2011fkh

105
IDENTIFIKASI MOLEKULAR ISOLAT LOKAL Staphylococcus aureus DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) FIDYATUN KHOIRIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Transcript of 2011fkh

IDENTIFIKASI MOLEKULAR ISOLAT LOKAL Staphylococcus aureus DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

FIDYATUN KHOIRIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi Molekular Isolat Lokal Staphylococcus aureus Dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumebr informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Fidyatun Khoiriyah NIM F251070191

ABSTRACTFIDYATUN KHOIRIYAH. Molecular Identification Local Isolates of Staphylococcus aureus by Polymerase Chain Reaction (PCR) Method. Under direction of RATIH DEWANTI-HARIYADI and SRI HENDRASTUTI HIDAYAT.

Foodborne disease is a major concern worldwide, and S. aureus is continuously involved in foodborne disease outbreaks. Staphylococcal enterotoxins (SE) are important virulence factor for the bacterial intoxications. This research aimed to identify local isolates of S. aureus based on universal 16S rRNA gene and to identify whether they possess SE A and C1 genes. Bacterial DNA isolation was conducted using Doyle and Doyle extraction method with some modification. Amplification of genes encoding for 16S rRNA, SEA and SEC1 were investigated using primers 63f/1387r, SEA-1/SEA-2 and SEC1-1/SEC1-2, consecutively. The amplification products of 16S rRNA were sequenced and then analyzed for their relatedness to S. aureus. The resulted sequence was analyzed using BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) program and it was found that 5 out of 14 isolates were confirmed as S. aureus. The local isolates of NU4, NU5 and NU9 have 87 92% similarity, but all of the local isolates do not have similarity with S. aureus ATCC 25923. Based on amplification of the SE genes, 1 local isolates of S. aureus (NU5) was capable of producing both SEA and SEC1 while 1 local isolate (NU1) was only capable of producing SEA.

Keywords: Staphylococcus aureus, staphylococcal enterotoxin, local isolates

RINGKASAN FIDYATUN KHOIRIYAH. Identifikasi Molekular Isolat Lokal Staphylococcus aureus Dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Dibimbing oleh RATIH DEWANTI-HARIYADI and SRI HENDRASTUTI HIDAYAT. Bakteri S. aureus telah banyak dilaporkan sebagai patogen asal pangan yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia. Karakteristik S. aureus antara lain termasuk bakteri bulat Gram positif yang bergerombol seperti anggur, membentuk pigmen kuning keemasan, tidak membentuk spora, non-motil, bersifat aerob dan anaerob fakultatif serta membentuk koagulase dan katalase positif. Umumnya S. aureus tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi baik dengan mikroflora normal pada makanan. Keberadaan S. aureus pada pangan umumnya disebabkan oleh kontaminasi silang dari pekerja maupun peralatan pengolahan yang digunakan serta perlakuan pangan setelah diolah. Bakteri ini sendiri ditemukan di dalam saluran pernapasan, permukaan kulit dan rambut hewan berdarah panas termasuk manusia. Lebih dari 30 50% populasi manusia adalah carrier S. aureus (Le Loir et al., 2003). Faktor virulensi yang dihasilkan oleh S. aureus sehingga menyebabkan keracunan pangan salah satunya adalah enterotoksin stafilokoki (SE). SE merupakan kelompok protein globular rantai tunggal yang bersifat antigentik dengan berat molekul rendah. SE juga bersifat larut air, termostabil dan kaya akan beberapa residu asam amino. Terdapat 14 jenis enterotoksin stafilokoki yang telah diidentifikasi. SE yang umumnya mengontaminasi makanan diantaranya SEA, SEB, SEC1 dan SED. Hanya sedikit galur yang menghasilkan SEB, proporsinya 1:10 dengan galur penghasil SEA (Bennett dan Amos, 1982). Selain SEA, enterotoksin stafilokoki yang paling sering mengontaminasi produk pangan antara lain SEC1 dan SED. Menurut Pelisser et al., (2009), pada produk keju dan daging ditemukan 10 galur S. aureus yang mengandung SEA dan 12 galur mengandung SED. Sedangkan pada produk susu mentah dan pasteurisasi terdapat 16 galur S. aureus yang mengandung SEA dan 8 galur yang mengandung SEC1 (Rall et al., 2008). Menurut Maslankova et al., (2009), pada produk olahan susu berturutturut ditemukan S. aureus yang mengandung SEC 24.1%, SEB 13.9% dan SED 10.1%. Berdasarkan perbandingan sekuen asam amino, SEA berada satu kelompok dengan SED, sedangkan SEB berada satu kelompok dengan SEC1 (Argudin et al., 2010). Beberapa kasus keracunan pangan di dunia akibat kontaminasi S. aureus yang pernah menjadi outbreak (Kejadian Luar Biasa) antara lain di Florida pada bulan September 1997, terjadi kasus keracunan pangan akibat mengonsumsi daging ham yang terkontaminasi toksin S. aureus. Sebanyak 31 orang dari 125 orang mengalami gejala keracunan seperti mual, muntah dan diare selama 3-6 jam. Kasus keracunan juga pernah terjadi di Australia berturut-turut pada bulan Maret dan April 2002 akibat mengonsumsi nasi, kentang dan daging. Sebanyak 250 orang dari 600 orang menjadi korban (Rall et al., 2008; Pelisser et al., 2009). Di Indonesia, keberadaan bakteri patogen ini dalam produk pangan terutama siap santap telah banyak dilaporkan, tetapi untuk sampai terjadinya kasus keracunan pangan tidak banyak dilaporkan. Beberapa kasus keracunan yang pernah dilaporkan adalah pada tahun 2009 di Tasikmalaya, sebanyak 148 orang

menjadi korban akibat mengonsumsi nasi bungkus yang mengandung S. aureus (Kusumaningrum, 2009). Sebelumnya di Padang tahun 2007 juga pernah terjadi kasus keracunan pada 36 orang setelah mengonsumsi camilan yang terbuat dari beras ketan dan setelah diuji laboratorium ternyata positif mengandung S. aureus (Gentina et al., 2008). Menurut US FDA (2001), kasus keracunan makanan biasanya terjadi apabila jumlah S. aureus mencapai 105CFU/g atau lebih. SE dapat menyebabkan keracunan pada dosis yang sangat rendah yaitu 0.1 1 g/kg (ICSMF, 1996). Data mengenai keberadaan bakteri S. aureus di Indonesia berdasarkan gen penyandi SE dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)yang berasal dari susu segar hewan dan produk pangan olahan asal hewan sudah pernah dilaporkan (Salasi et al., 2009), sedangkan data mengenai keberadaan bakteri S. aureus di Indonesia berdasarkan gen penyandi SE yang berasal dari produk-produk pangan tradisional siap santap ataupun produk-produk olahan pangan lainnya belum pernah dilaporkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan gen 16S rRNA dan mendeteksi keberadaan gen penyandi SEA serta SEC1 pada isolat-isolat tersebut. Isolasi DNA genom bakteri S. aureus menggunakan metode Doyle dan Doyle (1989) dengan beberapa modifikasi. Amplifikasi gen target menggunakan 3 pasang primer berturut-turut, yaitu 63f/1387r, SEA-1/SEA-1 dan SEC1-1/SEC1-2. Hasil amplifikasi untuk gen 16S rRNA dilakukan sekuensing dan dianalisis menggunakan program BLAST pada situs NCBI (www.ncbi.nlm.nih.gov). Berdasarkan hasil amplifikasi parsial gen 16S rRNA, 5 dari 14 isolat lokal yang diteliti adalah S. aureus, meskipun secara uji biokimiawi 14 isolat lokal tersebut telah diidentifikasi sebagai S. aureus (Apriyadi, 2010). Dalam penelitian ini, 9 isolat lokal lainnya tidak teridentifikasi sebagai spesies apapun. Tingkat kemiripan tinggi ditemukan pada isolat lokal NU4, NU5 dan NU9, yaitu berkisar antara 87 92%. Dapat disimpulkan bahwa 3 isolat lokal tersebut merupakan spesies yang sama. Berdasarkan sumber isolat-isolat lokal S. aureus yang diperoleh, isolat lokal AS yang berasal dari ayam suwir memiliki kemiripan yang relatif rendah (76%) dengan isolat lokal yang berasal dari nasi uduk (NU1). Tidak terdapat kemiripan antara kelima isolat lokal S. aureus dengan S. aureus ATCC 25923 sebagai isolat pembanding. Hasil amplifikasi gen penyandi SE menunjukkan bahwa dari 2 isolat lokal S. aureus, 1 isolat mengandung kedua gen penyandi SEA dan SEC1 (NU5) dan 1 isolat hanya mengandung SEA (NU1).

Kata kunci: Staphylococcus aureus, enterotoksin stafilokoki, isolat lokal

IDENTIFIKASI MOLEKULAR ISOLAT LOKAL Staphylococcus aureus DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

FIDYATUN KHOIRIYAH

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Antung Sima Firlieyanti, STP, M.Si

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-UndangDilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya dilakukan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak mengurangi kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

Judul Tesis

: Identifikasi Molekular Isolat Lokal Staphylococcus aureus Dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)

Nama NIM

: Fidyatun Khoiriyah : F251070191

Disetujui Komisi pembimbing

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Haryadi, M.Sc

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 9 Agustus 2011

Tanggal Lulus:

PRAKATA Alhamdulillahi robbil alamin, puji syukur penulis ucapkan kepada Alloh SWT atas segala nikmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Identifikasi Molekular Isolat Lokal Staphylococcus aureus Dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Selama perjalanannya menempuh pendidikan S2 ini, penulis merasa dibantu oleh banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc, selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc, selaku anggota komisi pembimbing atas segala arahan, bimbingan, semangat, perhatian dan kesabaran penuh seperti layaknya ibu sendiri. Semoga Alloh SWT memberikan balasan yang terbaik atas segala pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan ilmu yang bermanfaat bagi penulis. Kepada Antung Sima Firlieyanti, STP, MSi, selaku dosen penguji luar komisi yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberi masukan guna perbaikan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada SEAFAST Center LPPM IPB yang telah mendanai penelitian ini dan memberi kemudahan bagi penulis untuk dapat melaksanakan penelitian hingga selesai. Terima kasih penulis ucapkan kepada: (1) Tim mahasiswa satu bimbingan, yaitu Bombay, Veni, Mbak Desty, Winnie, Ipit, Ivani, Juli dan Ipan, yang telah mengisi hari-hari penulis selama penelitian dan membantu dalam banyak hal, (2) Mbak Ari, Sofah dan Yeris serta para teknisi lainnya di laboratorium SEAFAST Center, (3) Mbak Tuti di Laboratorium Virologi Tumbuhan, HPT IPB, yang telah banyak mengajarkan ilmu dan hal-hal teknis maupun non-teknis tentang bidang molekular, (4) Teman-teman IPN, terutama Zaim dan Uni Rita, yang telah memberi semangat dan banyak membantu di detik-detik terakhir penyelesaian masa studi, (5) Teman-teman di Laboratorium Bioteknologi Pangan SEAFAST Center, Midun, Mbak Dwi, Mbak Elfi, Mbak Maya, Dilla, Yogi, Dita, Victor, Ahmad dan Goy yang selalu memberi semangat dan bantuan, (6) Temanteman Liqo, serta (7) Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima atas dukungannya. Tak lupa dengan sangat penulis mengucapkan terima kasih kepada papa, mama, adik-adik dan seluruh keluarga besar yang tak henti-hentinya memberikan doa, kasih sayang, semangat dan bantuan. Terima kasih yang luar biasa teruntuk suami dan mujahid kecilku, Ukasyah, penulis merasa amat sangat bersyukur memiliki kalian berdua. Tidak ada penyesalan atas apa yang sudah terjadi dan pada akhirnya semua dapat terselesaikan juga walaupun harus melewati rintangan yang berliku.

Depok, September 2011

Fidyatun Khoiriyah

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkkan di Jakarta pada tanggal 12 Juni 1984 dari Ayah H. Achwani dan Ibu Hj. Atika Nurkhasanah. Penulis merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Tahun 2002, penulis lulus dari SMU Negeri 112 Jakarta dan pada tahun yang sama terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta. Selama menempuh bangku kuliah, penulis mendapat beasiswa dari NEF (Nagao Environmental Foundation). Tahun 2007, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB dan mengambil Program Studi Ilmu Pangan (IPN) dengan peminatan Mikrobiologi dan Bioteknologi Pangan. Selama menempuh pendidikan S2, penulis tercatat sebagai anggota Forum Mahasiswa Ilmu Pangan (Formasip). Penulis juga pernah mengikuti beberapa seminar internasional, diantaranya Probiotics pada tahun 2008.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR..... DAFTAR LAMPIRAN.. PENDAHULUAN............. Latar Belakang Tujuan Penelitian........ Manfaat Penelitian.. Hipotesis. TINJAUAN PUSTAKA................. Karakteristik Staphylococcus aureus.. Kontaminasi S. aureus dalam Pangan Perilaku S. aureus dalam Pangan .. Penyakit karena S. aureus.. Dosis Infeksi S. aureus... Keracunan Makanan oleh Stafilokoki Metode Deteksi S. aureus... Enterotoksin Stafilokoki (SE). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Enterotoksin Stafilokoki (SE) Mekanisme Aksi SE... Konstruksi Pustaka Gen 16S rRNA Polymerase Chain Reaction (PCR).................... Perunutan Basa Nukleotida (Sekuensing).. Analisis Keragaman Genetika METODE PENELITIAN... Tempat dan Waktu.. Bakteri Uji.. Bahan dan Media Alat. Pelaksanaan Penelitian... Persiapan dan Pewarnaan Gram Kultur Bakteri S. aureus.. Persiapan Kultur Bakteri.. Pewarnaan Gram Bakteri.. Identifikasi Molekuler Kultur Bakteri S. aureus. Persiapan Kultur Bakteri.. Isolasi DNA Genom Bakteri Amplifikasi Gen 16S rRNA Bakteri Sekuensing Gen 16S rRNA Bakteri................................................. Amplifikasi Gen Penyandi SEA dan SEC1.. xiii xiv xv 1 1 4 5 5 6 6 9 13 15 16 16 19 22 26 29 31 32 34 35 39 39 39 39 40 41 42 42 42 42 42 43 44 45 45

HASIL DAN PEMBAHASAN.. 46 Pewarnaan Gram. 46 Identifikasi Molekular Isolat Lokal S. aureus 46

Isolasi DNA Genom Bakteri. Amplifikasi dan Analisis Sekuen Parsial Gen 16S rRNA Amplifikasi Gen SEA dan SEC1.. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan. Saran. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN...

46 49 56 60 60 60 61 68

DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus. Karakteristik spesies stafilokoki................................................... Sumber, faktor risiko dan konsekuensi keberadaan S. aureus dalam rantai pangan...................................................................... Data cemaran S. aureus pada beberapa pangan........................... Faktor-faktor yang berkontribusi pada kasus keracunan pangan.......................................................................................... Karakteristik utama enterotoksin stafilokoki (SE)....................... Persentase identitas asam amino pada SE yang berbeda.............. Support genetika pada beberapa gen penyandi SE....................... Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus.............................................................. Pasangan primer oligonukleotida yang digunakan untuk amplifikasi gen target................................................................... Produk sekuensing dari isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding (S. aureus ATCC 25923) berdasarkan sekuen gen parsial 16S rRNA dengan primer 63f, 1387r dan hasil contig Persen kemiripan isolat-isolat lokal S. aureus dan isolate pembanding (S. aureus ATCC 25923) yang dianalisis dengan beberapa galur S. aureus pada Bank Gen berdasarkan sekuen gen parsial 16S rRNA dengan primer 1387r. Sumber isolat dan asal negara dari masing-masing galur S. aureus berdasarkan sekuen gen parsial 16S rRNA.... Persen kemiripan isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding (S. aureus ATCC 25923) yang dianalisis dengan beberapa galur S. aureus pada Bank Gen berdasarkan sekuen gen parsial 16S rRNA............ Persen kemiripan antar isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan sekuen gen parsial 16S rRNA dengan primer 1387r.. 7 8 11 13 17 23 24 26 27 40

51

12

53

13

54

14

55 56

15

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Morfologi S. aureus perbesaran 5000x..................................................... 2 Mekanisme aksi enterotoksin stafilokoki (SE)........................................... 6 31

3 Diagram alir pelaksanaan penelitian........................................................... 41 4 Morfologi bakteri S. aureus hasil pewarnaan Gram... 46 5 Visualisasi total DNA genom isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat luar S. aureus ATCC 25923. Sampel (a) dan (b) terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3), NU2 (4), NU3 (5), NU4 (6), NU5 (7), NU6 (8), NU7 (9), NU8 (10), NU9 (11), NU10 (12), NU11 (13), NU13 (14) dan NU14 (15). M adalah DNA ladder 1 kb sebagai penanda DNA 49 6 Visualisasi DNA hasil amplifikasi fragmen gen 16S rRNA universal isolat lokal S. aureus. Sampel (a) dan (b) terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3), NU2 (4), NU3 (5), NU4 (6), NU5 (7), NU6 (8), NU7 (9), NU8 (10), NU9 (11), NU10 (12), NU11 (13), NU13 (14) dan NU14 (15). M adalah DNA ladder 1 kb sebagai penanda DNA dan K- sebagai kontrol negatif. 50 7 Visualisasi DNA hasil amplifikasi fragmen gen penyandi SEA isolat lokal S. aureus. Sampel terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3), NU3 (4), NU4 (5), NU5 (6), NU6 (7), NU7 (8), NU8 (9), NU9 (10), NU11 (11) dan NU13 (12). M adalah DNA ladder 100 bp sebagai penanda DNA dan K- sebagai kontrol negatif... 57 8 Visualisasi DNA hasil amplifikasi fragmen gen penyandi SEC1 isolat lokal S. aureus. Sampel terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3), NU3 (4), NU4 (5), NU5 (6), NU6 (7), NU7 (8), NU8 (9), NU9 (10), NU11 (11) dan NU13 (12). M adalah DNA ladder 100 bp sebagai penanda DNA dan K- sebagai kontrol negatif. 57

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Konsentrasi dan kemurnian DNA genom bakteri S. aureus 68

2 Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing............................................................................................... 69 3 Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing... 76 4 Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA hasil contig menggunakan primer 63f dan 1387r untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923... 84

PENDAHULUAN

Latar Belakang Keracunan pangan akibat kontaminasi bakteri patogen atau dikenal dengan istilah foodborne disease (FBD) merupakan permasalahan keamanan pangan yang menjadi perhatian dunia, tidak terkecuali Indonesia. Padahal dalam

mengupayakan keamanan pangan tersebut, masing-masing negara telah membuat kebijakan seperti Undang-undang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah tentang Pelabelan Pangan, Manajemen Keamanan Pangan dan berbagai panduan lainnya. Namun demikian, masih saja terdapat kejadian dimana cemaran pangan kurang dapat diantisipasi secara sempurna sehingga menimbulkan kekacauan, seperti temuan Staphylococcus aureus pada pangan siap santap. Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif, berbentuk bulat bergerombol seperti anggur dan tidak membentuk spora sehingga sangat mudah diinaktifkan dengan perlakuan panas. S. aureus merupakan bakteri yang umum terdapat pada manusia dan bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan pangan. Keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini tergolong dalam kasus intoksikasi, yaitu tertelannya enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus pada pangan. Menurut Pelczar dan Chan (2005), gejala umum keracunan enterotoksin stafilokoki berupa mual, pusing, muntah dan diare. Enterotoksin stafilokoki dapat menyebabkan keracunan pada dosis yang sangat rendah, yaitu 0.1-1 g/kg (ICSMF, 1996). Gejala keracunan dapat terlihat 30 menit hingga 8 jam setelah mengonsumsi makanan yang mengandung toksin tersebut (Blackburn dan Mc Clure, 2002). Sudah sejak lama, S. aureus menjadi salah satu agen terpenting penyebab terjadinya food-borne disease di masyarakat. Penyebab utama masuknya S. aureus ke dalam rantai pangan, yang kemudian menyebabkan keracunan adalah karena rendahnya tingkat sanitasi pekerja. Selain itu, faktor lingkungan juga berpengaruh pada tingkat kontaminasi. Menurut Ray (2001), pangan yang disiapkan di bawah kondisi dan lingkungan yang kurang baik berimplikasi dengan tingginya kejadian

2

food-borne disease. Hal ini terutama terjadi pada negara berkembang, seperti Indonesia dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada negara maju. Berdasarkan laporan the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (1989) menyatakan bahwa pada tahun 2001 hingga 2005 rata-rata setiap tahun terjadi 327 kasus keracunan pangan akibat bakteri di Amerika Serikat, 15% diantaranya disebabkan oleh enterotoksin stafilokoki. Sementara itu pada tahun 2006, terjadi 295 kasus keracunan pangan akibat bakteri dan 9.8% diantaranya juga disebabkan oleh enterotoksin stafilokoki (SE). Tidak hanya kasus tersebut, di Amerika Serikat yang tergolong negara maju, foodborne disease diduga bertanggung jawab terhadap 76 juta kasus sakit, 325,000 kasus rawat inap dan 5,000 kasus kematian per tahunnya (Jaykus, 2003). Kejadian Luar Biasa (KLB) lainnya yang pernah dilaporkan antara lain di Osaka Jepang pada tahun 2000, yaitu produk susu skim bubuk dan susu rekonstitusi ditemukan mengandung enterotoksin stafilokoki A (SEA). SEA yang terkandung mencapai 80 ng. Selanjutnya di Amerika Serikat, pada produk susu coklat cair mengandung 200 ng atau kurang SEA (Ikeda et al., 2005). KLB akibat S. aureus di Indonesia sendiri pernah terjadi di beberapa daerah. Di Tabanan Bali pada tahun 2004, 159 orang dilaporkan keracunan akibat mengonsumsi nasi bungkus dan hasil pengujian laboratorium BPOM

menunjukkan bahwa sisa nasi bungkus dan muntahan korban mengandung mikroba patogen S. aureus. Bakteri patogen ini juga ditemukan pada jajanan jeli yang mengakibatkan 20 orang murid di Gresik keracunan. Pada tahun yang sama juga terjadi kasus keracunan di Bandar Lampung karena mengonsumsi campuran nasi dan ikan tongkol. Sementara itu pada tahun 2007, terjadi keracunan makanan pada 36 orang setelah mengonsumsi camilan di sebuah hotel di Padang. Hasil uji klinis laboratorium menunjukkan sampel makanan positif mengandung S. aureus (Gentina et al., 2008). Keracunan pangan oleh S. aureus disebabkan oleh enterotoksin. Enterotoksin stafilokoki merupakan kelompok protein globular rantai tunggal yang bersifat antigenik dengan berat molekul rendah, yaitu 26,900-29,600 dalton. SE ini diproduksi terutama oleh S. aureus, tetapi dapat diproduksi juga oleh S. intermedius, S. hyicus, dan S. xylosus (Bhatia dan Zahoor, 2007). SE bersifat

3

larut air dan stabil terhadap panas (termostabil) serta kaya akan residu lisin, asam aspartat, asam glutamat, dan tirosin (Le Loir et al., 2003). Terdapat 14 jenis SE

yang telah diidentifikasi, yaitu SEA SEB, SEC, SED, SEE, SEG, SEH, SEI, SEJ, SEK, SEL, SEM, SEN, dan SEO. Namun hanya SEA, SEB, SEC, SED, dan SEE yang hingga saat ini dapat dideteksi dengan peralatan komersial (Ikeda et al., 2005). Hanya sedikit galur yang menghasilkan SEB, proporsinya 1:10 dengan galur penghasil SEA (Bennett dan Amos, 1982). Selain SEA, enterotoksin stafilokoki yang paling sering mengontaminasi produk pangan antara lain SEC dan SED. Menurut Pelisser et al., (2009), pada produk keju dan daging ditemukan 10 galur S. aureus yang mengandung SEA dan 12 galur mengandung SED. Sedangkan pada produk susu mentah dan pasteurisasi terdapat 16 galur S. aureus yang mengandung SEA dan 8 galur yang mengandung SEC (Rall et al., 2008). Menurut Maslankova et al., (2009), pada produk olahan susu berturut-turut ditemukan S. aureus yang mengandung SEC 24.1%, SEB 13.9% dan SED 10.1%. Berdasarkan perbandingan sekuen asam amino, SEA berada satu kelompok dengan SED, sedangkan SEB berada satu kelompok dengan SEC1 (Argudin et al., 2010). Enterotoksin stafilokoki sangat stabil terhadap enzim proteolitik, seperti pepsin dan tripsin, sehingga toksin ini tetap aktif di saluran pencernaan. Enterotoksin ini juga tahan terhadap kimotripsin, renin, dan papain. Meskipun demikian, SEB dan SEC1 dapat dipotong pada loop sistein oleh tripsin. SEB dapat dihancurkan oleh pepsin pada pH 2, tetapi SEB menjadi resisten terhadap pepsin pada pH yang lebih tinggi, dimana kondisi tersebut adalah kondisi normal di dalam lambung setelah seseorang mengonsumsi makanan (Bhatia dan Zahoor, 2007). Data mengenai keberadaan bakteri S. aureus di Indonesia berdasarkan gen penyandi SE yang dihasilkan sudah pernah dilaporkan. Salasi et al., (2009) melakukan deteksi gen penyandi SE pada produk susu segar dan produk pangan olahan asal hewan dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Berdasarkan penelitian tersebut, dari 20 isolat yang ada ditemukan mengandung satu atau bahkan lebih gen penyandi SE, yaitu SEC (6 isolat); SEE (1 isolat); SEH (1 isolat); SEB dan SEI, SEC dan SEG, SEG dan SEI (masing-

4

masing 1 isolat); SEC dan SEE (2 isolat); SEB dan SEC (4 isolat). Kombinasi 3 jenis gen penyandi SE ditemukan masing-masing sebanyak 1 isolat untuk SEB, SEC dan SEI; SEC, SEE dan SEI serta SEC, SEG dan SEI. Data mengenai keberadaan bakteri S. aureus di Indonesia berdasarkan gen penyandi SE yang berasal dari produk-produk pangan tradisional siap santap ataupun produk-produk olahan pangan lainnya belum pernah dilaporkan. Laporan resmi tentang kasus keracunan stafilokoki di Indonesia masih terbatas jumlahnya. Data yang tersedia umumnya hanya menyatakan lokasi kejadian dan jumlah korban, namun tidak sampai pada menjelaskan penyebabnya. Hal ini menyebabkan monitor dan evaluasi apabila terjadi suatu kejadian luar biasa (KLB) berdasarkan asal-muasal keracunan (etiologi), sumber makanan dan tempatnya pun belum terlaksana dengan baik. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan bahwa kasus keracunan pangan di Indonesia paling banyak terjadi pada pangan olahan yang melibatkan industri jasa boga dan industri jasa katering. Data mengenai prevalensi isolat lokal S. aureus dan keracunan stafilokoki yang ditimbulkannya pada produk pangan tradisional santap belum tersedia. Oleh karena itu perlu diketahui frekuensi keberadaan isolat lokal S. aureus dalam produk pangan tradisional siap santap dan toksin yang dihasilkannya guna dijadikan acuan dalam penetapan manajemen risiko baik di tingkat produsen maupun konsumen.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengidentifikasi isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan gen 16S rRNA, sehingga dapat diketahui persentase tingkat kemiripan antar isolat-isolat tersebut. (2) Mendeteksi keberadaan gen penyandi enterotoksin stafilokoki A (SEA) dan enterotoksin stafilokoki C (SEC1) pada isolat-isolat lokal S. aureus.

5

Manfaat Penelitian Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi (database) tentang S. aureus yang ada di Indonesia untuk melakukan kajian risiko S. aureus isolat lokal yang ada di Indonesia.

Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Terdapat kemiripan antar isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan gen 16S rRNA dan (2) Terdapat gen penyandi enterotoksin stafilokoki A (SEA) serta enterotoksin stafilokoki C (SEC1) pada isolat-isolat lokal tersebut.

6

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri koki Gram positif dan jika diamati di bawah mikroskop akan tampak dalam bentuk bulat tunggal atau berpasangan, atau berkelompok seperti buah anggur seperti yang terlihat pada Gambar 1. Staphylococcus aureus termasuk dalam famili Staphylococcaceae, berukuran diameter 0.5-1.5 m dan membentuk pigmen kuning keemasan. Bakteri ini tidak membentuk spora, bersifat aerob atau anaerob fakultatif, non-motil, koagulase dan katalase positif, mampu memfermentasi mannitol serta mampu menjalankan dua macam metabolisme yaitu respirasi maupun fermentasi.

Gambar 1 Morfologi S. aureus perbesaran 5000x (Todar, 2008) S. aureus mampu memanfaatkan berbagai komponen organik sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya. Asam-asam amino dibutuhkan sebagai sumber nitrogen, sedangkan tiamin dan asam nikotinat paling dibutuhkan diantara vitamin B lainnya. Apabila S. aureus ditumbuhkan pada kondisi cenderung anaerob, maka urasil sangat dibutuhkan. Sedangkan untuk kondisi aerob dan produksi enterotoksin, maka monosodium glutamat berperan sebagai sumber C, N dan energi. Arginin merupakan asam amino esensial yang dibutuhkan untuk produksi enterotoksin B (Bennet dan Monday dalam Militois dan Bier, 2003; Jay, 2000). S. aureus termasuk ke dalam kelompok bakteri mesofilik, namun terdapat beberapa galur S. aureus yang mampu tumbuh pada suhu rendah 6-7oC. Pada umumnya, S. aureus tumbuh pada kisaran suhu 7-48.5oC dengan suhu optimum

7

pertumbuhan 30-37oC. Kisaran pH pertumbuhan antara 4.5 hingga 9.3, dengan pH optimum 7.0-7.5 (Bennet dan Monday, 2003). Berdasarkan aktivitas air (aw), stafilokoki mampu tumbuh pada kadar aw yang lebih rendah dibandingkan dengan bakteri nonhalofilik lainnya. Pertumbuhan stafilokoki tetap terjadi pada aw 0.83 yang merupakan kondisi di bawah ideal untuk pertumbuhan kebanyakan bakteri. Kebanyakan galur-galur S. aureus mempunyai toleransi tinggi terhadap konsentrasi garam dan gula. Bakteri ini masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi natrium klorida lebih dari 15% dan memiliki toleransi tinggi terhadap komponen-komponen seperti telurit, merkuri klorida, neomycin, polymixin dan sodium azida, yang semuanya dapat digunakan sebagai media selektif S. aureus (Le Loir et al., 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus Pertumbuhan Faktor Pengaruh Optimum Suhu pH aw Atmosfer Natrium Klorida Adam dan Moss (1995) S. aureus mampu memproduksi sejumlah besar enzim-enzim ekstraseluler, toksin dan komponen kimia lainnya. Beberapa metabolit ekstraseluler ini sangat bermanfaat untuk identifikasi S. aureus dan membedakannya dari spesies stafilokoki lainnya. Karakteristik S. aureus dan beberapa spesies stafilokoki lainnya ditampilkan pada Tabel 2. Dua metabolit yang umum dimanfaatkan untuk identifikasi S. aureus adalah aktivitas koagulase (enzim yang mengkoagulasi plasma) dan termonuklease (TNase), enzim fosfodiesterase tahan panas yang 37C 6.0-7.0 0.980.99 Aerobik 0.5-0.4% Kisaran 4 48C 4.0-9.8 0.830.99 Anaerobik hingga aerobik 0-20%

8

dapat

memecah

DNA

maupun

RNA

untuk

menghasilkan

produk

fosfomononukleotida.

Tabel 2 Karakteristik spesies stafilokokiSifat S. aureus S. intermedius S. hyicus a Pigmen + Koagulase + + Dnase + + Hemolisis + + Mannitol (an) + Acetoin + Gumpalan + + + Hyaluronidase + Lysostaphyn ST ST ST a >90%. an:kondisi anaerobik; ST: sensitivitas tinggi; SR: sensitivitas rendah S. epidermidis + SR

Bennet dan Monday (2003) Staphylococcus aureus tidak membentuk spora sehingga pertumbuhan oleh S. aureus di dalam makanan dapat segera dihambat dengan perlakuan panas. Namun, kontaminasi S. aureus tetap menjadi salah satu penyebab utama foodborne disease (FBD) karena S. aureus dapat mengkontaminasi produk makanan selama persiapan dan pengolahan. Bakteri ini sendiri ditemukan di dalam saluran pernapasan, permukaan kulit dan rambut hewan berdarah panas termasuk manusia, Lebih dari 30-50% populasi manusia adalah carrier S. aureus (Le Loir et al., 2003). Umumnya S. aureus tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi baik dengan mikroflora normal kebanyakan pada makanan. Telah banyak penelitian yang menunjukkan ketidakmampuan S. aureus untuk bersaing pada makanan segar dan makanan beku. Pada suhu yang mendukung pertumbuhan S. aureus, mikroorganisme lain pada makanan melakukan perlindungan untuk melawan pertumbuhan S. aureus lewat mekanisme antagonis, kompetisi terhadap nutrisi dan modifikasi kondisi lingkungan agar tidak mendukung pertumbuhan S. aureus. Bakteri yang diketahui bersifat antagonis terhadap S. aureus adalah Acinetobacter,

9

Aeromonas, Bacillus, Pseudomonas, S. epidermidis, kelompok Enterobactericeae, Lactobacillaceae, kelompok Enterococci dan Streptococcus (Jay, 1996). Staphylococcus aureus memliki beberapa jenis faktor virulensi yang mendukung terjadinya penyakit pada tubuh manusia, salah satunya adalah protein permukaan yang membantu kolonisasi pada jaringan inang. Untuk mendukung penyebarannya pada jaringan, bakteri ini menghasilkan invasin, seperti leukosidin, kinase dan hyaluronidase. Leukosidin adalah sitotoksin yang dapat membunuh leukosit, sedangkan hyaluronidase adalah enzim yang dapat mendegradasi asam hyaluronat sehingga meningkatkan permeabilitas jaringan (Todar, 2008). Pada tubuh manusia terdapat faktor virulensi S. aureus yang mampu menghambat fagositosis, yaitu protein A dan kapsul. Protein A adalah protein permukaan yang mengikat molekul IgG. Bakteri ini juga menghasilkan senyawa biokimia yang menjadi pertahanannya terhadap fagosit, yaitu karotenoid dan katalase (Todar, 2008).

Kontaminasi S. aureus dalam Pangan Stafilokoki dapat ditemukan di udara, debu, limbah, air, susu, makanan, atau peralatan makan, permukaan lingkungan, manusia, dan hewan. Manusia dan hewan adalah reservoir utama. Stafilokoki juga dapat ditemukan lebih dari 50% di saluran pernapasan, tenggorokan dan di permukaan rambut dan kulit seseorang yang sehat sekalipun. Keberadaan S. aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan (Stewart et al., 2002). Pangan yang dilaporkan dalam berbagai kejadian luar biasa S. aureus umumnya diolah dengan proses pemotongan, pemarutan, dan pengilingan yang melibatkan pekerja yang terkontaminasi. S. aureus terdapat luas di alam dan pada bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan risiko keracunan pangan akibat S. aureus (Robinson et al., 2000). Pangan yang memiliki resiko tinggi terhadap bahaya keracunan akibat Staphylococcus adalah pangan yang normal flora di dalamnya telah mengalami kerusakan akibat proses pengolahan (misalnya daging yang telah dimasak) atau dihambat pertumbuhannya (misalnya ikan asin dengan konsentrasi garam yang

10

tinggi). Hal ini berkaitan dengan sifat S. aureus yang merupakan kompetitor lemah dalam ekosistem mikrobial yang kompleks sehingga adanya bakteri patogen dan pembusuk lain dapat menghambat pertumbuhannya. Bakteri psikrotropik sebagai contohnya dapat menghambat pertumbuhan S. aureus pada penyimpanan suhu rendah (refrigerasi). Selain itu pada proses fermentasi, bakteri asam laktat dapat memproduksi beberapa senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan (Ash, 2000). US FDA (1999) menyatakan keberadaan S. aureus dalam pangan dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti proses pengolahan pangan yang tidak tepat dari segi suhu dan waktu, suhu penyimpanan pangan yang salah yaitu kurang panas (60C atau 140F) atau kurang dingin (7.2C atau 45F), dan adanya kontaminasi silang dari bahan baku mentah maupun pekerja. Penjelasan mengenai konsekuensi yang ditimbulkan apabila proses pengolahan dan penanganan pangan tidak dilakukan dengan tepat dapat dilihat pada Tabel 3. Jalur masuknya S. aureus kedalam bahan pangan biasanya melalui jaringan kulit atau selaput lendir yang terluka seperti terpotong benda tajam, luka bakar, gigitan serangga, pengelupasan kulit, atau penyakit kulit lain. Oleh sebab itu, pekerja dengan luka pada kulit tidak diperbolehkan mengolah makanan terlebih disertai dengan praktik sanitasi yang buruk yang dapat memperbanyak jumlah S. aureus (Schaechter et al., 1993). Apabila S. aureus terkontaminasi ke dalam bahan pangan yang mengandung nutrisi yang menunjang bagi pertumbuhannya, jumlah S. aureus akan bertambah dengan laju pertumbuhan yang cepat. Bahan pangan yang menyediakan nutrisi yang menunjang pertumbuhan S. aureus adalah bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi seperti daging dan produk olahannya, unggas dan produk olahannya, telur dan produk olahannya, salad yang mengandung telur, tuna, ayam, kentang dan makaroni, produk bakery, serta susu dan produk olahannya (US FDA, 1999). Hal ini disebabkan adanya 11 asam amino yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin pada produk-produk berprotein tinggi yang mendukung optimasi pertumbuhan S. aureus (Supardi dan Sukamto, 1999). S. aureus seperti asam laktat, hidrogen peroksida dan bakteriosin

11

Tabel 3 Sumber, faktor resiko, dan konsekuensi keberadaan S. aureus dalam rantai pangan Sumber Lingkungan Luas Hewan Manusia Udara, air, dan tumbuhan Lingkungan Pengolahan Makanan Bahan Baku Karkas hewan Produk olahan hewan Bumbu Proses Pengolahan Permukaan kontak dengan makanan Udara, air Pengolah makanan Produk Pangan Resiko Konsekuensi jika resiko tidak terkontrol

Lemahnya sanitasi Meningkatnya infeksi peternakan dan higiene S. aureus pada manusia perorangan dan hewan

Penyajian

S. aureus dalam jumlah S. aureus bertahan yang tinggi selama proses pengolahan dan terjadi kontaminasi silang dari bahan baku pangan terhadap makanan olahan Proses Pengolahan tidak S. aureus bertahan mencukupi, pembersihan selama proses dan desinfeksi tidak pengolahan dan terjadi memadai, sumber air kontaminasi postburuk dan lemahnya process terhadap produk sanitasi dan higiene pangan perorangan Ketidaktepatan suhu S. aureus penyimpanan, faktor berkembangbiak dan pertumbuhan intrinsik memproduksi tidak dikendalikan staphylococcal enterotoxins (SE) Kontaminasi dari enterotoksigenik S. aureus terhadap makanan yang telah diolah. Ketidak tepatan suhu lingkungan penyajian makanan S. aureus berkembangbiak dan memproduksi enterotoksin stafilokoki (SE)

Lingkungan Makanan

Penyajian

Hewan Manusia Permukaan kontak dengan makanan Udara dan air Robinson et al. (2000)

Pangan dengan konsentrasi garam yang tinggi (ham) atau konsentrasi gula yang tinggi (fla) tidak terlepas dari bahaya konsentrasi S. aureus. Hal ini berkaitan dengan sifat S. aureus yang tahan terhadap kadar gula dan garam yang tinggi

12

(hingga 20%). Cara yang dianjurkan untuk mengontrol atau mencegah adanya S. aureus pada pangan yang sudah diolah adalah mendinginkannya hingga suhu 20C, melarang orang sakit untuk menangani makanan, menggunakan sarung tangan disposable dalam proses penanganan makanan, melakukan refrigerasi atau pendinginan pada makanan hingga 106 CFU/g. Pada kasus-kasus keracunan makanan, biasanya jumlah S. aureus mencapai 108 CFU/g atau lebih. Shapton dan Shapton (1993) menyatakan bahwa populasi Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk menghasilkan toksin adalah 5 x 106 CFU/g, dimana toksin yang dihasilkan bersifat tahan panas. Oleh karena itu, walaupun bakterinya sudah mati karena pemanasan kemungkinan toksinnya masih tetap dapat bertahan. Menurut Ray dan Bhunia (2008) keracunan Staphylococcus aureus disebakan karena terkonsumsinya toksin dalam jumlah 100-200 ng yang dihasilkan oleh 106-107 CFU/ml atau CFU/g dalam 30 g/ml makanan. Pada individu yang memiliki sensitivitas tinggi, dosis 100-200 ng sudah dapat menyebabkan penyakit (Miliotis dan Bier, 2003). US FDA (2001) menyatakan bahwa jumlah toksin Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk menyebabkan keracunan pangan sebesar 1.0 g. Pada level ini dicapai jumlah bakteri sebanyak 1.0 x 105 CFU/g atau CFU/ml.

Keracunan Makanan oleh Stafilokoki Keracunan pangan karena Staphylococcus aureus terjadi melalui intoksikasi. Intoksikasi adalah tertelannya toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen pada pangan ke dalam saluran pencernaan. Dalam hal ini tidak diperlukan sel vegetatif selama konsumsi untuk terjadinya keracuanan. Keracunan pada manusia disebabkan oleh konsumsi enterotoksin yang dihasilkan oleh beberapa strain Staphylococcus aureus di dalam makanan, biasanya karena makanan tersebut tidak disimpan pada suhu yang cukup tinggi (>60C) atau cukup dingin (80% dapat dinyatakan sebagai satu spesies. Tabel 15 Persen kemiripan antar isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan sekuen parsial gen 16S rRNA dengan menggunakan primer 1387rAS NU1 NU4 NU5 NU9 ATCC 25923 AS 100 NU1 76 100 NU4 100 NU5 87 100 NU9 87 92 100 ATCC 25923 100

Amplifikasi Gen Penyandi SEA dan SEC1 Amplifikasi gen penyandi SEA dan SEC1 dengan metode PCR dilakukan terhadap 11 isolat lokal, 5 isolat telah teridentifikasi sebagai S. aureus dan 6 isolat tidak teridentifikasi sebagai spesies apapun berdasarkan hasil analisis sekuensing gen 16S rRNA. Amplifikasi gen penyandi SEA dan SEC1 bertujuan untuk mendeteksi keberadaan gen enterotoksin pada isolat-isolat lokal S. aureus yang ada, dimana keberadaan gen enterotoksin tersebut berperan penting dalam menyebabkan kasus keracunan pangan (Pelisser et al., 2009). . Amplifikasi terhadap gen penyandi SEA dan SEC1 ini dilakukan dengan

menggunakan pasangan primer SEA-1/SEA-2 untuk gen penyandi SEA dan SEC1-1/SEC1-2 untuk gen penyandi SEC1 seperti yang telah dilakukan oleh Johnson et al., (1991). Masing-masing gen penyandi SE tersebut menghasilkan produk PCR berturut-turut sebesar 120 bp dan 257 bp (Gambar 7 dan 8).

57

M K- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

300 bp 200 bp 100 bp

Gambar 7. Visualisasi DNA hasil amplifikasi fragmen gen penyandi enterotoksin stafilokoki A isolat lokal S. aureus. Sampel terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3), NU3 (4), NU4 (5), NU5 (6), NU6 (7), NU7 (8), NU8 (9), NU9 (10), NU11 (11) dan NU13 (12). M adalah DNA ladder 100 bp sebagai penanda DNA dan K- sebagai kontrol negatif.

M K- 1 2 3 4 5

6 7 8

9 10 11 12

300 bp 200 bp 100 bp

Gambar 8. Visualisasi DNA hasil amplifikasi fragmen gen penyandi enterotoksin stafilokoki C1 isolat lokal S. aureus. Sampel terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3), NU3 (4), NU4 (5), NU5 (6), NU6 (7), NU7 (8), NU8 (9), NU9 (10), NU11 (11) dan NU13 (12). M adalah DNA ladder 100 bp sebagai penanda DNA dan K- sebagai kontrol negatif.

Hasil amplifikasi gen penyandi SE di atas menunjukkan bahwa 5 isolat lokal yang telah teridentifikasi sebagai S. aureus, 1 isolat (NU1) mengandung gen penyandi SEA dan 1 isolat (NU5) mengandung kedua gen penyandi SEA dan SEC1. Enam isolat lokal yang tidak teridentifikasi sebagai spesies apapun, 2 isolat

58

(NU3 dan NU8) mengandung kedua gen penyandi SEA dan SEC1 serta 1 isolat hanya mengandung SEC1 (NU6). Enterotoksin stafilokoki A dan C1 merupakan jenis enterotoksin yang paling sering mengontaminasi makanan. Pada produk susu sempat terjadi outbreak, dimana ditemukan sebanyak 16 galur dari 57 galur S. aureus yang mengandung SEA dan 8 galur yang mengandung SEC1. Dari galur-galur S. aureus tersebut juga ditemukan dua atau lebih gen SE yaitu sebanyak 2 galur mengandung positif 3 gen SE (SEA, SEC1 dan SEH) (Rall et al., 2008). Proporsi galur S. aureus yang menghasilkan SEB lebih sedikit dibandingkan dengan SEA, yaitu 1:10 (Bennet dan Amos, 1982). Holeckova et al., (2002) berhasil mendeteksi gen SEC1, SEB, SED dan SEA pada produk susu dan olahan susu yang masing-masing sebesar 24.1%, 13.9%, 10.1% dan 5.1%. Salasi et al., (2009) melakukan deteksi gen penyandi SE pada produk susu segar dan produk pangan olahan asal hewan dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Berdasarkan penelitian tersebut, dari 20 isolat yang ada ditemukan mengandung satu atau bahkan lebih gen penyandi SE, yaitu SEC (6 isolat); SEE (1 isolat); SEH (1 isolat); SEB dan SEI, SEC dan SEG, SEG dan SEI (masing-masing 1 isolat); SEC dan SEE (2 isolat); SEB dan SEC (4 isolat). Kombinasi 3 jenis gen penyandi SE ditemukan masing-masing sebanyak 1 isolat untuk SEB, SEC dan SEI; SEC, SEE dan SEI serta SEC, SEG dan SEI. Jika melihat berdasarkan hasil analisis sekuensing parsial gen 16S rRNA dan hasil amplifikasi gen penyandi SEA dan SEC1, maka dapat diketahui bahwa dari 11 isolat lokal S. aureus, hanya 5 isolat yang teridentifikasi sebagai S. aureus, yaitu : AS, NU1, NU4, NU5 dan NU9. Dari kelima isolat S. aureus tersebut, ditemukan 2 isolat yang mengandung 1 jenis atau lebih enterotoksin. Isolat NU1 mengandung gen penyandi SEA dan NU5 mengandung kedua gen penyandi SEA serta SEC1. Isolat lokal NU1 dan NU5 merupakan spesies S. aureus yang berbeda. Isolat lokal NU1 memiliki tingkat kemiripan sebesar 76% dengan isolat lokal AS dan isolat lokal NU5 memiliki tingkat kemiripan yang tinggi, yaitu berkisar antara 87 92% dengan isolat lokal NU4 serta NU9. Isolat lokal NU1 dan NU5 masing-masing memiliki tingkat kemiripan >80% dan >90% dengan beberapa galur pada Bank Gen, yaitu : S. aureus subsp. aureus T0131, S. aureus

59

subsp. aureus str. JKD6008, S. aureus subsp. aureus TW20, S. aureus subsp. aureus ECT-R2 dan S. aureus subsp. aureus ED98. Isolat NU3, NU6 dan NU8 yang positif mengandung enterotoksin stafilokoki, kemungkinan teridentifikasi sebagai spesies selain S. aureus yang juga sama-sama menghasilkan enterotoksin stafilokoki, seperti : S. intermedius, S. hyicus, S. xylosus, S. epidermidis, S. carnosus dan S. saprophyticus (Monday dan Bennet, 2003).

60

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Berdasarkan hasil amplifikasi parsial gen 16S rRNA 5 dari 14 isolat lokal adalah S. aureus, meskipun secara uji biokimiawi telah diidentifikasi sebagai S. aureus (Apriyadi, 2010). Sembilan isolat lokal lainnya tidak teridentifikasi sebagai spesies apapun. Secara genotipik antar kelima isolat lokal S. aureus (AS, NU1, NU4, NU5 dan NU9), hanya 3 isolat (NU4, NU5 dan NU9) yang memiliki tingkat kemiripan tinggi, yaitu berkisar antara 87 92%. Kelima isolat lokal S. aureus juga tidak memiliki kemiripan dengan S. aureus ATCC 25923 sebagai isolat pembanding. Terdapat 2 isolat lokal S. aureus (NU1 dan NU5) yang bersifat enteropatogenik karena itu berpotensi menghasilkan gen penyandi enterotoksin stafilokoki A (SEA) dan enterotoksin stafilokoki C1 (SEC1). Satu isolat lokal (NU1) memiliki gen penyandi SEA isolat dan satu isolat lokal (NU5) memiliki kedua gen penyandi SEA serta SEC1.

Saran Perlu dilakukan beberapal hal dalam melakukan penelitian lebih lanjut, antara lain: (1) memperbanyak jumlah isolat lokal S. aureus yang diteliti, (2) mengkarakterisasi jenis enterotoksin stafilokoki lainnya yang ada pada isolat lokal di Indonesia, dan (3) mengamati pembentukan enterotoksin stafilokoki dalam pangan tradisional Indonesia.

61

DAFTAR PUSTAKA Adams, MR, dan Moss, MO. 2005. Food Microbiology 2nd Edition. The Royal Society of Chemistry. United Kingdom. Amann, RI, Ludwig, W, dan Schleifer, KH. 1994. Identification of uncultured bacteria: A challenging task for molecular taxonomists. ASM News 60: 360365. Anonim. 1999. Basic Features and Applications of PCR- From Human Molecular Genetics. http: //www.web-books.com[3 Agustus 2011]. Anonim. 2010. DNA Sequensing. http://www.sciencebiotech.net/tag/dnasequencing[13 September 2011]. Applied Biosystem. 2002. BigDye Terminator v1.1 Cycle Sequencing Kit Protocol. Apriyadi, TE. 2010. Risiko Staphylococcus aureus pada Pangan Tradisional Siap Santap dan Evaluasi Keberadaannya dalam Nasi Uduk [Fateta skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Argudin, MA, Mendoza, MC dan Rodicio, MR. 2010. Food poisoning and Staphylococcus aureus enterotoxins. Toxins Review 2: 1751-1773. Ash, M. 2000. Staphylococcus aureus and staphylococcal enterotoxins. Dalam: Hocking, AD, Glenda A, Ian J, Ken N, dan Peter S. 2000. Foodborne microorganisms of public health significance. AISFT Food Microbiology Group. New South Wales. BAM [Bacteriological Analytical Manual]. 2001. http://www/cfsan.fda.gov [16 Februari 2007]. Bennett, W. dan Amos, WT. 1982. Staphylococcus aureus growth and toxin production in nitrogenpacked sandwiches. Journal of Food Protection Vol 45: 157- 161. Betley, MJ dan Mekalanos, JJ. 1988. Nucleotide sequence of the type A staphylococcal enterotoxin gene. J. Bacteriol 170: 34-41. Bergdoll, MS. 1990. Staphylococci food poisoning. Dalam: Foodborne diseases. Academic Press, Inc. San Diego. Bergdoll, MS. 1983. Enterotoxins. Dalam: Staphylococci and staphylococci infections (Easmen, C.S.F., and Adlam, C., eds.). Academic Press, London, UK pp: 559-598.

62

Bhatia, A. dan Zahoor, S. 2007. Staphylococcus aureus enterotoxins: A Review. Journal of Clinical and Diagnostic Research Vol 1 No. 2: 188-197. Blackburn, CDW, Mc Clure, PJ. 2002. Foodborne pathogen hazard, risk analysis and control. Woodhead Publishing Limited. England. BPOM. 2005. Data kondisi keamanan pangan. Dalam : Haryadi, P dan N. Andarwulan. Konsolidasi sistem keamanan pangan di Indonesia. Gramedia. Depok. Brown, TA. 1992. Genetics: Molecular approach Second Edition. Chapman & Hall, London. Buckle, KA., Edwards, RA., Fleet, HH, dan Wootton, M. 1978. Food science. Australian Vice-Chancellors Commitee. CDC [Centers for Disease Control and Prevention]. 1989. Morbidity and mortality weekly report Vol. 38, 24. Dalam: USDA, 2001. Foodborne pathogenic microorganisms and natural toxins handbook. Center for Food Safety & Applied Nutrition, Amerika Serikat. Chapaval, L, Moon, DH, Gomes, JE, Duarte, JE dan Tsai, SM. 2008. An alternative method for Staphylococcus aureus DNA isolation. Arq. Bras. Med. Vet. Zootec Vol 60 2: 229-306. Clarridge, JE. 2004. Impact of 16S rRNA gene sequence analysis for identification of bacteria on clinical microbiology and infectious diseases. Clinical Microbiology Reviews Vol 17 No 4 p: 840-862. Claverie, JM. dan C. Notredame. 2007. Bioinformatics for Dummies. 2nd ed.Wiley Publishing, Inc. New York. Doyle, JJT dan Doyle, JL. 1990. Isolation of plant DNA from fresh tissue. Focus 12: 13-18. Doyle, MP, Larry RB, TJ. Montville. 1997. Food microbiology fundamentals and frontiers. ASM Press. Washington DC. Eden, F, Rosen, B, dan Mannheim, CH. 1977. Death and injury of Staphylococcus aureus during thermal treatment of milk. Can. J. Microbiol 23: 1034-1037. El-Banna, AA, Hurst, A. 1983. Survival in foods of Staphylococcus aureus grown under optimal and stressed conditions and the effect of some food preservatives. Can. J Microbiol 29: 297-302.

63

Forsythe, S.J. 2000. The Microbiology of Safe Food. Blackwell Science. Oxford. Gentina, Fionaliza, dan Nelisna, M. 2008. Laporan Penyelidikan Epidemiologi Keracunan Pangan di Hotel Pangeran Padang. Padang. Goh, SH, Potter, S, Wood, JO. 1996. HSP60 gene sequences as universal targets for microbial species identification: Studies with coagulase-negative staphylococci. Journal Clinical Microbiology 35: 3116-3121. Haeghebaert, S, Le Qurrec, F, Gallay, A, Bouvet, P, Gomez, M dan Vaillant, V. 2002. Bull. Epidemiol. Hebdo 23: 105-109. Hardy, J. 1980. Staphylococcus lugdunensis, a dangerous wolf in sheeps clothing.http://www.hardydiagnostics.com/articles/Staphlugdunensis.pdf[14 Juli 2011]. Harrigan, W. F. 1998. Laboratory methods in food microbiology third edition. Academic Press. New York. . Harmayani, E., E. Santoso, T. Utami dan S, Raharjo. 1996. Identifikasi bahaya kontaminasi Staphylococcus aureus dan titik kendali kritis pada pengolahan daging ayam dalam usaha jasa boga. Agrotech. Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian 16(3): 7-15. Hartini, P. B. 2001. Studi keamanan mikrobiologis makanan jajanan di kantin FATETA-IPB [Fateta skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Holeckova, B, Holoda, E, et al. 2002. Occurrence of enterotoxigenic Staphylococcus aureus in food. Ann. Agric. Environ. Med 9: 179-182. Hubert, SK, Mohammed, JM, Fridkin, SK, Gaynes, RP, McGowan, JE dan Tenover, FC. 1999. Glycopeptide-intermediate Staphylococcus aureus: evaluation of a novel screening method and results of a survey of selected U.S. hospitals. Journal of Clinical Microbiology p: 3590-3593. ICSMF [International Commission on Microbiological Specifications for Foods]. 1996. Microorganism in foods 5: Microbiological specifications of food pathogens. Blackie Academic and Professional. London. Ikeda Tetsuya, Naoto Tamate, Keiji Yamaguchi, dan Sou-ichi Makino. 2005. Mass outbreak of food poisoning disease caused by small amounts of staphylococcal enterotoxins A and H. J. Appl. Environ. Microbiol 71:27932795. Jay, JM. 1996. Modern food microbiology fifth edition. Chapman & Hall. New York.

64

Jay, JM. 2000. Modern food microbiology. Chapman and Hall. New York. Jaykus, LA.. 2003. Academic activities in food safety: Centers, consortia, and initiatives. Dalam: Torrence, ME dan Isaacson, R.E. Microbial food safety in animal agriculture, current topics. Iowa State Press, USA. Johnson, WM, Tyler, SD, Ewan, EP, Ashton, FE, Pollard, DR dan Rozee, KR. 1991. Detection of genes for enterotoxins, exofoliative toxins, and toxic shock syndrome 1 in Staphylococcus aureus by the polymerase chain reaction. Journal of Clinical Microbiology p: 426-430. Kennedy, K, Blair, IS., McDowel, DA, dan Bolton, DJ. 2005. An investigation of the thermal inactivation of Staphylococcus aureus and the potential for increased thermotolerance as a result of chilled storage. Journal of Applied Microbiology 99: 12291235. Kusumaningrum, HD. 2009. Assesing Staphylococcus aureus in Indonesian traditional ready to eat food using science-based approach. International Seminar and Workshop Issues and Challenges in Food Safety. Bogor. Kwok, AYC., Shey-Chiang Su, dan Robert, PR. 1999. Species identification and phylogenetic relationships based on partial HSP60 gene sequences within the genus Staphylococcus. Int J Syst Bacteriol 49: 1181-1192. Lehninger, AL. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Alih Bahasa M. Thenawijaya. Erlangga. Jakarta. Le Loir, Y., Florence, B., dan Michel, G. 2003. Staphylococcus aureus and food poisoning. Journal Genetic Molecular Research 2(1): 63-76. Lund BM, Toni C. Baird-Parker, Gould, GW. 2000. The Microbiological safety and quality of food Vol 2. Aspen Publication. Maryland. Marchesi, JR, Takuichi, S, Andrew, JW, Tracey, AM, John, CF, Sarah, JH dan William, GW. 1998. Design and evaluation of useful bacterium-specific PCR primers that amplify genes coding for bacterial 16S rRNA. Journal Applied and Environmental Microbiology p: 795-799. Mead, P, Slutsker, L, Dietz , McCaig, L, Bresee, J, Shapiro, C, Griffin, P, dan Tauxe, R. 1999. Food-related illnes and death in the united states. Emerg. Infect.Dis 5: 607-625. Miliotis, DM dan Jeffrey, WB. 2003. International handbook of foodborne pathogens. Marcel Dekker, Inc. New York.

65

Monday, SR dan RW. Bennet. 2003. Staphylococcus aureus. Dalam : Militois, MD dan Bier, JW. International Handbook of Foodborne Pathogen. Marcel Dekker, Inc. New York. Muladno. 2002. Teknik rekayasa genetika. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Navarre, WW dan Schneewind, O. 1999. Surface proteins of Gram-positive bacteria and mechanisms of their targeting to the cell wall envelop. Microbiol. Mol. Biol. Rev 63: 174-229. Newton, CR. 1995. PCR Essential Data. Chichester, John Wiley & Sons. 37-81. Parente, E dan Mazzatura, A. 1991. Growth and heat resistance of Staphylococcus aureus in goat milk. Ital. J. Food Sci 3: 27-37. Pelisser, MR, Klein, CS, Ascoli, KR, Zotti, TR, dan Arisi, ACM. 2009. Occurrence of Staphylococcus aureus and multiplex PCR detection of classic enterotoxin genes in cheese and meat products. Brazillian Journal of Microbiology 40: 145-148. Pelczar Jr., M.J. dan Chan, E.C.S. 2005. Dasar-dasar mikrobiologi 2. Penerjemah: Ratna Siri Hadioetomo, Teja Imas, S. Sutarmi Tjitrosomo, dan Sri Lestari Angka. UI Press. Jakarta. Pinchuk, VI, Beswick, EJ dan Reyes, VE. 2010. Staphylococcal enterotoxins. Toxins Review. 2: 2177-2197. Ray, B, dan Bhunia, A. 2008. Fundamental food microbiology 4th Edition. CRC Press. London. Ray, B. 2001. Fundamental food microbiology second edition. CRC Press. London. Robinson, R. K., Batt, C. A., dan Patel, P. D. 2000. Encyclopedia of food microbiology Vol III. Academic Press. New York. Ruslan. 2003. Keamanan Mikrobiologi dan survei lapang sayuran olahan di daerah Bogor Barat [ Fateta skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Salasi, SIO, Khusnan dan Sugiyono. 2009. Distribusi gen enterotoksin Staphylococcus aureus dari susu segar dan pangan asal hewan. Jurnal Veteriner Vol 10 No 3: 111-117. Sambrook, J, EF. Fritch, dan T. Maniatis. 1989. Molecular cloning: A laboratory manual Vol 1-3 second edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press. Cold Spring Harbor.

66

Sari, QAMP. 2010. Cemaran Staphylococcus aureus pada ayam olahan siap saji dan simulasi rekontaminasi dari udara [Fateta skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Schaechter, M, G Medoff, BI. Eisenstein. 1993. Mechanisms of microbial disease 2nd edition. Williams and Wilkins. London. Shapton, DA dan Shapton, NF. 1993. Principles and practices for the safe processing of foods. Butterworth-Heineman Ltd. Oxford Great Britain. Shehata. AI. 2008. Phylogenetic diversity of Staphylococcus aureus by random amplification of polymorphic DNA. Australian Journal of Basic and Applied Sciences 2(4): 858-863. Stackebrandt, E, dan Goebel, BM. 1994. A place for DNA-DNA reassociation and 16S rRNA sequence analysis in the present species definition in bacteriology. Inernational Journal Sytematic Bacteriology 115: 255-260. Stewart, CM. 2003. Staphylococcus aureus and staphylococcal enterotoxins. Dalam: Foodborne microorganisms of public health significance sixth edition. (Ed. AD Hocking). Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated, NSW Branch, Food Microbiology Group. Waterloo NSW. Suharsono dan Widyastuti, U. Penuntun praktikum pelatihan teknik pengklonan gen. Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Supardi, I dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam pengolahan dan keamanan pangan. Penerbit Alumni. Bandung. Taylor, M dan Atri, S. 2005. Development in microwave chemistry. Evalueserve. United Kingdom. Thomas, CT, White, LC Longree, K. 1966. Thermal resistance of salmonellae and staphylococci in foods. Appl. Microbiol 14: 815-820. Todar, K. 2007. Textbook of bacteriology. http://www.textbookofbacteriology.net [24 Februari 2008]. US FDA [Unites State Food and Drugs Admistration]. 2001. Staphylococcus aureus chapter 12. Bacteriological Analytical Manual Online. Center for Food Safety and Applied Nutrition.

67

US FDA [United State Food and Drugs Administration]. 1999. Bad bug book: Foodborne pathogenic microrganism and natural toxins handbook. Factors affecting the growth of some foodborne pathogens: Center for Food Safety and Applied Nutrition. Walker, GC. Harmon, LG. 1966. Thermal resistance of Staphylococcus aureus in milk, whey and phosphate buffer. Appl. Microbiol 14: 584-590. Yusuf, M. 2001. Genetika. strukur dan ekspresi Gen. Penerbit Sagung Seto. Jakarta. Zhang, S., Iandolo, J., dan Stewart, C. 1998. The enterotoxin D plasmid of Staphylococcus aureus encodes a second enterotoxin determinant (sej). FEMS Microbiol. Lett 168, 227233.

68

69

Lampiran 1. Konsentrasi dan kemurnian DNA genom bakteri S. aureus A260 0.014 0.022 -0.0042 0.52 0.0051 0.45 0.341 -0.048 0.041 0.26 0.37 -0.196 -0.189 -0.19 -0.024 A280 0.0081 0.034 -0.0029 0.47 0.00172 0.42 0.451 -0.015 0.205 0.37 0.255 -0.063 -0.057 -0.083 -0.0177

Kode Isolat AS NU1 NU2 NU3 NU4 NU5 NU6 NU7 NU8 NU9 NU10 NU11 NU13 NU14 ATCC 25923

[DNA] g/ml 35 55 10.5 1300 12.75 1125 852.5 120 102.5 650 925 490 472.5 475 60

Kemurnian 1.73 0.65 1.45 1.11 2.97 2.38 0.77 3.2 0.2 0.7 1.45 3.11 3.32 2.29 1.36

70

Lampiran 2. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

AS1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TGGGGCCGTG GGGTTTTTCA TTCACATTTG GCTGTGCACG TACTGCTTTT TGTTGTGAGT TTACAGCAAA TGTATCTAGT TCAATTCTTG AAATACCATA TTGCTCCACT AAATTTTCAG CAGTAATACC CATATGATAT TGAAAAAATA CATCTGATAA CCTATAATAA GATGCTATCA CCATTGATTG ACGTCTTTTT TTAAAACCCA AACGGATGTT GGTGGACAAC CTTGGTTGAT AGAAACACAT TCTCCTTACG CCAGCCTGAA GAAGTCCTTT TTACCAATCA CAAAAAGATA GTAAGCTGAA TTGATTCACG TTTAACCCCA AACCACACTT TTATTTCAAA GTATGAGCGT GTTGTGTTTC GCGCGCGTCC CCTCTTACAA CCCCTACTTG CGGTAGATTG TGCCTTTGCT GCGTGTGTAC ACTACCAATA ATTTCTTCAT TAATCTAACT TGGAATATAA CCCCTCTCTT TAATAATAAG ATCTACTAAA ATCGTCCTAC CTCAAAGGCC GGCTGGTCTT TCATCACACC CCCCAAAACG 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

NU11 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 GGGCCCAATG GTCATATAAC ATGTTTGTTG GCTGTGCACG TACTGGCTTT TTGTTGTGAG TTTACAGCAA ATGTATCTTG TTCTTTTCTT GAAATACCAT ATTGCTCTAC TAAATTTTCA GCAGTAATAC CCATATGATA TTGATTAAAT ACATCTGTTA AACCATCATA AACCATGCTA TCAACCATTG ATGGATGTCC CATTTTAAAA CCAAACCGAC TTTTGTTGAC AAGCATTGGT GATTGAAACA TATTCTCCAT ACCGCCCCTA GCACGATGTC ATTTTCACCA TTCACAAAAA ATTGATATGC TAATTGAATC GACTTTAACC CAAAACCACA TATTTTTTTC ACCGTAAATG CGTGTTCTGT TTCTGGCACC CCCCCTTTCA TAACACCATT TCGTGCTGGA TTTTGTCCTT GTCCTGCGTG TAGTACGTTA CCGATGATAA CTTCATCAAT CTCACTTGGA TTCAAACCCG TCTCTTTAAT AATATGTTCT ATTAAAGTCG CACCTAAATC ATAGGCTGGC ACTTCTTTAA ACGCACCTCC 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

71

Lampiran 2. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing (lanjutan)

NU21 51 101 151 201 251 301 351 TAGGGGGACG TAGTTTAAAA AAGGGTTTAA AAAAGGCCCT TAAAGACTCA AATTCCCGGG GGGGGGTTCC CCGTCCCGGT GCAGGGCGGG TGAGTATTGT GGAAAGTTAC TGGCTGACTC CTATAAGAGG ACCTTAAGAA CCCCGGCTAA TCTGCTCCTA ACGAACGGGC AACAATGGAT CGGTGTCCTC TTTTATAACA ACCCCCCCGG GTGTTGTCCG TAATAGCTCG CGGATACCAA CTCTCCATCA TAGAGGCAGA GGGCACGCCG TTTTCCTCAT CCCTATAATT TTGAAGGGCG GCGTGAATCA ACGTAAGCCC CACCCCCCCC CTGTTCTCTT TCATAGTGCA AAGACTTTTT CTTGCGATGC ACCCTCAAAA TAAAAAATCC TCCCAAGGAG 50 100 150 200 250 300 350 400

NU31 51 101 151 201 251 301 AGGGGGGGCA TAGGATAAAA ATGACAATTT ATTGGCCCGT ACTGCTTGTA TGTTGGTTTG TTACAGCCCC GTACCTTGGT GTCTCAAAAA GACAATAAGC TCTACTAAAT ATTCTTCATT AATACCCATA TGATATTGAT TAAATACCTC TTTTAAACCA ACCCCAACAA GCTATCAACC ATTGATTGAT GTCCCTTTTT AAAACCCAAC CCACTGGGGT TGACTAGCCG TGGTGACAGA AACCTAATAC ATCACACGGG ATGCAGACAC GAAGCATTTT TCCCCCTCAC AATAGATAGA AATGGCTATT GAAACAGCCT TAACCCCGAA CCCCCTACTT TATTTATTGT 50 100 150 200 250 300 350

NU41 51 101 151 201 251 301 TGGGGGGCGT AGTAATTATT CCCTTCTATG GTGCCCCCGT ACAGCTGAAT TTTGGAGGGA GGTTCACCGT AGCAGCTGGA AAGGAAGGAA AAAAAGGTGA AAACAATCTT CGAGTACCAT TGAAGGACGT TGAAAACCTC CAGCCAACCC AGCCCCTAAC AGCGGCCATC AATGAAGGAG TTCCCTTTTT TAAAACCAAC CCAACGGCTG TGGCCGGCAA GGCTGATGGA AACCAATTCA CCTTACCGAC GCCCAAAACC ACGCCGTTTT CCTCATCCCT ATCAAATAGA TAGGACGTGG CACGAACTTC ACCACCAAAC CACCCCCTTC TTTTTTCTTA GAACAAGCAC 50 100 150 200 250 300 350

72

Lampiran 2. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing (lanjutan)

NU51 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TGTGGGGCGG AATAATAATA ATGAAAATTT GAAGTGGCGC CGAACTGCTG TTTTTTGTTT GTTACAACAA ATGTAGCTTG TTGTTCACTT GAAAAAAAAA ATTGCTCTAC AAAATTTTCA GCAGTAATAC CCATATGATG ATGATTAAAT ACTTCTGTTA AACCATCATA TACCATGCTA TCAACCATTG ATTGATGTCC CATTTTAAAA CCAAAGCGAC GGTTGTTGAC AAGCATTGGT GATTGAAACA TATTCTCCAT ACCGCCGGCT ACCACGATGT CATTTTCACC AGTCCCAATA AATTGAAATG CTAATTGAAT CGACTTTACC CCGGAACCAC AAACTTTTTT CTTCGTAAAG GGAGGAAGGG TTTTTGGAAG CCCACCTTCC AAACAACCAA TCCGGGCTGG ATTTGGTCCT TGCCCGGCTG GTAGTACTTT ACCGATAATA ACTTCATCAT TCTCATTGGG TTCCAAACCC TTCTCTCTAA AAAGATTTTC AATTAAGTTC GCACCTAAAT CTGAGGCGGG GACGCCTTAA AACGCACCTC 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

NU61 51 101 151 201 251 301 GGGGGGGGAA ACTCTTAAGT GCTCAATGGG TAACGGCCCC AAACCTAATT TTTGTAGGGG GAACCCCGAC GCGGGGGGGT GAGAAGGGAG AGGGGGTGGC GAGAAAACGG TTAGGTCCCA TTGGAATTGC CATAATAACT TCGGTGTCCT GGGCATAACG AACCACGAAC TTTGACGCAT TGTCCCCTTT TCCTGATAAC CACCGGGGTT GCCCTATGAT GTTCAAGGAA ACTAACTCTT CAAAAGAGAA AAAGTCAGCC CGCCGTTTGA CTCATCCACA CTAAATTTGG AATGCCGGGC GAGGGAACCT GCAGCCCCGT CGGACACCTT ATCCTTTTCC AAAAACATAA 50 100 150 200 250 300 350

73

Lampiran 2. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing (lanjutan)

NU71 51 101 151 201 251 301 TTGGGGGAAT TTGAATAAGT TATTTCTTTA TATTGCCCGT ACTCTTCTTT TTTTAGTTAT TTCAACGTTG TTGTCCTTCC ATTATATAGA ATTGCTTGCT AAATTTTTTT AGAACTACCC TTTATTTTAG ATTAAATAAA TTCGGTCACC CCGCCCCTAA CAGGTGGCTG TTACGGATTA TTTCCCTTTT TCATAACCAC ACCACCGCTG TTTCCCGGAT GGTTGAATGT TGCTTACACA TCATACCCGA GGCCGCAGCA CCCCGTTTTC ACCGTCATAT ACTTTGAAAG GCAGCTGAAG GGAGCCTACC CCGAAAGAAT AACTTCTTCA TTGTTAATGC AAGGAAGGTT 50 100 150 200 250 300 350

NU81 51 101 151 201 251 301 351 401 451 AGGGGGCAAT AGGGTAAGAA GTGGCTTAAA GGAGGCAGTA CTTCTTTATG TTTGGAGGTT ATTACAACGT TGTTGCTGTT AAATGTATAA AATATGGTTT ACTAATATAA CTCAGAGTCC CCTAAAGATC GAGGGTACAT TCGTTCAATC ACGCATAACA GCGGGGATCA ACTGTTGATG GCCCTTTTTT ATAACGTCCA CCTGGGTGTT GCCGGGAATG GCTGACGGAT ACAAATTCTC CAAATCCGAA GCGCGAAGGA CGTCGTCTTC GCCACCGCAA TACTTAGAAA GTCCAGGTGC CATGAACCCA AACCGCGAAA GCCACAGCTA ATTTATTCTA AATGCAAGTA CGGGTTCTGG CAAGCCCCCC ATCACACCTG CAATTCCTGT CTGACCTTGA CCCTGCCCGA CCTGGACCGA CTTTCCCAAG AATAATTCCA CCATCTCCGT TGGATGGAAC CGGTTCTTCT CGTCCTTTTT TCATTTACGA TTCTACCATT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

74

Lampiran 2. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing (lanjutan)

NU91 51 101 151 201 251 301 351 401 CGGGAAAAAA GGGGAATGCC CCCTAAATTG GCGAGGTACT GCTTGCTGTT TGGAGTTTAT TACCAACGGA TCTTGTTTGT TTATTTACAT AATAAATATC TAATAACTTT TCTACCAGAA GTACCCTAAA GAGGAGATAA AAACATTCGT TAGAACCACC CTATAACAGC GGGCCACCAA TTGATTGTTT TCCTTTTTAT TAAAAAAACG AACGGGTGTT GCTAACCAAG GCTGCTGAAA ACTAATTCTC CATACCACCG GCAACCACGA CGCCGTCTTC CCCGTCCCCA TAGATAGAAA GGGCAGCTGA AACCAACCTT CACCCACAAA ACCATACTTT CTTTATCCTT AATTCAGGGA CGGTTTTTGG GAAGCCACCC TTCCCACCAA CAATTCCTGC CTGTTTTTGA CCCTGTCCCG GCTGCAACAC GTTTCCCAAA ATTAATTACA 50 100 150 200 250 300 350 400 450

NU101 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 551 AGGCCTTTGA TTAAATTTAT AGTTCTATCT GCTTACGTGG CGATCTAAAT TACTGGGGGT CGATTGCAAC GCGTATTGGC CTTAATCCAG TATGTTCGAG TGGCGCCGCC AATTCGTTAC TAATGATTGT TGCCGTCCCA AGACCATCTG ATGAAGCATC GTCCGCGGGC CGATTCCCTT TAACTCCGTC GATGGCTCCA TCAGATTTTA TCCCCCGGGA GGGTTTTGAG GTTCCCCGCC GCCCGCAGTG CCCAAAAGAA TAAGGGTGCT TCCTTTTGGA GCTATATAAC TAAATTCTCA AGACGCTCAG AGAAGGGGCA TAGGCCATAG GAGTGTCGTT TCTACACCGT GAGCAATCCT ATAACCGATA CGTGGAAGAG GCCTCGCTGG GCGTTTCCTT TTTGGTCAAC TTTTCTCACA CCATGCTCTA CATCTGGGAT TGCGGCGCAA ATACCTTGTG TTCTGCCCGC TACCGCTTTA ACGCACCCGC CGTGACGATA ATTGCTCCCC TTACTGTGCG CCTACCTATC GAAGAGGACC CTACAATGTC TACTGTCCGG CTGGTACTGT GGTAACTATT CACGTAGTAA CCTCGGTCGG 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600

75

Lampiran 2. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing (lanjutan)

NU111 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 551 601 651 701 TTCGGCGGAG TAATTTAATT GGTTTAATTG GGCCCCCGTG CTTCTAATTT CTGTTGGGGG GTTCCACTCC ATCCGGAAAA AAAAAGGGTA AAGGGGTGGC GACGCCCCAA GTTAGTTCCC ATTGTTGGGG TACTGGTACC CTTTGGGGTC CCGGGCCTAA AGAGGTAATT ACTTTATCTC CTCCCCCCCT TCCTCCAGAG TATCCCCGCC GGCGTCTTTT AAATCCCCAC CGCAACCCGC GGGACACAAA AGAAAAGGGG TGCCCTCTGT GAGGGATTTA TCCCAACTTC TCAAAACACG ATGTCGAAAG ACCCATGGCC CCACACCTGT GGTTAAGATC GGCACCGAAC TATCACTTCT TAGATGCGTG GAAGACGTCA CAACGGGAAG TGCTTCTCCT CTGATCAAAT TATATCACAA ATGCTCTCCC CCTGCGGCAT CCCACCGTTT TTCTTTTTAG AATTTCACGG TACCACTCTC ACGCCCTGCC CAAGAAAATT ATTGCTTTGG AATGAAAACT CCAGGTTACT CCCCTTAGCT ATATCACGTG TTTTAGTTGG ATGCGGACCG TCTTATCTTC TAAGGTTCTT TCCTCATTCG GCGACTTGCG TAAATTGTTG AGAGAGGAAT CACTTTCTCC GGCTGATGCT GCTCCCCATG CCTACTACTG ATACCACCGC AGTTGGAAGG GACTACATCC AACAGTCTAT ACATACCCGA GTAATTCTTT AAACCTAGCA GGTCCCCGGG 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700 750

NU131 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 AGAGGGCAAG GTGTAGAAAG GTTAAAATAG GACTAGGGAA TTCTAATTTA TGTAGCTAGG ATTCCACTTT TTGCGGCGGA AATTAAGGTT AAAAGGGCGG TTAGCTTAAA CGTTAGTTCC AATTGAGCCG ACCATTGGTG AACTTGGGTT AGAAAGGCCT CAAGGGCCGA AAGAATTGGA CTCAGTCCCA CCTCCCTTCA GATTTGAACC CCACGGTCTC TTTAAAGTTC CCACCGGACC CCGCGGCAAA AAAAAGAAAG GGAGCGCTCT TTTAGGGGCT TAAAACCAAA CTTCACAAAA CGCGCTCAGA CCAAACATAC GGTCCCTGTG TGTGGGTTTA GGCATTCGCA TTGTTATATC ATTATAGTTC GCTGCAAGGC AAGACGCCGG GAGATGCTTT TTGATTCTGA TATTAAACCA CAAGAACCGT TCTTTTGCTT CCCCCCACGC TTTTCTTTTT TTTAGCTTTG CGGCACCACT CTCACCGGTG CGAATGAACA CATTTGCGCT GGATACAAAG TTCATACTTC AACCCTCAGA CCGAACTCAG 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

76

Lampiran 2. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing (lanjutan)

NU141 51 101 151 201 251 301 351 ATGGGGGGCC GTTTATGATC TGGCTAATGA TAACGCCCGC AAAAACGACA GGTCGGGGGG GGGGTCCCCC CTCCCGGGGG AAAGGGGAGG AGAGGGGGTG GTGAGGAACT TGTCAAGATC ATTTGAAAGT GCCTAGGACG TCGGCTAAAA TGGGCCTAAC GGACAGGAAG AATGTAACGC GGGAAACCGC TTCATACAGT ATATCCCCCA GTTGCCCCAG AGATCCTCAC GCAAACTAAC TCATGAAAGA AAAAGCGAGC GCCCCGACGT TTGCCCATAT CGCATACTTT TAAAAATGTT GCCTCAATAA TCCTATGCCC CCACGCCGAT CCATTACCGC ATTCTAGTAC GGTCCATTTT CCTTTGCATA GCAACGCTCC CGATAAGAAG TTGTCCCCCA 50 100 150 200 250 300 350 400

ATCC 259231 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 CGGCTTTAAT TATGTGACTT CCGTTTTGCT GCGCCGTACT GCTTTTTGTT GTGAGTTTAC AACAAATGTA TCTTGTTCTT CTCTTGAAAT ACCATATTGC TCCACTAATT TTTCAGCAGT ACCACCCATA TGATGTTGAA ATCCTACTTT TAAACCATCA TATACCATGC TATCATCATT GTTGAATGTC CTCCTTTTTT AAAACCAAAA CTGTTGTTGA CTAACAATGG TGAATGACAC ATATACACCA TCCCGACGGC CAGCACGATG TCGTTTTCTT CCACCACTCA CAATTGATTG GTATGCTAAT TGAATCAACG TTAACCCAGA ACCACATACT TTTCCTTAAA GCATGTACGG GTTGTTGCTG GCCCCCTTTC TTTCTTACCA ATCCTTCCTG CTTTATTTTG TCCTTCTCCT GGTTGTAATA GCTTACCAAT CATTACATCA TCAACCTCAT TTGAAATCCC ACCCTTCTCT ATAATATTAA GTTCTATTAA AATCACACCT ACCTGAGGGG CCGGCACGTC AAAAAACACC CCAAAAAACA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

77

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

AS1 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TGGTGTTGGG GGGGGAGATG TGCCAGCCTC CCCCTTATGT GGGACTTTGA TTGAACATGT TATAATATTA TAGGGACGGG ATGCAATCCA AATGAGGGGG GTGATGTTAT TATCGGTAGT GCACGCAACC AGGACGAGGA CAACATCCAG CAGGAATGAT TTGTAAGGTG GGAGGCCGGA AACACTACAC CCATTTACGG CGAGTGAAGA ATGTGGTTGT TGGGTATGGT CGATTCAATA ATCATATCAA TTTCTTTTGA TTGGTGAAGA TGAAATCGTG CTAGTGGGGG GTAGGGGGAA TATGTTTCTG TCACCACTGC TTGTCAACAA CAGTCGCTTT GGTTTTTTAA TGGGACATCA ATCAATGGAA TATAGCATGG TATGGGATGT TTTGGTTCAA AAGGTTTTAT CATTATTTTT GGGGGGGTAT TGCTGAAAAT TTGGTGGGCC AATTTGGTTT TCATAAAAGG AACAAGACCT TTGTGGAAAT TAAAAACAAA AACCAGAGGG GGGCCCCAAA TACTTTCTTG TTTGTTGTTT TGCCTAGTTA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

NU11 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TGGAGGTGGG TTGAAAGAAG AGCCACCCTC TGATTTAGGT GGGACTTTAA TAGTACATAA TATTAAAGAG ACGGGTTGGA ATCCAAGTGA GATTGATGAA GTTATCTTCG GTAACGTAGT ACAAGCAGGA CAAGGACAAA AAATAGCACG AATTGTTGTT TTGAAAGAGG GGTTGCCCGA AACACAACAC GCATATATGG TGAATAAAAA ATGTGGTTTT GGGGGAAAAT GGATTCAATA AGCATATCAA TATATTGTGA GTGGTGAAAA AGACATCGTG TTAGCGGGCG GTATGGAGAA TATGTGTCAA TCACCAATGC TTGTCAACAA CAGTCGCTTT GGTTTTAAAA TGGGACATCA AACCATGGTT GATAGCCTGG TATATGATGG GTTTAAAGAA GTATTTTATC CATATTATAT GGGGTATTAT GGTGGAAAAT TTGGTGGGCC AATTTGGTAT TTCAGGGGAG GAACAGGATC CTTTGGTGGT AAATTACCAC CAAAAACCAG TAGGGAACAG CCCAACTTGG CGAATTCCAA AATCCCTTGA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

78

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

NU21 51 101 151 201 251 301 351 401 451 GCTGGGGGAC GGTGATAACG TCAACCGCAA CCGTTATGAA AAGGACCGCG CGCATACAAG TGGGGTGGTG GAGGTAAAAT GGGTAACGCT TCCAGGCGGG AATTTTTCAA AATCAGGCAG GAATTGCAGT AGGGAAGGCC GGAACCCAGA ACCAGTACTT CTCTAACAGA AAATAAAGGG GAGTGACGCG TTAGGTTCGT TCAGTGCTTT CCTAACGATA CGATGAAGAA AACGTCTTGG GGAGACTTCC GGATGATGAT TTGTATCCAC TAATCATGCC GTCAACACCG GTGCGACGGT ATTAAAACGG ACATTAAACA AATGGTGGCC CTCCTTAGGC GCTGGTTAAC CGTGTTTTAT TTCCTGACAA TTAAATAGGA CGATGGTCTA AACTTGGCAG ATCTCAAGGC TGCATTTTAG GACCAACGAC GTTGGATTAA CCAACAAACG AAGTAGTCCT CGCCCCAAAA AAACTTTCTA ACCGGGGTGG GTGTTTTCAT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

NU31 51 101 151 201 251 301 351 TCAGAAAAGA CTTCTAGTTT TGGAGGTTGG CAGCAAGAAA AAAGCTTTCT TTAAGAAAAA ATAAGGGGGG GGTTTGGGGG TTTAGGTTTT TGGAACTGCT ATTTCAATCG ATAGTGATGG GGAAAACGGG GTGGTCCCGG CCTCTCGTAA GGTGAGATGG TTTCCGTCAG CCACTCCGGG CCACCCCCGG GGGGGTTGTT AATAAAAAGG GAAACCAACA AATGATCCAC TCCAGTTGGG GCCGGGCCGG ACGGAGTGTT TTAATGTCAA TTAAATAGTA CTCACCAGAT AAGTTGGCGG ACCCTTTTTC CTTTTTTGTG CGCCGGGTGG TGGTCCCCAA ACAAAAAAAG AATTACGGGG CACAAAAACC CACCCATTTC GTTTTCTCTT TTAACCCTAA 50 100 150 200 250 300 350 400

79

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

NU41 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 GTTTGAAAGA GGTGCCCGCC TAGGAATTGG TTGGGACGTT AATAGAAAAT ATTATGAAAA AGACGGGTTT GAATCCAAGG GAGATGGAGG AAGTAATCAT CGGTAACGTA TACAAGCGGG ACAGGGACAA AATCCAGCAA GAATTGTTGG TATGAAAGGT GGCTTGCCAG AAACAGTACC TGCATTTACA GTGAATAAAG TATGTGGTTC TGGGTTAAGT TCGATTCAAT TAGCCTTTCA ATCTATTGTG ACTGGGGAAA ATGACTTCCG GCTGGCTGGC GGTAGGGAGA ATAGTTTTCA GTCACCAAAG CCGGTCACCC ACAGTCGGTT CGGTTTTAAA ATGGGACATC AATCAATGGT TGCTAGCTTG GTATTTGTTG GTTTAACAGA TGTATTTAAT CAATATTATA TGGGTATTAC TGTAGAAAAT TTGGTAGACC AATATTGTTT TTTATTTGGA AGACCAAGAT ACGTTTGAGT AACAAACCAA CAAAAGCAGT ACGGGGCACA AAAAGCCCTA AATGCCGGTC CGGTCGTTTT TAACCCCCCT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

NU51 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TGGAGGTGCG TTTAAAGACC TGCCCGCTTA TGATTTAGGT GCGACTTTAA TAGAAAATAT TATTAAAGAG ACGGGTTTGA ATCCAAGTGA GATTGAGGAA GTAATCATCG GTAACGTACT ACAAGCAGGA CAAGGACAAA ATCCAGCACG AATTGTTGGT ATGAAAGGTG GCTTGCCAGA AACCGTACCT GCATTTACAG TGAATAAAGT ATGTGGTTCT GGGTTAAAGT TGATTCAATT AGTATATCTA TCTATTGTGA CTGGTGAAAA TGACTTCTTG CTAGCGGGCG GTAGGGAGAA TATGTTTCAG TCACCAATGC TAGTCAACAA CAGTCGGTTC GGTTTTAAAA AGGGACATCA ATCAATGGTT GATAGCTTGG TATTTGTTGG TTTAACAGAT GTATTTAATC TCTATCATAT GGGTATTACT GCTGAAAATT TAGTCCGCAA TATTGTATTC TAAGGAAAGA ACAACATACA TTTGCTGTAA ACTCCCAACA TCAGCAGTAC GGCCCAACAA ACAAGTAACT ATTGGTTTGG TGGGCTTTTT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

80

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

NU61 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TTCCCTCCAA CAATTTCGTT TTTTGTTTCC CTTCCTTATT ATCCCCGATT TCCCCGGGCC TTAGATCACA GCCCCCCCTC AGTTACAGCC TGCCTTTTTC CCTCCCCCTC TAACAGATTC TGAATAAACA CGTAATGCTA ACTTTTCAAC TACCTTGTAA GCCAGTTGGT GGGGGATTGT CCGGGGACAT TGGCACGTCC CAGGAAAAAG TTTTGGCTGG TTGCCCACAC CGTTCCACAC CGACGGGCTT TGGTCGTGAG GTTTGGCCTC CGACGGTGGT GCTGCTAAAG GGGTAGTGTA TGTAAACGAC ACGACCACTT AGGCTGGAGC GTGGTGCGAG GGGAAAGAAA AAACAATATC GCACATTCCC AACAACGTTC GGGGGAAAGG GTTATCGTTC AGGACCAACT AAAACCGGGA AGGACCGGAC CGGTGGAATG GGTAATAAGG GAAGTGATAA GGGGAACCAT ATTGGGGGGG GAAAAGTTTG CCAAAACATG ATTCCACCAC GGAACTCTCA AATCCCCGAG GTATTAGGAG TGGGGGTTTG 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

NU71 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TTGGTTTTTT AATGTGATTT TTTAGGTGTG GCCGGCCGTG GTTGTCAATG GTCGATCAAC AAAAGGTAAG AAGGGGAGGG GTTTGAATCC AAGGGAGATG ATGGAGTGAA TCTTGGGCAA GGCCACCAAG CGGGGCAGGG CCAAAATCCG GCAGGACTTT CTGGTATGAT GGGTGGCTTC CCACAACCCT TACCTGCTCT AACAGAAAAG TAATGGATGG GTTCTTGCTA AGTCGCATCA AACAGGACTT CATATCTATA GTGATGGGGA GAACGTCATC GTGGGTGCCG GCGAATGATG AAATGGTATT CCGCAGCCAA GGCCGGCAAC ACCCATTGGG GTGTTTATAA AAAAGGGACC CCAATCAATG GTGGCCGCTG TTATGGGCGT TTTAGCGGAG GTATTTAAGC ATTCCTATGG TACGAAGGTG ATAATTAGCC ACCAATACTT ACTTCTTTGA GGAGCCACGT CGCTTACTTA ACACCAAACA ACAGACTCGG GCCAAAAAAA ACAAATTTTC TGTCTGTTGT CCTTGCCTTG CCCCCTCCCT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

81

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

NU81 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 GGTTTAAGGA GCCCCCGCCG CGGGGTAGGG TTGAGTCGTA AATGGAAATG TTCTGGAAAG GAGGCGTATC AACCCAAGGG GGGTGGTGGA AGAAATTATA GGAAACGACT TCCAGGAGGG GCAGGGCCAA AATCAGGCAG GAATGGCTGG TGTGAAGGGG GGCTTGCCAA AAAACGTCCT TGCTCTAACA ATAAAGAAAG TGGGGTTTAT TGGTTAAGGT CACTTCACCT GCCCTCCCAA TCGCTGTGGT GGGGAAAACG ACATCCTCTT TGCCGGCGGT TAGATGAATT AGTTTCAATC AACCATGGCC GTCAACACCC GTTGGGGTGG TTTTAAAAAA GGACAATAAA CCATTGATCC CCGCTGTGAT AGGCTGGGTT AAACGAATGT TTTCATTCTC ATCTATATAG TACTTCTGGT GGATAAGTTG GTAAACCAAT AATTCTCCCA CTTACACCAA CATCCGTTGT CCCCCAACAA ACAACAGCCT ACGGGCCCCC AAAAGGCTTA TTTCCCTTTG CCCTTTTTTG TCCCCTTTAC CCCCCCCCCA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

NU91 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 GGTGCGTTTA AAGACGTGCC AGCCTATGAT TTAGGTGCGA CTTTAATAGA ACATATTATT AAAGAGACGG GTTTGAATCC AAGTGAGATG GATGAAGTAA TCATCGGTAA CGTAATACAA GCAGGACAAG GACAAAATCC AGCACGAATT GTTGGTATGA AAGGTGGCTT GCCAGAAACA GTACCTGCAT TTACAGTGAA TAAAGTATGT GGTTCTGGGT TAAGGTCGAT TCAATTAGCA TATCTATCTA TTGTGAGTGG TGAAAATGAC ATCCTGCTAG CGGGCGGTAT GGAGAATATG TTTCAGTCAC CAATGCTTGT CAACCACAGT CGCTTCGGTT TTAAAATGGG ACATCAATCA ATGGTTGATA GCTTGGTATT TGATGGTTTA ACAGATGTAT TTAATCAATA TCATATGGGT ATTACTGGGA AAATTTAGTA GAGCAATATG GTATTTCAAG AGAAGAACAA GATACATTTG CTGTAAACTC ACAACATAAA GCAGTACGGC ACACCAAAAT GCCAATTACA AATGTTTGTG TCCCAAGAAT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

82

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

NU101 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 551 601 651 GGTCACTCGA CTCACAGGGA TGGGTCAGTA GTTGTCTCTG GAAGAAGCGT CAGCCATAAA CATCTTTCCT CTTTGAATCT GTTTGACGCT GATCCCTGAA TTGAGTTCTA TTTTGCAAAG GTTTCATTGT ACCCGTCCAA ATCAAACGGT TTCAAGGCTA AGCATAGTAG CACGGAACAA AGTAACCAAG TCAACTATCT GCGCGACCAG TAATTCAGAG TGGCACTGTC ATACACCCTT TTTTTGTTAC GGTGGAAGGA AGTTATCCGG TGCTTGCTTC AAGGTAATAT CAGCCAAAAA AGACAAGAAC AAGAGAGCGC TCTTCCTTCC AAGGGAAGAG GATTGCTCAC AGACCACCTA CGGCTCGGGG CGGGCGTGTG TCAGCAGGGG GGCCGCCATT AAATAATAAT GCCCAATTGC CAACGGGAAG GACAGGCATC GTTTTTGTTC CCCGGGGTGC GGTGATATCC TTTAACCACG GGTGGGTAGT GGACCATATG GGGCCTTATA CGGCGAAAAA GTGATTCGGT CATAGGGGCA CATCATACCA GAAGGTCCGA GGATCCTCCA ATATTCAGAG GGTATTTGGG GTAATAGGCC TATTTACCAG AAATTATCCC CGAAACAAGG TGGATTCCAA GCAATTAAAA ACAGATCCCC CTACAATCAA AACCCAAATA ACTTGTGTTG GTTTTTTCAT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700

NU111 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 551 AGTTCGCAGA ACGAGTAAAC AACACATAAA CACCAATGTC CCAACCCACT AAATACCCGA TACAAGGAGA GGCAATAAGT ATACACACAG GTATTTAAAA AAAATTTCCC AGGAGGGGGT GATTGTGTGA GCGTGAAAAG AAAATTGTAT AGCGGGCGAA GCCCCAATTA CGAAGTGGTT TGAGAAGAGT TAAAGACAAA AACAAACTCT TTATTGTCGT GTCCTCCACC CATCTATGAG AGGTTTGCGC CCTGTATACC TTTATTACAG CTGTGGCACA TGGCTTTAGG CATGCCGCCA TTGGAAATTT TTTTATATCG CTCCCTAAGG GAGGACCCTG TATCTTGTTG CAGCCGCGGG TTGCGGGGGA ATCCTCTAAC ACTAGGTGGT AGAAAATCAT AAGTAGACAG TACGGAAAAA CGTGAATAGG CCCTATAGGC TCATATTAAT GCGAAGGACA AGTATCCATC AATTTTCCTG AGGTGGTGGG CGCTCCACCT ATTTTCCCGC TTTTTTACCC CACGCGAGTG GAACCCCCCC CCAGTAATCA GTCCCCCGTG GCCCCAAAAA ACAAACTTTT CGTTCTTGTT GTTTTAAAGT 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600

83

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

NU131 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 GAGGTGTGGG GAGATGAATC CACGGTGGTA TCGATCGCAC CATTTTCTTT GGCAAGCGGT AAGAGCGGTA CCGCGAAAAA AACAAAAGAA ATAGAGGTTG GGCCCAGCCC ACGCAGGAGA ACTTGTGATG AAGTAACATG CGCAAAAAAA TTTCCCGGCG TGATCTCTTG CACAAAACAG TTGTAGGATA GAGTGGTGAA TAAGGAATCC AAAAGGTTGG TGCGTGGGTT AGTTCTCAGC GCGTTTTGAG ATTTGAGTGT TTGTGCCCAG CAGCGAGCAC CCCCTATCTT CTTTGGCCAG CTGGTTCCCG CGTAAATTTC AAAGGAAACC GGCTGCCACT CTGATGGAAG GTGAGGAGGC GTTCAAACAA TTCTGTCCGT CAGGCCCATG TTCCCCCAGT AGTACAACTA TCCATAATTT AGGCTAGGGG ATTAACCAAA AGACCTTAAA CAAGCAAATA GTCCAAAACA AGGGGAACCT CCCAACAGAA TTAGAAGCCC TAGCCCAAAA ACCTAATCAT CTTTTTTTTC CAAACCATAA AAACCCCCCA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

NU141 51 101 151 201 251 TTTTGTAAAG TTTGTGCATG TGGCAAAAGG AAGGCACTCC CCATCTTGTG TGACCAGCAA GTTTCCGCGA AGCACAAAAA ACTAACGTCG TTTAGCCCTG ATGAAAGGTG TCAATGTCCA GTTTTTCCCG GCTCTTCAGG CCTATGTAAC CCAGTTCTCC AACTATGAAA TAAATGGGAC CGGAGCAGGG AACTCGCCAA CCCATATTTC CTCATTGAAG CCGCGGGGAC GGGCAACCCC CCACCCAACT TCGGTTGCCC GGACCCCCAA TAATCCCCTT ATTTTTTCGT TGTTGTTTTT 50 100 150 200 250 300

84

Lampiran 3. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r (reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing

ATCC 259231 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 TTGGGGGATG AAAGACCAGC CGGCCTATGA TTAGTGTGTT TTAAAAGAAT AAACATTAAA GAGAGGGGTG TGTTCCACCC AGGGTGATGA ATAGTTATCG GTAATGTATA CAAGCAGGCC AAGGACAAAC AACAGCCAGA ATGGATTGTA TGAAGGGTGG GTGGCCAGAA ACAGTACGTG CATTTACGGT GAATAAAGTA TGTGGTTGTG GGTTAAAGTA GATTCAATTA GCATATCAAT TTATTGTGAT TGGTGAAAAA AACATCGTGC TAGTTGGCGG TGGGGAGAAT AATTTTTATT CACCAACGAT TGTCATCAAC AGCCGTTTTG GTTTTAATAA AAGACGTCAA TCAACGGTTG ATGGTATCGT ATTTTATGGT TTATCAGATG TATTTATTCA TCATCATATG GGTGGTACTG CTGGAGAAAT AGTAGAGCAA TATTGTATTT TTTCAGAGGA GCTAGATCTT TCGCTGTAAT TCACAACAAA AAGCAGACTC CGCCAACAAC AAAACTAATC TCTCTTTCGT CTTTTCCTTA AACACCTTTA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550

85

Lampiran 4. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA hasil contig menggunakan primer 63f dan 1387r untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923

NU11 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 551 GGGCCTCAAG GGATCATATG GAATTCGCCA AGTTTGTTGG CTGTGCACGT ACTGGCTTTT TGGTGTGTAA TTTACCACCA AAGGTATCCT GTTCCTCCCC TGAAATACCA AATTGGCCCT ACCAAATTTT CCACCAGTAA TACCCCATAT AATATGGATA AAATACATCT GTTAAACCCA TCATAAACCA GGCTATCAAC CATGGATGGA TGTCCCATTT TAAAACCAAA CCGACTGTTG TTGACAAGCA TTGGTGATTG AAACATATTC TCCATACCGC CCGCTAACAC GATGTCATTT TCACCACTCA CAAAAAATTG ATATGCTAAT TGAATCCACT TTAACCCAAA ACCACATATT TTTATTCACC ATAAATGCGT GTTCTGTTTC GGGCAACCCC CCTTTCAAAA CAACAATTCG TGCTGGATTT TTTGTCCTTG TCCTGCGTGT ACTACGTTAC CGAAGATAAC TTCATCAATC TCACTTGGAT TCAAACCCGT CTCTTTAATA ATATGTACTA TTAAAGTCCC ACCTAAATCA GAGGCTGGCA CTTCTTTAAA CCCACCTCC 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600

NU51 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 551 TGTGGGGCGG AATAATAGCC CACCAATGAC CAATAGTTAC TTGAATGTTG GCGCCGAACT GCTGATGTTG GGAGTGTTAC AACAAATGTA TGCTTGTTCT TTCACTTAGA AAAAAAAAAT TGCGCTACAA AATTTTCAGC AGTAATACCC ATATGATAGA TGATTAAATA CATCTGTTAA ACCAACAAAT ACCAAGCTAT CAACCATTGA TTGATGTCCC ATTTTAAAAC CAAACCGACG GTTGTTGACA AGCATTGGTG ACTGAAACAT ATTCTCCATA CCGCCCGCTA CCAAGAAGTC ATTTTCACCA GTCACAATAA ATAGAAATAC TAATTGAATC AACTTTAACC CAGAACCACA AACTTTATTC ACTCGTAAAG GCAGGAACGG TTTCTGGCAA GCCCACCTTC CAAACCAACC AATCCGGGCT GGATTTGGTC CTTGCCCGGC TGGTAGTACG TTACCGATAA TAACTTCATC AATCTCACTT GGATTCCAAA CCCGTCTCTC TAAAAAGATT TTCAATTAAA GTTCGCACCT AAATCATAAG GCGGGCACGC CTTAAAACGC ACCTCCA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600

86

Lampiran 4. Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA hasil contig menggunakan primer 63f dan 1387r untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 (lanjutan)

ATCC 259231 51 101 151 201 251 301 351 401 451 501 551 601 TGTTTTTTGG GGTGATGAAA GACCAGCCGG CCCCTCAGGA TTAGGTGTGA TTTTAAAAGA ACTAAACATT AAAGAGAAGG GTGGGATTCC AACCATGAGG TTGATGAATA GTAATGATCG GTAATGCTAT TACAACCAGG ACAAGGACAA AATAACAGCC AGGAATGGAT TGGTAAGAAA GAAAGGGTGG CCAGCAACAA CACGTACATG CATTTAAGGT GAATAAAGTA TGTGGTTCTG GGTTAAAGTA GATTCAATTA GCATACCAAT CAATTGTGAG TGGTGGAAGA AAACGACATC GTGCTAGTTG CCGGTCGGGA TGAAGTATAT GTGTCATTCA CCAACGATTG TCAGTCAACA ACAGTTTTGG TTTTAATAAA AGGACGACAA TCAACAATGA TGATAGCATC GTATATGATG GTTTAAAAGA TAGGATTTAT TCAACATCAT ATGGGTGGTA CTGCTGAAGA AATTAGTAGA GCAATATGGT ATTTTTTCAA GAGAAGAACA AGATACATTT CGCTGTAAAC TCACAACAAA AAGCAGTACG CCGCAGCAAC AACGGAAGAC ACATAATCTA AAGCTCGTTT CGTCTTTTCC TTAAACACCT TTA 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650