2.1 Konsep Lanjut Usia -...
Transcript of 2.1 Konsep Lanjut Usia -...
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Lanjut Usia
2.1.1 Definisi Lanjut Usia
Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia apabila
umurnya 65 tahun keatas (Efendi 2009). Lansia bukanlah suatu penyakit akan tetapi
merupakantahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang di tandai dengan penurunan
kemampuan tubuh untuk berdaptasi dengan stress lingkungan. Menurut Wordl Health
Organization, batasan umur lanjut usia terbagi dalam beberapa tingkatan: Usia
pertengahan (45-59) tahun, lanjut usia (60-74) tahun, lanjut usia tua (75-90 )tahun, usia
sangat tua ( > 90) tahun (Nurkasiani, 2009).
Menurut Undang Undang no 13 tahun 1998 yang berbunyi “ lanjut usia adalah
seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat
proses penuaan lansia akan mengalami perubahan-perubahan yang akan menuntut
dirinya menyesuaiakan diri secara terus menerus. Apabila proses menyesuaikan diri
dengan lingkungan kurang berhasil makamunculah berbagai masalah yang akan
menyertai lansia di antaranya akan terjadi : Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan
ketergantungan pada orang lain, ketidakpastian ekonomi, sehingga memerlukan
perubahan total dalam pola hidupnya, mencari teman baru untuk mendapatkan ganti
mereka yang telah meninggal atau pindah, mengembangkan aktivitas baru untuk mengisi
waktu luang yang bertambah banyak, belajar memperlakukan anak-anak yang telah
tumbuh dewasa (Iqbal; Chayatin; Santoso, 2009).
12
Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan biokimiawi di
susunan saraf pusat (Darmojo & Hadi, 2000)T. erdapat dua jenis penuaan, antara lain
penuaan primer, merupakan proses kemunduran tubuh gradual tak terhindarkan yang
dimulai pada masa awal kehidupan dan terus berlangsung selama bertahun, terlepas dari
orang-orang lakukan untuk menundanya. Sedangkan penuaan sekunder merupakan hasil
penyakit, kesalahan dan penyalahgunaan factor-faktor yang sebenarnya dapat dihindari
dan berada dalam control seseorang (Papalia & Feldman, 2005).
2.1.2 Perubahan Sistem pada Lanjut Usia
Perbedaan usia biologis, adalah usia yang menunjuk pada jangka waktu seseorang
sejak lahirnya, berada dalam keaadaan hidup, tidak mati. Usia psikologi adalah usia yang
menunjuk pada kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian
pada situasi yang dihadapinya. Sedangkan usia sosial adalah usia yang menunjuk kepada
peran yang di harapkan atau di berikan masyarakat kepada seseorang sehubungan dengan
usianya (Iqbal, 2009).
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia antara lain :
1. Perubahan kondisi fisik
Perubahan kondisi fisik pada lansia meliputi : perubahan dari tingkat sel sampai kesemua
tingkat organ tubuh, muskoskeletal, gastrointestinal, penglihatan, urgoital, endokrin dan
integumen.
13
Perubahan Sistem Lansia terdiri dari :
Perubahan fisik
Jumlah sel pada lansia akan lebih sedikit dan ukurannya lebih besar. Cairan tubuh
dan cairan intraseluler akan berkurang, proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan
hati juga ikut berkurang. Jumlah sel otak akan menurun, mekanisme perbaikan sel akan
terganggu dan otak akan menjadi atrofi. Penurunan jumlah juga terjadi pada sel saraf,
rata-rata berkurangnya saraf neocortical sebesar 1 perdetik, berhubungan persarafan cepat
menurun, lambat dalam merespon baik dari gerakan maupun jarak waktu, khususnya
dengan stres, mengecilnya saraf pancaindra, serta menjadi kurang sensitif terhadap
sentuhan (Tamher; Iqbal 2009).
Gangguan lain terjadi pada pendengaran (prebiakusis), membran timpanai
mengalami atrofi, terjadi pengumpulan dan pengerasan serumen karena peningkatan
kreatin, pendengaran menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa atau
stres. Muncul sklerosis pada shinter pupil dan hilangnya respon terhadap sinar. Kornea
lebih berbentuk seperti bola (sferis), lensa lebih keruh, dan menyebabkan katarak,
meningkatnya ambang. Pengamatan sinar dan adaptasi terhadap kegelapan menjadi lebih
lambat dan sulit untuk melihat dalam keadaan gelap, hilangnya daya akomodasi,
menurunya lapang pandang, dan menurunya daya untuk membedakan antara warna biru
dengan hijau pada skala pemeriksaan (Tamher; Iqbal 2009).
Penurunan fungsi terjadi pada sistem kardiovascular. Elastisitas dinding aorta
menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku. Hal ini menyebabkan menurunya
kontraksi dan volumenya. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurang efektivitas
14
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, sering terjadi postural hipotesis, tekanan darah
meningkat di akibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer
Pengaturan suhu tubuhpun menurun (hipotermia) secara fisiologi ± 35˚, hal ini di
akibatkan oleh metabolisme yang menurun, keterbatasan refleks menggigil, dan tidak
dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas otot
(Tamher; Iqbal 2009).
Otot-otot pada pernapasan kehilangan kekuatan dan mejadi kaku, aktivitas dari
silia menurun, paru-paru kehilangan elastisitas sehingga kapasitas residu meningkat,
menarik napas lebih berat, kapasistas pernapasan maksimum menurun, dan kedalaman
bernapas menurun. Penurunana lain terjadi pada Sistem Gastro Intestinal yakni gigi,
indra brekurang/hilang, pengecapan mengalami penurunan, esofagus melebar,
sensitivitas akan rasa lapar menurun, produksi asam lambung dan waktu pengosongan
lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi serta berkurangnya
suplai aliran darah (Iqbal, 2009).
Ginjal mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun hingga
50 %, fungsi tubulus berkurang. Otot- otot kandung kemih melemah, kapasitasnya
menurun hingga 200 ml dan menyebabkan frekuensi buang air kecil meningkat, kandung
kemih sulit di kosongkan sehingga meningkatkan retensi urin. Sistem integumen, kulit
menjadi keriput dikarenankan jaringan lemak menurun, permukaan kulit kasar dan
bersisik, menurunya respon terhadap trauma, mekanisme proteksi kulit menurun,
berkurangnya elastisitas akibat menurunya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku
15
lebih lambat, kelenjar keringat berkurang jumlahnya dan fungsinya, kuku menjadi pudar
dan kurang bercahaya (Tamher; Iqbal 2009).
Sistem Muskuloskeletal, dimana tulang kehilangan kepadatannya (density) dan
semakin rapuh, kifosis, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan
mengalami sklerosis, atrofi serabut otot sehingga gerak seseorang menjadi lambat, otot-
otot kram dan menjadi tremor (Tamher; Iqbal 2009).
2. Perubahan kondaisi Mental.
Umumya lansia mengalami penurunan fungsi kognisi dan psikomotor.
Perubahan-perubahan mental erat kaitannya dengan perubahan fisik, keadaan fisik,
keadaan kesehatan, tingkat pendidikan atau pengetahuan, dan situasi lingkungan. Selain
itu terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi mental :perubahan fisik
khusunya organ perasa, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas),
ganguan syaraf panca indra (timbul kebutaan dan ketulian), lingkungan, gangguan konsep
diri akibat kehilangan jabatan, rangkaian dari kehilangan (kehilangan hubungan dengan
teman dan keluarga, hilangnya kekuatan dan ketangapan fisik), perubahan terhadap
gambaran diri, dan konsep diri (Tamher; Iqbal 2009).
3. Perubahan Psikolsosial
Salah satu perubahan yang di rasakan adalah merasakan kesadaran akan kematian,
penghasilan menurun, penyakit kronis, ketiadakmampuan, kesepian akibat pengasingan
diri dari lingkungan. Perubahan yang mendadak dalam kehidupan akan membuat lansia
merasa kurang melakukan kegiatan yang berguna, perubahan yang lansia alami antara
16
lain: minat, isolasi dan kesepian, perubahan kognisi, perubahan spiritual. Oleh karena itu,
dalam menghadapi perubahan-perubahan perlu penyesuaian.
Ciri-ciri penyesuaian yang tidak baik dari lansia adalah tidak ada minat terhadap
kejadian di lingkungan sekitar, menarik diri kedalam fantasinya, selalu mengingat kembali
kemasa lalu yang pahit, selalu khawatir kerena pengangguran, kurang ada motivasi, rasa
kesendirian kerena hubungan dengan keluarga kurang baik dan tempat tinggal yang tidak
di inginkan.Sedangkan Ciri-ciri penyesuaian yang baik dari lansia minat yang kuat,
ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak sosial yang luas, menikmati kerja dan hasil
kerja dan menikmati kegiatan yang di lakukan saat ini dan memiliki kekhawatiran
minimal terhadap diri dan orang lain (Tamher; Iqbal 2009).
2.2 Konsep Kognitif
2.2.1 Definisi Fungsi Kognitif
Kognitif merupakan proses-proses mental, seperti mempersepsikan, belajar,
mengingat, menggunakan bahasa, dan berpikir (Sonium, 2006). Fungis Kognitif
merupakan proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain
sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat (Sutarto &
Cocro, 2006). Fungsi kognitif adalah kegiatan mental yang dibutuhkan dalam
memperoleh, menyimpan, mendapatkan kembali, dan menggunakan pengetahuan.
Fungsi kognitif menyelesaikan permasalahan, membawa kognisi untuk mendapatkan
akhir yang baik (Chairani, 2016). Fungsi kognitif dimaksudkan untuk menunjukkan
kemampuan seseorang dalam belajar, menerima, dan mengelola informasi dari
lingkungan sekitarnya (Harsono, 2007).
17
Prevalensi gangguan kognitif termasuk demensia meningkat sejalan bertambahnya
usia, kurang dari 3% terjadi pada kelompok usia 65–75 tahun dan lebih dari 25% terjadi
pada kelompok usia 85 tahun ke atas (WHO, 1998). Proses penerimaan informasi diawali
dengan diterimanya informasi melalui penglihatan (visual input) atau pendengarannya
(auditory input) kemudian diteruskan oleh sensori register yang dipengaruhi oleh perhatian
(attention), ini merupakan bagian dari proses input. Setelah itu informasi akan diterima
dan masuk dalam ingatan jangka pendek (short term memory), bila menarik perhatian dan
minat maka akan disimpan dalam ingatan jangka panjang (long term memory). Bila sewaktu-
waktu diperlukan memori ini akan dipanggil kembali Elis (1993dalam, Lanawati, 2015).
Petersen dkk (2002 dalam, Lanawati, 2015) menjelaskan perubahan atau gangguan
memori pada penuaan otak hanya terjadi pada aspek tertentu, sebagai contoh, memori
primer (memori jangka pendek/Short time memory) relatif tidak mengalami perubahan pada
penambahan usia, sedangkan pada memori sekunder (memori jangka panjang/ long term
memory) mengalami perubahan bermakna. Artinya kemampuan untuk mengirimkan
informasi dari memori jangka pendek ke jangka panjang mengalami kemunduran dengan
penambahan usia. Dari sebuah penelitian pada orang dengan kognisi normal berusia 62-
100 tahun, disimpulkan bahwa kemampuan proses belajar (learning) atau perolehan
(acquisition) mengalami penurunan yang sama secara bermakna pada penambahan usia,
tetapi tidak berhubungan dengan pendidikan, sedangkan kemampuan ingatan tertunda
(delayed recall atau forgetting) sedikit menurun tetapi lazimnya tetap, terutama kalau faktor
pembelajaran awal dipertimbangkan.
18
2.2.2 Aspek-Aspek Gangguan Fungsi Kognitif
a. Atensi
Atensi menunjukkan pada suatu proses persepsi yang spesifik dan kadang
menunjukkan suatu keadaan umum dari kesadaran dan fokus, bergantung pada
tingkat kesadaran yang merupakan faktor penting yang menentukan fungsi kognitif
seseorang. Atensi memerlukan kemampuan untuk berkonsentrasi pada suatu tugas
dan dapat terganggu pada suatu gangguan psikiatri akut, keadaan konfusional, atau
gangguan eksekutif (Campbell, 2005). Salah satu cara yang sering digunakan untuk
mengukur atensi adalah urutan angka. Pasien diminta mengulangi urutan angka yang
panjang setelah setiap satu urutan disebutkan.seorang dewasa normal harus dapat
mengingat sampai dengan 7 angka. Ketidakmampuan mengingat atau kurang
menunjukkan adanya gangguan (Campbell, 2005; Asosiasi Alzheimer Indonesia,
2004).
b. Bahasa
Pemeriksaan fungsi berbahasa mencakup observasi produksi bahasa spontan
sama halnya dengan pengamatan langsung ke area yang secara potensial terlibat dalam
afasia dan yang berkaitan dengan sindrom-sindromnya. Tes langsung yang sederhana
adalah yang bermanfaat dalam menilai kelancaran, komprehensi, repetisi, dan
penamaan. Berbicara spontan biasanya menghasilkan sekurang-kurangnya 40 kata per-
menit dan umumnya memiliki tata bahasa yang utuh serta tidak memerlukan usaha
yang berlebihan (Campbell, 2005).
19
c. Memori
Proses ingat dan lupa tidak terlepas dari proses belajar dan mengingat seseorang
dalam menyerap rangsangan (stimulus) dari lingkungan atau dengan kata lain belajar
dari lingkungan amat bergantung pada kemampuan daya ingatnya (memori). Memori
adalah suatu cara organisme untuk mencatat pemaparan terhadap kejadian atau
pengalaman (Iswadi, 2002). Memori terbagi ke dalam tiga fungsi yaitu :yaitu memori
segera, memori jangka pendek, dan memori jangka panjang. Memori segera diukur
dengan urutan angka. Memori jangka pendek menunjukkan kemampuan untuk
mempelajari informasi baru dan memori jangka panjang menunjukkan kemampuan
untuk mengingat kembali materi yang dipelajari pada masa lalu (Kusumoputro S,
2007).
d. Visuospasial
Fungsi visuospasial dinilai dengan meminta pasien untuk meniru gambar.
Kemampuan motorik yang relatif normal adalah syarat utama dalam melakukan
pekerjaan ini. Pengabaian (neglect) pada salah satu sisi gambar sering menunjukkan lesi
hemisfer bagian posterior yang kontralaterai dengan sisi neglect tersebut. Lesi pada
bagian lain dari serebral juga dapat mengacaukan fungsi visuospasial. Menggambar
jam adalah salah satu cara yang sering digunakan untuk skrining fungsi visuospasial
dan dapat memberikan banyak informasi (Campbell, 2005).
e. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif serebral dapat didefinisikan sebagai suatu proses kompleks
seseorang dalam memecahkan masalah atau persoalan baru. Proses ini meliputi
kesadaran akan keberadaan suatu masalah, mengevaluasi, menganalisa, memecahkan
20
serta mencari jalan keluar dari suatu persoalan. Fungsi eksekutif diatur oleh lobus
frontalis dan juga melibatkan koneksi subkortikal dengan ganglia basalis dan thalamus.
Selain fungsi tersebut, lobus frontalis juga berperan dalam berbagai kemampuan
kognitif seperti atensi selektif, kemampuan motorik,bicara dan bahasa, kelancaran
verbal dan non verbal, memori kerja, pengaturan informasi, pengaturan waktu, dan
orientasi spasial (Kusumoputro S, 2007).
2.2.3 Anatomi Fungsi Kognitif
Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri sendiri dalam
menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satu kesatuan, yang disebut sistem limbik. Sistem
limbik terdiri dari amygdala, hipokampus, nukleus talamik anterior, girus subkalosus,
girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus dan korpus mamilare. Alveus,
fimbria, forniks, traktus mammilotalmikus dan striae terminalis membentuk jaras-jaras
penghubung sistem ini (Waxman, 2007). Peran sentral sistem limbik meliputi memori,
pembelajaran, motivasi, emosi, fungsi neuroendokrin dan aktivitas otonom. Struktur
otak berikut ini merupakan bagian dari sistem limbic
1. Amygdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer kanan
predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan pada hemisfer kiri
predominan untuk belajar emosi pada saat sadar.
2. Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang, pemeliharaan
fungsi kognitif yaitu proses pembelajaran.
3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial.
4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan darah dan
kognitif yaitu atensi.
21
5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammillary bodies dan septal nuclei.
Adapun forniks berperan dalam memori dan pembelajaran.
6. Hipothalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui produksi dan
pelepasan hormon, tekanan darah, denyut jantung, lapar, haus, libido dan siklus
tidur/bangun, perubahan memori baru menjadi memori jangka panjang.
7. Thalamus ialah kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon membentuk dinding
lateral ventrikel tiga. Fungsi thalamus sebagai pusat hantaran rangsang indra dari
perifer ke korteks serebri. Dengan kata lain, thalamus merupakan pusat pengaturan
fungsi kognitif di otak/sebagai stasiun relay ke korteks serebri.
8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan pembelajaran.
9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru.
10. Korteks enthorinal, penting dalam memori dan merupakan komponen asosiasi
(Markam, 2003).
Sedangkan lobus otak yang berperan dalam fungsi kognitif antara lain :
1. Lobus frontalis Pada lobus frontalis mengatur motorik, prilaku, kepribadian,
bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa dan sintesis.
Sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan sebagai bagian sistem limbik,
karena banyaknya koneksi anatomik dengan struktur limbik dan adanya perubahan
emosi bila terjadi kerusakan.
2. Lobus parietalis Lobus ini berfungsi dalam membaca, persepsi, memori dan
visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensorik (input visual, auditori, taktil) dari
area sosiasi sekunder. Karena menerima input dari berbagai modalitas sensori
sering disebut korteks heteromodal dan mampu membentuk asosiasi sensorik (cross
22
modal association). Sehingga manusia dapat menghubungkan input visual dan
menggambarkan apa yang mereka lihat atau pegang.
3. Lobus temporalis lobus temporalis berfungsi mengatur pendengaran, penglihatan,
emosi, memori, kategorisasi benda-benda dan seleksi rangsangan auditorik dan
visual.
2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif
Beberapa penelitian mengenai faktor yang memengaruhi fungsi kognitif adalah sebagai
berikut:
1. Usia
Secara umum, penelitian yang ada menunjukan bahwa lansia menunjukan hasil
yang lebih buruk daripada orang yang lebih muda pada tugas-tugas yang berkaitan
dengan kemampuan kognitif (Thompson&Dumke, 2005, dalam Spar&La Rue,
2006). Sedangkan menurut Yao, Zeng&Sun (2009) menayatakan bahwa umur
merupakan faktor resiko bagi kognisi pada lansia dan menjadi faktor utama bagi
penurunan kemampuan kognisi lansia. Meski demikian , terdapat pula beberapa
penelitian yang menunjukan hal sebaliknya. Penelitian yang dilakukan oleh
Artistico, Cervone&Pezzuti (2003, dalam Spar&La Rue 2006) menunjukan bahwa
lansia berusia 65-74 tahun yang sehat secara kognitif mampu memberikan solusi
yang lebih relevan dalam aspek pemecahan masalah dibandingkan orang-orang
berusia 20-29.
23
2. Jenis Kelamin
Menurut Spar&Rue (2006) penuaan kognitif hampir sama sebenarnya untuk laki-laki
dan perempuan. Meski demikian, pada umumnya perempuan menunjukan
penurunan pada tugas-tugas spasial di usia lebih dini daripada laki-laki, sedangkan
laki-laki umumnya menunjukan pnurunan pada tugas-tugas verbal terlebih dahulu
daripada perempuan. Sedangkan menurut Yao dkk (2009) pada 1.000 lansia di
changsa City, Cina menunjukan bahwa skor MMSE pada laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan. Ada dua kemungkinan yang mendasari hasil temuan tersebut.
Pertama, hal ini mungkin berkaitan dengan tingkat pendidikan lansia laki-laki yang
pada umumnya lebih tinggi daripada perempuan akibat kesemapatan untuk meraih
pendidikan yang lebih terbuka bagi laki-laki dimasa lampau. Kedua, hal ini mungkin
berkaitan dengan pekerjaan. Jumlah laki-laki yang terlibat dalam pekerjaan mental
lebih besar daripada perempuan
3. Status Pendidikan
Menurut Wang&Dong (2005, dalam Yao dkk, 2009) perubahan struktur dan fungsi
otak setelah maturitas sebagian besar disebabkan oleh pengalaman dan pendidikan.
Pendidikan dapat menyediakan stimulus rutin dan terus-menerus bagi
perkembanagan kemampuan kognitif seperti logika dan penalaran, pemikiran
absrak, dan mampu mencegah hilangnya hubungan dan meningkatkan hubungan
antar neuron. Pada lansia di Taiwan juga menunjukan adanya hubungan antara
tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif setelah dikontrol dengan faktor gaya
hidup. Lansia dengan tingkat pendidikan rendah cenderung memiliki maslah
24
kognitif dibandingkan dengan lansia yang memiliki tingkat pendidikan tinggi (Wu
T.H dkk, 2011).
4. Tekanan Darah
Tekanan darah tinggi di usia pertengahan dikaitkan dengan mild cognitive
impairmentdan peningkatan risiko demensia sebaliknya hipertensi di usia lanjut
diasosiasikan dengan penurunan risiko demensia. Selain itu telah diamati bahwa
tekanan darah mulai turun sekitar 3 tahun sebelum demensia didiagnosis dan terus
menurun pada penderita AD. Dari data ini bisa ditafsirkan bahwa tekanan darah
tinggi di usia pertengahan meningkatkan risiko demensia di kemudian hari,
sedangkan rendahnya tekanan darah di usia lanjut dikaitkan dengan proses penuaan
dan neuropatologi yang menyertainya. Perbedaan risiko tersebut dapat karena
tingginya tekanan sistolik di usia pertengahan akan meningkatkan risiko
aterosklerosis, meningkatkanjumlah lesi iskemik substansia alba, juga meningkatkan
jumlah plak neuritik dan stangles di neokorteks dan hipokampus serta meningkatkan
atrofi hipokampus dan amigdala. Masing-masing kelainan tersebut dapat
berpengaruh negatif terhadap fungsi kognitif. Sebaliknya, rendahnya tekanan darah
dapat diasosiasikan dengan peningkatan risiko gangguan kognitif dan demensia
karena perubahan neurodegeneratif akibat hipoperfusi otak.
5. Alkohol
Kebanyakan studi terdahulu terpusat pada efek negatif konsumsi alkohol berlebihan
tetapi konsumsi alkohol ringan dan moderat dibandingkan dengan abstinensi dan
konsumsi alkohol berat dapat menguntungkan kesehatan kognitif, termasuk lebih
kecilnya penurunan beberapa domain kognitif. Suatu meta analisis atas asosiasi
25
prospektif penggunaan alkohol dengan penurunan kognitif dan demensia (termasuk
Alzheimer dan demensia vaskuler) menyimpulkan bahwa konsumsi ringan sampai
moderat diasosiasikan dengan penurunan risiko demensia; risiko demensia vaskuler
dan penurunan kognitif juga menurun tetapi tidak bermakna.
6. Aritmi Jantung
Kejadian fibrilasi atrium dikaitkan dengan gangguan fungsi kognitif maupun
demensia, terutama di kalangan perempuan dan usia<75 tahun fibrilasi atrium
permanen padausia lanjut dikaitkan dengan nilai MMSE yang lebih rendah, mungkin
disebabkan oleh lesi iskemik akibat mikroemboli; tetapi fibrilasi atrium sering
disertai dengan payah jantung yang menurunkan cardiac outputdan penyakit lain
seperti diabetes mellitus yang juga merupakan faktor risiko gangguan kognitif.
7. Payah Jantung
Payah jantung di kalangan usia lanjut dikaitkan dengan gangguan kognitif; skor
MMSE lebih rendah dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri yang lebih berat selain
itu di kalangan usia lanjut berpenyakit jantung, mereka yang menderita payah
jantung mempunyai fungsi kognitif lebih rendah. Riwayat payah jantung dikaitkan
dengan peningkatan risiko demensia, termasuk demensia Alzheimer dan CIND
(cognitive impairment no dementia). Kaitan ini bisa disebabkan oleh adanya faktor risiko
bersama seperti aterosklerosis,hipertensi, diabetes melitus, atau karena hipoperfusi
serebra.
8. Aktivitas
Aktivitas hobi (termaksuk bermain catur, tai chi, berkbun, menyanyi, menari,
memancing melukis, menggambar dan sebagainya) memiliki efek positif bagi kognisi
26
lansia (Yao dkk, 2009). Katz (2003, dalam Reichman, Fiocco&Rose, 2010)
menemukan bahwa aktivitas waktu luang yang dilakukan lansia seperti membaca,
bermain permainan papan, bermain instrumen musik, menari bersosialisasi dengan
penurunan resiko berkembangan demensia. Menurut Rikli dkk (1993, dalam
Change dkk, 2011) menemukan bahwa program latihan aerobik yang dilakukan oleh
lansia mampu memperbaiki fungsi kognitif lansia khususnya dalam kecepatan
pemrosesan dan memori serta atensi. Salah satu spekulasi mengenai asosiasi antara
aktivitas fisik dengan kemampuan kognitif ialah bahwa latihan fisik (exercise) mampu
memperbaiki fungsi kognitif dengan cara meningkatkan fungsi kardiovaskular yang
meningkatkan kecepatan pemrosesan otak, memori, fleksibilitas mental, dan fungsi
kognitif Angevaren dkk (2007, dalam Wu dkk, 2011).
9. Status Gizi
1. Mikronutrien
Vitamin B6, B12 dan asam folat dapat mengurangi risiko gangguan kognitif dan
demensia karena mengurangi peningkatan kadar homosistein plasma,
homosistein diketahui dapat menyebabkan perubahan patologi melalui
mekanisme vaskuler dan neurotoksik langsung. Suplementasi B12 hanya
menguntungkan kalangan defi siensi B12, yang lebih sering ditemukan di
kelompok lanjut usia karena gangguan absorbsi akibat kondisi gastrik dan
masalah pencernaan lain.Tetapi Kwok dkk (2008) mendapatkan bahwa
suplementasi B12 selama 10 bulan tidak memperbaiki fungsi kognitif di
kalangan demensia yang defi siensi B12. Analisis Cochrane juga menyimpulkan
27
bahwa suplementasi B12, dibandingkan dengan plasebo, tidak meningkatkan
fungsi kognitif di kalangan demensia yang kadar B12 serumnya rendah.
2. Makronutrien
Makronutrien yang dikaitkan dengan demensia ialah lemak. Ada asosiasi antara
asupan lemak di usia pertengahan berasal dari olesan roti dan susu dengan risiko
demensia dan Alzheimer (AD) 21 tahun kemudian asupan moderat
(dibandingkan dengan asupan rendah) lemak total dan lemak tak jenuh(misal
mentega, margarin) diasosiasikan dengan penurunan risiko demensia dan AD,
sedangkan asupan moderat lemak jenuh dari olesan roti diasosiasikan dengan
peningkatan risiko.
3. Pola diet
Efek diet terhadap kognisi ialah secara keseluruhan dan interaksi antar zat
nutrient atau pola diet tidak berasal dari masing-masing nutrien dan/atau
suplemen secara tersendiri. Salah satu pola diet yang diasosiasikan dengan
penurunan risiko AD ialah diet Mediterania yang kaya buah,sayuran, wholegrain
dan ikan.
10. Diabetes
Diabetes melitus di usia pertengahan meningkatkan risiko mild cognitiveimpairment,
semua jenis demensia 46-8 dan demensia vaskuler, meskipun penemuan Curb dkk
(1999) tidak menyokong. Studi kasus-kontrol menunjukkan bahwa peningkatan
risiko dipengaruhi oleh onset yang lebih dini, lama dan beratnya diabetes. Manfaat
kontrol gula darah terhadap risiko demensia masih belum dapat dipastikan. Studi
observasional mendapatkan para diabetik yang diobati lebih sedikit yang turun
28
fungsi kognitifnya dibandingkan dengan yang tidak diobati. Diabetes menyebabkan
gangguan sistem pembuluh darah, termasuk di otak; gangguan ini biasa
menyebabkan iskemi menghasilkan lesi subkortikal di substansia alba, silent infarcts,
dan atrofi yang pada MRI terlihat lebih sering dan berat di kalangan penderita
diabetes. Diabetes lebih dikaitkan dengan risiko demensia vaskuler dibandingkan
dengan demensia Alzheimer. Metabolisme Abeta dan tau-protein yang membentuk
plak dan kekusutan neuron di otak juga dapat dipengaruhi oleh kadar insulin.
11. Trauma
Trauma kepala secara langsung mencederaistruktur dan fungsi otak, dan dapat
mengakibatkan gangguan kesadaran, kognitif dan tingkah laku.Studi kohort
mendapatkan bukti kuat bahwa riwayat cedera kepala meningkatkan risiko
penurunan fungsi kognitif,risiko demensia dan AD sesuai dengan beratnya cedera.
Riwayat cedera kepala disertai kesadaran menurun meningkatkan risiko AD 10
kali lipat, sedangkan jika tanpa penurunan kesadaran risikonya 3 kali lipat selain itu
mula timbul Alzheimer lebih dini jika ada riwayat hilang kesadaran lebih dari 5
menit. Sebuah studi kasus kontrol juga menunjukkan risiko Alzheimer meningkat
dalam 10 tahun pertama setelah cedera kepala. Mekanismenya dianggap melalui
kerusakan sawar darah-otak, peningkatan stres oksidatif dan hilangnya neuron
(Wreksoatmodjo, 2014).
2.2.5 Tahapan Penurunan Fungsi Kognitif
1. Mudah Lupa
Seseorang tidak bias mengingat jalan pulang ketika dia berada di lingkungan
tempat tinggalnya. Seseorang yang kemudian kehilangan daya ingat jangka
29
pendek, sering mengungkapkan cerita kepada teman tentang masa lalunya
berkali-kali selama15 menit. Kebiasaan itu kemudian berkembang sampai titik
ketika orang itu lupa akan kejadian-kejadian besar terkini atau hal-hal terbaru
mengenai dirinya, dan kemudian titik ketika dia menjadi semakin kehilangan arah
dan kebingungan. Sering kali, orang dengan penyakit Alzheimer masih dapat
mengingat peristiwa-peristiwa jauh karena daya ingat jangka panjang adalah yang
terakhir menghilang (Mehmed & Michael, 2015).
2. Mild cognitive impairment (MCI)
Kemunduran kognitif ringan Mild cognitive impairment (MCI) adalah stadium
transisi antara perubahan kognitif akibat proses penuaan normal dan masalah
lebih serius yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer (Dewanto dkk, 2009).
Meurut Rilianto (2015) didefinisikan sebagai fungsi kognitif di bawah normal
tetapi tidak cukup untuk diagnosis demensia. MCI berbeda dengan penyakit
Alzheimer atau demensia lainnya; perubahan kognitif pada MCI tidak berat dan
tidak mengganggu aktivitas harian. Tidak semua penderita MCI mengalami
perburukan, sebagian dapat mengalami perbaikan. Akan tetapi, diketahui bahwa
individu dengan MCI memiliki peningkatan risiko untuk menjadi Alzheimer,
terutama jika masalah utama adalah memori.
3. Demensia
Demensia merupakan hilangnyya kemamampuan intelektual yang cukup berat
sehingga mengganggu fungsi pekerjaan atau aktivitas sosial/hubungan dengan
orang lain, yang biasanya dilakukan. Sebangai tambahan, harus ada gangguan
daya ingat jangka panjang secara obyektif. Akhirnya, gangguan salah satu area
30
dari otak harus terbukti, seperti pemikiran abstrak (abstraction), daya nilai
(judgement), fungsi luhur kortikal, seperti bahasa, praksis, penamaan objek atau
perubahan kepribadian. Demensia timbul pada kesadaran yang utuh (Kaplan &
Sadock, 1989). Atau demensia adalah suatu keadaan dimana terjadi deteriorsi
yang progresif dari kemampuan intelektual, perilaku dan kepribadian sebagai
konsekuensi dari penyakit hemisfer serebral yang menyeluruh terutama mengenai
korteks serebral dan hipokampus (Darmabrata & Adhi, 2003).
2.2.6 Instrumen Pengukuran Fungsi kognitif Mini Mental Status Examination
(MMSE)
Mini Mental Status Examination (MMSE) merupakan salah satu bentuk pengkajian
kognitif yang banyak digunakan. Lima fungsi kognitif yang dikaji dalam MMSE
meliputi konsentrasi, bahasa, orientasi, memori dan atensi. MMSE terdiri dari dua
bagian, bagian pertama hanya membutuhkan respon verbal dan mengkaji orientasi,
memori dan atensi. Bagian kedua mengkaji kemampuan menulis kalimat, menamakan
obyek, mengikuti perintah tertulis dan verbal, dan menyalin gambar polygon komplek
(Dewi, 2014).
Menurut Potter (2006, dalam Dayamaes, 2013) Mini Mental Status Examination
(MMSE) merupakan suatu skala tersruktur yang terdiri dari 30 poin yang
dikelompokan menajdi tujuh kategori: orientasi terhadap tempat (Negara, provinsi,
kota, gedung, dan lantai), orientasi terhadap waktu (tahun, musim, bulan, hari, dan
tanggal), registrasi (mengulang dengan cepat 3 kata), atensi dan konsentrasi (secara
berurutan mengurangi 7, dimulai dari angka 100, atau mengeja kata WAHYU secara
terbalik), mengingat kembali (mengingat kembali 3 kata yang telah diulang
31
sebelumnya), bahasa (memberi nama 2 bnda, mengulang kalimat, dan mengikuti
perintah 3 langkah), dan kontruksi visual (menyalin gambar).
2.3 Konsep Interaksi Sosial
2.3.1 Definisi Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan kegiatan manusia dan manusia, bukan manusia dan
benda mati, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dengan demikian, selama aksi dan reaksi
tersebut tidak terjadi antara manusia dan manusia, maka aktivitas tersebut bukan
interaksi sosial. Interaksi sosial antara kelopok-kelompok manusia terjadi pula di dalam
masyarakat. Interaksi tersebut lebih nyata ketika terjadi bebturan antara kepentingan
perorangan dan kepentingan kelompok (Setiadi &Usman, 2011). Menurut (Sunaryo,
2004 dalam Jamil, 2012) interaksi sosial adalah hubungan-hubungan yang menyangkut
hubungan antara individu dan individu, individu dan kelompok, dan kelompok dan
kelompok, dalam bentuk kerjasama serta persaingan atau pertikaian.
2.3.2 Proses Dan Interaksi Sosial
Proses sosial yang dimaksud adalah dimana individu, kelompok dan masyarakat
berttemu, berinteraksi, dan berkomunikasi sehingga melahirkan sistem-sistem sosial dan
pranatal sosial serta semua aspek kebudayaan. Proses sosial ini kemudian mengalami
dinamika sosial lain yang disebut dengan perubahan sosial yang terus menerus dan secara
simultan bergerak dalam sistem-sistem sosial lebih besar. Proses sosial ini akan
mengalami pasang surut seirama dengan perubahan-perubahan sosial secara global.
32
Manusia dalah mahluk individu dan mahluk sosial, mahluk yang berpikir,
mahkluk yang instability. Sebagai mahluk sosial manusia selalu hidup berkelompok atau
senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lain, mahluk yanng mampu berpikir untuk
melakukan sesuatu, mahkluk yang harus di ajarkan sesuatu agar mampu melakukan
sesuatu (sosialisasi). Dari proses berpikir muncul prilaku ataupun tindakan sosial. Kalau
perilaku dan tindakan sosial tersebut dilakukan dalam hubungan dengan orang lain maka
jadilah interaksi sosial. Perilaku dan tindakan sosial yang kemudian berlanjut dengan
proses sosial terjadi dalam kehidupan manusia dimanapun dia berada; di pendesaan atau
perkotaan. Di masyarakat pendesaan kususnya indonesia sifat kebersamaan nampak
sangat menonjol, sehingga interaski sosial dapat terjadi dalam setiap pagi kehidupan
masyarakat desa; dalam perekonomian, kekerabatan, pemerintahan desa dan sebagainya
Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial, sedangkan bentuk khususnya
adalah aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis
menyangkut hubungan antara orang perorangan dengan kelompok manusia, maupun
antara orang perorangan dengan kelompok manusia Soekanto (2002 dalam, Bungin,
2008). Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial dan adanya
komunikasi.
1. Kontak sosial
Menurut Soeryono Soekanto (2002 dalam Bungin, 2008), kontak sosial berasal dari
bahasa latin con atau cum (bersama-sama) dan tango (menyentuh), jadi artinya secara
harfiah adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisisk, kontak sosial baru terjadi apabila
adanaya hubungan fisikal, sebagai gejala sosial hal itu bukan semata-mata hubungan
33
dengan orang lain tanpa harus menyentuhnya. Misalnya kontak sosial sudah terjadi ketika
seseorang berbicara dengan orang lain, bahkan kontak sosial juga dapat dilakukan dengan
menggunakan teknologi, seperti melalui telepon, telegrap, radio, surat, televisi, internet
dan sebagainya.
Kontak sosial dapat berlangsung dalam lima bentuk, yaitu:
a. Dalam bewntuk proses sosialisasi yang berlangsung antara pribadi orang
perorangan. Proses sosialisasi ini memungkinkan seseorang mempelajari norma-
norma yang terjadi di masyarakatny. Berger dan luckmann (bungin, 2001)
mengatakan proses ini terjadi melalui objektivasi, yaitu interaksi sosial yang
terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses
institusionalisasi
b. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok masyarakat atau sebaliknya.
c. Antara kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya dalam sebuah
komunitas
d. Antara orang perorangan dengan masyarakat global di dunia international
e. Antara orang perorangan, kelompok, masyarakat dan dunia global, dimana
kontak sosial terjadi secara simultan di antara mereka.
Kehidupan seseorang saat ini telah masuk pada dunia yang serba pilihan, seseorang
dapat memilih ia hidup dalam kelompok atau ia hidup dalam sebuah masyarakat, bahkan
ia boleh hidup dalam dunia yang serba gflobal. Seseorang juga dapat memilih hidup
dalam masyarakat, lokal atau memilih hidup dalam masyarakat global, bahkan boleh
hidup didalam kedua kehidupan itu yaitu glokal (global-lokal), maka kontak-kontak sosial
34
menjadi sangat majemuk dan rumit. Kerumitan ini pula dipacu dengan perkembangan
tehnologi informasi, sehingga dimanapun ia berada, ia dapat melakukan kontak sosial
dengan siapa saja dan dimana saja yang ia inginkan. Kontak sosial bukan saja menjadi
kebutuhan, namun juga menjadi pilihan dengan siapa ia melakukannya.
Secara konseptual kontak sosial dapat dibedakan antara kontak sosial primer dan
kontak sosial sekunder. Kontak sosial primer, yaitu kontak sosial yang terjadi secara
langsung antara seseorang dengan orang atau kelompok masyarakat lainnya secara tatap
muka. Sedangakn kontak sosial sekunder terjadi melalui perantara yang sifatnya
manusiawi maupun dengan teknologi. Ketika masyarakat saat ini telah berkembang
dengan tingkat kemajuan teknologi informasi semacam ini, maka kontak-kontak sosial
primer dan sekunder semakin sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Seperti kontak
telepon yang menggunakan teknologi dimana kontak terjadi antara orang perorangan
(orang dengan kelompok dan sebagainya), secara tatap muka dan saling dapat menyapa
namun dari tempat yang sangat jauh. Juga umpamanya kontak-kontak pribadi yang
terjadi dengan internet juga dapat langsung menyapa dan saling tatap muka walaupun
tempat mereka berjauhan. Semua ini menjadi fenomena yang mengacaukan konsep-
konsep lama tentang kontak sosial tersebut.
2. Komunikasi
Sosiologi menjelaskan komunikasi sebagai sebuah proses memaknai yang dilakukan
oleh sesorang (I)terhadap informasi, sikap, dan prilaku orang (II) lain yang berbentuk
pengetahuan pembicaraan, gerak gerik, atau sikap, perilaku dan perasaan-perasaan,
sehingga seseorang (I) membuat reaksi-reaksi terhadap informasi, sikap, dan perilaku
35
tersebut berdasarkan pengalaman yang pernah dia (I) alami. Fenomena komunikasi
dipengaruhi pula oleh media yang digunakan, sehingga media kadang, kala juga ikut
memengaruhi isi informasi (I) dan penafsiran (II) bahkan menurut Marshall McLuhan
(1999:7) bahwa media juga adalah pesan itu sendiri (Bungin, 2008).
2.3.3 Bentuk-Bentuk Intekasi Sosial
1. Interaksi antar individu-individu; individu yang satu memberikan pengaruh,
rangsangan atau stimulus kepada invidu lainnya. Wujud interaksi bisa dalam
bentuk berjabat tangan, saling menegur, bercakap-cakap atau mungkin
bertengkar.
2. Interaksi antara individu dan kelompok; bentuk interaksi antara individu dengan
kelompok: misalnya seorang ustad sedang berpidato didepan orang banyak.
Bentuk semacam iini menunjukkan bahwa kepentingan individu berhadapan
dengan kepentingan kelompok.
3. Interaksi antar kelompok dan kelompok; bentuk interaksi seperti ini
berhubungan dengan kepentingan individu dan kelompok lain. Contoh, satu
kesebelasan sepak bola berbanding melawan kesebelasan lain (Anwar&Adang,
2013).
2.3.4 Manfaat Hubungan Interaksi Sosial
a. Kepuasaan dalam mengadakan hubungan serta mempertahankan hubungan yang
telah ada sebelumnya disuatu sistem sosial. Kebutuhan ini lazim disebut
kebutuhan inklusi. Seorang mahasiswa yang ditugaskan melakukan kuliah kerja
nyata di suatu desa harus mengadakan hubungan dengan petani-petani desa
36
dengan kaidah-kaidah perilaku yang sudah lazim dilakukan penduduk desa. Dia
tidak dapat seenaknya berprilaku di desa itu seperti dia berperilaku di kota. Dia
‘terpaksa’ berperilaku sesuai dengan norma-norma desa, artinya dia
mempertahankan pola-pola hubungan yang telah ada sebelumnya di desa itu.
b. Pengawasan dan kekuasaan. Kebutuhan manusia untuk mengawasi manusia
untuk mengawasi/di awasi dan berkuasa disebut kebutuhan akan kontrol.
Bagaimanapun acuhnya seseorang, dia tetap memerlukan perhatian orang lain. Ia
ingin orang lain memperhatikannya bahkan menghormatinya. Ada individu
tertentu yang selalu ingin menjadi pengatur orang lain sehingga sesuai yang
dinginkannya. Kebutuhan-kebutuhan seperti ini disebut dengan kebutuhan
kontrol.
c. Cinta dan kasih sayang. Kebutuhan manusia akan cinta dan kasih sayang disebut
kebutuhan afeksi. Yaitu tindakan yang merupakan wujud keinginan untuk
bergabung dengan sesama. Sebagai misal: sebagaian besar petani didesa taman
bergabung dalam kelompok tani. Para petani menjadi anggota kelompok antara
lain karena para tetangganya juga menjadi anggota, sehingga masing-masing
merasa malu tidak menjadi anggota kelompok akan dianggap ketinggalan oleh
tetangga mereka. Keinginan untuk menjadi sama dengan sesama tetangga
tersebut adalah tindakan inklusi (Ibrahim, 2002).
Kebutuhan akan kontrol menghasilkan tindakan kontrol yang menunjukan pada
proses pengambilan keputusan untuk mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakannya,
misalnya: keinginan seseorang untuk mempengaruhi orang agar mengikuti kehendaknya,
keinginan untuk memimpin atau memberontak, sehingga seseorang anggota suatu
37
kelompok dapar memutuskan untuk menjadi pemimpin, pengikut, atau pemberontak.
Demikian juga kebutuhan afeksi pada seseorang akan menimbulkan tindakan afeksi.
Misalnya hubungan intim antara dua sahabat karib, dimana di antara keduaya saling
melibatkan diri secara emosional, bila salah satu menderita kesusahan yang lainpun akan
ikut merasa susah dan sebaliknya. Sering, kali antar anggota masyarakat desa yang tinggal
berdekatan mempunyai hubungan yang akrab melebihi saudaranya yang tinggal
berjauhan. Bentuk-bentuk persahabatan, teman akrab, percintaan ataupu tetangga dekat
merupakan wujud dari tingkah laku afeksi (Ibrahim, 2002) .
Ketiga macam kebutuhan tersebut hendaknya serasi dan seimbang
keterpenuhnya agar menghasilkan tingkah laku atau interaksi yang ideal. Sebagai contoh
sikap mawas diri yang merupakan nilai tradisional dalam masyarakat jawa adalah satu
pedoman berperilaku dimana sebelum mengadakan interaksi, seseorang terlebih dahulu
mengadakan intropeksi apakah sudah siap memutuskan segala sesuatu. Kalau berhubung
dengan orang lain, maka orang harus mengerti perasaan orang lain (tepa slira) sehingga
tercapai keadaan yang harmonis. Interaksi sosial adalah kunci dari kehidupan sosial
karena tanpa interaksi sosial tidak mungkin ada kehidupan bersama (Ibrahim, 2002).
2.3.5 Interaksi Sebagai Dasar Proses Sosial
Selo soemarjan dan soemardin soelaeman (dalam soerjono soekanto, 1987)
mendefinisikan proses sosial sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi
kehidupan bersama. Sedangakan soerjono soekanto sendiri menyatakan bahwa interaksi
sosial adalah dasar dari proses-proses sosial. Dalam pengertian tersebut menunjukan
pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Proses sosial merupakan bentuk khusus
38
dari interaksi sosial. Terjadinya proses sosial secara umum disebabkan oleh adana kontak
sosial dan komunikasi juga.
Apabila dua orang saling bertemu, maka telah mulai terdapat interaksi sosial,
walaupun di antara keduanya tidak saling menegur, asalkan masing-masing sadar akan
adanya pihak lain dan berpengaruh terhadap sistem syarafnya. Apalagi kalu pertemuan
tersebut berlanjut dengan saling berjabat tangan, saling menyapa dan saling berbicara.
Kegiatan tersebut merupakan bentuk dari interaksi sosial.
Kalau interaksi memberikan pengaruh pada kedua belah pihak secara timbal balik
maka terjadilah proses sosial. Jika dua orang bertemu di jalan, saling menyapa kemudia
saling meneruskan perjalanannya denganarah yang berlawanan, berarti interaksi tidak
berlanjut dengan proses. Tetapi apabila kedua orang itu sesudah saling menegur teruskan
dengan saling berbicara tentang pelajaran sekolah, tentang kenaikan harga semen, atau
musim kering yang berkempanjangan, sehingga dalam proses itu terjadi pertukaran
informasi dan pendapat sampai akhirnya pengetahuan masig-masing bertambah, maka
hal ini sudah kita sebut sebagai interaksi sosial yang meningkat menjadi proses sosial
(Ibrahim, 2002).
2.3.6 Pengaruh Interaksi Sosial
Pada tingkatan individu, seseorang yang frekuensi interaksinya kurang akan
menyebabkan kesulitan bergaulan dari manusia tersebut di masyarakat. Seorang anak
yang masa kecilnya di asingkan dari pergaulan oleh orang tuanya seringkali setelah
dewasa mengalami keterbelakangan mental. Orang-orang yang mempunyai cacat salah
39
satu indranya dapat pula mengalami kesulitan pergaulan sehingga sulit mengembangkan
kepribadiannya (Ibrahim, 2002).
Dalam tingkatan masyarakat, kurangnya interaksi suatu masayarakat dengan
masyarakat yang lain akan menyebabkan lambanya perkembangan masyarakat tersebut.
Untuk membuka keterasingan masyarakat tertentu ada berbagai cara yang dapat
dilakukan antara lain membuka komunikasi dan transportasi di suatu daerah sebernya
berdampak meningkatkan frekuensi interaksi masyarakat tadi dengan masyarakat yang
lain (Ibrahim, 2002).
Pada teori konvergensi disebutkan bahwa lingkungan memiliki peranan penting
dalam perkembangan jiwa manusia. Lingkungan tersebut terbagi dalam beberapa
kategori yaitu: lingkungan fisik; berupa alam seperti keadaan alam atau keadaan tanah
serta musim. Lingkungan sosial; berupa lingkungan tempat individu berinteraksi.
Lingkungan sosial dibedakan dalam dua bentuk: lingkungan sosial primer: yaitu
lingkungan yang anggotanya saling kenal; lingkungan sosial sekunder: lingkungan yang
hubungan antara anggotanya bersifat longgar (Anwar&Adang, 2013).
Hubungan individu dengan lingkungan ternyata memiliki hubungan timbal balik
lingkungan memperngaruhi individu dan individu mempengaruhi lingkungan. Sikap
individu terhadap lingkungan dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu: individu menolak
lingkungan jika tidak sesuai dengan yang ada dalam diri individu; individu menerima
lingkungan jika sesuai dengan yang ada dalam individu; individu bersikap netral atau
berstaus quo (Anwar&Adang, 2013).
40
Pengaruh lingkungan terhadap individu lingkungan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosiosikologis, termasuk didalamnya adalah belajar.
Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya berbagai empirik yang berarti
pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan mengecap
alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pengaruh
lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia disekitarnya (Anwar&Adang,
2013).
2.3.7 Sumber Informasi yang Mempengaruhi Interaksi Sosial
Karp dan Yoels berpendapat ada tujuh sumber informasi yang mampu mempengaruhi
cara berinteraski. Di antaranya sebagai berikut :
1. Usia. Usia seringkali mempengaruhi cara kita berinteraksi. Berinteraksi dengan orang
tua tentunya berbeda ketika kita berinteraksi dengan anak muda.
2. Jenis kelamin. Jenis kelamin juga memberikan efek pada cara berinteraksi. Contoh
dalam soal kekhasan pembicaraan antara perempaundan laki-laki. Perempuan
cenderung pada suatu yang bersifat kecantikan atau fashion sedang pria suka
berbicara masalah olahraga atau berpetualangan.
3. Penampilan fisik. Faktor penampilan fisik pada umumnya akan membawa penilaian
dan berujung pada penyikapannya. Pandangan pertama atau kesan pertama secara
fisik akan mempengaruhi cara interaksinya.
41
4. Pakaian. Penampilan yang dilihat dari cara berpakaian juga memberiak pengaruh
pada proses interaksi. Orang yang berpakaian rapi lebih dihormati daripada yang
berpakaian kusut.
5. Warna kulit. Warna kulit pada kenyataanya juga memberikan pengaruh pada cara
berinteraksi seseorang terhadap orang lain.
6. Wacana. Hal ini lebih pencintraan yang dilekatkan pada diri individu. Tentu citra ini
akan sangat mempengaruhi proses interaksi yang akan terjalin.
7. Bentuk tubuh. Kedengarannya memang agak aneh ketika berbicara masalah bentuk
tubuh dan interaksi sosial. Namun pada tataran realitas bentuk tubuh sedikit banyak
mempengaruhi cara interaksi kita. Biasanya bentuk tubuh ini kemudian dikaitkan
dengan sifat atau karakter (Agung & Raharjo, 2009).
2.3.8 Proses-Proses Interaksi Sosial
Menurut (Ibrahim, 2002) menjelaskan bahwa ada dua golongan proses sosial
sebagai akibat dari interaksi sosial, yaitu proses sosial asossiatif dan proses sosial
Dissosiatif.
a. Proses sosial asossiatif
1. Kerjasama
Kerjasam adalah suatu interaksi untuk mencapai tujuan yang sama atau kelompok
manusia untuk mencapai tujuan yang sama atau bersama. Kerjasama timbul karena
adanya tujuan yang sama juga karena adanya foktor-faktor pembatas pada masing-masing
pihak yang kerjasama seperti waktu, energi, pengetahuan dan lain-lain.
42
a. Gotong royong yaitu suatu bentuk kerjasama antara sejumlah besar warga desa
untuk menyelesaikan proyek-proyek tertentu yang di anggap berguna bagi
kepentingan umum. Di desa sering kita jumpai penduduknya bekerja bakti
untuk memperbaiki saluran air irigasi, memperbaiki jalan bersama, membangun
mesjid, mendirikan pos keamanan lingkungan, dan aktivitas-aktivitas lain yang
sifatnya untuk kepentingan umum.
b. Tolong menolong, yaitu suatu bentuk kerjasama antara orang perorang atau
kelompok dalam banyak lapangan kehidupan masyarakat yang di anggap
berguna bagi masing-masing pihak yang kerjasama tersebut. Istila tolong
menolong ini sering disebut pula dengan sambatan atau sambat sinambat.
Tolong menolong dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok kecil
masyarakat. Orang yang saling menolong satu sama lain karena ada keterkaitan
kekerabatan, bertetangga atau pertimbangan-pertibangan emosisonal tertentu.
Kadang-kadang orang yang saling tolong menolong mengharapkan balasan
dalam bentuk pertolongan balik kelak di kemudian hari.
c. Bergaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa
antara dua belah pihak atau lebih. Proses-proses kerja sama antar lembaga
perekonomian umumnya termasuk bergaining dibedakan dengan hubungan
patron-klien dari sisi tujuannya yang semata-mata komersial formal.
d. Hubungn patron-klien. Yaitu suatu bentuk kerja sama antara dua orang yang
berbeda statusnya dan dicikan oleh sifat yang dyadic. Dasar hubungannya adalah
ketidak merataan, menyangkut pertukaran pelayanan antara dua belah pihak
dimana si patron melindungi pengikut. Hubungan itu meliputi banyak jenis
43
transaksi dan interaksi di antara kedua belah pihak, ada perasaan saling
membutuhkan, saling percaya, dan satu sama lain kenal mengenal secara
mendalam. Transaksi yang dibuat tidak berdasarkan perjanjian yang ketat atau
formal. Masalah patron-klien ini di bahas dalam sub bab tersendiri.
e. Simbiose mutualistik, yaitu suatu bentuk kerjasama antara dua pihak dan
masing-masing mempunyai aktivitas (mata pencaharian) yang berbeda tetapi
paling melengkapi. Misalnya petani sayuran di batu akan sangat terbantu oleh
aktivitas sopir pengakut sayuran yang membawanya ke pasar malang.
2. Assimilasi
Assimilasi adalah proses dua kebudayaan atau unsur kebudayaan yang berbeda, lama
kelamaan berkembang sehingga menjadi secorak. Kebudayaan yang satu di resapi oleh
kebudayaan yang lain dan sebaliknya. Cita-cita, nilai-nilai, sikap, penduduk, lama-
kelamaan berkembang bersama dan melahirkan sesuatu yang baru atau kombinasi dari
unsur-unsur yang berbeda tadi. Misalnya beberapa tradisi selamatan para petani beberapa
desa pada saat-saat tertentu pada proses penanaman padi mulai dari pengolahan tanah
sampai panen.
3. Akomodasi
Akomodasi adalah suatu proses dimana orag-orang atau kelompok yang saling
bertentangan, berusaha mengadakan penyesuaian diri untuk meredakan atau mengtasi
ketegangan. Beberapa bentuk akomodasi dalam masyarakat dijelaskan berikut ini:
a. Tolerasi yaitu bentuk akomodasi, dimana masing-masing pihak yang berlawanan
menerima perbedaan tanpa mempermasalahkan berbedaan yang dialami.
44
Seorang pemeluk agama X tentu mempunyai konsep yang berbeda dengan
memeluk agama Y. kedua agama itu jelas mempunyai beberapa perbedaan,
tetapi masing-masing individu tidak mempermasalahkan agam yang di anut.
Oleh karena itu di indonesia dikenal dengan istila toleransi beragama.
Sebenarnya toleransi tidak hanya dalam bentuk kehidupan beragama.
Kehidupan antar etnis, antar parpol, organisasi, cita-cita, dan lain-lain bisa di
jalankan dengan konsep toleransi.
b. Kompromi, yaitu suatu bentuk akomodasi dimana masing-masing pihak yang
terlibat bertentangan saling mengurangi tuntutanya agar tercapai suatu
penyelesaian terhadap perselisihan yang ada.
c. Arbitrasi (perwasitan), yaitu suatu cara untuk mencapai penyelesaian antara dua
pihak yang selisih, dimana pihak-pihak yang berselisih tidak sanggup mencapai
penyelesaian sendiri. Pertentangan kemudian diselesaikan oleh pihak ketiga
yang dipilih oleh kedua belah pihak atau suatu badan yang kedudukannya lebih
tinggi dari kedua belah pihak yang bertentangan itu.
d. Mediasi adalah cara yang dipakai untuk menyelesaikan perselisihan menunjuk
pihak ketiga untuk memberikan saran pemikiran bagi terselesaikannya
peselisihan tadi. Pihak ketiga tidak mempunyai wewenang untuk mmberikan
keputusan penyelesaian akhir dari perselisihan yang terjadi.
45
b. Proses –proses sosial Dissosiatif
Di bawah ini di jelaskan pengertian beberapa proses yang bersifat dissosiatif.
1. Persaingan
Persaingan adalah suatu bentuk interaski antar dua orang/kelompok atau lebih
yang berlomba-lomba untuk mencapai tujuan atau suatu barang yang sama.
Sebagai contoh adalah: beberapa orang calon kepala desa yang berlomba
mendapatka simpati dari anggota masyarakat desa pemilihannya adalah salah satu
contoh proses persaingan. Calon-calon kepala desa tadi berusaha menawarkan
program-program pembangunan desanya tanpa menjelek-jelekan satu sama lain.
2. Pertentangan
Pertentangan merupakan suatu bentuk interaksi sosial yang terletak di antara
persaingan dan konflik. Sebenarnya hal ini merupakan tahap lanjutan dari
persaingan. Adanya kontroversi sering di tandain oleh timbulnya perasaan tidak
suka yang tersembunyi, kebencian/kecurigaan, dan penghasutan satu sama lain.
3. Pertengakaran
Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk
memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lain
sebagainya dimana tujuan dari mereka yang bertikai itu tidak hanya untuk
memperoleh ke untungan, tetapi juga untuk menundukan saingannya dengan
kekerasan atau ancaman.
Sebenarnya proses-proses sosial dissosiatif tidaklah selalu bersifat negatif, ada
kalanya proses sosial dissosiatif di atur demikian rupa sehingga menghasilkan hal-
46
hal yang positif. Kita sering melihat lomba kelompok tani atau kelompecapir di
televisi. Lomba tidak lain adala jenis proses sosial dissosiatif persaingan yang di
atur untuk tujuan khusus, yakni memacu kelompok tani atau kelopecapir agar
terus maju, bersmangat dan tetap mengadakan perubahan di desa demi
pembangunan (Ibrahim,2002).
2.3.9 Ciri-Ciri Interaksi Sosial
Untuk memahami lebih dalam tentang interaksi sosial, maka kita perlu
mengetahui apa ciri-ciri dari interaksi sosial. Adapun beberapa ciri tersebut adalah
sebagai berikut : (1) Jumlah pelakunya lebih dari satu orang. (2) Terjadinya komunikasi di
antara pelaku kontak sosial. (3) Mempunyai maksud atau tujuan yang jelas. (4)
Dilaksanakan melalui suatu pola sistem sosial tertentu (Agung & Raharjo, 2009).
2.3.10 Unsur-Unsur Dalam Interaksi Sosial
Manusia mampu melakukan berbagai tindakan berbagai tindakan seperti
membaca, menulis, berkomunikasi, merenspons pendapat orang lain dalam hubungan
didalam kehidupan masyarakat, dan sebagainya. Ada beberapa hal yang mempengaruhi
proses terbentuknya tindakan terorganisasi manusia diantaranya :
1. Imitasi
Imitasi merupakan tindakan manusia untuk meniru tingkah pekerto orang lain yang
berada disekitarnya. Imitasi banyak dipengaruhi oleh tingkat jangkauan indranya, yaitu
sebatas yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Sejak lahir manusia mengimitasi dirinya
sendiri, seperti mengulang kata-kata melalui mulutnya, mengucapkan lafal-lafal yang
tidak memiliki arti. Tindakan ini dilakukan karena dia sedang belajar melafalkan kata-
47
kata sekaligus melatih lidahnya melalui naluri. Kemudian ia mulai mengimitasi tindakan
orang lain, terutama perktaan-perkataan orang lain seperti orang tua dan saudara
kandung serta orang lain. Ia melihat, mendengar, dan merasakan setiap hari terdapat
segala tingkah laku orang lain disekitarnya. Disaat ia bisa melakukan segala tindakan
secara otonom, dalam arti sudah dapat melakukan segala sesuatu tanpabantuan pihak
lain seperti berjalan, memahami tindakan orang lain,maka ia mulai dikenalkan dengan
mode, atau tatanan yang dapat dipahaminya secara berkisenambungan hingga akhirnya
setelah tumbuh dewasa ia mulai mengenali tata pergaulan yang lebih luas yang akhirnya
menjadi manusia kompleks.
2. Sugesti
Sugesti dipahami sebagai tingkah laku yang mengikuti pola-pola yang berada didalam
dirinya, yaitu ketika orang seseorang memberikan pandangan atau sikap dari dalam
dirinya lalu diterimanya dalam bentuk sikap sikap dan perilaku tertentu.Dari sugesti
tersebut, kemudian memunculkan, norma-norma dalam kelompok, prasangka-
prasangka sosial (social prejudices), norma-norma (susila), dan sebagainya. Hal ini
dipengaruhi oleh kinerja akal yang setelah melalui proses belajar ia tidak hanya sekadar
memindahkan apa yang ia tanggapi dari pihak luar, tetapi melalui akal ia mulai
melakukan identifikasi dan pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut terhadap apa yang
ia tanggapi. Dalam studi ilmu sosial, sugesti dapat dirumuskan sebagai proses dimana
seseorang menerima suatu cara penglihatan lebih dahulu. Akan tetapi, kenyataannya
tidak semua individu mampu melakukan sugesti ini, sebab ada beberapa individu yang
memiliki kelainan jiwa.
48
3. Identifikasi
Identifikasi timbul ketika seseorang mulai sadar bahwa didalam kehidupan ini ada
norma norma atau peraturan-peraturan yang harus dipenuhi, dipelajari atau
ditaatinya. Seorang anak yang belum mengetahui sesuatu yang dianggap baik atau
buruk akan melakukan identifikasi tentang pedoman tata kelakuan yang boleh dan
tidak boleh dilakukan. Ketika melakukan suatu tindakan, kemudian ditegur oleh
orang yang lebih dewasa maka ia akan menyimpulkan bahwa tindakan tersebut tidak
boleh, sebaliknya jika yang ia lakukan tidak ditegur atau bahkan diberikan ujian ia
akan menyimpulkan bahwa yang ia lakukan adalah sesuatu yang diperbolehkan.
Disaat itulah anak mulai mengalami fase identifikasi untuk mengenali antara yang
baik dan yang tidak baik. Pada awalnya ia dipandu oleh orang yang lebih dewasa
disekelilingnya, tetapi kemudian ia akhirnya melakukan sendiri proses tersebut
melalui tindakan membanding-bandingkan sikap atau tindakan yang ada
disekelilingnya. Dalam fase yang lebih dewasa ia akan mampu melakukan identifikasi
pada dari setiap perilaku, sikap, dan pandangan yang muncul untuk dikumpulkan
kemudian dipelajarinya dan dikembangkan menjadi pedoman prilaku sehari-hari.
4. Simpati
Simpati adalah faktor tertariknya seseorang atau kelompok orang terhadap orang atau
kelompok orang yang lain. Faktor simpati muncul bukan dari pemikiran yang logis,
rasional, tetapi berdasarkan penilaian perasaan, sebagaimana dalam proses
identifikasi. Orang tiba-tiba merasa tertarik kepada orang lain bukan karena salah
satu ciri tertentu,tetapi karena keseluruhan cara tingkah laku orang lain tersebut.
Simpati tidak sama dengan identifikasi, sebab simpati didorong ingin mengerti dan
49
ingin kerja sama dengan orang lain. Akibat dari simpati adalah dorongan simpatisan
(orang yang tertarik) untuk menjalin hubungan kerja sama antara dua orang atau
lebih yang setara. Adapun identifikasi lebih didorong oleh keinginan mengikuti
jejaknya, ingin mencontoh, ingin belajar dari orang lain yang dianggap ideal. Dengan
demikian, dalam idntifikasi biasanya terdapat keinginan menjadi seperti orang lain
terutama sifat-sifat yang melekat pada dirinya. Adapun simpati, seseorang dapat
merasa berfikir dan bertingkah laku seakan-akan ia adalah orang lain (Setiadi &
usman, 2011).
2.3.11 Hubungan Antara Interaksi Sosial Dengan Fungsi Kognitif pada Lansia
Masa lanjut usia (lansia) adalah dimana lansia mengalami suatu kehilangan yang
bersifat, misalnya berkurangnya fungsi pendengaran, penglihatan, kekuatan fisik dan
kesehatan, menatap kembali kehidupan, pensiun, dan penyesuaian diri dengan peran
sosial yang baru. Pada masa perkembangan manusia memiliki tahapan atau tugas
perkembangannya tersendiri dan sesuai dengan fase pertumbuhannya, demikian halnya
dengan lansia, ketika seseorang memasuki fase lansia, seseorang tersebut memiliki tugas
perkembangan yang berbeda dengan sebelumnya (Papalia & Olds, 2001).
Kemampuan individu khususnya lansia untuk menampilkan fungsi kognitif
tergantung pada fungsi otak. Apabila otak pada lansia mengalami kerusakan akibat
digenerasi/penuaan maka akan terjadi penurunan fungsi kognitif, intelektual, sosial dan
pekerjaan. Adapun terdapat jenis utama gangguan kognitif yang umumnya terjadi pada
lansia yaitu delirium, dimensia dan gangguan amnestik. Pada lansia yang menderita
gangguan kognitif mungkin sepenuhnya menjadi bergantung pada orang lain untuk
50
memenuhi kebutuhan dasar dalam hal makan, beraktifitas di toilet, berdandan dan
perubahan pola tidur.Maka dari itu upaya untuk meningkatkan memori (daya ingat) dapat
dilakukan dengan cara mencatat sesuatu pada daftar, kalender atau buku catatan.
Terdapat pula cara atau teknik pelatihan yang ditujukan khusus untuk meningkatkan daya
ingat dan aspek kognitif secara umum yang tergolong ketrampilan khusus (Maryati,
Dwi&Mumpuni, 2013).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rantepadang pada tahun (2012) interaksi
sosial juga dapat mempengaruhi kondisi psikologis lansia. Semakin baik interaksi sosial,
maka semakin baik pula kondisi psikologis lansia dan tentunya hal ini akan
mempengaruhi kualitas hidup pada lansia tersebut. Interaksi sosial pada lansia dijelaskan
oleh Schulz & Allen (1997, dalam Reno, 2010) melalui teori panjang umur berdasarkan
jaringan sosial bahwa interaksi sosial memiliki pengaruh yang tinggi terhadap kesehatan
dan usia lanjut. Sedangkan menurut Nabillah (2008) interaksi seseorang dipengaruhi oleh
faktorinternal dan eksternal, dimana faktor eksternalterdiri dari lingkungan luar seseorang
sepertilingkungan kerja, masyarakat maupunorganisasi, sedangkan faktor internal
terdiridari imitasi, identifikasi, sugesti, dan simpati karena seseorang mau tidak mau harus
menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Jamil, 2012).