2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga...

58
SINTESIS HASIL LITBANG 2010-2014 RPI 5 Pengelolaan Hutan Rawa Gambut Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email : [email protected] web : www.puskonser.or.id

Transcript of 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga...

Page 1: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

SINTESIS HASIL LITBANG 2010-2014

RPI 5

Pengelolaan Hutan Rawa Gambut

Kementerian Kehutanan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email : [email protected]

web : www.puskonser.or.id

Page 2: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah
Page 3: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

i

EXECUTIVE SUMMARY

RPI 5 Pengelolaan Hutan Rawa Gambut memiliki lima komponen riset yaitu: (5.1.)

Klasifikasi Tipologi dan Sebaran HRG; (5.2.) Teknologi Rehabilitasi HRG Terdegradasi;

(5.3.) Informasi Adaptasi Fenologi Jenis Pohon HRG; (5.4.) Alternatif Pengelolaan HRG

Dengan Pola Partisipatif; dan (5.5.) Dampak Deforestasi HRG Terhadap Emisi GRK.

Kegiatan RPI 5 dilakukan di HRG Aceh Selatan, Aceh Singkil, HLG Londerang, Jambi,

HRG Sumsel, HRG Sebangau, Kalteng, KHDTH Tumbang Nusa, Kalteng, dan HRG

Papua. RPI 5 dilaksanakan oleh lima unit kerja Badan Litbang Kehutanan yaitu: Pusat

Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli, BPK

Palembang, BPK Banjarbaru, Balai Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam

(BPTKSDA) Samboja, dan BPK Manokwari.

Dari serangkaian riset selama 5 tahun (2010 – 2014), RPI 5 telah menghasilkan

beberapa capaian berupa data, informasi dan rancangan IPTEK. Terkait dengan Luaran

5.1. Tim riset RPI 5, telah memperoleh data sebaran dan tipologi HRG di Sumatera dan

Kalimantan. Data dari Papua belum dapat ditampilkan karena masih memerlukan

klarifikasi di lapangan. Klasifikasi tipologi HRG difokuskan pada penyusunan kriteria dan

indikator untuk HRG terdegradasi, serta kriteria dan indikator untuk menentukan kawasan

konservasi flora dan fauna. Kriteria dan indikator hutan gambut terdegradasi yang

diusulkan disajikan berikut ini :

Ekosistem gambut yang masih baik dengan indikator:

a. kubah gambut masih berfungsi sebagai resapan air dengan luasan > 30% masih

tertutup tanaman keras alami;

b. kedalaman muka air tanah di musim kemarau dibawah 100 cm;

c. bersifat hidrofilik dengan pH ≥ 4;

d. serta nilai redoks potensial < 200 (mV).

Ekosistem gambut terdegradasi dengan indikator :

a. tidak berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30%;

b. kedalaman muka air tanah ≥ 100 cm;

c. bersifat hidrofobik dengan pH < 4;

d. serta nilai redoks potensial ≥ 200 (mV).

Atas dasar tutupan vegetasinya, ekosistem gambut terdegradasi selanjutnya

dikelompokkan menjadi :

a. terdegradasi ringan, dimana masih terdapat jenis pohon pioneer dan jenis pohon klimax;

b. terdegradasi sedang, masih tersisa jenis pohon pioneer;

c. terdegradasi berat, tidak tersisa jenis pioneer maupun jenis klimax.

Dari ex PLG Kalteng diusulkan kriteria dan indikator untuk menentukan kawasan

konservasi flora dan fauna. Rancangan kriteria dan indikator yang diusulkan mencakup

empat komponen yaitu:

1. Biologi (Bobot 50 %) dengan tiga Kriteria (Penutupan Lahan, Flora, dan Fauna) dan 17

Indikator,

2. Fisik-Kimia (Bobot 20 %) dengan dua Kriteria (Fisik dan Kimia) dan tiga Indikator,

3. Sosial-Ekonomi-Budaya (Bobot 17,5%) dengan empat Kriteria (Pemanfaatan Lahan,

Mata Pencaharian, Pendapatan dan Penduduk) dan empat indikator,

Page 4: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

ii

4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi

Pendukung) dan empat Indikator.

Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah melakukan penelitian tiga topik riset terkait

rehabilitasi yaitu: (1) uji jenis pohon potensial; (2) uji implementasi pola rehabilitasi; dan

(3) uji penambatan kanal. Riset rehabilitasi dilakukan di HRG Jambi, Sumsel dan Kalteng.

Sebanyak 52 jenis pohon potensial yang dikelompokan sebagai berikut: 15 jenis

pohon lokal HRG, 25 jenis keluarga dipterokarpa, 7 jenis pohon cepat tumbuh non gambut,

dan 3 jenis pohon penghasil bio-diesel telah diuji di lahan gambut terdegradasi. Pola

rehabilitasi yang diuji adalah:

(a) Percepatan suksesi alam (plot uji di HLG Sei Buluh, Jambi).

(b) Rehabilitasi dengan minimum input manajemen lahan (plot uji di CKPP Taruna Jaya

Kalteng).

(c) Rehabilitasi dengan optimum input manajemen lahan (plot uji di area PT WKS

Jambi).

Hasil sementara uji rehabilitasi di Jambi dan Sumsel mengindikasikan bahwa

penanaman pada lahan gambut tanpa pengaturan tata air dan pembebasan gulma yang

intensif akan menekan tingkat survival dan pertumbuhan tanaman. Di sisi lain, pengelolaan

HRG dengan sistim drainase, meningkatkan survival dan pertumbuhan pohon, namun

diindikasikan terjadi penurunan permukaan lahan (subsiden). Penurunan permukaan lahan

di HRG dengan drainase di Sumsel sebesar 17 cm/tahun. Upaya penambatan kanal dinilai

belum efektif dalam mempertahankan muka air tanah pada kondisi ideal. Pada tahun 2013

dan 2014 plot uji di HLG Londerang, Jambi dan KHDTK Tumbang Nusa, Kalteng

terbakar. Plot uji penanaman yang masih utuh ada di PT. WKS Jambi dan di Kabupaten

Ogan Komering Ilir, Sumsel.

Terkait luaran 5.3., dari pengamatan selama dua tahun (2010 dan 2011) telah

diperoleh data fenologi dari 28 jenis pohon HRG di dua lokasi yaitu HRG Senepis, Riau

dan HRG Tumbang Nusa, Kalteng. Data ini baru dapat dimanfaatkan untuk memprediksi

musim berbunga dan berbuah jenis HRG. Sedangkan untuk mempelajari pengaruh

perubahan iklim, pengamatan harus dilakukan pada jangka panjang (minimum 10 tahun).

Terkait luaran 5.4., konsep pengelolaan HRG dengan pola partisipatif dikaji di

KHDTK Tumbang Nusa dan TN Sebangau, Kalteng. Di KHDTK Tumbang Nusa,

masyarakat yang bermukim di sekitar hutan dilibatkan dalam pengelolaan HRG bekas

terbakar, terutama dalam pemilihan jenis pohon dan pola penanamannya. Pohon yang akan

dikembangkan dalam kegiatan rehabilitasi didasarkan pada preferensi dengan

memperhatikan kaidah-kaidah dan peraturan yang berlaku untuk merehabilitasi kawasan

konservasi. Namun demikian pola kolaborasi ini amat ditentukan oleh sosial budaya

masyarakat setempat. Oleh sebab itu riset serupa masih perlu dilakukan pada berbagai

kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola

partisipatif di TN Sebangau merupakan tipe partisipasi konsultasi dengan pendekatan

pengambilan keputusan secara top down. Program kegiatan pengelolaan hutan bersama

masyarakat di TN Sebangau, berupa pembentukan Forum Masyarakat (Formas), Regu

Pemadam Kebakaran (RPK) dan Pam Swakarsa. Ketiga kelembagaan sudah cukup

berkembang dengan baik, namun tingkat partisipasi masyarakat masih rendah. Jika

kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian hutan tetap rendah, ada kecenderungan

tingkat partisipasi berubah menjadi tingkat partisipasi manipulatif.

Terkait luaran 5.5., riset deforestasi HRG dan kaitannya dengan emisi GRK yang

dilakukan di Kabupaten Katingan Kalteng, telah memformulasikan persamaan allometrik

pendugaan cadangan biomas. Berdasarkan persamaan allometrik lokal tersebut maka dapat

diduga perubahan cadangan biomassa yang selanjutnya dikonversi menjadi serapan CO2.

Page 5: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

iii

Hasil perhitungan menunjukan bahwa serapan karbon di HRG terdegradasi ke hutan

primer sebesar 19 ton CO2 e/ha/thn. Serapan karbon tersebut masih jauh lebih tinggi dari

emisi gambut sebesar 9 ton CO2 e/ha/thn dari penurunan ketebalan gambut (subsiden), atau

ada surplus serapan karbon sebesar 10 ton CO2e/ha/thn. Hasil serupa juga ditunjukan pada

riset lanjutan yang dilakukan di lahan gambut Kabupaten Katingan pada HRG dengan

sistim drainase (kanal). Serapan CO2 pada tutupan hutan yang terdegradasi karena adanya

drainase adalah sebesar 41,74 ton CO2e/ha/th. Dilihat dari emisinya, tutupan hutan ini

mengemisikan CO2 sebesar 30,79 ton/ha/th, atau lebih tinggi sebesar sekitar 20 ton

CO2e/ha/th dibanding HRG tanpa drainase. Di sisi lain tingginya emisi karbon masih

diimbangi dengan surplus resapan sebesar 11 ton CO2e/ha/th. Target penurunan emisi di

Kabupaten Katingan akan dapat ditempuh melalui penambatan kanal, penanggulangan

kebakaran gambut, percepatan rehabilitasi, dan pemanfaatan gambut terdegradasi dengan

memperhatikan aspek ekologi gambut.

Strategi rehabilitasi HRG terdegradasi didasarkan pada tingkat kerusakan dan status

kawasannya. Adapun pola rehabilitasi dan jenis lokal HRG yang direkomendasikan adalah

sebagai berikut :

1. Pada HRG dengan tingkat kerusakan ringan, rehabilitasi dapat dilakukan dengan pola

percepatan suksesi alam,

2. Pada HRG dengan tingkat kerusakan sedang, rehabilitasi dapat dilakukan dengan pola

minimum input manajemen lahan,

3. Pada HRG dengan tingkat kerusakan berat dan status hutannya adalah Hutan Produksi,

rehabilitasi harus dilakukan dengan pola optimum input manajemen lahan. Penanaman

dapat menggunakan jenis asli HRG ataupun jenis pohon cepat tumbuh non gambut,

4. Pada HRG dengan tingkat kerusakan berat dan status hutannya adalah Hutan

Konservasi dan Hutan Lindung, rehabilitasi harus dilakukan dengan pola optimum

input manajemen lahan, panambatan kanal dan penanaman menggunakan jenis pioneer

dan klimaks asli HRG.

5. Jenis lokal HRG yang direkomendasikan untuk upaya rehabilitasi adalah: untuk

kelompok jenis pioneer: Dyera lowii, Crotoxylon arborescens, Combretocarpus

rotundatus dan Melaleuca leucadendron; untuk jenis klimaks yang direkomendasikan

adalah: Shorea balangeran, Vatica rassak, Alseodaphne sp. dan Gonystylus bancanus.

Kata Kunci : Hutan Rawa Gambut (HRG), tipologi HRG, rehabilitasi, fenologi, pola

partisipatif, degradasi hutan, emisi gas rumah kaca (GRK) dan serapan

karbon.

Page 6: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah
Page 7: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

v

KATA PENGANTAR

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK.23/VIII-SET/2009

tentang Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Tahun 2010-2014, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) mengemban

tanggung jawab pelaksanaan 7 (tujuh) Rencana Penelitian Integratif (RPI) dari 25 RPI

Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI sebagai komponen dari Program Litbang Hutan

Alam, 2 RPI komponen dari Program Litbang Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari

Program Litbang Pengelolaan DAS. Setiap RPI dielaborasi ke dalam beberapa kegiatan

penelitian untuk menjawab tujuan (ultimate objectives), sasaran (specific objectives) dan

luaran (outputs) RPI yang telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Seluruh

kegiatan penelitian pada setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya untuk

menghasilkan informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh.

Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun 2010-

2014 (Revisi) adalah Pengelolaan Hutan Rawa Gambut. Sampai akhir 2014, RPI tersebut

akan menyelesaikan 35 kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan memperoleh IPTEK

pengelolaan hutan rawa gambut secara bijaksana dengan mempertimbangkan fungsi

ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Sampai dengan akhir 2014, ke 35 kegiatan

penelitian tersebut telah dilaksanakan oleh Puskonser, BPK Aek Nauli, BPK Palembang,

BPK Banjarbaru, BPK Manokwari, dan Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber

daya Alam Samboja. Output ke 35 kegiatan penelitian tersebut kemudian disintesis untuk

melihat kemajuan/capaian kinerja RPI, dan menilai apakah kegiatan penelitian dan

pelaksanaannya sudah selaras (in line) dengan pencapaian tujuan dan sasaran RPI pada

akhir tahun 2014.

Dalam Buku Sintesis RPI Tahun 2010-2014 ini, kita dapat melihat berbagai output

dalam bentuk informasi ilmiah dan teknologi diantaranya, produk purangpos untuk

rehabilitasi lahan gambut bekas terbakar, informasi tipologi dan sebaran HRG, paket

teknologi rehabilitasi HRG terdegradasi, pola pembungaan dan pembuahan 28 jenis pohon

HRG, bentuk kelembagaan dengan pola partisipatif, serta dampak-dampak deforestasi

terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Koordinator RPI beserta tim penelitinya juga

memperkaya sintesis ini dengan pool of knowledge yang ada.

Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Pengelolaan

Hutan Rawa Gambut beserta tim penelitinya yang telah menunaikan tugasnya dengan baik

menyusun sintesis akhir RPI 2010-2014 ini.

Semoga sintesis ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan menjadi baseline

data dalam kegiatan-kegiatan litbang yang akan datang di bidang HRG.

Kepala Pusat,

Ir. Adi Susmianto, M.Sc.

NIP. 19571221 198203 1 002

Page 8: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah
Page 9: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

vii

TIM PELAKSANA PENELITIAN RPI 5

KOORDINATOR : Dr. Ir. Herman Daryono

Sub Koordinator : Ir. Atok Subiakto, M.App.Sc

PELAKSANA :

Puskonser : Dr. Taulana Sukandi, M.Sc

Dr. I Wayan Susi Darmawan, M.Si

Ir. Atok Subiakto, M.App

Ir. Sukaesih Pradjadinata, M.Sc

Dr. Made Hesti Lestari Tata, S.Si., M.Si

Mawazin, SSi

Budi Narendra, S.Hut, MS

BPK Aek Nauli : Cut Rizlani Kholibrina, S.Hut

BPK Banjarbaru : Triwira Yuwati, S.Hut., M.Sc

Ir. Sudin Panjaitan

BPK Manokwari : Ir. David Seran (Alm)

Dr. Pudja Mardi Utomo, MP

BPK Palembang : Ir. Bastoni, M.Sc

Adi Kunarso, S.hut., M.Sc

Balitek KSDA Samboja : Ardianto Wahyu Nugroho, S.Hut

Page 10: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah
Page 11: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

ix

DAFTAR ISI

Hal.

EXECUTIF SUMMARY ........................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................................ v

TIM PELAKSANA PENELITIAN RPI 5 ................................................................. vii

DAFTAR ISI ............................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xiii

I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar Belakang .............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1

C. Metode Sintesis Antara ................................................................................. 3

D. Luaran ........................................................................................................... 3

E. Pelaksana ....................................................................................................... 3

II. KLASIFIKASI TIPOLOGI DAN SEBARAN HUTAN RAWA GAMBUT

(RPI 5.1.) ............................................................................................................. 3

A. Pendahuluan .................................................................................................. 3

B. Kegiatan Litbang ........................................................................................... 4

C. Hasil Penelitian Tahun 2010-2014 ................................................................. 6

III. TEKNOLOGI REHABILITASI HRG TERDEGRADASI (RPI 5.2.) ............... 9

A. Pendahuluan .................................................................................................. 9

B. Kegiatan Litbang ........................................................................................... 10

C. Hasil Penelitian ............................................................................................. 11

IV. INFORMASI ADAPTASI FENOLOGI JENIS-JENIS HRG (RPI 5.3.) ............ 18

A. Pendahuluan ................................................................................................... 18

B. Kegiatan Litbang .............................................................................................. 18

C. Hasil Penelitian ............................................................................................... 18

V. ALTERNATIF PENGELOLAAN HRG DENGAN POLA PARTISIPATIF

(RPI 5.4.) ............................................................................................................. 21

A. Pendahuluan ................................................................................................... 21

B. Kegiatan Litbang .............................................................................................. 21

C. Hasil Penelitian ............................................................................................... 22

VI. DAMPAK DEFORESTASI HRG TERHADAP EMISI GAS RUMAH KACA

(GRK) (RPI 5.5.) ................................................................................................. 26

A. Pendahuluan ................................................................................................... 26

B. Kegiatan Litbang .............................................................................................. 26

C. Hasil Penelitian ............................................................................................... 27

VII. SINTESIS ............................................................................................................ 33

A. Klasisfikasi Tipologi dan Sebaran HRG (RPI 5.1.) ....................................... 34

B. Teknologi Rehabilitasi HRG (RPI 5.2.) .......................................................... 26

C. Adaptasi Fenologi Jenis-jenis HRG (RPI 5.3.) ............................................... 27

D. Alternatif Pengelolaan HRG dengan Pola Partisipatif (RPI 5.4) ................... 35

E. Dampak Deforestasi HRG terhadap Penurunan Emisi 26% (RPI 5.5.) ......... 36

Page 12: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

x

DAFTAR ISI (lanjutan)

Hal.

VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .......................................................... 38

A. Kesimpulan ................................................................................................... 38

B. Rekomendasi ............................................................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 40

Page 13: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Hal.

1. Lokasi pengambilan contoh pada setiap kelompok hutan rawa gambut ....... 4

2. Kondisi HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua ...................................... 6

3. Kimia tanah HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua ............................... 7

4. Pertumbuhan pada plot uji rehabilitasi di Aceh ............................................. 12

5. Pertumbuhan jenis pohon cepat tumbuh non gambut di HLG Londerang ... 14

6. Pertumbuhan jenis pohon cepat tumbuh non gambut di PT WKS ............... 14

7. Pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di HLG Londerang ........................... 15

8. Pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di PT WKS ....................................... 15

9. Pertumbuhan jenis pohon penghasil bio-diesel di HLG Londerang ............ 16

10. Pertumbuhan jenis lokal HRG umur 12 bulan di HLG Londerang, Jambi ... 17

11. Pertumbuhan jenis lokal HRG di CKPP Kalteng umur 12 bulan ................. 61

12. Pertumbuhan jenis lokal HRG di PT WKS ................................................... 63

13. Fenologi jenis pohon potensial HRG di Sei Senepis, Riau ........................... 19

14. Fenologi jenis pohon potensial HRG di Tumbang Nusa, Kalteng ................ 19

15. Sifat kimia gambut lapisan atas (0-50 cm) di berbagai tipe penggunaan

lahan di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah ............................................... 23

16. Kerapatan individu dan jumlah jenis tinglat pohon di berbagai tipe hutan

dan agroforest di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah ................................ 24

17. Target penurunan emisi setiap bidang (Perpres No. 61 tahun 2011) ............ 29

18. Emisi gas CO2 pada HRG terdegradasi dan di konversi dengan sistim

drainase ......................................................................................................... 30

19. Serapan karbon pada tiga kondisi HRG terdegradasi ................................... 31

Page 14: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah
Page 15: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

xiii

DAFTAR GAMBAR

Hal.

1. S leprosula (kiri) dan S selanica (kanan) di lahan gambut Perawang, Riau ... 16

2. Lahan penanaman dengan penyiapan lahan intensif (bersih total dan terbuka)

di kawasan PT WKS, Jambi ............................................................................ 16

3a. Penyebaran petak pengamatan studi biofisik di KHDTK Tumbang Nusa,

Kalimantan Tengah (tanda bintang = lokasi petak pengamatan) .................... 22

3b. Taman Nasional Sebangau. Tanda = desa lokasi penelitian: Kelurahan

Kereng Bangkirai, Desa Baun Bango dan Desa Tumbang Hiran (sumber:

BTN Sebangau, 2013) ..................................................................................... 22

4. Penyebaran kelas diameter di tiga tipe hutan di Tumbang Nusa, Kalimantan

Tengah. (HS = hutan sekunder; HT97 = hutan terbakar ringan tahun 1997;

HT04 = hutan terbakar sedang tahun 2004) .................................................... 23

5. Saluran drainase di kawasan hutan terdegradasi ............................................. 30

Page 16: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah
Page 17: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan rawa gambut (HRG) Indonesia merupakan kawasan hutan dengan ekosistem

unik yang luasnya 20,2 juta Ha atau sekitar 15% dari luas kawasan hutan Indonesia yang

saat ini tersisa sekitar 133,7 Ha. HRG tersebar di beberapa kepulauan yaitu Sumatera (6,4

juta Ha), Kalimantan (4,8 juta Ha) dan Papua (3,7 juta Ha). HRG merupakan kawasan

hutan lahan basah (wetland) dengan lantai hutan berupa timbunan bahan organik yang

merupakan stok karbon yang tinggi. HRG merupakan sumberdaya lahan dan hutan dengan

potensi ekonomi yang tinggi baik dari potensi hasil hutan, stok karbon dan kandungan

sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Di samping potensi ekonomi, HRG juga

merupakan kawasan yang yang memiliki kemampuan penyerapan karbon tinggi. Potensi

serapan karbon pada HRG ditaksir sebesar 200 tC/ha (Agus, 2007). HRG juga merupakan

habitat dari banyak satwa dilindungi seperti harimau, gajah, bekantan, dll.

Walaupun potensi ekonomi HRG yang tinggi, di sisi lain ekosistem HRG sangat

rentan terhadap perubahan lingkungan akibat proses pemanfaatan lahan.Karakteristik

umum lahan gambut dicirikan dengan kandungan bahan organik yang tinggi, pH yang

rendah, Nilai KTK (Kapasitas Tukar Kation) yang tinggi dan nilai KB (Kejenuhan Basa)

yang rendah, sehingga tingkat kesuburannya rendah. Kondisi ini yang belum banyak

dipahami baik oleh penentu kebijakan maupun masyarakat yang ingin memanfaatkan

kawasan HRG. Akibat kekeliruan dalam pemanfaatan HRG, banyak terjadi kerusakan pada

kawasan HRG. Oleh sebab itu, HRG merupakan ekosistem yang unik namun rentan,

sehingga pemanfaatannya harus dilakukan secara bijaksana.

Akibat kebijakan dalam pemanfaatan HRG yang tidak mempertimbangkan faktor

ekologi HRG, hampir 50% HRG telah terdegradasi sehingga potensi ekonomi dan fungsi

lingkungannya menghadapi masalah dan tantangan yang harus ditangani pemerintah

dengan bijak pula. Salah satu upaya untuk mengurangi kerusakan HRG, pemerintah telah

mengeluarkan Inpres No. 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian ijin baru dan tata

kelola hutan dan lahan gambut yang lebih dikenal dengan Moratorium Gambut. Badan

Litbang Kehutanan juga telah menetapkan aspek HRG menjadi salah satu RPI dari tahun

2010 sampai dengan 2014.

B. Rumusan Masalah

Kondisi ekonomi yang stabil dengan pertumbuhan ekonomi pertahunnya sebesar 4-6%

mendorong berkembangnya investasi di berbagai sektor, termasuk sektor yang terkait

dengan pemanfaatan sumber daya lahan. Di sisi lain, perkembangan jumlah penduduk

sebesar 3% pertahun juga menyebabkan meningkatnya kebutuhan lahan sebagai sumber

kehidupan. Salah satu tipe lahan yang banyak mendapat tekanan untuk dikonversi adalah

HRG. Tekanan terhadap HRG yang puncaknya terjadi pada tahun 1995 dengan

diluncurkannya proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektar untuk lahan pertanian.

Dewasa ini sekitar 50% kawasan HRG atau sekitar 300.000 Ha telah mengalami

kerusakan, dan tekanan terhadap HRG masih terus berlangsung. Pengelolaan HRG

Page 18: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 2

memerlukan informasi terkini tentang tipologi dan sebaran HRG yang terletak mulai dari

Indonesia Bagian Barat (Aceh) sampai Indonesia Bagian Timur (Papua). Minimnya

informasi terkait informasi kondisi tipologi dan sebaran HRG dijadikan komponen litbang

pertama pada RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut.

Secara tradisional masyarakat memanfaatkan HRG sebagai lahan untuk produksi

berbagai komoditas pertanian. Pemanfaatan HRG oleh masyarakat sekitar hutan diawali

dengan pembukaan lahan yang umumnya dengan tebas bakar. Masalah kebakaran hutan

merupakan masalah tahunan yang yang sudah menjadi isu internasional. Kawasan HRG

yang terbakar dikelompokan dalam tiga kategori kerusakan yaitu sedang, berat dan parah.

Seperti diketahui bahwa hutan gambut sangat sensitif terhadap gangguan seperti kebakaran

hutan dan mudah mengalami kerusakan lingkungan seperti peningkatan keasaman,

defisiensi unsur hara, subsidence dan peningkatan emisi karbon (Agus dan Subiksa, 2008;

Barchia, 2006; Wibisono et al., 2005; Najiyati et al., 2005; Limin, 2004). Berbeda dengan

hutan alam lahan kering, tingkat kesulitan untuk pemulihan dan dampak yang diakibatkan

oleh kerusakan HRG lebih tinggi dan komplek. Dari aspek sosial, ada keengganan

sebagian masyarakat untuk berpartisipasi penanaman dengan menggunakan jenis pohon

asli setempat. Masyarakat menilai bahwa jenis pohon lokal seperti tumih dan gerunggang

tidak perlu ditanam karena alam telah menyediakan dengan cukup. Mereka mengharap

dapat mengusahakan lahan gambut dengan jenis kelapa sawit atau karet. Sedangkan dari

jenis pohon hutan mereka lebih memilih jelutung, jabon dan bahkan jati (masyarakat

transmigran). Pemilihan jenis menjadi isu penting dalam rehabilitasi lahan gambut. Jenis

terpilih harus memiliki kesesuaian dangan lahan gambut dan diterima oleh masyarakat.

Aspek rehabilitasi HRG bekas terbakar menjadi komponen kedua dalam RPI 5.

Dewasa ini dikenal lebih dari 50 jenis-jenis pohon HRG yang tergolong sebagai jenis

pohon komersial baik untuk hasil kayunya maupun hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti

resin, kulit kayu, buah dan minyak atsiri (Wibisono et al., 2005; Daryono, 2000;

Soerianegara dan Lemmens, 1994). Pada tahap awal rehabilitasi lahan gambut terdegradasi

diperlukan jenis pionir yang benih atau bibitnya mudah diperoleh. Namun benih dan bibit

jenis andalan HRG mulai sulit diperoleh. Kelangkaan benih dan bibit diindikasikan akibat

adanya perubahan iklim. Masalah kelangkaan benih dan bibit, menjadi salah satu

komponen dalam RPI 5 yang berjudul adaptasi fenologi jenis-jenis pohon HRG.

Salah satu komponen stakeholder HRG adalah masyarakat sekitar hutan. Komunitas

ini hidupnya bergantung dari lahan HRG, sehingga masyarakat sekitar hutan seringkali

menjadi penyebab kerusakan HRG karena kegiatan pembukaan lahan yang seringkali

diperparah dengan menggunakan api. Agar HRG dapat dikelola secara lestari, maka

masyarakat disekitarnya harus ikut dilibatkan dan dapat memanfaatkan HRG secara

bijaksana. Komponen ke empat dalam RPI 5 adalah litbang pengelolaann HRG dengan

pola partisipatif.

Dinamika cadangan karbon vegetasi pada hutan gambut bekas kebakaran memberikan

dukungan data yang reliable dan valid untuk menentukan nilai faktor serapan pada hutan

gambut bekas terbakar. Dukungan data ini dapat digunakan untuk menghitung target

penurunan emisi dari hutan gambut melalui upaya konservasi cadangan karbon

sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun

2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Komponen 5

Page 19: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 3

pada RPI 5 adalah litbang dampak deforestasi HRG dalam upaya realisasi target penurunan

emisi 26%.

C. Tujuan dan Sasaran

Tujuan RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut (RPI 5) adalah mendapatkan IPTEK

pengelolaan HRG secara bijaksana dengan mempertimbangkan fungsi ekologi, sosial

budaya dan ekonomi.

Sasaran penelitian integratif ini adalah agar tersedia informasi dan data, serta paket

teknologi yang diperlukan dalam pengelolan HRG meliputi:

1. Data dan informasi mengenai tipe dan sebaran HRG terdegradasi;

2. Data dan informasi mengenai klasifikasi tipologi dan sebaran HRG atas dasar kondisi

biofisik hutan;

3. Tersedia data dan informasi serta paket teknologi rehabilitasi HRG;

4. Tersedia data dan informasi pencegahan dan pengendalian kebakaran HRG;

5. Tersedia data dan informasi pola pembungaan dan pembuahaan jenis-jenis HRG;

6. Tersedia data dan informasi kelembagaan pengelolaan HRG dengan pola partisipatif;

7. Tersedia data dan informasi dampak deforesasi terhadap emisi GRK;

D. Luaran

RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut mencakup lima luaran, yang menjadi

komponen peneltian pada RPI 5 untuk meyediakan :

1. Data dan informasi mengenai klasifikasi tipologi dan sebaran HRG atas dasar kondisi

biofisik hutan;

2. Data dan informasi serta paket teknologi rehabilitasi HRG terdegradasi;

3. Data dan informasi pola pembungaan dan pembuahan jenis-jenis HRG;

4. Data dan informasi kelembagaan pengelolaan HRG dengan pola partisipatif;

5. Data dan informasi dampak deforesasi terhadap emisi GRK;

E. Pelaksana

Pelaksanaan komponen penelitian RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dilakukan

oleh peneliti-peneliti dari Puskonser dan lima Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang

Kehutanan yaitu:

1. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi

2. Balai Penelitiaan Kehutanan Aek Nauli

3. Balai penelitian Kehutanan Palembang

4. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

5. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Samboja

6. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari.

Page 20: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 4

II. KLASIFIKASI TIPOLOGI DAN SEBARAN

HUTAN RAWA GAMBUT (RPI 5.1.)

A. PENDAHULUAN

Degradasi Hutan Rawa Gambut (HRG) disebabkan oleh beragam faktor, antara lain

penebangan ilegal, penjarahan, kebakaran hutan, perambahan liar, banjir, tsunami dan

lainnya. Perbedaan faktor penyebab tersebut mempengaruhi karakteristik dan tipologi

lahan dan vegetasi hutan rawa gambut yang terdegradasi. Tipe dan karakteristik rawa

gambut dataran rendah tentu juga akan berbeda dibandingkan lahan gambut dataran tinggi.

Oleh karenanya untuk mendukung keberhasilan rehabilitasi rawa gambut diperlukan

informasi yang tepat dan spesifik mengenai karakteristik biofisik dan tipologi rawa gambut

yang telah terdegradasi. Informasi ini akan menjadi landasan ilmiah dalam penyusunan

beragam kriteria dan indikator hutan rawa gambut yang tedegradasi untuk diaplikasikan

pada penetapan kebijakan pada suatu kawasan sesuai dengan fungsinya.

Sampai saat ini kondisi penutupan lahan gambut belum seluruhnya diketahui, bahkan

informasi luas HRG di Indonesia beragam. Agar luas dan kondisi penutupan HRG dapat

diperoleh secara akurat, maka perlu dilakukan kegiatan invetarisasi HRG pada masing-

masing kawasan di Indonesia. Mengingat karakteristik HRG yang berbeda dengan hutan

lahan kering, inventarisasi dengan sistim sensus tidak mudah dilakukan. Cara yang lebih

praktis dalam inventarisasi adalah dengan penafsiran citra satelit, namun harus diikuti

ground check dengan jumlah sampling yang memadai. Pada kawasan yang dibebani hak

pengelolaan (IUPHHK), kegiatan ini dapat dilakukan dengan kegiatan IHMB.

B. KEGIATAN LITBANG

1. Review Kondisi Biofisik HRG di Sumatera Bagian Utara

Karakteristik biofisik dan lingkungan Hutan Rawa Gambut yang diukur adalah: (a)

Ketebalan Gambut; (b) Aras Air Tanah; (c) Penurunan Tanah dan (d) Pengukuran

tambahan lainnya. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada tiga kelompok hutan rawa

gambut yakni : (1) Kelompok rawa gambut Bakongan dan (2) Trumon di Kabupaten Aceh

Selatan dan (3) Kelompok hutan rawa gambut Singkil di Aceh Singkil.

Tabel 1. Lokasi pengambilan contoh pada setiap kelompok hutan rawa gambut

No. Lokasi Titik Ikat Deskripsi Singkat Lokasi

1. Desa Ujung

Padang

Kecamatan Kluet

Selatan

N 030 01’ 58,9”

E 0970 20’ 34,6”

- Ditemui gambut dengan kedalaman 4,60 m;

- Suhu di lokasi 38,220C dengan kelembaban 65,69 %;

- Hasil diskusi dengan masyarakat setempat mengatakan bahwa pada tahun 1974 lokasi ini masih berupa hutan

lebat, lalu HPH masuk tahun 1975 dan membuka hutan

rawa gambut, kini yang tersisa adalah lahan yang

terbuka dan alang-alang serta pakis.

2. Desa Ujung Mangki

Kec. Bakongan

N 020 55” 42,8’

E 0900 26”37,8’

- Ketebalan gambut tidak terlalu tebal yaitu 90 cm;

- Suhu 35,500C dan kelembaban 61,20%.

- Beberapa asosiasi yang ditemukan adalah pakis,

melastoma dan perdu-perduan.

Page 21: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 5

No. Lokasi Titik Ikat Deskripsi Singkat Lokasi

3. Desa Ujung

Padang

Kecamatan

Bakongan

N 020 56” 08,9’

E 0970 29”25,0’

- Kedalaman gambut 2,70 m;

- Suhu di lokasi 36,440C, dengan kelembaban 64,21%;

- Asosiasi yang ditemukan: beberapa perdu.

- Lokasi ini sebelumnya hutan lebat, sejak 3 tahun yang lalu dibuka. Saat ini tidak ada pohon yang tersisa.

4. Desa Ujong Tano

Kec. Trumon

N 02o 50’15”

E 97o 38’ 50”

- Ketebalan gambut 100 – 150 cm;

- Vegetasi didominasi akar-akaran, perdu dan pakis.

5. Desa Pinto Rimba

Kec. Trumon

N 02o 50’45”

E 97o 44’ 12”

- Ketebalan gambut 100 – 150 cm;

- Vegetasi didominasi akar-akaran dan pakis.

6. Desa Kuala Baru N 02o18’45”

E 97o45’5”

- Ketebalan gambut 100 – 300 cm;

- Sebagian besar pohon dan vegetasi lainnya mati akibat limpasan air laut pada saat tsunami.

7. Desa Caritas N 02o18’5”

E 97o48’10”

- Ketebalan gambut 100 – 400 cm.

- Vegetasi di atas rawa gambut umumnya pakis-pakisan dan alang-alang.

8. Desa Batang N 02o18’30”

E 97o49’40”

- Ketebalan gambut 100 – 600 cm;

- Vegetasi di atas rawa gambut umumnya pakis-pakisan dan alang-alang.

- Pembuatan kanal untuk drainase akan membuat subsiden yang cukup besar.

- Pertumbuhan kelapa sawit cenderung miring.

9. Desa Pulo

SarokKec. Singkil

N 02o16’05”

E 97o50’10”

- Ketebalan gambut 100 – 700 cm;

- Vegetasi di atas rawa gambut umumnya tersisa pakis-pakisan;

- Terjadi subsiden (penurunan permukaan tanah hingga

150 cm akibat gempa bumi).;

- Perubahan salinitas mengakibatkan banyak vegetasi

pohon pada hutan rawa gambut dan mangrove mati.

10. Desa Ujung

Bawang Kec. Singkil

N 02o15’55”

E 98o02’15”

- Vegetasi di atas rawa gambut umumnya pakis-pakisan dan alang-alang.

- Pembuatan kanal untuk drainase akan menyebabkan subsidensi yang cukup besar.

- Pertumbuhan kelapa sawit cenderung miring.

2. Review Tipe dan Sebaran HRG di Sumatera Bagian Utara

Kegiatan ini dilakukan dengan memadukan pendekatan analisis citra satelit dan survey

pengukuran lapangan pada berbagai tipe dan kondisi hutan rawa gambut. Hasil analisa

citra satelit Landsat MSS-5 (Multi Spectral Scanner) rekaman tahun 1990 (Wahjunto et al.,

2005) digunakan untuk mengetahui kondisi penggunaan lahan dan penutupan vegetasi di

wilayah lahan gambut Pulau Sumatera pada masa lalu. Citra satelit Landsat Thematic

Mapper-7 (TM-7) di daerah Sumatera hasil rekaman tahun 2010 dianalisis untuk

identifikasi informasi penyebaran dan ketebalan gambut melalui analisis penggunaan lahan

pada saat ini (existing land-use) sebagai pedoman dalam menentukan sebaran dan luasan

total lahan gambut Sumatera, tetap mengacu pada data/informasi tipe, sebaran dan

ketebalan gambut hasil kajian tahun 1990. Citra satelit Landsat Thematic Mapper-7 (TM-7)

hasil rekaman tahun 2000-2010 juga digunakan untuk identifikasi dan inventarisasi

penyebaran lahan gambut.

Page 22: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 6

3. Rancangan Penetapan Kriteria dan Indikator Kawasan Konservasi di

HRG ex PLG Kalteng

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun Rancangan Penetapan Kriteria dan Indikator

(RPKI) kawasan konservasi flora dan fauna pada HRG di areal eks PLG Kalteng. Sasaran

penelitian untuk Tahun 2012 adalah tersedianya data dan informasi hasil penentuan Nilai

Total K&I (NTKI) dan hasil pengujiannya. Penelitian dilakukan di sekitar Camp Release

dan sekitar Camp Bagantung. Kedua lokasi tersebut berada di Kecamatan Mantangai,

Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.

Metode survey digunakan untuk pengumpulan data primer dengan rincian sebagai

berikut:

1. Pembuatan jalur transek dan/atau penentuan titik secara purposive berdasarkan

keterwakilannya dilakukan untuk pengumpulan data vegetasi dan satwa.

2. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data sosial-ekonomi-budaya dan

kelembagaan. Responden dan nara sumber ditentukan secara purposive berdasarkan

keterwakilannya.

4. Klasifikasi Tipologi dan Sebaran Hutan Rawa Gambut Berdasarkan

Kondisi Biofisik Hutan di Papua

Provinsi Papua sendiri memiliki lebih dari 10 juta ha lahan gambut, namun informasi

terkait tipologi, sebaran dan kondisi biofisiknya masih sangat terbatas. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui kondisi hutan rawa gambut seperti tipologi, karakteristik dan

sebaran hutan rawa gambut di tanah Papua. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2012

s/d November 2012 di Kabupaten Sarmi dan dilakukan kembali pada bulan November

2013.

Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan cara survey areal yang berpotensi

memiliki gambut. Selanjutnya dilakukan pencatatan jenis dan tipe vegetasi yang ada dan

dilakukan pengambilan contoh tanah untuk dianalisa.

C. HASIL PENELITIAN TAHUN 2010 – 2012

1. Sebaran dan Kondisi Biofisik HRG di Sumatera, Kalimantan dan

Papua

Sebaran utama hutan rawa gambut (HRG) ada di Pulau Sumatera, Kalimantan dan

Papua. Di pulau lain seperti Sulawesi juga ada HRG namun jumlahnya kurang dari 2% dari

total luas HRG di Indonesia. Luas dan sebaran HRG untuk masing-masing pulau utama

disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kondisi HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua

Parameter Sumatera Kalimantan Papua

Luas 7,2 juta Ha 6,5 juta Ha 10,9 juta Ha

Sebaran Aceh, Sumatera Utara, Riau,

Jambi dan Sumatera Selatan

Kalimantan Barat,

Kalimantan Tengah,

Kalimantan Selatan

Papua Barat, Papua

Bagian Tengah dan

Papua Bagian Selatan

Kondisi HRG sekunder terdegradasi HRG sekunder terdegradasi HRG perawan, HRG

Page 23: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 7

Parameter Sumatera Kalimantan Papua

ringan dan berat ringan dan berat sekunder terdegradasi

Kedalaman 30 – 450 cm 60 – 750 cm 50 – 350 cm

Jenis pohon

klimaks

Jelutung, ramin, meranti,

punak, perepat, gelam,

beriang

Jelutung, ramin, meranti,

balangeran, perupuk,

gerunggang

Pulai, terentang, nyatoh,

merbau, gempol, akasia,

sagu

Periode genangan 9 – 12 bulan 3 – 12 bulan 4 – 12 bulan

Papua merupakan pulau yang memiliki kawasan HRG terluas di Indonesia. Kondisi

hutannya pun relatif lebih baik dibandingkan HRG yang ada di Sumatera dan Kalimantan.

Pemanfaatan HRG di papua relatif masih lebih rendah dibandingkan di Sumatera dan

Kalimantan. Komposisi jenis pohon klimaks HRG di Papua berbeda dengan yang ada di

Sumatera dan Papua. Perbedaan vegetasi di Indonesia bagian Barat (Sumatera dan

kalimantan) dan Indonesia bagian Timur (Papua) akibat sejarah evolusi dan geologi

lempeng bumi yang secara imaginer dipisahkan oleh garis Wallace.

Berdasarkan ketebalannya, gambut dalam (> 2 meter) mendominasi lahan rawa

gambut di Sumatera (46%) dan Kalimantan (49%). Sedangkan di Papua, gambut dangkal

dan sedang (< 2 meter) adalah yang terluas (88%).

2. Kondisi Kimia Tanah HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua

Tingkat kesuburan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan relatif rendah dengan

keasaman yang tinggi. Data lahan gambut di Papua belum dapat disajikan karena masih

memerlukan klarifikasi lapangan.

Kandungan bahan organik lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan cukup tinggi (>

18%), namun kandungan mineralnya sangat rendah sampai sedang, seperti ditunjukan dari

pada Tabel 3. Konsekuensi dari kondisi ini, perubahan fungsi HRG menjadi perkebunan

akan memerlukan biaya tinggi untuk pengolahannya.

Tabel 3. Kimia tanah HRG di Sumatera, Kalimantan dan Papua

Parameter Sumatera Kalimantan Papua

pH (H2O) 3,3 – 3,5 3,3 – 4,2 n.a.

C-org (%) 18,3 – 61,9 23,0 – 57,3 n.a.

N-total (%) 0,5 – 0,7 0,6 – 1,2 n.a.

P-total (ppm) 11,6 – 13,5 18,0 – 38,8 n.a.

Pyrite (ppm) n.a. 103,0 – 237,1 n.a.

Ca (me/100g) 3,3 – 6,2 1,3 – 29,2 n.a.

Mg (me/100g) 2,0 – 2,7 1,4 – 3,5 n.a.

K (me/100g) 0,2 – 0,7 0,1 – 0,3 n.a.

Na (me/100g) 0,4 – 0,7 0,1 – 0,9 n.a.

KTK (me/100g) 58,8 – 73,8 96,4 – 153,9 n.a. KB (%) 7,5 – 28,0 4,0 – 29,0 n.a.

Tanah HRG di Sumatera dan Kalimantan bersifat masam. Tingginya keasaman lahan

selalu diikuti dengan tingginya nilai tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB).

Demikian pula tanah HRG ini mengandung pirit. Kadar C-organik umumnya > 20%. Hasil

analisis menunjukkan terjadinya peningkatan nilai sifat kimia tanah gambut pada lahan-

lahan pertanian yang dikelola intensif. Peningkatan tersebut terutama pada lapisan

permukaan, kecuali kadar C-organik, kemudian menurun dengan kedalaman tanah.

Page 24: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 8

Dinamika unsur hara umumnya beragam hanya pada lapisan atas (0-40 cm) yang

berhubungan dengan intensitas pengelolaan dan fluktuasi air tanah.

3. Tingkat Degradasi HRG

Atas dasar fungsi tata airnya, tingkat degradasi HRG dibagi menjadi: (a) ekosistem

gambut yang masih baik, dan (b) ekosistem gambut terdegradasi. Adapun indikator

untuk masing-masing kategori adalah :

Ekosistem gambut yang masih baik:

(a) kubah gambut masih berfungsi sebagai resapan air dengan luasan > 30% masih

tertutup tanaman keras alami;

(b) kedalaman muka air tanah di musim kemarau maksimum 40 cm;

(c) bersifat hidrofilik dengan pH ≥ 4;

(d) serta nilai redoks potensial < 200 (mV).

Sedangkan ekosistem gambut terdegradasi bila :

(a) tidak berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30%;

(b) kedalaman muka air tanah di musim kemarau diatas 40 cm;

(c) bersifat hidrofobik dengan pH < 4;

(d) serta nilai redoks potensial ≥ 200 (mV).

Kriteria ekosistem gambut yang masih baik (lestari) antara lain adalah (a) kubah

gambut masih berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30% dan masih

tertutup tanaman jenis pohon lokal; (b) Kedalaman muka air tanah di musim kemarau

maksimum 40 cm; (c) bersifat hidrofilik dengan pH ≥ 4; (d) serta nilai Redoks potensial <

200 (mV). Sedangkan ekosistem gambut dinilai telah rusak (terdegradasi) apabila (a) Tidak

berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30%; (b) Kedalaman muka air

tanah di musim kemarau diatas 450 cm; (c) bersifat hidrofobik dengan pH < 4; (d) serta

nilai Redoks potensial ≥ 200 (mV). Berdasarkan kriteria ini hampir sebagian besar

ekosistem hutan rawa gambut di pesisir pantai Barat Aceh termasuk kategori terdegradasi.

Berdasarkan penutupan vegetasinya sebagian besar ekosistem hutan rawa gambut

telah berubah menjadi ekosistem hutan sekunder. Sebagian hutan gambut sekunder yang

berada di pinggir jalan telah dikonversi menjadi areal perkebunan (umumnya kelapa

sawit). Sebagian besar hutan sekunder tersebut kemudian menjadi lahan terlantar dan

terdegradasi. Atas dasar tutupan vegetasinya tingkat degradasi HRG dibagi dalam tiga

kondisi yaitu:

1. HRG terdegradasi ringan masih ada jenis klimaks dan pioneer dengan potensi pohon

dengan diameter diatas 40 cm kurang dari 30 m3/ha

2. HRG terdegradasi sedang, tersisa hanya jenis pioneer dan tidak ada jenis pohon

klimaks.

3. HRG terdegradasi berat, tidak ada vegetasi pohon baik pioneer maupun klimaks

Tingkat degradasi HRG akan menentukan pola rehabilitasinya. Semakin berat

degradasinya, semakin intensif pola rehabilitasinya. Pola rehabilitasi akan dijelaskan pada

Bab III buku sintesa ini.

Page 25: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 9

4. Rancangan Penetapan Kriteria dan Indikator Kawasan Konservasi di

HRG ex PLG Kalteng

Penelitian “Rancangan Penetapan Kriteria dan Indikator kawasan konservasi di HRG

ex PLG Kalteng” diarahkan pada K&I untuk Kawasan Konservasi Flora dan Fauna

sehingga hanya mengambil K&I yang erat berhubungan dengan aspek tumbuhan dan

satwa. Pada penelitian ini telah ditentukan sebanyak empat prinsip:

(1) Biologi (Bobot 50 %) dengan tiga Kriteria (Penutupan Lahan, Flora, dan Fauna) dan 17

Indikator,

(2) Fisik-Kimia (Bobot 20 %) dengan dua Kriteria (Fisik dan Kimia) dan tiga Indikator,

(3) Sosial-Ekonomi-Budaya (Bobot 17,5 %) dengan empat Kriteria (Pemanfaatan Lahan,

Mata Pencaharian, Pendapatan, dan Penduduk) dan 9amper9o Indikator,

(4) Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi

Pendukung) dan empat Indikator.

Setelah dilakukan simulasi untuk berbagai kondisi, maka dapat ditentukan tingkat

Nilai Konservasi sebagai berikut:

1. Nilai Konservasi Sangat Tinggi (NKST) dengan NTKI > 2.000

2. Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dengan NTKI > 1.500 – 2.000

3. Nilai Konservasi Sedang (NKS) dengan NTKI = 1000 – 1.500

Hasil pengujian di lokasi sekitar Camp Release dan sekitar Camp Bagantung

menunjukan NTKI masing-masing 2.352,12 dan 2.370,12.Hal ini menunjukan bahwa ke

dua lokasi termasuk dalam kategori NKST.

Kesimpulan pertama dari penelitian ini adalah bahwa, kriteria flora dan fauna pada

prinsip Biologi merupakan kriteria kunci sehingga mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan kriteria lainnya dalam Prinsip Biologi. Oleh karena itu Kriteria Flora

dan Kriteria Fauna, terutama untuk 9amper9or Status Konservasi, mempunyai pengaruh

besar dalam menentukan nilai Prinsip Biologi. Indikator Pendapatan yang Berasal dari

Hutan pada kriteria Pendapatan serta 9amper9or Kepadatan Penduduk pada kriteria

Penduduk, menunjukkan tingkat rendah. Namun demikian, hal ini perlu diwaspadai

mengingat kecenderungen kebutuhan hidup dan kepadatan penduduk yang terus meningkat

sehingga berpotensi untuk memanfaatkan hutan secara illegal. Sebagai kesimpulan kedua,

lokasi tempat pengujian nilai K&I yaitu sekitar Camp Release dan sekitar camp Bagantung

mempunyai NTKI yang tidak jauh berbeda yaitu masing-masing 1.352,12 dan 1370,12.

Nilai-nilai ini masuk dalam kategori Nilai Konservasi Sangat Tinggi (NKST).

Page 26: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 10

III. TEKNOLOGI REHABILITASI HRG TERDEGRADASI

(RPI 5.2.)

A. PENDAHULUAN

Hutan sekunder dan terdegradasi merupakan gambaran umum tentang sumber daya

hutan di Indonesia. Mengingat tingkat kerusakan HRG yang telah mencapai 50% dari luas

total HRG, maka rehabilitasi merupakan kegiatan wajib dalam pengelolaan HRG. Oleh

karena itu, komponen rehabilitasi bagian sangat penting dalam RPI 5.

Seperti dijelaskan pada sub bab sebelumnya awasan HRG yang terbakar terbagi dalam

tiga kategori kerusakan yaitu sedang, berat dan parah. Seperti diketahui bahwa hutan

gambut sangat sensitif terhadap gangguan seperti kebakaran hutan dan mudah mengalami

kerusakan lingkungan seperti peningkatan keasaman, defisiensi unsur hara, subsidence dan

peningkatan emisi karbon (Agus dan Subiksa, 2008; Barchia 2006; Wibisono et al. 2005;

Najiyati et al. 2005; Limin 2004). Berbeda dengan hutan alam lahan kering, tingkat

kesulitan untuk pemulihan dan dampak yang diakibatkan oleh kerusakan HRG lebih tinggi

dan komplek. Dari aspek sosial, ada keengganan sebagian masyarakat untuk berpartisipasi

penanaman dengan menggunakan jenis pohon asli setempat. Masyarakat menilai bahwa

jenis pohon lokal seperti tumih dan gerunggang tidak perlu ditanam karena alam telah

menyediakan dengan cukup. Mereka mengharap dapat mengusahakan lahan gambut

dengan jenis kelapa sawit atau karet. Sedangkan dari jenis pohon hutan mereka lebih

memilih jelutung, jabon dan bahkan jati (masyarakat transmigran). Pemilihan jenis pohon

menjadi isue penting dalam rehabilitasi lahan gambut. Jenis pohon terpilih harus memiliki

kesesuaian dangan lahan gambut dan diterima oleh masyarakat.

Dewasa ini dikenal lebih dari 50 jenis-jenis pohon HRG yang tergolong sebagai jenis

pohon komersial baik untuk hasil kayunya maupun hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti

resin, kulit kayu, buah dan minyak atsiri (Wibisono et al. 2005; Daryono. 2000;

Soerianegara dan Lemmens. 1994). Pada tahap awal rehabilitasi lahan gambut terdegradasi

diperlukan jenis pionir yang benih atau bibitnya mudah diperoleh. Seleksi diperlukan untuk

menentukan jenis mana digunakan pada tahap awal rehabilitasi dan jenis mana untuk tahap

lanjut atau tahap pengkayaan.

B. KEGIATAN LITBANG TAHUN 2010 – 2014

Kegiatan litbang rehabilitasi hutan rawa gambut (HRG) telah dilakukan oleh banyak

pihak, namun banyak paket teknologi yang dihasilkan masih spesifik lokal sehingga

aplikasinya terbatas pada kawasan lokasi uji. Kegiatan litbang rehabilitasi HRG

terdegradasi yang dilakukan di HRG Aceh Selatan, Aceh, HLG. Londerang, Jambi,

Sumsel, dan KHDTK Tumbang Nusa Kalteng, dirancang untuk menghasilkan paket

teknologi yang lengkap dan dapat diaplikasikan pada beragam tipologi HRG di Indonesia.

1. Uji Phytoremediasi HRG Bersalinitas Tinggi Akibat Tsunami

Hutan rawa gambut di pantai barat Aceh telah rusak sebelum tsunami. Di Kecamatan

Bakongan dan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan serta Desa Pulo Sarok, Desa Ujung

Page 27: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 11

Bawang, Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, puluhan hektar hutan rawa gambut

ditebang dan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Setelah tsunami, sebagian besar

hutan ini menjadi lebih rusak. Penilaian ekologi terhadap daerah ini menunjukkan bahwa

air laut yang terperangkap pada saat tsunami telah meningkatkan salinitas lahan gambut.

Hal ini mengakibatkan pengaruh yang mematikan bagi vegetasi yang tumbuh diatasnya

2. Pengamatan Karakteristik Lahan dan Hutan Rawa Gambut

Terdrainase

Kegiatan ini dilaksanakan melalui kegiatan survey pada bentang lahan gambut

sepanjang 29 km di daerah Kayuagung – Sepucuk dan Kebun Konservasi Plasma Nutfah

Ramin dan Tanaman Kehutanan di Kabupaten OKI. Ke dua lokasi adalah hutan dan lahan

rawa gambut yang telah didrainase dan dikelilingi oleh areal perkebunan kelapa sawit.

Karakteristik lahan dan hutan rawa gambut yang diukur adalah: a) kondisi hidrologi (curah

hujan, tinggi, fluktuasi dan durasi genangan air dan air tanah), b) karakteristik tanah

(kedalaman dan subsidensi gambut, sifat-sifat kimia dan fisik gambut), c) jenis-jenis

vegetasi.

3. Pengamatan Pertumbuhan Jenis-Jenis Pohon Lokal Pada Berbagai

Kondisi Hidrologi

Kegiatan ini akan dilaksanakan di Kebun Konservasi Plasma Nutfah Ramin dan

Tanaman Kehutanan pada areal seluas 20 hektar di daerah Kedaton, Kabupaten OKI.

Kebun percobaan yang telah dikelilingi oleh kanal perkebunan kelapa sawit dibagi menjadi

dua bagian, yaitu: areal dengan parit yang dibendung/ditabat dan areal yang tidak

dibendung. Pada setiap areal dibuat embung atau sumur kecil untuk memantau permukaan

air tanah. Embung dibuat pada setiap jarak 100 meter membentuk rangkaian grid. Areal

telah ditanami dengan beberapa jenis pohon lokal (jelutung, punak, meranti rawa, gemor).

Variabel yang diukur adalah tinggi dan diameter tanaman, tinggi dan fluktuasi permukaan

air tanah. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan 2 kali per tahun, pengukuran permukaan

air tanah dilakukan setiap bulan.

4. Kajian Rehabilitasi Lahan Gambut Bekas Terbakar Di Jambi dan

Kalimantan Tengah

Kegiatan penelitian dengan judul “Kajian rehabilitasi lahan gambut bekas terbakar di

Jambi dan Kalteng” difokuskan pada pengukuran dan perawatan berkala pada plot uji di

HLG Londerang, Jambi; pengembangan plot uji dengan menerapkan input manajemen

intensif di kawasan HTI PT Wira Karya Sakti; serta pengembangan plot percepatan suksesi

alam di HLG Sei Buluh, Jambi.

C. HASIL PENELITIAN

Hasil capaian kegiatan litbang rehabilitasi HRG yang dilakukan oleh 5 Unit Pelaksana

Teknis Badan Litbang Kehutanan yaitu Puskonser, Bogor, BPK Aek Nauli, BPK

Palembang, BPK Banjarbaru, BPTKSDA Samboja dan BPK Manokwari, dapat

Page 28: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 12

memberikan gambaran bagi strategi rehabilitasi HRG terdegradasi yang amat tergantung

dari tingkat kerusakannya. Hasil-hasil sampai dengan akhir tahun 2012 masih harus

diklarifikasi dengan data pengukuran selanjutnya. Beberapa kesimpulan dan rekomendasi

sementara telah dapat diformulasikan pada sintesa antara ini seperti disajikan pada paragraf

berikut.

1. Uji Phytoremediasi HRG Bersalinitas Tinggi Akibat Tsunami

Pengukuran pertumbuhan awal dilakukan pada umur 3 bulan setelah tanam. Parameter

yang diukur adalah tinggi tanaman dan persen hidup. Rata-rata tinggi tanaman dan persen

hidup 3 bulan setelah tanaman pada ke dua plot ujicoba disajikan pada Tabel 4 berikut :

Tabel 4. Pertumbuhan pada plot uji rehabilitasi di Aceh

No. Parameter

Lokasi Plot Ujicoba

Trumon Aceh Selatan Singkil Aceh Singkil

Tinggi Rata-rata % Hidup Tinggi Rata-rata % Hidup

1. Alstonia scholaris 41 76 42 79

2. Gluta renghas 43 45 43 47

3. Anthocephalus cadamba 42 70 42 78

4. Terminalia catappa 45 86 47 80

Dari sampel di atas terlihat bahwa persentase hidup masing-masing jenis di setiap

plot sampel seragam, persentase hidup tertinggi pada masing-masing plot ada pada jenis

ketapang (Terminalia catappa) yaitu 86% di Trumon, dan 80% di Singkil. Ini

menunjukkan bahwa ketapang selain mampu tumbuh di daerah pantai juga tumbuh sangat

baik di daerah rawa gambut.

2. Karakteristik Lahan dan HRG dengan Manajemen Drainase

Kedalaman gambut awal diukur pada tahun 2007 sebelum lahan dibuka untuk

perkebunan kelapa sawit. Pengukuran kedua dilakukan pada tahun 2012 setelah lahan

didrainase dan dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Hasil pengukuran menunjukkan

bahwa pada tahun 2007 kedalaman gambut rata-rata 487,3 cm dan tahun 2012 menjadi

412,6 cm atau telah mengalami penurunan kedalaman gambut (subsidensi) rata-rata 74,73

cm selama 5 tahun atau 14,9 cm/tahun.

Pada periode Mei – Desember 2012 jumlah curah hujan yang jatuh pada Kebun

Konservasi Plasma Nutfah (plot percobaan) sebesar 1.169 mm dan jumlah hari hujan 88

hari dengan estimasi volume air 11.690 m3/ha. Curah hujan terendah terjadi pada bulan

September sebesar 20 mm dan jumlah hari hujan 2. Cura hujan tertinggi terjadi pada bulan

Desember sebesar 389 mm dan jumlah hari hujan 22. Kedalaman air tanah terendah 117

cm terjadi pada bulan September dan tertinggi 13 cm pada bulan Desember.

Sebelum aktivitas pembukaan kanal untuk mendrainase air, lahan gambut pada lokasi

ini masih tergenang setinggi 25 cm pada bulan Mei 2010 dan 2 tahun setelah pembuatan

kanal permukaan air tanah menurun sedalam 70 cm menjadi 45 cm di bawah permukaan

gambut di bulan yang sama. Kedalaman gambut awal tahun 2007 adalah 600 cm dan

Page 29: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 13

menurun menjadi 550 cm pada tahun 2012 atau gambut telah mengalami subsidensi

sedalam 50 cm (rata-rata 10 cm/tahun).

3. Pertumbuhan Tanaman Uji Rehabilitasi Sumatera Selatan

Pertumbuhan tanaman rehabilitasi jenis jelutung (Dyera lowii), punak (Tetramerista

glabra), meranti (Shorea belangeran) dan gemor (Alseodaphne sp.) dipengaruhi oleh

kedalaman air tanah. Semakin dalam penurunan air tanah, daya hidup tanaman rehabilitasi

menurun. Pola yang sama terjadi pada riap tinggi dan riap diameter tanaman rehabilitasi.

Rehabilitasi hutan rawa gambut bersulfat masam dapat dilakukan dengan

memanfaatkan permudaan alam gelam (M. leucadendron) yang tumbuh melimpah pada

areal hutan bekas kebakaran. Kerapatan kecambah gelam satu bulan setelah kebakaran

berkisar antara 8 sampai 2.625 kecambah/m2 tergantung jarak dari tegakan pohon induk.

Pertumbuhan permudaan alam gelam yang tumbuh pada lahan gambut sangat dalam

dapat ditingkatkan melalui pemeliharaan tegakan. Permudaan buatan gelam diprioritaskan

pada lahan rawa gambut bersulfat masam yang tidak ada atau sangat rendah tingkat

permudaan alamnya

4. Uji Kesesuaian Jenis untuk Rehabilitasi Lahan Gambut Bekas

Terbakar

Pengembangan IPTEK rehabilitasi HRG bekas terbakar diarahkan pada teknik

manajemen lahan (minimum input manajemen lahan di HRG Londerang serta optimum

input manajemen lahan di kawasan PT WKS) serta kelompok komoditi pohon. Plot uji

yang dibangun akan dapat menghasilkan paket teknologi rehabilitasi menyangkut

manajemen lahan dan jenis pohon yang direkomendasikan. Pertumbuhan pohon pada plot

uji di Jambi dan Kalteng, disajikan pada Tabel 5 s/d 10.

Salah satu model rehabilitasi lahan gambut terdegradasi berat adalah melakukan

penanaman dengan jenis pohon penghasil bio-diesel. Uji penanaman jenis penghasil bio-

diesel dilakukan di HLG Londerang yang merupakan lahan terdegradasi bekas terbakar

dengan tingkat degradasi berat (tidak ada vegetasi tingkat pohon). Kawasan HRG ini juga

rawan ekspansi tanaman sawit oleh masyarakat. Pada lahan HRG dengan kondisi ini

penanaman harus dilakukan dengan segera dan menggunakan jenis cepat tumbuh. Pada

umumnya masyarakat tidak akan menjarah lahan yang telah ditanami oleh pemerintah.

Pada lahan gambut dengan tingkat kerusakan berat, sasaran rehabilitasi adalah

menghindarkan penjarahan lahan dan meningkatkan produktivitas lahan. Informasi terkait

kesesuaian jenis pohon untuk rehabilitasi sangat diperlukan dalam penyusunan rencana

rehabilitasi lahan. Informasi kesesuain lahan yang akurat diperoleh dari plot uji jenis yang

dibangun pada lahan gambut.

Telah dibangun plot seleksi jenis tanaman pada lahan gambut terdegradasi. Jenis

pohon yang diuji mencakup jenis pohon cepat tumbuh non gambut, jenis pohon keluarga

dipterokarpa, jenis pohon penghasil bio-diesel an jenis pohon lokal HRG. Hasil pengujian

disajikan pada tabel-tabel berikut.

Page 30: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 14

Tabel 5. Pertumbuhan jenis pohon cepat tumbuh non gambut di HLG Londerang

No. Jenis Jumlah yang

Ditanam

Persen Tumbuh (%) Tinggi (cm)

6 bln 12 bln 6 bln 12 bln

1 Ficus variegata 54 97,50 60,00 110,10 128,8

2 D.moluccana 61 73,96 53,70 70,23 80,6

3 A.cadamba 54 88,89 40,74 80,65 62,6

4 A.macrophylla 57 84,48 39,66 56,28 95,00

5 Dyera lowii 121 60,78 29,41 67,38 82,0

6 Ficus calosa 58 57,41 24,07 58,35 74,4

7 N.orientalis 40 50,00 25,00 52,72 56,9

8 O.sumatrana 4 0 0 0 0

Tabel 5, menyajikan data pertumbuhan plot uji penanaman jenis pohon cepat

tumbuh non gambut dengan pola minimum input manajemen lahan di HLG Londerang.

Tabel 6, menyajikan data pertumbuhan plot uji penanaman jenis pohon cepat tumbuh non

gambut dengan pola optimum input manajemen lahan di kawasan HTI PT WKS, Jambi.

Tabel 6. Pertumbuhan jenis pohon cepat tumbuh non gambut di PT WKS

No. Jenis Persen tumbuh Tinggi (cm)

0 bln 6 bln 12 bln 24 bln 0 bln 6 bln 12 bln 24 bln

1 A.macrophylla 100 75,56 13,7 13,9 66,0 65,5 96,4 216,4

2 P.pinnata 100 100 100 84,4 78,9 73,0 117,6 175,2

3 F.variegata 100 73,34 33,3 15,6 63,1 70,0 99,2 169,9

4 A.cadamba 100 72,22 27,8 22,2 61,4 57,4 73,2 162,6

5 N.orientalis 100 91,11 91,1 73,3 53,7 62,2 90,1 154,6

6 F.callosa 100 97,78 75,6 28,9 34,9 56,7 86,8 148,0

7 D.moluccana 100 56,67 5,1 11,1 47,4 61,6 47,4 60,0

Jenis pohon cepat tumbuh non gambut yang berpotensi untuk dikembangkan adalah

Pengamia pinnata, Ficus variegata dan Anthocephalus macrophylus. Namun demikian

mengingat ketiganya bukan jenis asli lahan gambut, maka evaluasi harus dilakukan

minimal sampai dengan umur tebang jenis cepat tumbuh yang berkisar antara 6 – 8 tahun.

Jenis-jenis dipterokarpa juga diuji kemampuan tumbuhnya di lahan gambut di HLG

Londerang (25 jenis) dan di kawasan PT WKS, Jambi (3 jenis). Keluarga dipterokarpa

merupakan jenis dominan hutan hujan tropis di Sumatera dan Kalimantan. Pengujian jenis

dipterokarpa sebelumnya telah dilakukan di kawasan HTI PT Indah Kiat, Riau. Dua jenis

dipterokarka yaitu Shorea leprosula dan S. selanica. Sampai dengan umur 15 tahun

(setengah daur tebang), kedua jenis tersebut tumbuh baik di lahan gambut Perawang, Riau

(Gambar 1) dan telah menghasilkan bunga dan buah. Bila jenis yang diuji tumbuh baik dan

mancapai masa reproduksi (berbunga dan berbuah), maka dapat disimpulkan bahwa jenis

tersebut dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan yang baru tempat jenis tersebut diuji.

RPI 5 kembali menguji jenis-jenis dari keluarga dipterokarpa di dua lokasi lahan gambut

Jambi. Data pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di HLG Londerang, Jambi dan kawasan

PT WKS, Jambi disajikan pada Tablel 5 dan 6. Namun sangat disayangkan plot uji di HLG

Londerang, Jambi terbakar pada tahun 2013 dan 2014. Sedngkan plot di kawaan PT WKS

masih tetap terjaga.

Page 31: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 15

Tabel 7. Pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di HLG Londerang

No. Jenis Ditanam Persen tumbuh Tinggi (cm)

6 Bln 12 Bln 6 Bln 12 Bln

1 Shorea leprosula 58 63,8 43,1 66,5 80,7

2 S.selanica 83 72,3 39,7 59,6 64,2

3 S.parvifolia 13 69,2 23,1 62,0 110,0

4 S.seminis 30 81,1 46,7 62,1 73,1

5 S.smithiana 36 83,3 36,1 62,1 75,4

6 S.stenoptera 3 66,7 66,7 47,5 67,5

7 S.javanica 104 73,1 47,1 61,9 76,8

8 S.pinanga 8 75,0 25,0 68,7 90,0

9 S.fallax 24 87,5 50,0 47,1 69,3

10 S.ovalis 31 58,1 19,3 48,2 57,3

11 S.guiso 19 63,2 47,4 56,9 82,4

12 S.uliginosa 34 82,4 50,0 57,5 64,0

13 S.multiflora 7 71,4 28,6 39,2 86,0

14 S.balangeran 18 66,7 33,3 57,5 66,2

15 S.macrophylla 5 60,0 60,0 56,5 119,3

16 S.mecisopteryx 6 50,0 16,7 26,7 30,0

17 S.johorensis 21 57,2 14,3 57,5 76,7

18 S.virescens 36 0,0 0,0 0,0 0,0

19 Hopea odorata 45 73,3 33,3 54 68,5

20 H.dryobalanoides 16 93,8 37,5 51,6 60,2

21 H.gregaria 57 71,9 40,3 48,8 67,4

22 H.cernua 36 47,2 19,4 49,4 54,0

23 Dryobalanops lanceolata 26 65,4 19,2 49 59,4

24 Anisoptera marginata 40 72,5 42,5 66 84,6

25 Parashorea spp 6 83,3 66,7 29 29,5

Keterangan : Plot terbakar tahun Maret 2013 dan April 2014

Tabel 8. Pertumbuhan jenis-jenis dipterokarpa di PT WKS

No Jenis Persen tumbuh Tinggi (cm)

0 Bln 6 Bln 12 Bln 24 Bln 0 Bln 6 Bln 12 Bln 24 Bln

1 S.belangeran 100 57,8 35,6 27,8 67,6 84,5 127,9 366,5

2 S.selanica 100 35,6 22,2 11,1 48,8 58,9 63,6 184,5

3 S.leprosula 100 31,1 13,9 0 34,2 55,7 65,1 0

Berbeda dengan pengujian sebelumnya Shorea leprosula tidak dapat bertahan hidup di

lahan gambut PT WKS. Namun jenis lain yang diuji yaitu S.balangeran dan S. selanica

masih dapat bertahan tumbuh. Perbedaan kemampuan tumbuh kemungkinan diakibatkan

dengan sistim pengolahan lahan di PT WKS yang dibersihkan dengan total. Sehingga bibit

ter-ekspose cahaya matahari penuh (Gambar 2).

Page 32: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 16

Gambar 1. S leprosula (kiri) dan S selanica (kanan) di lahan gambut Perawang, Riau

Gambar 2. Lahan penanaman dengan penyiapan lahan intensif (bersih total dan terbuka) di kawasan PT

WKS, Jambi

Kelompok jenis pohon yang diuji selanjutnya adalah jenis pohon penghasil bio-diesel

yaitu Schleiera oleosa, Pongamia pinnata dan Callophylum inophyllum. Pengujian

dilakukan di HLG Londerang. Pongamia pinnata (malapari) menunjukan pertumbuhan

yang lebih baik dibandingkan kedua jenis lainnya.

Tabel 9. Pertumbuhan jenis pohon penghasil bio-diesel di HLG Londerang

No Jenis Ditanam Persen tumbuh (%) Tinggi (cm)

6 Bln 12 Bln 6 Bln 12 Bln

1 Schleiera oleosa 61 64,29 18,03 96,63 46,7

2 Pongamia pinnata 56 62,29 26,8 50,11 81,5 3 Callophylum inophyllum 38 64,26 52,6 30,45 56,36

Keterangan : Plot terbakar tahun Maret 2013 dan April 2014

Kelompok jenis pohon terakhir yang diuji adalah jenis lokal HRG yang diuji di tiga

lokasi yaitu HLG Londerang, Jambi (8 jenis), di CKPP Kalteng (7 jenis) dan di PT WKS,

Jambi (7 jenis). Salah satu tujuan pengujian jenis lokal HRG adalah untuk mengetahui

kemampuan jenis pohon lokal untuk tumbuh pada habitat yang telah mengalami kerusakan

Page 33: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 17

berat. Pertumbuhan jenis-jenis pohon lokal HRG di ketiga lokasi uji disajikan pada Tabel

10, 11 dan 12.

Tabel 10. Pertumbuhan jenis lokal HRG umur 12 bulan di HLG Londerang, Jambi

No. Jenis Ditanam Persen Tumbuh Tinggi (cm)

6 Bln 12 Bln 6 Bln 12 Bln

1 Gonystylus bancanus 37 45,9 27,0 60,2 72,1

2 Uranda scorpiodes 66 68,2 37,9 43,9 54,1

3 Diospyros malam 50 56,0 52,0 28,9 40,2

4 Callophyllum soulatri 42 66,7 69,0 40,3 54,3 5 Callophyllum macrospermum 43 81,6 48,8 39,9 56,8

6 Quercus bennetii 20 60,7 50,0 57,5 56,8

7 Momalium caryophyllaceum 43 90,7 48,8 29,3 37,8

8 Dillenia excelsa 14 64,3 21,4 46,2 59,3

Keterangan : Plot terbakar tahun Maret 2013 dan April 2014

Tabel 11. Pertumbuhan jenis lokal HRG di CKPP Kalteng umur 12 bulan

No. Jenis Ditanam Tumbuh Persen jadi Tinggi (cm)

1 Dyera lowii 96 65 68 25,0

2 Crotoxylon arborescens 96 67 70 82,9

3 Shorea uliginosa 96 48 15 47,9

4 S. balangeran 96 54 56 51,0

5 Callophyllum macrospermum 96 25 26 18,1 6 Uranda scorpiodes 96 23 24 16,1

7 Combretocarpus rotundatus 96 78 81 31,0

Tabel 12. Pertumbuhan jenis lokal HRG di PT WKS

No Jenis Persen tumbuh Tinggi (cm)

0 Bln 6 Bln 12 Bln 24 Bln 0 Bln 6 Bln 12 Bln 24 Bln

1 Xylopia fusca 100 88,9 43,8 33,3 42,9 62,9 86,1 192,0

2 C.inophyllum 100 38,9 33,3 22,2 42,3 61,1 34,67 30,5

3 Quercus sp 100 58,5 31,1 21,1 61,4 60,5 61,2 168,7

4 U.scorpiodes 100 53,3 12,3 16,7 66,5 55,7 68,6 195,0

5 M.caryophyllaceum 100 66,7 33,3 13,9 32,2 44,6 53,17 139,4

6 C.macrospermum 100 66,7 22,2 11,1 29,5 43,8 53,3 350,0

7 A.umbrelifolia 100 52,1 0 0 11,5 16,9 0 0

Tabel 10, 11 dan 12 menunjukan bahwa jenis lokal HRG dapat tumbuh di semua

lokasi uji, namun demikian pertumbuhan awalnya (sampai dengan umur 2 tahun) relatif

lebih lambat dibandingkan dengan jenis cepat tumbuh non gambut. Salah satu faktor utama

penyebab kegagalan tumbuh jenis yang ditanaman di lahan gambut adalah kebakaran

lahan, seperti yang terjadi di HLG Londerang, Jambi.

Walaupun jenis lokal HRG khususnya kelompok jenis pioneer dapat tumbuh di

berbagai tingkat degradasi lahan, namun kebakaran lahan akan menggagalkan setiap usaha

rehabilitasi. Oleh sebab itu upaya penanganan kebakaran lahan gambut yang efektif harus

diupayakan dengan berbagai aspek pendekatan seperti sosial, budaya, ekonomi dan teknis.

Page 34: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 18

IV. INFORMASI ADAPTASI FENOLOGI JENIS-JENIS HRG

(RPI 5.3.)

A. PENDAHULUAN

Perubahan iklim merupakan fenomena alam yang berlangsung saat ini akibat

meningkatnya suhu bumi. Peningkatan suhu bumi diyakini akibat meningkatnya

konsentrasi GRK di atmosfer. Aktivitas manusia modern yang banyak terkait dengan

penggunaan bahan bakar dan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak bijaksana diyakini

sebagai sumber emisi GRK.

Perubahan iklim mempengaruhi proses biologi pada ekosistem bumi. Salah satu efek

dari perubahan iklim adalah berubahnya pola reproduksi beragam jenis tanaman termasuk

jenis-jenis pohon HRG. Berubahnya pola reproduksi pohon mengakibatkan tidak

tersedianya benih dan bibit untuk berbagai tujuan penanaman seperti rehabilitasi hutan.

Keberhasilan upaya rehabilitasi HRG khususnya dengan jenis potensial lokal amat

tergantung dari ketersediaan anakan alamnya. Dewasa ini semakin sulit untuk memperoleh

anakan dari jenis potensial HRG. Data fenologi jenis pohon HRG sangat diperlukan dalam

upaya penyelamatan sumberdaya genetik untuk pemanfaatan jangka panjangnya.

B. KEGIATAN LITBANG

1. Kajian Fenologi

Studi fenologi jenis potensial hutan rawa gambut dilakukan di dua lokasi yaitu : (1)

Sei Senepis, Riau. Pengamatan dilakukan pada 15 jenis potensial HRG; dan (2) Tumbang

Nusa, Kalteng. Pengamatan dilakukan pada 19 jenis potensial HRG.

Pengamatan dilakukan secara periodik (sekali dalam dua minggu) oleh pengamat lokal

pada pohon-pohon yang telah ditandai. Pada pengamatan dilakukan pencatatan fase

fenologi pohon yang diamati yaitu: (1) berbunga/BG; (2) buah muda/BM; (3) buah tua/BT;

dan (4) gugur bunga/GB. Data pengamatan selanjutnya disusun dalam bentuk matriks

tahap fenologi bulanan pada jenis yang diamati.

C. HASIL PENELITIAN

1. Fenologi Jenis Potensial HRG

Hasil pengamatan selama satu tahun anggaran di dua lokasi pengamatan telah

menghasilkan informasi awal tentang fenologi yang disajikan pada Tabel 13. dan 14.

Walaupun informasi rangkaian pembungaan sampai buah masak disajikan secara utuh,

namun karena bulan pengamatan yang hanya 10 bulan maka perkembangan selanjutnya

dilakukan prediksi atas dasar pengetahuan masyarakat petani hutan lokal. Agar dapat

mengkaji pengaruh perubahan iklim terhadap fenologi jenis HRG, pengamatan fenologi

perlu dilakukan secara berkelanjutan minimal dengan periode pengamatan 5 tahun.

Page 35: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 19

Tabel 13. Fenologi jenis pohon potensial HRG di Sei Senepis, Riau

JENIS Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Okt Nov Dec

Balam - - - - - - B G B G B M B M B T B T

Bintangor B M * B T * BT* - - - - - B G B G B M B M

Darah-darah B G * B M * B M * B T* B T* - B G

Durian B M * B T * - - - - - - B G B G B M B M

Mempisang - - - - - - - - - - - -

Gemor B G * B M * B M * B T* B T* - - - - - - B G

Meranti batu - - - - - - - - - - - -

Meranti bunga - - - - - - - - - - - -

Suntai/Nyatoh B M * B T * B T * - - - - - - B G B G B M

Pasak linggo - - - - - - B G B G B M B M B T B T

Punak - - - - - - B G B G B M B M B T B T

Ramin - - - - - - B G B G B M B M B T B T

Serapat - - - - - - - - - - - -

Simpur - - - - - - - - - - - -

Terentang B T * - - - - - - B G B G B M B M B T

Keterangan : * = Prediksi tahapan fenologi; BG = Berbunga; BM = Buah muda; BT = Buah tua.

Tabel 14. Fenologi jenis pohon potensial HRG di Tumbang Nusa, Kalteng

JENIS Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Geronggang - - BG* BG B M B M B T B T B T

Pempaning BT* BG* BG* B M B M B T B T BG BG BG BM*

Darah-darah BM* BT* BG* BG* B M B M B T BG BG BM*

Punak BG* BG B M B M B T

Maharuang BG* BG* B M B M B M B T

Malam-malam -

Merapat -

Nyatoh BG* BG* BM B M B M B T

Balangeran - - - - - - -

Ramin - - - - - -

Meranti bunga BG* BG* B M B M B T - - - - -

Pisang-pisang - - - - - - - -

Pasir-pasir

Terentang BG* BG B M B M B M B M B T B T B T

Kapurnaga BM* BT* BT* - - - BG BG BM*

Lilin-lilin - - - - - -

Kompas - - - BG* B G B M B M ? ? - - -

Merapat - - BG* BG* B M B M B M B M B T B T B T -

Pantung - - - - BG BG GB

Keterangan : * = Prediksi tahapan fenologi; BG = Berbunga; BM = Buah muda; BT = Buah tua; GB = Gugur bunga.

Page 36: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 20

Pada pengamatan bulan Desember 2010, medang lendir (gemor) sedang berbunga,

diprediksikan buah akan masak/tua (BT) pada bulan April dan Mei 2011. Kesempatan

memperoleh benih jenis potensial HRG merupakan kesempatan yang langka. Oleh sebab

itu bagi para pihak yang berkepentingan khususnya dalam penyelamatan jenis-jenis gemor

dapat memanfaatkan masa berbuah yang diprediksi pada bulan April dan Mei 2011 untuk

mendapatkan materi genetiknya.

Page 37: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 21

V. ALTERNATIF PENGELOLAAN HRG DENGAN POLA

PARTISIPATIF (RPI 5.5.)

A. PENDAHULUAN

Hutan rawa gambut (HRG) merupakan ekosistem yang unik karena memiliki

biodiversitas flora dan fauna yang khas, seperti Gonystylus bancanus, Dyera polyphylla,

Alseodaphne sp., Cratoxylum sp., Shorea teysmaniana dan Diospyros sp., yang memiliki

nilai ekonomi, serta mampu menyimpan bahan organik dalam bentuk karbon di bawah

permukaan tanah dalam bentuk biomassa vegetasi. Kalimantan merupakan salah satu pulau

di Indonesia yang memiliki HRG terluas, selain Sumatera dan Papua (Wahyunto et al.,

2004; Ritung et al., 2011).

Hutan rawa gambut memiliki arti penting bagi fungsi-fungsi ekologis, hidrologis,

biokimia dan nilai-nilai sosial. Pentingnya ekosistem HRG telah mendapat perhatian

pemerintah. Secara nasional telah disusun dan dicanangkan ‘Strategi dan Rencana

Tindak Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan” yang bertujuan untuk :

(1) meningkatan kesadartahuan dan pengetahuan mengenai lahan gambut secara bijaksana

dan berkelanjutan, dan (2) meningkatkan dan mendorong kerjasama antar Kabupaten/Kota/

Provinsi secara kolektif dengan pengelolaan lahan gambut, dan disesuaikan dengan kondisi

daerah masing-masing (Departemen Dalam Negeri, 2006).

Pengelolaan partisipatif merupakan salah bentuk model perhutanan sosial. Saat ini

perhutanan sosial merupakan wujud perubahan paradigma pembangunan kehutanan,

dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pembangunan berkelanjutan

yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan memiliki tujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan penduduk, mengikutsertakan dalam pengambilan keputusan

dan dapat mengubah penghidupan. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan HRG penting

dalam keberhasilan pengelolaan hutan. Diperlukan pendekatan partisipatif dalam

pengelolaan hutan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan serta monitoring, serta adanya

skema insentif bagi masyarakat yang telah menjaga hutan dan sumber daya lahan

(Dipokusumo, 2011).

Pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat merupakan salah satu kebijakan

pemerintah. Kebijakan pemerintah yang mengakomodir kegiatan pengelolaan kawasan

hutan dengan pola partisipatif yaitu: (1) program pembangunan hutan kemasyarakatan

(HKm) berdasarkan Permenhut nomor P.52/Menhut-II/2011, (2) hutan desa berdasarkan

Permenhut P.53/Menhut-II/2011, dan (3) hutan tanaman rakyat (HTR) berdasarkan

Permenhut P.31/Menhut-II/2013. Melalui pelibatan masyarakat diharapkan pengelolaan

hutan dapat berpihak bagi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.

B. KEGIATAN LITBANG

1. Studi Biofisik HRG

Kondisi hutan gambut dipelajari melalui beberapa pendekatan yaitu pendekatan

vegetasi, kedalaman gambut dan muka air tanah. Data biofisik yang diamati berupa sifat

kimia dan biologi tanah lokasi penelitian di hutan rawa gambut bekas terbakar dan

Page 38: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 22

dibandingkan dengan kondisi alaminya. Kedalaman gambut diukur dengan bor gambut,

sekaligus untuk mengambil sampel gambut di berbagai kedalaman dan mengukur muka air

tanah. Sampel gambut dibawa ke laboratorium untuk dilakukan analisa bulk density, kadar

bahan organik gambut, dan kadar abu dengan menggunakan metode loss on ignition (LOI)

(Agus et al., 2011).

Analisa vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling

menggunakan petak bersarang berukuran 20m x 100m dan petak kecil di dalamnya

berukuran 5m x 40m (Hairiah et al., 2011).

2. Studi Sosial Ekonomi dan Partisipasi Masyarakat

Masyarakat yang bermukim di sekitar hutan akan dilibatkan dalam pengelolaan HRG

bekas terbakar, terutama dalam pemilihan jenis pohon dan penanaman, dengan

menerapkan pola-pola partisipatif. Untuk mengetahui jenis-jenis penting bagi masyarakat,

dilakukan pengumpulan data dengan cara wawancara semi terstruktur. Jenis tanaman akan

dipilih berdasarkan hasil wawancara dengan memperhatikan kaidah-kaidah dan peraturan

yang berlaku untuk merehabilitasi kawasan konservasi.

C. HASIL PENELITIAN TAHUN 2010 - 2012

1. Studi Biofisik

Lokasi kegiatan di hutan rawa gambut KHDTK Tumbang Nusa dan di Sekitar Taman

Nasional Sebangau. Peta petak pengamatan disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3.a. Penyebaran petak pengamatan

studi biofisik di KHDTK Tumbang Nusa,

Kalimantan Tengah (tanda bintang = lokasi

petak pengamatan)

Gambar 3.b. Taman Nasional Sebangau.

Tanda = desa lokasi penelitian: Kelurahan

Kereng Bangkirai, Desa Baun Bango dan Desa

Tumbang Hiran (sumber: BTN Sebangau, 2013)

Analisa sifat kimia tanah gambut di berbagai tipe lahan menunjukkan adanya variasi

parameter kimia tanah (Tabel 15).

Page 39: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 23

Tabel 15. Sifat kimia gambut lapisan atas (0-50 cm) di berbagai tipe penggunaan lahan di Tumbang Nusa,

Kalimantan Tengah

Tipe pH KCl Ntotal

(%)

P Bray

(ppm)

KTK

(me/100g) Pirit (ppm)

Kadar

Abu

(%)

Kedalaman

gambut (cm)

HS1 4.2 1.86 30.4 153.88 112.81 1.33 450

HS2 4 0.44 18.3 128.26 115.02 1.51 420

HT97 3.9 2.02 23.9 131.73 115.78 1.96 360

HT04 4 0.85 18 96.4 102.99 2.32 350

AF_JH 3.9 1.02 38.6 136.34 237.14 3.33 300

AF_JR 3.7 0.91 21.4 152.42 103.36 1.67 250

AF_JK 3.7 1.8 38.8 143.57 113.09 1.01 200

Keterangan: HS1= hutan rawa gambut sekunder plot 1; HS2 = hutan rawa gambut sekunder plot 2; HT97 = hutan rawa

gambut terbakar tahun 97; HT04 = hutan rawa gambut terbakar tahun 2004; AF_JH = agroforest jelutung

dan pohon hutan; AF_JR = agroforestri jelutung dan rambutan; AF_JK = agroforest jelutung dan karet.

Lahan gambut di Tumbang Nusa memiliki kedalaman bervariasi, mulai dari

kedalaman 200 - 450 cm. Tidak tertutup kemungkinan, adanya kubah gambut dengan

kedalaman lebih dari 5 m. Gambut bersifat masam, dengan kisaran pH 3,7 - 4,2, dan

kapasitas tukar kation tertinggi di hutan sekunder dan terendah di hutan bekas terbakar

tahun 2004 (tingkat kerusakan sedang).

Tipe agroforest jelutung dan tanaman hutan (tumih dan gerunggang) memiliki kadar

pirit tertinggi, hal ini diduga karena terbongkarnya gambut akibat aktivitas usaha tani

setelah gambut mengalami kebakaran.

Pada Gambar 4. terlihat distribusi kelas diameter hutan rawa gambut sekunder

menyebar dengan normal mengikuti pola kurva J, dimana jumlah permudaan paling

banyak, dan masih dapat dijumpai kelas diameter hingga lebih dari 50 cm. Sedangkan pada

tipe hutan terbakar ringan, sebaran diameter hanya mencapai kisaran 20-30 cm, dan tidak

terdapat pohon-pohon dewasa berdiameter besar. Pada hutan terbakar dengan tingkat

kerusakan sedang (kebakaran berulang dan terakhir pada tahun 2004), kelas diameter

pohonnya tidak lebih dari 20 cm. Di ketiga tipe hutan, kurva distribusi menyebar normal,

dengan jumlah permudaan lebih tinggi daripada pohon dewasa.

Ind

ivid

u

Kelas Diameter (cm)

HS

Gambar 4.

Penyebaran kelas diameter di tiga tipe

hutan di Tumbang Nusa, Kalimantan

Tengah. (HS = hutan sekunder; HT97 =

hutan terbakar ringan tahun 1997;

HT04 = hutan terbakar sedang tahun

2004).

Page 40: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 24

Kerapatan jenis pohon di ke tiga tipe hutan menurun sesuai dengan tingkat kerusakan

hutan. Hutan sekunder memiliki kerapatan pohon paling tinggi, kemudian hutan dengan

tingkat kerusakan ringan dan hutan dengan tingkat kerusakan sedang memiliki kerapatan

jenis pohon yang rendah. Pada lahan milik, di mana masyarakat mengelola lahan dengan

berkebun dengan sistem agroforestri, terlihat bahwa agroforest karet+jelutung memiliki

tingkat kerapatan pohon yang lebih tinggi daripada agroforest jelutung+rambutan.

Rambutan hasil okulasi memiliki tajuk melebar, sehingga kerapatan pohon per luasan area

lebih rendah dibandingkan dengan agroforest jelutung+pohon hutan dan jelutung +karet.

Tabel 16. Kerapatan individu dan jumlah jenis tinglat pohon di berbagai tipe hutan dan agroforest di

Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah

Tipe Luas

plot (ha)

Kerapatan

(Individu/ha)

Jumlah

jenis Jenis dominan

HS 0,4 1670 40 Calophyllum inophylum (Bintangur)

HT97 0,2 1360 40 Cratoxylon arborenscens (Gerunggang)

HT04 0,2 655 9 Cratoxylon arborenscens (Gerunggang)

AF_Jelutung+pepohonan 0,2 425 4 Cratoxylon arborenscens (Gerunggang)

AF_Jelutung+Rambutan 0,2 325 3 Nephelium lappaceum (Rambutan)

AF_Jelutung+Karet 0,2 445 4 Hevea brassiliensis (Karet)

2. Studi Sosial Ekonomi dan Partisipasi Masyarakat

Survey persepsi masyarakat dilakukan di Kecamatan Jabiren yang terdiri dari delapan

desa dengan luas area 132.300 ha dengan jumlah populasi 8300 orang dari 2110 kepala

keluarga (household). Pemilihan desa dilakukan berdasarkan dari variasi tipologi ke tiga

desa, yaitu luas lahan rawa atau rawa gambut, yang dapat menentukan pengelolaan lahan

dan usaha tani masyarakat. Menurut BPP Jabiren (2010), luas lahan rawa/rawa gambut di

Tumbang Nusa, Pilang dan Jabiren berturut-turut sebesar 17.590, 14.550 dan 1.250 ha,

dengan luas lahan kering berturut-turut 2.255, 2.800 dan 9.000 ha. Terlihat bahwa desa

Tumbang Nusa memiliki area rawa dan rawa gambut yang paling luas di antara desa yang

lain. Hal ini menyebabkan masyarakat desa Tumbang Nusa tidak dapat mengandalkan

hidupnya dari bertani atau berkebun, karena hambatan faktor alam.

Dari 35 orang responden, kepemilikan lahan sawah berkisar antara 0-7 ha dan lahan

kebun berkisar antara 0->45 ha. Tidak ada satu pun responden dari Desa Tumbang Nusa

yang memiliki lahan sawah. Komoditas pertanian dan perkebunan utama di ketiga desa

karet dengan jumlah produksi karet 0.81 ton/ha/tahun (stdv: 0.72). Komoditas lain yang

dapat dikembangkan di lahan gambut dangkal dan bernilai ekonomi adalah tanaman buah

rambutan, cempedak dan paken (Durio kutejensis).

Persepsi masyarakat petani terhadap kondisi gambut saat ini adalah lebih baik

dibandingkan dengan kondisi gambut 5-10 tahun yang lalu. Ini diakibatkan karena gambut

yang telah diolah menjadi semakin terdekomposisi sehingga sesuai untuk usaha pertanian.

Kelembagaan dalam pengelolaan usaha tani dan kebun, mencakup adanya kelompok

tani, koperasi dan pertemuan kerohanian (baik untuk nasrani maupun muslim). Kelompok

tani di Kecamatan Jabiren mendapatkan bimbingan dan penyuluhan dari BPP, di mana satu

orang penyuluh bertugas untuk satu desa. Menurut BPP (2010) tercatat 45 kelompok tani

Page 41: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 25

di seluruh desa di Kecamatan Jabiren, dengan delapan Gapoktan (Gabungan Kelompok

Tani). Metode penyuluhan dilakukan dengan cara bimbingan teknis, ceramah dan diskusi,

yang dilakukan dengan frekuensi 5-8 kali setahun (tergantung keperluan).

Dalam pengelolaan lahan gambut, petani tentu memiliki berbagai kendala. Kendala

utama dalam usaha perkebunan adalah kebakaran hutan (42.9% responden). Modal dan

drainase menjadi kendala tetapi tidak terlalu berarti, karena masih dapat diatasi. Sedangkan

hama dan penyakit kurang menjadi masalah dalam pengelolaan kebun di lahan gambut.

Masalah di bidang kehutanan, sebagian besar petani (70%) yang menanam jelutung (Dyera

polyphylla) dan Shorea balangeran tidak melakukan pemeliharaan dan pencegahan

kebakaran di musim kemarau.

Pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif di TN. Sebangau merupakan

tipe partisipasi konsultasi dengan pendekatan pengambilan keputusan secara top down.

Program kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat di TN. Sebangau, berupa

pembentukan Forum Masyarakat (Formas), Regu Pemadam Kebakaran (RPK) dan Pam

Swakarsa. Ketiga kelembagaan sudah cukup berkembang dengan baik, namun tingkat

partisipasi masyarakat masih rendah. Jika kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian

hutan tetap rendah, ada kecenderungan tingkat partisipasi berubah menjadi tingkat

partisipasi manipulatif.

Pengelolaan HD Kalawa, merupakan tipe partisipasi fungsional, dengan pendekatan

bottom up. Secara umum, tingkat pemahaman masyarakat terhadap hutan desa dan

pengelolaan partisipatif di hutan desa masih rendah, dan beranggapan HD tidak

memberikan keuntungan (baik ekonomi, ekologi dan social) bagi masyarakat dan

lingkungan, akan tetapi sebagian besar responden memiliki motivasi yang tinggi untuk

menjaga hutan.

Analisis kekuatan-kelemahan-peluang-ancaman (‘kekepan’) menunjukkan ada 4 faktor

internal dan eksternal yang menjadi karakteristik pengelolaan TNS secara partisipatif,

sedangkan pengelolaan HD Kalawa memiliki 5 faktor internal dan eksternal.

Page 42: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 26

VI. DAMPAK DEFORESTASI HRG TERHADAP EMISI

GAS RUMAH KACA (GRK) (RPI 5.5.)

A. PENDAHULUAN

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% pada tahun 2020.

Emisi karbon nasional tergolong tinggi yaitu setara dengan 638,975 giga ton CO2 untuk

total emisi, dan untuk emisi akibat alih fungsi hutan sebesar 36%. Salah satu tipe hutan di

Indonesia adalah hutan rawa gambut (HRG) yang lahannya mengandung stok karbon

terbesar pada ekosistem hutan. Potensi serapan karbon pada HRG tergolong tinggi yaitu

sebesar 200 ton/ha (Agus, 2007). Di lain pihak diyakini emisi karbon dari HRG tergolong

tinggi, oleh sebab itu upaya penurunan emisi dari HRG akan berpengaruh nyata terhadap

emisi karbon nasional.

Pengurangan emisi karbon dari HRG bersifat kompleks karena adanya variasi alami

kedalaman gambut dan variasi vegetasi alaminya. Selain itu, adanya kenyataan bahwa

lahan gambut telah dimanfaatkan secara luas baik untuk hutan tanaman, perkebunan

maupun pertanian. Pengurangan emisi harus didukung oleh peningkatan serapan karbon

yang didominasi oleh tumbuhan HRG.

Biosekuestrasi adalah penyerapan dan penyimpanan gas karbondioksida dari atmosfer

melalui proses-proses biologi. Proses biologi ini terjadi melalui peningkatan fotosintesis

untuk menyerap emisi gas karbondioksida dari atmosfer melalui praktek-praktek seperti

reforestasi, pencegahan deforestasi dan rekayasa genetik maupun melalui peningkatan

karbon organik tanah di kawasan hutan. Data karbon stok, karbon organik tanah pada

lanskap HRG sangatlah bervariasi dan kondisi ini tentunya akan mempengaruhi kualitas

data yang tersedia. Adanya variasi data yang tinggi ini menghasilkan tingkat ketidakpastian

data yang tinggi pula (high uncertainty) dan hal ini menjadi masalah yang selalu ditemui

dalam kegiatan inventarisasi karbon stok, karbon organik tanah dan emisi metana pada

lanskap HRG. Contoh tingginya uncertainty pada inventarisasi emisi HRG adalah data

emisi kebakaran gambut memiliki variasi yang sangat tinggi dari beberapa hasil studi yang

dibandingkan. Hal ini disebabkan oleh HRG memiliki tipologi yang sangat spesifik baik

itu dari tingkat kematangan gambutnya maupun variasi jenis yang hidup di hutan lahan

gambut.

Penyediaan data karbon stok (melalui biosekuestrasi) dan data karbon organik tanah

merupakan data penting yang diperlukan dalam upaya perhitungan tingkat serapan karbon

di HRG.

B. KEGIATAN LITBANG

Emisi GRK seperti CO2, CH4, N2O, dll., diyakini merupakan penyebab terjadinya

pemanasan global yang selanjutnya menyebabkan terjadinya perubahan iklim global.

Beberapa kesepakatan internasional seperti Kyoto Protokol dan REDD telah diratifikasi

oleh banyak negara termasuk Indonesia. Negara-negara maju sepakat untuk menurunkan

tingkat emisi GRK, dan Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar

26% pada tahun 2020. Untuk memonitor progres penurunan emisi diperlukan data baik

Page 43: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 27

berupa biomas maupun emisi GRK. Penelitian Dampak Deforestasi HRG terhadap Emisi

GRK bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi dampak deforestasi dan degradasi

hutan terhadap aspek lingkungan, serta upaya target penurunan emisi 26% di sektor

kehutanan. Kegiatan yang telah dilakukan adalah pengukuran biomas tegakan HRG dan

pengukuran emisi gas CO2 di HRG bekas kebakaran, HRG bekas tebangan dan HRG

terdegradasi dengan sistim drainase.

1. Pengukuran Biomasa Tegakan HRG

Pengukuran biomasa tegakan dilakukan di HRG bekas tebangan tahun 1990 dan 1995

di Kalteng. Pengukuran biomasa dilakukan untuk menaksir cadangan karbon tegakan,

nekromas, seresah dan tumbuhan bawah.

Pengukuran biomasa tegakan meliputi tingkat pancang (DBH 2,5 cm – 9,9 cm) dan

tingkat tiang (DBH 10 cm – 19,9 cm) dilakukan dengan mengukur DBH pada subplot

dengan radius 7,32 m. Sedangkan pengukuran biomasa tegakan tingkat pohon (DBH > 20

cm) dilakukan dengan mengukur DBH pada annular plot dengan radius 17,95 m. Setelah

mendapatkan data DBH semua tegakan, kemudian memasukkan data DBH tersebut

kedalam persamaan allometrik yag telah diperoleh pada tahun sebelumnya.

2. Pengukuran Emisi Gas CO2

Pengukuran emisi gas CO2 dilakukan dengan metode chamber pada HRG primer,

HRG bekas tebangan tahun 1990 dan tahun 1995; dan HRG terdegradasi dengan sistim

drainase serta yang sudah dikonversi menjadi kebun sawit dan karet. Pengambilan sampel

gas dilakukan pagi, siang dan sore hari.

C. HASIL PENELITIAN

1. Hutan Gambut Bekas Kebakaran

Persamaan allometrik yang diperoleh dari hasil penelitian pada masing-masing lokasi

adalah sebagai berikut: (a) di lokasi hutan rawa gambut bekas kebakaran berulang tiap

tahun, Berat kering total = 0,098 (DBH)2,350

(R2 = 0,977); (b) di lokasi hutan rawa gambut

bekas kebakaran setelah tiga tahun, Berat kering total = 0,069 (DBH)2,602

(R2 = 0,951); (c)

di lokasi hutan rawa gambut bekas kebakaran setelah delapan tahun, Berat kering total =

0,091 (DBH)2,501

(R2 = 0,943); dan (d) di lokasi hutan rawa gambut primer, Berat kering

total = 0,102 (DBH)2,559

(R2 = 0,982). Berdasarkan persamaan allometrik lokal tersebut

maka dapat diduga perubahan cadangan biomassa tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang

dan pohon pada setiap lokasi sebagai berikut: di lokasi hutan rawa gambut bekas

kebakaran berulang tiap tahun sebesar 11,6 ton/ha, di lokasi hutan rawa gambut bekas

kebakaran setelah tiga tahun sebesar 32,3 ton/ha, di lokasi hutan rawa gambut bekas

kebakaran setelah delapan tahun sebesar 60,6 ton/ha dan di lokasi hutan rawa gambut

primer sebesar 169,9 ton/ha. Dari data tersebut terindikasi bahwa removal factor (faktor

serapan) dari hutan rawa gambut kebakaran berulang tiap tahun yang pulih setelah tiga

tahun dan delapan tahun memiliki rerata sebesar 3,7 ton C/ha/tahun atau setara 13,57 ton

CO2 eq/ha/tahun. Kedalaman gambut di hutan rawa gambut kebakaran berulang tiap tahun,

setelah tiga tahun, setelah delapan tahun dan hutan rawa gambut primer masing-masing

Page 44: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 28

adalah sebesar 4,3 m; 1,9 m; 2,0 m dan 4,3 m. Nilai pH di lokasi penelitian berkisar antara

3,5 sampai dengan 4,1. Suhu lingkungan di lokasi penelitian berkisar antara 240C sampai

dengan 400C. Untuk water level berkisar antara 15 cm sampai dengan 128 cm. Sementara

itu, tingkat persentase penutupan tajuk berkisar antara 1 % sampai dengan 99 %.

2. Hutan Gambut Bekas Tebangan

Berdasarkan persamaan allometrik lokal biomassa total Y = 0,061 (DBH x kerapatan

jenis kayu x tinggi total)1,464

maka dapat diduga perubahan cadangan biomassa pancang,

tiang dan pohon pada setiap lokasi sebagai berikut:

Di lokasi hutan rawa gambut bekas tebangan tahun 1990 sebesar 34,79 ton/ha (pancang

dan tiang), 56,21 ton/ha (pohon);

Di lokasi hutan rawa gambut bekas tebangan tahun 1995 sebesar 47,56 ton/ha (pancang

dan tiang), 15,35 ton/ha (pancang, tiang dan pohon); dan di lokasi hutan rawa gambut

primer sebesar 164,25 ton/ha.

Dari data tersebut terindikasi bahwa removal factor (faktor serapan) C (karbon) dari

hutan rawa gambut bekas tebangan yang telah pulih setelah 17 tahun dan 22 tahun

memiliki rerata masing-masing sebesar 1,68 tonC/ha/tahun dan 1,88 ton C/ha/tahun atau

setara 6,53 ton CO2 eq/ha/tahun. Kedalaman gambut di hutan rawa gambut bekas tebangan

tahun 1990, bekas tebangan tahun 1995 dan hutan rawa gambut primer masing-masing

adalah sebesar 2,5 m; 2,0 m dan 4,3 m dengan potensi simpanan C masing-masing sebesar

1.642,69 tonC/ha; 1.461,72 tonC/ha dan 3.209,19 tonC/ha. Emisi gas CO2 pada hutan

rawa gambut bekas tebangan tahun 1990, bekas tebangan tahun 1995 dan hutan rawa

gambut primer masing-masing sebesar 34,68 ton CO2/ha/tahun; 21,90 ton CO2/ha/tahun

dan 14,60 ton CO2/ha/tahun. Berdasarkan analisis tren dinamika pemulihan biomassa

karbon, maka diperlukan waktu perkiraan 41,79 tahun pada hutan rawa gambut bekas

tebangan untuk mendekati jumlah biomassa karbon pada hutan rawa gambut primer. Nilai

pH di lokasi penelitian berkisar antara 3,4 sampai dengan 4,0. Suhu lingkungan di lokasi

penelitian berkisar antara 240

C sampai dengan 280C. Untuk water level di lokasi hutan

gambut bekas tebangan berkisar antara 3 cm sampai dengan 120 cm. Sementara itu, tingkat

persentase penutupan tajuk berkisar antara 90% sampai dengan 95%.

Hutan gambut pada dasarnya memiliki keanekaragaman hayati dan sumber plasma

nutfah yang tinggi. Selain itu, hutan gambut juga memiliki fungsi jasa lingkungan yang

tinggi juga seperti fungsi hidrologi dan fungsi simpanan karbon.Pendekatan konservasi

dengan upaya perlindungan hutan gambut merupakan pilihan yang tepat dalam

pengelolaan hutan gambut yang terganggu akibat kebakaran. Jika suatu hutan gambut

telah terganggu akibat kebakaran dan kemudian terjadi kebakaran lagi maka kemungkinan

besar hutan gambut tersebut akan sulit pulih kembali dan bisa terjadi disklimaks atau

sulitnya pencapaian kembali ekosistem klimaks pada hutan gambut.

Spesies-spesies tanaman yang memiliki potensi serapan biomassa maupun cadangan

karbon yang tinggi serta memiliki tingkat keberadaan yang tinggi pada semua klaster

penelitian dapat dijadikan pilihan bagi upaya rehabilitasi di hutan gambut yang

terdegradasi akibat kebakaran hutan.

Page 45: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 29

Hasil penelitian ini memberikan data dan informasi untuk mendukung upaya

moratorium sebagaimana Instruksi Presiden No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan

Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan

Gambut. Dalam Inpres tersebut, salah satu isinya menyebutkan bahwa salah satu tugas

Menteri Kehutanan adalah meningkatkan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan

memperhatikan kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik, antara lain

melalui restorasi ekosistem. Hasil penelitian ini dapat mendukung upaya-upaya restorasi

ekosistem dengan melakukan pemilihan spesies seperti jenis Ilex cymosa Blume.,

Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser. dan Cratoxylon arborescens Bl. yang memiliki

resiliensi tinggi untuk hidup dan tumbuh pada semua lokasi hutan gambut bekas kebakaran

sehingga upaya restorasi yang dilakukan akan semakin tinggi keberhasilannya.

Dinamika cadangan karbon vegetasi pada hutan gambut bekas kebakaran memberikan

dukungan data yang reliable dan valid untuk menentukan nilai faktor serapan pada hutan

gambut bekas terbakar. Dukungan data ini dapat digunakan untuk menghitung target

penurunan emisi dari hutan gambut melalui upaya konservasi cadangan karbon

sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61

Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang di

dalamnya menyebutkan target penurunan emisi setiap bidang (Tabel 17).

Tabel 17. Target penurunan emisi setiap bidang (Perpres No. 61 tahun 2011)

Bidang Target penurunan (Gt CO2e)

26% 41%

Kehutanan dan lahan gambut 0,672 (87,6%) 1,039 (87,4%)

Pertanian 0,008 (1,0%) 0,011 (0,9%)

Energi dan Transportasi 0,036 (4,7%) 0,056 (4,7%)

Industri 0,001 (0,1%) 0,005 (0,4%)

Limbah 0,048 (6,3%) 0,078 (6,6%)

Total 0,767 (100%) 1,189 (100%)

Nilai serapan karbon sebesar 13,57 ton CO2 eq/ha/tahun dapat digunakan sebagai

removal factor untuk penghitungan emisi dengan pendekatan nett emission khususnya di

Kalimantan Tengah pada areal hutan gambut bekas terbakar. Hasil penelitian ini juga

memberikan acuan pihak lain untuk pendugaan cadangan biomassa karbon berdasarkan

persamaan allometrik yang diperoleh.

3. Hutan gambut terdegradasi dengan sistim drainase

Hasil pengukuran emisi CO2 pada lahan gambut terdegradasi dengan sistim drainase,

dan HRG yang telah dikonversi menjadi kebun karet dan sawit disajikan pada Tabel 18

berikut.

Page 46: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 30

Tabel 18. Emisi gas CO2 pada HRG terdegradasi dan di konversi dengan sistim drainase

Lokasi pengukuran CO2 (mg/m2/jam) CO2 (ton/ha/th)

HRG terdegradasi 351,50 30,79

Kebun karet 269,14 23,58

Kebun sawit 337,87 29,60

Analisis statistik terhadap hasil pengukuran emisi CO2 menunjukkan adanya pengaruh

nyata dari perbedaan penutupan lahan (hutan terdegradasi, kebun karet dan kebun sawit)

terhadap emisi CO2. Emisi karbon pada hutan terdegradasi lebih tinggi dibandingkan emisi

pada kebun (sawit dan karet). Tingginya emisi pada hutan terdegradasi disebabkan oleh

adanya saluran drainase yang dibuat secara intensif di sekitar hutan. Akses pada hutan

tersebut dibuka dengan membuat jalan masuk. Saluran drainase dibuat membelah hutan

dengan kedalaman saluran bervariasi mencapai 2 meter dan lebarnya mencapai 3 meter

(Gambar 5)

Gambar 5. Saluran drainase di kawasan hutan terdegradasi

Pada kebun karet dan sawit, meskipun gambutnya didrainase namun sistim

drainasenya tidak seintensif yang ada di kawasan hutan terdegradasi. Kondisi lapangan

lainnya yang memungkinkan terjadinya perbedaan angka emisi antara lain perbedaan

ketebalan gambut. Tutupan hutan memiliki rerata ketebalan gambut 2,20 m, sedangkan

karet dan sawit ketebalan gambutnya masing-masing 1,82 dan 1,68 m. Ketebalan gambut

ini juga berpengaruh terhadap dinamika nilai fluks CO2 yang dihasilkan, baik pada proses

keluarnya gas CO2 maupun proses dekomposisi yang menghasikan gas CO2 (Sylvia et al.,

1998).

Hasil pengukuran serapan karbon yang dilakukan dengan metode chamber dari ketiga

kondisi tutupan lahan gambut (HRG terdegradasi, HRG konversi kekebun karet dan kebun

sawit) disajikan pada Tabel 19 berikut.

Page 47: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 31

Tabel 19. Serapan karbon pada tiga kondisi HRG terdegradasi

Tutupan lahan Serapan CO2 (ton/ha/th)

Hutan terdegradasi 41,74a

Kebun karet 4,17b

Kebun Sawit 1,77 b

Tingkat penyerapan karbon pada tutupan lahan berupa hutan terdegradasi cukup tinggi

yaitu 41,74 ton CO2 eq/Ha/th, berbeda sangat nyata dengan serapan pada HRG yang

dikonversi menjadi kebun karet dan kebun sawit. Emisi karbon erat kaitannya dengan jenis

dan komposisi tanaman, sehingga sangat penting menghubungkan antara komposisi jenis

tanaman dengan fungsi ekosistem gambut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa

perubahan ekosistem jenis tanaman mempengaruhi proses-proses penting yang berkaitan

dengan emisi gas rumah kaca (Handayani, 2009). Bila luasan konversi hutan gambut

menjadi kebun tidak dikendalikan, bisa jadi emisi yang dihasilkan dari lahan kebun akan

lebih tinggi dibandingkan dari lahan hutan.

Pemulihan lahan terdegradasi kembali menjadi hutan akan mendukung komitmen

dalam penurunan emisi GRK sebesar 26 % pada tahun 2020 dari tingkat emisi BAU

(Bussiness as Usual/Tanpa Rencana Aksi). Besaran angka penurunan emisi GRK ini juga

masih akan diperhitungkan kembali secara lebih akurat dengan menggunakan metodologi,

data dan informasi yang lebih baik (Manurung, 2010).

Berdasarkan kondisi tutupan lahan gambut dan emisi CO2 aktual, beberapa prioritas

yang dapat ditempuh Kabupaten Katingan dalam upaya penurunan emisi CO2:

- Melakukan penabatan kanal untuk memulihkan hidrologis lahan dan mengurangi laju

subsidensi lahan

- Mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan gambut. Adanya kebakaran

akan mengemisikan CO2 dalam jumlah besar. Selain itu akan mengakibatkan

terbukanya lahan gambut sehingga dekomposisi gambut berlangsung lebih cepat.

- Mempercepat rehabilitasi hutan dan lahan gambut terdegradasi melalui pengaturan tata

air dan penanaman dengan tanaman lokal penambat karbon tinggi,

- Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya hanya dilakukan dengan memperhatikan

sistem drainase terkendali pada lahan terdegradasi yang stok karbonnya rendah,

ketebalan < 3 meter dan substratumnya bukan pasir kwarsa.

Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan karbon

pada ekosistem gambut. Pembuatan drainase kerapkali dilakukan untuk mengatasi

kandungan air gambut yang dapat mencapai 90% volume. Drainase ini diperlukan untuk

pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit atau karet, namun harus terkendali karena sejak

dimulainya drainase, wilayah gambut telah menjadi emiter CO2 akibat meningkatnya

proses dekomposisi (Hendriks et al., 2007). Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi

jenuh air berjalan sangat lambat, namun dengan adanya drainase, proses dekomposisi

berjalan cepat (Rinnan et al., 2003; Kamela, 2012).

Perkembangan jumlah penduduk akan diikuti oleh peningkatan kebutuhan lahan untuk

kepentingan pembangunan seperti pengembangan perkebunan dan pertanian, pemekaran

wilayah, pertambangan dan pemukiman. Untuk kepentingan ini hendaknya pemenuhan

Page 48: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 32

kebutuhan lahan harus dikendalikan seminimal mungkin dari koversi tegakan hutan.

Deforestasi dan degradasi yang tidak terkendali seperti penebangan liar; penambangan liar,

kebakaran hutan, serta perambahan juga harus dicegah. Meminimalisir deforestasi dan

degradasi akan menurunkan emisi secara signifikan, yang akan mendukung target

penurunan emisi 26%.

Page 49: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 33

VII. SINTESIS

RPI dirancang untuk menyediakan data, informasi dan IPTEK yang diperlukan dalam

pengelolaan hutan termasuk HRG. Sudah barang tentu akibat berbagai keterbatasan seperti

kesediaan dana dan kemampuan SDM, tidak semua data, informasi dan IPTEK dapat

dipenuhi selama periode 2010 - 2014. Sintesis ini akan mencoba menguraikan capaian RPI

5 yang sejalan dengan permasalahan pengelolaan HRG di Indonesia.

Dalam lima tahun pelaksanaan RPI 5, Badan Litbang Kehutanan telah melaksanakan

serangkaian riset pengelolaan lahan gambut terdegradasi yang dilakukan oleh enam

SATKER yaitu BPK Aek Nauli, BPK Palembang, Puskonser Bogor, BPK Banjarbaru,

BPTKSDA Samboja dan BPK Manokwari. Tingkat kesiapan aplikasi IPTEK dari data

yang terkumpul sampai dengan akhir tahun 2014 sangat bervariasi dari topik-topik riset

RPI 5. Berikut diuraikan sintesis untuk masing-masing topik risetnya.

A. Klasifikasi Tipologi dan Sebaran HRG (RPI 5.1.)

Riset tentang klasifikasi tipologi dan sebaran HRG baru dilaksanakan di HRG Aceh,

Jambi, Kalteng dan Papua. Data dari Papua belum dapat diikutkan dalam sintesa ini karena

asih memerlukan klarifikasi. Kondisi biofisik dan tingkat degradasi ekosistem di kawasan

tersebut telah dapat formulasikan. Untuk menilai tingkat degradasi ekosistem HRG telah

diusulkan dua kriteria yaitu: (a) ekosistem gambut yang masih baik, dan (b) ekosistem

gambut terdegradasi. Adapun indikator untuk masing-masing kategori adalah :

Ekosistem gambut yang masih baik:

(a) kubah gambut masih berfungsi sebagai resapan air dengan luasan > 30% masih

tertutup tanaman keras alami;

(b) kedalaman muka air tanah di musim kemarau > 40 cm;

(c) bersifat hidrofilik dengan pH ≥ 4;

(d) serta nilai redoks potensial < 200 (mV).

Sedangkan ekosistem gambut terdegradasi bila :

(a) tidak berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30%;

(b) kedalaman muka air tanah ≥ 100 cm;

(c) bersifat hidrofobik dengan pH < 4;

(d) serta nilai redoks potensial ≥ 200 (mV).

Atas dasar tutupan vegetasinya, ekosistem gambut terdegradasi selanjutnya dikelompokkan

menjadi :

(a) terdegradasi ringan, dimana masih terdapat jenis pohon pioneer dan jenis pohon

klimax

(b) terdegradasi sedang, masih tersisa jenis pohon pioneer

(c) terdegradasi berat, tidak tersisa jenis pioneer maupun jenis klimax

Khusus di kawasan ex PLG Kalteng telah disusun rancangan kriteria dan indikator

untuk penilaian dalam menentukan kawasan konservasi. Adapun fungsi hutan lainnya

Page 50: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 34

seperti kawasan produksi, wisata dan bahkan kawasan yang layak untuk dikonversi, kajian

untuk kriteria dan indikatornya belum dimasukkan dalam kegiatan RPI 5.1. Sampai dengan

berakhirnya RPI di tahun 2014, informasi tipologi dan sebaran HRG daerah lainnya seperti

di Riau, Jambi, Kalbar juga belum tersedia. Namun demikian metodologi dalam menilai

klasifikasi tipologi HRG dan rancangan kriteria dan indikator untuk penilaian dalam

menentukan kawasan konservasi dapat dijadikan acuan oleh Eselon I terkait seperti Ditjen

Planologi dan Ditjen PHKA untuk kegiatan inventarisasi pada kawasan HRG lainnya

seperti di Riau, Jambi, Kalbar, dll.

Tipologi HRG yang telah dikaji merupakan HRG dataran rendah dengan kedalaman

gambut berkisar 2 sampai 3 meter. Direkomendasikan agar riset sejenis juga dilakukan

pada kawasan HRG dalam dan sangat dalam (Pantai Timur Riau) serta gambut

pegunungan (Humbang Hasundutan).

B. Teknologi Rehabilitasi HRG (RPI 5.2)

Uji coba phytoremediasi kawasan HRG terdegradasi telah dilakukan di Aceh Selatan

dan Aceh Singkil untuk mengatasi masalah salinitas lahan gambut akibat tsunami; dan di

Sumsel dan Kalteng untuk mengatasi tingkat keasaman lahan. Jenis pohon yang diuji di

Aceh adalah Terminalia catappa, Alstonia scholaris, Anthocephalus cadamba, dan Gluta

renghas. Pengujian di Sumsel dan Kalteng menggunakan jenis Dyera lowii), Tetramerista

glabra, Shorea belangeran, dan Alseodaphne sp. Sampai dengan akhir 2014, data dinilai

masih terlalu dini (baru merumur 3 - 12 bulan) untuk dapat menyimpulkan jenis unggulan

untuk mengatasi masalah salinitas maupun keasaman lahan. Oleh sebab itu, rekomendasi

jenis unggulan untuk rehabilitasi lahan gambut masih akan terus dievaluasi, minimal

sampai jenis yang direkomendasikan dapat tumbuh hingga menunjukan kemampuan

reproduktifnya.

Pengembangan IPTEK rehabilitasi pada HRG bekas terbakar diarahkan pada aspek

IPTEK pengaturan sistim drainase (dilakukan BPK Palembang); IPTEK percepatan suksesi

alam (dilakukan Puskonser di HLG Sei Buluh, Jambi); IPTEK rehabilitasi dengan

minimum input manajeman lahan (dilakukan Puskonser di HLG Londerang dan CKPP

Kalteng), dan IPTEK rehabilitasi dengan optimum input manajeman lahan (dilakukan

Puskonser di kawasan PT. WKS).

Kajian pengembangan IPTEK pengaturan sistim drainase mengindikasikan terjadinya

penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) sebesar 15 cm pertahunnya. Namun data

ini masih perlu diklarifikasi dengan level subsiden alami dalam proses pematangan lahan

gambut. Faktor lain penyebab subsiden seperti variasi pola usaha penanaman masih belum

dikaji, diharapkan info ini dapat diperoleh pada tahun 2013. Kajian IPTEK rehabilitasi

mengindikasikan pertumbuhan pada plot dengan input manajeman lahan intensif lebih

prospektif, namun untuk merekomendasikan IPTEK tersebut harus menunggu sampai

diperoleh data pertumbuhan umur diatas 2 tahun.

Komoditi jenis-jenis pohon yang diuji pada RPI 5.2. dapat dikelompokan menjadi :

(a) jenis lokal HRG seperti ramin, jelutung, tumih dan gerunggang sebanyak tujuh jenis;

(b) jenis-jenis keluarga dipterokarpa sebanyak 25 jenis; (c) jenis cepat tumbuh non gambut

delapan jenis; dan (d) jenis pohon penghasil bio diesel tiga jenis. Pengujian empat

Page 51: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 35

kelompok komoditi jenis pohon tersebut ditujukan untuk menentukan jenis-jenis potensial

untuk masing-masing kelompoknya. Bila telah dapat teridentifikasi maka jenis tersebut

akan digunakan dalam strategi percepatan rehabilitasi kawasan HLG terdegradasi akibat

kebakaran hutan.

Sasaran ideal dalam rehabilitasi hutan adalah mengembalikan ekosistem hutan sampai

tingkat klimaks. Namun, pada lahan gambut yang mengalami kerusakan berat akibat

kebakaran, dimana vegetasi yang tumbuh hanya belukar, proses suksesi buatan akan

memerlukan waktu panjang. Di lain pihak tekanan untuk membuka lahan gambut oleh

masyarakat sangat tinggi, terutama pada lahan gambut yang sudah terbuka. Sehingga

diperlukan percepatan suksesi dengan penanaman intensif jenis cepat tumbuh baik lokal

maupun non-gambut.

Strategi rehabilitasi akan berbeda pada masing-masing tingkat kondisi kerusakan

lahan. Pada lahan gambut dengan tingkat kerusakan berat, dimana sudah tidak dijumpai

vegetasi tingkat pancang, tiang dan pohon, rehabilitasi akan diarahkan pada teknik

peningkatan produktivitas lahan dengan penanaman intensif (revegetasi) jenis pohon cepat

tumbuh ataupun pohon penghasil bio-diesel. Sedangkan pada tingkat kerusakan sedang, di

mana masih tersisa vegetasi pohon asli, rehabilitasi akan diarahkan pada teknik percepatan

suksesi alam.

C. Adaptasi Fenologi Jenis-Jenis Pohon HRG (RPI 5.3)

Walaupun riset pada RPI 5.3. ditujukan untuk mempelajari pengaruh perubahan iklim

terhadap fenologi jenis pohon HRG, riset topik ini hanya dilakukan pada tahun 2010

(Puskonser) dan 2011 (BPK Samboja). Oleh sebab itu data yang diperoleh hanya dapat

digunakan untuk prediksi musim berbunga dan berbuah. Sedangkan untuk mempelajari

pengaruh perubahan iklim diperlukan pengamatan fenologi dan data iklim jangka panjang.

Riset untuk mempelajari pengaruh perubahan iklim terhadap fenologi jenis pohon

HRG dinilai sebagai riset dasar yang merupakan tupoksi LIPI. Sedangkan riset di Litbang

Kementerian diarahkan ke riset terapan.

D. Alternatif Pengelolaan HRG dengan Pola Partisipatif (RPI 5.4)

Kebakaran HRG menjadi isu nasional dan regional yang memerlukan solusi tepat

untuk mengatasinya. Pada saat penyusunan RPI 5 belum diamanatkan secara khusus untuk

mencari solusi terhadap masalah kebakaran gambut. Penanggulangan kebakaran gambut

memerlukan pendekatan multi disiplin ilmu seperti aspek teknis, sosial budaya, ekonomi

dan kelembagaan. Kegiatan RPI 5.4. telah melakukan pendekatan salah satu aspek sosial

yaitu pola partisipatif dalam pengelolaan HRG.

Hasil riset komponen RPI 5.4. mencakup informasi kondisi biofosik lokasi penelitian,

kondisi sosial masyarakat dan model pengelolaan HRG partisipatif yaitu dengan pola

penanaman campuran jelutung, karet, rambutan, cempedak, dll., di KHDTK Tumbang

Nusa. Kegiatan lanjutan dilakukan di hutan dengan fungsi lindung, yaitu Taman Nasional

Sebangau dan Hutan Lindung – Hutan Desa Kalawa, Kalimantan Tengah.

Kondisi biofisik di hutan rawa gambut KHDTK Tumbang Nusa memiliki kondisi sifat

tanah gambut yang relati fcukup baik, kecuali pada hutan bekas terbakar tahun 2004,

Page 52: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 36

memiliki KTK yang paling rendah (96.4 me/100g) dan P tersedia yang paling rendah (18

ppm) dibandingkan dengan lokasi lainnya. Kadar pirit di hutan sekunder dan bekas

terbakar relatif aman, dengan kisaran 102-115 ppm, sedangkan lahan agroforest

Jelutung+pepohonan memiliki kadar pirit yang paling tinggi (237.14 ppm). Tidak terlihat

adanya hubungan peningkatan pirit dengan kedalaman gambut. Kedalaman gambut di

petak pengamatan di Tumbang Nusa berkisar dari 200-460 cm

Masyarakat di Kecamatan Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, memiliki mata

pencaharian utama sebagai petani. Komoditas utama yang dikembangkan oleh masyarakat

adalah karet, dan jenis penghasil buah-buahan berupa rambutan, cempedak dan

paken.Masyarakat di desa Tumbang Nusa tidak menjadikan pertanian sebagai sumber

penghidupan utama seperti dua desa lainnya, Jabiren dan Pilang, karena kondisi alam

dengan gambut dalam. Pertanian intensif maupun jenis-jenis eksotik, seperti karet, tidak

cocok untuk dikembangkan di daerah ini.

Beberapa model pengelolaan rawa gambut yang telah dilakukan oleh masyarakat

setempat yaitu dengan memilih jenis-jenis lokal, seperti jelutung (Dyera polyphylla) dan

balangeran (Shorea balangeran). Lahan yang tidak dapat digunakan sebagai areal

pertanian semusim, digunakan sebagai areal pembibitan dan berkebun dengan pola

agroforestri, atau menanam berbagai komoditas pada lahan yang sama. Kondisi biofisik

HRG variasinya dinilai tidak begitu tinggi, dilain pihak kondisi sosial budaya sangat

bervariasi terutama antar suku dan adatnya. Sehingga respon masyarakat terhadap

pengelolaan hutan pola partisipatif dinilai akan berbeda antara suku dan adat

masyarakatnya.

Pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif di TN Sebangau merupakan

tipe partisipasi konsultasi dengan pendekatan pengambilan keputusan secara top down.

Program kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat di TN Sebangau, berupa

pembentukan Forum Masyarakat (Formas), Regu Pemadam Kebakaran (RPK) dan Pam

Swakarsa. Ketiga kelembagaan sudah cukup berkembang dengan baik, namun tingkat

partisipasi masyarakat masih rendah. Jika kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian

hutan tetap rendah, ada kecenderungan tingkat partisipasi berubah menjadi tingkat

partisipasi manipulatif.

Pengelolaan HD Kalawa, merupakan tipe partisipasi fungsional, dengan pendekatan

bottom up. Secara umum, tingkat pemahaman masyarakat terhadap hutan desa dan

pengelolaan partisipatif di hutan desa masih rendah, dan beranggapan HD tidak

memberikan keuntungan (baik ekonomi, ekologi dan social) bagi masyarakat dan

lingkungan, akan tetapi sebagian besar responden memiliki motivasi yang tinggi untuk

menjaga hutan.

Analisis kekuatan-kelemahan-peluang-ancaman (‘kekepan’) menunjukkan ada 4 faktor

internal dan eksternal yang menjadi karakteristik pengelolaan TN Sebangau secara

partisipatif, sedangkan pengelolaan HD Kalawa memiliki 5 faktor internal dan eksternal.

E. Dampak Deforestasi HRG terhadap Penurunan Emisi 26% (RPI 5.5.)

Kehutanan menjadi salah satu sektor yang menyumbang emisi gas rumah kaca melalui

tata guna lahan, perubahan tata guna lahan dan kehutanan (land use, land use change and

Page 53: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 37

forestry-LULUCF) khususnya deforestasi hutan tropis. Salah satu upaya untuk mitigasi

dampak perubahan iklim adalah melalui aksi pengurangan emisi dari deforestasi dan

degradasi hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation/REDD)

di negara berkembang. Dalam fase persiapan implementasi REDD, Indonesia perlu

menyiapkan perangkat yang dibutuhkan untuk implementasi REDD/REDD-plus, baik

metodologi (penetapan Reference Emission Level (REL), penghitungan karbon), system

MRV. Propinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu propinsi yang menghadapi

tekanan terhadap kawasan hutan yang cukup tinggi khususnya areal hutan gambutnya.

Tingkat serapan dan emisi pada hutan gambut yang telah rusak dan terkonservasi penting

juga untuk diketahui karena turut berkontribusi dalam pencapaian target penurunan emisi

sektor kehutanan sebesar 0,672 G ton CO2e (26%) sampai dengan tahun 2020. Salah satu

upaya penting untuk menekan emisi adalah dengan pemulihan HRG terdegradasi.

Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa pemulihan hutan rawa gambut

bekas tebangan dan hutan gambut bekas kebakaran memerlukan kurun waktu perkiraan

masing-masing 41,8 tahun dan 25 tahun untuk pulih kembali mendekati jumlah biomassa

karbon hutan rawa gambut primer. Riset deforestasi HRG dan kaitannya dengan emisi

GRK yang dilakukan di Kabupaten katingan, Kalteng, telah memformulasikan persamaan

allometrik pendugaan cadangan biomas. Berdasarkan persamaan allometrik lokal tersebut

maka dapat diduga perubahan cadangan biomassa yang selanjutnya di konversi menjadi

serapan CO2. Hasil perhitungan menunjukan bahwa selisih serapan karbon di HRG

terdegradasi ke hutan primer sebesar 19 ton CO2 e/ha/thn. Serapan karbon tersebut masih

jauh lebih tinggi dari emisi gambut sebesar 9 ton CO2 e/ha/thn dari penurunan ketebalan

gambut (subsiden), atau ada surplus serapan karbon sebesar 10 ton CO2 e/ha/thn. Hasil

serupa juga ditunjukan pada riset lanjutan yang dilakukan di lahan gambut Kabupaten

Katingan pada HRG dengan sistim drainase (kanal). Total serapan CO2 pada tutupan hutan

yang terdegradasi karena adanya drainase adalah sebesar 41,74 ton CO2 e/ha/th. Dilihat

dari emisinya, tutupan hutan ini mengemisikan CO2 sebesar 30,79 ton/ha/th, atau lebih

tinggi sebesar sekitar 20 ton CO2 e/ha/th dibanding HRG tanpa drainase. Disisi lain

tingginya emisi karbon masih diimbangi dengan surplus resapan sebesar 11 ton CO2

e/ha/th. Target penurunan emisi di Kabupaten Katingan akan dapat ditempuh melalui

penabatan kanal, penanggulangan kebakaran gambut, percepatan rehabilitasi, dan

pemanfaatan gambut terdegradasi dengan memperhatikan aspek ekologi gambut.

Riset RPI 5.5. dinilai telah dapat memberi data yang dibutuhkan dalam mendukung

kebijakan pemerintah terkait penurunan emisi sebesar 26%, namun riset masih perlu

dikembangkan untuk mendukung inventarisasi GRK pada ekosistem gambut secara

berkesinambungan dan mewakili beragam tipologi HRG di Indonesia. Riset resapan dan

emisi GRK juga terkait erat dengan program REDD, namun riset RPI 5.5. belum

diamanatkan untuk mendukung implementasi REDD. Pada RPI pasca 2014, RPI ini dapat

dikembangkan untuk mendukung implementasi REDD.

Page 54: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 38

VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

1. Sebaran HRG di Sumatera (7,2 jt Ha), Kalimantan (6,5 jt Ha) dan Papua (10,9 jt Ha)

diidentifikasi menggunakan citra satelit. Tipologi ekosistem HRG dikelompokan

menjadi: (a) HRG dengan ekosistem yang masih baik; dan (b) HRG dengan ekosistem

yang terdegradasi. Pengelompokan kondisi ekosistem HRG tesebut diformulasikan

atas dasar parameter fungsi kubah gambut, kedalaman muka air tanah, keasaman serta

nilai redoks potensial.

2. HRG dengan ekosistem terdegradasi selanjutnya dikelompokan menjadi: (a) HRG

terdegradasi dengan tingkat kerusakan ringan, masih tersisa jenis klimax dan pioneer;

(b) HRG terdegradasi dengan tingkat kerusakan sedang, hanya tersisa jenis pioneer;

dan (c) HRG terdegradasi dengan tingkat kerusakan berat, dimana tidak ada lagi

vegetasi pohon.

3. Strategi rehabilitasi dan restorasi HRG terdegradasi disesuaikan dengan tingkat

degradasi HRG. IPTEK pola rehabilitasi yang sedang dikembangkan adalah: (a)

“minimum input manajemen lahan”; (b) “optimum input manajemen lahan”; dan

(c) “percepatan suksesi alam”.

4. Tipologi HRG yang sesuai untuk ditetapkan sebagai kawasan konservasi flora dan

fauna menggunakan kriteria dan indikator yang didasarkan pada komponen: (a)

biologi dengan bobot 50%; (b) fisik-Kimia dengan bobot 20 %; (c) sosial-Ekonomi-

Budaya dengan bobot 17,5 %; dan (d) kelembagaan dengan bobot 12,5 %.

5. Model pengelolaan HRG dgn pola partisipatif yang melibatkan masyarakat hutan yang

membentuk berbagai bentuk kelembagaan seperti Forum Masyarakat dan Regu

Pemadam Kebakaran merupakan alternatif yang potensial untuk terus dikembangkan

dalam upaya penyelamatan kawasan konservasi dan mitigasi kebakaran hutan..

6. Serapan karbon di HRG terdegradasi ke hutan primer sebesar 19 ton CO2 e/Ha/th.

Serapan karbon tersebut masih jauh lebih tinggi dari emisi gambut sebesar 9 ton CO2

e/Ha/thn dari penurunan ketebalan gambut (subsiden). Pada HRG dengan sistim irigasi

emisi karbon total tercatat sebesar 30,79 ton CO2 e/Ha/th, sedangkan penyerapan

karbon lebih tinggi sebesar 41,74 ton CO2 e/Ha/th.

B. REKOMENDASI

1. Pada HRG terdegradasi dengan tingkat kerusakan ringan, rehabilitasi dapat dilakukan

dengan pola percepatan suksesi alam.

2. Pada HRG terdegradasi dengan tingkat kerusakan sedang, rehabilitasi dapat dilakukan

dengan pola minimum input manajemen lahan.

3. Pada HRG terdegradasi dengan tingkat kerusakan berat dan status hutannya adalah

Hutan Produksi, rehabilitasi harus dilakukan dengan pola optimum input manajemen

lahan. Penanaman dapat menggunakan jenis asli HRG ataupun jenis pohon cepat

tumbuh non gambut.

Page 55: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah
Page 56: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 40

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. 2007. Potensi dan emisi karbon di lahan gambut. Dalam Bunga Rampai

Konservasi Tanah dan Air, Seminar MKTI-2 Tahun 2007. MKTI. Bogor.

Agus, F., dan Subiksa, IGM. 2008. Lahan Gambut: Potensi Untuk Pertanian dan Aspek

Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Bogor.

Agus, F, K. Hairiah, A. Mulyani. 2011. Pengukuran cadangan karbon tanah gambut.

Petunjuk Praktis. World Agroforestry Centre dan Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor, Indonesia.

Anonim. 2011. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang

Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam

Primer dan Lahan Gambut.

Anonim. 2011. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang

Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.

Barchia, MF. 2006. Gambut Agroekosistem dan Tranformasi Karbon. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

BPP [Balai Penyuluh Pertanian]. 2010. Program Penyuluhan Pertanian Balai Penyuluh

Pertanian Jabiren Raya. Kecamatan Jabiren Raya. Kabupaten Pulang Pisau.

Provinsi Kalimantan Tengah.

BPS [Biro Pusat Statistika]. 2011. Pulang Pisau Dalam Angka 2010. Biro Pusat Statistika

Kabupaten Pulang Pisau. Pulang Pisau.

Chapin, C.T., Bridgham, S.D. and Pastor, J. 2004. pH and nutrient effects on aboveground

net primary productivity in aMinnesota, USA bog and fen. Wetlands 24, 186–201.

Daryono, H. 2000. Kondisi Hutan Setelah Penebangan dan Pemilihan Jenis Pohon Yang

Sesuai Untuk Rehabilitasi dan Pengembangan Hutan Tanaman di Lahan Rawa

Gambut. Prosiding Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Litbang di

Hutan Lahan Basah. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru.

Departemen Dalam Negeri. 2006. Strategi dan Rencana Tindak Nasional: Pengelolaan

Lahan Gambut Berkelanjutan. Kelompok Kerja Pengelolaan Lahan Gambut

Nasional. Departemen dalam Negeri. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan P.70/Menhut-ll/2008 tentang

Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Jakarta.

Hairiah, K, A. Ekadinata, R .R.Sari, S. Rayahu. 2011. Pengukuran cadangan karbon dari

tingkat lahan ke bentang lahan. Edisi 2. World Agroforestry Centre, ICRAF South

East Asia. Bogor.

Hartatik, W., I.G.M. Subiksa, A. Dariah. 2011. Sifat kimia dan fisik tanah gambut. Dalam:

Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar

Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementerian

Pertanian.

Pp:45-56. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/lainnya/wiwik%20

hartatik.pdf.

Page 57: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 41

Hooijer, A., S. Page, J.G. Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wosten, J. Jauhianen. 2009.

Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia.

Biogeosciences Discuss. 6:7207-7230.

Hoscilo, A., S.E. Page, K. Tansey. 2007. The role of fire in the degradation of tropical

peatlands: a case study from Central Kalimantan. In: Rieley, J.O., Banks, C.J. and

Radjagukguk, B. (eds). Carbon-climate-human interaction on tropical peatland.

Proceedings of The International Symposium and Workshop on Tropical Peatland,

Yogyakarta, 27-29 August 2007, EU CARBOPEAT and RESTORPEAT

Partnership, Gadjah Mada University, Indonesia and University of Leicester,

United Kingdom.

IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance). 2008. Reducing Emission from Deforestation

and Degradation in Indonesia. Consolidation Report.

Inubushi, K., Y. Furakawa, A. Hadi, E. Purnomo, and H. Tsuruta. 2003. Seasonal change

of CO2, CH4 and N2O fluxes in relation to land-use change in tropical peatlands

located in coastal area of South Kalimantan, Chemosphere. 52:603-608.

IPCC. 2001. IPCC Third Assessment Report.

IPCC Guideline. 2006. Land Use, Land Use Change and Forestry. UNFCCC.

Kementerian Kehutanan. 2010. Peraturan Menteri Kehutanan P.26/Menhut-ll/2010 tentang

Perubahan terhadap Peraturan Menteri Kehutanan P.70/Menhut-II/2008 tentang

Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan.

Kettering, Q.M., R. Coe, M. van Noordwijk, Y. Ambagau, C.A. Palm. 2001. Reducing

uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above ground

tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management

146:201-211.

Koh, L.P., J. Miettinen, S.C. Liew, and J. Ghazoul. 2011. Remotely sensed evidence of

tropical peatland conversion to oil palm. PNAS Early Edition. 2011. www.

pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas. 1018776108.

Lamb, D. and D. Gilmour. 2003. Rehabilitation and Restoration of Degraded Forests.

IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK and WWF, Gland, Switzerland. x

+110 pp.

Limin, SH. 2004. Kondisi Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah dan Strategi

Pemulihanya. Dalam: Prosiding Kesiapan Teknologi Untuk Mendukung Rehabilitasi

Hutan dan Lahan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah (Eds. Tampubolon, AP.,

Hadi, TS., Wardani, W., dan Norliani). Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan. Banjarbaru.

Ma’as, A. 2003. Peluang dan konsekuensi pemanfaatan lahan rawa pada masa mendatang.

2003. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta.

Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Cambridge University

Press. UK.

Maswar, O. Haridjaja, S. Sabiham, M. van Noordwijk. 2011. Kehilangan karbon pada

berbagai tipe penggunaan lahan gambut tropika. Jurnal Tanah dan Iklim. 34:13-25.

Page 58: 2010-2014 - forda-mof.org · ii 4. Kelembagaan (Bobot 12,5 %) dengan dua Kriteria (Lembaga Pendukung dan Regulasi Pendukung) dan empat Indikator. Terkait luaran 5.2., Tim RPI 5 telah

Sintesis 2010-2014 | 42

Miettine, J., C. Shi, and S.C. Liew. 2011. Two decades of destruction in Southeast Asia's

peat swamp forests. Frontiers in Ecology and the Environment. 2011; doi:

10.1890/100236.

Najiyati, S., Asmana, A., dan Suryadiputra, INN. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di

Sekitar Lahan Gambut. Wetlands International. Canadian International Development

Agency.

Odum, 1969. The strategy of ecosystem development. Science 164:262-270.

Rudel, T.K. Succession theory: reassessing a neglected meta-narrative about environment

and development. 2009. Human Ecology Review. 16(1):84-92.

Soerianegara, I., and Lemmens, RHMJ. 1994. Plant Resources of South-East Asia. Timber

Trees: Major Commercial Timbers. PROSEA, Bogor, Indonesia.

Wahyunto, S. Ritung, Suparto, and H. Subagjo. 2004. Map of peatland distribution area

and carbon content in Kalimantan, Wetland International-Indonesia program and

Wildlife Habitat Canada (WHC). Bogor.

Wibisono, ITC., Siboro, L., and Suryadiputra, INN. 2005. Panduan Rehabilitasi dan

Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Wetlands International. Canadian International

Development Agency.