2010 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nusa Tenggara Barat

222
Food Security and Vulnerability Atlas of Nusa Tenggara Barat 2010 D N E A W G A N N A P K E N T A A N H A Nusa Tenggara Barat PEMERINTAH PROVINSI Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nusa Tenggara Barat

Transcript of 2010 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nusa Tenggara Barat

  • Food Security and Vulnerability Atlas of Nusa Tenggara Barat

    2010

    D

    NE

    AW

    GA

    NN

    A PK E NT AA NH ANusa Tenggara BaratPEMERINTAH PROVINSI

    Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nusa Tenggara Barat

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan PanganNusa Tenggara Barat

    2010

    Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara BaratDewan Ketahanan Pangan

    Kementerian PertanianWorld Food Programme

  • Copyright @ 2010

    Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dewan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian and World Food Programme (WFP)

    All rights reserved. No part of this publication may be reproduced or transmitted, in any form or by any means, without permissions.

    Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nusa Tenggara Barat

    Food Security and Vulnerability Atlas of Nusa Tenggara Barat

    2010

    Published by: Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dewan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian and World Food Programme (WFP)

    Cover Design/Lay Out: Ratna Wardhani

    ISBN: 978-602-99790-0-8Size: 210 mm x 297 mmNo. of Pages: 205

    WFP Disclaimer

    The Boundaries and names shown and the designations used on the maps in this book do not imply official endorsment or acceptance by the United Nations.

  • GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT

    SAMBUTAN

    Bismillahirrahmanirrahim.Assalamualaikum Warahmatullahi Wabaraktuh.

    Alhamdulillah wasyukurillah, berkat limpahan rahmat dan bimbingan Allah SWT, penyusunan buku Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas/FSVA) Provinsi NTB tahun 2010 berhasil diselesaikan tepat pada waktunya.

    Buku ini sangatlah penting karena memuat informasi yang akurat tentang kondisi umum dan identifikasi spesifik terhadap keadaan pangan masyarakat di seluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dengan mengetahui Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan, maka akan dapat menjadi pedoman bagi pemerintah daerah bersama seluruh pemangku amanah lainnya untuk melakukan langkah yang tepat, meningkatkan koordinasi serta mengambil peran optimal dalam mewujudkan ketahanan, kemandirian, dan keragaman pangan masyarakat Nusa Tenggara Barat.

    Sebagaimana dimaklumi, meskipun NTB merupakan Lumbung Pangan Nasional dan salah satu daerah super fokus dalam peningkatan produksi beras nasional, namun kasus ketahanan dan kerentanan pangan dalam suatu daerah tertentu, terlebih pada wilayah yang terisolir tetap harus diwaspadai.

    Komitmen Pemerintah Provinsi NTB untuk mempercepat pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat miskin, terutama melalui pelaksanaan program peningkatan ketahanan, kemandirian, dan keragaman bahan pangan dan gizi harus terus dioptimalkan, dengan melibatkan seluruh pemangku amanah, koordinasi lintas sektoral dan lintas program dengan tetap memperhatikan peran, kewenangan, dan tanggung jawab masing-masing.

    Harapan Saya, penyusunan FSVA ini tidak berhenti sampai tingkat provinsi saja, namun dapat ditindaklanjuti dengan penyusunan FSVA di tingkat kabupaten/kota sehingga diperoleh potret riil ketahanan dan kerentanan pangan sampai tingkat kelurahan dan desa.

    Akhirnya, semoga buku Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan ini dapat bermanfaat dalam upaya bersama meningkatkan kondisi ketahanan pangan di Provinsi NTB pada masa-masa yang akan mendatang. Semoga Allah SWT, senantiasa melimpahkan hidayah-NYA kepada kita semua, amin.

    Wallahulmuwaffiqu Walhadi ila SabilirrasyadWassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

    Mataram, 17 Desember 2010GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT

    H. M. ZAINUL MAJDI

  • KATA PENGANTAR

    Assalamualaikum Wr.Wb.

    Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T., Tuhan Yang Maha Esa, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Nusa Tenggara Barat bekerjasama dengan United Nations - World Food Programme (WFP) dapat menyusun Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan / Food Security And Vulnerability Atlas (FSVA) Tingkat Kecamatan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010.

    Tujuan pembangunan ketahanan pangan pada dasarnya adalah menjamin ketersediaan pangan yang cukup sepanjang waktu, aman untuk dikonsumsi, bermutu dan bergizi seimbang serta merata pada tingkat rumah tangga. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang cukup, bergizi dan aman menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang sehat, cerdas dan berkualitas untuk melaksanakan dan mensukseskan pembangunan nasional.

    Salah satu kendala dalam pengelolaan program pangan yang efektif adalah terbatasnya informasi ketahanan pangan yang akurat dan tertata dengan baik, sebagaimana kita ketahui bahwa penyediaan data/informasi merupakan tanggungjawab bersama baik pemerintah, lembaga non pemerintah dan masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan akan informasi keberadaan kantong-kantong rawan pangan diseluruh kecamatan-kecamatan se-NTB, Badan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat telah melakukan serangkaian kegiatan dengan United Nations - World Food Programme (WFP) dalam pengembangan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Provinsi NTB.

    Pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada WFP Indonesia atas komitmen, dukungan dan kerjasama yang intensif dalam upaya penyusunan FSVA NTB sehingga peta ini dapat diluncurkan tepat pada waktunya. Juga kepada semua pihak terkait yang telah berperan aktif terhadap penyusunan peta ini, yaitu Tim Pengarah dan Tim Teknis Provinsi NTB serta unit kerja Ketahanan Pangan di Kabupaten yang telah berproses dalam upaya penerbitannya.

    Semoga dengan adanya Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan tingkat Provinsi ini diharapkan dapat menjadi suatu langkah awal untuk memantapkan strategi dan kebijakan serta prioritas kegiatan yang tepat sasaran sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat Nusa Tenggara Barat yang sehat, cerdas dan berdaya saing.

    Wassalamualaikum Wr. Wb.Mataram, 17 Desember 2010

    Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat

    Ir. Husnanidiaty Nurdin, MMNIP. 19620203 198603 2 009

  • KATA PENGANTAR

    Sejak Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan United Nations World Food Programme (WFP) bersama-sama mengembangkan Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas-FIA) tahun 2005 yang telah mengidentifikasi 100 wilayah prioritas yang rentan terhadap kerawanan pangan, WFP menyambut gembira untuk melakukan analisa lebih lanjut sebagai respon terhadap ketertarikan dan antusiasme yang tinggi dari pemangku kepentingan di tingkat nasional dan provinsi. Dengan demikian, telah diputuskan bersama bahwa peta tingkat nasional akan diperbaharui secara berkala dan peta tingkat provinsi akan dikembangkan di seluruh provinsi sebagai suatu alat untuk mengarahkan perencanaan provinsi dalam konteks desentralisasi di Indonesia.

    Pada tingkat nasional, DKP dan WFP telah memperbaharui Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) pada tahun 2009, yang diluncurkan secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia pada tahun 2010. Peta tersebut menunjukan bahwa disamping terlihat perubahan positif pada akses terhadap fasilitas kesehatan, angka harapan hidup dan angka kurang gizi pada anak balita, akan tetapi tingkat kerentanan terhadap kerawanan pangan secara mendasar masih bervariasi antar wilayah di Indonesia, dengan konsentrasi wilayah kerawanan pangan yang lebih tinggi di Indonesia bagian timur. Kami sangat gembira dengan hasil analisa ketahanan pangan tahun 2010 ini yang merupakan wujud dari hasil kerjasama yang erat antara WFP dan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Di provinsi NTB, pemangku kepentingan tingkat provinsi dan kabupaten dari berbagai sektor menunjukan komitmen kuat dalam memahami metodologi FSVA dan mengaplikasikannya dengan mengembangkan FSVA provinsi. FSVA provinsi ini merupakan hasil dari upaya bersama dan hubungan yang makin kuat.

    Hasil peta ini mengidentifikasi kecamatan-kecamatan rentan yang terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu yang membutuhkan perhatian lebih besar untuk mengatasi kerawanan pangan kronis. Walaupun produksi serealia dan akses terhadap infrastruktur fisik seperti jalan, listrik, dan fasilitas kesehatan mencapai tingkat yang memadai, akan tetapi prevalensi stunting pada balita masih menunjukan bahwa masalah kesehatan masyarakat berada pada tingkat buruk.

    Perubahan iklim juga merupakan tantangan lain bagi ketahanan pangan. Dampak pola hujan yang tidak menentu dan deforestasi pada pertanian makin memperburuk situasi di wilayah-wilayah yang rentan terhadap kerawanan pangan. Peta provinsi menunjukan bahwa hutan di provinsi NTB berada dalam situasi ancaman yang serius dan beberapa wilayah mengalami penurunan curah hujan. Upaya bersama diperlukan untuk mendukung penduduk yang rentan dalam mengatasi dampak dan beradaptasi terhadap perubahan iklim.

  • Harga pangan telah meningkat secara signifikan di seluruh dunia, yang mendorong bukan hanya penduduk miskin tetapi juga penduduk yang hampir miskin jatuh pada situasi rawanan pangan. Sangat penting bagi para pengambil kebijakan dan keputusan untuk memahami potensi dampak harga pangan yang tinggi terhadap penduduk rentan dalam mengambil intervensi yang tepat. Peta provinsi ini memberikan sebuah fakta mendasar yang baik untuk perencanaan program dan penentuan target intervensi.

    Peta ini menyediakan analisis situasi ketahanan pangan di provinsi dan memberikan rekomendasi sebagai dasar pengembangan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG) di provinsi NTB.

    Kami berharap bahwa peta ini akan memberikan kontribusi untuk pemahaman yang lebih baik tentang situasi ketahananan dan kerentanan pangan di provinsi NTB dan dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan kebijakan dan program daerah untuk menjamin ketahanan pangan bagi seluruh masyarakat di provinsi NTB.

    Coco UshiyamaPerwakilan & Direktur

    United Nations World Food Programme, Indonesia

  • UCAPAN TERIMA KASIH

    Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Provinsi NTB tahun 2010 ini tidak mungkin dapat diselesaikan dan diluncurkan tepat pada waktunya tanpa dukungan dan perhatian secara pribadi dari Dr.KH.M Zainul Majdi MA, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai Ketua Dewan Ketahanan Pangan Provinsi NTB dan Dr. Ir. Rosiady Sayuti, M.Sc, Kepala Bappeda Provinsi NTB sebagai Ketua Tim Pengarah Penyusunan FSVA.

    Ir. Husnanidiaty Nurdin MM, Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi NTB, telah memberikan kepemimpinan yang sangat baik dalam setiap tahap penyelesaian atlas ini. Perhatian dan inspirasi yang terus-menerus oleh Dr. Ir. Tjuk Eko Hari Basuki, M.St, Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Pusat. Terimakasih terutama ditujukan kepada Ir. Lalu Sukariadi, MM, Ir. Gede Putra dan Nurwahidah, SE dari BKP Provinsi NTB, dan Keigo Obara, Dedi Junadi dan Eva Juniza dari United Nations World Food Programme (WFP) Indonesia untuk analisis dan persiapan hingga buku ini dapat dipublikasikan. Peran serta dari berbagai instansi pemerintah dan institusi non pemerintah, juga masukan-masukan dari kabupaten merupakan hal yang sangat patut dihargai. Terima kasih untuk dukungan dana dari AusAID.

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    DAFTAR ISI

    KONTRIBUTOR

    RINGKASAN EKSEKUTIF

    BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Dasar Pemikiran 1.2 Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi 1.3 Indikator yang Digunakan FSVA Provinsi

    BAB 2 KETERSEDIAAN PANGAN 2.1 Produksi 2.2 Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita Terhadap Produksi Pangan 2.3 Tantangan Utama Pemenuhan Kecukupan

    BAB 3 AKSES TERHADAP PANGAN DAN PENGHIDUPAN 3.1 Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan 3.2 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 3.3 Akses Terhadap Infrastruktur Dasar (Jalan) 3.4 Akses Terhadap Infrastruktur Dasar (Listrik)

    3.5 Strategi Pengurangan Kemiskinan, Peningkatan Akses Terhadap Pangan dan Penghidupan

    BAB 4 PEMANFAATAN PANGAN 4.1 Konsumsi Pangan 4.2 Akses terhadap Fasilitas Kesehatan 4.3 Penduduk dengan Akses kurang memadai ke Air Bersih 4.4 Perempuan Buta Huruf 4.5 Status Gizi 4.6 Dampak dari Status Kesehatan

    BAB 5 KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN PANGAN

    5.1 Bencana Alam 5.2 Fluktuasi Curah Hujan 5.3 Daerah Puso 5.4 Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan 5.5 Deforestasi Hutan

    BAB 6 KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN PANGAN

    TRANSIEN

    KRONIS BERDASARKAN ANALISIS KETAHANAN PANGAN KOMPOSIT

    xi

    xv

    xvii

    1124

    99

    1415

    1717192021

    22

    25252627272829

    33

    3334353636

    39

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    Daftar Tabel

    Tabel 1.1 Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 3.5 Tabel 4.1 Tabel 4.2

    Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 5.1

    Tabel 5.2 Tabel 6.1 Tabel 6.2 Tabel 6.3

    Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB, 2010Produksi Serealia Pokok dan Umbi-umbian, 2000-2009 (Ton)Produksi Padi dan Jagung (2006-2009) (Ton)Produksi Ubi Kayu dan Ubi Jalar (2006-2009) (Ton)Produksi Total Serealia per tahun dan Laju Pertumbuhan Produksi untuk Periode 2006-2009Jumlah dan Persentase Populasi di Bawah Garis Kemiskinan KabupatenJumlah Kecamatan-kecamatan yang Memiliki 30% Penduduk Hidup di bawah Garis Kemiskinan tahun 2008Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)Persentase desa yang tidak dapat di akses oleh kendaraan roda empatPersentase Rumah Tangga tanpa Akses ke ListrikKonsumsi Kalori dan Protein per Kapita per Hari pada Tiga Golongan Terbawah dari Golongan Pengeluaran Bulanan per KapitaPersentase Rumah Tangga dengan Akses yang Terbatas ke Air Bersih dan Persentase Desa dengan Akses Terbatas ke Sarana Pelayanan KesehatanPersentase Perempuan Buta HurufPersentase Underweight dan Stunting pada BalitaAngka Harapan HidupRingkasan Tabel Bencana Alam yang Terjadi di Provinsi NTB dan Kerusakannya selama Periode 1990-2009Perbandingan Area Puso Padi dan Jagung terhadap Luas Area Tanam Padi dan Jagung Tahun 2006-200964 Kecamatan yang Paling Rentan Berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan KompositFaktor Penentu Utama Kerawanan Pangan per PrioritasFaktor Penentu Utama Kerawanan Pangan dan Strategi Intervensi

    Daftar Gambar

    Gambar 1.1Gambar 2.1Gambar 2.2aGambar 2.2bGambar 2.3aGambar 2.3bGambar 2.4Gambar 2.5Gambar 2.6Gambar 3.1 Gambar 3.2Gambar 5.1

    Gambar 6.1

    Gambar 6.2

    Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan GiziProduksi Serealia Pokok dan Umbi-umbian, 2000 - 2009 (Ton)Total Luas Panen Padi (ha) di Pulau LombokTotal Luas Panen Padi (ha) di SumbawaProduksi Padi (ha) di Pulau LombokProduksi Padi (ha) di Pulau SumbawaProduksi Jagung (2006 - 2009)Produksi Ubi Kayu (2006 - 2009)Produksi Ubi Jalar (2006 - 2009)Sumber Pendapatan Utama menurut Klasifikasi SektoralModa Transportasi di Provinsi NTBBencana Alam yang Terjadi di NTB per Kabupaten selama Periode 1990 2009Jumlah Kecamatan yang Rentan pada Prioritas 1 berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit Jumlah Kecamatan yang Rentan pada Prioritas 2 berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit

    xii

    610131314

    1818

    19 212226

    27

    28293034

    35

    39

    42 44

    21010111111121213182134

    40

    41

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    Daftar Peta

    Peta 1.1Peta 1.2Peta 1.3Peta 2.1Peta 3.1Peta 3.2Peta 3.3Peta 4.1Peta 4.2Peta 4.3Peta 4.4Peta 4.5Peta 5.1

    Peta 5.2

    Peta 5.3Peta 5.4Peta 5.5Peta 6.1

    Peta Indeks Pulau LombokPeta Indeks Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa BaratPeta Indeks Kabupaten Dompu dan BimaRasio Konsumsi Normatif Per Kapita terhadap Produksi Bersih SerealiaPenduduk Hidup di Bawah Garis KemiskinanDesa yang Tidak Bisa Dilalui Kendaraan Roda EmpatRumah Tangga tanpa Akses terhadap ListrikDesa dengan Akses ke Fasilitas Kesehatan > 5 kmRumah Tangga tanpa Akses ke Air BersihPerempuan Buta HurufBerat Badan Anak (< 5 Tahun) di Bawah StandarAngka Harapan HidupPenyimpangan Curah Hujan Dari 1997 - 2007 di Musim Kemarau dibandingkan dengan Rata-rata 30 TahunPenyimpangan Curah Hujan Dari 1997 - 2007 di Musim Hujan dibandingkan dengan Rata-rata 30 TahunDaerah Puso PadiDaerah Puso JagungPeta Deforestasi di NTB untuk Periode 2003-2006Peta Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan NTB

    Daftar Lampiran

    Lampiran 1.1Lampiran 2.1Lampiran 3.1Lampiran 4.1Lampiran 5.1

    Lampiran 6.1

    Lampiran 6.2

    Catatan Teknis Small Area Estimation (SAE)Indikator Ketersediaan PanganIndikator-Indikator Akses terhadap PanganIndikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan GiziKumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 1997 2007Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis (PCA) dan Analisis Kelompok (Cluster Analysis) : Untuk Analisa Hubungan Antar Indikator Ketahanan PanganPeringkat Kecamatan Berdasarkan Indikator Individu dan Kelompok Prioritas Ketahanan Pangan Komposit

    Gambar 6.3

    Gambar 6.4

    Jumlah Kecamatan yang Rentan pada Prioritas 3 berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan Komposit Kerangka kerja penyebab dan jenis Intervensi untuk meningkatkan ketahanan pangan

    xiii

    41

    43

    A-1A-3A-5A-7A-9

    A-11A-13A-15A-17A-19A-21A-23A-25

    A-27

    A-29A-31A-33A-35

    B-1B-9

    B-14B-19B-24

    B-29

    B-33

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    KONTRIBUTOR

    Tim Pengarah

    1. Kepala Bappeda Provinsi NTB2. Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTB3. Kepala BPS Provinsi NTB4. Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB5. Kepala Biro Administrasi Perekonomian Setda NTB6. Kepala Bidang Binkesmas Dikes Provinsi NTB

    Tim Pelaksana

    1. Ir. L. Sukariadi, MM., Kabid Ketersediaan BKP NTB2. Drs. Wahyudin, MM., Kabid Statistik Sosial, BPS NTB3. Drs. A.A. Gd Trikumara S., Kepala Stasiun Meteorologi Selaparang Mataram4. Ir. Gede Putra, Kasub Bid Cadangan dan Kerawanan Pangan BKP Prov NTB5. H. L. Hilwan Hamid, SP., Kasub Bag Produksi Budidaya Biro Adm Perekonomian6. Achmad Affandi, SKM, M. Kes., Staf Seksi Gizi Masy Dikes Prov. NTB7. L. Agustan Kusumaredi, S. Kom., Staf pada BKKBN NTB8. Drs Endang Khaeruddin, Kepala Seksi Tanggap Darurat BPBD NTB9. Ir. Budi Subagio, MM., Kasi Budidaya Serealia & Kabi Dinas Pertanian10. Rr. Hanung Sriwening, SP., Kasub Bag Kcuangan BKP NTB11. Muhammad Zubirman, SP., Staf Bidang Ketersediaan Pangan BKP NTB12. Nurwahidah, SE., Staf Bidang Ketersediaan Pangan BKP NTB13. Mira Juwita, SP, Staf Sub Bag Perencanaan BKP NTB14. Selamet Hariadi, Staf Sub Bag Umum BKP NTB15. Yuni Pusfitawati, SP., Staf Bidang Ketersediaan Pangan NTB16. Keigo Obara (WFP)17. Dedi Junadi (WFP)18. Eva Juniza (WFP)

    Badan Ketahanan Pangan Kabupaten

    1. Lombok Barat2. Lombok Timur3. Lombok Tengah4. Lombok Utara5. Sumbawa6. Sumbawa Barat7. Bima8. Dompu

    xv

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    RINGKASAN EKSEKUTIF

    1. LATAR BELAKANG

    Untuk dapat melaksanakan intervensi yang terkait dengan ketahanan pangan dan gizi, Pemerintah Indonesia masih terus meningkatkan sarana untuk penentuan target intervensi sasaran secara geografis. Dengan dukungan dari United Nations World Food Programme (WFP) yang memiliki pengalaman di bidang analisis dan pemetaan ketahanan pangan, maka pada tahun 2003 Dewan Ketahanan Pangan (DKP), yang diketuai oleh Presiden Republik Indonesia, dengan sekretariat DKP yang berada di Badan Ketahanan Pangan (BKP), bekerjasama dengan WFP dalam pembuatan Peta Kerawanan Pangan (FIA) tingkat nasional. FIA yang pertama dibuat dan diluncurkan tahun 2005 dan mencakup 265 kabupaten di 30 provinsi. Lebih dari US$ 32 juta telah dialokasikan oleh pemerintah untuk 100 kabupaten yang rawan pangan dan intervensi dimulai tahun 2006-2007. Atlas yang kedua, dengan judul baru Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) yang mencakup 346 kabupaten di 32 provinsi, diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia dan Menteri Pertanian pada tanggal 24 Mei 2010, dan kegiatan ini telah terintegrasi dalam rencana tahunan dan alokasi anggaran tahunan pemerintah. Sejak 2003, WFP telah memberikan dukungan teknis dan anggaran untuk pembuatan dan penerapan FIA dan FSVA.

    Walaupun FIA nasional 2005 dan FSVA nasional 2009 berhasil mengungkap perbedaan tingkat ketahanan dan kerentanan pangan dan gizi tingkat kabupaten di Indonesia, namun belum ada alat yang dapat digunakan untuk menganalisa dan mengklasifikasikan ketahanan dan kerentanan pangan pada tingkat kecamatan. DKP, BKP provinsi, dan WFP memutuskan untuk bersama-sama melakukan analisa dan pemetaan ketahanan pangan di tingkat kecamatan. Hasil dari kerjasama ini adalah Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) provinsi. FSVA provinsi akan menjadi alat yang penting bagi perencana dan pengambil keputusan di tingkat provinsi dan kabupaten dalam mengidentifikasi tematik dan secara geografi daerah yang akan diprioritaskan untuk intervensi pangan dan gizi.

    Serupa dengan FIA nasional 2005 dan FSVA nasional 2009, wilayah perkotaan tidak diikutsertakan dalam FSVA provinsi, ketahanan pangan wilayah perkotaan membutuhkan analisa terpisah yang mungkin akan dipertimbangkan di masa mendatang, dalam FSVA provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di dalam FSVA provinsi NTB, terdapat 105 kecamatan di 8 kabupaten yang dianalisis.

    2. TUJUAN FSVA PROVINSI

    Seperti halnya FSVA nasional 2009, FSVA provinsi menyediakan sarana bagi pengambilan kebijakan dalam hal penentuan sasaran dan memberikan rekomendasi untuk intervensi kerawanan pangan dan gizi di tingkat kabupaten dan kecamatan.

    Berdasarkan analisa 13 indikator yang terkait dengan ketahanan pangan yang berasal dari data sekunder dari periode 2007-2009, serta Analisis Ketahanan Pangan Komposit (berdasarkan komposit 9 indikator), FSVA Provinsi dapat menjawab tiga pertanyaan kunci terkait ketahanan dan kerawanan pangan yaitu: Di mana daerah yang paling rawan ketahanan pangannya (per kabupaten, kecamatan); Berapa banyak penduduk (perkiraan penduduk); dan Mengapa mereka paling rawan (penentu utama untuk kerawanan pangan)?.

    xvii

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    3. TEMUAN UTAMA FSVA PROVINSI NTB

    3.1 Ketersediaan Pangan Hasil pertanian mengalami peningkatan tinggi (sebesar 3,8% per tahun selama 2000 - 2009).

    Produksi padi dan jagung meningkat sedangkan produksi ubi kayu dan ubi jalar hampir tidak mengalami perubahan. Pada umumnya, provinsi NTB adalah daerah swasembada/surplus pangan serealia, dan ketersediaan pangan pada tingkat provinsi memadai.

    Namun demikian, dari 105 kecamatan terdapat 7 kecamatan (5 di Pulau Lombok dan 2 di Pulau Sumbawa) mengalami defisit produksi serealia.

    3.2 Akses terhadap Pangan Akses terhadap pangan untuk penduduk miskin merupakan gabungan dari kemiskinan,

    kurangnya pekerjaan tetap, pendapatan tunai yang rendah dan tidak tetap serta terbatasnya daya beli merupakan tantangan yang besar. Pada tahun 2009, terdapat lebih dari 1 juta orang (22,78%) hidup di bawah garis kemiskinan provinsi.

    Sejak tahun 2007, seluruh kabupaten telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinannya.

    Pada tahun 2009, dari 8 kabupaten, terdapat 4 kabupaten yang tingkat kemiskinannya masih lebih tinggi dari rata-rata provinsi yaitu Lombok Barat, Lombok Timur, Sumbawa dan Sumbawa Barat, dengan Lombok Barat memiliki proporsi jumlah penduduk miskin tertinggi (24,02%).

    Untuk tingkat kecamatan, perbedaan tingkat kemiskinan lebih jelas. Dari 105 kecamatan, 18 kecamatan memiliki lebih dari 30% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan provinsi.

    Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tidak mengalami perubahan yang banyak, nilainya berkisar di atas 6% selama tahun 2007-2009. Namun, kesenjangan jumlah pengangguran cukup tinggi antar wilayah. Pada tahun 2009, tingkat pengangguran terbuka tertinggi terdapat di kabupaten Sumbawa Barat (8,32%).

    Terdapat 3,18% desa di provinsi ini tidak memiliki akses jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda empat.

    Hampir 15% rumah tangga di provinsi ini tidak memiliki akses listrik. Akses ini terutama terbatas di kabupaten Lombok Timur dan Dompu.

    3.3 Pemanfaatan Pangan dan Situasi Gizi Pada tahun 2009, rata-rata asupan energi harian adalah 1.956 kkal, lebih rendah dari Angka

    Kecukupan Gizi (AKG) nasional dan asupan protein sebesar 54,86 gram, yang sudah melampaui AKG nasional. Angka asupan energi meningkat 0,42% dan asupan protein menurun 0,23% dibandingkan tahun 2002. Namun demikian, asupan energi dan protein pada tiga golongan pengeluaran terendah lebih rendah dari AKG nasional. Tiga golongan pengeluaran terendah hanya mengkonsumsi 63% dari AKG (1.261 kkal) dan 61% dari protein harian yang direkomendasikan.

    Secara keseluruhan, 97% desa di provinsi ini memiliki akses ke fasilitas kesehatan dengan jarak kurang dari 5 km.

    16% rumah tangga tidak memiliki akses terhadap air minum yang layak. Akses terendah terdapat di kabupaten Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Lombok Utara.

    xviii

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    Angka perempuan buta huruf di provinsi ini sebesar 27,03%. Angka perempuan buta huruf tertinggi terdapat di Lombok Tengah (36,48%), Lombok Utara (35,25%), Lombok Barat (30,33%) dan Lombok Timur (29,22%). Pada tingkat kecamatan, terdapat 40 kecamatan yang memiliki angka perempuan buta huruf di atas rata-rata provinsi atau sekitar 61% yang semuanya terkonsentrasi di Pulau Lombok.

    Pada tahun 2009, angka underweight pada balita (gabungan dari kurang gizi kronis dan akut) provinsi adalah 20,87%, angka tersebut belum mencapai target MDG dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih berada pada tingkat yang buruk menurut klasifikasi WHO. Pada tingkat kecamatan, 13 kecamatan dari 105 kecamatan mempunyai prevalensi underweight sangat tinggi (30%). Hanya 5 kecamatan yang mempunyai prevalensi underweight kalsifikasi baik (

  • Peta Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Provinsi NTB

    Sumbawa

    Bima

    Dompu

    SumbawaBarat

    LombokTimur

    LombokTengah

    LombokBarat

    LombokUtara KotaBima

    Mataram

    1180'0"E

    1180'0"E

    1160'0"E

    1160'0"E

    80'

    0"S

    80'

    0"S

    0 2512.5Km

    Daerah Perkotaan/Tidak ada DataUrban Area/No Data

    Legenda/Legend:

    Prioritas 1 Kecamatan/

    Prioritas 6 Kecamatan/Prioritas 5 Kecamatan/Prioritas 4 Kecamatan/Prioritas 3 Kecamatan/Prioritas 2 Kecamatan/

    Batas Kecamatan/ Sub-district BoundaryBatas Kabupaten/ District Boundary

    Priority 1 Sub-districtsPriority 2 Sub-districtsPriority 3 Sub-districtsPriority 4 Sub-districtsPriority 5 Sub-districtsPriority 6 Sub-districts

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    BAB 1PENDAHULUAN

    1

    1.1 LATAR BELAKANG DAN DASAR PEMIKIRAN

    Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terdiri dari 2 kota dan 8 kabupaten dengan total penduduk sebesar 4.434.012 jiwa. NTB terdiri 280 pulau namun hanya 32 pulau yang berpenghuni yang terletak antara 810 - 905 Lintang Selatan dan 11546' - 11905' Bujur Timur, dengan luas daratan 20.153 km2. Secara klimatologi, NTB memiliki pola tipe curah hujan tipe Monsunal yaitu mempunyai satu puncak musim hujan (antara Oktober - Maret) dan satu puncak musim kemarau (antara April - September).

    Perekonomian provinsi NTB tergantung pada pertambangan sebesar 30,84% dan pertanian sebesar 23,22% dari Produk Domestik Regional Bruto. Tingkat pertumbuhan ekonomi NTB adalah 8,9% pada tahun 2009 sementara pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun yang sama mencapai 6,1%. Indeks pembangunan manusia meningkat secara bertahap dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun demikian NTB masih menduduki peringkat 32 dari 33 provinsi pada tahun 2009.

    Menindak lanjuti Peta Kerawanan Pangan (FIA) 2005, edisi kedua Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) yang mencakup 346 kabupaten dari 32 provinsi yang diluncurkan oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi bekerjasama dengan United Nations World Food Programme (WFP). FSVA 2009 diluncurkan secara resmi oleh Presiden Indonesia pada bulan Mei 2010 dan dijadikan sebagai alat yang penting dalam melakukan pentargetan wilayah kabupaten yang paling rawan untuk intervensi ketahanan pangan dan gizi. Pemerintah Indonesia mengalokasikan dana lebih dari Rp. 323 milyar ($US 32 million) untuk 100 kabupaten yang paling rawan yang teridentifikasi pada FIA 2005. Pemerintah juga merencanakan mengalokasi dana untuk intervensi ketahanan pangan dan gizi berdasarkan FSVA 2009. Dari 100 kabupaten prioritas pertama di Indonesia pada FIA 2005, 6 diantaranya adalah kabupaten-kabupaten di provinsi NTB. Sejumlah intervensi telah dilakukan pada kabupaten tersebut sejak tahun 2006. Pada FSVA tahun 2009, jumlah kabupaten di NTB yang termasuk dalam 100 kabupaten prioritas pertama menurun menjadi 5 kabupaten. Perhatian secara berkesinambungan masih sangat dibutuhkan demi mempercepat kondisi yang lebih baik di masa mendatang.

    Walaupun FIA nasional 2005 dan FSVA nasional 2009 berhasil mengungkap perbedaan tingkat ketahanan dan kerentanan pangan dan gizi tingkat kabupaten di Indonesia, namun belum ada alat yang dapat digunakan untuk menganalisa dan mengklasifikasikan ketahanan dan kerentanan pangan pada tingkat kecamatan. DKP pusat, BKP provinsi dan WFP bekerja sama dalam menganalisa situasi ketahanan pangan sampai pada tingkat kecamatan untuk menganalisa lebih lanjut temuan pada tingkat kabupaten. Seluruh BKP kabupaten berpartisipasi secara aktif dalam proses ini dan dengan bantuan teknis dari berbagai instansi seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Hasil akhir dari kerja sama ini adalah Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan provinsi.

    Pada tahun 2010, provinsi NTB terdiri dari 2 kota dan 8 kabupaten. Serupa dengan FSVA nasional 2009 dan FIA nasional 2005, wilayah perkotaan tidak diikutsertakan dalam FSVA provinsi, sebab ketahanan pangan perkotaan perlu dianalisa secara terpisah yang mungkin akan menjadi pertimbangan dimasa depan. Sehingga di dalam peta ini hanya menunjukkan analisis dan pemetaan ketahanan pangan di 105 kecamatan di 8 kabupaten.

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB2

    Peluncuran FIA nasional 2005 ternyata masih menyebabkan kesalahpahaman mengenai pengertian pemeringkatan kabupaten rawan pangan. Kata kerawanan pangan (food insecurity) diindikasikan secara langsung bahwa kabupaten-kabupaten peringkat bawah adalah kabupaten yang semua penduduknya rawan pangan. Oleh karena itu, pada peta nasional tahun 2009 diberi judul Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia-Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) untuk menghindari kesalahpahaman pengertian tersebut. Perubahan nama Peta Kerawanan Pangan (FIA) menjadi Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) dilakukan dengan pertimbangan untuk memperjelas pengertian mengenai konsep ketahanan pangan berdasarkan tiga dimensi ketahanan pangan (ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan) dalam semua kondisi bukan hanya pada situasi kerawanan pangan saja. FSVA juga bertujuan untuk mengetahui berbagai penyebab kerawanan pangan secara lebih baik atau dengan kata lain kerentanan terhadap kerawanan pangan, bukan hanya kerawanan pangan itu sendiri.

    1.2 KERANGKA KONSEP KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

    Pada World Food Summit (1996), ketahanan pangan didefinisikan sebagai: Ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat.

    Pada FSVA provinsi 2010, analisis dan pemetaan dilakukan berdasarkan pada pemahaman mengenai ketahanan dan kerentanan pangan dan gizi seperti yang tercantum dalam Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi (Gambar 1.1).

    Sumber: WFP, Januari 2009

    Tingkat RT/Masyarakat

    AsetPenghidupan

    TingkatRumah Tangga

    (RT)

    StrategiPenghidupan

    DampakPenghidupan

    AsupanMakananIndividu

    StatusKesehatan/

    Penyakit

    AksesPangan

    Rumah Tangga

    Pola Asuh/Praktek

    Kesehatan

    KondisiKesehatandan Higiene

    Produksi Pangan RumahTangga, pemberian,

    pertukaran, penghasilan tunai,pinjaman, tabungan, kiriman

    Modal/Aset Alam,Fisik, Manusia,Ekonomi, Sosial

    Status Gizi/Kematian

    KetersediaanPangan/

    Pasar

    KerangkaKerja

    PelayananDasar dan

    InfrastrukturPolitik,

    Ekonomi,Kelembagaan,

    Keamanan,Sosial,

    Budaya,Gender,

    LingkunganKondisi

    Agro-ekologikal/Musim

    TE

    RP

    AP

    AR

    TE

    RH

    AD

    AP

    GO

    NC

    AN

    GA

    N D

    AN

    BE

    NC

    AN

    A

    TingkatIndividu

    Gambar 1.1: Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 3

    a. Ketahanan Pangan

    Di Indonesia, Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan mengartikan Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

    Seperti FIA nasional 2005 dan FSVA nasional 2009, FSVA provinsi NTB dibuat berdasarkan tiga pilar ketahanan pangan: (i) ketersediaan pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan pangan.

    Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor/perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat.

    Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas.

    Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga, dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta kondisi higiene, budaya atau kebiasaan pemberian makan terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu (pertumbuhan, kehamilan, menyusui dll), dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga.

    Produksi dan ketersediaan pangan yang cukup di tingkat nasional dan provinsi tidak secara otomatis menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu. Pangan mungkin tersedia dan dapat diakses namun sebagian anggota rumah tangga mungkin tidak mendapat manfaat secara maksimal apabila kelompok ini tidak memperoleh distribusi pangan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun keragaman atau apabila kondisi tubuh mereka tidak memungkinkan penyerapan makanan karena penyiapan makanan yang tidak tepat atau karena sedang sakit.

    Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan sebagai aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan aspek-aspek tersebut dengan kepemilikan aset rumah tangga, strategi penghidupan, dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi. Dengan kata lain, status ketahanan pangan suatu rumah tangga, atau individu ditentukan oleh interaksi dari faktor lingkungan pertanian (agro-environmental), sosial ekonomi dan biologi dan bahkan faktor politik.

    Kerawanan pangan dapat bersifat kronis atau sementara/transien. Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang atau yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor strukural, yang tidak dapat berubah dengan cepat, seperti iklim setempat, jenis tanah, sistem pemerintah daerah, kepemilikan lahan, hubungan antar etnis, tingkat pendidikan, dll. Kerawanan pangan sementara adalah ketidakmampuan jangka pendek atau sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor dinamis yang berubah dengan cepat seperti penyakit infeksi, bencana alam, pengungsian, berubahnya

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB4

    fungsi pasar, tingkat besarnya hutang, perpindahan penduduk (migrasi) dll. Kerawanan pangan sementara yang terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan menurunnya kualitas penghidupan rumah tangga, menurunnya daya tahan, dan bahkan bisa berubah menjadi kerawanan pangan kronis.

    b. Ketahanan Gizi

    Ketahanan gizi didefinisikan sebagai akses fisik, ekonomi, lingkungan dan sosial terhadap asupan makanan seimbang, air layak minum, kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan dasar. Ini berarti bahwa ketahanan gizi membutuhkan kombinasi dari komponen makanan dan non-makanan.

    Ketahanan gizi yang ditunjukkan oleh status gizi merupakan tujuan akhir dari ketahanan pangan, kesehatan dan pola asuh tingkat individu. Kerawanan pangan adalah salah satu dari 3 penyebab utama masalah gizi. Penyebab utama lainnya adalah status kesehatan dan kondisi lingkungan masyarakat, dan pola asuh. Oleh karena itu, di manapun terjadi kerawanan pangan, maka akan beresiko kekurangan gizi, termasuk kekurangan gizi mikro. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kerawanan pangan adalah penyebab satu-satunya masalah gizi kurang, tanpa mempertimbangkan faktor kesehatan dan pola asuh seperti kurangnya akses ke air layak minum, sanitasi, fasilitas dan pelayanan kesehatan, rendahnya kualitas pola asuh dan pemberian makan anak serta tingkat pendidikan ibu, dll.

    c. Kerentanan

    Kerentanan terhadap kerawanan pangan mengacu pada suatu kondisi yang dapat membuat suatu masyarakat yang beresiko rawan pangan menjadi rawan pangan. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok masyarakat ditentukan oleh tingkat keterpaparan mereka terhadap faktor-faktor resiko/goncangan dan kemampuan mereka untuk mengatasi situasi tersebut baik dalam kondisi tertekan maupun tidak.

    1.3 INDIKATOR YANG DIGUNAKAN FSVA PROVINSI

    Kerawanan pangan merupakan isu multi-dimensional yang memerlukan analisis dari berbagai parameter tidak hanya produksi dan ketersediaan pangan saja. Meskipun tidak ada cara spesifik untuk mengukur ketahanan pangan, kompleksitas ketahanan pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan pada tiga dimensi yang berbeda namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan oleh rumah tangga dan pemanfaatan pangan oleh individu.

    Indikator yang dipilih dalam FSVA provinsi ini berkaitan dengan tiga pilar ketahanan pangan tersebut berdasarkan konsepsi Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi. Disamping itu, pemilihan indikator juga tergantung pada ketersediaan data pada tingkat kecamatan. Indikator yang digunakan untuk FSVA provinsi tertera pada Tabel 1.1.

    Tim Asistensi FSVA Pusat untuk pengembangan FSVA provinsi sepakat untuk menggunakan seluruh 13 indikator FSVA nasional 2009 untuk FSVA provinsi. Angka kematian bayi (Infant Mortality Rate - IMR) yang digunakan dalam FIA nasional 2005 dikeluarkan dari FSVA nasional 2009 dan FSVA provinsi karena ketidaktersediaan data. Data kurang gizi kronis (pendek/stunting) pada balita diambil dari data Pemantauan Status Gizi (PSG) Provinsi NTB tahun 2009. Akan tetapi, data tersebut tidak dimasukkan kedalam analisis ketahanan pangan komposit, tetapi tetap dianalisis dan dijelaskan dalam laporan secara deskritif.

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 5

    FSVA provinsi ini dikembangkan dengan menggunakan 9 indikator ketahanan pangan kronis dan 4 indikator ketahanan pangan sementara/transien. Peta komposit ketahanan dan kerentanan pangan dihasilkan dengan mengkombinasikan 9 indikator ketahanan pangan kronis dengan menggunakan Principal Component Analysis dan Analisis Kelompok (Cluster Analysis).

    Seluruh data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari BKP, Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian tingkat provinsi dan kabupaten, serta publikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) provinsi, serta Kementerian Kehutanan.

    Seluruh data yang digunakan untuk analisa FSVA provinsi ini berasal dari data tahun periode 2007-2009. Beberapa indikator merupakan data individu, sedangkan indikator yang lain merupakan data rumah tangga atau masyarakat. Teknik Small Area Estimation (SAE) digunakan pada beberapa indikator untuk mengestimasi data tingkat kecamatan dengan menggunakan data tingkat kabupaten dan desa berdasarkan pedoman teknis dari BPS Pusat dan IPB. Catatan teknis mengenai metodologi SAE dan aplikasinya dalam FSVA provinsi dapat dilihat pada Lampiran 1.1. Peta komposit yang dikembangkan dari indikator-indikator tersebut hanya mengindikasikan situasi ketahanan pangan secara umum di suatu kecamatan. Pada kecamatan yang tahan pangan, sebagaimana diperlihatkan pada peta komposit, tidak berarti bahwa semua desa dan rumah tangga dalam kecamatan tersebut tahan pangan. Sama halnya juga dengan daerah-daerah yang rawan pangan.

    Peta-peta dibuat dengan menggunakan pola warna yang seragam yaitu gradasi warna merah dan hijau. Gradasi warna merah menunjukkan variasi tingkat kerawanan pangan dan gradasi warna hijau menggambarkan kondisi yang lebih baik. Pada kedua kelompok warna tersebut, warna yang semakin tua menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dalam hal ketahanan atau kerawanan pangan. Klasifikasi data pada peta untuk indikator individu sama dengan yang digunakan pada FIA nasional 2005 dan FSVA nasional 2009, kecuali data berat balita di bawah standar (underweight) yang menggunakan batas klasifikasi masalah kesehatan masyarakat dari Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2005), batas klasifikasi berat badan dibawah standar ini (underweight) juga digunakan pada FSVA nasional 2009 dan FSVA provinsi. Peta Indeks 1.1 sampai 1.3 merupakan daftar kabupaten dan kecamatan yang digunakan dalam analisis peta ini.

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    Indikator Definisi dan Perhitungan Sumber Data

    Ketersediaan Pangan

    Rasio konsumsi normatif 1. per kapita terhadap ketersediaan bersih padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar

    Data rata-rata produksi bersih tiga tahun (2007-2009) padi, jagung, 1. ubi kayu dan ubi jalar pada tingkat kecamatan dihitung dengan meng-gunakan faktor konversi standar. Untuk rata-rata produksi bersih ubi kayu dan ubi jalar dibagi dengan 3 (faktor konversi serealia) untuk mendapatkan nilai yang ekivalen dengan serealia. Kemudian dihitung total produksi serealia yang layak dikonsumsi.

    Ketersediaan bersih serealia per kapita per hari dihitung dengan mem-2. bagi total ketersediaan serealia kecamatan dengan jumlah populasinya (data penduduk pertengahan tahun 2008).

    Data bersih serealia dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan 3. karena data tidak tersedia pada tingkat kecamatan.

    Konsumsi normatif serealia/hari/kapita adalah 300 gram/orang/hari.4.

    Kemudian dihitung rasio konsumsi normatif perkapita terhadap keterse-5. diaan bersih serealia per kapita. Rasio lebih besar dari 1 menunjukkan daerah defisit pangan dan daerah dengan rasio lebih kecil dari 1 adalah surplus untuk produksi serealia.

    Badan Ketahanan Pangan dan Badan Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten, (data 2007-2009)

    Akses Pangan dan Matapencaharian

    Persentase penduduk hidup di 2. bawah garis kemiskinan

    Nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan-kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk hidup secara layak. Dihitung dengan metode Small Area Estimation (SAE).

    SUSENAS KOR 2007-2009, SUSENAS MODUL 2008, PODES (Potensi Desa) 2008, BPS

    Persentase desa yang tidak 3. memiliki akses penghubung yang memadai

    Lalu-lintas antar desa yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. PODES 2008, BPS

    Persentase rumah tangga tanpa 4. akses listrik

    Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik dari PLN dan/atau non PLN, misalnya generator. Dihitung dengan metode SAE.

    SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS

    Pemanfaatan Pangan

    Persentase desa dengan jarak 5. lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan

    Persentase desa dengan jarak lebih dari 5 kilometer dari fasilitas kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas, dokter, juru rawat, bidan yang terlatih, paramedik, dan sebagainya).

    PODES 2008, BPS

    Persentase rumah tangga tanpa 6. akses ke air bersih

    Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air minum yang berasal dari air leding/PAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung. Dihitung dengan metode SAE.

    SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS

    Perempuan Buta Huruf 7. Persentase perempuan di atas 15 tahun yang tidak dapat membaca atau menulis. Dihitung dengan metode SAE.

    SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS

    Berat badan balita di bawah stan-8. dar (Underweight)

    Anak di bawah lima tahun yang berat badannya kurang dari -2 Standar Deviasi (-2 SD) dari berat badan normal pada usia dan jenis kelamin tertentu (Standar WHO 2005).

    Pemantauan Status Gizi (PSG) 2009, Dinas Kesehatan NTB

    Angka harapan hidup pada saat 9. lahir

    Perkiraan lama hidup rata-rata bayi baru lahir dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. Dihitung dengan metode SAE.

    SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS

    Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Transien

    Bencana alam10. Data bencana alam yang terjadi di Indonesia dan kerusakannya selama periode 1990 2009

    Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2010

    Tabel 1.1: Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB, 2010

    6

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB6

    Indikator Definisi dan Perhitungan Sumber Data

    Penyimpangan Curah Hujan11. 1. Data rata-rata tahunan curah hujan pada musim hujan dan kemarau selama 10 tahun terakhir (1997-98 sampai 2007-08) dihitung.

    2. Kemudian dihitung persentase dari perbandingan nilai rata-rata 10 tahun terhadap nilai normal rata-rata 30 tahun (1971-2000).

    Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) NTB, 2010

    Persentase daerah puso 12. Persentase dari daerah ditanami padi dan jagung yang rusak akibat kekeringan, banjir dan organisme pengganggu tanaman (OPT).

    Sensus Pertanian (SP) 2009, BPS

    Deforestasi hutan13. Deforestasi adalah perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi non hutan. Angka deforestasi hutan berdasarkan analisis citra satelit Landsat pada tahun 2002/2003 dan 2005/2006.

    Penghitungan Deforestasi Indonesia tahun 2008, Kementerian Kehutanan

    Tabel 1.1 (lanjutan): Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB, 2010

    7

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 9

    BAB 2KETERSEDIAAN PANGAN

    Ketersediaan Pangan adalah ketersediaan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber, baik itu produksi pangan domestik, perdagangan pangan dan bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan oleh produksi pangan di wilayah tersebut, perdagangan pangan melalui mekanisme pasar di wilayah tersebut, stok yang dimiliki oleh pedagang dan cadangan pemerintah, dan bantuan pangan dari pemerintah atau organisasi lainnya.

    Produksi pangan tergantung dari berbagai faktor seperti iklim, jenis tanah, curah hujan, irigasi, komponen produksi pertanian yang digunakan dan bahkan inisiatif dari para petani untuk menghasilkan tanaman pangan.

    Pangan meliputi produk serealia, kacang-kacangan, minyak nabati, sayur-sayuran, buah-buahan, rempah, gula, dan produk hewani. Karena kebutuhan utama dari kebutuhan kalori harian berasal dari sumber pangan karbohidrat, yaitu sekitar separuh dan kebutuhan energi per orang per hari, maka yang digunakan dalam analisa kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang bersumber dari produksi pangan pokok serealia, yaitu padi, jagung dan umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) yang digunakan untuk memahami tingkat kecukupan pangan pada tingkat kabupaten maupun kecamatan.

    2.1 PRODUKSI

    Pemerintah provinsi NTB telah mempromosikan produksi pertanian dan telah mengadopsi beberapa tindakan perlindungan bagi petani. Pertanian (termasuk peternakan, kehutanan, dan perikanan) telah memberikan kontribusi sebesar 21,33% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi NTB selama empat tahun terakhir dan memberikan peluang yang signifikan untuk berkontribusi dalam meningkatkan ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan, dan dinamika pertumbuhan ekonomi.

    Padi merupakan bahan pangan pokok di provinsi NTB yang menyumbang hampir 90% dari total produksi serealia provinsi.

    Setelah 5-6 tahun stagnasi dalam produksi, produksi serealia dan umbi-umbian terus meningkat sejak tahun 2006 kecuali tahun 2007 (Tabel 2.1. dan Gambar 2.1). Peningkatan ini terutama disebabkan bertambahnya luas tanam dan peningkatan produktivitas. Produksi padi meningkat 20,45% selama periode yang sama, mencapai 1.870.773 ton pada tahun 2009. Provinsi NTB telah menjadi salah satu sentra produksi padi di Indonesia.

    Tahun 2009, total produksi serealia dan umbi-umbian mencapai 1.870.733 ton padi, 308.863 ton jagung, 85.062 ton ubi kayu, dan 11.276 ton ubi jalar. Produksi padi dan jagung tahun 2009 lebih tinggi dari rata-rata produksi tahunan selama 10 tahun terakhir, dimana produksi ubi kayu dan ubi jalar pada tahun 2009 lebih rendah dari rata-rata 10 tahun terakhir.

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    Tabel 2.1: Produksi Serelia Pokok dan Umbi-umbian, 2000 - 2009 (Ton)

    Rata-rata 10 TahunSerealia 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

    66,216

    1,488,191

    10,060

    99,486

    50,777

    1,458,616

    96,974

    57,785

    1,370,171

    17,553

    87,913

    64,228

    1,422,440

    20,565

    88,568

    71,276 1,466,757

    20,886

    88,030

    96,458 1,367,869

    19,430

    92,991

    103,963

    1,552,628

    19,373

    87,041

    120,612

    1,526,347

    13,007

    88,528

    196,263 1,750,675

    10,985

    68,386

    308,863 1,870,773

    11,276

    85,062

    113,644 1,527,447

    14,314

    88,298

    Jagung

    Padi

    Ubi Jalar

    Ubi Kayu

    Sumber: BPS, 2000 - 2009

    50,000

    60,000

    70,000

    80,000

    90,000

    Pane

    n (h

    a)

    -

    10,000

    20,000

    30,000

    40,000

    2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

    Luas

    Tahun

    Lombok Barat

    Lombok Tengah

    Lombok Timur

    Kota Mataram

    Lombok Utara

    Gambar 2.2a: Total Luas Panen Padi (ha) di Pulau Lombok

    1,200,000

    1,500,000

    1,800,000

    2,100,000

    uksi

    (Ton

    )

    -

    300,000

    600,000

    900,000

    2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

    Prod

    Tahun

    JagungPadiUbi JalarUbi Kayu

    Gambar 2.1: Produksi Serelia Pokok dan Umbi-Umbian, 2000 - 2009

    Padi

    Produksi padi pada tingkat kabupaten di NTB selama 10 tahun terakhir (2000-2009) telah dianalisa dan disajikan pada Gambar 2.3. Produksi tersebut mengalami stagnasi tahun 2000-2004, dan menurun di tahun 2005 akibat kekeringan yang melanda hampir semua wilayah NTB kemudian mulai meningkat di tahun 2006 di semua kabupaten kecuali kabupaten Lombok Barat dan Sumbawa Barat. Peningkatan ini sangat signifikan di Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, dan Bima. Rata-rata produksi di Pulau Lombok sebesar 869.438 ton dari 2007-2009, yang menyumbang 50,66% dari total rata-rata produksi provinsi NTB. Tahun

    10

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    70 000

    80,000

    90,000

    50,000

    60,000

    70,000

    Pane

    n (h

    a)

    20,000

    30,000

    40,000

    Luas

    P

    SumbawaDompuSumbawa Barat

    -

    10,000

    20,000

    2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

    Kota BimaBima

    2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

    Tahun

    Gambar 2.2b: Total Luas Panen Padi (ha) di Sumbawa

    11

    2007, lahan sawah mengalami puso karena curah hujan yang rendah yang mengakibatkan hasil produksi yang rendah (lihat Peta 5.3 Daerah Puso). Sentra produksi padi di NTB berada di kabupaten Lombok Tengah, Sumbawa, Lombok Timur dan Bima. Produksi padi di ke-4 kabupaten tersebut sebesar 1,389,137 ton pada tahun 2009 yang menyumbang 74,25% terhadap total produksi padi di provinsi NTB.

    400,000

    450,000

    250 000

    300,000

    350,000

    si (T

    on)

    150,000

    200,000

    250,000

    Produks

    Lombok Barat

    Lombok Tengah

    -

    50,000

    100,000 Lombok Timur

    Kota Mataram

    Lombok Utara

    2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

    Tahun

    Gambar 2.3a: Produksi Padi (ha) di Pulau Lombok

    300,000

    350,000

    400,000

    450,000

    -

    50,000

    100,000

    150,000

    200,000

    250,000

    2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

    Prod

    uksi

    (Ton

    )

    Tahun

    Sumbawa

    Dompu

    Bima

    Sumbawa Barat

    Kota Bima

    Gambar 2.3b: Produksi Padi (ha) di Pulau Sumbawa

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    Jagung

    Tahun 2009, produksi jagung mencapai 308.863 ton dan menunjukkan kenaikan sebesar 57,37% dari produksi tahun 2008. Peningkatan produktivitas, luas tanam, dan cuaca yang baik memberikan kontribusi secara keseluruhan terhadap peningkatan produksi. Kabupaten penghasil jagung di NTB adalah Sumbawa dan Lombok Timur (Gambar 2.4). Pemerintah memberikan dukungan produksi jagung melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumber daya Terpadu (SLPTT) program yang mendukung akses petani terhadap benih. Harga jagung juga sangat menjanjikan.

    60 000

    80,000

    100,000

    120,000

    si (T

    on)

    Sumbawa

    Lombok Utara

    Lombok Tengah

    -

    20,000

    40,000

    60,000

    2006 2007 2008 2009

    Prod

    uks

    Tahun

    Dompu

    Lombok Barat

    Lombok Timur

    Bima

    Sumbawa Barat

    Kota Mataram

    Kota Bima

    Gambar 2.4: Produksi Jagung (2006 - 2009)

    Ubi Kayu

    Produksi ubi kayu mengalami penurunan sekitar 15% selama 10 tahun terakhir. Pada tahun 2009, produksi ubi kayu sebesar 85.062 ton yang menyumbangkan hanya 3,37% dari total produksi serealia di provinsi ini. Penurunan produksi ubi kemungkinan disebabkan adanya konversi lahan dari ubi kayu ke jagung dan padi. Lombok Utara dan Lombok Tengah adalah sentra produksi ubi kayu di provinsi ini (Gambar 2.5).

    20,000

    25,000

    30,000

    uksi

    (Ton

    )

    Lombok BaratSumbawa

    0

    5,000

    10,000

    15,000

    2006 2007 2008 2009

    Prod

    u

    Tahun

    Lombok TimurLombok TengahLombok UtaraDompuBimaSumbawa Barat

    Gambar 2.5: Produksi Ubi Kayu (2006 - 2009)

    Ubi Jalar

    Produksi ubi jalar sangat terbatas di provinsi ini. Pada tahun 2009, produksi ubi jalar sebesar 11.276 ton yang menyumbang hanya 0,5% dari total produksi serealia di NTB. Selain konversi untuk padi dan jagung,

    12

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    5,000

    6,000

    3,000

    4,000

    duks

    i (To

    n) Lombok Barat

    Sumbawa

    Lombok Timur

    1 000

    2,000

    Prod Lombok Tengah

    Lombok Utara

    Dompu

    Bima

    -

    1,000

    2006 2007 2008 2009

    Bima

    Sumbawa Barat

    Tahun

    Gambar 2.6: Produksi Ubi Jalar (2006 - 2009)

    Tabel 2.2: Produksi Padi dan Jagung (2006 - 2009) (Ton)

    KabupatenNo2006

    Padi

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    Lombok Barat

    Lombok Tengah

    Lombok Timur

    Lombok Utara

    Sumbawa

    Dompu

    Bima

    Sumbawa Barat

    Kota Mataram

    Kota Bima

    Total NTB

    2007 2008 2009 2006

    Jagung

    2007 2008 2009131,566

    339,375

    278,610

    45,524

    289,306

    118,630

    245,691

    60,921

    17,732

    25,273

    1,552,628

    147,571

    315,667

    274,613

    48,889

    284,110

    124,341

    236,031

    50,290

    18,716

    26,119

    1,526,347

    145,571

    358,192

    308,446

    49,615

    332,515

    153,743

    282,928

    69,121

    21,467

    29,077

    1,750,675

    148,677

    385,186

    311,873

    50,971

    383,649

    161,352

    308,429

    61,093

    22,859

    36,684

    1,870,773

    5,247

    6,588

    27,424

    9,621

    33,892

    6,858

    9,021

    4,407

    12

    893

    103,963

    7,802

    9,950

    30,905

    10,304

    30,903

    5,160

    18,342

    4,788

    78

    2,380

    120,612

    12,127

    14,097

    52,760

    17,182

    52,530

    13,203

    25,598

    5,516

    129

    3,121

    196,263

    12,248

    11,094

    81,293

    19,390

    100,840

    24,396

    45,263

    10,690

    14

    3,635

    308,863

    Tabel 2.3: Produksi Ubi Kayu dan Ubi Jalar (2006 - 2009) (Ton)

    KabupatenNo2006

    Ubi Kayu

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    Lombok Barat

    Lombok Tengah

    Lombok Timur

    Lombok Utara

    Sumbawa

    Dompu

    Bima

    Sumbawa Barat

    Kota Mataram

    Kota Bima

    Total NTB

    2007 2008 2009 2006

    Ubi Jalar

    2007 2008 20097,414

    17,516

    10,009

    19,163

    13,839

    3,224

    7,584

    1,162

    -

    7,130

    87,041

    7,123

    17,732

    7,092

    25,375

    6,003

    2,520

    11,583

    710

    -

    10,390

    88,528

    4,321

    11,386

    10,238

    11,948

    8,154

    2,412

    10,775

    395

    -

    8,757

    68,386

    5,087

    14,278

    14,465

    24,836

    5,816

    1,775

    7,818

    118

    -

    10,869

    85,062

    1,499

    2,205

    3,543

    2,152

    1,557

    2,140

    5,706

    310

    12

    249

    19,373

    1,199

    747

    2,615

    2,577

    469

    818

    4,026

    150

    -

    406

    13,007

    1,566

    2,197

    2,218

    1,686

    650

    603

    1,449

    127

    -

    489

    10,985

    878

    2,991

    2,136

    1,364

    733

    697

    1,673

    152

    -

    652

    11,276

    kurangnya pasar lokal juga merupakan alasan utama menurunnya produksi ubi jalar. Kabupaten Bima adalah sentra produksi ubi jalar namun jumlah produksi secara signifikan terus menurun akhir-akhir ini.

    13

    Sumber: BPS Provinsi dan Kabupaten, 2006 - 2009

    Sumber: BPS Provinsi dan Kabupaten, 2006 - 2009

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB14

    Tabel 2.4: Produksi Total Serelia per tahun dan Laju Pertumbuhan Produksi untuk periode 2006 - 2009

    Laju Pertumbuhan2006 - 2009KabupatenNo 2009200820072006

    Produksi Total Serealia

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    Lombok Barat

    Lombok Tengah

    Lombok Timur

    Lombok Utara

    Sumbawa

    Dompu

    Bima

    Sumbawa Barat

    Kota Mataram

    Kota Bima

    Total NTB

    145,726

    365,684

    319,586

    76,460

    338,594

    130,852

    268,002

    66,800

    17,756

    33,545

    1,763,005

    163,695

    344,096

    315,225

    87,145

    321,485

    132,839

    269,982

    55,938

    18,794

    39,295

    1,748,494

    163,585

    385,872

    373,662

    80,431

    393,849

    169,961

    320,750

    75,159

    21,596

    41,444

    2,026,309

    166,890

    413,549

    409,767

    96,561

    491,038

    188,220

    363,183

    72,053

    22,873

    51,840

    2,275,974

    14.52

    13.09

    28.22

    26.29

    45.02

    43.84

    35.52

    7.86

    28.82

    54.54

    Sumber: BPS Provinsi dan Kabupaten, 2006-2009

    2.2 RASIO KONSUMSI NORMATIF PER KAPITA TERHADAP PRODUKSI PANGAN

    Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa indikator ketersediaan pangan yang digunakan dalam analisis ketahanan pangan komposit adalah konsumsi normatif per kapita terhadap produksi pangan. Rasio tersebut menunjukkan apakah suatu wilayah mengalami surplus produksi serealia dan umbi-umbian.

    Perhitungan produksi pangan tingkat kecamatan dilakukan dengan menggunakan data rata-rata produksi tiga tahunan (20072009) untuk komoditas padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar karena sumber energi utama dari asupan energi makanan berasal dari serealia dan umbi-umbian. Pola konsumsi pangan menunjukkan bahwa hampir 50% dari kebutuhan total kalori berasal dari serealia dan umbi-umbian. Data produksi bersih rata-rata dari komoditi padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar dihitung dengan menggunakan faktor konversi baku. Untuk produksi bersih rata-rata ubi kayu dan ubi jalar agar setara dengan beras, maka harus dikalikan dengan 1/3 (1 kg beras atau jagung ekuivalen dengan 3 kg ubi kayu dan ubi jalar dalam hal nilai kalori). Kemudian dihitung total produksi serealia yang layak dikonsumsi. Ketersediaan bersih serealia per kapita dihitung dengan membagi total ketersediaan serealia kecamatan dengan jumlah penduduk (data penduduk pertengahan tahun 2008). Data serealia bersih dari perdagangan dan impor tidak dihitung karena data tidak tersedia di tingkat kecamatan. Berdasarkan profil konsumsi Indonesia, konsumsi serealia normatif per hari per kapita adalah 300 gram. Kemudian rasio konsumsi normatif per kapita untuk produksi dihitung (lihat Lampiran 2.1: Indikator Ketersediaan Pangan).

    Peta 2.1 menggambarkan bahwa sebagian besar wilayah kabupaten di NTB adalah swasembada dalam produksi pangan serealia yang ditunjukkan oleh gradasi kelompok warna hijau, sedangkan daerah-daerah yang defisit ditunjukkan dengan gradasi kelompok warna merah, yang pada umumnya daerah tersebut tidak atau kurang cocok untuk memproduksi tanaman serealia. Kondisi iklim, kelayakan tanah, berulangnya bencana alam (kekeringan, banjir, dan lain sebagainya) merupakan faktor kendala lain yang menyebabkan ketidakmampuan daerah-daerah defisit tersebut dalam mencapai swasembada produksi tanaman serealia.

    Hanya 6,7% atau 7 dari 105 kecamatan di provinsi NTB yang mengalami defisit produksi serealia. Diantaranya 3 kecamatan defisit tinggi, 2 kecamatan defisit sedang, dan 2 kecamatan lainnya defisit rendah. 93% atau 98 kecamatan di provinsi ini memiliki ketersediaan pangan yang cukup dengan rasio di bawah 1. Penyebab defisitnya ketersediaan serealia di 7 kecamatan tersebut, meliputi: 1) lahan pertanian

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 15

    beralih fungsi menjadi permukiman, pertambangan atau daerah pariwisata 2) bencana alam seperti banjir dan kekeringan. Meskipun diakui bahwa ketersediaan makanan yang cukup merupakan persyaratan mutlak ketahanan pangan, prasyarat ini tidak cukup untuk menjamin keamanan pangan di tingkat rumah tangga dan individu.

    2.3 TANTANGAN UTAMA PEMENUHAN KECUKUPAN

    Laju pertumbuhan penduduk NTB dari tahun 2000-2010 mencapai 1,2% per tahun sementara pertumbuhan produksi padi dan jagung mencapai 3,5% dan 18,6%. Namun seperti yang telah dibahas dalam Bab ini dan Bab 5, fluktuasi curah hujan, berkurangnya lahan yang tersedia, merupakan faktor risiko utama. Diperkirakan lahan sawah akan berkurang dari 221.981 ha pada tahun 2009 menjadi 218.218 ha pada tahun 2013. Hal ini mengindikasikan bahwa produksi padi akan berkurang sekitar 5.804 ton atau 0,31% pada tahun 2013. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi konversi lahan merupakan hal yang penting.

    Strategi untuk meningkatkan ketersediaan pangan

    Dalam Rencana Strategis BKP NTB 2009-2013, terdapat beberapa program yang berkaitan dengan ketersedian pangan yaitu :

    a. Penanganan daerah rawan pangan;

    b. Pemanfaatan pekarangan untuk pengembangan pangan;

    c. Pemantauan dan analisis akses pangan;

    d. Penanganan pasca panen dan pengolahan hasil pertanian;

    e. Pengembangan cadangan pangan daerah;

    f. Pengembangan desa mandiri pangan;

    g. Pengembangan lumbung pangan;

    h. Penyuluhan sumber pangan alternatif/penganekaragaman pangan;

    i. Promosi atas hasil pertanian/perkebunan unggulan daerah;

    j. Penyuluhan peningkatan produksi pertanian/perkebunan;

    k. Pengembangan Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP); dan

    l. Peningkatan kesejahteraan petani.

    Sedangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) provinsi NTB 2009 - 2013, terdapat beberapa program yang berkaitan dengan ketersediaan pangan yaitu:

    a. Pengembangan Agro bisnis dan Agro industri;

    b. Peningkatan produksi dan pemasaran hasil produksi;

    c. Peningkatan produksi hasil pertanian;

    d. NTB Bumi Sejuta Sapi (program NTB untuk menghasilkan 1 juta sapi pada tahun 2013);

    e. Pengembangan budidaya perikanan dan sistem penyuluhan (termasuk pengembangan perikanan tangkap);

    f. Peningkatan ketahanan pangan;

    g. Peningkatan kesejahteraan petani;

    h. Pemberdayaan penyuluh pertanian lapangan (PPL);

    i. Peningkatan penerapan teknologi pertanian/perkebunan; dan

    j. Pencegahan dan penanggulangan hama dan penyakit tanaman.

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    BAB 3 AKSES TERHADAP PANGAN DAN PENGHIDUPAN

    17

    Akses terhadap pangan merupakan salah satu dari 3 pilar ketahanan pangan yang di analisis dalam FIA nasional 2005, FSVA nasional 2009 dan FSVA provinsi NTB. Akses Pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, stok, pembelian, barter, hadiah, pinjaman, dan bantuan pangan. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas. Akses pangan tergantung pada daya beli rumah tangga yang ditentukan oleh penghidupan rumah tangga tersebut. Penghidupan terdiri dari dari kemampuan rumah tangga, modal/aset (sumber daya alam, fisik, sumber daya manusia, ekonomi, dan sosial) dan kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar penghasilan, pangan, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan. Rumah tangga yang tidak memiliki sumber penghidupan yang memadai dan berkesinambungan, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi tidak berkecukupan, tidak stabil, dan daya beli menjadi sangat terbatas, yang menyebabkan mereka tetap miskin dan rentan terhadap kerawanan pangan.

    Secara global, penduduk yang tingkat per kapitanya di bawah US$ 1,25 (Purchasing Power Parity) per hari menurut Bank Dunia, dikelompokkan sebagai penduduk miskin. Pemerintah Indonesia menggunakan garis kemiskinan nasional sebesar Rp. 200.262 orang/bulan pada tahun 2009 (sekitar US$ 22/orang/bulan) untuk keperluan perencanaan. Berdasarkan harga kebutuhan pokok di tingkat provinsi, garis kemiskinan yang digunakan oleh provinsi NTB adalah sebesar Rp. 185.025/orang/bulan tahun 2009. Semakin besar jumlah penduduk miskin di suatu wilayah maka akses terhadap pangan akan semakin rendah dan angka kerawanan pangan akan semakin tinggi.

    3.1 PENDUDUK DI BAWAH GARIS KEMISKINAN

    Berbagai program penanggulangan kemiskinan sudah dijalankan oleh Pemerintah provinsi NTB. Meskipun seluruh kabupaten telah berhasil menurunkan angka kemiskinan pada tahun 2007-2009, namun jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan masih cukup besar di provinsi ini. Pada tahun 2009, terdapat 22,78 atau 1,051 juta penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Angka kemiskinan lebih tinggi di daerah pedesaan (28,8% pada tahun 2009) dibandingkan di daerah perkotaan (16,4%). Tabel 3.1. menunjukkan angka kemiskinan yang tinggi terdapat di kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur dan Sumbawa.

    Persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menurut data kecamatan menunjukkan perbedaan tingkat kemiskinan yang sangat jelas antar kecamatan (Peta 3.1). Dari 105 kecamatan, terdapat 18 kecamatan di 7 kabupaten yang memiliki jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan di atas 30% (Tabel 3.2). Oleh karena itu program-program penanggulangan kemiskinan ke depan masih harus ditingkatkan dan diprioritaskan di 18 kecamatan tersebut.

    Gambar 3.1 menggambarkan dengan jelas tentang dominasi sektor pertanian sebagai sumber pendapatan masyarakat. Di samping pendapatan yang diperoleh dari hasil panen tanaman pangan, perdagangan yang juga merupakan salah satu sumber pendapatan yang signifikan kedua di beberapa wilayah di NTB, yang

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    Dompu

    Bima

    Sumbawa Barat

    0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

    Lombok Barat

    Lombok Tengah

    Lombok Timur

    Lombok Utara

    SumbawaPertanian

    Pertambangan dan Penggalian

    Industri Pengolahan

    Perdagangan Besar/Eceran

    Angkutan, Pergudangan, Komunikasi

    Jasa

    Lainnya

    18

    Tabel 3.1: Jumlah dan Persentase Populasi di Bawah Garis Kemiskinan

    * Kabupaten pemekaranSumber: Diolah dari SUSENAS Modul Konsumsi 2008-2009

    Tabel 3.2: Jumlah Kecamatan-kecamatan yang memiliki 30% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan tahun 2008

    KabupatenNo Jumlah kecamatan yang memiliki 30% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    Lombok Barat

    Lombok Tengah

    Lombok Timur

    Lombok Utara

    Sumbawa

    Dompu

    Bima

    Sumbawa Barat

    Total NTB

    3

    0

    5

    1

    4

    1

    2

    2

    18

    Gambar 3.1: Sumber Pendapatan Utama menurut Klasifikasi Sektoral

    Sumber: SUSENAS KOR 2007-2009, SUSENAS MODUL 2008, PODES 2008, BPS

    Sumber: PODES 2008, BPS

    KabupatenNo 2008

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    Lombok Barat

    Lombok Tengah

    Lombok Timur

    Lombok Utara*

    Sumbawa

    Dompu

    Bima

    Sumbawa Barat

    Total NTB

    Total Indonesia

    222.16

    197.22

    284.26

    -

    109.63

    54.73

    94.93

    25.17

    1,080.60

    34,963.30

    208.49

    187.59

    270.61

    -

    104.98

    49.52

    89.7

    24.34

    1,051.00

    32,529.90

    Jumlah (000) %2009

    Jumlah (000) %

    25.97

    22.32

    25.43

    -

    25.31

    24.52

    21.79

    24.27

    23.81

    15.42

    24.02

    20.94

    23.96

    -

    23.85

    21.76

    20.42

    23.01

    22.78

    14.15

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 19

    diikuti oleh penyediaan jasa. Dengan produktivitas pertanian yang peningkatannya relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir, fragmentasi lahan yang relatif tinggi di wilayah padat penduduk dan pengaruh curah hujan yang tak menentu di beberapa wilayah di NTB, berdampak kurang menguntungkan pada masyarakat yang bergantung terhadap produksi tanaman pangan (di lahan sendiri ataupun sistem bagi hasil) sebagai sumber pendapatan utama. Sehingga mengakibatkan banyak dari mereka yang jatuh di bawah atau berada di sekitar garis kemiskinan.

    3.2 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT)

    Sumber utama data ketenagakerjaan adalah Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS). Sejak tahun 2005, SAKERNAS dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Februari dan Agustus. Dalam rangka menyesuaikan dengan konsep baru dari Organisasi Tenaga Kerja International (ILO), maka konsep status ketenagakerjaan dan pengangguran terbuka telah di perluas sejak SAKERNAS tahun 2001. Total Angkatan Kerja adalah penduduk usia 15 tahun atau lebih yang pada minggu lalu bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran (sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha).

    Konsep pengangguran terbuka saat ini mencakup penduduk yang aktif mencari pekerjaan, penduduk yang sedang mempersiapkan usaha/pekerjaan baru, penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan serta penduduk yang tidak aktif mencari pekerjaan dengan alasan sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah perbandingan total pengangguran terbuka di bagi dengan jumlah angkatan kerja.

    Tabel 3.3: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

    KabupatenNo 20082007

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    Lombok Barat

    Lombok Tengah

    Lombok Timur

    Lombok Utara*

    Sumbawa

    Dompu

    Bima

    Sumbawa Barat

    Total NTB

    * Kabupaten pemekaranSumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), BPS 2006-2009

    2009

    6.07

    6.49

    5.02

    0.00

    5.49

    5.22

    4.99

    4.81

    6.48

    6.98

    5.57

    3.99

    0.00

    5.77

    6.70

    4.72

    5.65

    6.13

    4.93

    5.22

    5.80

    0.00

    6.95

    6.94

    4.71

    8.32

    6.25

    Tabel 3.3 menunjukkan bahwa di provinsi NTB, tingkat pengangguran terbuka tidak mengalami perubahan yang berarti pada periode 2007-2009, yaitu hanya sekitar 6%, dimana mengalami penurunan sebesar 0,36% dari 6,48% di tahun 2007 menjadi 6,12% (sekitar 131.000 pengangguran) di tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan angka kemiskinan terjadi secara perlahan-lahan, peningkatan upah buruh sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi memiliki beberapa dampak positif terhadap situasi TPT tingkat provinsi selama tahun 2007-2009.

    Perbedaan tingkat pengangguran berbeda-beda antar kabupaten. Pada tahun 2009, tingkat pengangguran tertinggi terdapat di kabupaten Sumbawa Barat (8,32%), Sumbawa (6,95%) dan Dompu (6,94%). TPT terendah terdapat di kabupaten Bima (4,71%).

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB20

    3.3 AKSES TERHADAP INFRASTRUKTUR DASAR (JALAN)

    Kurangnya akses terhadap infrastruktur menyebabkan kemiskinan, dimana masyarakat yang tinggal di daerah terisolir atau terpencil dengan kondisi geografis yang sulit dan ketersediaan pasar yang buruk, sehingga kurang memiliki kesempatan ekonomi dan pelayanan jasa yang memadai. Kelompok miskin ini masih kurang mendapatkan akses terhadap program pembangunan pemerintah.

    Investasi pada infrastruktur khususnya infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan, bandara, dan lain-lain), listrik, infrastuktur pertanian (irigasi), dan fasilitas pendidikan dan kesehatan dapat sepenuhnya mengubah suatu wilayah sehingga menciptakan landasan pertumbuhan ekonomi dan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat yang tinggal di daerah terpencil.

    Pada sektor pertanian, faktor yang menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah adalah rendahnya harga komoditas pertanian di tingkat petani/produsen (farm gate price) di daerah pedesaan dibandingkan dengan harga di perkotaan untuk komoditas dengan kualitas yang sama (komoditas belum dirubah atau diproses). Rendahnya harga komoditas pertanian di tingkat petani merupakan akibat dari tingginya biaya transportasi untuk pemasaran hasil pertanian dari desa surplus. Biaya transportasi akan lebih tinggi pada moda transportasi selain moda kendaraan bermotor melewati jalan setapak dan jalan kecil dengan tenaga manusia atau hewan, misalnya pada daerah yang tidak memiliki akses jalan yang memadai. Dalam sebuah kajian cepat mengenai penyebab kemiskinan di 5 kabupaten di Indonesia, pada desa terpencil, teridentifikasi bahwa tingginya biaya transportasi merupakan penyebab utama kemiskinan.

    Tingginya harga komoditas pertanian di tingkat petani berarti tingkat pendapatan masyarakat petani meningkat. Namun peningkatan pendapatan saja bagi penduduk desa terpencil belumlah cukup. Hal ini masih perlu didukung dengan akses terhadap pelayanan jasa dan investasi infrastruktur agar dapat lebih menjamin pendapatan yang lebih baik bagi masyarakat pertanian.

    Dengan pengembangan akses jalan, maka guruguru dapat lebih bersemangat untuk mengajar di sekolahsekolah di pedesaan miskin, yang pada gilirannya juga dapat meningkatkan sumber daya manusia di wilayah miskin tersebut. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dapat menjangkau petani pedesaan dan memberikan bantuan teknis dan informasi lainnya untuk meningkatkan produktivitas petani. Masyarakat pedesaan dapat menjangkau pusat kesehatan sehingga angka kematian anak dapat dikurangi. Manfaat pembangunan akses jalan di pedesaan yang berpenduduk miskin akan sangat dirasakan dalam peningkatan aspek sosial maupun ekonomi penduduk desa tersebut.

    Keterbelakangan infrastuktur menghalangi laju perkembangan suatu wilayah. Infrastruktur yang lebih baik akan menarik investasi yang lebih besar pada berbagai sector, hal itu akan memberikan daya dorong terhadap penghidupanberkelanjutan. Akses jalan memberikan akses yang lebih baik ke pasar bagi para produsen, penjual dan pembeli. Akses juga merupakan penghubung yang penting terhadap pusat pertumbuhan suatu daerah. Jalan memungkinkan orang untuk mengakses lebih baik terhadap pelayanan dasarlainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya yang sangat penting untuk memperbaiki standar kehidupan. Daerah yang terhubung dengan baik oleh jalan akan menerima dukungan infrastuktur lain yang memperkuat penghidupan masyarakat.

    Berdasarkan hasil survei PODES 2008, di provinsi NTB, 3,18% desa tidak memiliki akses penghubung roda empat di waktu-waktu tertentu. Peta 3.2 menggambarkan persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung roda empat. Peta ini menggambarkan bahwa akses penghubung roda empat masih kurang baik di sebagian wilayah kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat dan Bima. Namun sejak tahun 2009 hampir semua desa di kabupaten Bima sudah bisa dilalui kendaraan roda empat. Tabel 3.4 menunjukkan kecamatan yang memiliki persentase desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat.

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    Kota Mataram

    Kota Bima

    Bima

    Sumbawa Barat

    Kota Mataram

    Sumbawa

    Dompu

    Jalan dan Air

    L b k B t

    Lombok Tengah

    Lombok Timur Air

    Jalan

    0% 20% 40% 60% 80% 100%

    Lombok Barat

    21

    Tabel 3.4: Persentase desa yang tidak dapat di akses oleh kendaraan roda empat

    Sumber: PODES 2008, BPS

    Gambar 3.2: Moda Transportasi di Provinsi NTB

    Gambar 3.2 menunjukkan bahwa jalan merupakan moda transportasi utama di provinsi NTB. Akan tetapi, ada beberapa kecamatan dimana moda transportasi air masih menjadi bagian penting dari moda transportasinya. Kurang memadainya kualitas jalan atau bahkan tidak tersedianya akses jalan menunjukkan bahwa pembangunan jalan oleh pemerintah belum menjangkau daerah tersebut. Di sebagian kecamatan, masyarakat juga menggunakan perahu motor sebagai moda transportasinya contohnya di Pulau Moyo di kecamatan Labuan. Di beberapa wilayah juga memiliki aturan adat yang tidak memperbolehkan adanya kendaraan roda empat seperti di Gili Trawangan, Gili Air dan Gili Meno di kecamatan Pemenang. Karena data yang akurat untuk moda transportasi air tidak tersedia, kami tidak dapat menggunakan transportasi air sebagai salah satu indikator akses infrastuktur.

    3.4 AKSES TERHADAP INFRASTRUKTUR DASAR (LISTRIK)

    Akses listrik merupakan suatu indikator yang baik untuk melihat tingkat kesejahteraan ekonomi dan peluang penghidupan pada suatu daerah. Akses listrik di tingkat rumah tangga memberikan peluang bagi kondisi

    KabupatenNo % desa yang tidak dapat di akses oleh kendaraan roda empat

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    Lombok Barat

    Lombok Tengah

    Lombok Timur

    Lombok Utara

    Sumbawa

    Dompu

    Bima

    Sumbawa Barat

    Total NTB

    0.00

    0.81

    0.00

    3.03

    8.48

    0.00

    5.08

    8.16

    3.18

    Sumber: PODES 2008, BPS

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB22

    kehidupan yang lebih baik. Sesuai dengan SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional 2008), 92,38% rumah tangga di Indonesia memiliki akses listrik, ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data SUSENAS 2002 yang hanya 88%. Terdapat 85,37% rumah tangga di NTB yang memiliki akses terhadap listrik dimana hal ini lebih tinggi dari sebagian besar provinsi di Indonesia bagian timur walaupun masih lebih rendah dari rata-rata nasional. Tabel 3.5 menunjukkan bahwa rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik cukup tinggi (lebih dari 20%) terdapat di 2 kabupaten yaitu Lombok Timur dan Dompu. Pada tingkat kecamatan, akses terhadap listrik yang terbatas terdapat di kecamatan Masbagik (34,85%), Pringgasela (32,75%) dan Keruak (31,47%).

    Tabel 3.5: Persentase rumah tangga tanpa akses ke listrik

    KabupatenNo % tanpa akses ke listrik

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    Lombok Barat

    Lombok Tengah

    Lombok Timur

    Lombok Utara

    Sumbawa

    Dompu

    Bima

    Sumbawa Barat

    Total NTB

    Total Indonesia

    10.29

    14.49

    25.86

    12.56

    4.26

    23.06

    11.79

    4.81

    14.63

    7.62

    Sumber: SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS

    3.5 STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN, PENINGKATAN AKSES TERHADAP PANGAN DAN PENGHIDUPAN

    Perbaikan akses infrastruktur memerlukan biaya investasi yang sangat besar. Pada umumnya, kabupaten dan provinsi tidak memiliki anggaran yang memadai untuk pengembangan infrastruktur tersebut. Terlebih lagi, topografi yang sulit membuat proyek-proyek pengembangan infrastruktur menjadi sangat mahal. Daya dorong ekonomi yang diperoleh sebagai hasil dari peningkatan infrastruktur akan memberikan peluang-peluang yang lebih besar kepada pemerintah untuk memperoleh lebih banyak pendapatan. Akses ke infrastruktur dasar merupakan kunci bagi kesejahteraan ekonomi dan upaya pengentasan kemiskinan. Strategi Pemerintah Daerah provinsi NTB untuk penanggulangan kemiskinan seperti yang termuat dalam RPJMD provinsi NTB 2009-2013 diantaranya :

    Mempercepat pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat miskin;

    Mendorong tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan mikro dan sarana pendukung perekonomian sampai tingkat pedesaan;

    Mendorong tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat agro bisnis dan agro industri;

    Mendorong tumbuh dan berkembangnya wilayah strategis dan cepat tumbuh;

    Mendorong pemerataan pembangunan infrastruktur antara desa-kota, pulau-pulau kecil, dan daerah terisolir;

    Mengupayakan penambahan daya listrik melalui PLN; dan

    Mendorong pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya listrik alternatif.

    Seluruh strategi penanggulangan kemiskinan harus secara terintegrasi dan melibatkan masyarakat miskin dalam upaya pengentasan kemiskinan sehingga kemampuan atau keberdayaan mereka dapat

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    meningkat. Terbukti bahwa dengan melibatkan dan membangun keberayaan masyarakat da-pat menjadi sangat efektif dalam upaya pengentasan kemiskinan. Sistem pengaman sosial yang kuat dan terstruktur, baik dalam bentuk bantuan sosial langsung tunai bagi mereka yang sangat rentan atau sistem keamanan sosial berdasarkan program pemberdayaan masyarakat miskin terpadu dan terarah perlu dikembangkan serta diperkuat.

    Adaptasi terhadap perubahan anomali iklim (Climatic Change Adaptation) akan menjadi salah satu faktor kunci yang menjamin kesinambungan perbaikan akses pangan dan penghidupan rumah tangga yang tergolong miskin dan rentan. Petani kecil harus dilindungi dari gagal panen yang disebabkan oleh anomali iklim melalui inisiatif perlindungan sosial yang inovatif.

    Diversifikasi matapencaharian akan meningkatkan ketahanan keluarga rentan terhadap segala goncangan. Suatu rumah tangga akan dapat menanggulangi dengan lebih baik jika mereka memiliki lebih dari satu jenis sumber pendapatan. Umumnya, telah diamati bahwa rumah tangga rentan menggunakan strategi penanganan masalah yang kurang tepat selama masa sulit, dan sulit untuk diubah. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya sumber pendapatan ke-2 di luar matapencaharian utama. Semua program diversifikasi matapencaharian yang direncanakan secara matang dapat menjawab tantangan ini, dengan demikian meningkatkan kemampuan rumah tangga untuk meningkatkan standar hidup mereka tanpa menggunakan strategi penanganan yang keliru.

    23

  • Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB

    BAB 4PEMANFAATAN PANGAN

    25

    Pilar ketiga dari ketahanan pangan adalah pemanfaatan pangan. Pemanfaatan pangan meliputi: a) Penggunaan pangan yang bisa di akses oleh rumah tangga, dan b) kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi secara efisien oleh tubuh).

    Pemanfaatan pangan oleh rumah tangga tergantung pada: (i) fasilitas penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan yang dimiliki oleh rumah tangga termasuk penggunaan air selama proses pengolahannya serta kondisi higiene; (ii) pengetahuan dan praktek yang berhubungan dengan penyiapan makanan, pemberian makan untuk balita dan anggota keluarga lainnya termasuk yang sedang sakit atau sudah tua yang mungkin dipengaruhi oleh pengetahuan yang rendah dari ibu dan pengasuh, adat/kepercayaan dan tabu; (iii) distribusi makanan dalam keluarga; dan (iv) kondisi kesehatan masing-masing individu yang mungkin dipengaruhi oleh penyakit, higiene, air dan sanitasi yang buruk dan kurangnya akses ke fasilitas kesehatan dan pelayanan kesehatan.

    Bab ini menggambarkan tentang pola konsumsi pangan penduduk. Karena ketidaktersediaan data tingkat kabupaten, maka penjelasan mengenai pola konsumsi pangan dibatasi hanya pada tingkat provinsi. Analisa dan peta untuk indikator lainnya (akses terhadap fasilitas kesehatan, air bersih, perempuan buta huruf, dampak terhadap kesehatan dan gizi) untuk tingkat kecamantan, akan disajikan dalam bagian berikutnya.

    4.1 KONSUMSI PANGAN

    Konsumsi pangan yang disajikan pada FSVA provinsi menunjukkan tingkat asupan energi penduduk yang dinyatakan dalam energi (Kkal) per kapita per hari, dan asupan protein dinyatakan dalam gram per kapita per hari. Konsumsi pangan dihitung berdasarkan pengeluaran untuk makanan dalam rumah tangga selama sebulan dari sampel yang di survei setiap tahun.

    Pola Konsumsi Pangan

    Pada tabel 4.1 rata-rata asupan energi harian pada tahun 2009 di provinsi NTB adalah 1,956 Kkal/kapita/hari, ini berarti lebih rendah dari Angka Kecukupan Gizi nasional (AKG nasional adalah 2.000 Kkal). Asupan protein sebesar 54,86 gram/kapita/hari yang memenuhi AKG nasional (52 gram). Asupan energi meningkat 0,42% dan asupan protein menurun 0,23% jika