PSE (2001) menyimpulkan bahwa keuntungan usaha tani padi
menunjukkan disparitas antar wilayah, musim dan agroekosistem. Kisaran
keuntungan masing-masing adalah 13-18,4% di Majalengka (Jawa Barat), 13,7 –
16,1% di Klaten (Jawa Tengah), 10,5 – 16,9% di Kediri (Jawa Timur), 14,8-15,5%
di Siderap (Sulawesi) dan 12 – 24% di Agam (Sumatera) (Sudaryanto dan
Agustian, 2003).
Hasil penelitian Badan Litbang Pertanian (2005a) menunjukkan bahwa nilai
penerimaan dari usaha tani padi dengan status garapan milik pada musim hujan
(MH), musim kemarau (MK) I, dan MK II berturut-turut adalah Rp 5,5 juta, Rp 5,4
juta, dan Rp 5,3 juta ha-1. Total biaya tunai untuk masing-masing musim tanam
adalah Rp 2,7 juta, Rp 2,9 juta, dan Rp 3 juta ha-1, sehingga keuntungan atas
biaya tunai berturut-turut adalah Rp 2,7 juta, Rp 2,6 juta, dan Rp 2,3 juta ha-1
(43,39 – 49,09%). Pada usaha tani padi dengan status garapan sewa,
keuntungan atas biaya tunai pada MH hanya sekitar Rp 1 juta ha-1 (18,18%)
karena kompensasi untuk sewa lahan mencapai Rp 1,56 juta ha-1 musim-1. Pada
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
23
MK I keuntungan lebih rendah dan bahkan pada MK II keuntungan kurang dari
Rp 500 ribu ha-1 (9,43%). Sedangkan pendapatan usaha tani padi dengan status
garapan sakap (bagi hasil) lebih tinggi daripada garapan sewa. Pada MH,
keuntungan atas biaya tunai rata-rata Rp 1,15 juta ha-1 (20,90%), pada MK I
meningkat menjadi Rp 1,35 juta ha-1 (25%).
Peningkatan pendapatan petani dapat ditempuh melalui optimasi usaha
tani padi sawah dengan menggunakan model matematis program tujuan ganda
(goal programming) (Siswanto, 2006). Langkah awal yang diperlukan dalam
upaya penyelesaian masalah optimal adalah penyusunan model yang tepat
dengan memperhitungkan variabel dan parameter yang berkaitan secara
langsung. Hubungan antar variabel dan antar parameter pada realitasnya sangat
rumit dan saling berkaitan, sehingga perlu dilakukan penyederhanaan dalam
bentuk model yang berfungsi sebagai alat bantu memperoleh gambaran umum
masalah yang sedang dihadapi. Haluan (1985) dalam Heroe (2005), mengartikan
optimasi sebagai suatu kata kerja yang berarti menghitung atau mencari titik
optimum. Kata benda optimasi merupakan peristiwa atau kejadian proses
optimasi. Jadi, teori optimasi mencakup studi kuantitatif tentang titik optimum dan
cara-cara untuk mencarinya. Penelitian tentang optimasi secara luas pada
berbagai komoditas pertanian telah banyak dilakukan, tetapi umumnya masih
menggunakan pendekatan optimasi konvensional, yaitu dengan tujuan tunggal,
sehingga model yang dihasilkan sangat spesifik dan teoritis.
Metode optimasi di bidang pertanian dengan pendekatan program
matematika konvensional, biasanya menggunakan asumsi dasar yaitu optimasi
dengan tujuan tunggal. Kenyataannya, optimasi akan dihadapkan pada kondisi
kompleks yang memerlukan adanya kompromi di antara beberapa tujuan yang
dapat saling bertentangan. Untuk mencapai kompromi di antara beberapa tujuan
dalam optimasi, menurut Romeo dan Rehman (1989) dalam Heroe (2005) perlu
dikembangkan teknik pengambilan keputusan dengan kriteria ganda (multiple
criteria decision making technique). Salah satu metode yang dapat digunakan
dalam pengambilan keputusan dengan kriteria ganda adalah Goal Programming
(Siswanto, 2006)
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
24
2.3. Kemiskinan, Kemandirian dan Ketahanan Pangan
2.3.1. Kemiskinan
Thomas Malthus pada akhir abad 18 (1798) menyatakan kehawatirannya
bahwa “bumi tidak dapat lagi menyediakan pangan yang cukup bagi
penghuninya, karena telah melewati batas daya dukung (carrying capacity).”
Penduduk yang banyak merupakan penyebab kemiskinan, karena laju
pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, tak akan pernah terkejar oleh
peningkatan produksi pangan dan papan yang hanya mengikuti deret hitung.
Diperkirakan, dengan kenaikan rata-rata penduduk dunia sebesar 2% per tahun,
maka pada tahun 2035 populasi penduduk dunia akan mencapai 12 milyar, dan
pada akhir abad 21 diperkirakan akan mencapai 50 milyar. Bisa dibayangkan bila
kondisi ini benar-benar terjadi, sementara sumber daya alam yang tidak
terbarukan sangat terbatas.
Teori Malthus ini pada dasarnya beranjak dari dua gagasan utama, yaitu:
manusia selalu membutuhkan pangan, sandang dan papan untuk hidupnya dan
nafsu seksualnya tidak akan pernah berubah sifatnya. Bahkan pada abad 20
masih banyak pemikir dunia yang meramalkan bahaya kelaparan besar (great
famine) akan terjadi meskipun tidak sepenuhnya terbukti (Ehrich, 1968) dan
Brown and Kane, 1994 dalam Rogers et al., 2008).
Ada berbagai cara pengukuran kemiskinan, karena kemiskinan dilihat
sebagai fenomena yang multidimensi (Chambers, 1995). Kemiskinan dapat
diukur secara absolut ataupun secara relatif. Kemiskinan absolut terlihat dari
kehidupan yang di bawah minimum, atau di bawah standar yang diterima secara
sosial, dan adanya kekurangan nutrisi. Kemiskinan relatif dilihat dalam
perbandingannya dengan segmen yang lebih atas.
Kemiskinan juga dapat didekati dari sisi obyektif dan subyektif. Obyektif
merupakan pendekatan tradisional ilmiah didasarkan kepada pendekatan
kesejahteraan (the welfare approach), sedangkan pendekatan subyektif
tergantung pada penilaian masyarakat setempat. Bank Dunia memberi batasan
bahwa “extreme poverty” adalah kondisi jika seseorang hidup dengan biaya
kurang dari 1 dollar AS hari-1, dan “poverty” jika kurang dari 2 dollar AS hari-1.
Penilaian Bank Dunia ini hanya melihat kemiskinan pada tingkat individual saja.
Kemiskinan juga dapat diukur berdasarkan pengeluaran kapita-1tahun-1
setara dengan nilai tukar beras. Standar kebutuhan beras yang dipakai adalah
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
25
standar kemiskinan di perdesaan 320 kg kapita-1tahun-1 (Sajogjo, 1997). Sajogjo
membagi menjadi tiga kelompok kemiskinan berdasarkan pengeluaran kapita-1
tahun-1 setara dengan nilai tukar beras untuk wilayah desa dan kota, yaitu miskin:
desa 320 kg dan kota 480 kg; sangat miskin: desa 240 kg dan kota 360 kg;
melarat: desa 180 kg dan kota 270 kg. Keluarga tani dinyatakan hidup layak
apabila telah terpenuhi pangan, papan, pakaian, pendidikan, kesehatan,
rekreasi, dan kegiatan sosial.
Penanggulangan kemiskinan menjadi kewajiban pemerintah, sesuai
dengan kerangka Millenium Development Goals (MDGs). Pemerintah antara lain
berkewajiban menurunkan angka kemiskinan dan kekurangan pangan sebanyak
50% pada tahun 2015 dari kondisi 1990.
2.3.2. Kemandirian dan Ketahanan Pangan
Kemandirian pangan dan ketahanan pangan adalah dua istilah yang
sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama, perbedaan hanya terletak
pada sumber bahan pangan. Kemandirian pangan adalah terpenuhinya
kebutuhan pangan secara mandiri dengan memberdayakan modal manusia,
modal sosial dan ekonomi yang dimiliki (sumber daya lokal) dan berdampak
kepada peningkatan kehidupan sosial dan ekonomi petani dan masyarakat
(Syahyuti, 2006; Soekartawi, 2008). Dalam UU No. 41 Tahun 2009 dinyatakan
bahwa kemandirian pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri
yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin
pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga, baik dalam
jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh
sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal.
Kemandirian pangan identik dengan konsep swasembada pangan yang
saat ini menjadi salah satu target pembangunan pertanian. Lebih lanjut
Soekartawi menjelaskan empat komponen dalam mewujudkan kemandirian
pangan yaitu aspek kecukupan ketersediaan pangan, aspek keberlanjutan
stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari
tahun ke tahun, aspek aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta aspek
kualitas/keamanan pangan. Menurut Soekartawi, apapun pengaruh global tidak
boleh menabrak salah satu dari empat komponen tersebut. Kemandirian pangan
menjadi salah satu indikator pengukuran ketahanan pangan (Simatupang, 2007).
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
26
Ketahanan pangan menjadi isu strategis dalam pembangunan suatu
negara, terutama negara berkembang, karena memiliki peran ganda yaitu
sebagai salah satu sasaran utama pembangunan dan salah satu instrumen
utama (tujuan antara) pembangunan ekonomi (Sen, 1989; Simatupang, 1999).
Peran pertama, merupakan fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk
terjaminnya akses pangan bagi semua penduduk dalam jumlah dan kualitas
yang cukup untuk eksistensi hidup, sehat, dan produktif. Akses terhadap pangan
yang "cukup" merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin oleh
negara bersama masyarakat (FAO, 1998; Byron, 1988).
Peran kedua, merupakan implikasi dari fungsi ketahanan pangan sebagai
syarat keharusan dalam pembangunan sumber daya manusia yang kreatif dan
produktif yang merupakan determinan utama dari inovasi ilmu pengetahuan,
teknologi dan tenaga kerja produktif serta fungsi ketahanan pangan sebagai
salah satu determinan lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi
pembangunan (Timmer, 1997).
Munculnya kesadaran baru bahwa ketahanan pangan merupakan isu
global telah mendorong PBB (FAO) mengorganisir Konferensi Pangan Dunia
(World Food Conference) pada tahun 1974. Sejak konferensi inilah istilah
"ketahanan pangan" semakin populer dan menjadi salah satu isu kebijakan
strategis setiap negara. Menurut Simatupang (2007), konsep ketahanan pangan
yang dianut secara luas hingga pertengahan tahun 1980-an ialah paradigma
"Ketersediaan Pangan Nasional” (National Food Availability Paradigm). Dengan
paradigma ini, ketahanan pangan diartikan sebagai: "kemampuan suatu negara
untuk menjamin ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup bagi seluruh
penduduknya".
Dengan konsep ini, ketahanan pangan dilihat secara agregat di tingkat
nasional. Indikator keharusan bagi ketahanan pangan ialah kecukupsediaan
pangan agregat yang berasal dari produksi domestik dan pengadaan luar negeri
(impor). Indikator kecukupan (kemantapan) ketahanan pangan ialah derajat
swasembada pangan. Ketahanan pangan dikatakan mantap apabila seluruh
kebutuhan pangan dapat dipenuhi dari produksi domestik (swasembada mutlak).
Dengan paradigma ini, strategi kebijakan pangan, pada umumnya di negara-
negara sedang berkembang, berubah dari "swasembada pangan mutlak"
menjadi "swadaya pangan" (self reliance).
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
27
Perbedaan pokok antara strategi "swasembada pangan" dan "swadaya
pangan" adalah dalam hal sumber pengadaan pangan. Pada swasembada
pangan, strategi yang ditempuh ialah bagaimana memacu produksi pangan
domestik sehingga seluruh kebutuhan pangan nasional dapat dipenuhi
(swasembada mutlak). Sedangkan pada "swadaya pangan" strategi yang
ditempuh ialah bagaimana meningkatkan kemampuan nasional sehingga dapat
memenuhi kebutuhan pangan nasional baik dari produksi domestik maupun
melalui impor.
Pada pertengahan tahun 1980-an muncul wacana baru tentang makna
ketahanan pangan. Indikator akhir ketahanan pangan bukanlah kecukupan
pangan secara agregat nasional (ketahanan pangan nasional), tetapi akses
pangan yang cukup bagi seluruh individu di suatu negara. Wacana baru ini
disebut sebagai paradigma perolehan pangan (food entitlement paradigm) yang
dirumuskan dan dipopulerkan oleh penerima Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2000
(Sen, 1981). Wacana baru ini pula yang mendorong pengakuan universal bahwa
perolehan pangan yang cukup merupakan hak azasi manusia yang secara resmi
diterima oleh seluruh negara pada konferensi pangan dunia tahun 1996.
Menurut Simatupang, 2007, paradigma perolehan pangan (food entitlement
paradigm) pada dasarnya ditopang oleh tiga pokok pemikiran, yaitu: (1) indikator
akhir ketahanan pangan ialah perolehan pangan yang cukup bagi setiap individu.
Oleh karena itu, ketahanan pangan harus diukur pada dimensi agregat terkecil,
yaitu individu. Dengan perkataan lain, indikator akhir ketahanan pangan ialah
ketahanan pangan individu (individual food security; (2) ketersediaan pangan
merupakan syarat keharusan tetapi tidak cukup untuk menjamin perolehan
pangan yang cukup bagi setiap individu, dan (3) ketahanan pangan harus
dipandang sebagai suatu sistem hierarkis; ketahanan pangan nasional, provinsi
(kabupaten, lokal), rumah tangga dan individual. Berdasarkan paradigma
perolehan pangan, ketahanan pangan ditentukan oleh dua determinan kunci,
yaitu ketersediaan pangan (food availability) dan akses pangan (food access).
Paradigma perolehan pangan terus mengalami perluasan dan penyesuaian
seiring dengan pertambahan pengetahuan dan perubahan isu pembangunan
kontemporer (Maxwell, 1996; Watts and Bohle, 1993) dengan memasukkan
elemen kerawanan (vulnerability) sebagai salah satu determinan ketahanan
pangan. Ketersediaan dan akses pangan yang rawan terhadap ancaman risiko
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
28
tertentu seperti bencana alam, gejolak ekonomi, sosial, dan politik harus
digolongkan sebagai kondisi ketahanan pangan yang tidak mantap.
Sedikitnya ada empat elemen ketahanan pangan berkelanjutan
(sustainable food security) di tingkat keluarga yang diusulkan Maxwell (1996),
yakni: (1) kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang
dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat; (2) akses atas pangan, yang
didefinisikan sebagai hak (entitlements) untuk berproduksi, membeli atau
menukarkan (exchange) pangan ataupun menerima sebagai pemberian
(transfer); (3) ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara
kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial, dan (4) fungsi waktu manakala
ketahanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan/atau siklus.
Selanjutnya, Chambers (1988) menambahkan elemen keberlanjutan
(sustainability) sebagai determinan tambahan ketahanan pangan. Pada dasarnya
elemen vulnerability dan sustainability bermuara pada satu pemikiran bahwa
waktu merupakan salah satu dimensi utama ketahanan pangan. Ketersediaan
dan akses pangan harus terjamin sepanjang masa secara berkelanjutan. Hal
inilah yang mendasari konsep ketahanan pangan berkelanjutan (sustainability
food security) yang populer pada tahun 1990-an (Swaminathan, 1995;
Simatupang, 1999).
Definisi ketahanan pangan yang diterima secara luas saat ini ialah: "secure
access by all people at all times to adequate, safe and nutritious foods which
meets dietary and preferences for an active and a healthy life" (FAO, 1998,
Maxwell, 1996; Von Braun et al., 1993), yang dapat diterjemahkan sebagai
"terjaminnya akses bagi setiap orang pada sepanjang masa terhadap makanan
bernutrisi, aman, sesuai selera dan memenuhi kebutuhan gizi untuk suatu
kehidupan yang aktif dan sehat".
Berdasarkan definisi di atas, ketahanan pangan ditopang oleh "trilogi" (trial
concepts) ketahanan pangan (Chung et al., 1997), yaitu: (1) ketersediaan bahan
pangan (food availability); (2) akses bahan pangan (food access) dan (3)
pemanfaatan bahan pangan (food utilization). Ketiga elemen inilah yang menjadi
determinan fundamental ketahanan pangan. Dengan demikian, untuk tujuan
analisis kebijakan, isu ketahanan pangan dapat dikaji berdasarkan tiga dimensi
kunci (Simatupang, 2007) yaitu: (1) tingkat agregasi: rumah tangga dan regional
(kabupaten, provinsi, dan nasional); (2) perspektif waktu: jangka pendek,
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
29
menengah dan panjang, dan (3) syarat keharusan dan kecukupan: ketersediaan,
akses, dan pemanfaatan.
Rachman et al. (2004) menyatakan, kemandirian pangan terhadap
produksi domestik menunjukkan seberapa besar produksi pangan menyumbang
atau dapat memenuhi ketersediaan pangan nasional. Ketersediaan pangan
nasional didefinisikan sebagai penjumlahan antara produksi domestik (bersih,
setelah dikurangi untuk penggunaan bibit dan tercecer) dengan impor dan stock.
Kemandirian pangan juga dapat diukur dengan menelaah ketergantungan
terhadap impor maupun net-impor.
2.4. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama dirumuskan Brundtland
Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan
Pembangunan, Perserikatan Bangsa-Bangsa: “Pembangunan berkelanjutan
ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka”
(WCED, 1987). Ada dua hal yang secara implisit menjadi perhatian dalam
konsep Brundtland tersebut, yaitu: Pertama, menyangkut pentingnya
memperhatikan kendala sumber daya alam dan lingkungan terhadap pola
pembangunan dan konsumsi, dan Kedua, menyangkut perhatian pada
kesejahteraan (well being) generasi yang akan datang.
Bedasarkan definisi pembangunan berkelanjutan tersebut, Organisasi
Pangan Dunia (FAO, 1989), mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai
…… manajemen dan konservasi berbasis sumber daya alam, dan berorientasi
perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan
terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang.
Pembangunan pertanian berkelanjutan mengkonservasi lahan, air, sumber daya
genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara
teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial.
Walaupun banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan, termasuk
pertanian berkelanjutan, namun definisi yang diterima secara luas ialah bertumpu
pada tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi (Munasinghe, 1993). Dengan
perkataan lain, konsep pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga
dimensi keberlanjutan, yaitu: keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan
kehidupan sosial manusia (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet), atau
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
30
dikenal sebagai pilar Triple-P (Suryana, 2005). Ketiga dimensi tersebut saling
mempengaruhi sehingga ketiganya harus diperhatikan secara berimbang.
Lynam (1994) dalam Sumarno (2006) memberikan karakteristik umum
tentang pertanian dilihat dari segi penggunaan sumber daya alam dan aspek
keberlanjutannya, yaitu: (1) pertanian adalah usaha multidimensi, meliputi
kegiatan ekonomi, kewajiban moral, sistem biologis, ekologis dan sosial; (2)
pertanian merupakan usaha yang memerlukan lahan (ruang) yang sangat luas,
terdesentralisasi dan tersebar, yang akan kalah efisien dibandingkan dengan
penggunaan ruang untuk industri, jasa pemasaran, perumahan, prasarana, dan
sebagainya, dan (3) pertanian adalah suatu sistem yang bersifat hierarkial, saling
mempengaruhi antara komponen-komponen yang nampaknya bebas, seperti
produksi komoditas secara global, iklim makro dan mikro, sistem hidrologi,
agroekosistem, pola tanam, distribusi, perdagangan, dan sebagainya.
Menurut Harwood (1987) dalam Sumarno (2006) beberapa dimensi atau
kriteria keberlanjutan pertanian, yaitu: (1) dimensi jangka panjang, (2) dimensi
sosial kemasyarakatan, (3) dimensi ekonomi, (4) dimensi kelestarian
keanekaragaman hayati, (5) dimensi minimalisasi pencemaran lingkungan dan
polusi udara, (6) dimensi kualitas dan kesuburan tanah, dan (7) dimensi
kelestarian sumber daya pertanian dan lingkungan. Dari dimensi atau kriteria
tersebut Harwood menyimpulkan "pertanian berkelanjutan adalah usaha
pertanian yang memanfaatkan sumber daya secara optimal, untuk menghasilkan
produk panen dengan masukan dan biaya yang wajar, memenuhi kriteria sosial,
ekonomi dan kelestarian lingkungan, serta tidak menggunakan sarana produksi
yang tidak terbarukan".
Castillo (1992) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai "sistem
produksi pertanian yang terus-menerus dapat memenuhi kebutuhan pangan,
pakan, dan serat bagi kebutuhan nasional dan dapat memberikan keuntungan
ekonomi bagi pelaku usaha tanpa merusak sumber daya alam bagi generasi
yang akan datang". Harrington (1992) mengaitkan pertanian berkelanjutan
dengan tiga tolok ukur dalam pengelolaan sumber daya pertanian, yaitu
kelestarian lingkungan, keanekaragaman hayati, dan keadilan antar generasi
dalam memanfaatkan sumber daya lahan dan terdapat pertumbuhan produksi
sesuai dengan permintaan yang terus meningkat.
Journal of Sustainable Agriculture (1990) dalam Sumarno (2006)
menguraikan bahwa: "pertanian berkelanjutan adalah usaha pertanian yang
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
31
mempersyaratkan: (a) sumber daya pertanian dimanfaatkan seimbang dengan
peruntukannya, (b) praktek usaha pertanian melestarikan sumber daya pertanian
dan mencegah perusakan lingkungan, (c) produktivitas, pendapatan dan insentif
ekonomi tetap layak, dan (d) sistem produksi tetap harmonis dan selaras dengan
dinamika sosial ekonomi masyarakat".
2.5. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini telah
dilakukan oleh Mulyana (1998), Rachman (2001), Badan Bimas Ketahanan
Pangan, Departemen Pertanian bekerjasama dengan Pusat Studi Pembangunan
Lembaga Penelitian IPB (2002), Badan Bimas Ketahanan Pangan bekerjasama
dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (2002), Irawan (2005), dan
Nurmalina (2007). Hasil-hasil penelitian tersebut diuraikan di bawah ini.
Mulyana (1998) melakukan penelitian tentang ”Keragaan Penawaran dan
Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era
Perdagangan Bebas”, bertujuan mengevaluasi dan meramalkan masa depan
swasembada beras dan mengkaji dampak alternatif kebijakan unilateral,
multilateral dan alternatif non kebijakan terhadap penawaran dan permintaan
beras dan kesejahteraan pelaku ekonomi beras domestik. Penelitian ini
menggunakan analisis model ekonometrika penawaran dan permintaan beras di
pasar domestik dan dunia. Produksi domestik didisagregasi menjadi lima
wilayah, yaitu: Jawa dan Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sisa wilayah
Indonesia, sedangkan permintaannya dihitung secara agregat nasional. Hasil
pendugaan model menunjukkan bahwa secara regional areal sawah di Jawa dan
Bali telah mencapai kondisi closing cultivation frontier, yaitu mencapai batas
maksimal lahan subur yang layak untuk areal sawah akibat meningkatnya
kompetisi penggunaan lahan. Karena itu respon areal padi terhadap gabah di
Jawa dan Bali lebih inelastis dibandingkan wilayah lainnya. Faktor lain yang
berpengaruh pada areal padi di seluruh wilayah adalah curah hujan, areal irigasi,
kinerja penyuluhan, target program produksi dan konversi lahan sawah di Jawa
dan Bali.
Hasil simulasi model menunjukkan bahwa penerapan alternatif kebijakan
yang seragam secara nasional tidak selalu direspon dengan arah yang sama
oleh komponen penawaran beras di setiap wilayah dan dapat berbeda
dampaknya terhadap kesejahteraan petani. Implikasi penting dari hal tersebut
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
32
adalah, diperlukan penerapan kebijakan agar swasembada beras dan perbaikan
kesejahteraan petani sama-sama dapat dicapai. Secara ekonomi swasembada
beras periode 1984-1996 dapat dipertahankan dengan kebijakan menaikkan
harga dasar 15,38%, menambah areal irigasi 3,61%, menambah areal
intensifikasi 5,25% atau mendevaluasi rupiah 100% namun dampaknya
berlawanan bagi perubahan kesejahteraan petani dan konsumen. Karena itu
diperlukan kombinasi kebijakan yang dapat mendorong kenaikan produksi beras
sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Hasil peramalan tanpa alternatif kebijakan menunjukkan bahwa kontribusi
wilayah Sumatera, Sulawesi dan sisa wilayah Indonesia akan meningkat dalam
produksi beras pada masa mendatang, sedangkan peran wilayah Jawa dan Bali
berangsur-angsur turun sebagai konsekuensi dari pelaksanaan liberalisasi
perdagangan. Indonesia diperkirakakan tidak akan berswasembada beras
secara absolut melainkan akan mencapai net ekspor beras mulai tahun 2013.
Tampak bahwa potensi produksi beras Indonesia masih cukup prospektif.
Menurut Mulyana, untuk mencapai swasembada beras dan perbaikan
kesejahteraan petani dilakukan dengan meningkatkan areal sawah irigasi dan
intensifikasi di Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dan
memperbaiki efisiensi biaya dan teknologi usaha tani padi sesuai dengan
spesifikasi wilayah. Perlu diefektifkan kebijakan harga dasar gabah yang
didukung dengan peningkatan pengadaan, memperbaiki jaringan distribusi
pemasaran beras dalam dan antar wilayah, meningkatkan teknologi
penyimpanan beras/gabah. Sistem operasi pasar beras masih tetap diperlukan
dalam jangka pendek. Karena itu peran pemerintah yang saat ini dilakukan Bulog
masih perlu dipertahankan dalam jangka pendek.
Rachman (2001) melakukan kajian ”Pola Konsumsi dan Permintaan
Pangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI)” menggunakan data survei sosial
ekonomi nasional (Susenas) tahun 1996 yang dikumpulkan oleh Bappenas. Hasil
kajian menunjukkan bahwa konsumsi beras mendominasi pola konsumsi pangan
sumber karbohidrat secara keseluruhan, menurut daerah maupun menurut
kelompok pendapatan, walaupun konsumsi beras rata-rata rumah tangga di KTI
lebih rendah dibandingkan nasional.
Hasil analisis proyeksi produksi beras pada tahun 2005 berdasarkan data
time series 1997-2001 adalah 28,47 juta ton, meningkat menjadi 28.53 juta ton
pada tahun 2010 dan menjadi 28,59 juta ton tahun 2015. Sedangkan proyeksi
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
33
konsumsi beras tahun 2005, 2010 dan 2015 berdasarkan standar kecukupan gizi
adalah 116,80 kg, 113,15 kg dan 109,5 kg kapita-1 tahun-1 sehingga proyeksi
kebutuhan konsumsi beras nasional pada tahun 2005, 2010 dan 2015 adalah
26,06 juta ton, 26,97 juta ton dan 27,77 juta ton. Pada tahun 2015, jika konsumsi
penduduk Indonesia sesuai dengan kecukupan gizi yang diperlukan, maka
produksi dalam negeri mampu memenuhi permintaan. Namun perlu diwaspadai
adanya peningkatan konsumsi beras per kapita tahun-1 akibat pertumbuhan
ekonomi yang terjadi pada tahun 2015, sehingga perlu berusaha untuk
meningkatkan pertumbuhan produksi beras dalam negeri. Pergeseran pola
pangan pokok yang mengarah ke beras terutama penduduk di KTI,
mengakibatkan beras menjadi komoditas bergengsi yang ditunjukkan oleh
meningkatnya konsumsi beras dengan meningkatnya pendapatan.
Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian bekerjasama
dengan Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB (2002) melakukan
”Analisis Skenario Pemenuhan Kebutuhan Pangan Nasional Hingga 2015
Ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi Pertanian”, menggunakan analisis
ekonometrika. Hasil analisis menunjukkan bahwa mulai tahun 2010 Indonesia
berpeluang mengalami kondisi dimana tingkat produksi akan lebih besar
daripada tingkat konsumsi. Kondisi surplus terutama tercipta oleh peningkatan
produksi yang lebih cepat daripada peningkatan konsumsi. Surplus beras akan
lebih cepat tercapai apabila diterapkan kebijakan yang bersifat mendukung. Dari
berbagai kebijakan yang disimulasikan, peningkatan dana irigasi dan anggaran
pembangunan sektor pertanian memberikan pengaruh positif yang lebih besar
dalam peningkatan produksi dibandingkan dengan skenario kebijakan lainnya,
seperti kebijakan subsidi pupuk, tarif impor maupun kebijakan harga dasar.
Badan Bimas Ketahanan Pangan bekerjasama dengan Lembaga
Penelitian Universitas Indonesia melakukan ”Analisis Proyeksi Produksi dan
Konsumsi Beras Nasional 2015 Ditinjau Dari Aspek Sosial Kelembagaan
Pertanian dan Perdesaan” menggunakan analisis regresi linier (trend analysis).
Untuk memperkirakan kecukupan zat gizi (energi) tahun 2002-2015 dilakukan
analisis berdasarkan angka kecukupan zat gizi dari Widya Karya Pangan dan
Gizi tahun 1979, 1988, 1993 dan 1998. Kecukupuan ini diterjemahkan dalam
bentuk kebutuhan pangan berdasarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang. Saat ini
masih terjadi ketidakseimbangan pola konsumsi pangan yang disebabkan oleh
terlalu tingginya peran padi-padian (khususnya beras) di satu sisi, dan masih
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
34
rendahnya peran beberapa pangan, terutama pangan hewani, sayuran dan buah
serta belum tercukupinya minyak dan lemak. Berdasarkan hal tersebut, maka
konsumsi kapita-1 padi-padian, khususnya sepanjang 2000-2015 diproyeksikan
menurun, sedangkan komoditas lain, khususnya sayuran dan buah, pangan
hewani, minyak dan lemak serta kacang-kacangan diproyeksikan meningkat.
Hasil analisis AHP, di antara berbagai fungsi yang diperkirakan mendukung
ketahanan pangan, ternyata fungsi ketersediaan ditemukan sebagai yang
terpenting. Sedangkan fungsi lainnya seperti distribusi, konsumsi dan
kewaspadaan pangan memperoleh bobot yang jauh lebih kecil daripada fungsi
ketersediaan.
Otonomi daerah yang telah diberlakukan diperkirakan akan memberikan
pengaruh yang besar terhadap tercapainya ketahanan pangan. Implikasinya,
pemerintah kabupaten memainkan peranan penting sejak dari tahapan
perencanaan hingga tahapan evaluasi. Komponen-komponen yang diperlukan
bagi pelaksanaan proses manajemen ketahanan pangan tersebut juga
diharapkan menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Namun ada
satu komponen penting dimana peran pemerintah pusat diharapkan tetap
menonjol. Komponen tersebut adalah pendanaan. Dengan kata lain diharapkan
sumber pendanaan utama bagi kebijakan ketahanan pangan adalah dari
pemerintah pusat.
Irawan (2005) melakukan ”Analisis Ketersediaan Beras Nasional, Suatu
Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis”, menggunakan data sekunder yang
sumber data utamanya adalah Statistik Indonesia dan Profil Pertanian Dalam
Angka. Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanan, yaitu tidak mencakup sub
sistem distribusi dan tata niaga, mengabaikan pengaruh faktor lingkungan dan
pengaruh faktor harga gabah beras terhadap tingkat penawaran. Hasil analisis
menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak akan tercapai
apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana keadaan tahun
1992-2002 (-0,77% tahun-1) dan penerapan teknologi budi daya padi sawah tidak
beranjak dari keadaan tahun 1990-2000. Swasembada beras akan tercapai
apabila laju konversi lahan di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing-masing
0% dan 0,72% tahun-1 mulai tahun 2010. Pada saat yang sama upaya
peningkatan produktivitas padi sebesar 2,0 – 2,5% tahun-1 sebagaimana prestasi
yang pernah dicapai pada saat swasembada beras (1983-1985) diperlukan.
Kebijakan perluasan areal lahan sawah di luar Jawa sebanyak satu juta hektar
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
35
selama lima tahun tidak akan cukup untuk mencapai kondisi swasembada beras
dalam 15 tahun ke depan selama laju konversi lahan sawah dan tingkat
produktivitas padi tetap tidak berubah.
Nurmalina (2007) meneliti tentang ”Model Neraca Ketersediaan Beras
Yang Berkelanjutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional”. Penelitian
menitikberatkan neraca ketersediaan hanya pada pangan pokok beras pada
tingkat nasional dan regional dengan waktu analisis 2005-2015. Penilaian indeks
dan status keberlanjutan sistem ketersediaan beras dianalisis pada tingkat
nasional dan regional. Tingkat regional mencakup beberapa wilayah, yaitu Jawa,
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan wilayah lainnya (Bali, NTB, NTT, Maluku
dan Irian). Analisis indeks dan status keberlanjutan ketersediaan beras dilakukan
dengan teknik ordinasi Rap-Rice modifikasi dari Rapfish yaitu menempatkan
sesuatu pada urutan yang terukur dengan metode Multidimensional Scaling
(MDS) dengan memfokuskan pada lima dimensi analisis, yaitu ekologi, ekonomi,
sosial budaya, kelembagan dan teknologi. Sedangkan dimensi politik dan
keamanan tidak dimasukkan dalam analisis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai indeks dan keberlanjutan multi
dimensi ketersediaan beras di Indonesia adalah 64,51, yaitu dalam kategori
cukup berkelanjutan. Sedangkan pada tingkat regional bervariasi antar wilayah
antara 33,37-67,23. Wilayah Jawa dan Sumatera termasuk kategori cukup
berkelanjutan, sedangkan wilayah Sulawesi, Kalimantan, dan wilayah lainnya
termasuk kategori kurang berkelanjutan. Keberlanjutan untuk setiap dimensi
berbeda-beda antar wilayah, begitu juga bila dibandingkan antar regional dan
nasional.
Hasil analisis prospektif terhadap peubah kunci keberlanjutan menunjukkan
bahwa faktor yang berpengaruh terhadap sistem ketersediaan beras yang
berkelanjutan adalah pencetakan sawah, konversi lahan, kesesuaian lahan,
penduduk, produksi, produktivitas dan konsumsi penduduk kapita-1. Hasil analisis
sistem dinamis menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan kunci dari sisi
penyediaan (produktivitas, produksi, pencetakan sawah dan kesesuaian lahan)
memberikan hasil kinerja model lebih baik terhadap neraca ketersediaan beras
yang berkelanjutan di masa yang akan datang, dibandingkan dengan kebijakan
perbaikan pada sisi kebutuhan (penurunan pertumbuhan jumlah penduduk dan
konsumsi kapita-1).
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
36
Hasil kinerja sistem dengan perbaikan produktivitas dan produksi
(intensifikasi) berkontribusi cukup besar dalam neraca ketersediaan beras yang
berkelanjutan tetapi dengan pertumbuhan yang menurun tajam, sedangkan
kebijakan pencetakan sawah dan pengendalian konversi (ekstensifikasi)
berkontribusi rendah tetapi seiring berjalannya waktu meningkat dengan
pertumbuhan yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa strategi intensifikasi
akan sangat baik untuk meningkatkan neraca ketersediaan beras, tetapi bila
ingin neraca ketersediaan beras tersedia secara berkelanjutan maka strategi
intensifikasi ini perlu dibarengi dengan ekstensifiksi. Hasil analisis sensitivitas
menunjukkan bahwa parameter yang sangat sensitif berpengaruh terhadap
ketersediaan beras adalah indeks pertanaman dan produktivitas, masing-masing
31,81 dan 16,99. Sedangkan konsumsi kapita-1 penduduk kota (8,52), konsumsi
kapita-1 penduduk desa (7,43), rendemen gabah beras (7,91), dan pembukaan
lahan (2,72). Parameter yang tidak sensitif adalah penurunan pertumbuhan
penduduk (0,90) dan pengurangan susut/tercecer (0,74).
Ariningsih dan Rachman, (2008) menyatakan bahwa pemantapan
ketahanan pangan di wilayah KTI dapat dilakukan antara lain melalui upaya: (1)
peningkatan ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dengan
mengembangkan komoditas pangan lokal sesuai potensi sumber daya dan pola
konsumsi setempat; (2) peningkatan produktivitas pertanian melalui akselerasi
pemanfaatan teknologi sesuai dengan kapasitas sumber daya manusia
setempat.