2009zra Tesis Doktoral IPB

276

Click here to load reader

description

tesis doktoral

Transcript of 2009zra Tesis Doktoral IPB

Page 1: 2009zra Tesis Doktoral IPB

MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI PERUSAHAAN MIGAS DALAM RANGKA MENDUKUNG MEKANISME PEMBANGUNAN

BERSIH (STUDI KASUS LAPANGAN EKSPLOITASI MIGAS TUGU BARAT, INDRAMAYU, JAWA BARAT)

ZULKIFLI RANGKUTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Page 2: 2009zra Tesis Doktoral IPB

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Model Pemanfaatan Gas

Ikutan di Perusahaan Migas dalam Rangka Mendukung Mekanisme

Pembangunan Bersih (Studi Kasus Lapangan Eksploitasi Migas Tugu Barat,

Indramayu, Jawa Barat)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam

bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka

di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2009

ZULKIFLI RANGKUTI P062059434

Page 3: 2009zra Tesis Doktoral IPB

ABSTRAK ZULKIFLI RANGKUTI. 2009. Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Perusahaan Migas dalam Rangka Mendukung Mekanisme Pembangunan Bersih (Studi Kasus Lapangan Eksploitasi Migas Tugu Barat, Indramayu, Jawa Barat). Dibimbing Oleh BAMBANG PRAMUDYA. N sebagai Ketua Komisi Pembimbing, SURYONO HADI SUTJAHJO, ETTY RIANI dan IMAM SANTOSO sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Keberadaan PT. SDK sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di sektor minyak dan gas bumi yang bekerjasama dengan PT. Pertamina memegang peran penting dalam penyediaan energi gas dan peningkatan pendapatan daerah di dalam negeri. Penelitian bertujuan untuk mengembangkan model pemanfaatan gas ikutan dalam kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam mendukung mekanisme pembangunan bersih di Lapangan Tugu Barat. Penelitian menggunakan metode analisisi deskriptif yang didukung dengan metode triangulasi, metode analisis kelayakan ekonomi (Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Pay Back Period (PBP), dan analisis Profitability Index, sistem dinamik dengan bantuan software Powersim Constructor versi 2.5, Analitycah Hierarchy Process (AHP) dan Interpretatif Structural Modeling (ISM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lapangan minyak Tugu Barat memiliki cadangan minyak sebesar 43.423 milyar barrel. Cadangan yang telah terambil sebesar 12.485,50 milyar barrel dan cadangan gas ikutan (flare) sebanyak 35,7 BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable. Kilang LPG Plant Tugu Barat selama ini mendapatkan pasokan gas dari stasiun pengumpul Tugu Barat. Kilang ini terdiri dari kilang CO2 removal dan kilang LPG. Pemanfaatan produksi minyak dan gas bumi Lapangan Tugu Barat meliputi (1) minyak untuk keperluan kilang (proses extraksi) Balongan dan untuk memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri (2) gas alam (non associated) diigunakan untuk keperluan semburan buatan (gas lift) pada Lapangan Bongas Blok Jatibarang, ke kilang Mundu untuk diproses (stripping) menjadi gas LPG, dan untuk konsumen industri seperti PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon dan Pabrik Kapur Palimanan, Cirebon, dan (3) gas alam (associated) dimanfaatkan melalui PT.SDK untuk bahan baku (feed stock) pada proses Mini LPG Plant. Industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu secara ekonomi layak untuk dikembangkan Hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial. Ini menunjukan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat kelahiran maupun tingginya penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan pada sub model pengolahan gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan deposit gas maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Dalam hal ini di dalam model terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut mengikuti pola dasar (archetype) “Limit to Growth”. Alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan yang perlu dikembangkan di adalah pemanfaatan Liquified Petroleum Gas (LPG).

Kata kunci : Model, gas ikutan. Migas, mekanisme pembangunan bersih.

Page 4: 2009zra Tesis Doktoral IPB

ABSTRACT ZULKIFLI RANGKUTI. 2009. Flaring Gas Utilization Model in Oil and Gas

Company to support Clean Development Mechanism (Case Study on Oil and Gas Exploitation Field, Tugu Barat, Indramayu, West Java). Supervised by BAMBANG PRAMUDYA. N as Promotor, SURYONO HADI SUTJAHJO, ETTY RIANI, IMAM SANTOSO as CO Promotor

The existence of PT. SDK as one of the peripatetic Company in oil and gas sector which work with PT. Pertamina hold important role in ready to supply gas and improvement of earning of area in home affairs. Research aim to develop model of utilization of associated gas activity of petroleum exploitation in supporting clean development mechanism in Tugu Barat oil field. Big potential of gas production in Indonesia and decreasing the production of oil as fuel production in Indonesia, make Indonesian government to change policy from utilized oil fuel to gas fuel as alternative energy a cheap and environmentally friendly. On the other hand, production of oil and gas be produced flaring gas. Based on that, need to find utilization of flaring gas modeling on oil and gas company to support clean development mechanism, such as on Tugu Barat Oil and Gas Exploitation Field, Indramayu, West Java. This research use descriptive analysis method with triangulation method, Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Pay Back Period (PBP), and profitability Index Analysis with software Powersim Constructor version 2.5, Analytical Hierarchy Process (AHP) and Interpretative Structural Modeling (ISM). The analysis result indicated that flaring gas produced from Tugu Barat Field potential to processed, because profitable and could decrease global warming so that it can support clean development mechanism (CDM). Alternative policy that could develop on Tugu Barat Oil Field is process flaring gas to liquefied petroleum gas (LPG), beside profitable, it can protect environment quality to clean development mechanism (CDM). To achieve this, most influential factor is government policy and other influential factors are human resources, natural resources (flaring gas availability), funding, technology, facilities and infrastructure. Therefore to manage flaring gas on Tugu Barat Field needs government policy and high quality human resources. Flare gas industry on Tugu Barat Oil Production Field, economically good to develop. The result of West Java and Jakarta society sub model ecology , sub model simulation and economic sub model indicated the preference of positive growth curve establishment which follow exponential curve, same result indicate on migrants. But because of resource limitedness, at one time the curve go to stable equilibrium through balancing process which at dynamic system said for following archetype “limit to growth”. Alternative policy management of associated gas which need to be developed in Liquified Petroleum Gas (LPG). Key words: model, policy, associated gas management, oil and gas, greenhouse gases, global warming, clean development mechanism, AHP, ISM

Page 5: 2009zra Tesis Doktoral IPB

RINGKASAN

Krisis energi global khususnya yang berasal dari bahan bakar minyak,

membuat pemanfaatan gas sangat memegang peranan penting dalam

mendukung penyediaan energi sebagai salah satu sumberdaya energi

elaternatif. Untuk mendukung penyediaan energi tersebut, PT. SDK bekerja

sama dengan PT. Pertamina (Persero) mengembangkan industri pengolahan gas

di Lapangan Tugu Barat, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Penelitian

bertujuan untuk mengembangkan model pemanfaatan gas ikutan dalam kegiatan

eksploitasi minyak bumi dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di

Lapangan Tugu Barat. Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa kegiatan yang

dilakukan sebagai tujuan khusus, antara lain :

1. Mengetahui kondisi sistem pengolahan gas ikutan yang ada saat ini dan

potensi pemanfaatannya

2. Mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan dalam eksploitasi

migas.

3. Mengembangkan disain model pengelolaan gas ikutan dalam kegiatan

eksploitasi minyak bumi yang bersifat site spesific.

4. Menentukan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan

Penelitian dilaksanakan di dalam areal Wilayah Kuasa Pertambangan

(WKP) PT Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region Jawa Area Operasi

Timur dan Wilayah Kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola (SDK) Kelurahan/Desa

Amis, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Lokasi

penelitian terletak pada koordinat 107°51°-108°36° bujur timur dan 6°15°-6"40°

lintang selatan. Penelitian dilakukan mulai bulan Februari 2008 sampai dengan

Januari 2009 terhitung sejak pengambilan data di lapangan sampai penyusunan

disertasi. Penelitian menggunakan metode analisis data yang meliputi :

1. Mengetahui kondisi sistem pengolahan gas ikutan yang ada saat ini dan

potensi pemanfaatannya menggunakan metode deksriptif. Untuk mendukung

metode analisis deskriptif ini, terlebih dahulu dilakukan pengumpulan data-

data sekunder yang berkaitan dengan topik yang dikaji. Pengumpulan data

dilakukan dengan pendekatan triangulasi yang merupakan suatu pendekatan

dengan memanfaatkan beberapa macam teknik pengumpulan data yang

antara lain kegiatan studi pustaka terhadap hasil-hasil kajian terdahulu, yang

Page 6: 2009zra Tesis Doktoral IPB

dilanjutkan dengan pengamatan (observasi) langsung di wilayah studi, dan

wawancara dengan masyarakat setempat.

2. Mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan dalam eksploitasi

migas menggunakan metode analisis kelayakan ekonomi dengan

menggunakan pendekatan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return

(IRR), Pay Back Period (PBP), dan analisis Profitability Index.

3. Mengembangkan disain model pengelolaan gas ikutan dalam kegiatan

eksploitasi minyak bumi yang bersifat site spesific menggunakan metode

analisis data sistem dinamik dengan bantuan software Powersim Constructor

versi 2.5

4. Menentukan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan

menggunakan metode analisis data Analitycal Hierarchy Process (AHP)

untuk menyusun strategi arahan kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan di

Lapangan Tugu Barat. Sedangkan untuk mengetahui kendala utama yang

dihadapi dan kebutuhan program dilakukan analisis Interpretatif Structural

Modeling (ISM).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lapangan minyak Tugu Barat di

Indramayu mulai dieksploitasi oleh Pertamina pada tahun 1970. Produksi

tertinggi dicapai pada tahun 1973-1994 sebesar 28.000 barrel oil per day

(BOPD). Lapangan minyak Tugu Barat memiliki areal seluar 920,328 ha dengan

cadangan minyak sebesar 43.423 milyar barrel. Cadangan yang telah terambil

sebesar 12.485,50 milyar barrel dan cadangan gas ikutan (flare) sebanyak 35,7

BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable. Kilang LPG Plant Tugu Barat

selama ini mendapatkan pasokan gas dari stasiun pengumpul Tugu Barat. Kilang

ini terdiri dari kilang CO2 removal dan kilang LPG. Pemanfaatan produksi minyak

dan gas bumi Lapangan Tugu Barat meliputi (1) minyak untuk keperluan kilang

(proses extraksi) Balongan dan untuk memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak

(BBM) dalam negeri (2) gas alam (non associated) diigunakan untuk keperluan

semburan buatan (gas lift) pada Lapangan Bongas Blok Jatibarang, ke kilang

Mundu untuk diproses (stripping) menjadi gas LPG, dan untuk konsumen industri

seperti PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon dan Pabrik Kapur Palimanan, Cirebon,

dan (3) gas alam (associated) dimanfaatkan melalui PT.SDK untuk bahan baku

(feed stock) pada proses Mini LPG Plant.

Industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu

secara ekonomi layak untuk dikembangkan. Hal ini dilihat dari keuntungan bersih

Page 7: 2009zra Tesis Doktoral IPB

yang diperoleh bernilai positif dengan tingkat keuntungan bersih (NPV) sebesar

US$ 1.148.174,00 dengan kemapuan mengembalikan modal pinjaman bank

yang besar yaitu lebih besar dari tingkat suku bunga bank sampai pada batas

waktu yang ditetapkan dengan rata-rata IRR berkisar 14,42 % (IRR total). Dilihat

dari nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh nilai sebesar

5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk payback loan yang

berarti bahwa waktu yang diperlukan oleh perusahaan untuk dapat

mengembalikan modal yang dikeluarkan lebih cepat dari masa kontrak dan untuk

tahun kelima dan seterusnya perusahaan akan memperoleh keuntungan dari

selisih antara hasil penjualan dengan biaya atau modal yang dikeluarkan.

Hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan

kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth) naik

mengikuti kurva eksponensial. Ini menunjukan tingginya tingkat pertumbuhan

penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat kelahiran maupun tingginya

penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan pada sub model pengolahan

gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun karena

keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan deposit

gas maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik keseimbangan

tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Dalam hal ini

di dalam model terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui

proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses

balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut mengikuti pola dasar

(archetype) “Limit to Growth”.

Alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan yang perlu dikembangkan di

adalah pemanfaatan Liquified Petroleum Gas (LPG). Tujuan yang diharapkan

dalam pengembangan pemanfaatan LPG adalah terpeliharanya kualitas

lingkungan dalam rangka menuju clean development mechanism (CDM). Untuk

mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan

pemerintah dan sumberdaya manusia. Oleh karena itu diperlukan kebijakan

pemerintah dan peningakatan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam

pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu Barat.

Page 8: 2009zra Tesis Doktoral IPB

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009. Hak Cipta dilindungi Undang-undang.

1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 9: 2009zra Tesis Doktoral IPB

MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI PERUSAHAAN MIGAS DALAM RANGKA MENDUKUNG MEKANISME PEMBANGUNAN

BERSIH (STUDI KASUS LAPANGAN EKSPLOITASI MIGAS TUGU BARAT, INDRAMAYU, JAWA BARAT)

ZULKIFLI RANGKUTI

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Page 10: 2009zra Tesis Doktoral IPB

Judul Disertasi : Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Perusahaan Migas dalam

Rangka Mendukung Mekanisme Pembangunan Bersih (Studi Kasus Lapangan Eksploitasi Migas Tugu Barat, Indramayu, Jawa Barat)

Nama : Zulkifli Rangkuti

NIM : P062059434

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya. N. M.Eng

Ketua

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo. MS Dr. Ir. Etty Riani. MS Anggota Anggota

Dr. Ir. Imam Santoso. MS Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS NIP. 131 471 836 NIP. 130 891 386 Tanggal Ujian 20 April 2009 Tanggal Lulus: ............................

Page 11: 2009zra Tesis Doktoral IPB

PRAKATA

Penulis sangat bersyukur kepada Allah SWT, karena berkat dan kekuatan yang daripadaNya sehingga draft disertasi ini berhasil diselesaikan.

Disertasi ini dapat diselesaikan berkat arahan dan bimbingan dari para komisi pembimbing: Prof. Dr. Ir. BAMBANG PRAMUDYA N, M.Eng. (ketua); Prof.Dr. Ir. SURJONO H. SUTJAHJO. MS (anggota); Dr. Ir. ETTY RIANI M.S (anggota) dan Dr. Ir. IMAM SANTOSO M.S (anggota). Ucapan terima kasih yang paling tulus disampaikan untuk semua nama tersebut di atas.

Akomodasi yang diterima pada program studi PSL di bawah Ketua Program Studi: Prof. Dr. Ir. SURJONO H SUTJAHJO, M.S. yang selalu mendorong penyelesaian studi; Dr. Ir. ETTY RIANI. M.S (Eks.Sekretaris Eksekutif Program Studi PSL) yang telah berkenan mengakomodasi ujian kualifikasi doktor dan kegiatan-kegiatan administratif lainnya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Baringin Panggabean, Ph.D sebagai Konsultan keuangan PT.SDK yang memberi kesempatan kepada penulis dalam penulisan disertasi, serta kepada Dewan Direksi PT.SDK, Arief Susilo Wiranto. B.Eng dan Ir. Pandu Wiweko dan Ir.Edwargo. S dan Nugroho BA Field Manager di lapangan yang mengijinkan dan berdiskusi kepada kami sehingga selesai dalam penulisan disertasi kami, merupakan catatan tersendiri bagi penulis. Untuk itu juga disampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh anggota keluarga (istri dan anak-anak penulis : Siska Pratiwi, Fadhillah A.Z Rangkuti dan Fahriz Z. Rangkuti; Bapak dan Ibu mertua : Asmuni dan Sunarni. Juga kepada teman-teman angkatan VI (Dr.Albert Napitupulu SE. MSi, Betty Setianingsih, Budiono, Hermanus, Dr. Ir. Hazaddin Tende Sitepu MM, Hairul Sitepu, Henry Paranginangin, Mulyo Handono, Petrus Tampubolon, Walter Gultom dan sahabat saya Bambang Mulyana Candidate Doktor, seluruh staf administrasi Sekolah Pascasarjana IPB dan Staf Administrasi PSL (Mbak Ririn, Mbak Herlin, Mbak Suli) dan mereka yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Walaupun disertasi ini telah disiapkan dengan sebaik-baiknya, kekurangan dan kesalahan sangat mungkin terjadi. Untuk perbaikan ke depan dan demi menambah khasanah keilmuan, tanggapan dan saran-saran sangat diharapkan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin

Bogor, April 2009 Zulkifli Rangkuti

Page 12: 2009zra Tesis Doktoral IPB

Riwayat Hidup

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 1967 sebagai anak ketiga dari 5 bersaudara dari pasangan M.A Rangkuti (Alm) dan Siti C. Rangkuti. Penulis menikah dengan Siska Pratiwi pada tahun 2002 dan telah dikaruniai dua orang putra, Fadhillah A.Z Rangkuti dan Fahriz.Z Rangkuti. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Akutansi pada Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya dan lulus pada tahun 1994, pada tahun 1995 lulus sebagai Sarjana Ekonomi jurusan Ekonomi Manajemen Pemasaran pada Fakultas Ekonomi UPN “Veteran” Cabang Jawa Timur. Pada tahun 1999 tahun ajaran 1998/1999, dengan bantuan biaya pendidikan dari PT.Bank Asia Pasific (ASPAC), penulis diterima di Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana dan menamatkannya pada tahun 2000. Program Penyetaraan Magister (S2) di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Institut Pertanian Bogor tahun 2005 – 2006. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor dari sumber pembiayaan yang mandiri pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan diperoleh pada tahun 2006. Pengalaman kerja antara lain pernah sebagai Kepala Divisi Pembiayaan (Vice President) pada PT.Bank Syariah Bukopin memimpin pemberian pembiayaan skala besar (wholesale), April – Juli 2008, Kepala Divisi (Vice President) UUS PT.Bank Century Tbk Mei 2006-September 2007 dan Marketing Manager Pembiayaan Korporasi (Asistant Vice President) PT.Bank Syariah Mandiri Juli 2003-Mei 2006. Saat ini penulis bekerja sebagai Senior Advisor (Asset Backed Financing) pada PT. Sumber Daya Kelola (PT.SDK) yang bergerak pada Gas Processing Plant dengan memanfaatkan gas ikutan menjadi Produk LPG, Kondensat, Lean Gas dan CO2, serta aktif kegiatan social di lingkungan penulis tinggal sebagai Wakil Ketua (Sekretaris) RT. di Perumahan Permata Mediterania Kelurahan Srenseng Kecamatan Kembangan Jakarta 11630.

Page 13: 2009zra Tesis Doktoral IPB

ii

DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

DAFTAR TABEL......................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR..................................................................................... viii

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1

1.2. Tujuan Penelitian............................................................................ 5

1.3. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 5

1.4. Perumusan Masalah....................................................................... 7

1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................... 10

1.6. Novelty (Kebaruan)......................................................................... 11

BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 12

2.1. Minyak Bumi ................................................................................. 12

2.1.1. Eksploitasi Minyak Bumi ................................................... 12

2.1.2. Pengelolaan Reservoir Minyak dan Gas Bumi ................. 14

2.2. Sistem Produksi dan Pemanfaatan Minyak dan Gas Bumi .......... 18

2.2.1. Sistem Produksi Minyak Bumi .......................................... 20

2.2.2. Pemisahan Minyak Gas Air............................................... 20

2.3. Gas Alam (Natural Gas) ............................................................... 21

2.3.1. Kandungan Energi (Pengukuran Gas Alam)..................... 23

2.3.2. Pemanfaatan Gas Alam.................................................... 23

2.3.3. Gas Alam di Indonesia...................................................... 24

2.4. Gas Ikutan (Associated Gas atau Flaring Gas) ............................ 24

2.4.1. Gas Ikutan (associated Gas atau Flaring Gas) di Indonesia 26

2.5. Proses Gas Ikutan Menjadi LPG .................................................. 26

2.6. Potensi Sumber Daya Migas Indonesia........................................ 29

2.7. Kegiatan Eksploitasi Minyak Bumi Indonesia ............................... 29

2.8. Pengelolaan Lingkungan Kegiatan Ekploitasi Minyak Bumi ......... 34

2.9. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan ........... 35

2.10. Pembangunan Berkelanjutan ...................................................... 35

2.11. Produksi Besih.............................................................................. 37

2.12. Clean Development Mechanism (CDM) ....................................... 38

2.13. Ekonomi Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan .................. 45

2.14. Pengelolaan Lingkungan Sosial ................................................... 47

Page 14: 2009zra Tesis Doktoral IPB

iii

2.15. Pendekatan Sistem ...................................................................... 50

2.15.1. Sistem Dinamik .............................................................. 51

2.15.2. Pengertian Model dan Permodelan ............................... 53

2.15.3. Jenis-jenis Model ........................................................... 54

2.15.4. Proses Permodelan ....................................................... 55

BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................... 61

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 61

3.2 Rancangan Penelitian................................................................. 62

3.2.1. Jenis dan Sumber Data ..................................................... 62

3.2.2. Teknik Penetapan Responden .......................................... 65

3.2.3. Pengambilan Sampel Udara.............................................. 66

3.2.4. Metode Analisis Data......................................................... 66

3.3. Defenisi Operasional .................................................................... 66

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN........................... 72

4.1. Letak Geografis dan Administratif ................................................ 72

4.2. Iklim ............................................................................................. 72

4.3. Penggunaan Tanah ...................................................................... 72

4.3.1. Ekonomi ............................................................................ 73

4.3.2. Sosial dan Budaya ............................................................ 73

4.3.3. Sumber Daya Alam............................................................ 75

4.4. Profil Industri Pengolahan Gas Ikutan Objek Penelitian .............. 78

BAB V. STUDI KONDISI SISTEM PENGOLAHAN GAS IKUTAN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA .................................................. 80

Abstrak .................................................................................................. 80

5.1. Pendahuluan ................................................................................ 80

5.2. Metode Analisisi Kondisi dan Sistem Pengolahan Gas Ikutan

dan Potensi Pemanfaatannya ..................................................... 85

5.3. Hasil dan Pembahasan Studi Kondisi dan Sistem Pengolahan

Gas Ikutan dan Potensi Pemanfaatannya .................................... 85

5.3.1. Kondisi Sistem Pengolahan Gas Ikutan ............................ 85

5.3.2. Potensi Pemanfaatan Gas Ikutan (Flare Gas) di

Lapangan Produksi Munyak Tugu Barat........................... 103

5.3.3. Kualitas Lingkungan.......................................................... 112

Page 15: 2009zra Tesis Doktoral IPB

iv

5.4. Kesimpulan .................................................................................. 116

Daftar Pustaka........................................................................................ 117

BAB VI. KELAYAKAN EKONOMI PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI LAPANGAN MINYAK TUGU BARAT, INDRAMAYU................... 119

Abstrak .................................................................................................. 119

6.1. Pendahuluan ................................................................................ 119

6.2. Metode Analisis Kelayakan Ekonomi Pemanfaatan Gas

Ikutan ............................................................................................ 121

6.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Kelayakan Ekonomi

Pemanfaatan Gas Ikutan............................................................... 123

6.4. Kesimpulan .................................................................................. 131

Daftar Pustaka........................................................................................ 133

BAB VII. DISAIN MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN (INTERAKSI EKOLOGI, TEKNO-EKONOMI DAN SOSIAL) ............................ 134

Abstrak .................................................................................................. 134

7.1. Pendahuluan ................................................................................ 134

7.2. Metode Analisis Disain Model Pemanfaatan Gas Ikutan.............. 135

7.3. Hasil dan Pembahasan Model Pemanfaatan Gas Ikutan

Di Lapangan Tugu Barat, Indramayu ........................................... 145

7.3.1. Simulasi Model Pemanfaatan Gas Ikutan........................... 145

7.3.2. Validasi Model Pemanfaatan Gas Ikutan di

Lapangan Tugu Barat ......................................................... 160

7.4. Kesimpulan .................................................................................. 161

Daftar Pustaka........................................................................................ 163

BAB VIII. STRATEGI ARAHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN GAS IKUTAN YANG MENGUNTUNGKAN SECARA EKONOMI, EKOLOGI DAN SOSIAL.................................................................... 164

Abstrak .................................................................................................. 164

8.1. Pendahuluan ................................................................................ 164

8.2. Metode Analisis Strategi Kebijakan Pemanfaatan Gas Ikutan ..... 166

8.3. Hasil dan Pembahasan Penyusunan Strategi Kebijakan

Pemanfaatan Gas Ikutan.............................................................. 173

8.4. Kesimpulan .................................................................................. 194

Daftar Pustaka........................................................................................ 195

Page 16: 2009zra Tesis Doktoral IPB

v

BAB IX. PEMBAHASAN UMUM ............................................................... 196

BAB X. REKOMENDASI KEBIJAKAN .................................................... 205 10.1. Kebijakan Umum ......................................................................... 205

10.2. Kebijakan Operasional.................................................................. 206

BAB XI. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 207 11.1. Kesimpulan ............................................................................... 207

11.2. Saran-Saran .............................................................................. 208

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 209

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xi

Page 17: 2009zra Tesis Doktoral IPB

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Lapangan minyak on shore yang dikelola PT. Pertamina ................. 33

2. Potensi dampak lingkungan kegiatan ekploitasi minyak bumi............ 34

3. Karakteristik gas rumah kaca utama ................................................. 40

4. Teknologi rendah emisi disektor energi, industri, dan transportasi..... 44

5. Format pengumpulan data lapangan Tugu Barat ............................... 65

6. Rangkuman tujuan, pendekatan, dan analisis data............................ 67

7. Estimasi perbandingan penggunaan bahan bakar 2005 pada

perusahaan listrik negara ................................................................... 83

8. Sejarah produksi dan profil cadangan minyak dan gas di Lapangan

Tugu Barat.......................................................................................... 88

9. Sejarah produksi dan profil cadangan minyak dan gas di Lapangan

Pasir Catang....................................................................................... 89

10. Potensi produksi gas di Lapangan Tugu Barat Kompleks

(dalam MMSCFD) Kabupaten Indramayu ........................................ .. 105

11. Analisa komposisi gas di Lapangan Tugu Barat, Indramayu ............. 108

12. Kualitas Udara di Lokasi Penelitian..................................................... 115

13. Parameter keekonomian proyek pengembangan gas ikutan di

Lapangan Tugu Barat, Indramayu...................................................... 126

14. Perkembangan penduduk Jawa Barat dan DKI tahun simulasi

2002 – 2025........................................................................................ 149

15. Perkembangan hasil olahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat ...... 152

16. Simulasi proyeksi perkembangan gas polutan dengan tanpa

pengolahan gas ikutan tahun simulasi 2002-2025 ............................. 154

17. Simulasi proyeksi perkembangan gas polutan dengan pengolahan

gas ikutan tahun simulasi 2002-2025 ................................................. 156

18. Simulasi proyeksi pendapatan dari pemanfaatan gas ikutan di

Lapangan Tugu Barat, Indramayu tahun simulasi 2004-2025............ 159

19. Hasil analisis uji validasi kinerja terhadap komponen jumlah

penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta .......................................... 160

20. Skala penilaian perbandingan berpasangan ...................................... 166

21. Nilai indeks random untuk mengetahui nilai consistency ratio ........... 168

Page 18: 2009zra Tesis Doktoral IPB

vii

22. Structural self interaction matrix (SSIM) awal elemen ........................ 171

23. Hasil reachability matrix (RM) final elemen ........................................ 171

24. Hasil analisis AHP strategi kebijakan pemanfaatan gas ikutan.......... 173

25. Perbandingan subsidi minyak tanah dibandingkan dengan LPG ....... 186

Page 19: 2009zra Tesis Doktoral IPB

viii

DAFTAR GAMBAR Halaman

1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian........................................... 8

2. Bagan alir perumusan masalah.......................................................... 10

3. Diagram alir kajian reservoir secara terintegrasi ................................ 17

4. Proses pengelolaan reservoir migas .................................................. 18

5. Aliran produksi dan pemanfaatan minyak dan gas bumi .................... 19

6. Proses pengolahan minyak bumi keluaran sumur.............................. 20

7. Produksi minyak dunia dan gas ikutan ............................................... 25

8. Kondisi Gas Ikutan (Flare Gas) di sektor Hulu dan Hilir...................... 26

9. Peta Lokasi Gas Flare......................................................................... 27

10. Skema ilustrasi kegiatan proyek LPG plant dengan memanfaatkan gas ikutan ........................................................................................... 26

11. Peta penyebaran cadangan minyak bumi Indonesia.......................... 27

12. Peta penyebaran cadangan dan Indonesia berdasarkan sumber gas...................................................................................................... 27

13. Kondisi saat ini Indonesian-oil products supply & demand balance ... 30

14. Tiga sasaran pokok pembangunan berkelanjutan.............................. 34

15. Hubungan antara jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan eksploitasi migas ................................................................................ 44

16. Intersepsi dunia model dengan dunia nyata....................................... 51

17. Transformasi kualitatif - kuantitatif ...................................................... 52

18. Jenis-jenis model ................................................................................ 53

19. Sekuen proses permodelan................................................................ 54

20. Loop permodelan................................................................................ 55

21. Tahap-tahap pembuatan simulasi model ........................................... 56

22. Peta lokasi penelitian di Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu........................................................................................... 60

23. Diagram alir tahapan penelitian.......................................................... 61

24. Potensi cadangan migas di Kabupaten Indramayu ............................ 75

25. Kondisi Gas Ikutan (Flare Gas)............................................................ 78

26. Perkembangan produksi dan konsumsi minyak di Indonesia sejak tahun 2000-2006....................................................................... 81

27. Indonesian gas production and consumption in 2000-2006 ............... 82

28. Kondisi pemanfaatan gas berdasarkan penggunaan…………………. 82

29. Rencana pemanfaatan gas ikutan untuk saat ini dan di masa yang akan

datang................................................................................................. 94

Page 20: 2009zra Tesis Doktoral IPB

ix

30. Proses block diagram pada amine unit di Lapangan Tugu Barat ....... 96

31. Rancangan PFD-process flow diagram – MDEA sweetening unit...... 99

32. Rancangan piping dan instrumentation diagram (P & ID) amine unit. 100

33. Tahapan gas kompresi inlet ............................................................... 101

34. Gas ikutan (flaring) yang akan di manfaatkan oleh PT.SDK .............. 104

35. Rencana jalur distribusi dan pemasaran gas kilang Tugu Barat ........ 111

36. Diagram sebab akibat (causal loop) model pemanfaatan gas ikutan

di perusahaan migas ......................................................................... 139

37. Diagram input-output model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan

migas dalam rangka mendukung CDM .............................................. 140

38. Struktur model dinamik pemanfaatan gas ikutan di Lapangan

Tugu Barat, Indramayu....................................................................... 145

39. Struktur model dinamik pertumbuhan penduduk Jawa Barat dan DKI

Jakarta................................................................................................ 147

40. Simulasi pertumbuhan penduduk Propinsi Jawa Barat dan DKI

Jakarta periode 2002-2025................................................................. 148

41. Struktur model dinamik pengelolaan gas ikutan................................. 150

42. Simulasi perkembangan produksi gas olahan di Lapangan Minyak

Tugu Barat Indramayu tahun 2004-2025............................................ 151

43. Struktur model dinamik perkembangan gas polutan dalam proses

produksi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu .................. 153

44. Simulasi perkembangan produksi gas ikutan dan terbakar serta

gas polutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu .............................. 153

45. Simulasi perkembangan produksi gas ikutan, gas olahan, dan

gas terbakar di Lapangan Tugu Barat periode 2004-2025................. 155

46. Struktur model dinamik sub model ekonomi dalam proses produksi

gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu................................. 157

47. Simulasi perkembangan pendapatan dari hasil pengolahan gas ikutan

di Lapangan Tugu Barat, Indramayu tahun 2004-2025...................... 158

48. Pertumbuhan jumlah penduduk aktual dan hasil simulasi model

di Jawa Barat dan DKI Jakarta periode 2002-2006............................ 161

49. Hierarkhi pengambilan keputusan model pemanfaatan gas ikutan

di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme

pembangunan bersih.......................................................................... 169

50. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor ........................... 173

Page 21: 2009zra Tesis Doktoral IPB

x

51. Prioritas faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan

di Lapangan Tugu Barat, Indramayu .................................................. 175

52. Prioritas stakeholder yang berperan dalam pengelolaan gas ikutan

di Lapangan Tugu Barat ..................................................................... 177

53. Prioritas tujuan yang diharapkan tercapai dalam pengelolaan gas

ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu ....................................... 180

54. Prioritas alternatif kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan

Tugu Barat, Indramayu....................................................................... 185

55. Matriks driver power – dependence untuk elemen dendala dalam

pengelolaan gas ikutan....................................................................... 188

56. Struktur hierarkhi sub elemen kendala program pengelolaan gas

ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat, Indramayu ............ 188

57. Matriks driver power – dependence untuk elemen kebutuhan

pengelolaan gas ikutan....................................................................... 190

58. Struktur hierarkhi sub elemen kebutuhan program pengelolaan gas

ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu ....................................... 193

59. Salah satu contoh fasilitas produksi industri pengolahan gas ............ 199

Page 22: 2009zra Tesis Doktoral IPB

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Minyak dan gas bumi (migas) adalah sumber daya alam tidak terbarukan

yang bernilai ekonomis dan strategis. Sampai saat ini migas masih merupakan

sumber energi yang menjadi pilihan utama bagi industri, transportasi dan rumah

tangga. Selain itu, pemanfaatan berbagai produk akhir atau produk turunan

(derivative) minyak bumi juga semakin meningkat sehingga peningkatan akan

permintaan minyak dan gas bumi di seluruh dunia telah mengakibatkan

pertumbuhan dan ekspansi pada kegiatan eksplorasi dan pengolahan minyak

mentah di berbagai negara, termasuk Indonesia. Salah satu daerah yang

melakukan kegiatan eksploitasi dan pengolahan minyak mentah cukup tinggi di

Indonesia adalah Propinsi Jawa Barat yang menempati peringkat kelima terbesar

setelah Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Lampung, dengan

volume produksi mencapai 4,31 % dari produksi total Indonesia. Sedangkan

untuk gas alam, Jawa Barat yang mempunyai 84 lapangan migas

(www.pertamina-javacrb.co.id/wilayah.php) menempati peringkat ketiga dengan

produksi 11,27 % dari produksi total gas alam Indonesia. Produksi migas

tahunan Jawa Barat pada tahun 2004 sebesar 18.902 barrel oil perday (BOPD)

dan 468 million matric standard cubic feet perday (MMSCFD).

Kegiatan produksi minyak dan gas bumi merupakan suatu rangkaian

proses yang kompleks dengan melibatkan berbagai kegiatan industri minyak

bumi, mulai dari hulu (upstream) sampai hilir (downstream). Kegiatan hulu

(Upstream) meliputi kegiatan eksplorasi (pencarian), eksploitasi (pengangkatan)

melalui kegiatan pengeboran dan penyelesaian sumur, sarana pengangkutan,

penyimpanan dan pengolahan minyak mentah untuk pemisahan dan pemurnian

minyak dan gas bumi di lapangan minyak. Kegiatan hilir (downstream) meliputi

kegiatan prosessing (pengolahan) melalui kegiatan kilang minyak (refinery) untuk

memproduksi bahan bakar beserta turunannya dan marketing serta distribusi

melalui kegitan penyimpanan (storage).

Minyak bumi di lapangan minyak (oilfields) umumnya diproduksi dari

beberapa sumur minyak (oilwell). Sumur-sumur minyak ini menghasilkan fluida

yang mengandung campuran minyak bumi, gas bumi dan air. Fluida yang

dihasilkan dari beberapa sumur minyak ini dikumpulkan ke pusat pengolahan

yang memiliki berbagai fasilitas produksi yang disebut sebagai stasiun

Page 23: 2009zra Tesis Doktoral IPB

2

pengumpul (gathering station atau GS) untuk memisahkan produk minyak bumi

dari komponen-komponen lain yang terdapat di dalam fluida, yaitu gas bumi dan

air.

Pada saat fluida di permukaan, gas yang terlarut di dalam fluida akan

terpisahkan lebih dahulu karena tekanan di dalam reservoir (tempat

terkumpulnya dan terjebak minyak dan gas bumi secara alami di bawah tanah)

lebih tinggi dibandingkan di bubblepoint (suhu pertama kalinya suatu cairan

terbentuk gelembung gas, yang menandakan cairan itu mulai mendidih). Gas

yang terlarut dalam fluida ini disebut sebagai associated gas, yang lebih dikenal

dengan nama gas ikutan (flaring gas). Gas ikutan atau associated gas (flaring

gas) ini terproduksi pada lapangan minyak (oil field), pada waktu pengeboran

(drilling) atau pada pekerjaan lanjutan (workover), kilang minyak (refinery) pada

waktu proses pengolahan minyak mentah, pabrik kimia (chemical plant) dan

lahan sampah (landfill). Gas ikutan yang dibahas pada penelitian ini adalah gas

ikutan yang terproduksi pada lapangan minyak. Gas ikutan tersebut pada

umumnya digunakan sendiri untuk keperluan operasi produksi di lapangan (own

use) atau di recovery (ditangkap) sisanya biasanya dibakar (flare) atau di buang

keatmosfer (venting) berdampak pada pencemaran udara.

Kegiatan industri minyak dan gas bumi umumnya berpotensi

menimbulkan dampak pada lingkungan. Baik pada proses produksi, pengolahan

minyak bumi, penyimpanan maupun industri yang menggunakan minyak bumi,

akan dihasilkan bahan-bahan yang merupakan salah satu sumber pencemar

lingkungan (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.128 Tahun 2003 Tentang

Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah

Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara Biologis; dan Keputusan Menteri

Lingkungan Hidup No.129 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan atau

Kegiatan Minyak dan Gas Bumi). Bahan-bahan pencemar ini pada akhirnya

akan masuk ke dalam lingkungan sehingga jika tidak dikelola dengan baik akan

menimbulkan masalah pada lingkungan.

Jumlah gas ikutan yang dihasilkan dari kegiatan industri migas sektor

hulu (Upstream) di Indonesia relatif tinggi. Sebagai gambaran jumlah gas ikutan

yang dibakar (flare gas) di Indonesia adalah sebesar 3,7 % (300,5 mmscfd) dari

total gas yang diproduksi (Yunus, 2005). Padahal dengan masih potensialnya

gas ikutan, maka gas ikutan dalam jumlah yang memenuhi syarat (cukup), dapat

digunakan kembali untuk berbagai keperluan. Pemanfaatan ini bisa dilakukan

Page 24: 2009zra Tesis Doktoral IPB

3

setempat atau di industri lainnya yang lokasinya jauh dari lokasi gas tersebut

diproduksi, dengan jalan memipakan gas (pipe line) yang dikompresikan terlebih

dahulu. Kelebihan gas ikutan yang tidak dapat digunakan untuk keperluan-

keperluan tersebut dapat digunakan untuk gas lift, direinjeksikan kembali ke

dalam sumur, dibakar (gas flaring), atau dibuang langsung ke atmosfer (venting).

Pembakaran gas ikutan dan venting dilakukan untuk alasan (i) safety mengingat

di dalam gas ikutan ini masih terdapat senyawa-senyawa yang mudah terbakar,

yang apabila terlepas secara langsung di sekitar fasilitas pengolahan minyak dan

gas bumi akan mudah terbakar, (ii) ketidakekonomisan melakukan recovery gas

di fasilitas produksi, sehingga dibutuhkan unit pembakar dan vent stack.

Adanya pembakaran gas ikutan ini selain akan menimbulkan pencemaran

lingkungan, juga secara tidak langsung mengakibatkan terbuangnya potensi

sumberdaya yang sebenarnya masih sangat potensial untuk dimanfaatkan.

Padahal jumlah yang dihasilkan seharusnya sudah dapat memasok bahan baku

industri seperti pada industri petrokimia. Hal ini sesuai dengan laporan Pusdatin

ESDM (2006) yang mengatakan bahwa gas yang digunakan untuk bahan baku

industri petrokimia (termasuk pupuk) besarnya 7,3 % (591,0 mmscfd). Oleh

karena itu Badan Pengatur Minyak dan Gas (BP Migas) (08 May 2007) melalui

program zero flaring berupaya untuk meminimalkan gas ikutan dengan cara

memanfaatkan gas ikutan yang berada di lapangan produksi minyak bumi yang

terbuang percuma dalam upaya pemanfaatan sebagai energi alternatif karena

selain memiliki nilai ekonomis juga memiliki nilai strategis dan sekaligus

mendukung program pengurangan pemanasan global (global warming).

Berkaitan dengan hal tersebut pada telah diluncurkan Global Gas Flaring

Reduction Public-Private Partnership (GGFR) pada World Summit on

Sustainable Development di Bulan Agustus 2002. GGFR beranggotakan negara-

negara penghasil minyak (OPEC), perusahaan minyak baik yang dimiliki negara

maupun perusahaan multi nasional lainnya. Tujuan GGFR adalah memfasilitasi

dan mendukung penurunan gas ikutan di dunia dengan cara bersama-sama

untuk memanfaatkan gas ikutan sebagai energi yang bersih dan mencairkan

hambatan-hambatan dalam pemanfaatan gas ikutan tersebut.

Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) juga sudah

mencanangkan program penurunan cemaran gas ikutan dalam rangka

mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan, yang tercermin pada

rencana aksi kebijakan energi nasional 2003 – 2020 secara terpadu. Salah satu

Page 25: 2009zra Tesis Doktoral IPB

4

kebijakan untuk mendukung hal tersebut tertuang pada Blueprint Pengelolaan

Energi Nasional 2005 – 2025 yang memuat program-program utama pengelolaan

energi nasional. Salah satu program utama yang tertuang pada blueprint

tersebut adalah melakukan pemanfaatan kembali (reutilization) gas ikutan yang

dihasilkan dari proses produksi minyak bumi (program utama ke enam) menjadi

bahan yang bernilai ekonomis sehingga akan menguntungkan secara finansial.

Hal ini juga sudah ditindak lanjuti oleh Direktorat Jenderal (Ditjend) Minyak dan

Gas (Migas) yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan

dan standardisasi teknis di bidang minyak dan gas bumi melalui program GOGII

(Green Oil Gas Industry Initiative) (25 Juli 2008) untuk menjadikan industri migas

yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan program zero flare, zero

discharge, clean air and go renewable.

Walaupun sudah ada kebijakan dari Dirjen MIGAS melalui Program

GOGII namun hingga saat ini kajian yang ada kaitannya dengan pengurangan

dan pemanfaatan kembali gas ikutan yang dihasilkan dari proses produksi bahan

bakar fossil (BBF) masih sangat terbatas, bahkan penelitian ke arah

pemanfaatan gas ikutan yang akan memberikan dampak terbesar pada sektor

ekonomi, ekologi dan sosial hingga saat ini belum pernah dilakukan. Oleh

karena itu dalam rangka melaksanakan clean development mechanism (CDM)

untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, maka penelitian model

pemanfaatan gas ikutan di perusahaan MIGAS secara terpadu dan holistik

sangat penting untuk dilakukan.

Pada saat ini gas ikutan di beberapa lokasi produksi minyak dan gas bumi

sudah mulai dimanfaatkan menjadi LPG, bahan pembangkit tenaga listrik (power

generator) atau sebagai kondensat. Selain itu juga telah dilakukan kajian

terhadap gas ikutan, yakni oleh Indriani (2005) yang melakukan studi secara

komprehensif mengenai potensi clean development mechanism (CDM) ditinjau

secara teknik dan ekonomi penurunan gas ikutan di Indonesia pada sektor

minyak dan gas. Peneliti lainnya adalah Dewi dan Chandra (2007) yang

melakukan kajian tentang pemanfaatan gas ikutan dari fasilitas produksi minyak

untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK) di bawah mekanisme pembangunan

bersih (CDM).

Penelitian tentang pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam

mendukung pembangunan berkelanjutan, belum pernah dilakukan. Oleh karena

itu, maka perlu dikaji pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam

Page 26: 2009zra Tesis Doktoral IPB

5

mendukung pembangunan berkelanjutan yang mempunyai manfaat maksimal

dengan dampak negatif pada lingkungan yang minimal serta dapat menjadikan

perusahaan hidup berdampingan secara harmonis dengan masyarakat

sekitarnya. Juga dilakukan penelitian model pemanfaatan gas ikutan di

perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih,

sehingga dari sini akan dapat diketahui strategi mana yang paling

menguntungkan secara ekologi, ekonomi dan sosial. Dalam hal ini apakah gas

ikutan tersebut dijadikan LPG, bahan bakar (lean gas) power generator atau

menjadi kondensat. Dalam rangka mendapatkan kebijakan pengelolaan gas

ikutan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, maka penelitian model

pemanfaatan gas ikutan di perusahaan MIGAS perlu segera dilakukan.

1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini, secara umum bertujuan untuk mengembangkan suatu

model pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam rangka mendukung

mekanisme pembangunan bersih. Penelitian difokuskan pada pemanfaatan

kembali gas ikutan sebagai energi yang ramah lingkungan. Untuk membangun

model pengelolaan eksploitasi minyak, beberapa tujuan spesifik yang ingin

dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui kondisi sistem pengolahan gas ikutan yang ada saat ini dan

potensi pemanfaatannya

2. Mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan dalam eksploitasi

migas.

3. Mengembangkan disain model pengelolaan gas ikutan dalam kegiatan

eksploitasi minyak bumi yang bersifat site specific.

4. Menentukan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan

secara ekonomi, ekologi dan sosial.

Hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan standar dalam

pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam mendukung mekanisme

pembangunan bersih (clean development mechanism in oil industry).

1.3. Kerangka Pemikiran Kegiatan ekploitasi migas merupakan salah satu bagian pengelolaan

sumberdaya alam yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Namun demikian, selain dihasilkan minyak dan gas, kegiatan

Page 27: 2009zra Tesis Doktoral IPB

6

ekploitasi tersebut selalu menghasilkan gas ikutan dan limbah yang berpotensi

menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan.

Gas ikutan yang dihasilkan pada umumnya langsung dibakar.

Pembakaran gas ikutan ini akan menghasilkan gas-gas emisi yang akan terlepas

ke udara dan sebagian gas-gas emisi ini (CO2, CH4, dan H2O) akan terakumulasi

di atmosfer bumi yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya efek

rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global (global warming).

Demikian pula halnya dengan gas yang dilepas melalui vent stack

(cerobong) berupa gas CH4 (methan) yang merupakan salah satu dari komponen

gas-gas rumah kaca. Selain mengakibatkan efek rumah kaca, kelebihan gas

ikutan yang pada saat ini tidak digunakan dan kemudian dibakar atau venting

(dibuang langsung ke atmosfer) juga merupakan salah satu kegiatan inefisiensi

mengingat gas ikutan yang dibakar masih memiliki kandungan energi yang cukup

untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar atau kandungan komponen-komponen

gas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku LPG, kondensat, feed stock

industri petrokimia (petrochemical), dan lain-lain.

Hal ini juga dinyatakan pada Protokol Kyoto yang mendorong dunia untuk

mengupayakan pengurangan gas-gas emisi rumah kaca dalam rangka

mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim, terutama oleh

negara-negara industri (developed countries) yang termasuk dalam Annex-I

countries pada Protokol Kyoto. Protokol Kyoto juga memungkinkan negara-

negara berkembang (developing countries) yang bukan termasuk negara-negara

yang wajib menurunkan emisi rumah kaca (non-Annex I countries) untuk dapat

ikut serta dalam pelaksanaan pengurangan dampak perubahan iklim dan

pemanasan global melalui mekanisme pembangunan bersih atau yang dikenal

dengan clean development mechanism (CDM). Sejalan dengan Protokol Kyoto

dan implementasi dari Protokol Kyoto tersebut, BP Migas telah berusaha untuk

melakukan pembangunan bersih melalui anjuran pengurangan emisi gas ikutan

dengan melakukan pengolahan dan pemanfaatan gas tersebut.

Aplikasi CDM pada pengurangan gas ikutan di lokasi proses produksi

minyak akan mendorong perusahaan-perusahaan yang mengusahakan

pengolahan migas untuk melakukan pengurangan gas ikutan, mengingat aplikasi

CDM memberikan keuntungan tambahan berupa revenue dari penjualan certified

emission reduction (CER) yang dihasilkan dari kegiatan reduksi gas ikutan yang

berkontribusi pada peningkatan dampak pemanasan global. Kegiatan reduksi

Page 28: 2009zra Tesis Doktoral IPB

7

gas flaring yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan gas ikutan sebelum gas

ini dibakar atau dibuang langsung ke atmosfer (venting) atau menginjeksikannya

kembali (reinjection) dan menyimpannya di dalam formasi minyak bumi. Hal ini

mengandung arti bahwa gas ikutan yang hendak dibakar, dimanfaatkan menjadi

bahan baku produksi LNG, LPG, kondensate, atau produk-produk petrokimia

atau sebagai bahan bakar pembangkit listrik dan steam melalui pemipaan gas

yang telah dikompresikan terlebih dahulu (CNG= compessed natural gas),

sehingga dapat memberikan keuntungan secara finansial yang cukup menarik.

Melalui pengolahan gas ikutan menjadi produk LPG, kondensat dan lean

gas maka akan diperoleh dampak positif secara ekonomi, ekologi dan sosial.

Secara ekonomi, produk yang dihasilkan merupakan bahan bakar yang memiliki

nilai ekonomi tinggi yang dapat meningkatkan pendapatan perusahan dan PDRB

daerah. Pengolahan gas ikutan juga akan mereduksi jumlah gas ikutan yang

dibakar, yang berarti menurunkan pencemaran udara yang dihasilkan dalam

proses pembakaran tesebut. Selain itu, usaha pengolahan gas ikutan tersebut

akan membuka kesempatan kerja bagi masyarakat dan masyarakat sekitar

berpeluang mendapatkan pembinaan melalui kegiatan corporate social

responsibility dari perusahaan pengolah gas ikutan tersebut.

Oleh karena itu perlu dilakukan kajian pengembangan model pengelolaan

gas ikutan yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi, ramah

lingkungan dan dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar.

Model tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai arahan dalam merumuskan

kebijakan eksploitasi minyak dan gas bumi yang ramah lingkungan dan

berkelanjutan. Secara ringkas kerangkan pemikiran tersebut di atas dapat dilihat

pada bagan alir Gambar 1.

1.4. Perumusan Masalah Sampai saat ini pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak di Indonesia

belum memperhatikan kaidah-kaidah pengelolaan lingkungan secara holistik,

baik kaidah lingkungan binaan dan lingkungan alam, maupun kaidah lingkungan

sosial. Konsep pengelolaan lingkungan masih sebatas secara fisik saja, sehingga

kurang memperhatikan aspek ekologi dan sosial.

Pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi sebagai hanya terfokus

kepada komoditas minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam yang

Page 29: 2009zra Tesis Doktoral IPB

8

memiliki nilai ekonomi tinggi, padahal disisi lain kegiatan eksploitasi minyak bumi

juga menghasilkan gas ikutan. Gas ikutan tersebut jika tidak dimanfaatkan

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran

Pengelolaan SDA

Eksploitasi Migas

Gas Alam (Natural Gas)

Minyak Mentah

Minyak Mentah

mengandung gas ikutan

Clean Development Mechanism

(CDM)

Protokol Kyoto

Penurunan Gas Rumah kaca

Flare (di Bakar)

Pengolahan (Utilization)

Pencemaran Udara

Dampak Positif

Sosial Ekonomi Ekologi

Model Pengelolaan Gas Ikutan

Kebijakan Eksploitasi Minyak Bumi Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan

Page 30: 2009zra Tesis Doktoral IPB

9

kembali akan masuk ke lingkungan (atmosfir) untuk selanjutnya akan mencemari

udara.

Produksi gas ikutan di Indonesia menduduki rangking empat setelah

Nigeria, Angola, Irak di antara negara penghasil minyak anggota GGFR (Global

Gas Flaring Reduction) yakni organisasi yang tidak mencari keuntungan (nirlaba)

bernaung di bawah Bank Dunia yang beranggotakan negara penghasil minyak

(OPEC) dan perusahaan minyak milik negara maupun perusahaan minyak

multinasional lainnya. Saat ini sudah dilakukan studi pemanfaatan kembali gas

ikutan menjadi bahan dan sumber energi baru yang menguntungkan secara

ekonomi. Kajian tersebut meliputi konversi dari gas ikutan menjadi LPG,

menjadi bahan bakar (lean gas) pembangkit listrik (power generator) atau

sebagai kondensat.

Dalam rangka membangun model pemanfaatan gas ikutan guna

mendukung pelaksanaan mekanisme produksi bersih pada kegiatan eksploitasi

minyak dan gas sebagai landasan penyusunan rekomendasi kebijakan

pengelolaan migas yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, ada beberapa

pertanyaan yang perlu dipecahkan, yaitu:

1. Bagaimana kondisi sistem pengolahan gas ikutan yang ada saat ini dan

bagaimana potensinya untuk dapat dimanfaatkan ?

2. Bagaimana kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan dalam eksploitasi

migas?

3. Bagaimana disain model pengelolaan gas ikutan dalam kegiatan

eksploitasi minyak bumi yang bersifat site spesific?.

4. Bagaimana strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang

menguntungkan secara ekonomi, ekologi dan sosial.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan kajian ilmiah dengan

menggunakan pendekatan sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan

yang setiap kajian terkait satu sama lain sebagai satu kesatuan. Secara ringkas

perumusan masalah penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 31: 2009zra Tesis Doktoral IPB

10

Gambar 2. Bagan alir perumusan masalah

1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu

lingkungan berupa konsep model pengelolaan eksploitasi minyak bumi dalam

mendukung pembangunan berkelanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial

dengan pemanfaatan kembali gas ikutan. Selain itu, penelitian ini secara praktis

bermanfaat sebagai:

1. masukan tentang pemanfaatan gas ikutan yang menguntungkan secara

ekologi, ekonomi dan sosial.

2. alternatif model pemanfatan gas ikutan dalam eksploitasi migas.

3. alternatif kebijakan yang bersifat operasional dalam pengelolaan gas ikutan

yang berwawasan lingkungan dalam pola pembangunan berkelanjutan.

4. referensi dalam pengelolaan gas ikutan di industri migas.

EKSPLOITASI MIGAS

PENGOLAHAN GAS IKUTAN

CLEAN DEVELOPMENT

MECHANISM

Kajian kondisi existing system pengolahan dan potensi pemanfaatan gas ikutan

Studi kelayakan Ekonomi pemanfaatan

gas ikutan

Pengembangan desain model pengelolaan gas ikutan

Perumusan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan migas ramah lingkungan yang berkelanjutan

Page 32: 2009zra Tesis Doktoral IPB

11

1.6. Novelty Kajian tentang pemanfaatan gas ikutan telah dilakukan oleh beberapa

peneliti terdahulu, antara lain:

- Indriani (2005) melakukan studi secara komprehensif mengenai potensi clean

development mechanism (CDM) ditinjau secara teknik dan ekonomi

penurunan gas ikutan pada sektor minyak dan gas di Indonesia.

- Dewi dan Chandra (2007) melakukan kajian tentang pemanfaatan gas ikutan

dari fasilitas produksi minyak untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK)

dibawah mekanisme pembangunan bersih (CDM).

Kebaruan penelitian ini adalah applicability CDM pada pemanfaatan

associated gas (flaring gas) di lapangan PT Pertamina EP yang memiliki

karakteristik cadangan (reservoir) berlapis dan sangat terbatas (site spesific)

sehingga harus dikembangkan dengan hati-hati terutama dalam penetapan

target serta tingginya kandungan karbon dioksida (CO2) dan hydrogen sulfide

(H2S). PT Pertamina EP belum pernah membuat kajian tentang pengelolaan gas

ikutan pada lapangan minyak, sehingga srategi konversi gas ikutan yang

berwawasan lingkungan dan model pemanfaatan gas ikutan yang bersifat

holistik, yang menggambarkan hubungan antar sub sistem ekologi, tekno-

ekonomi dan sosial pada kegiatan eksploitasi minyak bumi yang bersifat site

specific secara dinamis serta model kebijakan dan pengelolaan eksploitasi

minyak bumi yang nantinya dapat dijadikan sebagai arahan dalam merumuskan

rekomendasi kebijakan dan strategi pengelolaan migas berwawasan lingkungan

dan berkelanjutan.

Kebaruan dari penelitian ini gas ikutan yang selama ini langsung dibuang

ke lingkungan atau dibakar dapat dimanfaatkan menjadi LPG, sehingga dapat

mendatangkan keuntungan secara “ekonomis” karena LPG nya dapat dijual

secara langsung dan “dijual” melalui mekanisme perdagangan karbon (carbon

trade mechanism) serta dapat memberikan keuntungan pada lingkungan karena

dapat meminimalkan terjadinya pencemaran udara (air pollution), hujan asam

(acid rain) dan pemanasan global (global warming) serta menguntungkan secara

sosial (social benefit) karena dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan

kemakmuran rakyat secara berkeadilan.

Page 33: 2009zra Tesis Doktoral IPB

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Minyak Bumi Menurut teori pembentukannya minyak bumi, senyawa-senyawa organik

penyusun minyak bumi merupakan hasil alamiah proses dekomposisi tumbuhan

selama berjuta-juta tahun (Hofer, 1966). Oleh karena itu, minyak bumi juga

dikenal sebagai bahan bakar fosil, selain batubara dan gas alam.

Menurut Hofer (1966) semua bahan bakar fosil dihasilkan oleh senyawa

karbohidrat dengan rumus kimia Cx(H2O) yang memfosil. Karbohidrat tersebut

dihasilkan oleh tumbuhan dengan mengubah energi matahari menjadi energi

kimia melalui proses fotosintesis. Kebanyakan bahan bakar fosil diproduksi kira-

kira 325 juta tahun yang lalu, yaitu pada abad Carboniferous dalam era Paleozoic

bumi. Setelah tumbuhan mati, maka karbohidrat dapat berubah menjadi senyawa

hidrokarbon dengan rumus kimia CxHy akibat tekanan dan temperature yang

tinggi serta tidak tersedianya oksigen (anaerob). Hal yang sama dikemukakan

pula oleh Chartor dan Somerville (1978) yang menjelaskan bahwa minyak bumi

merupakan salah satu produk minyak mentah alami yang dihasilkan dari konversi

biomassa pada temperatur dan tekanan yang tinggi secara alami di lingkungan

aerob. Senyawa hidrokarbon dapat dirombak oleh berbagai macam mikroba.

Perombakan ini membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak sebanding

dengan dampak yang akan ditimbulkannya bila minyak bumi tersebut

terakumulasi dalam tanah. Kumpulan dari minyak dan gas tersebut membentuk

reservoir-reservoir minyak dan gas (BP MIGAS 2004).

2.1.1. Eksploitasi Minyak Bumi

Eksploitasi atau produksi minyak dan gas bumi adalah kegiatan industri

minyak dan gas bumi yang menghasilkan minyak dan gas sehingga siap untuk

diolah lebih lanjut (PPPTMGB Lemigas, 1999). Setelah mengetahui kapasitas

lapangan minyak, sumur berikut yang dibor disebut sumur pengembangan atau

sumur produksi. Suatu kandungan kecil mungkin bisa diciptakan dengan

menggunakan satu atau lebih sumur appraisal. Kandungan yang lebih besar

memerlukan pemboran sumur produksi tambahan (Lemigas,1999).

Beberapa sumur produksi sering dibor dari satu pad yang sama (sistem

kluster) untuk mengurangi pemakaian lahan dan biaya prasarana secara

keseluruhan. Jumlah sumur yang diperlukan untuk mengeksploitasi kandungan

Page 34: 2009zra Tesis Doktoral IPB

13

hidrokarbon bervariasi, tergantung besarnya kandungan dan kondisi geologinya.

Ladang minyak bumi yang luas memerlukan seratus atau lebih sumur bor

(production well). Setiap sumur yang dibor harus siap berproduksi sebelum rig

pemboran dipindahkan (E & P Forum,1997)

Pada tahap awal umumnya minyak bumi dapat mengalir sendiri secara

alamiah ke permukaan (natural flowing). Apabila tekanan formasi sudah

berkurang, pengangkatan minyak ke permukaan dapat dibantu dengan pompa.

Namun demikian, seringkali kegiatan ekspolitasi minyak bumi dari sumur-sumur

minyak belum berhasil memperoleh secara maksimal keseluruhan kandungan

minyak bumi yang ada. Perolehan minyak bumi dengan metode konvensional

hanya mampu menghasilkan minyak sekitar 30 - 40% kandungan minyak secara

keseluruhan (Gaffen, 1975 dalam Forbes, 1980). Secara umum, kegiatan

eksploitasi minyak bumi meliputi 3 tahap utama, yaitu :

a. Tahap produksi primer (primary recovery), yaitu suatu tahapan memperoleh

minyak dimulai dengan mencari dan atau menemukan sumber minyak bumi,

penggunaan energi alami dengan memanfaatkan tekanan awal reservoir dan

volume air yang dapat menggerakan minyak.

b. Tahapan produksi sekunder (secondary recovery), yaitu tahapan perolehan

minyak bumi yang dilakukan dengan menginjeksikan cairan (water flooding)

atau gas (steam flooding) ke dalam reservoir dengan tujuan menambah

energi reservoir.

c. Tahapan produksi tersier (tertiary recovery), yaitu tahapan perolehan minyak

bumi yang dilakukan karena perolehan minyak sebelumnya belum maksimal.

enhanced oil recovery (EOR) adalah suatu mekanisme yang digunakan pada

tahapan tertiary recovery untuk meningkatkan produksi minyak setelah

tahapan primary dan second recovery. Salah satu teknik EOR yang

dikembangkan saat ini adalah dengan memanfaatkan mikroba yang dikenal

dengan microbial enhance oil recovery (MEOR). Mikroba tersebut

diinjeksikan ke dalam reservoir dengan harapan akan diperoleh senyawa-

senyawa yang mempunyai fungsi sama dengan senyawa kimia yang

digunakan pada teknik chemical flooding secara insitu seperti biosurfaktan,

biopolymer, biomassa, pelarut, asam dan gas. Senyawa-senyawa ini akan

meningkatkan perolehan minyak bumi hingga mencapai 60% karena secara

sinergis dapat mengubah porositas batuan penyusun reservoir, menurunkan

Page 35: 2009zra Tesis Doktoral IPB

14

tegangan permukaan atau menurunkan viskositas minyak bumi sehingga

dapat merangsang pelepasan minyak dari reservoir.

Kemampuan ini dapat berubah jika terjadi modifikasi di dalam sel

mikroba. Modifikasi faktor lingkungan di luar (adanya mutagen) dan di dalam sel

mikroba (rekombinasi DNA) secara langsung dapat menghilangkan atau

mengubah fraksi hidrokarbon dan mengurangi viskositasnya, sehingga dapat

digunakan untuk teknologi MEOR. Penggunaan bakteri untuk pelepasan minyak

dari reservoir ini adalah hasil penelitian yang dilakukan Zobell antara tahun 1943-

1955. Aplikasi MEOR lebih ekonomis dan aman mengingat penggunaan zat

kimia sintetik membutuhkan biaya yang lebih tinggi serta menimbulkan resiko

pencemaran lingkungan (Sublett, 1993).

2.1.2. Pengelolaan Reservoir Minyak dan Gas Bumi Teori antiklinal (anticlinal theory) adalah teori tentang akumulasi minyak,

gas dan air pada lapisan cembung dalam tatanan tertentu (air paling bawah)

asalkan strukturnya mengandung batuan reservoir, yang berhubungan baik

dengan bantuan induk dan ditutupi dengan batuan tudung. Perangkap antiklin

(anticlinal trap) adalah lapisan dalam struktur antiklin tempat akumulasi

hidrokarbon. Cadangan (reserves) adalah jumlah minyak atau gas bumi yang

ditemukan didalam batuan reservoir dan dapat diproduksi. Reservoir adalah

tempat terkumpul dan terjebaknya minyak dan gas bumi secara alami di bawah

tanah. Tekanan reservoir (reservoir pressure) adalah tekanan yang mendorong

fluida ke lubang bor yang menembus reservoir minyak dan gas bumi. Batuan

reservoir (reservoir rock) adalah batuan bawah tanah yang berpori dan

permeable yang dapat menyimpan minyak dan atau gas (Pusat data dan

Informasi, DESDM, 2006).

Pengelolaan dan penanganan reservoir (reservoir management) sejak

dini adalah penting, khususnya pada reservoir yang memiliki karakteristik yang

unik. Perbedaan cara penanganan terletak pada rencana pengembangannya

(plan of development, POD), terutama untuk mengoptimalkan peroleh minyak

dan gas.

Reservoir management didefinisikan sebagai sebuah pengelolaan

reservoir secara terencana, konsisten dan berkesinambungan untuk

memaksimalkan keuntungan (benefit) dari suatu reservoir migas (Satter dan

Thakur, 1994). Selanjutnya dikatakan bahwa pada tahap implementasi, hal ini

Page 36: 2009zra Tesis Doktoral IPB

15

akan sangat tergantung dari pemanfaatan sumberdaya manusia (SDM),

teknologi, peralatan dan finansial untuk memaksimalkan keuntungan (profit)

dengan cara mengoptimalkan produksi dan meminimalkan biaya operasi dan

investasi. Reservoir management harus dilakukan sejak aktivitas eksplorasi,

sampai dengan reservoir tersebut ditemukan, dikembangkan, diproduksikan,

hingga akhirnya ditinggalkan (setelah dinilai tidak ekonomis lagi). Dalam

prakteknya tentu harus menganut kaidah teknik perminyakan atau petroleum

engineering yang baku dan benar, meliputi proses-proses; perencanaan;

implementasi dari rencana-rencana tersebut; pemantauan terhadap unjuk kerja;

penilaian dan revisi terhadap rencana atau strategi bilamana diperlukan (Satter

dan Thakur, 1994).

Suatu pendekatan sinergi dalam petroleum reservoir management

banyak dibahas oleh Satter dan Thakur (1994), dan Thakur dan Satter (1998).

Hal yang berkali-kali ditekankan adalah pentingnya sebuah team work antar

personel dari berbagai displin ilmu yang terlibat aktivitas perminyakan, yakni :

geophysicist, geologist, petroleum engineers dan lain-lain. Selain hal tersebut

juga diperlukan adanya interaksi yang efektif dan efisien diantara management,

engineering, geoscience dan fungsi penunjang. Suatu contoh, data geologi dan

keteknikan reservoir atau produksi akan digunakan oleh ahli geofisika untuk

menyakinkan adanya perkembangan reservoir yang memungkinkan

penambahan pemboran baru. Di lain pihak, hasil interpretasi data seismik dapat

digunakan oleh ahli reservoir untuk menilai cadangan, spasi sumur, unjuk kerja

sumur dan lain-lain. Interpretasi awal suatu survei seismik 3-D, misalnya, akan

sangat mempengaruhi rencana awal pengembangan suatu lapangan. Namun,

dengan bertambahnya engineering data dan informasi, suatu interpretasi dapat

direvisi dan disempurnakan terus menerus. Adalah bukan hal yang

mengejutkan, apabila ternyata dalam plan of futher development (POFD) banyak

berubah dari rencana awal. Untuk pengelolaan dan penanganan reservoir

karbonat, terlebih dahulu kita harus mengetahui karakteristik batuan karbonat itu

sendiri. Keheterogenan karakter yang melekat pada sifat batuan karbonat yang

dibawanya sejak awal pembentukannya, dan sepanjang pengembangannya,

menyebabkan kita harus ekstra hati-hati dalam menyusun rencana

pengembangan, memproduksikannya, merawatnya dan mengelolanya.

Berdasarkan kekhasan karakteristik batuan karbonat atau batuan pasir,

yang selanjutnya berpotensi sebagai reservoir migas, maka dalam

Page 37: 2009zra Tesis Doktoral IPB

16

mengembangkan suatu lapangan (field development) semacam ini memerlukan

pengelolaan reservoir (reservoir management) dengan perhatian dan pendekatan

tertentu. Berbeda dengan reservoir batuan pasir, heterogenitas karakter reservoir

karbonat bisa sangat kompleks. Bukan saja karena proses dan lingkungan

pembentukannya yang sangat berbeda, namun juga adanya kemungkinan

perkembangan yang jauh dari kondisi origin-nya karena proses diagenesis

(litifikasi, dolomitisasi) dan perekahan yang diakibatkan oleh adanya patahan

maupun pelipatan (Satter dan Thakur, 1994). Dari sisi reservoir management,

kehati-hatian dalam menyusun plan of development (POD) maupun plan of

further development (POFD) haruslah berangkat dari analisis geologi dan

melibatkan reservoir engineering’s sense yang terintegrasi dalam merekonstruksi

depositional enviroments (Satter dan Thakur, 1994).

Menurut Satter dan Thakur (1994) dalam membuat rekonstruksi

lingkungan pengendapan batuan karbonat atau pasir, sebagai awal dari kajian

yang dilakukan, pertama adalah menganalisa sifat fisik batuan (petrophysical

analysis), seperti porositas, permeabilitas horizontal dan vertikal, densitas

batuan, kurva tekanan kapiler dan lain-lain. Kedua, melakukan analisis

petrographic yang akan memberi data lebih detail lagi mengenai jaringan pori,

tekstur, komposisi kimia, mineral dan lain-lain untuk dapat memperkirakan

proses-proses diagenesis yang terjadi. Hasil-hasil ini akan diintegrasikan dengan

hasil interpretasi data seismik, data logging, PVT dan data sumuran lainnya

(seperti : tekanan dan produktivitas). Untuk selanjutnya, membuat model geologi,

model reservoir dan akhirnya dapat menentukan skenario produksi. Proses kerja

(workflow) dari kajian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Dari aspek reservoir management, diantara tahapan managemen yang

terdapat pada Gambar 4, hal yang terpenting adalah pada proses perencanaan

dan penyusunan strategi sebagai langkah awal untuk menentukan kerja

berikutnya. Pada tahap ini segala faktor yang berhubungan dengan karakteristik

yang khas pada reservoir karbonat harus diakomodasi dan dikajikan secara

detail dengan mengantisipasi berbagai kemungkinan yang ada. Dengan simulasi

reservoir, beberapa skenario produksi dapat dibuat dengan mempertimbangan

beberapa faktor tadi (Satter dan Thakur, 1994).

Page 38: 2009zra Tesis Doktoral IPB

17

Gambar 3. Diagram alir kajian reservoir secara terintegrasi (Satter dan Thakur, 1994)

Selanjutnya, penyiapan fasilitas produksi, baik dari segi desain maupun

implementasinya harus mengikuti kajian reservoir yang telah dibuat. Perubahan

data baru selalu diinformasikan dan di-update untuk dapat segera merevisi hasil

simulasi. Realisasi produksi yang ada kadang-kadang tidak sesuai dengan

prediksi hasil simulasi reservoir. Apabila hal ini terjadi, revisi strategi

pengembangan lapangan harus segera dilakukan (Satter dan Thakur, 1994).

Dari rangkuman rencana tidak lanjut berdasarkan simulasi reservoir,

dapat diambil keputusan apakah pembangunan fasilitas injeksi menjadi prioritas

utama dalam pengembangan lapangan selanjutnya. Hal ini merupakan langkah

penyelamatan kondisi tekanan reservoir yang sudah berada di bawah titik

gelembung, yang umum dikenal dengan pressure maintenance. Dengan

menginjeksi air ke dalam reservoir minyak akan naik kembali dan akan

Well Data

Petrophysic Analysis

Cross Correlation

Processing

Interpretation

Inversion

Geology Modeling

Geostatistics

Production Plan

Correlation Matching

Seismic Data

Reservoir Modelling

Reservoir Simulation

Page 39: 2009zra Tesis Doktoral IPB

18

terproduksi lebih lama sehingga perolehannya (recovery factor, RF) bertambah.

Apabila hal ini terlambat dilakukan, walaupun telah dilakukan penutupan sumur,

gas akan tetap keluar sebagai gelembung dan membentuk secondary gas cap.

Kalau hal ini terjadi, maka sekian juta barrel minyak yang semula diprediksi dapat

terangkat kepermukaan akan gagal (Satter dan Thakur, 1994).

Gambar 4. Proses pengelolaan reservoir migas (Satter dan Thakur, 1994)

2.2. Sistem Produksi dan Pemanfaatan Minyak dan Gas Bumi Selain pemanfaatan utama sebagai bahan bakar, minyak dan gas bumi

juga dapat dimanfaatkan dalam bentuk lain seperti bahan baku industri. Secara

sederhana laju pemanfaatan gas dan minyak bumi disajikan pada Gambar 5.

Minyak bumi yang keluar dari sumur minyak tidak dapat secara langsung

dimanfaatkan sebagai bahan bakar maupun bahan baku tanpa melalui proses

pemurnian dan pemisahan terlebih dahulu. Hal ini didasarkan atas masalah

teknis dan ekonomis. Secara teknis minyak bumi diharapkan memiliki

karakteristik yang stabil tidak korosif dan bebas dari senyawa-senyawa bawaan

lainnya. Sedangkan secara ekonomis akan memperoleh nilai tambah yang tinggi

bila produk memiliki kemurnian yang tinggi. Proses pengolahan minyak bumi

Setting Strategi

Developing Plan

Implementation

Monitoring

Evaluating

Completing

Revising

Page 40: 2009zra Tesis Doktoral IPB

19

diawali dengan proses pemisahan minyak dari komponen bawaan dan

pengotornya. Minyak mentah hasil pengolahan awal ini kemudian diangkut atau

dialirkan menuju kilang untuk proses pengolahan minyak dibatasi hanya sampai

tahap produk minyak mentah atau proses sebelum pengilangan (Pandjaitan,

2005).

Gambar 5. Aliran produksi dan pemanfaatan minyak dan gas bumi (Pandjaitan,

2005)

Seperti halnya minyak bumi, gas bumi tidak dapat digunakan secara

langsung tanpa melewati tahapan pemisahan dan pemurnian terlebih dahulu.

Tahapan pemisahan awal ditujukan untuk menghilangkan kandungan pengotor

dan komponen bawaan lainnya. Selanjutnya proses pemisahan dilakukan untuk

memisahkan komponen gas berat (C6+) dari komponen ringan. Selanjutnya gas

bumi dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam operasi produksi dari Industri

atau dipasarkan secara langsung dalam bentuk LPG, LNG maupun NGL

(Pandjaitan, 2005).

Pemanfaatan gas bumi pada industri dapat terjadi dalam beragam bentuk

baik sebagai bahan bakar maupun bahan baku. Pada industri jasa pembangkit

listrik tenaga gas, gas bumi bersifat sebagai bahan baku sekaligus bahan bakar.

Gas bumi dimanfaatkan untuk pembakaran dengan udara menjadi fluida kerja

yang kemudian digunakan untuk memutar sudu turbin menghasilkan daya listrik.

Sumur Gas

Pemisahan awal

Sumur Minyak

Pabrik Pengolahan

Gas

Pabrik NGL

Kilang

Pabrik Gas

LNG

Industri ekspor pembangkit listrik

Pasar Domestik

Ekspor

Minyak mentah

Gas alam

Gas, air dan Pengotor

(C3,C4) LPG,C5+

ekspor

Page 41: 2009zra Tesis Doktoral IPB

20

Sedangkan pada industri pupuk, peran gas bumi berperan sebagai bahan baku

(feedstock) dan bahan bakar terjadi pada dua unit pemrosesan yang berbeda

yaitu unit produksi dan unit utilitas. Dalam unit produksi gas bumi berperan

sebagai bahan baku yang akan diubah menjadi produk, sedangkan pada unit

utilitas gas bumi berperan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan panas yang

digunakan untuk menghasilkan steam. Selain kedua contoh tersebut, banyak

industri yang melakukan pemanfaatan gas bumi banyak sekali seperti industri

polimer, methanol, pengolahan baja dan lain-lain (Pandjaitan, 2005).

2.2.1 Sistem Produksi Minyak Bumi Minyak bumi keluaran sumur minyak tidak dalam keadaan murni, tetapi

membawa komponen lain seperti air, lumpur (pasir) dan gas terlarut. Supaya

minyak bumi tersebut dapat diproses di kilang, minyak bumi keluaran sumur

memerlukan beberapa proses pemisahan fisik yang bertujuan untuk

menyingkirkan pasir, air dan gas yang terlarut. Rincian proses pengolahan

minyak bumi keluaran sumur diperlihatkan dalam Gambar 6

Gambar 6. Proses pengolahan minyak bumi keluaran sumur (Pandjaitan, 2005

2.2.2. Pemisahan Minyak Gas Air Pemisahan minyak-gas-air bertujuan untuk memisahkan gas dan air

(padatan/pasir) dari crude oil. Prinsip pemisahan berdasarkan densitas. Aliran

campuran crude oil masuk ke kolom pemisahan mengalami penurunan tekanan

sehingga gas yang terlarut dalam minyak densitasnya turun yang mengakibatkan

gas dapat keluar dari minyak. Waktu yang dibutuhkan gas untuk melepaskan diri

dari minyak sekitar 30-60 menit. Untuk mengefisienkan pemisahan gas dan

Sumur Minyak (terdapat

Minyak, Gas dan Air)

Pemisahan Minyak-Gas-Air

Gas

Desander

Pasir

Pemisahan Minyak dan air

air

Crude Oil (minyak Mentah) Storage

Page 42: 2009zra Tesis Doktoral IPB

21

minyak, pada bagian atas kolom dipasang mist extractor yang berfungsi untuk

menangkap tetesan-tetesan cairan yang terbawa gas. Tetesan-tetesan tersebut

jatuh kembali kebawah. Air yang memiliki densitas besar akan mengendap ke

bagian bawah kolom. Waktu yang dibutuhkan air supaya dapat terpisah dari

minyak sekitar lima menit. Kolom pemisah tiga fassa paling sederhana terbentuk

kolom tertutup vertikal/horizontal (Pandjaitan, 2005).

Lumpur atau pasir yang terbawa aliran minyak bumi keluaran sumur akan

terbawa oleh air dari unit pemisahan minyak-gas-air. Prinsip kerja mirip dengan

pemisahan minyak-gas-air yaitu berdasarkan perbedaan densitas dengan

memanfaatkan gravitasi. Kadangkala unit desander ini tidak berdiri sendiri tetapi

merupakan bagian dari pemisahan minyak-gas-air yang dimodifikasi dengan

menambah sand cone (bagian bawah kolom pemisah berbentuk kerucut). Selain

kolom tertutup, hydrocyclone merupakan peralatan yang digunakan untuk

memisahkan padatan dari cairan. Efisiensi pemisahan hydrocyclone lebih tinggi

daripada kolom settling konvensional karena ada pertambahan gaya sentrifugal

yang menyebabkan laju pemisahan meningkat (Padjaitan, 2005).

Minyak bumi hasil dari keluaran unit pemisah minyak-gas-air masih

mengandung kadar air yang cukup tinggi. Air tersebut disingkirkan dari aliran

minyak. Untuk meningkatkan efisiensi pemisahana air dari minyak umumnya

ditambahkan unit pemanas sehingga air dapat lebih mudah terpisahkan dari

minyak. Pemisahan minyak-air dilakukan antara lain pada kolom tertutup,

hydrocyclone dan lain-lain (Pandjaitan, 2005).

2.3. Gas Alam (Natural Gas) Gas alam sering juga disebut sebagai gas bumi atau gas rawa, adalah

bahan bakar fosil berbentuk gas yang terutama terdiri dari metana CH4. Gas ini

dapat ditemukan di ladang minyak atau gas alam yang didapat dari dalam sumur

di bawah bumi, biasanya bergabung dengan minyak bumi. Gas ini disebut

sebagai associated gas (gas ikutan). Ada juga sumur yang khusus

menghasilkan gas, sehingga gas yang dihasilkan disebut gas non associated

(http://www.pertamina.com) dan juga terjadi pada tambang batu bara. Ketika gas

yang kaya dengan metana diproduksi melalui pembusukan oleh bakteri

anaerobik dari bahan-bahan organik selain dari fosil, maka ia disebut biogas.

Sumber biogas dapat ditemukan di rawa-rawa, tempat pembuangan akhir

sampah, serta penampungan kotoran manusia dan hewan.

Page 43: 2009zra Tesis Doktoral IPB

22

Komponen utama dalam gas alam adalah metana (CH4), yang

merupakan molekul hidrokarbon rantai terpendek dan teringan. Gas alam juga

mengandung molekul-molekul hidrokarbon yang lebih berat seperti etana (C2H6),

propana (C3H8) dan butana (C4H10), selain juga gas-gas yang mengandung sulfur

(belerang). Gas alam juga merupakan sumber utama untuk sumber gas helium.

Metana adalah gas rumah kaca yang dapat menciptakan pemanasan global

ketika terlepas ke atmosfer, dan umumnya dianggap sebagai polutan ketimbang

sumber energi yang berguna. Meskipun begitu, metana di atmosfer bereaksi

dengan ozon, memproduksi karbon dioksida dan air, sehingga efek rumah kaca

dari metana yang terlepas ke udara relatif hanya berlangsung sesaat. Sumber

metana yang berasal dari makhluk hidup kebanyakan berasal dari rayap, ternak

(mamalia) dan pertanian (diperkirakan kadar emisinya sekitar 15, 75 dan 100 juta

ton per tahun secara berturut-turut (www.naturalgas.org/ overview/

background.asp)

Nitrogen, helium, karbon dioksida (CO2), hidrogen sulfida (H2S), dan air

(H2O) dapat juga terkandung di dalam gas alam. Merkuri dapat juga terkandung

dalam jumlah kecil. Komposisi gas alam bervariasi sesuai dengan sumber

ladang gasnya. Campuran organosulfur dan hidrogen sulfida adalah kontaminan

(pengotor) utama dari gas yang harus dipisahkan. Gas dengan jumlah pengotor

sulfur yang signifikan dinamakan sour gas dan sering disebut juga sebagai "acid

gas (gas asam)". Gas alam yang telah diproses dan akan dijual bersifat tidak

berasa dan tidak berbau. Akan tetapi, sebelum gas tersebut didistribusikan ke

pengguna akhir, biasanya gas tersebut diberi bau dengan menambahkan thiol,

agar dapat terdeteksi bila terjadi kebocoran gas.

Gas alam yang telah diproses itu sendiri sebenarnya tidak berbahaya,

akan tetapi gas alam tanpa proses dapat menyebabkan tercekiknya pernafasan

karena ia dapat mengurangi kandungan oksigen di udara pada level yang dapat

membahayakan. Gas alam dapat berbahaya karena sifatnya yang sangat

mudah terbakar dan menimbulkan ledakan. Gas alam lebih ringan dari udara,

sehingga cenderung mudah tersebar di atmosfer. Akan tetapi bila ia berada

dalam ruang tertutup, seperti dalam rumah, konsentrasi gas dapat mencapai titik

campuran yang mudah meledak, yang jika tersulut api, dapat menyebabkan

ledakan yang dapat menghancurkan bangunan. Kandungan metana yang

berbahaya di udara adalah antara 5% hingga 15%. Ledakan untuk gas alam

terkompresi di kendaraan, umumnya tidak mengkhawatirkan karena sifatnya

Page 44: 2009zra Tesis Doktoral IPB

23

yang lebih ringan, dan konsentrasi diluar rentang 5-15% yang dapat

menimbulkan ledakan menurut (www.naturalgas.org/overview/background.

asp/page2).

2.3.1. Kandungan Energi (Pengukuran Gas Alam)

Gas alam dapat diukur dalam sejumlah cara, sebagai gas, ia dapat diukur

melalui volume pada temperature dan tekanan normal, dinyatakan dalam cubic

feet (CF), yang umum dipakai dalam ribuan cubic feet (MCF), jutaan cubic feet

(MMCF), atau trilliun cubic feet (TCF). Gas alam juga sering diukur dan

dinyatakan dalam British thermal unit (BTU). Satu BTU adalah sejumlah gas

alam yang akan menghasilkan energi yang cukup untuk memanaskan satu

pound air dengan satu derajat pada tekanan normal. Satu cubic feet gas alam

mengandung sekitar 1.027 BTU. Gas alam yang dikirim melalui pipa di USA,

diukur dalam satuan therms untuk menggunakan pembayaran. Satu therm

adalah ekuivalen dengan 100.000 BTU atau sekitar 97 SCF gas

alam.(www.pertamina.com/index.php?option=com_content).

2.3.2. Pemanfaatan Gas Alam

Secara garis besar pemanfaatan gas alam dibagi atas 3 kelompok yaitu :

(1). Gas alam sebagai bahan bakar, antara lain sebagai bahan bakar pembangkit

listrik tenaga gas/uap, bahan bakar industri ringan, menengah dan berat, bahan

bakar kendaraan bermotor (BBG/NGV), sebagai gas kota untuk kebutuhan

rumah tangga hotel, restoran dan sebagainya. (2). Gas alam sebagai bahan

baku, antara lain bahan baku pabrik pupuk, petrokimia, metanol, bahan baku

plastik (LDPE = low density polyethylene, LLDPE = linear low density

polyethylene, HDPE = high density polyethylen, PE= poly ethylene, PVC=poly

vinyl chloride, C3 dan C4-nya untuk LPG, CO2-nya untuk soft drink, dry ice

pengawet makanan, hujan buatan, industri besi tuang, pengelasan dan bahan

pemadam api ringan. (3). Gas alam sebagai komoditas energi untuk ekspor,

yakni liquefied natural gas (LNG). Teknologi mutakhir juga telah dapat

memanfaatkan gas alam untuk air conditioner (AC=penyejuk udara), seperti yang

digunakan di Bandara Bangkok, Thailand dan beberapa bangunan gedung

perguruan tinggi di Australia (Wikipedia, 2007).

Page 45: 2009zra Tesis Doktoral IPB

24

2.3.3. Gas Alam di Indonesia

Pemanfaatan gas alam di Indonesia dimulai pada tahun 1960-an yakni

produksi gas alam dari ladang gas alam PT Stanvac Indonesia (sekarang JOB

Pertamina-Medco) di Pendopo, Sumatera Selatan dikirim melalui pipa gas ke

Pabrik Pupuk Pusri IA, PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) di Palembang.

Perkembangan pemanfaatan gas alam di Indonesia meningkat pesat sejak tahun

1974, setelah PT.Pertamina (Persero) mulai memasok gas alam melalui pipa gas

dari ladang gas alam di Prabumulih, Sumatera Selatan ke pabrik pupuk Pusri II,

Pusri III dan Pusri IV di Palembang. Karena sudah terlalu tua dan tidak efisien,

pada tahun 1993 Pusri IA ditutup dan digantikan oleh Pusri IB yang dibangun

oleh putera-puteri Bangsa Indonesia sendiri. Pada masa itu Pusri IB merupakan

pabrik pupuk paling modern di Kawasan Asia, karena menggunakan teknologi

tinggi. Di Jawa Barat, pada waktu yang bersamaan (1974), PT. Pertamina

(Persero) juga memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di lepas

pantai (off shore) Laut Jawa dan Kawasan Cirebon untuk pabrik pupuk PT.

Pupuk Kujang (Persero) dan industri menengah dan berat di Kawasan Jawa

Barat dan Cilegon Banten. Pipa gas alam yang membentang dari Kawasan

Cirebon menuju Cilegon, Banten memasok gas alam antara lain ke pabrik

semen, pabrik pupuk, pabrik keramik, pabrik baja dan pembangkit listrik tenaga

gas dan uap. Selain untuk kebutuhan dalam negeri, gas alam di Indonesia juga

diekspor dalam bentuk LNG (liquefied natural gas) (Wikipedia, 2007).

2.4. Gas Ikutan (Associated Gas atau Flaring Gas)

Menurut Johnston (2003) ada dua macam gas yang terakumulasi dalam

tempat penyimpanan minyak, yakni gas ikutan yang larut dalam minyak mentah

ke dalam suatu formasi dan gas ikutan di dalam tempat cadangan minyak

mengalami penjenuhan dan terjadi penyumbatan sehingga tekanan dan

temperatur tekanan gas di bawah batas maksimum, karena tekananan tersebut

membuat gas terdorong ke atas. Pada kondisi tertentu, hydrocarbon terhadap

gas ikutan (associated gas) minyak mengalami perubahan menjadi minyak, gas

atau pengembunan.

Pada produksi minyak, secara alami terjadi pemisahan antara gas dan

minyak mentah, pertama-tama yang harus dilakukan pada tahap produksi

menjaga tekanan reservoar. Pada tahap kedua tekanan hidrokarbon harus pada

batas maksimum antara 25% - 35%. Pada tahap kedua ini dilakukan penyulingan

Page 46: 2009zra Tesis Doktoral IPB

25

gas ikutan dengan menggunakan mesin proses. Tekanan (pressure) gas ikutan

masih dibutuhkan dalam proses penyaringan, juga tekanan gas dibutuhkan

bilamana terjadi penurunan garis batas tekanan dalam reservoir. Masalahnya,

penyulingan gas ikutan bisa merusak aliran minyak mentah serta mempengaruhi

faktor produksi. Alasan perusahaan minyak tidak mengolah langsung minyak

mentah tersebut karena ketika gas ikutan didaur ulang akan memberikan

pengaruh negatif terhadap kandungan minyak mentah itu sendiri dan juga biaya

operasional yang dikeluarkan sangatlah besar (Johnston, 2003).

Menurut Haugland (2002) setiap hari di seluruh dunia mengeluarkan

berbagai macam gas ikutan sekitar 10-13 bcf. Hanya dua Negara yang

mengeluarkan gas ikutan melebihi jumlah tersebut yakni USA dan Russia.

Sebelumnya pada tahun 1980 di Eropa Barat pembuangan gas ikutan sangat

tinggi dimana jumlahnya tidak sebanding dengan yang terpakai. Produksi

minyak di dunia dan gas ikutan sejak tahun 1980 berdasarkan Gambar 7.

Gambar 7. Produksi minyak dunia dan gas ikutan (Haugland, 2002)

Gas ikutan mengeluarkan emisi karbon monoksida, nitrous oxides dan

methane, total emisi yang dikeluarkan diperkirakan 1% - 4%. Emisi yang

dikeluarkan mengganggu masyarakat setempat dan terutama sekitar area

tumbuhan dan hewan karena gas ikutan mengeluarkan cahaya dan hawa panas

serta menimbulkan bunyi yang gaduh. Efek yang sangat berbahaya bagi

lingkungan tersebut dapat dikurangi dengan cara menggurangi teknik ledakan.

Bagaimanapun juga, sisa gas ikutan walau yang tidak berbahaya sekalipun dapat

menimbulkan masalah di waktu mendatang bagi masyarakat (Petrosyan, 2007)

Page 47: 2009zra Tesis Doktoral IPB

26

2.4.1 Gas Ikutan (Associated Gas atau Flaring Gas) di Indonesia Menurut data dari Ditjend Migas (2008) kondisi gas ikutan (flare gas) di

sektor usaha minyak dan gas hulu (up stream) sebesar 109,50 mmscfd (juta kaki

kubik perhari), pada sektor usaha minyak dan gas hilir (down stream) sebesar

1,17 mmscfd (juta kaki kubik perhari) berdasarkan gambar 8.

Gambar 8. Kondisi Gas ikutan (flare gas) di sektor migas hulu dan hilir (Ditjend

Migas, 2008) Sektor hulu (up stream) merupakan penyumbang terbesar gas ikutan (flare gas),

sektor tersebut adalah dimana minyak mentah di cari (eksploration) dan di

angkat ke permukaan (production) guna diproses menjadi minyak mentah yang

siap (feedstock) di gunakan untuk bahan baku proses pengilangan (refinery).

Sumber (sources) dari gas ikutan (flare gas) pada sektor hulu (up stream)

tersebut berasal dari beberapa lapangan minyak (oil fields) di seluruh Indonesia.

Berdasarkan gambar 9, Ditjend Migas (15 Juli 2008) mempersiapkan rancangan

kebijakan Green Oil and Gas Industry Initiative (GOGII) untuk menjadikan industri

migas yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan program zero flare,

zero discharge, clean air and go renewable.

2.5. Proses Gas Ikutan Menjadi LPG

LPG (liquified petroleum gas) adalah campuran dari berbagai unsur hidrokarbon

yang berasal dari gas alam yang diproses melalui kilang minyak bumi (refining of

crude oil) atau ekstraksi yang berasal dari gas ikutan dari lapangan minyak

(crude oil field). Dengan menambah tekanan dan menurunkan suhunya, gas

berubah menjadi cair. Komponennya didominasi propana (C3H8)

Page 48: 2009zra Tesis Doktoral IPB

27

Gambar 9. Peta lokasi gas flare (Ditjend Migas, 2008)

dan butana (C4H10). Elpiji juga mengandung hidrokarbon ringan lain dalam

jumlah kecil, misalnya etana (C2H6) dan pentana (C5H12). Dalam kondisi

atmosfer, elpiji akan berbentuk gas. Volume elpiji dalam bentuk cair lebih kecil

dibandingkan dalam bentuk gas untuk berat yang sama. Karena itu elpiji

dipasarkan dalam bentuk cair dalam tabung-tabung logam bertekanan. Untuk

memungkinkan terjadinya ekspansi panas (thermal expansion) dari cairan yang

dikandungnya, tabung elpiji tidak diisi secara penuh, hanya sekitar 80% - 85%

dari kapasitasnya. Rasio antara volume gas bila menguap dengan gas dalam

keadaan cair bervariasi tergantung komposisi, tekanan dan temperatur, tetapi

biasaya sekitar 250:1. Tekanan dimana elpiji berbentuk cair, dinamakan tekanan

uapnya, juga bervariasi tergantung komposisi dan temperatur; sebagai contoh,

dibutuhkan tekanan sekitar 220 kPa (2.2 bar) bagi butana murni pada 20 °C (68

°F) agar mencair, dan sekitar 2.2 MPa (22 bar) bagi propana murni pada 55°C

(131 °F). Menurut spesifikasinya, elpiji dibagi menjadi tiga jenis yaitu elpiji

campuran, elpiji propana dan elpiji butana. Spesifikasi masing-masing elpiji

tercantum dalam keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi Nomor:

25K/36/DDJM/1990. Elpiji yang dipasarkan PT.Pertamina (Persero) adalah elpiji

campuran (Wikipedia, 2007).

LPG plant dalam memproses (ekstraksi) gas ikutan sebagai bahan baku

(feed stock) yang berasal sumur minyak yang diangkut melalui pipa minyak

(pipeline) berupa gas ikutan (associated gas) melalui stasiun pengumpul

(gathering station) pada fasilitas produksi minyak (production fasilities)

Page 49: 2009zra Tesis Doktoral IPB

28

www.unfcc.org/cdm/pdd/flare/schematic. Gas ikutan diproses dengan cara

mekanisme sistem teknologi pendinginan dengan melalui beberapa komponen

proses: booster compressor, cooling and separation unit, liquid extraction unit,

refrigerant re-circulation system, hot oil circulation system, fuel gas system, glycol

circulation system, lpg storage and unloading facilities, electric power generation

Cara kerja dari pada LPG plant yang memanfaatkan gas ikutan (flaring

gas) adalah sebagai berikut :

• Gas (feedstock) diperoleh dari lapangan minyak dan ditransportasikan

melalui pipa ke LPG plant (diproses), dengan hasil berupa produk LPG,

condensate dan lean gas.

• Energi yang dipakai untuk mengangkut dan memproses gas ikutan

menggunakan lean gas (hasil proses) untuk membangkitkan tenaga listrik

(power plant).

Untuk lebih jelasnya ilustrasi kegiatan proyek LPG plant yang memanfaatkan gas

ikutan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Skema ilustrasi kegiatan proyek LPG plant dengan memanfaatkan gas ikutan (www.unfcc.org/cdm/pdd/flare/schematic)

Fasilitas Produksi Minyak

Gas Ikutan (associated Gas)

Residu Gas

Kondesat

Dari Sumur Minyak (oil well)

LPG Plant

Recovery

Flaring

CO2

LPG

Ke Oil Strorage

Page 50: 2009zra Tesis Doktoral IPB

29

2.6. Potensi Sumber Daya Migas Indonesia Di Indonesia terdapat 60 cekungan hidrokarbon namun 22 cekungan

diantaranya belum diekplorasi, sehingga hanya 38 cekungan yang telah

diekplorasi (15 cekungan telah berproduksi, 11 cekungan belum berproduksi dan

12 belum terbukti). Cadangan minyak bumi Indonesia cenderung menurun

secara alami (decline) dan pada saat ini jumlah cadangan yang ada diperkirakan

mencapai 8,4 milyar barrel (3,9 milyar barrel terbukti dan 4,4 milyar barrel

potensial) atau dapat diproduksi selama 20 (dua puluh) tahun. Sebaran

cadangan minyak bumi Indonesia dan jumlah cadangannya dapat dilihat pada

Gambar 11. Sedangkan jumlah cadangan gas bumi Indonesia terbukti dan

potensial mengalami kenaikan dengan ditemukannya lapangan-lapangan baru

selama dua tahun terakhir ini dan pada saat ini jumlah cadangan yang ada

mencapai 164,99 trilyun kaki kubik (106,1 TCF terbukti dan 58,98 TCF potensial)

atau dapat diproduksi untuk waktu 64 tahun (Yusgiantoro, 2007) dapat dilihat

pada Gambar 12.

Gambar 11. Peta penyebaran cadangan minyak bumi Indonesia

(http://www.migas.esdm.go.id/) 2.7. Kegiatan Eksploitasi Minyak Bumi Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara dengan industri hulu migas tertua di

dunia, dengan ditandai penemuan secara komersial di Kabupaten Langkat,

Telaga Said, di Sumatera Utara pada tahun 1883. Sebagai anggota Organization

Petroleum Exporting Countries (OPEC), produksi minyak bumi di

Page 51: 2009zra Tesis Doktoral IPB

30

Gambar 12. Peta penyebaran cadangan gas Indonesia berdasarkan sumber

gas (Indonesia Associated Gas Survey – Screening & Economic Analysis Report (Final), Pendawa, 2006)

Indonesia diatur oleh alokasi kuota yang ditetapkan oleh OPEC sebesar 1,445

juta barrel perhari dan masih berlaku sampai saat ini. Jatah kuota produksi

sebesar itu hanya dapat dicapai sebelum tahun 2000. Pada tahun 1980, sekitar

70% dari produksi minyak bumi diekpor, tetapi konsumsi domestic meningkat

secara mantap dan mencapai 50 % dari produksi minyak bumi pada tahun 1990

(Country Data, 1992).

Produksi minyak yang dimiliki oleh PT.Pertamina EP Jawa Bagian Barat

sejak tahun 1970 mulai dilakukan eksploitasi dengan melakukan penggalian

sejumlah sumur. Dari ratusan sumur yang dibor, daerah-daerah yang berhasil

memproduksi adalah Jatibarang, Cemara, Kandanghaur Barat dan Timur, Tugu

Barat dan lepas pantai. Daerah PT.Pertamina EP Jawa Bagian Barat ini

termasuk daerah operasi yang cukup besar yang dimiliki PT.Pertamina EP.

Produksi tertinggi dari daerah ini terjadi pada tahun 1973-1974 mampu mencapai

28.000 barrel oil perday (BOPD). Pada tahun 2000, produksi mengalami

penurunan hingga menyentuh angka 7.000-7.500 BOPD. Pada tahun 2001 PT.

Pertamina EP Jawa Bagian Barat mampu meningkatkan produksi minyak

sebesar 14.294 BOPD dan gas alam 404,8 MMSCFD (Laporan Akhir, Dinas

Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat, 2003).

Disadari bahwa produksi minyak Indonesia selama 5 tahun terakhir ini

cenderung mengalami penurunan secara alami. Oleh karena itu, selama periode

Page 52: 2009zra Tesis Doktoral IPB

31

2002-2004, BP Migas dan Kontraktor Kerja Sama telah berhasil menemukan

cadangan minyak bumi sebesar 1 milyar barrel untuk mengatasi masalah

tersebut. Sebaiknya produksi gas terus meningkat sejalan dengan cadangan gas

yang semakin hari semakin meningkat. Peningkatan gas ini diperoleh oleh dari

penemuan-penemuan sumber baru seperti Tangguh di Papua, Natuna Barat di

Laut Natuna, Donggi/Senoro di Sulawesi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur,

Blok Cepu (Banyu Urip) di Jawa Timur dan Lapangan lainnya. Seluruh lapangan

minyak dan gas bumi tersebut masih dalam taraf penyusunan rencana

pengembangan (Plan of Development), WP&B (Work Program and Budget)

mulai melakukan kegiatan konstruksi dan AFE (Authourize Financial

Expenditure) dalam rangka untuk cost recovery (BP.Migas, 2008).

Produksi rata-rata harian minyak bumi Indonesia cenderung menurun

terus, saat ini (2008) tingkat produksi harian rata-rata adalah 844.850,444

barrel.(www.esdm.go.id). Pada tahun 2003 produksi rata-rata harian minyak bumi

Indonesia adalah 1,265 juta barrel (World Oil, 2003), penurunan tersebut

disebabkan kondisi lapangan minyak sudah tua (mature), penemuan dan

pengembangan lapangan baru tidak secepat yang kita harapkan. Estimasi

cadangan minyak bumi Indonesia adalah 9,692 milliar Barrel atau 0,6 % dari

cadangan minyak dunia (DitJend Migas, 1999).

Produksi minyak mentah dimulai dengan mengalirkan minyak secara

alami (naturalflow) dari area tekanan tinggi yang ada dipermukaan bumi.

Produksi alami ini disebut produksi primer, yang bergantung pada tekanan

reservoir dan mekanisme pengendalian alami. Mekanisme pengendalian ini

merujuk sumber-sumber energi didalam reservoir yang akan membantu

produksi, bergantung aspek fisik reservoir dan sifat-sifat minyak, gas dan air

yang ditemukan dalam proporsi relatif dan lokasinya (Gibbon, 1980).

Produksi sekunder adalah prosedur lainnya yang digunakan untuk

meningkatkan hasil dari satu reservoir. Prosedur ini terdiri atas menginjeksi gas

ikutan atau air untuk mempertahankan reservoir. Pada zaman dulu, teknik

produksi sekunder diikuti penggunaan teknik produksi primer; sekarang teknik ini

mungkin digunakan secara simultan untuk meningkatkan produksi total (Gibbon,

1980). Masih terdapat ceruk pasar LPG yang dapat dipenuhi oleh KPS dan

PERTAMINA dengan jumlah minimum 200.000 ton per tahun dan permintaan

tersebut diperkirakan akan meningkat 15% setiap tahunnya (Gambar 13).

Page 53: 2009zra Tesis Doktoral IPB

32

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah penghasil migas

terbesar di Indonesia. Dalam hal volume produksi minyak bumi, Jawa Barat

menempati peringkat kelima terbesar setelah Riau, Kalimantan Timur, Sumatera

Selatan dan Lampung, dengan volume produksi mencapai 4,31 % dari produksi

total Indonesia (Pertamina, 2003). Untuk gas alam, Jawa Barat menempati

peringkat ketiga dengan produksi 11,27 % dari total gas alam Indonesia.

Produksi tahunan Jawa Barat pada tahun 2002 adalah 15,78 juta barrel minyak

bumi dan 222,6 milyar kaki kubik gas alam (mmscf).

Gambar 13. Kondisi saat ini Indonesia – Oil Products Supply & Demand Balance (2006-2015) (Sumber : Facst, 2007 & Pertamina analysis)

Potensi migas Jawa Barat tersebar di beberapa daerah penghasil, yaitu

Kabupaten Indramayu, Karawang, Majalengka, Subang, Bekasi, wilayah 4-12 mil

laut dan wilayah di luar 12 mil laut, meliputi tidak kurang dari 75 lapangan minyak

bumi dan gas alam.

Page 54: 2009zra Tesis Doktoral IPB

33

Tabel 1. Lapangan minyak ‘on shore’ yang dikelola oleh PT.Pertamina EP Region Jawa area operasi timur :

Lapangan Tahun Mulai

Operasi

Cadangan Minyak (x1 juta Barrel)

Cadangan Gas (x1 juta milyar kaki

kubik) Sistem Ciputat :

- Jatinegara 1989 - 20 - Jatirarangon 1982 1 20 - Tambun 1992 2 1 - Cikarang 1993 - 50 - Cicauh 1988 - 40

Sistem Cipunegara : - Tugu Barat 1979 11 50 - Haurgeulis 1982 - 50 - Sukatani 1983 - 75 - Kandang Haur Barat 1984 1 - - Pasir Catang 1992 - 100

Sistem Pasir Bungur: - Pegaden 1975 10 5 - Pamanukan Selatan 1980 - 50 - Pasirjadi 1985 5 60 - Pasirjadi Naik 1987 - 2 - Gambarsari 1989 - 30 - Katomas 1990 - 1 - Sindangsari 1990 - 50 - Bojongraong 1993 - 75

Sistem Jatibarang : - Jatibarang 1969 130 150 - Sindang 1970 10 50 - Gantar 1973 - 400 - Randengan 1973 5 20 - Kandang Haurtimur 1974 2 100 - Cemara 1976 8 600 - Cemara Timur 1976 - 200 - Cemara Selatan 1977 7 10 - Waled Selatan 1978 1 - - Sindang Blok turun 1981 0 1 - Sambidoyong 1985 1 0 - Kapetakan 1986 - 50

Sumber : PT.Pertamina EP Region Jawa Bagian Barat, 2004

Formasi batuan yang mengandung minyak dan gas bumi adalah formasi

Cibulakan (Jatiluhur) terdiri dari lempung dan gamping bersisipan batupasir

dengan ciri laut dangkal, formasi Jatibarang terdiri dari batuan vulkanik berumur

(Eosen-Oligosen), formasi parigi berupa batu gamping. Formasi ini termasuk

Page 55: 2009zra Tesis Doktoral IPB

34

blok Dataran Jakarta-Cirebon (Martodjojo, 1975). Sebaran lapangan minyak dan

gas bumi yang telah dilakukan eksplorasi dan eksploitasi hingga saat ini dapat

dilihat pada Tabel 1 (PT.Pertamina EP Region Jawa, 2004).

2.8. Pengelolaan Lingkungan Kegiatan Eksploitasi Minyak Bumi

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi sebagai industri hulu

migas adalah suatu mata rantai kegiatan yang diawali dengan kegiatan survey

seismik (geologi, graviti, seismik dan lainnya), pemboran eksplorasi, ekploitasi

dan dilanjutkan dengan kegiatan pengembangan lapangan, produksi (termasuk

enhanced oil recovery) dan transportasi (pemasaran). Semua kegiatan tersebut,

selain menghasilkan devisa kepada negara dan kesempatan kerja, dapat pula

menimbulkan dampak negatif pada lingkungan, apabila tidak dikelola dengan

baik. Dampak negatif dalam bentuk perubahan tatanan lingkungan yang

Tabel 2. Potensi dampak lingkungan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi

No Kegiatan Jenis Kegiatan Potensi Dampak Lingkungan 1 Survey Seismik

• Peledakan Bahan Peledak • Transportasi alat-alat

• Kerusakan Sarana dan Prasarana

• Kebisingan dan debu • Terjadi ceceran minyak

2 Pemboran Eksplorasi

• Penyerapan tenaga kerja • Ganti rugi lahan • Ceceran bahan kimia • Pembuangan lumpur bor

bekas

• Ada peluang kerja • Spekulasi ganti rugi • Pencemaran air • Terganggu flora & fauna

3 Pengembangan Lapangan

• Penyerapan tenaga kerja dan jasa setempat

• Ganti rugi lahan • Ceceran bahan kimia • Pembuangan lumpur bor

bekas • Emisi gas buang

• Ada peluang kerja • Spekulasi ganti rugi • Pencemaran air • Terganggunya kehidupan

flora dan fauna • Pencemaran udara

4 Produksi

• Penyerapan tenaga kerja dan jasa setempat

• Ceceran bahan kimia • Air terproduksi • Oil Sludge • Penggunaan B3 • Ceceran minyak mentah • Limbah domestik • Kebocoran pipa • Emisi gas buang (flare)

• Ada peluang kerja • Pencemaran tanah dan

air • Terganggunya kehidupan

flora dan fauna • Pencemaran udara

5 Transportasi

• Kebocoran pipa penyalur minyak

• Kebocoran tangki penampung

• Emisi gas buang (flare)

• Pencemaran tanah dan air

• Terganggunya kehidupan flora dan fauna

• Pencemaran udara Sumber : Soegiarto, 2007

Page 56: 2009zra Tesis Doktoral IPB

35

menyangkut aspek-aspek biologi, geologi, hidrologi, fisik, kimia, sosial, ekonomi

dan budaya. Potensi dampak lingkungan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi

minyak bumi dapat dilihat Tabel 2.

2.9. Pengelolaan SumberDaya Alam (SDA) dan Lingkungan

Ada lima prinsip pokok yang perlu kita integrasikan dalam setiap pengelolaan

lingkungan hidup, terlepas dari masalah lokasi, sektor maupun pihak yang

melakukannya (Keraf, 2000). Kelima prinsip tersebut adalah:

1) sumberdaya alam harus dimanfaatkan untuk tujuan kemakmuran rakyat

secara terus-menerus dari generasi ke generasi.

2) sumberdaya alam harus dimanfaatkan dan dialokasikan secara adil dan

jujur di kalangan inter maupun antargenerasi.

3) dalam proses pemanfaatan sumberdaya alam harus mampu tercipta

kohesivitas masyarakat di kalangan berbagai lapisan dan kelompok

masyarakat serta mampu mempertahankan eksistensi budaya lokal.

4) pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan dengan pendekatan

sistem untuk mencegah terjadinya praktek-praktek pengelolaan sumber

daya alam yang bersifat parsial, ego sektoral atau ego-daerah dan tidak

terkoordinasi.

5) kebijakan dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam harus

bersifat spesifik lokasi dan disesuaikan dengan kondisi ekosistem dan

masyarakat sekitar.

Kelima prinsip dasar tersebut satu sama lain saling terkait dan pengaruh

mempengaruhi, sebagai satu-kesatuan mengandung makna bahwa kemakmuran

rakyat harus dicapai secara berkelanjutan dan berkeadilan. Pesan penting dari

prinsip ini adalah, jangan sampai kebijakan eksploitasi sumberdaya alam bersifat

sentralistik sehingga memacu kerusakan tanpa kendali, menimbulkan masalah

kemiskinan, menindas hak-hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat,

memudarkan budaya lokal dan bahkan kemudian memacu disintegrasi

kelompok-kelompok masyarakat dan Bangsa Indonesia (Keraf, 2000).

2.10. Pembangunan Berkelanjutan Komisi Dunia Untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission

on Environment and Development - WCED, 1987) mendefinisikan pembangunan

berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan hari kini

Page 57: 2009zra Tesis Doktoral IPB

36

tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi

kebutuhan mereka. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan mempunyai

tujuan jangka panjang, yaitu memikirkan pula kepentingan anak-cucu dalam

generasi yang akan datang.

Pembangunan yang berkelanjutan menggabungkan tiga bidang penting

yaitu lingkungan, sosial dan ekonomi ke dalam sebuah perspektif tunggal yang

terpadu (Bebbington, 2001; Van Dieren, 1995). Integrasi/perpaduan kelompok-

kelompok dari tiga dari buah pilar pembangunan berkelanjutan membawa

kepada konsep-konsep efisiensi ekologi, keadilan ekologi dan efisiensi sosial

(Gambar 12).

Konsep pembangunan berkelanjutan muncul ketika terjadi ‘kegagalan’

pembangunan, saat proses yang terjadi bersifat top-down (arus informasi yang

terjadi hanya satu arah dari atas ke bawah) dan jika ditinjau dari sisi lingkungan,

sosial, dan ekonomi proses pembangunan yang terjadi ternyata tidak

berkelanjutan. Pelaksanaan konsep ini diperkuat lagi dengan kesepakatan para

pemimpin bangsa yang dinyatakan dalam hasil-hasil negosiasi internasional,

antara lain Deklarasi Rio pada KTT Bumi tahun 1992, Deklarasi Millennium PBB

tahun 2000, dan Deklarasi Johannesburg pada KTT Bumi tahun 2002 (Pelangi,

2003).

Gambar 14. Tiga sasaran pokok pembangunan berkelanjutan

Oleh karena itu maka sustainable development is more than ecological.

Bukan sekadar pencemaran, air bersih. It goes deeper, yaitu kebhinekaan. Inilah

prinsip pembangunan berkelanjutan. Kebhinekaan itu, meliputi berbagai aspek

dalam kehidupan. Semakin beraneka ragam dimensi ekologi, politik, ekonomi,

budaya, sosial, semakin stabil sistem itu (Salim, 1994).

Keberlanjutan Sosial

Keadilan ekologi

Efisiensi sosial

Efisiensi ekosistem

Keberlanjutan ekonomi

Keberlanjutan lingkungan

Pembangunan Berkelanjutan

Page 58: 2009zra Tesis Doktoral IPB

37

2.11. Produksi Bersih

Penerapan produksi bersih pada industri dapat dilakukan dengan aplikasi

minimisasi limbah dan teknologi bersih. Penerapan teknologi bersih merupakan

salah satu cara untuk meningkatkan kinerja perusahaan yang nantinya akan

terkait dengan penilaian program PROPER (environmental performance rating)

yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (Dana Mitra Lingkungan,

2005).

Pengelolaan lingkungan berdasarkan end-of-pipe treatment terbukti

hanya menambah biaya produksi dan tidak dapat menyelesaikan permasalahan

buangan atau limbah produksi. Produksi Bersih merupakan strategi pengelolaan

lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang dapat diterapkan oleh

perusahaan karena menggunakan pendekatan win-win antara bisnis dan

lingkungan. Pendekatan produksi bersih ini akan menurunkan biaya produksi,

meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta memperbaiki citra (image)

lingkungan dan hubungan dengan stakeholders lainnya. Dengan demikian

tujuan perusahaan yaitu laba (profit), pertumbuhan (growth) dan keberlanjutan

usaha (sustainable business) akan tercapai (Dana Mitra Lingkungan, 2005).

Beberapa hal yang menyebabkan penerapan produksi bersih di indonesia

tidak bergaung, antara lain:

a. Pengertian produksi bersih yang belum sepenuhnya dipahami dengan baik

sehingga terkesan kurang menarik karena keuntungan dan kesempatan

potensial perbaikan belum diidentifikasi

b. Piranti dan insentif keuangan terhadap penerapan produksi bersih belum

tersebarluaskan.

c. Akses terhadap teknologi & keahlian produksi bersih di Indonesia masih

terbatas pada komunitas tertentu.

d. Kurangnya kebijakan yang mendukung penerapan produksi bersih dan

pemberian penghargaan bagi perusahaan maupun lembaga yang telah

berhasil melaksanakannya (Dana Mitra Lingkungan, 2005).

Produksi bersih (cleaner production) bertujuan untuk mencegah dan

meminimalkan terbentuknya limbah atau bahan pencemar lingkungan pada

seluruh tahapan produksi. Di samping itu, produksi bersih juga untuk

meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, bahan penunjang, dan energi.

Dengan demikian, diharapkan sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara

berkelanjutan (Kompas, 2004) .

Page 59: 2009zra Tesis Doktoral IPB

38

Bila kita melihat berbagai strategi yang diperlukan dalam pengelolaan

lingkungan terutama dalam hal meminimasi maupun menghilangkan limbah

maka terlihat ada empat strategi yakni pencegahan, daur ulang, perlakuan serta

pembuangan. Pencegahan (prevention strategy), merupakan strategi

pengurangan limbah yang terbaik karena telah dilakukan berbagai usaha secara

dini untuk mengurangi terbentuknya limbah selama proses produksi berlangsung.

Daur ulang (recycle strategy), strategi ini diimplementasikan bila terbentuknya

limbah sudah tidak dapat dihindarkan lagi sehingga salah satu strategi untuk

meminimasi terbentuknya limbah adalah dengan melakukan daur ulang maupun

pemanfaatan kembali. Dalam beberapa kasus, pemanfaatan limbah ini dapat

memberikan nilai komersial karena limbah dapat dijadikan produk yang bernilai

ekonomi (Sriharjo, 2001).

Perlakuan (treatment strategy), apabila limbah tidak dapat diminimisasi

maupun dikurangi dengan strategi daur ulang maupun pemanfaatan kembali

maka perlakuan terhadap limbah harus dilakukan dengan mengurangi baik

secara kualitas maupun kuantitas dari limbah yang terbentuk. Namun demikian,

implementasi strategi yang berdasarkan pada paradigma akhir pipa (end pipe

paradigm) telah berhasil dalam mereduksi kuantitas limbah namun tidak seefektif

bila menggunakan paradigma dalam pipa (in pipe paradigm).

2.12. Clean Development Mechanism (CDM)

Isu perubahan iklim masih menjadi bahan perdebatan banyak pihak

karena adanya perbedaan pemahaman tentang hal tersebut. Secara umum iklim

diartikan sebagai kondisi rata-rata suhu udara, curah hujan, tekanan udara, arah

angin, kelembaban udara serta parameter lainnya dalam jangka waktu yang

panjang antara 50-100 tahun. Perubahan iklim ini terjadi akibat adanya proses

pemanasan global, yaitu meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat

akumulasi panas yang tertahan di atmosfer yang terjadi akibat adanya efek

rumah kaca di atmosfer bumi. Efek rumah kaca itu sendiri merupakan suatu

fenomena gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah

menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi. Setelah

mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang tersebut dipantulkan kembali

ke atmosfer. Akan tetapi hanya sebagian yang dilepaskan ke angkasa luas

karena sebagian akan dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di

atmosfer ke permukaan bumi. Proses ini dapat berlangsung berulang kali,

Page 60: 2009zra Tesis Doktoral IPB

39

sementara gelombang yang masuk juga bertambah terus sehingga akan terjadi

akumulasi panas di atmosfer. Menurut Protokol Kyoto, gas rumah kaca terdiri

dari enam jenis, yaitu karbondioksida (CO2), nitriksida (N2O), methane (CH4),

sulfurheksaflourida (SF6), perflurokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC).

Secara alami, efek rumah kaca telah terjadi sejak terbentuknya atmosfer

bumi sehingga menjadikan suhu bumi menjadi hangat dan layak huni. Para ahli

mengatakan tanpa adanya atmosfer dan efek rumah kaca, suhu bumi akan 33o C

lebih dingin dibandingkan saat ini. Adanya kegiatan manusia (anthropogenic)

terutama sejak adanya revolusi industri, telah meningkatkan emisi GRK dengan

laju yang sangat tinggi sehingga efek rumah kaca di atmosfer semakin kuat.

Pemanfaatan energi yang berlebihan, terutama energi fosil, merupakan

sumber utama emisi GRK. Hutan yang semakin rusak, baik karena kejadian

alam maupun pembalakan liar akan menambah jumlah GRK yang diemisikan ke

atmosfer dan akan menurunkan fungsi hutan sebagai penghambat perubahan

iklim. Demikian pula dengan kegiatan peternakan dan pertanian yang

merupakan penyumbang gas metana yang kekuatannya 21 kali lebih besar

daripada gas karbondioksida. Data emisi GRK tahun 1990 yang dikeluarkan oleh

Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia dalam First National Communication

to The UNFCCC pada tahun 1997 memberikan gambaran bahwa kegiatan

perubahan lahan dan kehutanan memberikan kontribusi terbesar bagi emisi GRK

yaitu sekitar 63%. Adapun sektor energi menempati urutan kedua, yakni kurang

lebih 25% dari total emisi.

Akumulasi peningkatan emisi GRK antropogenik secara umum telah

meningkatkan konsentrasi GRK seperti terlihat dalam Tabel 3. Uap air

merupakan GRK, tetapi tidak diperhitungkan sebagai GRK yang efektif dan tidak

dipergunakan dalam prediksi perubahan iklim karena keberadaan atau masa

hidup (life time) H2O sangat singkat (9,2 hari). Sementara itu CO2, CH4 dan N2O

masa hidupnya di atmosfer berturut-turut adalah 100, 15 dan 115 tahun,

sehingga meskipun emisinya dihentikan dengan segera, tetapi dampak dari

akumulasi GRK tersebut akan tetap dirasakan sampai puluhan bahkan ratusan

tahun. Dari Tabel 3, dapat dilihat pula bahwa meskipun konsentrasi dan laju

pertumbuhan CH4 dan N2O relatif rendah, tetapi kemampuan memperkuat radiasi

(radiative forcing) gelombang pendek menjadi gelombang panjang yang bersifat

lebih panjang dan lebih panas jauh lebih besar dibanding CO2 yang konsentrasi

dan pertumbuhannya jauh lebih besar. Kedua GRK tersebut masing-masing

Page 61: 2009zra Tesis Doktoral IPB

40

mampu memperkuat radiasi sekitar 20 dan 200 kali kemampuan CO2. Hal ini

berarti bahwa kenaikan yang sekecil apapun dari kedua GRK tersebut harus

tetap dikendalikan (Murdiarso, 2003).

Tabel 3. Karakteristik gas rumah kaca utama (Murdiarso, 2003)

Karakteristik CO2 CH4 N2O

Konsentrasi pada pra-industri

Konsentrasi pada 1992]

Konsentrasi pada 1998

Laju pertumbuhan per tahun

Persen pertumbuhan per tahun

Masa hidup (tahun)

Kemampuan memperkuat radiasi

290 ppmv

3550 ppmv

360 ppmv

1,5 ppmv

0,4

5-200

1

700 ppbv

1714 ppbv

1745 ppbv

7 ppbv

0,8

12-17

21

275 ppbv

311 ppbv

314 ppbv

0,8 ppbv

0,3

114

206

Keterangan: ppmv = part per million by volume, ppbv = part per billion by volume

Menurut Murdiarso (2003) sumber-sumber GRK baik yang bersifat alami

seperti interaksi lautan dan atmosfer, input energi matahari, atau letusan gunung

berapi, maupun yang bersifat antropogenik seperti pembakaran bahan bakar fosil

dan alih guna lahan, dapat menyebabkan terjadinya peningkatan suhu secara

global. Hal tersebut berakibat pada terjadinya perubahan iklim yang memberikan

dampak terhadap kehidupan makhluk hidup di bumi. Mengingat perubahan iklim

ini bersifat global, maka dampaknya pun bersifat global pula. Tidak ada daerah

yang akan luput dari dampak perubahan iklim ini, yang berbeda hanya tingkat

adaptasi masing-masing wilayah terhadap perubahan iklim tersebut. Perubahan

iklim dapat menyebabkan terjadinya pencairan lapisan es baik di daerah kutub,

tapi juga di beberapa puncak gunung yang biasanya terselimut lapisan es. Sejak

dekade 1960-an, lapisan es yang menyelimuti bumi diperkirakan telah berkurang

sebanyak 10 persen (Pelangi, 2003).

Lapisan es yang mencair akan menimbulkan peningkatan volume air di

permukaan bumi secara keseluruhan terutama volume air laut yang pada

akhirnya akan menyebabkan peningkatan ketinggian muka air laut. Studi yang

dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan

bahwa dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan permukaan air laut

setinggi 10 cm - 25 cm dan diperkirakan pada tahun 2100 peningkatan muka air

laut akan mencapai 15 cm - 95 cm dibandingkan saat ini. Kondisi seperti itu

Page 62: 2009zra Tesis Doktoral IPB

41

dapat mengakibatkan banyak pulau-pulau serta wilayah pesisir tenggelam dan

mengakibatkan sekitar 46 juta orang yang hidup di pesisir pantai harus

mengungsi ke daerah yang lebih tinggi. Perubahan iklim juga berpengaruh

terhadap pergeseran musim, yaitu semakin panjangnya musim kemarau serta

semakin pendeknya musim hujan, sehingga akan timbul bencana kekeringan

yang memberikan dampak terhadap kegagalan panen serta krisisi air bersih.

Musim hujan meskipun lebih pendek, tetapi akan mempunyai intensitas yang

sangat tinggi, sehingga kondisi ini dapat menyebabkan semakin seringnya terjadi

bencana banjir, badai dan tanah longsor. Ketidakpastian musim akan

mengganggu para petani dalam menjalankan kegiatannya karena akan

menyebabkan musim tanam yang tidak menentu, sehingga dapat menurunkan

produksi pangan. Diperkirakan kerugian pada sektor pertanian di Indonesia

dapat mencapai US$ 6 miliar per tahun (Pelangi, 2003).

Terjadinya kenaikan permukaan air laut, dapat mengakibatkan pulau-

pulau kecil dan daerah landai di Indonesia tenggelam. Diperkirakan sekitar 2000

pulau akan hilang dari wilayah Indonesia (Pelangi, 2003). Akibatnya, masyarakat

nelayan yang tinggal di sepanjang pantai akan semakin terdesak. Selain itu

kenaikan air laut akan merusak ekosisten hutan bakau (mangrove) serta

mengubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir. Masalah lain yang timbul

akibat naiknya muka air laut adalah memburuknya kualitas air tanah di perkotaan

akibat adanya intrusi air laut yang dapat merusak infrastruktur kota akibat

salinitas air laut. Perubahan iklim ini akan berpengaruh juga terhadap sektor

kehutanan, karena tidak semua jenis flora dan fauna mampu beradaptasi

sehingga menyebabkan terjadinya perubahan komposisi ekologi hutan. Spesies

yang tidak mampu beradaptasi akan punah, sedangkan yang lebih kuat akan

berkembang tidak terkendali. Panjangnya musim kemarau dapat pula memacu

peningkatan terjadinya kebakaran hutan. Selain itu, dampak perubahan iklim di

Indonesia dapat meningkatkan frekuensi penyakit tropis seperti malaria dan

demam berdarah. Pada akhirnya dampak negatif dari perubahan iklim ini akan

dirasakan dari segala bidang kehidupan. Secara ekonomi pada tahun 2000

kerugian akibat banjir, kebakaran hutan, topan serta musim kemarau di seluruh

Wilayah Indonesia berjumlah US$150 miliar dan menelan korban jiwa sebanyak

690 jiwa. Sementara studi yang dilakukan memperkirakan kerugian tahunan di

sektor pertanian sebesar Rp 23 miliar, di sektor pariwisata sebesar Rp 4 miliar

Page 63: 2009zra Tesis Doktoral IPB

42

dan dana perbaikan infrastruktur pesisir yang di perlukan sekitar Rp 42 miliar

(Pelangi, 2003).

CDM atau mekanisme pembangunan bersih merupakan satu-satunya

mekanisme dalam Protocol Kyoto yang memungkinkan peran negara

berkembang untuk membantu Negara Annex I dalam upaya mitigasi GRK.

Tujuan CDM seperti tertera dalam Artikel 12 Protokol Kyoto adalah :

1. membantu negara berkembang yang tidak termasuk dalam Annex I untuk

melaksanakan pembangunan berkelanjutan serta menyumbang pencapaian

tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi GRK

dunia pada tingkat yang tidak akan menggangu system iklim global

2. membantu negara-negara Annex I atau negara maju dalam memenuhi target

penurunan jumlah emisi negaranya

CDM memungkinkan negara Annex I untuk menurunkan emisi GRK

secara lebih murah dibandingkan dengan mitigasi di dalam negerinya sendiri

(domestic action). Dalam pelaksanaannya, komoditi yang diperjualbelikan dalam

CDM adalah reduksi emisi GRK tersertifikasi atau yang dikenal dengan CER

(certified emission reduction). CER ini diperhitungkan sebagai upaya Negara

Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan nilai CER ini setara dengan nilai

penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dan karenanya dapat

diperhitungkan dalam pemenuhan target emisi GRK Negara Annex I seperti yang

disepakati dalam Annex B Protokol Kyoto (Murdiarso, 2003).

Menurut Murdiarso (2003) pada dasarnya CDM dapat dilakukan dengan

tiga cara (dikenal dengan CDM architecture), yaitu :

1. Bilateral CDM, yaitu pelaksanaan CDM antara satu Negara Annex I dan satu

negara berkembang. Pada umumnya dilakukan dalam bentuk investasi asing

yang besarnya setara dengan potensi reduksi emisi GRK yang dapat

dihasilkan oleh kegiatan tersebut. Investasi asing yang dihitung sebagai

CDM hanya berdasarkan pada CER yang dapat dihasilkan

2. Multilateral CDM, yaitu dengan mekanisme serupa dengan bilateral CDM,

tetapi berlangsung antara beberapa negara Annex I dengan beberapa negara

berkembang melalui sebuah lembaga “clearinghouse”.

3. Unilateral CDM, yaitu pelaksanaan kegiatan yang memiliki potensi reduksi

emisi GRK yang dibiayai dengan investasi domestik. Pada gilirannya,

investor dalam negeri ini akan mendapatkan CER yang dapat dijual kepada

negara Annex I

Page 64: 2009zra Tesis Doktoral IPB

43

Proyek-proyek CDM harus memberikan keuntungan bagi masyarakat

lokal dalam hal lingkungan, sosal dan ekonomi. Sebagai jaminan adanya

dampak positif proyek CDM bagi masyarakat lokal, maka diharuskan adanya

partisipasi dari masyarakat di sekitar proyek CDM. Partisipasi masyarakat yang

merupakan proses publik yang menjadi salah satu syarat CDM ini harus

dilakukan sejak tahap awal perencanaan kegiatan CDM hingga proses

monitoringnya. Pemilik proyek diharuskan mengadakan proses publik yang

transparan dan obyektif untuk mendapatkan opini-opini dari masyarakat

mengenai kegiatan proyek tersebut. Proses publik tidak hanya dilakukan oleh

pemilik proyek, tapi juga oleh badan eksekutif CDM (CDM executive board,

CDM-EB) yang dilakukan saat proyek didaftarkan dengan mempublikasikan

dokumen proyek CDM dan meminta publik untuk memberikan opini atau

komentar mengenai kegiatan proyek tersebut dalam jangka waktu 30 hari

(Murdiarso, 2003).

Kegiatan CDM dapat dibedakan atas kegiatan yang menurunkan emisi

GRK pada sumber dan kegiatan yang menyerap GRK dari atmosfer. Kegiatan

yang menurunkan emisi dari sumber biasanya terfokus pada sektor yang

memanfaatkan energi, sementara kegiatan untuk menyerap GRK dari atmosfer

dikenal juga dengan carbon sequestration seperti kehutanan (Pelangi, 2003).

Sumber utama emisi GRK di sektor energi adalah pembakaran bahan

bakar minyak dalam proses produksi dan prosesing sumber energi primer

terutama minyak dan gas, pembangkit tenaga, dan proses pembakaran di

industri-industri lainnya. Umumnya sektor ini masih banyak menggunakan

teknologi yang tidak menghasilkan emisi GRK lebih rendah. Berdasarkan

catatan KLH (2000) banyak teknologi rendah emisi GRK yang tersedia di

pasaran untuk sector energi, namun demikian, karena berbagai sebab sebagian

besar masih sulit diterapkan.

Menurut IGES (2007) pengurangan emisi GRK di sektor energi umumnya

didasarkan pada prinsip-prinsip berikut :

• Mengurangi penggunaan bahan bakar berbasis karbon dengan bahan

bakar non-karbon atau kandungan karbon rendah,

• Meningkatkan efisiensi pembakaran,

• Meminimalkan kebocoran metan dan dekarbonisasi.

Studi nasional di bidang energi (KLH, 2001) telah mengidentifikasi

kegiatan potensial untuk mengurangi emisi GRK (Tabel 4). Studi ini mengkaji

Page 65: 2009zra Tesis Doktoral IPB

44

potensi berbagai opsi berdasarkan potensi teknis, biaya pengurangan emisi GRK

(marginal abatement costs) menggunakan pendekatan top-down (MARKAL-

based) dan project-based. Pada pendekatan berikutnya marginal abatement

costs dihitung dengan membagi perbedaan biaya antara dua opsi teknologi (base

case dan mitigation technology) dengan perbedaan emisi GRK pada opsi

teknologi yang sama. Biaya (dalam hal ini biaya per unit energi yang dihasilkan)

ditaksir dengan memperhitungkan biaya investasi, biaya bahan bakar, biaya

operasi dan pemeliharaan yang diperlukan dalam implementasi teknologi yang

bersangkutan (IPCC CHG inventory method, 1996).

Tabel 4. Teknologi rendah emisi pada industri minyak dan gas sektor hulu Industri Kondisi Saat Ini Opsi Teknologi

mitigasi GRK potensial

Potensi Pengurangan

GRK Minyak dan gas mentah/Hulu

Pembakaran gas bertekanan Rendah dan Sejenisnya

Penggunaan gas bakaran dari gas alam untuk substitusi dalam memproduksi minyak dan gas.

Meminimalkan pembakaran gas pada lading minyak didaratan

Sedikit atau tanpa memerlukan biaya (1,5 US$/t/CO2

Pengurangan CO2 pertahun : 10,5 juta ton

Total Potensi pengurangan GRK 84 juta ton.

Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup 2000,2001

Lebih lanjut, telah diketahui bahwa pengurangan emisi dari pembakaran

gas dan produksi batu bara serta penggunaan energi terbarukan merupakan

proyek yang potensial untuk CDM di Indonesia. Departemen ESDM telah

mengadakan inventarisasi potensi energi terbarukan di Indonesia, demikian juga

potensi produksi minyak dan batu bara di seluruh propinsi menunjukkan potensi

volume proyek CDM energi di Indonesia. Sebagai contoh, perkiraan saat ini

menunjukkan bahwa Indonesia membakar sekitar 4.6 milyar m3 (meter kubik)

gas per tahun, yang menghasilkan sekitar 11 juta ton emisi CO2 per tahun.

Pemerintah Indonesia yakin bahwa gas bakaran dapat dimasukkan ke dalam

pembangkit tenaga listrik skala kecil dalam rangka memenuhi kebutuhan energi

yang semakin meningkat, dan pada saat yang sama menghasilkan pengurangan

emisi GRK (KLH 2001). Selain itu, potensi energi terbarukan juga sangat besar.

Banyak teknologi rendah emisi di sektor energi telah tersedia di pasar

dunia, tetapi banyak pula diantara teknologi tersebut intensif modal dan seringkali

Page 66: 2009zra Tesis Doktoral IPB

45

sangat khas untuk kondisi lokal tertentu, sebagai contoh, dengan teknologi

penghambat emisi metan misal capturing dan menggunakan atau memompa

kembali residu dan purge gases, penggunaan pneumatic devices untuk

mengendalikan atau menghilangkan kebocoran, perbaikan dan penggantian

pipelines, dan penggunaan shut-off valves otomatis (KLH, 2001). Kendala dari

kebijakan juga umum dijumpai, misalnya, kebijakan pemberian subsidi bagi

bahan bakar fosil tidak mendorong pengalihan ke sumber energi terbarukan.

Namun demikian Pemerintah Indonesia secara perlahan mengurangi subsidi

bahan bakar fosil, yang mengakibatkan harga minyak meningkat dari Rp 1.400

per liter pada tahun 2001 menjadi Rp 2.400 per liter pada awal tahun 2005, dan

kenaikan yang tajam pada akhir tahun 2005. Hal ini dapat meningkatkan daya

saing energi terbarukan.

Kendala kebijakan dan regulasi lain yang membatasi implementasi proyek

gas flaring adalah kontrak bagi hasil. Ketentuan yang ada hanya mengatur bagi

hasil untuk produksi minyak dan gas tetapi tidak ada kebijakan bagaimana

pengaturan atas sertifikat CDM (certified emissions reduction/CERs) karena isu

ini masih dalam tahap diskusi di instansi terkait. Kendala lain adalah tingginya

investasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah teknis, seperti

peningkatan dan pemeliharaan sistim pipeline untuk mengurangi kebocoran.

Studi yang dimaksudkan untuk menangani masalah ini sedang berjalan yaitu

Indonesia's Carbon Finance Development for Gas Flaring Reduction, yang

didanai Bank Dunia (IGES, 2007).

2.13. Ekonomi Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan

Model produksi neoklasik mengasumsikan kapital dan tenaga kerja

(labor) sebagai input primer untuk produksi, Konsisten dengan asumsi ini, model

neoklasikal mengasumsikan kelangkaan (scarcity) diasumsikan sebagai harga

nyata SDA atau biaya-biaya ekstraksi kapital (K) – labor (L) sesuai dengan

indikator-indikator empiris kelangkaan (scarcity) (Cleveland, 1991). Hasil

penelitian Barnett dan Morse (1963) menyatakan bahwa biaya K – L per unit

output ekstraktif cenderung menurun, suatu kecenderungan yang mereka sebut

sebagai sebagai self generating perubahan teknologi.

Suatu model biofisik proses ekonomi mengasumsikan bahwa K dan L

adalah input antara yang dihasilkan dari hanya faktor produksi primer: energi dan

bahan yang rendah entrophy (low entrophy energy and matter). Model biofisik

Page 67: 2009zra Tesis Doktoral IPB

46

kelangkaan SDA: biaya energi langsung dan tidak langsung dari ekstraksi SDA

akan meningkat dengan adanya penurunan stok (akibat deplesi), karena deposit

dengan kualitas rendah memerlukan lebih banyak energi untuk diekstraksi,

ditingkatkan kualitasnya dan diubah menjadi bahan-bahan mentah yang berguna

(Cleveland, 1991).

Peranan SDA sebagai lingkungan alam adalah sumber bahan mentah

(barang sumber daya) dan sebagai pengolah dan penampung limbah

(Suparmoko, 1995). Fungsi produksi adalah hubungan input dan output, secara

matematis digambarkan dengan persamaan (Suparmoko, 1995).

Y = f (K, L, R, T, S)

dengan Y, K, L, R, T, dan S berturut-turut adalah jumlah produksi, kapital, tenaga

kerja, jumlah barang SDA, teknologi, dan faktor sosial.

Produksi barang dan jasa merupakan hasil positif, sedangkan limbah /

sampah adalah hasil negatif. Dengan demikian justru hasil yang negatif itulah

yang harus mendapatkan perhatian dalam pembangunan berwawasan

lingkungan (Suparmoko, 1995). Terdapat hubungan yang positif antara

pembangunan ekonomi dan pencemaran lingkungan. Semakin giat

pembangunan ekonomi semakin tinggi pula derajat pencemaran lingkungan

(Suparmoko, 1995). Kegiatan produksi migas menghasilkan sesuatu yang

berguna untuk meningkatkan kesejahteraan hidup penduduk, tetapi di lain pihak

karena adanya pencemaran lingkungan akan merupakan faktor yang menekan

kesejahteraan hidup penduduk, seperti dapat dilihat pada Gambar 15.

(+)

(-)

Gambar 15. Hubungan antara jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan eksploitasi migas (dimodifikasi dari Suparmoko, 1995).

Eksploitasi Migas

Pertumbuhan Ekonomi

Menipisnya Cadangan Migas

Pencemaran Lingkungan

Penduduk

Page 68: 2009zra Tesis Doktoral IPB

47

Dengan meningkatnya jumlah penduduk, perekonomian harus lebih

banyak menyediakan barang/jasa (dalam hal ini contohnya produk migas) untuk

mempertahankan taraf hidup suatu bangsa. Namun peningkatan produksi migas

akan menuntut eksploitasi SDA yang harus diambil dari persediannya

(reservoir/cadangan). Sebagai akibatnya SDA migas akan semakin menipis

(depleted) dan pencemaran lingkungan akan meningkat pula sejalan dengan laju

pertumbuhan ekonomi (Suparmoko, 1995). Jadi pembangunan ekonomi

menghasilkan pertumbuhan ekonomi disertai dengan dua macam dampak, yaitu

dampak positif berupa tersedianya barang migas yang penting dalam

pembangunan ekonomi dan dampak negatif berupa pencemaran lingkungan

serta menipisnya SDA migas. Pencemaran lingkungan berupa kurang

nyamannya kehidupan, gangguan kesehatan, dan kerusakan SDA.

Berkurangnya cadangan migas: mengurangi kemudahaan dalam eksploitasi

migas, harus menjelajahi daerah-daerah terpencil dan sulit (remote area)

(Suparmoko, 1995).

2.14. Pengelolaan Lingkungan Sosial

Tidak bisa dipungkiri bahwa aspek sosial dalam pengelolaan lingkungan,

khususnya dalam pemanfaatan SDA, kurang mendapat perhatian (KLH, 2002).

Kemudahan memperoleh akses dalam pemanfaatan SDA berkorelasi dengan

terjadinya penumpukan kekayaan pada sebagian kecil orang dan pemodal asing.

Sementara sebagian besar warga masyarakat masih tetap berada pada garis

kemiskinan. Krisis ekonomi juga menambah persoalan dalam kaitannya dengan

pengelolaan SDA, yaitu adanya kecenderungan berupaya membawa bangsa ini

keluar dari krisis ekonomi, dengan menguras SDA. Pengelolaan lingkungan dan

pemanfaatan SDA masih belum memperhatikan secara sungguh-sungguh aspek

sosial (KLH, 2000).

Kelompok masyarakat (komunitas) yang selama ini mengembangkan

potensi SD sosial yang terbukti efektif bagi pelestarian lingkungan hidup,

merupakan mitra pengelolaan lingkungan hidup yang perlu difasilitasi.

Banyaknya keluhan dari berbagai pihak tentang keterbatasan pemahaman

tentang lingkungan sosial dalam kerangka pengelolaan lingkungan hidup (KLH,

2002).

Page 69: 2009zra Tesis Doktoral IPB

48

Perusahaan minyak bumi cenderung membangun infrastruktur dan

tinggal di dalam dunianya sendiri yang secara alamiah merupakan lokasi enclave

(Lindblad dalam Cleary dan Eaton, 1992). Mereka membangun perumahan

pegawai yang dilengkapi dengan fasilitas lengkap di dalam kompleks. Keadaan

yang demikian akan menimbulkan gap yang besar antara perusahaan dan

masyarakat lokal. Gap ini akan semakin besar jika perusahan tidak berpartisipasi

dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat di sekitarnya (Hilarius,

2000). Perusahaan migas memang sudah berpartisipasi dalam pembangunan

masyarakat lokal tetapi hal ini belum seimbang jika dibandingkan dengan

keuntungan yang diperoleh selama ini. Masyarakat selalu menuntut agar

perusahaan migas mau berpartisipasi lebih besar dalam pembangunan.

Masalah lain yang menimbulkan kecemburuan sosial adalah penerimaan tenaga

kerja. Menurut pengakuan masyarakat selama ini perusahaan migas tidak

mengutamakan orang lokal dalam penerimaan tenaga kerja (Hilarius, 2000).

Ketika eksploitasi minyak dan gas berlangsung, tuntutan masyarakat di

daerah sekitar semakin keras untuk menghentikan polusi dan mendapatkan

kompensasi yang adil. Tuntutan mereka mencakup kerusakan tanah, kehilangan

mata pencaharian dan perlakuan adil di tempat bekerja serta pembagian

keuntungan sampai tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut hengkang

dari wilayah mereka (Down To Earth, 2001). Tidak dipungkiri bahwa aspek

sosial, ekonomi dan budaya dalam pengelolaan lingkungan, khususnya dalam

pemanfaatan sumber daya alam (SDA), kurang mendapat perhatian. Masih

begitu banyak persoalan sosial yang dihadapi bangsa. Indonesia akhir-akhir ini,

mengalami berbagai konflik, khususnya konflik atau friksi sosial yang berkaitan

dengan benturan kepentingan pemanfaatan SDA, kesenjangan ekonomi dan

akses pada pemanfaatan SDA (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000).

Krisis ekonomi juga menambah persoalan dalam kaitannya dengan

pengelolaan sumber daya alam (SDA), yaitu adanya kecenderungan berupaya

membawa bangsa ini keluar dari krisis ekonomi, dengan menguras sumber daya

alam secara berlebihan. Dengan demikian, bukan tidak mungkin pengelolaan

SDA kembali akan mengabaikan kepentingan sosial (Kantor Menteri Negara

Lingkungan Hidup, 2000). Sebagian kelompok masyarakat (komunitas) yang

selama ini mengembangkan potensi sumber daya sosial yang terbukti efektif bagi

pelestarian fungsi lingkungan, adalah mitra pengelolaan lingkungan hidup yang

perlu difasilitasi. Pemerintah diharapkan lebih giat mendorong masyarakat agar

Page 70: 2009zra Tesis Doktoral IPB

49

semakin memiliki kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dirinya dalam

mengelola lingkungan hidup. Sehubungan dengan itu, selain diperlukan

profesionalitas dari pihak-pihak terkait yang mengelola lingkungan hidup, juga

diperlukan dukungan panduan tentang pengelolaan lingkungan sosial

(Budhisantoso, 2002).

Kegiatan pertambangan migas selalu terkait dengan komunitas

masyarakat sekitarnya (Warnika, 2006). Komunitas masyarakat yang terjangkau

kegiatan operasi migas ini selalu diberi penjelasan dan sosialisasi sejak dini

mengenai konsekuensi kegiatan hulu migas, dengan harapan dapat membangun

rasa saling percaya terhadap masalah-masalah yang dikawatirkan akan timbul.

Keterlibatan masyarakat dalam mendukung kelangsungan kegiatan

eksploitasi migas sangat berperan penting bagi kelangsungan dan keberhasilan

industri migas yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.

Hubungan timbal balik tersebut dituangkan dalam bentuk keterbukaan yang

nyata antara pihak masyarakat dan perusahaan migas termasuk penyebar-

luasan informasi tentang kegiatan program pengelolaan lingkungan dan program

pengembangan masyarakat (Warnika, 2006).

Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR)

oleh korporasi besar, khususnya di sektor industri ekstraktif (minyak, gas, dan

pertambangan lainnya), saat ini sedang disorot tajam (Wibowo, 2004). Kasus

Buyat yang terjadi tahun 2004 dan Lapindo Brantas yang sekarang menjadi EMP

Brantas (2006) adalah contoh terbaru, tentang bagaimana realisasi tanggung

jawab sosial itu atas terjadinya pencemaran lingkungan. CSR berkaitan dengan

peran aktif masyarakat sipil dalam memaknai dan turut membentuk konsep

kemitraan yang merupakan salah satu kondisi yang dibutuhkan dalam

mewujudkan CSR.

Dalam artikel How Should Civil Society (and The Government) Respond

to Corporate Social Responsibility? Hamann dan Acutt (2003) menelaah motivasi

yang mendasari kalangan bisnis menerima konsep CSR. Telaah Hamann dan

Acutt (2003) sangat relevan dengan situasi implementasi CSR di Indonesia

dewasa ini. Khususnya dalam kondisi keragaman pengertian konsep dan

penjabarannya dalam program-program berkenaan dengan upaya peningkatan

kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

Keragaman pengertian konsep CSR adalah akibat logis dari sifat

pelaksanaannya yang berdasarkan prinsip kesukarelaan (Wibowo, 2004). Tidak

Page 71: 2009zra Tesis Doktoral IPB

50

ada konsep baku yang dapat dianggap sebagai acuan pokok, baik di tingkat

global maupun lokal.

Secara internasional saat ini tercatat sejumlah inisiatif code of conduct

implementasi CSR. Inisiatif itu diusulkan, baik oleh organisasi internasional

independen (Sullivan Principles, Global Reporting Initiative), organisasi negara

OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), juga

organisasi nonpemerintah (Caux Roundtables), dan lain-lain. Di Indonesia,

acuannya belum ada. Jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis berwajah

manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR

yang layak. Sebaliknya, jika orientasi CEO-nya hanya pada kepentingan

kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi)

serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR sekadar kosmetik

(Wibowo, 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa sifat CSR yang sukarela,

absennya produk hukum yang menunjang dan lemahnya penegakan hukum

telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang memang

memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Dalam hal ini yang lebih dipentingkan

adalah show dari buku laporan tahunan, sehingga Laporan Sosial Tahunannya

tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto aktivitas sosial serta dana

program pembangunan komunitas yang telah direalisasi.

Salah satu bentuk kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan adalah

kegiatan pengembangan masyarakat (community development). Kontribusi

Kontraktor KKS bagi pengembangan masyarakat telah lama dan terus dilakukan.

Program pengembangan masyarakat bukan sekadar “pemberian” tetapi

merupakan bentuk kepedulian sosial BPMIGAS-KKKS dan keinginan mendukung

pemerintah untuk membangun masyarakat yang lebih maju dan sejahtera

(Warnika, 2006). Program pengembangan masyarakat (community development,

CD) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan eksplorasi dan

produksi minyak dan gas bumi Indonesia. Selama kurun waktu dua tahun, 2002

hingga saat ini berbagai program pengembangan masyarakat telah dilaksanakan

dengan difokuskan terhadap ekonomi masyarakat, pendidikan & kebudayaan,

kesehatan, fasilitas sosial & fasilitas umum dan lingkungan (Sudibyo, 2004).

2.15. Pendekatan Sistem

Sistem analisis adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mulai

dikembangkan kurang lebih pada tahun 1968. Sistem sendiri diartikan sebagai

Page 72: 2009zra Tesis Doktoral IPB

51

suatu gugus atau kumpulan dari suatu elemen yang saling berinteraksi untuk

mencapai tujuan bersama secara holistik. Hal sesuai dengan pendapat

Manetsch dan Park (1977) yang mengatakan bahwa sistem adalah suatu gugus

atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai

tujuan. Menurut O’Brien (1999) sistem merupakan bentuk atau struktur yang

memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional.

Dengan demikian, maka setiap sistem harus memiliki komponen atau elemen

yang saling berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi

tertentu. Sistem mencakup bagian fisik dan manusia yang hidup di dalamnya.

Adapun yang dimaksud dengan pendekatan sistem adalah salah satu

cara penyelesaian masalah yang dimulai dengan mendefinisikan atau

merumuskan tujuan dan hasilnya adalah sistem operasi yang secara efektif

dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan (Eriyatno, 1998).

Selanjutnya dikatakan bahwa pendekatan sistem juga akan memberikan

penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi,

menganalisis, mensimulasi dan mendesain sistem dengan komponen-komponen

yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas-disiplin dan komplementer

untuk mencapai tujuan yang sama.

Pada pendekatan sistem ditekankan perlunya pendekatan lintas disiplin

guna memahami dunia nyata secara efektif. Pendekatan sistem ini diperlukan

terutama untuk memahami dan menyelesaikan masalah lingkungan. Hal ini

disebabkan permasalahan yang ada di lingkungan pada umumnya merupakan

permasalahan yang kompleks dan saling kait-mengkait serta berinteraksi satu

sama lain, oleh karenanya, maka diperlukan berpikir lintas disiplin sehingga

pemahaman dan penyelesaian dari masalah dapat dilakukan secara totalitas,

mendalam dan terstruktur. Struktur dalam sistem juga harus merupakan struktur

yang terintegrasi agar informasi sistem dapat dipahami secara utuh dan bukan

informasi parsial, sehingga struktur informasi yang diperoleh akan terintegrasi

yang mudah untuk dipelajari (Forrester, 1972).

2.15.1. Sistem Dinamik Salah satu alat yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang

kompleks melalui pendekatan sistem adalah menggunakan konsep model

simulasi sistem dinamis. Adanya simulasi ini memungkinkan untuk

mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari

Page 73: 2009zra Tesis Doktoral IPB

52

input sistem dan parameter model. Berdasarkan hal tersebut, maka model

simulasi diharapkan dapat memberikan penyelesaian dunia riil yang kompleks

(Eriyatno, 2003).

Adapun yang dimaksud dengan sistem dinamis adalah sistem yang

memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu, sebagai akibat dari

perubahan input dan interaksi antar elemen-elemen sistem. Menurut Forrester

(1961) dalam Coyle (1955) dalam Atmoko (2001), sistem dinamik merupakan

investigasi karakteristik umpan balik informasi dari sistem (yang dikelola) dan

penggunaan model-model untuk meningkatkan disain bentuk organisasional dan

pedoman kebijakan. Menurut Djojomartono (2000) nilai output dari sistem

dinamis sangat tergantung pada nilai sebelumnya, terutama yang berasal dari

variabel input.

Dalam menyusun model sistem dinamis, hal pertama yang harus

dilakukan adalah menentukan struktur model. Struktur model pada dasarnya

akan memberi bentuk pada sistem dan akan mempengaruhi perilaku sistem.

Perilaku sistem itu sendiri terbentuk dari kombinasi perilaku simpal umpan balik

(causal loops) yang menyusun struktur model. Perilaku model ini selanjutnya

disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses,

keluaran. Berdasarkan perilakunya, memperlihatkan bahwa unjuk kerja (level)

dari model sistem dinamis, berkerja menurut perubahan waktu atau bersifat

dinamis.

Menurut De Greene (1982) dalam Schoderbek et al. (1985) dan Atmoko

(2001) karakteristik sistem dinamik ada empat, yaitu :

i. Sistem tertutup, pada sistem tertutup ini, sebenarnya sistem tidak benar-

benar tertutup, karena masalah dan energi masuk ke dalam sistem dari

lingkungannya. Namun karena feedback loop tidak dapat melintasi batasan

sistem maka sistem dapat dipertimbangkan sebagai sistem tertutup.

ii. Feedback loops. Pada dasarnya di dalam sistem ada dua umpan balik, yakni

pertama umpan balik positif yang menunjukan naik/turunnya akibat dengan

sebab-akibat searah. Kedua umpan balik negatif yakni naik/turunnya

penyebab mengakibatkan pengaruh sebaliknya yaitu menurunkan atau

menaikkan akibat.

iii. Variabel state dan rate (variabel state) yang mengindikasikan kondisi atau

akumulasi dari sistem pada waktu tertentu. Adapun yang dimaksud dengan

variabel rate adalah aliran yang mengatur ‘kuantitas’ dalam state.

Page 74: 2009zra Tesis Doktoral IPB

53

iv. Rate mengontrol melalui kebijakan (perilaku sistem dikontrol oleh rate).

2.15.2. Pengertian Model dan Permodelan Menurut Fauzi dan Anna (2005) model tidak lain adalah representasi

suatu realitas dari seorang pemodel. Hal ini mengandung arti bahwa model

adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking)

untuk memecahkan suatu masalah. Proses penjabaran atau merenprentasikan

ini disebut modelling atau permodelan yang tidak lain merupakan proses berpikir

melalui sekuen yang logis. Secara skematis, proses permodelan tersebut dapat

digambarkan pada Gambar 16.

Gambar 16. Intersepsi dunia model dengan dunia nyata (Fauzi dan Anna, 2005)

Dari Gambar 14 terlihat bahwa model dibangun atas proses berpikir

(melalui indra fisik) dari dunia nyata yang kemudian diinterprestasikan melalui

proses berpikir, sehingga menghasilkan pengertian dan pemahaman mengenai

dunia nyata. Pemahaman ini tidak bisa sepenuhnya menggambarkan realitas

dunia nyata (daerah irisan antara dunia nyata dengan dunia model), sehingga di

dalam permodelan dikenal istilah “there is no such thing as one to one maping”

(tidak ada peta satu banding satu). Selain itu, model dirancang bukan untuk

memecahkan masalah sekali untuk selamanya (once and for all) atau

memecahkan semua masalah. Di dalam model tidak ada istilah “there is no such

thing as solution for the real life problem”yang menjadi kunci dari semua

masalah, sehingga dalam permodelan, penting untuk merevisi dan meng-

upgrade strategi. Secara umum segala sesuatu berubah, mengalir dan tidak ada

yang tetap, oleh karena itu maka permodelan juga dapat dikatakan sebagai

Ditampilkan kembali sebagai hasil proses berpikir

Ditampilkan melalui indra persepsi

Dunia Model

Dunia Nyata

Permodel

Page 75: 2009zra Tesis Doktoral IPB

54

proses menerima, memformulasikan, memproses dan menampilkan kembali

persepsi dunia luar Fauzi dan Anna (2005).

Di dalam proses interprestasi dunia nyata tersebut ke dalam dunia model,

berbagai proses transformasi atau bentuk model bisa dilakukan. Ada model

yang lebih mengembangkan interprestasi verbal (seperti bahasa), ada yang

diterjemahkan kedalam bahasa simbolik, seperti bahasa matematika, sehingga

menghasilkan model kuantitatif. Untuk menjembatani dunia nyata yang dalam

persepsi manusia bersifat kualitatif menjadi model yang bersifat kuantitatif yang

kokoh. Tom Peters (dalam Fauzi dan Anna, 2001), seorang ahli permodelan

pernah mengatakan bahwa “if you can’t measure it, you can’t manage it”, dengan

kata lain pengukuran dalam membangun model sangat penting, sebab dapat

menentukan seberapa jauh model yang dibangun bisa dikendalikan dan dikelola

(Fauzi dan Anna, 2005). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 17.

The need for a measurable & numirical scale system

Gambar 17. Transformasi kualitatif-kuantitatif (Fauzi dan Anna, 2005)

Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa boks di sebelah kiri dan boks di

sebelah kanan merupakan “esensi seni” dari permodelan, sementara boks di

tengah merupakan esensi pemecahan dari model. Oleh karena itu, dalam

permodelan dikenal istilah “modeling is an art, solving is a science” (permodelan

adalah seni, sementara memecahkan model adalah sains) (Fauzi dan Anna,

2005).

2.15.3. Jenis-Jenis Model Secara umum model dapat dikatagorikan berdasarkan skala waktu dan

tingkat kompleksitas yang dicerminkan dari aspek ketidakpastian. Jika model

tidak mempertimbangkan aspek waktu, model tersebut kita sebut model statis.

Jika aspek waktu (intertemporal) dipertimbangkan, model tersebut kita sebut

model dinamik. Jika kemudian model yang dibangun mempertimbangkan aspek

ketidakpastian yang lebih menggambarkan realitas dunia nyata, model tersebut

kita sebut model yang bersifat deterministic. Jika ketidakpastian dimaksudkan ke

Persepsi Kualitatif

Dunia Nyata

Measuring Tools &

Decision Process

Model kuantitatif untuk pengambil

keputusan

Page 76: 2009zra Tesis Doktoral IPB

55

dalam model, model tersebut kita sebut model yang bersifat stochastic. Interaksi

antara skala waktu dan ketidak pastian akan menghasilkan model yang lebih

kompleks lagi, seperti model yang dinamis-stochastic. Menurut Fauzi dan Anna

(2005) jenis-jenis model tersebut secara digrafis dapat dilihat pada Gambar 18.

Pada Gambar 18 arah panah dari kiri ke kanan menggambarkan derajat

kompleksitas model. Hal ini menunjukkan bahwa semakin jauh panah bergerak

ke kanan, semakin rumit model yang dibangun.

M o d e l

D im a s u kk a n ?

T in g k a tK e p a s t ia n

S k a la W a k t u( t im e s c a l a )

D in a m ik

D ip e r t i mb a n g k a n ?

D i n a m i kD e t e r m in i s t i k

D in a m i kS t o c h a s t i c

S t a t i k S t a t i kD e t e r m i n i s t i k

S t o c h a s t i c

Y

NN

Y

Gambar 18 Jenis-jenis model (Sumber: Fauzi dan Anna 2005)

2.15.4. Proses Pemodelan

Dalam membangun sebuah model diperlukan beberapa tahapan agar

dihasilkan model yang reliable. Secara umum tahapan-tahapan tersebut dapat

dilihat pada Gambar 19. Dari Gambar 19 terlihat bahwa tahapan identifikasi,

khususnya identifikasi masalah yang dibangun dari berbagai pertanyaan, menjadi

sangat penting untuk membangun suatu model. Kelemahan mengidentifikasi

masalah sering menjadi penyebab tidak validnya suatu model karena menjadi

semacam tautology.

Setelah identifikasi masalah dilakukan, langkah berikutnya dalam

membangun model adalah membangun asumsi-asumsi. Hal ini diperlukan

karena sebagaimana dikemukakan sebelumnya, model adalah penyederhanaan

realitas yang kompleks. Oleh karena itu, setiap penyederhanaan memerlukan

asumsi, sehingga ruang lingkup model berada dalam koridor permasalahan yang

akan dicari solusi atau jawabannya (Fauzi dan Anna 2005). Setelah asumsi

Sederhana Kompleks

Page 77: 2009zra Tesis Doktoral IPB

56

I d e n t i f i k a s i

M e m b a n g u n A s u m s i

K o n s t r u k s i M o d e l

A n a l i s i s

I n t e r p r e t a s i

V a l i d a s i

I m p l e m e n t a s i

N

Y

dibangun, langkah berikutnya adalah membuat kontruksi dari model itu sendiri.

Hal ini dapat dilakukan baik melalui hubungan fungsional dengan cara membuat

diagram, alur, maupun persamaan-persamaan matematis. Konstruksi model ini

dapat dilakukan baik dengan bantuan computer software maupun secara analitis.

Tahapan berikutnya yang cukup krusial dalam membangun model adalah

menentukan analisis yang tepat. Tahapan ini adalah mencari solusi yang sesuai

untuk menjawab pertanyaan yang dibangun pada tahap identifikasi. Dalam

pemodelan, analisis ini biasanya dilakukan dengan dua cara, pertama dengan

melakukan optimisasi, kedua dengan melakukan simulasi. Optimisasi dirancang

untuk mencari solusi “what should happen” (apa yang seharusnya terjadi),

sementara simulasi dirancang untuk mencari solusi “what would happen” (apa

yang akan terjadi). Masing-masing analisis tersebut di atas memiliki kelebihan

dan kekurangan, sehingga keduanya dapat dipergunakan sesuai dengan

kebutuhan permasalahan yang harus dijawab (Fauzi dan Anna, 2005).

Tahap selanjutnya dalam pengembangan model adalah melakukan

interpretasi atas hasil yang dicapai dalam tahap analisis. Interpretasi ini penting

dilakukan untuk mengetahui apakah hasil tersebut memang masuk akal atau

tidak. Interpretasi juga diperlukan untuk mengkomunikasikan keinginan si

pemodel dengan hasil analisis yang dilakukan menggunakan komputer atau alat

pemecah model lainnya (solver). Tahapan ini diperkuat dengan tahapan

Gambar 19. Sekuen proses pemodelan (Sumber: Fauzi dan Anna 2005)

Page 78: 2009zra Tesis Doktoral IPB

57

Decision Problem

Analysis Stage

Mathematical Model

Validated?

Computer ImplementationVerified?

Control Stage

Implementation

Design Stage

Interpreted Solution

Yes

Yes

No

No

berikutnya, yaitu validasi model, yang tidak hanya menginterpretasikan model,

tapi juga melakukan verifikasi atas keabsahan model yang dirancang dengan

asumsi yang dibangun sebelumnya. Model yang valid tidak saja mengikuti

kaidah-kaidah teoritis yang sahih, namun juga memberikan intrepretasi atas hasil

yang diperoleh mendekati kesesuaian dalam hal besaran, uji-uji standar seperti

statistik, dan prinsip-prinsip matematik lainnya, seperti first order condition,

second order condition, dan sebagainya. Jika sebagian besar standar verifikasi

ini dapat dilalui, model dapat diimplementasikan. Namun, jika sebaliknya, maka

konstruksi model harus dirancang ulang (Fauzi dan Anna, 2005).

Proses membangun model dapat juga diikuti melalui loop permodelan

sebagaimana digambarkan pada Gambar 20 meski secara prinsip langkah

pemodelan yang dijabarkan Gambar 20 tidak jauh berbeda dengan apa yang

telah diuraikan sebelumnya (Gambar 19). Pada Gambar 20 ada beberapa

langkah spesifik yang harus ditempuh, seperti validasi dan verifikasi, misalnya

implementasi komputer. Sama halnya dengan sekuen permodelan, pada

Gambar 20. Loop permodelan (Sumber: Fauzi dan Anna, 2005)

langkah looping pemodelan, penentuan masalah merupakan titik awal sekaligus

akhir dari membangun model. Setelah masalah diidentifikasikan, selanjutnya

dilakukan tahapan analisis yang tidak lain dari membangun model “matematik”

atau mental modeling. Hasil dari langkah ini harus divalidasi terlebih dahulu

berdasarkan kaidah-kaidah teori dan permasalahan yang akan dipecahkan. Jika

Page 79: 2009zra Tesis Doktoral IPB

58

tidak memenuhi syarat validasi, pemodel harus kembali memformulasikan

masalahnya secara benar. Jika hasil validasi memenuhi syarat, baru kemudian

dilakukan implementasi komputer, baik melalui optimisasi maupun simulasi,

harus diverifikasi terlebih dahulu sebelum diinterpretasikan dan

diimplementasikan. Keseluruhan proses tersebut baru dapat digunakan untuk

mengimplementasikan permasalahan awal yang telah dibangun sebelumnya

(Fauzi dan Anna 2005). Tahapan simulasi model sebagai alat bantu dalam

analisis kebijakan dapat dilihat pada Gambar 21.

a. Pembuatan Konsep

Tahap pertama adalah mengenali permasalahan, mencari siapa yang

menanganinya, dan mengapa masalah tersebut terjadi. Salah satu yang menarik

dari system dynamics ini adalah mempelajari ulang permasalahan untuk

mendapatkan solusi. Pada tahap ini suatu kejadian dipelajari sehingga

mendapatkan suatu pola. Setelah mendapatkan suatu pola maka dapat

merumuskan suatu permasalahan. Pola tersebut dinamakan mental model

(Muhammadi et al., 2001).

Gambar 21. Tahap-tahap pembuatan simulasi model (Sumber: Muhammadi et al., 2001)

Setelah memahami permasalahan, maka mental model yang dihasilkan

dijabarkan dalam sebuah model diagram yang disebut dengan diagram simpal

Masalah

Diagram Simpal Kausal

Grafik/Tabel

Data Model

Pembuatan Konsep

Validasi

Tidak Valid Valid

Pembuatan Model Uji Simulasi

Uji Sensitivitas Analisis Kebijakan

Page 80: 2009zra Tesis Doktoral IPB

59

kausal atau causal loop diagram (CLD). Causal loop diagram adalah

pengungkapan tentang kejadian hubungan sebab-akibat ke dalam bahasa

gambar tertentu. Panah yang menggambarkan hubungan, saling mengait

sehingga membentuk sebuah causal loop, dimana hulu panah mengungkapkan

sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat (Muhammadi et al., 2001).

b. Pembuatan Model Setelah CLD terbentuk, kemudian dibangun sebuah model komputer

yang disebut dengan diagram alir atau stock flow diagram (SFD). Pada tahap ini

dapat dipilih satu dari beberapa perangkat lunak yang tersedia misalnya

Powersim 2.5. CLD diterjemahkan lebih luas dengan menggunakan simbol-

simbol komputer sesuai dengan perangkat lunak yang dipilih. Simbol-simbol

tersebut meliputi simbol yang menggambarkan stock (level), flow (rate), auxiliary,

dan konstanta (Muhammadi et al., 2001).

c. Memasukkan Data Ke Dalam Model (Data Input) Untuk dapat menganalisis sebuah model, maka data yang diperoleh dari

observasi lapangan (baik data primer maupun data sekunder) diinput ke dalam

diagram alir (SFD). Metode memasukkan data ke dalam model sangat

bergantung pada jenis data dan sebagai unsur apa data tersebut dimasukkan.

Data dapat dimasukkan ke dalam model sebagai stock, sebagai flow, sebagai

auxiliary, dan dapat pula sebagai konstanta (Muhammadi et al., 2001).

d. Simulasi Model Berdasarkan model/diagram alir/struktur yang telah dimasukkan data,

dilakukan simulasi untuk mendapatkan hasil. Sebelum simulasi dilakukan terlebih

dahulu ditentukan spesifikasi simulasi yang meliputi kurun waktu simulasi (time

range), metode integrasi (integration method), dan inkremen waktu (time step).

Keluaran hasil simulasi dapat berupa grafik perilaku waktu (time graph) atau

tabel perilaku waktu (time table) (Muhammadi et al., 2001).

e. Validasi Model Validasi model adalah kegiatan membandingkan hasil simulasi dengan

karakteristik patron serta data empirik, sehingga model ini dapat

dinyatakan sebagai model yang valid dan dapat digunakan untuk

menirukan keadaan dunia nyata. Validasi utama yang dilakukan adalah uji

Page 81: 2009zra Tesis Doktoral IPB

60

konsistensi dimensi dan validasi output dengan menggunakan metode statistik

sederhana yaitu menghitung AME (absolute mean error) atau AVE (absolute

variation error) antara data hasil simulasi dengan data empirik (Muhammadi et

al., 2001).

f. Uji Sensitivitas untuk Intervensi Model dan Analisis Kebijakan Kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi

sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Sebelum menentukan kebijakan

yang akan diambil, maka berdasarkan model yang telah dinyatakan valid

ditentukan variabel yang memiliki sensitivitas tinggi, dengan melakukan uji

sensitivitas. Tujuan uji sensitivitas adalah untuk mendapatkan titik

pengungkit (leverage point) yang digunakan sebagai titik intervensi

kebijakan. Penentuan kebijakan yang optimal dapat ditempuh melalui

intervensi ini (Muhammadi et al., 2001).

Page 82: 2009zra Tesis Doktoral IPB

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di dalam areal wilayah kuasa pertambangan

(WKP) PT Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region Jawa area operasi

timur dan wilayah kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola (SDK) Kelurahan/Desa

Amis, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Lokasi

penelitian terletak pada koordinat 107°51°-108°36° bujur timur dan 6°15°-6"40°

lintang selatan (Gambar 20). Beberapa pertimbangan dalam pemilihan lokasi

penelitian ini, diantaranya adalah:

1. Merupakan daerah penghasil minyak mentah (crude oil) terbesar di wilayah

kuasa pertambangan (WKP) dari PT Pertamina EP, produksinya sekitar

18.092 barrel perhari (BOPD) dengan mengandung cukup besar gas ikutan

atau gas ikutan yang dimanfaatkan dengan cara mengekstraksi menjadi LPG

(liquid petroleum gas), lean gas dan condensate oleh PT.SDK.

2. Kandungan gas ikutan atau gas ikutan (flaring gas) cukup besar, terutama

mengandung karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (NOx),

dan sulfur dioksida (SO2).

3. Sejalan dengan target pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri

akan minyak mentah (crude oil) sebesar 1 juta barrel perhari (BOPD) serta

mencukupi kebutuhan akan LPG untuk konsumsi rumah tangga dan industri,

maka Manajemen PT. Pertamina EP Region Jawa melalui program NFG (no

flare gas) menargetkan kenaikan produksi minyak mentah (crude oil) yang

diikuti dengan turunnya gas ikutan agar tercapai pelaksanaan mekanisme

pembangunan bersih dan kemandirian dalam ketahanan di bidang energi.

4. Pemanfaatan gas ikutan itu bersifat site spesific, tergantung lokasi stasiun

pengumpul utama (gathering station) dan keadaan dari lapangan minyak (oil

field) sehingga setiap lapangan minyak akan memberikan hasil yang berbeda

5. Daerah tersebut merupakan lokasi yang terkait langsung dengan penyediaan

prasarana proses pemanfaatan gas ikutan yang dilaksanakan oleh

perusahaan PT. Sumber Daya Kelola (SDK) yang berdampak pada

pengurangan gas rumah kaca (GRK).

Penelitian dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan Desember

2008. Pada saat dilakukan pengambilan data di lapangan, pada saat yang

bersamaan juga dilakukan pengolahan data dan penyusunan disertasi.

Page 83: 2009zra Tesis Doktoral IPB

62

Gambar 22. Peta lokasi penelitian di Kecamatan Cikedung, Kabupaten

Indramayu, Jawa Barat (PT. SDK, 2008) 3.2. Rancangan Penelitian

Penelitian dirancang dalam empat tahapan kajian, yaitu 1) kajian kondisi

eksisting sistem pengolahan dan potensi pemanfaatan gas ikutan, 2) studi

kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan, 3) pengembangan desain model

pengelolaan gas ikutan, dan 4) perumusan arahan rekomendasi kebijakan dan

strategi pengelolaan migas yang ramah lingkunan dan berkelanjutan. Tahapan

penelitian secara sederhana dapat dilihat seperti diagram alir pada Gambar 23.

3.2.1. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data

primer bersumber dari hasil survai lapangan terutama data sosial-ekonomi dan

persepsi masyarakat, serta hasil analisis kualitas gas terproduksi olahan di

laboratorium. Sedangkan data sekunder seperti data penduduk, produksi minyak

bumi, air terproduksi, data pengelolaan lingkungan, biaya produksi, limbah cair

dan lain-lainnya.

Lapangan Migas Tugu Barat,

Page 84: 2009zra Tesis Doktoral IPB

63

Gambar 23. Diagram alir tahapan penelitian a. Data Primer Data primer aspek fisik kimia yang dikumpulkan pada penelitian ini

meliputi data eksisting kualitas udara terutama karbon dioksida (CO2), metana

(CH4), nitrogen oksida (NOx), dan sulfur dioksida (SO2) yang merupakan polutan

untuk udara (atmosfir), data ruang hijau terbuka, data hidrologi, data ekologi,

data sosial ekonomi, data persepsi stakeholder terhadap pemanfaatan gas ikutan

dan pencemaran akibat adanya gas ikutan yang tidak dimanfaatkan, data

teknologi, data fisik lingkungan, pengolahan gas ikutan, kapasitas instalasi

pengolah gas ikutan, volume gas ikutan per satuan waktu, quality controll

terhadap gas ikutan, produk olahan gas ikutan, zonasi peruntukan lahan serta

data hukum dan kelembagaan. Data ini diperoleh melalui pengambilan secara

langsung di lapang (pengukuran di lapang dan di laboratorium). Selain itu juga

dilakukan perhitungan terhadap konsentrasi CO2, metana (CH4) dan nitrogen

oksida (NOx) yang didasarkan pada perhitungan yang terdapat pada Guidelines

for National Greenhouse Gas Inventories (IPCC, 2006).

Page 85: 2009zra Tesis Doktoral IPB

64

Sedangkan data primer sosial ekonomi pada penelitian ini dilakukan

melalui observasi lapang dan wawancara dengan masyarakat, pengusaha dan

para pakar dengan bantuan kuesioner di sekitar Wilayah Operasi Lapangan Tugu

Barat. Secara garis besar data primer sosial ekonomi yang akan diambil pada

penelitian ini antara lain adalah struktur ekonomi, jumlah penduduk, tingkat

pertumbuhan penduduk, pengeluaran keluarga, laju pertumbuhan ekonomi,

pendapatan/ produktivitas per kapita, pengeluaran keluarga, sektor

pembangunan unggulan, pemerataan pendapatan dan penyebaran aktifitas

ekonomi di sekitar lokasi penelitian.

b. Data Sekunder Data sekunder yang diambil adalah data saat ini dan data pada tahun-

tahun sebelumnya (time series) yang diambil dari instansi terkait seperti dari

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat, Badan

Meteorologi dan Geofisika berupa data kualitas udara, data kualitas gas ikutan

dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) QQ Direktorat

Jenderal Minyak dan Gas (DitJend Migas) dan perusahaan lokasi penelitian,

data hidrologi yang meliputi debit air, pola drainase, neraca air, temperatur udara,

curah hujan, penyinaran matahari, sarana dan prasarana pengolahan gas ikutan,

sarana dan prasarana lingkungan di lokasi penelitian. Selain itu juga

dikumpulkan data mengenai dokumen amdal, kinerja lingkungan (RKL dan RPL).

Data sekunder diperoleh dari beberapa sumber, yaitu:

a. Studi literatur tentang eksploitasi gas bumi, pembangunan berkelanjutan,

pengelolaan air terproduksi, pengelolaan gas-gas kontaminan dan

pengelolaan lingkungan fisik, sosial dan ekonomi.

b. Sistem manajemen lingkungan dan hasil studi lingkungan: AMDAL, UKL-

UPL, environmental baseline study, studi sosial, ekonomi dan budaya dan

lain-lainnya yang pernah dilakukan.

c. Hasil pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Data

tersebut adalah hasil pengukuran kualitas air (air limbah), dan flora dan

fauna darat.

d. Laporan Program Peringkat Kinerja Pengelolaan Lingkungan (PROPER).

e. Data ekonomi dan sosial, diperoleh dari BPS, Departemen Keuangan dan

BPS Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Indramayu.

Page 86: 2009zra Tesis Doktoral IPB

65

Adapun format pengumpulan data yang dilakukan pada saat mengumpulkan data

primer dan sekunder dapat dilihat pada Tabel 5:

Tabel 5. Format pengumpulan data Lapangan Tugu Barat.

No. Uraian Data Satuan Keterangan

1 Produksi gas bumi MMSCFD 2 Jumlah sumur produksi Buah 3 Limbah cair – air terproduksi BOPD/hari 4 Limbah padat non-B3 m3/ tahun 5 Limbah B3 m3/ tahun 6 Limbah padat m3/ tahun 7 Jumlah cerobong (stack) buah 8 Emisi udara NOx (Hasil pengukuran) Ton/tahun 9 Gas Rumah Kaca CO2 Ton/tahun

10 Gas Rumah Kaca NOx (Hsl perhitungan) Ton/tahun 11 Biaya pengelolaan lingkungan Rp/tahun 12 Biaya pengelolaan lingkungan sosial Rp/tahun 13 Luas areal fasilitas operasi produksi Hektar

Data sekunder sosial ekonomi akan diperoleh dari berbagai instansi

terkait yang meliputi jumlah dan komposisi penduduk, jumlah keluarga, tingkat

kesehatan, tingkat pendidikan, pola pekerjaan, kesempatan kerja, jumlah tenaga

kerja, kegiatan sosial, luas wilayah, kondisi perumahan, status pemilikan lahan,

tingkat aksesibilitas masyarakat di lokasi penelitian.

3.2.2. Teknik Penetapan Responden Dalam rangka menggali informasi dan pengetahuan atau pendapat pakar

digunakan metode expert judgment. Untuk keperluan ini pakar ditentukan secara

purposive sampling. Dalam menentukan pakar mana yang dijadikan responden

ada beberapa persyaratan yang diberlakukan yakni keterjangkauan dan

kesediaan responden untuk diwawancarai, mempunyai reputasi, kedudukan dan

telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar pada bidang yang diteliti, dan

telah berpengalaman di bidangnya, minimal dalam waktu dua tahun.

Responden pakar mewakili sebagian stakeholders seperti Manajemen

Perusahaan, Kepala Bagian Pengembangan di Depperindag, Ketua Bapedalda,

Kepala Dinas Tenaga Kerja, Kepala Dinas Pertambangan, Kepala Dinas

Lingkungan Hidup, pengusaha, akademisi, dan LSM. Dengan demikian maka

Page 87: 2009zra Tesis Doktoral IPB

66

pakar yang terpilih diharapkan dapat mewakili unsur birokrasi, akademisi, pelaku

usaha, dan organisasi yang peduli terhadap lingkungan

3.2.3. Pengambilan Sampel Udara

Pengambilan sampel udara dilakukan pada titik-titik tertentu yang

dianggap mewakili lokasi penelitian, dan akan dilakukan tiga kali ulangan (bulan

I, II dan III). Adapun lokasi pengambilan sampel udara dilakukan pada sekitar

tempat proyek berada, yakni:

1. Desa Amis, Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu.

2. Desa Cemara, Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu.

3. Desa Losarang, Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu.

3.2.4. Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode

deskriptif dan kuantitatif melalui studi kasus dengan menggunakan pendekatan

sistem. Metode deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran kondisi dan

keragaman pembangunan subsektor pertambangan gas bumi di Provinsi Jawa

Barat dan di Lapangan Tugu Barat, PT. Pertamina EP - PT. SDK. Metode

analisis kuantitatif digunakan untuk menentukan apakah sektor pertambangan

gas bumi termasuk basis ekonomi serta bagaimana dampaknya terhadap

pembangunan wilayah di Kabupaten Indramayu. Metode yang akan digunakan

untuk analisis tersebut adalah NPV, IRR, PBP dan Probability Index (PI) .

Metode analisis data disesuaikan dengan pendekatan dan tujuan

penelitian yang ingin dicapai. Secara keseluruhan, tujuan, jenis dan sumber data

dan analisis data serta alat bantu analisis yang digunakan dirangkum dalam

Tabel 6.

3.3. Definisi Operasional

1. Kebijakan adalah serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang aktor

atau kelompok aktor yang berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara

mencapai tujuan tersebut dalam situasi tertentu, dimana keputusan tersebut

berada dalam cakupan wewenang para pembuatnya (William Jenkins, 1978)

Page 88: 2009zra Tesis Doktoral IPB

67

Tabel 6. Rangkuman tujuan, pendekatan dan analisis data

No Kegiatan Penelitian

Jenis Data Metode Analisis

Alat Bantu Analisis

Output

1 Kajian kondisi existing sistem pengolahan dan potensi pemanfaatan gas ikutan

fisik, kimia, sosial, dan ekonomi pengolahan gas ikutan dalam ekploitas migas

Deskriptif, dibandingkan dengan bakumutu lingkungan,

Program aplikasi worksheet Excell

- informasi kondisi existing pengolahan gas ikutan informasi potensi pemanfaatan gas ikutan

2 Studi kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan

data ekonomi biaya manfaat pemanfaatan gas ikutan

Analisis ekonomi, IRR, NPV, PBP, Probability index

Program aplikasi worksheet Excell

- informasi kelayakan ekonomi pengolahan gas ikutan

3 Pengembangan desain model pengelolaan gas ikutan

fisik, kimia, sosial, dan ekonomi pengolahan gas ikutan

Sistem dinamik

Powersim constructor versi 2.5

model sistem pengelolaan gas ikuta yang ramah lingkungan

4 Perumusan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan migas ramah lingkungan dan berkelanjutan

data hasil survey pakar

AHP dan ISM

Criterium decission plus (CDP) 9.5 dan ISM

prioritas kebijakan dan strategi pengelolaan migas ramah lingkungan, permasalahan dan kebutuhan

2. Pembangunan berkelanjutan dapat juga didefinisikan sebagai “upaya sadar

dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke

dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan,

dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan” (UU No. 23,

1997). Pembangunan berkelanjutan dapat juga didefenisikan sebagai

pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi

kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Dengan demikian pembangunan berkelanjutan mempunyai tujuan jangka

panjang, yaitu memikirkan pula kepentingan anak cucu dalam generasi yang

akan datang.

3. Pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan,

penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan

pengembangan lingkungan hidup.

4. Kegiatan usaha hulu migas (upstream) adalah kegiatan eksplorasi

(pencarian), eksploitasi (pengangkatan) melalui kegiatan pengeboran dan

Page 89: 2009zra Tesis Doktoral IPB

68

penyelesaian sumur, sarana pengangkutan, penyimpanan (storage) dan

pengolahan minyak mentah untuk pemisahan serta pemurnian minyak dan

gas di lapangan minyak dan gas. Sedangkan Kegiatan usaha Hilir Migas

(downstream) adalah kegiatan prosessing atau pengolahan melalui kegiatan

kilang (refinery) untuk memproduksi bahan bakar minyak berserta turunannya

dan pemasaran (marketing) serta distribusi melalui kegiatan penyimpanan

(storage).

5. Gas bumi adalah semua jenis hidrokarbon yang berada dalam fase gas (gas

alam) atau larutan bersama minyak yang dihasilkan dari sumur (gas ikutan);

campuran gas atau uap hidrokarbon yang terjadi secara alamiah yang

komponen utamanya metane, etana, propane, butane, pentane dan heksane

ditambang dari dalam reservoir secara langsung atau gas ikutan (associated

gas) dalam penambangan minyak.

6. Clean development mechanism (CDM) atau mekanisme pembangunan

bersih merupakan salah satu mekanisme di bawah Protokol Kyoto yang

memperbolehkan negara-negara berkembang “menjual” penurunan emisi

melalui berbagai proyek kepada negara-negara maju.

7. Gas alam cair (liquefied natural gas, LNG) adalah komponen hidrokarbon

ringan dari gas alam, dengan kandungan terbanyak berupa metana yang

telah dicairkan (Khoiroh, 2008). LNG dapat juga didefinisikan sebagai gas

alam yang telah diproses untuk menghilangkan ketidakmurnian dan

hidrokarbon berat dan kemudian dikondensasi menjadi cairan pada tekan

atmosfer dengan mendinginkannya sekitar 160°C (Anonim dalam Wales,

2008). LNG dapat juga disebut sebagai gas yang terdiri atas metana yang

dicairkan pada suhu sangat rendah (-160°C) dan dipertahankan dalam

keadaan cair untuk mempermudah transportasi dan penimbunan.

8. Gas ikutan merupakan gas yang diperoleh dari proses pemisahan antara

minyak mentah dan gas bumi melalui proses tekanan hydrocarbon yang

diberikan dengan batas maksimum antara 25 % – 30 %. Terdapat dua

macam gas yang terakumulasi dalam tempat penyimpanan minyak, yakni (1).

gas ikutan yang larut dalam minyak mentah ke dalam suatu formasi dan (2).

gas ikutan di dalam tempat cadangan minyak mengalami penjenuhan dan

terjadi penyumbatan sehingga tekanan dan temperatur tekanan gas di bawah

batas maksimum, membuat tekananan tersebut membuat gas terdorong ke

atas (Johnston, 2003).

Page 90: 2009zra Tesis Doktoral IPB

69

9. Compress natural gas (CNG) adalah pengganti untuk bensin, bahan bakar

diesel dan bahan bakar propana. CNG ini dipertimbangkan sebagai bahan

bakar alternatif yang ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar

diatas. Lebih ringan dari udara sehingga mudah menyebar dengan cepat

ketika bocor ataupun tumpah. Dibuat dengan memberi tekanan pada LNG,

didistribusikan menggunakan kontainer (cylindrical atau spherical) dengan

tekanan normal 200–220 bar.

10. Liquified petroleum gas (LPG) adalah produk pengolahan gas alam dengan

kandungan utama berupa propana (C3) dan butana (C4) serta sejumlah kecil

etana (C2) (Khoiroh, 2008). LPG dapat juga didefinisikan sebagai gas

hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk memudahkan

penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya, yang terdiri atas

propane, butane atau campuran keduanya.

11. Lean gas adalah yang sangat sedikit mengandung senyawa propana (C3)

dan yang lebih berat dari itu, atau juga termasuk aliran gas yang keluar dari

unit absorbsi (Khoiroh, 2008).

12. Condensate adalah fraksi hidrokarbon cair yang diperoleh dari aliran gas

yang memiliki kandungan penting berupa pentane (C5) (Khoiroh, 2008).

13. Flare (associated gas) adalah membakar gas bumi yang terproduksi terdapat

bersama-sama dengan minyak bumi di dalam reservoir yang berlebihan di

menara suar bakar (cerobong), alat untuk membakar gas-gas hidrokarbon

dan gas beracun yang keluar dan dikeluarkan dari peralatan unit operasi

seperti compressor, vessel, karena kelebihan tekanan supaya aman terhadap

peralatan dan lingkungan.

14. Million standard cubic feet per day (MMSCFD) adalah satuan umum yang

biasa digunakan untuk energi adalah MMBTUD dan BBTU. Sebagai

informasi, gas alam tidak dijual berdasarkan nilai volume atau molar flow nya.

Gas alam dihargai berdasarkan nilai energi atau heating value-nya

(US$/MMBTU).

15. British termal unit (BTU) adalah satuan panas yang besarnya 1/180 dari

panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu satu pound (0.4536 kg) air dari

32°F (0°C) menjadi 212°F (100oC) pada ketinggian permukaan laut.

Biasanya dianggap sama dengan jumlah panas yang diperlukan untuk

menaikkan suhu satu pound air dari 63°F (17,2°C) menjadi 64°F (17,8°C).

Page 91: 2009zra Tesis Doktoral IPB

70

16. Plan of development (POD) adalah rencana pengembangan lapangan migas

secara terpadu untuk mengembangkan cadangan hidrokarbon secara

optimal, sehingga menjadi realistis, sesuai dengan aspek teknis, ekonomis,

dan lingkungan yang sehat dan aman (SHE).

17. Barrel oil per day (BOPD) adalah jumlah barrel minyak per hari yang

diproduksi oleh sumur, lapangan atau perusahaan minyak. Satu barrel sama

dengan 42 US gallon atau setara dengan 159 liter.

18. Associated gas adalah gas alam yang diporoleh dari wells dimana terdapat

kandungan crude oil pada sumur tersebut.

19. Non-associated gas adalah gas alam yang diporoleh dari sumur dimana tidak

terdapat kandungan crude oil pada sumur tambang tersebut

20. Minyak bumi (crude oil) adalah campuran berbagai hidrokarbon yang

terdapat dalam fase cair dalam reservoir di bawah permukaan tanah dan

yang tetap cair pada tekanan atmosfir setelah melalui fasilitas pemisahan

diatas permukaan.

21. Sumur pengembangan (development well) adalah sumur yang dibor didaerah

yang telah terbukti mengandung minyak atau gas dengan tujuan

mendapatkan produksi yang diinginkan.

22. Bahan bakar fosil (BBF) adalah juga dikenal sebagai bahan bakar mineral,

adalah sumber daya alam yang mengandung hidrokarbon seperti batu bara,

petroleum, dan gas alam. Pembakaran bahan bakar fosil oleh manusia

merupakan sumber utama dari karbon dioksida yang merupakan salah satu

gas rumah kaca yang dipercayai menyebabkan pemanasan global. Sejumlah

kecil bahan bakar hidrokarbon adalah bahan bakar bio yang diperoleh dari

karbon dioksida di atmosfer dan oleh karena itu tidak menambah karbon

dioksida di udara.

23. Gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang

menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul

secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktifitas manusia

(antropogenic). Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang

mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai.

Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses

alami seperti: letusan vulkanik; pernafasan hewan dan manusia (yang

menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida); dan pembakaran

material organik (seperti tumbuhan).Karbondioksida dapat berkurang karena

Page 92: 2009zra Tesis Doktoral IPB

71

terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses

fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen

ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya.

Page 93: 2009zra Tesis Doktoral IPB

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1. Letak Geografis dan Administratif Kabupaten Indramayu, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa

Barat, yang membentang sepanjang pesisir pantai utara P.Jawa, dengan

pemerintahan yang berpusat di Kecamatan Indramayu. Kabupaten ini

berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Cirebon di tenggara,

Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Sumedang, serta Kabupaten Subang di

sebelah barat. Kabupaten Indramayu terdiri atas 31 kecamatan, yang terdiri dari

313 desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten Indramayu berada di

Kecamatan Indramayu, yang berada di pesisir Laut (www.indramayukab.go.id,

2008)

Secara geografis, Kabupaten Indramayu terletak pada 107° 52° - 108°

36° bujur timur dan 6° 15° - 6° 40° ls. Berdasarkan topografinya sebagian besar

Kabupaten Indramayu merupakan dataran atau daerah landai dengan

kemiringan tanahnya rata-rata 0 % – 2 %. Kondisi ini berpengaruh terhadap

drainase, dan bila curah hujan cukup tinggi, maka di daerah-daerah tertentu akan

terjadi genangan air.

4.2. Iklim Suhu udara Kabupaten Indramayu cukup tinggi yaitu berkisar antara 18o -

28° C. Rata-rata curah hujan Kabupaten Indramayu sepanjang tahun 2006

adalah sebesar 61,06 mm, dengan curah hujan tertinggi di Kecamatan

Kertasemaya kurang lebih sebesar 70 mm dengan jumlah hari hujan 2491 hari,

sedang curah hujan terendah terjadi di Kecamatan Pasekan kurang lebih

sebesar 55 mm dengan jumlah hari hujan 683 hari (www.indramayukab.go.id,

2008)

4.3. Penggunaan Tanah Berdasarkan data www.indramayukab.go.id (2008) luas wilayah

Kabupaten Indramayu mencapai 204.011 Ha yang terdiri dari 110.877 Ha tanah

sawah (54,35%). Dari jumlah tersebut tanah sawah dengan irigasi teknis luasnya

mencapai 72.591 Ha, dan 11.868 Ha diantaranya merupakan tanah sawah

dengan irigasi setengah teknis, 4.365 Ha mendapatkan irigasi sederhana PU dan

3.129 Ha irigasi non PU sedang 18.275 Ha diantaranya adalah sawah tadah

Page 94: 2009zra Tesis Doktoral IPB

73

hujan. Selain sawah juga terdapat tanah kering yang luasnya mencapai 93.134

Ha atau sebesar 45,65%. Bila dibandingkan dengan luas areal tanah sawah di

tahun 2005 yang luasnya 110.548 Ha (54,19% dari luas wilayah), maka di

Kabupaten Indramayu cenderung terjadi perubahan penggunaan lahan.

4.3.1 Ekonomi Nilai PDRB Kabupaten Indramayu tahun 2006 atas dasar harga berlaku

sebesar 31.895,39 milyar rupiah dan tanpa migas sebesar 10.813,76 milyar

rupiah (www.indramayukab.go.id, 2008). PDRB tahun 2006 mengalami

peningkatan dari tahun sebelumnya menjadi 8.304,132 milyar rupiah dan tanpa

migas Rp 1.931,228 milyar. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, PDRB

mengalami peningkatan masing-masing sebesar 35,20 persen dengan minyak

dan gas bumi dan 21,74 persen tanpa minyak dan gas. Untuk kontribusi PDRB,

sektor yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap total PDRB 2006

adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor

pertanian, sektor perdagangan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor

jasa-jasa, sektor keuangan, sektor persewaan dan jasa perusahaan, sektor

bangunan dan terakhir sektor listrik, gas dan air bersih.

Berdasarkan perhitungan PDRB atas dasar harga konstan 2000, laju

pertumbuhan ekonomi Kabupaten Indramayu sebesar 5,10 persen. Dari

sembilan sektor yang ada pada PDRB, semua sektor menghasilkan

pertumbuhan yang positif. Sektor yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi

tertinggi adalah sektor konstruksi/bangunan dengan kenaikan sebesar 14,20

persen. Dilanjutkan oleh kenaikan yang lebih kecil terletak pada sektor

perdagangan, hotel & restoran; industri pengolahan; listrik, gas & air bersih;

pengangkutan & komunikasi; jasa-jasa; sektor keuangan, persewaan, jasa

perusahaan; dan pertanian, maka terjadinya kenaikan tersebut adalah berturut-

turut 11,59; 8,59; 6,63; 5,56; 2,69; 2,05 dan 0,68 persen. Sedangkan kenaikan

paling kecil terjadi pada sektor pertambangan dan penggalian yang angka

kenaikan 0,30 persen www.indramayukab.go.id (2008).

4.3.2 Sosial dan Budaya Keadaan sosial budaya suatu masyarakat dapat dikatakan merupakan

salah satu indikator keberhasilan pembangunan yang dapat dilihat secara kasat

mata. Pada tulisan ini keadaan sosial budaya Kabupaten Indramayu

Page 95: 2009zra Tesis Doktoral IPB

74

dikemukakan dalam beberapa indikator, yakni indikator pendidikan, kesehatan

dan keluarga berencana, serta agama.

Agama

Kehidupan beragama diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 dan sila pertama

Pancasila. Kehidupan beragama dikembangkan dan diarahkan untuk

peningkatan ahlak demi kepentingan bersama untuk membangun masyarakat

adil dan makmur. Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten

dengan mayoritas penduduknya memeluk Agama Islam. Pada tahun 2006

penduduk yang beragama Islam tercatat sebanyak 1.686.244 jiwa, sedangkan

sisanya tersebar pada empat agama lain seperti Protestan tercatat sebesar

2.719 jiwa, Katolik 1.710 jiwa, Hindu 132 jiwa, Budha 282 jiwa dan Konghucu

sebanyak 23 jiwa. Jumlah tempat peribadatan umat Islam pada tahun 2006

tercatat sebanyak 804 Masjid, 3.734 Langgar dan 279 Mushola. Selain tempat

peribadatan, di Kabupaten Indramayu juga terdapat pondok pesantren yang

tersebar hampir di seluruh kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten

Indramayu, kecuali di Kecamatan Pasekan. Adapun jumlah pondok pesantren

pada tahun 2006 tercatat sebanyak 120 dengan jumlah santri sebanyak 36.010

orang. Selain tempat peribadatan umat Islam, di Kabupaten Indramayu juga

terdapat tempat peribadatan lainnya, yakni 17 Gereja Protestan, 10 Gereja

Katolik dan 2 Vihara (www.indramayukab.go.id, 2008).

Pendidikan

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan manusia adalah

kemajuan di bidang pendidikan. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Kabupaten Indramayu pada tahun 2006 untuk tingkat Sekolah

Dasar jumlah sekolah tercatat sebanyak 878 dan murid sebanyak 195.087 orang.

Kemudian di tingkat SMP jumlah sekolah tercatat sebanyak 131 dan murid

sebanyak 57.379 orang. Sedangkan di tingkat SLTA jumlah sekolah tercatat

sebanyak 45 dan murid sebanyak 15.172 orang. Dan untuk Sekolah Menengah

Kejuruan jumlah sekolahnya sebanyak 37 sekolah dengan jumlah murid 12.380

orang (www.indramayukab.go.id, 2008).

Jumlah guru yang terdapat di Kabupaten Indramayu sebanyak 12.888

orang guru. Dari jumlah tersebut sebanyak 7.535 orang (58,47%) mengajar di

institusi pendidikan dasar, sedangkan sisanya yakni 5.352 orang (41,53%)

mengajar di sekolah lanjutan (SLTA dan SMK) (www.indramayukab.go.id, 2008).

Page 96: 2009zra Tesis Doktoral IPB

75

4.3.3 Sumber Daya Alam (SDA) Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa

Barat yang merupakan daerah sentra pertanian. Oleh karenanya maka sektor

pertanian merupakan penyumbang kedua terbesar produk domestik regional

bruto setelah sektor industri (migas), dengan besar sumbangan 13,37 persen

dari total produk domestik regional bruto Kabupaten Indramayu. Hal ini juga

tercermin dari sektor usaha utama penduduk Kabupaten Indramayu yang

memperlihatkan bahwa 51,46 persen penduduk yang berusia diatas 10 tahun,

bekerja di sektor pertanian (BPS, SAKERNAS 2005 dalam

www.indramayukab.go.id, 2008). Dari luas wilayah Kabupaten Indramayu yang

tercatat seluas 204.011 Ha, 54,35 persennya merupakan tanah sawah.

Tanaman Pangan

Beberapa jenis tanaman pangan yang diusahakan di Kabupaten

Indramayu, antara lain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan

kedelai. Produksi terbesar adalah padi sawah sebanyak 1.211.350,95 ton pada

tahun 2006 yang berarti mengalami penurunan sebanyak 4,22% dari

1.264.685,81 ton di tahun 2005. Luas lahan tanaman pangan mengalami

kenaikan dari 195.254 Ha di tahun 2005 menjadi 198.749 Ha pada tahun 2006;

namun produktivitasnya mengalami penurunan dari 64,77 kwintal/Ha ditahun

2005 menjadi 60,95 kwintal/ Ha di tahun 2006. Keadaan ini dapat dipahami

karena luas areal untuk tanaman padi cukup luas jika dibandingkan dengan luas

areal yang ditanami tanaman pangan lainnya yaitu seluas 110.877 Ha,

sedangkan luas areal untuk tanaman pangan lainnya berkisar antara 100 hingga

3.000 ha. Tanaman palawija ubi kayu merupakan komoditas dengan produksi

tertinggi, diikuti oleh kedelai, jagung, kacang hijau, kacang tanah dan ubi jalar.

Disamping tanaman pangan dengan padi sebagai primadonanya,

Kabupaten Indramayu juga memiliki tanaman unggulan lainnya seperti mangga,

pisang cabe merah, bawang merah, jagung serta kedelai. Selain tanaman

pangan, di Kabupaten Indramayu juga dibudidayakan tanaman perkebunan

seperti kelapa, kelapa hibrida, kapuk, cengkeh, jambu mete, kopi, tebu dan

melinjo.

Page 97: 2009zra Tesis Doktoral IPB

76

Peternakan Berdasarkan jenisnya peternakan dibedakan atas ternak besar, ternak

kecil dan ternak unggas. Jenis ternak besar yang cukup dominan di Kabupaten

Indramayu adalah sapi sebanyak 5.419 ekor, kerbau 1.747 ekor dan kuda

sebanyak 152 ekor. Adapun ternak kecil yang cukup dominan adalah domba

sebanyak 130.007 ekor dan kambing sebanyak 54.000 ekor. Jenis ternak

unggas yang paling banyak dipelihara adalah ternak ayam kampung, yang pada

tahun 2006 jumlahnya mencapai 2.095.100 ekor, disusul itik sebanyak 829.791

ekor dan ayam ras 610.178 ekor.

Perikanan Seperti halnya wilayah pesisir pada umumnya, maka Kabupaten

Indramayu merupakan salah satu Kabupaten penghasil ikan. Produksi ikan laut

segar selama tahun 2006 mencapai 71.579,11, walaupun mengalami

peningkatan produksi dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai

67.359,10 ton, namun nilai produksi saat ini mengalami penurunan dari

129.686.808,79.

Kehutanan

Realisasi pendapatan Kabupaten Indramayu dari sektor kehutanan dan

perburuan KPH Indramayu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Pada

tahun 2006 pendapatan dari sektor kehutanan dan perburuan mencapai nilai Rp.

17.225.028.641,- sedangkan pada tahun 2005 mencapai Rp. 16.303.371.000,-

Adapun nilai terbesar dihasilkan dari kayu perkakas jati yang nilainya mencapai

Rp. 15.634.194.326,- diikuti dari minyak kayu putih sebesar Rp. 1.450.937.813.

Sedangkan sisanya disumbang oleh kayu perkakas rimba, kayu bakar jati dan

kayu bakar rimba.

Potensi minyak dan gas

Sebagai salah satu Kabupaten penghasil minyak dan gas, Kabupaten

Indramayu mempunyai potensi minyak dan gas yang tersebar di beberapa

wilayah. Peta potensi migas Kabupaten Indramayu dapat dilihat pada Gambar

24.

Page 98: 2009zra Tesis Doktoral IPB

77

Gambar 24. Potensi cadangan migas Kabupaten Indramayu

(Sumber : Laporan akhir Pemanfaatan Sumur-Sumur Migas Non Ekonomi Di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Majalengka, Dinas Pertambangan dan Energi Jawa Barat-LPPM ITB, 2003)

Kabupaten Indramayu memiliki cadangan awal (initial oil in place)

terbesar di Propinsi Jawa Barat sebesar 903.768 MSTB (million standard barrel

atau juta standard barrel), dengan cadangan gas sebesar 1.428.744,50 mmscf

(million matric standart cubic feed atau juta kaki kubik), (Data Migas Kab.

Indramayu, 2003).

Kabupaten Indramayu sebagai salah satu penghasil migas di Jawa Barat

memiliki cadangan minyak bumi di tempat sebesar 904 juta barrel dan gas alam

ditempat sebesar 1.429 milyar kaki kubik (mmscf). Hingga 1 Januari 2003, telah

diproduksi sejumlah 133 juta barrel minyak dan 610 milyar kaki kubik (mmscf).

Sehingga, cadangan migas yang tersisa yang terdapat di Kabupaten Indramayu

adalah 92 juta barrel minyak bumi dan gas alam sebesar 477 milyar kaki kubik

(mmscf). (www.distamben-jabar.go.id).

Potensi gas ikutan (flare gas) Meningkatnya eksploitasi migas di Kabupaten Indramayu guna memenuhi

kebutuhan dalam negeri, pada dasarnya akan menyebabkan dua masalah

utama. Pertama adalah dampak lingkungan seperti emisi debu, SOx dan NOx

dan yang kedua adalah mempersiapakan sarana dan prasarana

penanggulangan dampak lingkungan akibat eksploitasi minyak bumi. Pada

Gambar 25 terlihat foto satelite gas ikutan (flare gas) di Kabupaten Indramayu

yang jumlahnya cukup besar. Mengingat jumlahnya cukup besar, maka dampak

lingkungan yang berhubungan dengan eksploitasi migas di Kabupaten

Lokasi Penelitian Di Lapangan Migas Tugu Barat

Page 99: 2009zra Tesis Doktoral IPB

78

Indramayu khususnya lapangan Tugu Barat Desa Amis Kecamatan Cikedung

juga akan cukup besar. Adapun dampak tersebut antara lain berupa emisi CO2

yang cukup besar mencapai ± 40 % (Dinas Pertambangan Jawa barat – LPPM

ITB, 2003)

Gambar 25. Kondisi gas ikutan (flare gas)

(Sumber : NOAA, 2004)

4.4. Profil Industri Pengolah Gas Ikutan Objek Penelitian

Jumlah kandungan gas di Indonesia yang sangat besar dan semakin

meningkatnya kebutuhan gas domestik khususnya penggunaan LPG di

Indonesia, telah mendorong masyarakat untuk lebih memanfaatkan LPG sebagai

alternatif energi yang murah dan ramah lingkungan. Peran sektor swasta (private

sector) untuk memberikan kontribusi kepada pemerintah dalam memenuhi

kebutuhan domestik LPG juga semakin dibutuhkan. Hal ini dipengaruhi oleh

semakin meningkatnya permintaan LPG sebesar 5-10% per tahun dengan total

kebutuhan domestik 1.000.000 ton sampai 1.200.000 ton per tahun.

Maka apabila kebutuhan LPG domestik ini dipenuhi diharapkan terjadi alih

penggunaan pemanfaatan Bahan Bakar Minyak (BBM) kepada penggunaan gas

sebagai energi dan kelangkaan BBM juga turut dapat dikurangi. Sehingga

pemerintah juga mampu untuk mengurangi subsidi BBM dan beban subsidi

tersebut dapat dialokasikan kepada sektor lain yang lebih membutuhkan,

misalnya pendidikan dan kesehatan. Pengembangan investasi di sektor minyak

Lapangan Tugu Barat, Kabupaten Indramayu

Page 100: 2009zra Tesis Doktoral IPB

79

dan gas tentunya akan membantu meningkatkan penyerapan tenaga kerja di

daerah operasi. Kebutuhan akan tenaga terlatih dan terdidik yang diserap dari

daerah sekitar, juga turut membantu meningkatkan pengalaman dan

kesejahteraan mereka. Hal ini juga turut membantu sektor ekonomi formal dan

non-formal yang berada di daerah sekitar untuk dapat berkembang melalui suplai

kebutuhan logistik dan makanan. Selain itu keberadaan investasi ini juga turut

membantu meningkatkan tingkat perolehan pendapatan daerah sehingga turut

membantu pemerintah daerah meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Adapun rincian proyek yang diperlukan untuk melakukan pengolahan gas

ikutan adalah sebagai berikut :

• PT.SDK mengoperasikan LPG plant yang ada pada saat ini dan akan

menambah peralatan baru guna memproses kelebihan gas yang belum

dimanfaatkan selama ini.

• Penambahan peralatan dan alat tersebut akan melipatgandakan hasil

produksi, LPG, kondensat dan lean gas.

• Keseluruhan hasil produksi sepenuhnya menjadi milik PERTAMINA dan atas

pengolahan gas tersebut diperkirakan PT.SDK akan memperoleh jasa

pengolahan atas masing-masing produksi sebagai berikut :

LPG sebesar US$ 150/Ton.

Kondensat sebesar US$ 15/Bbl.

Lean Gas sebesar US$ 1.20/MMBTU.

• PERTAMINA dapat menyalurkan gas dengan jumlah tertentu tanpa biaya

kepada PT.SDK guna diproses di Kilang LPG Tugu Barat.

• Pada masa konstruksi sampai pada saat selesainya pembangunan instalasi

peralatan tambahan, maka PT.SDK dapat memperoleh imbalan jasa

pengolahan sesuai dengan hasil produksi kilang saat ini, sebesar 70% (tujuh

puluh persen) dari jasa pengolahan termaksud.

• Masa kontrak bisa dalam waktu 10 tahun dan selanjutnya dapat dilakukan

perpanjangan setiap 10 (sepuluh) tahun sejak pembangunan instalasi baru

selesai, yang dapat dilaksanakan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak

kontrak kerja sama ditandatangani.

Page 101: 2009zra Tesis Doktoral IPB

V. STUDI KONDISI SISTEM PENGOLAHAN GAS IKUTAN DAN POTENSI PEMANFAATAN

Abstrak

Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat di Indramayu memiliki potensi yang besar dalam menghasilkan gas ikutan dalam rangka mendukung penyediaan energi nasional ditengah krisis energi yang terjadi saat ini. Dalam pemanfaatan gas ikutan tersebut berpeluang mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pengolahan gas ikutan Lapangan minyak Tugu Barat, dan pemanfaatan serta dampaknya terhadap lingkungan. Penelitian menggunakan metode analisis deskriptif dengan menggunakan data-data deskriptif hasil penelusuran berbagai pustaka. Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan triangulasi melalui studi pustaka, penyebaran kuisioner, dan survey langsung di lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lapangan Minyak Tugu Barat di Indramayu mulai dieksploitasi oleh Pertamina pada tahun 1970. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 1973-1994 sebesar 28.000 barrel oil per day (BOPD). Lapangan Minyak Tugu Barat memiliki areal seluar 920,328 ha dengan cadangan minyak sebesar 43.423 milyar barrel. Cadangan yang telah terambil sebesar 12.485,50 milyar barrel dan cadangan gas ikutan (flare) sebanyak 35,7 BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable. Gas ikutan di Lapangan Tugu Barat mengandung 40% CO2, 50% gas metan 1,94% nitrogen sehingga jika dibuang langsung akan mengakibatkan terjadinya pencemaran udara, terjadinya pemanasan global dan terjadinya hujan asam. Pada pengolahan gas ikutan, CO2 yang tinggi akan menurunkan tekanannya, sehingga untuk meningkatkan tekanannya, CO2 harus dipisahkan dari gas ikutan. Kilang LPG Plant Tugu Barat mempunyai potensi untuk melakukan pemanfaatan gas ikutan karena cadangannya cukup banyak (GOR >1) dan sudah dapat dirancang rencana-rencana pemanfaatannya di Lapangan Tugu Barat. Berdasarkan perhitungan memperlihatkan bahwa pengolahan gas ikutan di lokasi ini layak secara ekonomi dan secara lingkungan, begitupun halnya dengan CO2 yang terdapat pada gas ikutan dapat dimanfaatkan untuk minuman ringan (food grade), sehingga bernilai ekonomis. Kondisi eksisting di PT SDK memperlihatkan bahwa perusahaan ini tidak mencemari udara, namun penanganan limbah cairnya relatif masih belum terlalu baik.

Kata kunci : Pengolahan, gas ikutan, CO2 pemanfaatan, layak lingkungan

5.1. Pendahuluan

Industri minyak dan gas sebagai sektor usaha yang strategis dan

produktif dalam sektor formal di Indonesia telah memberikan pengaruh yang

sangat besar terhadap roda perekonomian. Keputusan pemerintah untuk

memanfaatkan energi gas bagi penggunaan domestik dan bahan bakar minyak

untuk ekspor telah mempengaruhi besarnya jumlah beban pemerintah atas

subsidi yang harus dipenuhi akibat meningkatnya harga minyak dunia. Hal ini

semakin diperburuk dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Bersamaan dengan

menurunnya jumlah produksi minyak (Gambar 26) dan besarnya jumlah

Page 102: 2009zra Tesis Doktoral IPB

81

pemanfaatan minyak untuk digunakan sebagai bahan bakar, membuat

pemanfaatan gas sebagai bentuk diversifikasi energi perlu dimanfaatkan lebih

banyak lagi untuk digunakan sebagai bahan bakar yang lebih murah dan ramah

lingkungan.

Gambar 26. Perkembangan produksi dan konsumsi minyak di indonesia tahun

2000 – 2006 (Sumber : Indonesia Energy Statistics, Pusdatin Kementerian ESDM, 2008)

Kebutuhan gas bumi di kawasan Asia, Eropa dan Atlantik diperkirakan

akan semakin besar, bahkan di Amerika Utara pertumbuhan konsumsi gas bumi

lebih cepat dari pasokan, sehingga makin meningkatkan import LNG. Hal yang

sama juga terjadi di Indonesia, sehingga walaupun Indonesia selalu berupaya

untuk terus meningkatkan ekspor gas bumi dalam bentuk LNG maupun melalui

pipa, namun di lain pihak konsumsi gas di dalam negeri juga mengalami

peningkatan. Kedua kebutuhan tersebut pada akhirnya akan makin

meningkatkan eksploitasi gas bumi.

Produksi gas Indonesia pada tahun 2004 sebesar 8.6 BSCFD (billon

standard cubic feet per day) dengan kontribusi produksi PERTAMINA sebesar

0.9 BSCFD dan 7.7 BSCFD oleh PSC (production sharing contract). Meskipun

jumlah ini mengesankan tetapi hanya 42% yang dikonsumsi di Indonesia

sedangkan selebihnya atau lebih dari 5 BSCFD di ekspor sebagai LPG, LNG,

condensate dan gas piped. Permintaan domestik pada tahun 2004 sebesar 2025

MMSCFD, sedangkan suplai hanya mampu memenuhi kebutuhan sebesar 1910

MMSCFD, di lain pihak kebutuhan Pulau Jawa saja sudah mencapai 1250

Page 103: 2009zra Tesis Doktoral IPB

82

MMSCFD, namun suplai gas ke Pulau Jawa masih terbatas pada 1000

MMSCFD. Berdasarkan peningkatan permintaan gas terutama di Pulau Jawa

dan Sumatra Selatan tersebut, maka PERTAMINA memproyeksikan bahwa pada

tahun 2010-2020 permintaan nasional akan mencapai 2.75-5 BSCFD. Adapun

perkembangan dan konsumsi gas di Indonesia seperti pada Gambar 27.

Gambar 27. Indonesian gas production and consumption in 2000-2006 (Sumber

: Indonesian energy statistics, Pusdatin Kementerian ESDM, 2008)

Krisis energi yang melanda Indonesia semenjak harga minyak dunia

bergerak naik melewati $ US 40 per barrel pada bulan April 2005, membuat

alternatif pemanfaatan gas sebagai bahan bakar menjadi kebutuhan yang sangat

Gambar 28. Kondisi Pemanfaatan Gas Berdasarkan Penggunaan (Sumber :

CCOP WorkShop,Beijing-China, Lemigas Juni, 2006)

Page 104: 2009zra Tesis Doktoral IPB

83

penting bagi industri-industri strategis, ataupun untuk kepentingan infrastruktur

negara. Efisiensi pemanfaatan gas yang digunakan sebagai bahan bakar sangat

membantu mengurangi beban operasional bagi industri-industri yang sedang

bangkit, terutama bagi pembangunan di Indonesia. Sebagai contoh estimasi

perbandingan penggunaan bahan bakar di perusahaan listrik negara (PLN) pada

tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 7.

Pemakaian gas bumi dalam bentuk LPG dan lean gas di Indonesia selain

digunakan untuk PLN, sebagian juga dimanfaatkan untuk industri pupuk, dengan

prosentase yang menyamai keperluan pembangkit listrik, yakni masing-masing

sekitar 35% dari total pemakaian dalam negeri. Sisanya sekitar 30% digunakan

untuk industri lain. Keperluan gas untuk sektor rumah tangga ternyata jauh lebih

kecil.

Tabel 7. Estimasi perbandingan penggunaan bahan bakar di Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada tahun 2005

Sumber : Kompas, 8 Juli 2005. Keterangan : HSD (high speed diesel = minyak Solar) MMSCF (million

standard cubic feet) MFO (marine fuel oil = minyak Bakar) GWh (giga watt x jam)

Produksi PERTAMINA untuk penjualan LPG di Indonesia sudah

mencapai 1.000.000 ton per tahun. Sedangkan kebutuhan LPG Kota Jakarta

saja sudah mencapai 1300-1700 ton per hari atau 474.000-620.500 ton per

tahun atau setengah dari kebutuhan nasional 800.000 ton per tahun. Permintaan

LPG meningkat 20% dari 83.000 ton pada tahun 2002 menjadi 100.000 ton pada

tahun 2003 dan diperkirakan akan terus meningkat 15% setiap tahunnya. Untuk

memenuhi kebutuhan tersebut pada saat ini pemerintah telah melakukan import.

Walaupun demikian kemampuan suplai Pertamina hanya 800.000 ton per tahun,

sedangkan permintaan sudah mencapai 1.200.000 ton per tahun.

BBM (MFO dan HSD) Gas Alam

Pemakaian 9.357.000 liter 185 MMSCF

Harga Rp.2.266/liter 2,56 Dollar AS/MMSCF

Produksi Listrik 34.692 Gwh (36%) 20.092 Gwh (21%)

Biaya Energi Rp.21.204 Miliar Rp.4.228 Milar

68% 14%

Rp.611/Kwh Rp.210/Kwh

Page 105: 2009zra Tesis Doktoral IPB

84

Seperti kita ketahui bersama, bahwa pada lapangan produksi minyak

PT.Pertamina EP khususnya di Jawa Barat, gas ikutannya tidak pernah

dimanfaatkan, namun gas ikutan tersebut dihilangkan dengan cara dibakar.

Dilakukannya pembakaran gas tersebut karena gas ikutan dianggap kurang

memiliki nilai ekonomis, selain itu juga gas tersebut tidak dapat dimanfaatkan

secara langsung karena kendala operasi. Dalam hal ini penyebabnya antara

lain karena di dalamnya mengandung CO2 dalam jumlah yang tinggi, tidak

tersedia flow line (jalur pipa), bersifat marginal dan remote area (terpencil).

Keterbatasan ini pada akhirnya menjadi sangat berpengaruh terhadap hilangnya

nilai manfaat ekonomi yang diterima oleh perusahaan, oleh karena itu maka gas

ikutan terpaksa harus dibakar.

Di sisi lain jika gas ikutan ini diolah lebih lanjut, akan mempunyai nilai

ekonomis dan sekaligus dapat meningkatkan ketersediaan energi gas yang saat

ini kebutuhannya semakin meningkat. Pemanfaatan gas ikutan juga diharapkan

akan meningkatkan volume gas yang terproduksi untuk dapat dimanfaatkan,

sehingga diharapkan dapat memenuhi permintaan pasar, baik nasional maupun

internasional. Sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang konversi minyak

tanah (Mitan) ke LPG (liquid petroleum gas) dengan target menghemat konsumsi

minyak tanah yang subsidinya sangat mahal, yakni mencapai Rp 25 Triliun (US $

3 Milyard) per tahun. Oleh karenanya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengestimasi

penghematannya mencapai Rp 30 Triliun. Sebuah nilai yang sangat fantastis bila

digunakan untuk meningkatkan pendidikan dan kesehatan. Hal ini disebabkan

dalam memproduksi minyak tanah sama mahalnya dengan memproduksi Avtur

(bahan bakar pesawat terbang), sehingga mengimport minyak tanah dan

dibagikan secara murah merupakan pemborosan yang sangat tinggi. Di lain

pihak dari konsumen sendiri bila beralih ke LPG akan terjadi penghematan

pengeluaran uang sebesar 32% setiap bulannya. Realisasi program pengalihan

minyak tanah ke LPG tahun 2007 hingga 2008 (4 November 2008) untuk wilayah

Jabodetabek, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI

Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali sudah mencapai 14.443.832 kepala keluarga,

usaha mikro 614.703 dengan volume LPG 449.748 MT (metrik ton). Hingga akhir

2008 diproyeksikan 20 juta KK (kepala keluarga) degan volume LPG 1.144.020

MT. Sedangkan 2009 proyeksi konversi untuk 18.044.211 KK dengan volume

LPG 1.600.000 MT (Migas, 2008). Selain hal tersebut di atas, konversi gas

Page 106: 2009zra Tesis Doktoral IPB

85

ikutan menjadi LPG juga akan mengurangi pencemaran lingkungan akibat dari

pembakaran tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang

peluang pemanfaatan gas ikutan tersebut dan kelayakan ekonomi serta

kelayakan secara lingkungan, sekaligus menjajaki kemungkinan sistem

pengolahan gas ikutan dan potensi pemanfaatannya, mengingat gas ikutan ini

sangat melimpah pada setiap lapangan minyak, seperti di PT. SDK.

5.2. Metode Analisis Kondisi dan Sistem Pengolahan Gas Ikutan dan Potensi Pemanfaatannya Untuk merancang kondisi sistem pengolahan gas ikutan dan potensi

pemanfaatannya penelitian ini menggunakan metode deksriptif. Analisis deskriptif

dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran awal tentang objek penelitian

secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antar fenomena yang menjadi objek penelitian. Sasaran analisis

deskriptif yaitu status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu

sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir,

1999). Selain untuk tujuan di atas hasil analisis ini juga akan memberikan

gambaran perkiraan kriteria dan indikator yang digunakan untuk menentukan

model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung

mekanisme pembangunan bersih.

Untuk mendukung metode analisis deskriptif ini, terlebih dahulu dilakukan

pengumpulan data-data sekunder yang berkaitan dengan topik yang dikaji.

Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan triangulasi yang merupakan

suatu pendekatan dengan memanfaatkan beberapa macam teknik pengumpulan

data yang antara lain kegiatan studi pustaka terhadap hasil-hasil kajian

terdahulu, yang dilanjutkan dengan pengamatan (observasi) langsung di wilayah

studi, dan wawancara dengan masyarakat setempat.

5.3. Hasil dan Pembahasan Studi Kondisi Sistem Pengolahan Gas Ikutan, dan Potensi Pemafaatannya

5.3.1. Kondisi Sistem Pengolahan Gas Ikutan a. Sejarah dan Profil Cadangan Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat

Sejarah migas di daerah operasi hulu (DOH) Jawa Bagian Barat (JBB)

diawali dengan eksplorasi minyak pertama oleh Jan Reering dan Van Hoevel di

Desa Cibodas, Kecamatan Maja, Majalengka, Jawa Barat sekitar tahun 1817.

Page 107: 2009zra Tesis Doktoral IPB

86

Disusul kemudian dengan pemboran ekplorasi di daerah Indramayu, Karawang

dan Majalengka yang dilakukan pada rentang waktu 1932 – 1941. Sejak tahun

1970, migas mulai kembali diekploitasi oleh PERTAMINA melalui pengeboran

sejumlah sumur. Setelah melalui pemboran ratusan sumur, daerah-daerah yang

berhasil memproduksi adalah Jatibarang, Cemara, Kandanghaur Barat dan

Timur, Tugu Barat, dan Lepas Pantai. Lalu pada tahun 1980 PERTAMINA

mendirikan Kilang Minyak Balongan yang berlaku juga sebagai terminal untuk

menyalurkan bahan bakar minyak (BBM). Kilang ini dibangun pada tahun 1990

dan mulai beroperasi pada tahun 1994.

Daerah operasi Explorasi Produksi (EP) yang kini bernama PT.

Pertamina EP Region Jawa Bagian Barat ini termasuk Daerah Operasi Hulu

besar yang dimiliki PT. PERTAMINA (Persero). Produksi tertinggi daerah ini

terjadi pada tahun 1973-1994 mampu mencapai 28.000 barrel oil per day

(BOPD). Pada tahun 2000, produksi mengalami penurunan hingga menyentuh

angka 7.000 – 7.500 BOPD. Pada tahun 2001 PT. Pertamina EP Region Jawa

Bagian Barat mampu meningkatkan produksi minyak sebesar 14.294 BOPD dan

gas 404.8 MMSCFD. Melalui pengelolaan PERTAMINA Unit Pengolahan (UP)

VI Balongan, produksi kilang BBM ini memiliki kapasitas 125.000 BPSD (barrel

per stream day) dengan keseluruhan produksi disalurkan untuk DKI Jakarta.

Sedangkan produksi gas atau LPG yang dikelola Kilang LPG Mundu VI dengan

kapasitas 37,3 MMSCFD (juta kaki kubik per hari) di Kecamatan Karangampel,

disalurkan untuk Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Berdasarkan data yang diperoleh, menunjukkan terjadinya peningkatan

produksi minyak dan kondensat serta gas sejak tahun 1992 sampai dengan

tahun 2001 dari cadangan yang tersedia di Lapangan Tugu Barat C (Dinas

Petambangan dan Energi Jawa Barat, 2002). Dari IOIP telah ditetapkan yaitu

sebesar 8.175,90 dan cadangan terambil sebesar 3.147,70 MSTB per tahun,

memperlihatkan peningkatan produksi dari 68,67 MSTB pada tahun 1992 naik

menjadi 149,80 MSTB pada tahun 2001 dengan produksi kumulatif sebesar

68,47 MSTB pada tahun 1991 menjadi 1.152,75 pada tahun 2001. Sementara

sisa cadangan dari 3.079,23 MSTB pada tahun 1992 mengalami penurunan

menjadi 1.362,85 MSTB pada tahun 2001. Sedangkan untuk gas, dari IGIP

sebesar 37,44 BSCF dan cadangan terambil sebesar 28,46 BSCF per tahun,

memperlihatkan peningkatan produksi pertahun yaitu dari 0,07 BSCF pada tahun

1992 mengalami peningkatan sampai pada tahun 1998 sebesar 1,48 BSCF dan

Page 108: 2009zra Tesis Doktoral IPB

87

selanjutnya menurun pada tahun 1999 dan 2000 yaitu menjadi 0,83 dan 0,41

BSCF. Adapun profil cadangan dan sejarah minyak dan kondensat di Lapangan

Produksi Tugu Barat secara rinci disajikan pada Tabel 8.

Produksi minyak dan gas di Lapangan Pasir Catang, memperlihatkan hal

yang sama dengan di Lapangan Tugu Barat C yaitu terjadi fluktuasi peningkatan

produksi dengan bertambahnya waktu ekploitasi. Tabel 8 memperlihatkan rata-

rata IOIP, cadangan terambil, produksi dan produksi kumulatif per tahun. Rata-

rata IOIP di Lapangan Pasir Catang sebesar 26.273,90 MSTB dan cadangan

terambil untuk minyak dan kondensatnya sebesar 10.115,40 MSTB. Sedangkan

produksi minyak dan kondensat mengalami penurunan secara tajam dari 48,98

MSTB pada tahun 1996 menjadi 3,42 MSTB pada tahun 1999, namun

selanjutnya mengalami peningkatan pada tahun 2000 menjadi 26,60 MSTB dan

menurun lagi pada tahun 2001 menjadi 18,00 MSTB. Fenomena ini

mencerminkan bahwa kegiatan produksi minyak dan kondensatnya di Lapangan

Pasir Catang sangat tergantung pada deposit yang tersedia di ladang minyak

tersebut. Namun jika dilihat dari produksi kumulatif, terlihat adanya peningkatan

produksi setiap tahun.

Pada tahun 1996, produksi kumulatif minyak dan kondensat sebesar

48,98 MSTB dan terus meningkat menjadi 160,90 MSTB pada tahun 2001.

Untuk produksi gas, dengan jumlah IGIP dan cadangan terambil rata-rata

sebesar 81,59 dan 61,79 BSCF, memperlihatkan produksi yang berfluktuasi.

Sebagai contoh pada tahun 1996 produksinya sebesar 0,54 BSCF namun nilai ini

terus mengalami kenaikan hingga tahun 1998 yang jumlahnya mencapai 1,27

BSCF, kemudian menurun lagi pada tahun 1999 menjadi 0,64 BSCF dan

selanjutnya mengalami peningkatan lagi pada tahun 2000 menjadi 1,17 BSCF.

Sementara produksi kumulatifnya mengalami peningkatan dan sisa cadangan

mengalami penurunan. Pada tahun 1996, produksi kumulatif gas di lapangan

Pasir Catang 0,54 BSCF dan meningkat menjadi 5,31 BSCF pada tahun 2000,

sementara sisa cadangan menurun dari 61,25 BSCF menjadi 56,66 BSCF tahun

2000. Adapun profil cadangan dan sejarah gas di Lapangan Produksi Pasir

Catang secara rinci di sajikan pada Tabel 9.

Page 109: 2009zra Tesis Doktoral IPB

88

Tabel 8. Sejarah produksi dan profil cadangan minyak dan gas di Lapangan Tugu Barat

Minyak + Kondensat Gas Cadangan Produksi Produksi Sisa IGIP Cadangan Produksi Produksi Sisa Tahun IOIP Terambil Pertahun Kumulatif Cadangan Terambil Pertahun Kumulatif Cadangan MSTB MSTB MSTB MSTB BSCF BSCF BSCF BSCF BSCF LAPANGAN TUGU BARAT C

1992 8,175.90

3,147.70 68.47

68.47

3,079.23

37.44 28.46 0.07 0.07 28.39

1993 8,175.90

3,147.70 127.24

195.71

2,951.99

37.44 28.46 0.10 0.17 28.29

1994 8,175.90

3,147.70 106.69

302.40

2,845.30

37.44 28.46 0.12 0.29 28.17

1995 8,175.90

3,147.70 148.88

451.28

2,696.42

37.44 28.46 0.20 0.49 27.97

1996 8,175.90

3,147.70 187.62

638.90

2,508.80

37.44 28.46 1.20 1.69 26.77

1997 8,175.90

3,147.70 91.00

729.90

2,417.80

37.44 28.46 2.09 3.78 24.68

1998 8,175.90

3,147.70 49.00

778.90

2,368.80

37.44 28.46 1.48 5.26 23.20

1999 8,175.90

3,147.70 98.65

877.55

2,270.15

37.44 28.46 0.83 6.09 22.37

2000 8,175.90

3,147.70 125.40

1,002.95

2,144.75

37.44 28.46 0.41 6.50 21.96

2001 8,175.90

2,515.60 149.80

1,152.75

1,362.85

Sumber : Distamben dan LPPM ITB, 2003.

Page 110: 2009zra Tesis Doktoral IPB

89

Tabel 9. Sejarah produksi dan profil cadangan minyak dan gas di Lapangan Pasir Catang

Minyak + Kondensat Gas

Cadangan Produksi Produksi Sisa IGIP Cadangan Produksi Produksi Sisa

Tahun IOIP Terambil Pertahun Kumulatif Cadangan Terambil Pertahun Kumulatif Cadangan

MSTB MSTB MSTB MSTB BSCF BSCF BSCF BSCF BSCF

LAPANGAN PASIR CATANG

1996

26,273.90

10,115.40 48.98

48.98

10,066.42

81.59 61.79 0.54 0.54 61.25

1997

26,273.90

10,115.40 44.00

92.98

10,022.42

81.59 61.79 1.51 2.05 59.74

1998

26,273.90

10,115.40 19.90

112.88

10,002.52

81.59 61.79 1.27 3.32 58.47

1999

26,273.90

10,115.40 3.42

116.30

9,999.10

81.59 61.79 0.64 3.96 57.83

2000

26,273.90

10,115.40 26.60

142.90

9,972.50

81.59 61.79 1.17 5.13 56.66

2001

4,365.50

1,456.40 18.00

160.90

1,295.50

Sumber : Distamben dan LPPM ITB, 2003.

Page 111: 2009zra Tesis Doktoral IPB

90

b. Kondisi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Industri migas di Lapangan Tugu Barat Kabupaten Indramayu dikelola

oleh PT. PERTAMINA E&P Region Jawa. Industri ini termasuk dalam wilayah

Desa Amis, Kecamatan Cikedung, Jawa Barat. Industri dibangun pada tahun

1979 di atas tanah seluas 920,328 ha dengan tipe lapangan termasuk lahan

darat. Cadangan minyak dan kondensatnya sekitar 43.423 milyar barrel dan

cadangan yang sudah dieksploitansi mencapai 12.485,50 milyar barrel. Selain

minyak dan kondensatnya, di Lapangan Tugu Barat juga dihasilkan gas ikutan

yang selama ini langsung dibuang ke lingkungan atau langsung dibakar karena

dianggap tidak bernilai ekonomis.

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa cadangan gas ikutan di

lapangan Tugu Barat mencapai 35,7 BSCF (proven) ditambah 23,1 BSCF

(probable). Cadangan gas ikutan tersebut selama ini belum dimanfaatkan untuk

kepentingan komersial. Dalam hal ini gas ikutan langsung dihilangkan dengan

cara dibakar. Kondisi ini sudah barang tentu akan sangat mengkhawatirkan

mengingat gas ikutan yang dibakar dapat menimbulkan pencemaran lingkungan,

padahal gas ikutan masih dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan yakni

dapat diolah menjadi LPG, kondensat, lean gas atau sekedar dimanfaatkan

karbon dioksidanya (CO2) guna berbagai keperluan seperti untuk keperluan

industri minuman ringan.

Gas ikutan yang tidak dimanfaatkan, namun dihilangkan dengan cara

dibakar juga akan menjadi masalah tersendiri. Dalam hal ini gas ikutan yang

terbuang ke lingkungan akan mencemari lingkungan karena di dalam gas ikutan

yang diperoleh dari industri migas manapun di dalamnya terkandung gas rumah

kaca seperti CO2, gas metan, nitogen oksida, dsb. Kondisi ini akan sangat

merugikan karena adanya CO2, gas nitrogen merupakan bahan pencemar

udara yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara dan terjadinya

hujan asam. Selain itu CO2, nitrogen dan metan juga merupakan gas rumah

kaca yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global. Kondisi

yang sama juga akan terjadi manakala gas ikutan tersebut dihilangkan dengan

cara dibakar, karena pada pembakaran akan dihasilkan gas rumah kaca yang

didominasi oleh karbon dioksida. Hal ini sesuai dengan pendapat Murdiyarso

(2003) yang mengatakan bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon

dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O) dan uap air (H2O) dapat

mengakibatkan terjadinya perubahan fisik atmosfer bumi (suhu, kelembaban,

Page 112: 2009zra Tesis Doktoral IPB

91

angin, distribusi curah hujan) dimana dalam jangka waktu yang relatif panjang

(50-100 tahun) dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim.

Berdasarkan hasil analisis terhadap gas ikutan yang terdapat di lokasi

penelitian memperlihatkan bahwa pada gas ikutan yang dihasilkan di Lapangan

Tugu Barat terdapat CO2 yang jumlahnya mencapai 40%. Kondisi ini

memperlihatkan bahwa pada gas ikutan terdapat gas rumah kaca dalam jumlah

yang cukup tinggi, sehingga jika gas ikutan ini langsung dibuang ke lingkungan

akan semakin meningkatkan GRK karena konsentrasi gas CO2, nitrogen dan

metan yang semakin meningkat di atmosfir akan semakin memperburuk kondisi

lingkungan. Hal ini disebabkan CO2 dan gas-gas rumah kaca (GRK) lainnya

akan mengakibatkan sebagian radiasi infra merah ditahan di lapisan atmofer.

Pada kondisi alami proses tersebut akan sangat baik karena GRK akan

menjaga suhu bumi tetap hangat (efek tumah kaca atau green house effect),

sehingga menjadi nyaman bagi kehidupan di bumi. Namun untuk saat ini

dengan alam semakin terdegradasi akibat dari banyaknya kehilangan hutan

sebagai akibat penebangan yang tidak bertanggung jawab serta tingginya

konversi lahan menjadi bangunan, akan mengakibatkan bumi semakin panas.

Hal ini sesuai dengan pendapat Folay (1993) yang mengatakan bahwa

akumulasi GRK di atmosfer akan mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu

atmofer bumi, dan selanjutnya dapat dikatakan bahwa peningkatan suhu global

mencapai 0.5 oC.

Walaupun hingga saat ini belum ditemukan literatur yang menyebutkan

secara spesifik tentang sumbangan GRK atau besarnya peningkatan GRK akibat

pembuangan ataupun pembakaran gas ikutan yang dihasilkan dari industri

migas, namun perhitungannya dapat dilakukan dengan menggunakan formula

dari Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories (IPCC, 2006) seperti

berikut. Dengan mengetahui produksi minyak 500 barrel perhari dan produksi

gas ikutan 11 mmscf perhari yang ada di Lapangan Tugu Barat, maka pada

produksi minyak di Lapangan Tugu Barat yang koefisien emisi dari pemakaian

energi dalam ton/TJ 71,77 dan koefisien gas 56,1 (IPCC, 2006), maka CO2

yang akan dihasilkan dari produksi minyak dan dari gas ikutan adalah sebagai

berikut.

1. Minyak = 500 barrel perhari berapa TJ (terra Joule) ?

Konstanta = 0.00573534246575343Jadi 500 x 0.00573534246575343 =

2.867671232876715 x koefisien emisi (71,77) = 205,97 ton perhari.

Page 113: 2009zra Tesis Doktoral IPB

92

2. Gas ikutan = 11 mmscf/d (perhari) berapa TJ (terra joule) ?

Konstanta = 1.03006750720118

Jadi 11 x 1.03006750720118 = 11.33074257921298 x koefisien emisi

(56,1) = 635,613 ton perhari

3. Total CO2 di Lapangan Tugu Barat 205,97 + 635,613 = 841,583 ton/hari

(40%)

Sedangkan kandungan gas metane (CH4) per hari dan nitogen yang akan

dikeluarkan dari gas ikutan yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat adalah

sebagai berikut.

• Jumlah CH4 pada gas ikutan = (50 %) x 2103,9575 = 1051,97 ton perhari

• Jumlah N2 pada gas ikutan = (1,94 %) x 2103,9575 = 40,8167 ton perhari

Berdasarkan hitungan tersebut terlihat bahwa Lapangan Tugu Barat akan

menyumbang CO2 841,583 ton/hari dan 635,613 ton diantaranya berasal dari

gas ikutan, maka jika gas ikutan dari Lapangan Tugu Barat dibuang langsung

atau dibakar, setiap harinya akan menyumbangkan CO2 635,613 ton/hari.

Sebuah angka yang fantastik untuk mempercepat terjadinya hujan asam (acid

rain) dan pemanasan global (global warming).

Hal yang sama juga terjadi pada gas metane (CH4), dalam hal ini jika

gas ikutan langsung dibuang ke lingkungan akan dihasilkan 1051,97 ton

perhari. Kondisi ini akan sangat mengkhawatirkan, karena menurut Killeen

(1996) GRK tidak hanya berhenti pada terjadinya pemanasan global semata,

namun juga akan dapat merubah siklus air global, sehingga menyebabkan

perubahan pola presipitasi global yang tidak merata. Dalam hal ini pada

daerah-daerah tertentu akan mendapat intensitas hujan yang meningkat,

sedangkan di daerah lainnya intensitas hujan akan menurun. Kondisi ini

selanjutnya akan merubah pola sumber daya air, mempengaruhi ekosistem,

bahkan menurut Parmesan (2000) dan Pounds (2000) akan dapat menurunkan

keanekaragaman hayati.

Kandungan nitrogen yang terdapat pada gas ikutan dan akan dilepaskan

ke atmosfir adalah 40,8167 ton perhari. Kondisi ini sangat membahayakan

karena menurut Koestoer (1990) pencemar SOx dan NOx dapat menyebabkan

terganggunya pertumbuhan tanaman dalam bentuk partikel (deposisi kering).

Selanjutnya dikatakan bahwa nitrogen yang terdapat di udara juga dapat terjadi

dalam bentuk hujan asam (deposisi basah). Terjadinya hujan asam dapat

Page 114: 2009zra Tesis Doktoral IPB

93

membahayakan terhadap berbagai hal, seperti terhadap tanaman yang terjadi

melalui tanah, terutama hujan asam yang berlangsung dalam waktu yang lama,

sehingga kapasitas penyangga tanah tidak dapat menahan turunnya pH tanah.

Selain itu adanya hujan asam akan mengakibatkan tercucinya kation-kation di

dalam tanah yang sebenarnya sangat berguna untuk pertumbuhan, sehingga

tanah akan kekurangan hara yang diperlukan oleh tanaman (Kennedy, 1992).

Selain itu adanya hujan asam juga akan mengakibatkan cepat rusaknya berbagai

bangunan (Saeni, 1989)

Mengingat gas ikutan yang tidak dimanfaatkan akan menimbulkan

masalah pada lingkungan yang mengakibatkan pemanasan global, pencemaran

lingkungan dan dapat mengakibatkan terjadinya hujan asam, maka perusahaan

migas seperti PT SDK harus berupaya untuk melakukan proses produksi bersih

(nirlimbah) dengan cara meminimalkan atau bahkan memanfaatkan gas ikutan

tersebut untuk bahan baku produksi dan menjadikan hasil produk yang bersifat

lebih komersial. Strategi minimisasi limbah melalui produksi bersih ini, pada

dasarnya mempunyai arti yang sangat luas karena di dalamnya termasuk upaya

pencegahan pencemaran melalui pemilihan bahan baku yang murah dan aman,

jenis proses yang ramah lingkungan, analisis daur hidup serta teknologi akrab

lingkungan (Surna, 2001). Dalam keadaan ini, strategi yang dilakukan oleh PT

SDK adalah minimalisasi limbah melalui pemanfaatan gas ikutan menjadi

barang yang bernilai ekonomis. Adanya pemanfaatan gas ikutan untuk dijadikan

barang yang bernilai ekonomis ini sudah barang tentu akan sangat

menguntungkan, baik ditinjau dari sisi ekonomi maupun ditinjau dari aspek

lingkungan. Dalam hal ini perusahaan akan mendapatkan keuntungan

tambahan, di lain pihak juga akan meminimalkan terjadinya perubahan iklim

global (global climate change) akibat kegiatan pembuangan gas ikutan (venting

of associated gas) di perusahaan migas. Selain itu adanya pemanfaatan gas

ikutan juga akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya dan dapat

meminimalisasi kerusakan lingkungan (KLH, 2003). Hal ini sesuai dengan

pernyataan Allenby (1999) yang mengatakan bahwa industri yang tidak

memperhatikan aspek lingkungan pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya

kerusakan lingkungan.

Dalam melakukan komersialisasi terhadap suatu bahan, sudah barang

tentu tidak hanya sekedar melihat ada atau tidaknya barang yang akan

dikomersialkan tersebut. Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah potensi

Page 115: 2009zra Tesis Doktoral IPB

94

REFRIGERATION& GLYCOL SYSTEM

LEAN GAS

LPG

KONDENSAT

KOMPRESSOR 1 unit @ 1200 hp

LPG PLANT

CO2 KILANG MINI LPG TUGU BARAT

AMINE UNIT

70% Sales

NEW INVESTMENTSWEET GAS 5 MMSCFD

Gas From Tugu Barat Complex (NEW)

6.5 MMSCFD

KOMPRESSOR 2 unit @ 1400 hp

4.5 MMSCFD

30% Own use

AMINE UNIT

dari gas ikutan yang dikenal dengan istilah cadangan (reserve) gas ikutan pada

industri migas. Berdasarkan data sekunder didapatkan informasi bahwa

cadangan gas ikutan di lapangan Tugu Barat mencapai 35,7 BSCF (proven)

ditambah 23,1 BSCF (probable). Melihat jumlah tersebut, maka gas ikutan di

Lapangan Tugu Barat sangat berpotensi untuk dikomersialkan.

Berdasarkan hasil wawancara di lokasi penelitian juga diperoleh hasil

bahwa kapasitas gas ikutan yang nantinya dapat menjadi gas pasokan di Stasiun

Pengumpul Tugu Barat jumlahnya mencapai 4.5 MMSCFD dan dapat

ditingkatkan menjadi 11 MMSCFD. Menurut beberapa literatur gas ikutan ini

dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Mengingat konsentrasi CO2 pada

gas ikutan di Lapangan Tugu Barat jumlahnya mencapai 40%, maka CO2 yang

terdapat pada gas ikutan dapat dipisahkan untuk selanjutnya dimanfaatkan untuk

berbagai keperluan, diantaranya untuk minuman ringan. Selain itu gas ikutan

juga dapat dimanfaatkan untuk diproses kembali menjadi produk sampingan

(tambahan) industri migas seperti LPG, kondensat dan lean gas. Adapun

ilustrasi rencana pemanfaatan gas ikutan untuk saat ini dan di masa yang akan

datang diilustrasikan pada Gambar 26.

Gambar 29. Rencana pemanfaatan gas ikutan untuk saat ini dan di masa yang

akan datang

Page 116: 2009zra Tesis Doktoral IPB

95

Rencana pemanfaatan gas ikutan pada saat ini bisa dimulai dengan

memanfaatkan gas ikutan yang berasal dari Lapangan Tugu Barat, yang

mempunyai pasokan sebanyak 4,5 MMSCFD. Namun demikian pada masa

yang akan datang pasokannya dapat ditingkatkan lagi, karena pasokan gas

ikutannya dapat diperbanyak bukan hanya dari Lapangan Tugu Barat, namun

bisa ditambah dengan pasokan gas ikutan yang berasal dari sumur Pasir Catang

dan beberapa sumur lain yang ada di Tugu Barat Kompleks. Adanya tambahan

pasokan ini diperkirakan dapat meningkatkan total pasokan gas ikutan ke fasilitas

ini menjadi kurang lebih sebesar 6.5 MMSCFD. Dengan demikian maka adanya

upaya pemanfaatan gas ikutan seperti yang direncanakan tersebut di atas, akan

dapat menambah pasokan gas ikutan ke Kilang LPG Tugu Barat, sehingga akan

dapat meningkatkan hasil produksinya, dan meningkatkan nilai ekonomisnya.

Karakteristik gas ikutan yang dihasilkan dari setiap lokasi bersifat spesifik (site

specific). Dalam hal ini gas ikutan yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat

Kompleks mengandung gas CO2 dengan jumlah yang mencapai 40%. Kondisi

ini sudah barang tentu akan sangat merugikan karena akan menurunkan tekanan

gas ikutan. Atau dengan kata lain adanya CO2 akan mengganggu. Untuk itu

maka gas CO2 yang terdapat pada gas ikutan harus dipisahkan dari gas lainnya.

Untuk itu, dalam rangka pengembangan pengolahan gas ikutan pada masa yang

akan datang. CO2 yang kandungannya mencapai 40% akan dipisahkan.

Mengingat CO2 merupakan gas rumah kaca yang banyak ditakuti berbagai

kalangan karena dapat meningkatkan pemanasan global (IPCC, 2005) maka gas

CO2 yang sudah dipisahkan tidak mungkin langsung dibuang ke lingkungan,

karena CO2 tersebut dapat semakin mempercepat terjadinya kenaikan panas

bumi (Syahrial dan Bioletty, 2007). Hal ini sesuai dengan pendapat Panjiwibowo

et al. (2003) yang mengatakan bahwa gas-gas yang mampu menghasilkan efek

rumah kaca diantaranya adalah karbondioksida (CO2), nitroksida (N2O),

methana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perflurokarbon (PFC) dan

hidrofluorokarbon (HFC). Untuk itu maka gas CO2 yang sudah ditangkap ini

harus disimpan atau dimanfaatkan untuk keperluan lain, dan akan jauh lebih baik

bisa dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, sehingga bisa mendatangkan

nilai ekonomi. Selanjutnya rencana masa yang akan datang ini disebut sebagai

Amine Unite.

Page 117: 2009zra Tesis Doktoral IPB

96

c.1. Block Diagram Proses pada Amine Unit

Pada penelitian ini dibuat rancangan Amine Unite, dalam rangka

mengantisipasi gas ikutan yang jumlahnya akan semakin meningkat sejalan

dengan meningkatnya eksploitasi dan kebutuhan masyarakat nasional dan lokal

terhadap gas. Berdasarkan perkiraan potensi yang ada dan kebutuhan di masa

yang akan datang, diperkirakan gas ikutan yang berasal dari stasiun pengumpul

Tugu Barat Complex sebesar 6.5 MMSCFD dengan tekanan 5 psig, hendaknya

dapat dikirim melalui pipa berdiameter 4” ke stasiun pengumpul Tugu Barat.

Namun untuk keperluan ini, dalam rangka menghindari rendahnya tekanan akibat

adanya karbondioksida sebelum masuk ke sistem Amine Unit, tekanannya

sebaiknya dinaikkan dulu menjadi 450 psig, setelah tekanannya naik, baru

masuk ke sistem Amine Unit Tugu Barat.

Mengingat CO2 merupakan GRK (IPCC, 2005), maka gas CO2

diupayakan untuk dimanfaatkan (dikomersialkan). Untuk itu pada sistem ini, CO2

yang telah dipisahkan hendaknya dapat dialirkan ke CO2 Plant perusahaan yang

nantinya bertindak sebagai pembeli. Setelah gas CO2 nya dipisahkan,

selanjutnya gas sisanya dialirkan ke LPG Plant Tugu Barat, untuk kemudian

diproses menjadi lean gas, LPG dan Kondensat. Berdasarkan literatur yang ada

maka perencanaan proses yang dapat dilakukan di block diagram diilustrasikan

pada Gambar 30 di bawah ini.

Gambar 30. Proses block diagram pada amine unit di Lapangan Tugu Barat

CO2 To CO2 Plant

Feed Gas from ; Tugu Barat Complex

AMINE PLANT LPG PLANT KOMPRESOR

PRODUCT :

-LPG -LEAN GAS -KONDENSAT

Sweet

EXISTING FACILITY

AMINE PLANT (EXISTING)

Page 118: 2009zra Tesis Doktoral IPB

97

c.2. Deskripsi Proses Amine Unit System

Berdasarkan hasil analisis dan pengamatan didapatkan hasil bahwa gas

ikutan (flare gas) yang ada di Lapangan Tugu Barat komplek berasal dari

beberapa stasiun pengumpul di Tugu Barat dan Pasir Catang dengan kandungan

CO2 sekitar 40 %. Menginat tingginya kandungan karbondioksida pada gas ikutan

yang berasal dari Lapangan Tugu Barat, maka jika gas ikutan tersebut akan

dimanfaatkan, CO2 harus dipisahkan terlebih dahulu. Hal ini disebabkan gas

ikutan yang di dalamnya mengandung CO2 dalam jumlah yang cukup tinggi akan

memiliki tekanan yang rendah, begitupun dengan kalori yang dikandungnya.

Dalam hal ini gas ikutan dari Lapangan Tugu Barat yang mengadung 40% CO2

hanya akan memiliki kalori 750 Btu per satu kaki kubik (BTU/SCF). Kondisi

tersebut akan menyebabkan gas ikutan tidak dapat dijual atau dimanfaatkan

secara langsung.

Seperti telah dijelaskan di depan bahwa pada masa yang akan datang

jumlah gas ikutan akan meningkat sesuai dengan semakin meningkatnya

kebutuhan dalam dan luar negeri yang berimbas pada semakin meningkatnya

eksploitasi. Mengingat gas ikutan yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat

mengandung karbon dioksida hingga 40%, maka material tersebut harus

dipisahkan. Dalam melakukan pemisahan karbon dioksida ini ada dua proses

yang dapat dilakukan yakni melalui kompresi gas inlet dan melalui sistem amine.

Adapun kedua cara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut

1). Kompresi Gas Inlet

Pada kompresor gas inlet dapat didisain sedemikian rupa misalnya dibuat

menjadi 3 stage (tahap) dan didesign sedemikian rupa sehingga dapat

meningkatkan tekanan gas dari 5 psig menjadi 450 psig secara bertahap.

Adapun cara-cara yang dapat dilakukan di sini adalah:

• Gas umpan masuk ke suction scrubber stage 1, pada tahap ini cairan

dipisahkan dan dikirim ke slop tank. Dari scrubber ini gas dialirkan ke silinder

kompresor stage 1 sehingga tekanan gas akan di tingkatkan dari 5 psig akan

menjadi 45 psig, dan selanjutnya dialirkan ke suction scrubber stage 2. Di

dalam scrubber gas dan liquid yang terbentuk dipisahkan sebelum gas

mengalir kesilinder kompresor stage 2.

• Di kompresor stage 2 gas dinaikan kembali tekanannya dari bahanya 45 psig

seperti di sebut di atas ke 150 psig. Selanjutnya gas dialirkan ke interstage

Page 119: 2009zra Tesis Doktoral IPB

98

cooler 2, pada interstage ini gas harus didinginkan menjadi 100 – 120ºF dan

selanjutnya dialirkan ke suction scrubber stage 3. Di dalam scrubber akan

terpisah gas dan cairan. Selanjutnya gas dan cairan ini dipisahkan terlebih

dahulu, untuk kemudian dialirkan ke silinder kompresor stage 3, pada stage

ini gas akan meningkat tekanannya menjadi 450 psig.

• Selanjutnya gas tersebut harus didinginkan kembali. Pendinginan gas ini

dapat dilakukan di after cooler sehingga sebelum masuk ke inlet separator di

amine plant, temperaturnya turun menjadi 1000-120ºF. Gas yang berasal dari

deethanizer reflux accumulator selanjutnya dinaikan kembali tekanannya

hingga menjadi 450 psig dengan cara gas tersebut dimasukkan ke inlet dari

suction scrubber stage 3.

Untuk lebih jelasnya rancangan process flow diagram – MDEA sweetening unit

yang dapat dijadikan acuan untuk hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 31

sedangkan untuk rancangan Piping & instrumentation diagram (P&ID) amine unit

Page 120: 2009zra Tesis Doktoral IPB

99

Gambar 31. Rancangan PFD - process flow diagram – MDEA sweetening unit 99

Page 121: 2009zra Tesis Doktoral IPB

100

Gambar 32. Rancangan piping & instrumentation diagram (P&ID) amine unit

100

Page 122: 2009zra Tesis Doktoral IPB

101

Gambar 33. Tahapan gas kompresi inlet

dapat diilustrasikan pada Gambar 32. Adapun rencana tahapan proses

pemisahaan gas CO2 dilakukan melalui proses kompresi inlet, dengan rencana

tahapan penulis gambarkan secara skematis pada Gambar 33.

2). Sistem Amine Pada sistem amine, rancangan yang dapat dikemukakan di sini adalah

sebagai berikut. Gas dari kompresor gas inlet terlebih dahulu dimasukan ke skid

amine dan dialirkan ke bagian bawah dari amine absorber (T-110). Bagian

bawah dari amine absorber ini akan didisain sedemikian rupa sehingga dapat

digunakan untuk memisahkan cairan hidrokarbon atau air dari aliran gas. Untuk

mendapatkan level cairan yang tepat, maka level cairan di bagian bawah amine

absorber akan dikontrol oleh LC-111, dan pengontrolan ini akan mendapat signal

dari LT-111 yang diletakkan di bagian bawah absorber. Pada rancangan ini hal

yang penting dan perlu untuk diperhatikan adalah mencegah agar cairan tidak

mengalir ke bagian atas amine absorber, karena kondisi ini dikhawatirkan dapat

menyebabkan terjadinya foaming. Foaming ini dapat terjadi karena adanya

cairan asing yang tercampur dengan larutan MDEA seperti lube oil, corrosion

inhibitor, hidrokarbon berat dan bahan-bahan kimia yang digunakan disumur-

sumur gas.

Gas yang telah bebas dari cairan selanjutnya dialirkan dari bagian bawah

absorber ke bagian atas melalui pipa yang menghubungi bagian bawah dan atas

1st stage

2nd stage

3rd stage

Suction

Discharge

Page 123: 2009zra Tesis Doktoral IPB

102

absorber. Bagian atas dari absorber ini hendaknya terdiri dari 20 tray nutter dan

spacing 24”. Gas selanjutnya dialirkan ke atas melalui tray sedang larutan

MDEA mengalir ke bawah. Larutan MDEA ini selanjutnya akan mengabsopsi

gas karbondioksida (CO2). Selanjutnya larutan rich amine (larutan yang

mengandung CO2) akan keluar dari bagian bawah absorber melalui LCV-110.

Level transmitter LT-110 selanjutnya akan memberikan signal ke level control.

Vessel ini akan didisain mempunyai waktu tinggal 5 menit bagi amine sehingga

akan terjadi pemisahan gas dari larutan amine.

Gas yang mengalir dari bagian atas absorber, selanjutnya akan

bergabung dengan cairan yang dikeluarkan dari bagian bawah absorber dan

selanjutnya akan dialirkan ke inlet separator. Larutan rich amine selanjutnya

akan dialirkan ke lean rich exchanger E-170, dan larutan rich ini dipanaskan

sampai 200ºF oleh larutan lean amine dari stripper atau dari pemanas kolom.

Larutan rich amine selanjutnya akan dimasukkan ke bagian atas dari stripper (T-

210) dan dialirkan kembali ke bawah melalui 17 buah tray nutter yang

mempunyai spacing 24”. Larutan rich amine ini selanjutnya akan dipanaskan oleh

uap air yang dihasilkan oleh amine reboiler.

Larutan amine dari bagian bawah stripper selanjutnya akan dipompakan

ke skid amine heater tempat larutan amine dipanaskan menjadi 235ºF dan

dialirkan kembali ke bagian bawah stripper. Untuk keperluan tersebut akan

digunakan pompa P-190 dan P-200 (hot amine pump) dalam mensirkulasikan

larutan amine menuju dan kembali ke amine heater. Laju alir yang melalui heater

akan didisain untuk selalu mengalir sebanyak 300 gallon per menit dengan

harapan agar dapat menjaga turbulensi di tube dan mengurangi korosi yang

disebabkan oleh gas CO2 yang terlepas di heater. Sebagian dari dischange

pompa booster ini, yakni sebanyak 300 gpm, akan dialirkan ke shell side dari

lean/rich exchanger. Untuk keperluan tersebut, maka digunakan sebuah flow

transmitter FT-190 yang terletak dischange dari pompa booster yang menuju ke

amine heater. Flow trasmitter dan 2 control valve LCV-211 dan LCV-210 akan

digunakan untuk tujuan menjaga flow yang melalui heater. LCV-210 akan

diletakkan di pipa yang menuju heater, sedang LCV-211 diletakkan di pipa yang

menuju ke lean/rich exchanger. Untuk itu aliran yang menuju ke heater harus

selalu dijaga agar senantiasa tetap setiap saat. Pada rancangan ini dibuat agar

pada saat signal tidak ada flow dari transmitter, maka controller fisher ROC akan

Page 124: 2009zra Tesis Doktoral IPB

103

mematikan fuel gas yang menuju heater, sehingga dapat melindungi heater dari

over heating dan terbakarnya larutan amine.

Pada rancangan ini larutan rich amine yang masuk dari bagian atas

stripper, diupayakan agar turun ke bawah melalui trays, dan selanjutnya

diupayakan menjadi panas, sehingga gas CO2 akan dilepaskan dari larutan. Gas

CO2 ini selanjutnya dialirkan ke bagian atas, dan akan keluar dari bagian atas

stripper. Gas selanjutnya akan dialirkan ke stripper overhead condenser (AE-

23), dan pada bagian ini dirancang sedemikian rupa sehingga aliran ini sekaligus

dapat mendinginkan gas menjadi 1000 - 110ºF dan selanjutnya akan terjadi

kondensasi uap air. Pada rancangan ini selanjutnya campuran dari CO2 dan air

dipompakan oleh P-250 atau P-240, sehingga dapat bergabung dengan larutan

rich amine yang menuju stripper. Level dari stripper reflux condenser dirancang

agar selalu dapat dikontrol oleh LC-220, dengan terlebih dahulu memperoleh

signal dari LT-220 yang sengaja diletakkan di stripper reflux accumulator.

Selanjutnya akan dirancang menjaga flow yang melalui pompa P-240/P-250,

untuk keperluan itu, maka sebuah bypass line dari discharge pompa dialirkan

kembali ke suction pompa, tempat line tersebut terpasang sebuah orifice.

Selanjutnya gas CO2 yang mengalir dari stripper reflux accumulator ini akan

selalu dijaga tekanannya pada kisaran 8 - 12 psig dengan menggunakan PCV-

220.

5.3.2. Potensi Pemanfaatan Gas Ikutan (Flare Gas) di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat

Berdasarkan hasil pengamatan selama di lapangan, pemanfaatan gas

ikutan dan potensi yang dimiliki oleh Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat

adalah sebagai berikut.

a. Pemanfaatan Produksi Minyak dan Gas Lapangan Tugu Barat Komplek menghasilkan produk berupa minyak dan

gas bumi, dengan perincian sebagai berikut:

Minyak.

Minyak yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat Komplek dimanfaatkan

untuk keperluan Kilang (proses extraksi) Balongan dan untuk memenuhi

kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri, dengan cara dikirim ke

Stasiun Pengumpul Utama (SPU) Tugu Barat melalui pipa trunk line (pipa

Page 125: 2009zra Tesis Doktoral IPB

104

utama) bersama-sama minyak mentah hasil dari Lapangan Mundu, Blok

Jatibarang.

Gas alam (non associated),

Gas alam yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat Komplek digunakan

untuk berbagai keperluan, yakni:

1. Untuk keperluan semburan buatan (gas lift) pada Lapangan Bongas Blok

Jatibarang.

2. Untuk memasok Kilang Mundu untuk selanjutnya diproses (stripping)

menjadi gas LPG.

3. Untuk memasok keperluan gas konsumen industri yakni memasok

PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon dan Pabrik Kapur Palimanan, Cirebon.

Gas alam (associated), dimanfaatkan melalui PT.SDK untuk bahan baku

(feed stock) pada proses mini LPG plant.

b. Potensi Produksi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat

Hingga saat ini gas ikutan merupakan gas yang keluar ke lingkungan dari

reservoar gas bumi pada saat dilakukan produksi gas, dan untuk

menghilangkannya biasanya dilakukan dengan cara membakar gas ikutan

tersebut, seperti yang terlihat pada Gambar 31. Pada dasarnya pemanfaatan

gas ikutan (flare gas) seperti yang dirancang di atas ini, akan sangat

menguntungkan ditinjau dari berbagai aspek, karena dengan dimanfaatkannya

gas ikutan ini akan dapat menambah pasokan gas alam (lean gas) dan

menambah pasokan LPG dalam negeri, khususnya di Jawa Barat yang saat ini

permintaan (demand) untuk berbagai keperluannya semakin meningkat.

Gambar 34. Gas ikutan (flaring) yang akan di manfaatkan oleh PT.SDK

Gas Ikutan (Flaring Gas ) yang akan di manfaatkan

Page 126: 2009zra Tesis Doktoral IPB

105

Berdasarkan hasil perhitungan potensi gas ikutan (flare gas) yang ada di

Lapangan Tugu Barat dan sekitarnya diperkirakan berjumlah 10 juta sampai 11

juta kaki kubik per hari (MMSCFD), dan hingga saat ini masih belum

termanfaatkan. Pada saat dilakukan penelitian ini terindikasi bahwa potensi gas

ikutan yang belum termanfaatkan tersebut mempunyai potensi yang sangat

besar untuk dimanfaatkan karena Lapangan Tugu Barat dan sekitarnya mampu

menyediakan gas ikutan yang nantinya dapat dijadikan sebagai bahan baku

(feed stock) dalam jumlah 10 sampai dengan 11 MMSCFD untuk jangka waktu

10 tahun (2009 s/d 2019). Hal ini di dukung oleh hasil reservoir studi cadangan

yang dilakukan oleh PT SDK yang memperlihatkan bahwa produksi cadangan

gas ikutan diperkirakan lebih dari 11.5 MMSCFD, dan jumlah tersebut akan relatif

konsisten untuk kurun waktu lebih dari 15 tahun (PT SDK, 2007). Hal ini sesuai

dengan kajian yang dilakukan oleh PT.Pertamina EP Region Jawa, (2008) bahwa

potensi gas ikutan mulai tahun 2005 hingga tahun 2015 di Lapangan Tugu Barat

Komplek dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Potensi produksi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Kompleks (dalam MMSCFD) Kabupaten Indramayu

Lokasi Tahun TGB-A TGB-B TGB-C Tudung TGB-D PCT Total

2005 3,36 2,52 - - - 1,86 7,742006 3,19 1,95 3,50 - - 1,47 10,112007 3,03 1,50 3,50 - 1,50 4,73 14,262008 2,90 1,16 3,50 - 1,50 4,49 13,552009 2,08 0,90 3,50 - 1,50 4,25 12,232010 1,20 0,70 3,50 - 1,50 4,04 10,942011 0,68 0,54 3,50 - 1,50 3,82 10,042012 0,60 0,43 3,50 2,90 1,60 2,52 11,552013 0,58 0,43 3,50 2,90 1,60 2,50 11,512014 0,58 0,43 3,50 2,90 1,60 2,49 11,502015 0,58 0,43 3,50 2,90 1,60 2,49 11,50

Keterangan : TGB-A = Lapangan Tugu Barat Komplek A TGB-B = Lapangan Tugu Barat Komplek B TGB-C = Lapangan Tugu Barat Komplek C TGB-D = Lapangan Tugu Barat Komplek D PCT = Lapangan Pasir Catang Sumber : PT.Pertamina EP Region Jawa, 2008

Selain dilihat dari jumlah seperti tersebut di atas, kondisi gas ikutan di

Lapangan Tugu Barat juga dapat dilihat dari kecukupan cadangan gas tersebut,

yang dapat dilihat dari nilai GOR (gas to oil ratio)-nya. Adapun nilai GOR ini

Page 127: 2009zra Tesis Doktoral IPB

106

didapat berdasarkan volume gas ikutan yang terkandung dalam reservoir minyak,

yang dihitung dengan perhitungan persamaan Darcy untuk aliran multi fasa,

adapun cara menghitungnya volume gas (cubic feet) dibagi volume oil (barrel),

sebagai berikut:

Input gas = 11 mmscf - berapa barrel oil equivalent (BOE)? = 11 x konstanta (179,6000000135) = 1975,6 barrel oil equivalent GOR = 1975,6 / 500 = 3,95

Dalam hal ini jika nilai GOR lebih dari 1 mengandung arti bahwa nilai

tersebut bagus, dalam arti cadangan gas tersebut cukup). Dari perhitungan GOR

yang ada di Lapangan Tugu Barat seperti tersebut di atas, memperlihatkan

bahwa nilai GOR Lapangan Tugu Barat adalah 3,95. Kondisi ini memperlihatkan

bahwa cadangan gas yang terdapat di Lapangan Tugu Barat masuk pada

kategori cukup. Hal ini mengandung arti bahwa berdasarkan cadangan gas

tersebut, maka industri pengolahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat

mempunyai potensi yang baik untuk dilaksanakan dan dikembangkan, sehingga

akan bermanfaat secara ekonomi karena gas ikutan akan diolah menjadi LPG

dan CO2 yang bernilai ekonomis bahkan LPG-nya dapat mengganti minyak tanah

yang subsidinya sangat tinggi.

Pemanfaatan gas ikutan menjadi LPG juga akan mengurangi lepasnya

GRK ke atmosfir dalam jumlah yang sangat banyak, yakni gas CO2 sebanyak

635,613 ton CO2 perhari dan lepasnya gas metan sebanyak 1051,97 ton perhari;

serta akan mengurangi bahan pencemar udara berupa nitrogen sebanyak

40,8167 ton perhari. Pemanfaatan gas ikutan juga sekaligus dapat membuka

lapangan pekerjaan baru, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran

masyarakat.

Mengingat cukup melimpahnya gas ikutan di Lapangan Tugu Barat,

sehingga sangat berpotensi untuk dimanfaatkan dalam rangka memaksimalkan

produksi dan ekonomi sekaligus meminimalkan pencemaran lingkungan, maka

PT.Pertamina harus berupaya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya

(reasonable endavour) untuk menyalurkan gas kepada PT.SDK sebesar 11.5

mmscfd dengan komposisi apa adanya yang diproduksi dari Lapangan milik

PERTAMINA di komplek Tugu Barat dan Pasir Catang. Berdasarkan Tabel 11

terlihat bahwa Lapangan Tugu Barat mempunyai potensi yang tinggi dalam

menghasilkan gas ikutan. Jika gas ikutan tersebut hanya hilang ke udara atau

Page 128: 2009zra Tesis Doktoral IPB

107

dibakar seperti yang saat ini terjadi (Gambar 34), berpengaruh jiwa manusia

pada dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (mengeksploitasi gas) akan

mengakibatkan konsentrasi GRK di atmosfir mengalami penambahan yang

signifikan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Murdiarso (2003) dan

CCSP (2003), bahwa konsentrasi GRK selalu meningkat akibat pola hidup

manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya dalam rangka

mengurangi hal tersebut, maka lepas atau dibakarnya gas ikutan harus

diminimalkan.

Upaya pemanfaatan gas ikutan ini harus segera diwujudkan mengingat

gas ikutan tidak hanya akan dihasilkan di Lapangan Tugu Barat, namun akan

dihasilkan dari seluruh reservoar minyak dan gas bumi yang ada di seluruh

Indonesia, bahkan di seluruh belahan bumi. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian Hidayati (2001) yang mengatakan bahwa berdasarkan data historis

rata-rata, suhu udara di Indonesia meningkat sebesar 0.30C per tahun sejak

tahun 1900 dan telah mengakibatkan curah hujan berkurang 2 % hingga 3 %

terutama pada bulan Desember – Februari. Sejalan pula dengan hasil penelitian

Hidayati (1990); Rozari, Hidayati dan Manan (1992); Hidayati, Abdullah dan

Suharsono (1999) yang mengatakan bahwa suhu di sebagian besar wilayah

Indonesia terutama siang hari meningkat, namun curah hujannya tidak

menunjukkan pola yang sama. Berdasarkan hal tersebut, maka dengan

banyaknya gas ikutan yang dibuang atau dibakar, dikuatirkan akan semakin

mempertinggi perubahan suhu dan semakin menurunkan curah hujan. Dan

berdasarkan pendugaan iklim dengan menggunakan model sistem iklim untuk

menduga iklim dunia pada masa yang akan datang, yang merupakan model

sirkulasi udara global GCMs (Global Circulation Models) yaitu : CCCM

(Canadian Climate Cetre Model), GISS ( NASA’s Goddard Institute for Space

Studies), GFDL (NOAA’s Geophysical Fluid Dynamics Laboratory) dan UKMO

(United Kingdom Meteorological Office); diprediksi bahwa suhu global akan naik

sebesar 2,80 hingga 5,20C dan presipitasi global akan naik sebesar 7 % hingga

16 % jika konsentrasi CO2 menjadi 2 kali lipat (Indonesian Country Study Team

on Climate Change, 1998).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka gas ikutan yang jumlahnya

banyak dengan kandungan CO2-nya yang bervariasi pada setiap lapangan

minyak (Syahrial dan Bioletty, 2007), apalagi eksploitasi minyak dan gas bumi

semakin meningkat; harus segera dimanfaatkan dan dijadikan produk yang

Page 129: 2009zra Tesis Doktoral IPB

108

bernilai ekonomis. Jika gas ikutan tersebut dapat dimanfaatkan kembali, maka

perusahaan migas tersebut dapat dikatakan sudah melakukan produksi bersih

atau sudah menciptakan mekanisme pembangunan bersih. Namun demikian

karena sifatnya spesifik pada setiap lokasi, maka dalam pemanfaatannya, harus

dilakukan teknologi yang spesifik sesuai dengan sifat gas ikutan di lokasi

tersebut.

c. Komposisi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat

Pada dasarnya gas dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu feed gas, sweet

gas, dan CO2. Berdasarkan hasil analisis terhadap komposisi pada ketiga jenis

gas tersebut, ternyata ketiga gas tersebut memiliki komposisi yang berbeda

antara jenis yang satu dengan yang lainnya. Adapun komposisi ketiga gas

tersebut secara rinci disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Analisa komposisi gas di Lapangan Tugu Barat Kabupaten Indramayu

Process Streams Composition Feed Gas

(%) Sweet Gas

(%) C02 (%)

CO2 39,73* 0,26 90,79Methane 50,14* 82,66 0,57Ethane 3,69* 6,08 0,04Propane 2,44* 4,03 0,02i-Butane 0,45* 0,74 0,002n-Butane 0,73* 1,21 0,003i-Pentane 0,21* 0,35 0,0005n-Pentane 0,19* 0,31 0,0004n-Hexane 0,49* 0,81 0,0012n-Heptane 0,00* 0,00 0,00n-Octane 0,00* 0,00 0,00Nitrogen 1,94* 3,20 0,0130Water 0,00* 0,34 8,56MDEA 0,00* 8,33 5,16Temperature F 110,00* 120,49 119.,99Pressure Psia 190,00* 507,00 20,00Mass Flow lb/h 21.161,80 8.722,15 12.946,20Std Vapor Volumetric Flow MMSCFD 6,50* 3,92 2,83

Sumber : Corelabs, 2007

Page 130: 2009zra Tesis Doktoral IPB

109

Tabel 11 memperlihatkan bahwa gas ikutan baik yang masuk pada

kategori feed gas maupun sweet gas mempunyai kandungan karbondioksida dan

metan yang tinggi, padahal baik karbondioksida maupun gas metan merupakan

gas rumah kaca yang jumlahnya paling dominan diantara gas rumah kaca

lainnya yang dapat mengakibatkan munculnya efek rumah kaca (Abrahamson,

1989). Pada Tabel 12 juga terlihat bahwa kandungan CO2 pada feed gas kurang

lebih 39,73%, pada sweet gas hanya 0,26%, dan pada gas karbon dioksida,

kurang lebih 90,79%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa jika feed gas akan

dimanfaatkan, maka karbondioksida yang terdapat pada feed gas tersebut harus

dipisahkan terlebih dahulu, karena jika di dalamnya terdapat karbondioksida

sejumlah itu, maka selain kalorinya menjadi rendah, juga akan mengakibatkan

tekanan yang rendah, sehingga menyulitkan dalam mengkonversi feed gas

tersebut. Namun demikian karbon dioksida tersebut masih dapat dimanfaatkan.

Berbeda dengan pada feed gas, kandungan CO2 pada sweet gas sangat rendah,

sehingga sweet gas dapat langsung diolah.

Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa kandungan gas methane pada

sweet gas lebih tinggi dari pada feed gas dan CO2 yaitu mencapai 82,66 %

sedangkan feed gas dan CO2 hanya bernilai masing-masing 50,14 % dan 0,57

%. Hal yang sama ditunjukkan pada kandungan ethane, propane, i-butane, n-

nutane, i-pentane, n-pentane dan n-hexane lebih tinggi pada sweet gas

dibandingkan dengan feed gas dan CO2. Kandungan n-heptane dan n-oktane

tidak ditemukan baik pada feed gas, sweet gas dan CO2, demikian juga halnya

dengan air dan MDEA tidak ditemukan pada feed gas sedangkan pada sweet

gas dan CO2 terdapat air dan MDEA dengan komposisi masing-masing 0,34 %

dan 8,33 % untuk sweet gas dan 8,56 % dan 5,16 % untuk CO2.

Hasil analisis terhadap ketiga gas ini juga memperlihatkan adanya

perbedaan temperatur. Sweet gas memiliki temperatur yang lebih tinggi yaitu

sebesar 120,49 oF dibandingkan dengan feed gas dan CO2 dengan temperatur

masing-masing sebesar 110,00 oF dan 119,00 oF, namun perbedaan temperatur

ini tidak terlalu nyata. Selain adanya perbedaan temperatur, ketiga gas tersebut

juga mempunyai perbedaan tekanan (pressure), yaitu sweet gas memiliki

tekanan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan feed gas dan CO2. Tekanan

pada sweet gas mencapai 507,00 Psia sedangkan pada feed gas dan CO2 hanya

mencapai 190,00 Psia dan 20,00 Psia.

Page 131: 2009zra Tesis Doktoral IPB

110

Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa baik proses streams feed gas,

sweet gas dan CO2 terdapat gas nitrogen dengan konsentrasi berturut-turut

1,94%; 3,2% dan 0,0130%. Hal ini juga perlu mendapatkan perhatian

mengingat CO2 dan nitrogen yang lepas ke atmosfir akan berubah menjadi NOx

yang jika hujan akan berubah menjadi asam karbonat (H2CO3) dan nitogen akan

berubah menjadi asam nitrat. Hal ini sesuai dengan pendapat Finley (2001) yang

mengatakan bahwa hujan asam (acid rain) adalah turunnya derajat kemasaman

(pH) air hujan karena terjadinya reaksi antara zat-zat pencemar dengan air di

udara membentuk suatu komposisi baru di udara yang bersifat asam dan turun

bersama air hujan, sehingga air hujan yang turun mempunyai nilai pH yang

rendah. Air hujan pada kondisi normal mempunyai nilai pH 5,6. Hujan asam

biasa terjadi di daerah industri yaitu merupakan efek dari pelepasan zat-zat

pencemar SOx dan NOx ke udara dengan konsentrasi yang besar. Pengaruh

hujan asam tidak selalu langsung mematikan tanaman (Anonim, 2003)

d. Penyaluran dan Pemasaran Produksi Gas Kilang Tugu Barat Mengingat tingginya potensi gas rumah ikutan di Kilang Tugu Barat dan

dalam rangka melakukan proses produksi bersih sekaligus akan mendatangkan

keuntungan ekonomi dan melindungi lingkungan, maka gas ikutan disarankan

untuk diolah kembali menjadi lean gas, kondensat atau LPG dan CO2-nya juga

dipisahkan untuk tujuan komersial. Selanjutnya hasil pengolahan gas ikutan ini

menjadi milik PERTAMINA, sehingga selanjutnya PERTAMINA memasarkan

hasilnya.

Dalam pemasaran hasil olahan gas ikutan ini, produk berupa LPG dan

kondensat sebaiknya dijual ke perusahaan lain atau yang biasa dikenal dengan

istilah mitra usaha lain (bisa melalui penunjukkan atau pola lain), untuk itu ada

baiknya perusahaan pembeli (mitra usaha lain) diikat dengan kontrak kerja sama

jangka panjang. Namun untuk produksi lean gas, ada baiknya PT SDK

menyalurkannya ke transmisi gas utama PERTAMINA misalnya ke PERTAMINA

Cemara. Untuk itu PT SDK idealnya membangun jalur instalasi pipa gas terlebih

dahulu yang mempunyai diameter 4 inch sepanjang 22.7 km dari Kilang Tugu

Barat ke jalur transmiisi gas utama PERTAMINA di Cemara. Untuk keperluan

tersebut, maka mitra usaha lain yang sebaiknya ada adalah :

Page 132: 2009zra Tesis Doktoral IPB

111

1. Penyalur / Transporter LPG Yakni pembeli LPG yang memiliki kontrak dengan PERTAMINA dan

melakukan pengambilan LPG dengan menggunakan truk tangki (bulk).

2. Pembeli / Pengangkut Kondensat Yakni pembeli kondensat yang memiliki kontrak dengan PERTAMINA dan

melakukan pengambilan kondensat dengan menggunakan truk tangki (bulk).

3. Pembeli lean gas / jalur instalasi pipa Yakni pembeli lean gas yang membeli melaui PT. SDK yang disalurkan

melalui pipa instalasi dari kilang Tugu Barat ke jalur transmisi gas utama milik

Pertamina di Cemara, di salurkan oleh PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon Ke

Customer (enduser)

4. Pembeli / Pengangkut CO2 : Pembeli CO2 yang memiliki kontrak dengan PERTAMINA dan tidak berafiliasi

dengan PT.SDK atas CO2 yang akan dimurnikan (purification facility) yang

terletak di dalam area MMGP.

Untuk lebih jelasnya rencana jalur distribusi dan pemasaran gas ikutan Kilang

Tugu Barat dapat dilihat pada Gambar 35.

Gambar 35. Rencana jalur distribusi dan pemasaran gas ikutan Kilang Tugu Barat

PERTAMINA

LPG PT. B

Kondensat PT. C

Lean Gas

CO2 Processing

Pengguna CO2

Kilang Mini PT. SDK

Page 133: 2009zra Tesis Doktoral IPB

112

5.3.2. Kualitas Lingkungan Kondisi eksisting kualitas lingkungan lapangan Tugu Barat

memperlihatkan bahwa kualitas air limbah relatif kurang baik, karena hasil

analisis terhadap air limbah di beberapa titik (lokasi) memperlihatkan bahwa suhu

air limbah berkisar 27,20 – 48,0ºC. Suhu tertinggi terjadi di Mundu yang

mencapai 48ºC, sedangkan di tempat lain masih relatif baik yakni 27,20 – 30,4

ºC. Khusus Mundu, air limbah yang dihasilkan tersebut dimasukkan ke dalam

saluran yang berkelok-kelok sehingga pada saat bersatu dengan badan air

suhunya sudah turun menjadi 31ºC. Kondisi ini tidak terlalu mengkhawatirkan

mengingat menurut Nybakken (1992) suhu 28-31 ºC merupakan suhu alami dan

dapat mendukung kehidupan dalam ekosistem perairan dengan baik.

Pada penelitian ini juga diamati konsentrasi oksigen terlarut (DO) dalam

air. Hasil analisis terhadap DO memperlihatkan hasil yang bervariasi yakni

mulai dari tidak terdeteksi hingga sangat jenuh (8,3 mg/l), dengan DO tertinggi di

stasiun Bongas yakni 8,3 mg/l dan dan terendah di stasiun Pamanukan yakni

tidak terdeteksi, sedangkan di stasiun lainya mempunyai DO 4,99 sampai

5,86mg/l. DO yang ada di stasiun Bongas yang tidak terdeteksi sangat

mengkhawatirkan karena Oksigen terlarut merupakan senyawa yang sangat

penting dalam kehidupan di ekosistem perairan, dan sangat esensial bagi

pernapasan dan metabolisme organisme yang hidup di dalamnya Selain itu

oksigen terlarut juga berguna untuk penghancuran bahan organik atau bahan

pencemar yang terdapat dalam ekosistem perairan (Saeni, 1988)

Tidak terdeteksinya oksigen terlarut pada air limbah yang terdapat di sungai

Pamanukan, diduga karena bahan organik yang terdapat pada limbah yang

terdapat di stasiun Pamanukan sangat tinggi, sehingga dibutuhkan jumlah

oksigen yang sangat banyak untuk menguraikannya menjadi bahan anorganik.

Hal ini sesuai dengan pendapat Das dan Acharya (2003) yang mengatakan

bahwa rendahnya konsentrasi oksigen terlarut pada perairan salah satunya

disebabkan oleh penggunaan oksigen terlarut tersebut untuk dekomposisi bahan

organik. Kondisi ini akan memberi dampak negatif terutama pada beberapa

spesies yang sensitif terhadap oksigen.

Pada pengamatan yang dilakukan di lokasi penelitian juga terdeteksi

adanya amoniak dengan konsentrasi yang bervariasi. Pada stasiun selain

stasiun Mundu kandungan amonianya tidak terdeteksi, sedangkan di Stasiun

Pamanukan konsentrasinya mencapai 1,16mg/l. Kondisi ini sesuai dengan

Page 134: 2009zra Tesis Doktoral IPB

113

kandungan oksigen yang terdapat di Stasiun Pamanukan yang tidak terdeteksi.

Hal ini memperkuat kenyataan bahwa di limbah yang terdapat di Stasiun

Pamanukan bahan organiknya banyak.

Limbah yang dihasilkan di lokasi penelitian rata-rata mempunyai salinitas

15 permil. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena air limbah ini mempunyai

kadar garam yang cukup tinggi, sehingga akan mengganggu kehidupan mahluk

hidup yang ada pada sungai yang pada umumnya airnya tawar.

Kandungan minyak di beberapa stasiun pada umumnya rendah, hanya di

Stasiun Bongas yang konsentrasinya mencapai 6,06mg/l, namun setelah limbah

tersebut masuk ke dalam perairan umum konsentrasinya menurun menjadi

0,54mg/l. Berdasarkan persyaratan KLH bahwa kandungan minyak pada limbah

diperbolehkan hingga10mg/l. Berdasarkan hal ini maka limbah yang dihasilkan

dari stasiun penelitian masih cukup aman untuk dibuang ke lingkungan (badan

air). Namun demikian adanya minyak pada ekosistem perairan ini perlu

diwaspadai, karena minyak akan melapisi/menutup permukaan air, sehingga

akan mengganggu proses fotosintesa dan akan menurunkan estetika perairan.

Selain itu menurut Holcomb (1969) walau dampaknya terhadap organisme laut

sulit diketahui karena pengaruhnya lama sekali, namun keberadaannya perlu

diwaspadai. Hal ini sesuai dengan pendapat Mitcell et al. (1970) bahwa

pengaruh kontaminasi minyak terhadap komunitas organisme perairan dapat

bervariasi dari pengaruh yang kecil sekali (negligible) hingga pada terjadinya

kemusnahan (catastrophic).

Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa pH air limbah di lokasi

penelitian rata-rata netral yakni 7,1 – 7,4. Kondisi ini tidak mengkhawatirkan

karena menurut NTAC (1968) pH air yang berkisar antara 6,5 – 8,5 akan

mendukung kehidupan organisme akuatik yang ada di dalamnya. Pada penelitian

ini juga teridentifikasi bahwa kandungan fenol, sianida, sulfida, amonia, minyak

mineral Hg, Pb, Cd, Cr, Zn dan Mn sangat rendah sehingga tidak terdeteksi pada

limbah yang dihasilkan di Lapangan Tugu Barat.

Hasil analisis terhadap sumur penduduk memperlihatkan bahwa air

sumur penduduk mempunyai salinitas 15 permil. Tingginya kadar garam di

sumur penduduk diduga karena adanya intrusi air laut, mengingat di wilayah

tersebut hutan mangrovenya relatif sedikit. Kondisi ini cukup menkawatirkan

mengingat air sumur tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk air minum, dan dari

hasil wawancara dengan masyarakat setempat juga mengatakan bahwa air

Page 135: 2009zra Tesis Doktoral IPB

114

sumur tersebut hanya digunakan untuk kegiatan mencuci, mandi dan kakus

(MCK).

Air sumur penduduk mempunyai amonia 0,47 – 0,88mg/l, dengan

konsentrasi tertinggi di Stasiun Bongas yakni 0,88mg/l. Kondisi ini juga cukup

menghawatirkan mengingat secara estetika sudah kurang baik dan kandungan

amonia yang tinggi ini mengakibatkan air sumur tidak layak konsumsi. Hal ini

disebabkan amonia yang bersifat sangat labil akan sangat mudah berubah

menjadi nitrit. Jika perubahan menjadi nitrit terjadi, selanjutnya nitrit akan

berikatan dengan hemoglobin, membentuk methemoglobin. Oleh karenanya

Horne dan Goldman (2002) mengatakan bahwa nitrit (NO2-) merupakan

pencemar berbahaya terutama dalam konsentrasi yang tinggi. Menurut

Manahan (1977) dan Saeni (1988) nitrit dalam tubuh manusia akan bereaksi

dengan hemoglobin dalam darah, sehingga darah tidak dapat mengangkut

oksigen; dan menurut Alaert et al. (1983) akan mengakibatkan keracunan pada

bayi dan dapat menimbulkan nitrosamin pada air buangan yang nantinya dapat

menjadi bahan pencetus kanker.

pH air sumur juga tinggi (bersifat basa), hal ini dapat dimaklumi

mengingat kandungan mineral yang tercermin air sumur juga tinggi. Namun

demikian kekeruhan, BOD, fenol, sianida, sulfida yang terdapat pada air sumur

tidak terdeteksi, sehingga tidak mengkhawatirkan. Namun demikian mengingat

tingginya salinitas dan amoniak pada air sumur, maka tidak direkomendasikan

untuk memanfaatkan air sumur karena pada akhirnya dapat membahayakan

penduduk.

Air sungai tempat membuang limbah mempunyai pH 7,1 - 7,2, kondisi ini

tidak mengkhawatirkan karena menurut NTAC (1968) ekosistem perairan dengan

pH air berkisar 6,5 – 8,5 ideal bagi kehidupan akuatik. Salinitas air di stasiun

Sungai Singaraja 15 permil, kondisi ini memperlihatkan bahwa Sungai Singaraja

kadar garamnya tidak hanya dipengaruhi oleh limbah dari industri migas, namun

diduga ada pengaruh dari air laut. Kadar garam di stasiun lainnya yakni di

Sungai Kartasemaya dan Betokan 0 permil. Hal ini memperlihatkan bahwa

kedua stasiun ini kurang terpengaruh oleh air laut.

Kekeruhan di semua sungai yang diteliti cukup tinggi yakni rata-rata 590

NTU. Kondisi ini diduga bukan terpengaruh oleh air limbah dari lokasi penelitian,

namun berasal dari bagian hulunya yang pada umumnya mengalami erosi yang

membawa partikel tanah dan lumpur baik berupa koloid maupun yang

Page 136: 2009zra Tesis Doktoral IPB

115

tersuspensi. Hal ini sesuai dengan pendapat Pescod (1973) yang mengatakan

bahwa tingkat kekeruhan suatu perairan dipengaruhi oleh padatan tersuspensi

dan koloid yang terkandung di dalam perairan tersebut.

DO air sungai di semua stasiun cukup tinggi yakni rata-rata 4,5 mg/l;.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa air sungai cukup baik untuk kehidupan biota

yang ada di dalamnya. Tingginya DO pada semua stasiun ini juga disebabkan

oleh tingginya agitasi pada sungai akibat adanya aliran air yang cukup deras.

Tingginya aliran air ini mengakibatkan tingginya pergantian air, sehingga tidak

memungkinkan bahan organik mengendap dalam jumlah yang banyak, oleh

karenanya maka BOD dalam air sungai juga cukup rendah yakni hanya berkisar

3,21 – 6,70mg/l

Kandungan minyak pada sungai di dua stasiun sangat rendah sehingga

tidak terdeteksi namun pada Sungai Singaraja minyaknya cukup tinggi bahkan

tertinggi diantara tiga sungai yakni mencapai 7,6mg/l. Ditinjau dari kandungan

minyak dalam air sungai walaupun masih dibawah baku yang diperbolehkan,

namun juga harus diwaspadai karena kurang baik untuk perikanan yang tersebar

di sepanjang pesisir Indramayu dan Pamanukan.

Hasil analisis terhadap udara dan kebisingan memperlihatkan bahwa

secara umum baik dilihat dari debu, SO3, NOx, Ox, H2S dan CO2 di semua

stasiun memperlihatkan nilai yang ada dibawah baku mutu yang sudah

ditetapkan (Tabel 12). Hal ini memperlihatkan bahwa pada saat dilakukan

penelitian ini PT SDK memperlihatkan tidak mencemari udara yang ada di

sekitarnya.

Tabel 12. Kualitas udara di lokasi penelitian

No Lokasi Debu (m/m3)

SO3 (ppm)

NOx (ppm)

Ox (ppm)

H2S (ppm)

CO2 (ppm)

1 SPU Mundu A 55,6 0,005 0,042 0,008 0,022 4976 2 SPU Mundu B 23,9 ttd 0,032 0,071 0,005 4895 3 SPU Balongan 61,3 0,010 0,034 0,053 0,041 5000 4 Desa Kedokan Bunder 149 ttd 0,023 0,033 0,019 4900 5 SPU Cemara 25,6 0,009 0,034 0,069 0,046 7500 6 Pmk Bongas Barat 125 0,005 0,012 0,011 Ttd 1200 7 SPU Bongas 103,0 ttd 0,042 0,059 0,220 5100 8 PMK sumberdaya

(perkapuran 136,0 0,006 0,070 0,060 0,004 5300

260 0,100 0,050 0,100 0,030 -

Page 137: 2009zra Tesis Doktoral IPB

116

5.4. Kesimpulan Eksplorasi di Lapangan minyak dan gas Tugu Barat di Kabupaten

Indramayu dari tahun 1932 hingga saat ini cenderung terus meningkat, dengan

produksi minyak tertinggi terjadi pada tahun 1973-1994 sebesar 28.000 barrel oil

per day (BOPD), namun sisa cadangannya mengalami penurunan (tahun 1992

sebesar 3.079,23 MSTB menjadi 1.362,85 MSTB pada tahun 2001). Sedangkan

untuk gas mengalami peningkatan produksi hingga tahun 1998, dan selanjutnya

mengalami penurunan. Selain produksi tersebut, Lapangan Minyak dan Gas

Tugu Barat juga mempunyai cadangan gas ikutan (flare) sebanyak 35,7 BSCF

dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable.

Jumlah bahan pencemar yang terdapat pada gas ikutan yang dibuang

langsung ke lingkungan CO2-nya mencapai 841,583 ton perhari, jumlah gas

metane 1051,97 ton perhari serta jumlah nitrogen 40,8167 ton perhari, sehingga jika dibiarkan akan mengakibatkan terjadinya pencemaran udara, hujan

asam (acid rain), pemanasan global (global warming) dan pada akhirnya ikut

menyumbang terjadinya perubahan iklim global (global climate change).

Gas ikutan yang ada di Lapangan Tugu Barat mempunyai potensi untuk

dimanfaatkan dengan cadangan yang cukup banyak (GOR >1) dan dapat

dimanfaatkan baik gas metannya maupun CO2-nya, sehingga sudah dapat

dirancang rencana pemanfaatannya, rancangan procesc diagramnya, rencana

pemipaannya serta pengerjaannya di Lapangan Tugu Barat.

Kondisi eksisting di PT SDK memperlihatkan bahwa perusahaan ini tidak

mencemari udara, namun penanganan limbah cairnya relatif masih belum terlalu

baik.

Page 138: 2009zra Tesis Doktoral IPB

117

Daftar Pustaka

Allenby, B.R. 1999. Industrial Ecology. Policy Framework and Implementation. Prentice-Hall Inc. New Jersey. USA.

Berita Negara. 2007. Wakil Presiden (Jusuf Kalla). Estimasi Penghematan Subsidi Minyak Tanah Program Konversi Minyak Tanah (Mitan) ke LPG.

Corelabs. 2007. Analisa Komposisi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu Jawa Barat.

Des Jardins, JR. 1993. Evironmental Ethics, An Introduction To Enviromental Philosophy. Belmont, California. 272p.

Departemen ESDM. 2008. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak di Indonesia Tahun 2000-2006, Indonesia Energy Statistick. Pusdatin ESDM.

________________. 2008. Indonesia Gas Production and Consumption In 2000-

2006, Indonesia Energy Statistick. Pusdatin ESDM Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat dan Lembaga Penelitian

dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) ITB. 2003. Laporan Akhir Pemanfaatan Sumur-Sumur Migas Non Ekonomis di Kabupaten Indramayu dan Majalengka.

Estimasi Perbandingan Penggunaan Bahan Bakar di Perusahaan Listrik Negara (PLN). 2005. Kompas 8 Juli 2005. Jakarta.

Hanley, N.; J.F. Shogren; and B.White. 2002. Environmental Economics. In

Theory and Practice. Palgrave Macmillan. Bristol, UK. 464p. IPCC. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories

Indonesia Country Study on Climate Change. 1998. Vulnerability and Adaptation Assessments of Climate Change in Indonesia. The Ministry of Environment the Republic of Indonesia. Jakarta

Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001 :

Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNDP.

Kementrian Lingkungan Hidup. 2003. Pemanfaatan Gas Ikutan Meminimalkan

Kerusakan Lingkungan. Lemigas. 2006. Kondisi Pemanfaatan Gas Berdasarkan Penggunaan. CCOP

Workshop, Beijing China.

Page 139: 2009zra Tesis Doktoral IPB

118

Murdiyarso D, 2003, Sepuluh Tahun Perjalanan Konvensi Perubahan Iklim, PT.

Kompas Media Nusantara.Jakarta.

PT. Pertamina EP Region Jawa. 2008. Potensi Produksi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Kompleks (dalam mmscfd) Kabupaten Indramayu- Jawa Barat.

[PT.SDK] PT. Sumber Daya Kelola. 2005. Penjelasan Umum Proyek Kilang Mini LPG – Tugu Barat. PT. Sumberdaya Kelola. Indramayu

Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 140: 2009zra Tesis Doktoral IPB

VI. KELAYAKAN EKONOMI PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI LAPANGAN MINYAK TUGU BARAT, INDRAMAYU

Abstrak

Pengembangan industri gas ikutan di Lapangan produksi minyak Tugu Barat Indramayu memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan pemerintah setempat baik manfaat langsung maupun manfaat tidaklangsung. Namun demikian dalam pengembangannya, investasi yang dilakukan secara ekonomi belum tentu layak untuk dikembangkan. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu. Penelitian menggunanak metoda analisis kelayakan ekonomi dengan pendekatan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Pay Back Period (PBP), dan analisis Profitability Index. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu secara ekonomi layak untuk dikembangkan. Hal ini dilihat dari keuntungan bersih yang diperoleh bernilai positif dengan tingkat keuntungan bersih (NPV) sebesar US$ 1.148.174,00 dengan kemapuan mengembalikan modal pinjaman bank yang besar yaitu lebih besar dari tingkat suku bunga bank sampai pada batas waktu yang ditetapkan dengan rata-rata IRR berkisar 14,42 % (IRR total). Dilihat dari nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh nilai sebesar 5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk payback loan yang berarti bahwa waktu yang diperlukan oleh perusahaan untuk dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan lebih cepat dari masa kontrak dan untuk tahun kelima dan seterusnya perusahaan akan memperoleh keuntungan dari selisih antara hasil penjualan dengan biaya atau modal yang dikeluarkan. Artinya perusahaan akan memperoleh keuntungan selama sisa kontrak karena periode payback lebih pendek daripada masa kontrak perusahaan yaitu selama 10 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar daripada nilai sekarang investasi sehingga perusahaan memperoleh keuntungan. Adapun biaya-biaya perlindungan lingkungan dan biaya social yang perlu dikeluarkan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya dalam penelitian ini belum diperhitungkan. Kata kunci : Kelayakan ekonomi, pemanfaatan gas ikutan, NPV, IRR, PBP

6.1. Pendahuluan Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di pesisir utara

Jawa Barat yang memiliki potensi sumberdaya alam tidak dapat pulih seperti

minyak dan gas bumi yang cukup besar. Pada tahun 1977 telah diresmikan

kilang LPG Mundu di Kecamatan Karangampel, Indramayu. Kapasitas terpasang

mengolah bahan baku natural gas sebesar 1.000.000 NM3/hari (37 MMSCFD).

Bahan baku non assosiated gas sebesar 600.000 NM3/hari dan assosiated gas

sebesar 400.000 NH3/hari. Produk yang dihasilkan adalah produk utama LPG

(100 ton/hari), minasol-M (56 Kl/hari), lean gas ( 656.00 N3M/hari dan propane).

Page 141: 2009zra Tesis Doktoral IPB

120

Dalam rangka tersedianya bahan bakar minyak (BBM), Pertamina

mengoperasikan kilang minyak di Kecamatan Balongan. Kilang UP VI Balongan

dapat memenuhi kebutuhan BBM untuk DKI Jakarta (40%) dan sebagian Jawa

Barat (Bapeda Jabar, 2007).

Selanjutnya PT. Pertamina (Persero) Direktorat Hulu bekerjasama

dengan PT. Sumber Daya Kelola (PT. SDK) dengan menandatangani kontrak

untuk pengembangan industri gas ikutan (flare gas) dalam rangka mendapatkan

nilai tambah di lapangan produksi minyak Tugu Barat Jawa Bagian Barat (DOH-

PERTAMINA JBB). Kontrak telah berjalan selama 10 tahun yang dimulai pada

tahun 1995 dan berakhir pada tahun 2005. Dalam menjalankan usahanya,

PT.Sumber Daya Kelola sebagai perusahaan “pionir” dalam industri pengolahan

gas berskala mini dan menengah telah terbukti berhasil dan mampu

melaksanakan kontrak pembangunan, operasi dan pengelolaan dan konsep

“membangun, mengoperasikan dan menyerahkan atau disebut build operating

and transfer (BOT)”. Atas prestasi dan kinerja tersebut, serta terdapatnya

peluang untuk menggandakan kinerja peralatan yang akan diserahkan kepada

Pertamina, maka PT Sumber Daya Kelola mengajukan tambahan dan

perpanjangan masa kontrak dengan menambah peralatan utama kilang ( Amine

Unit 1 (satu) unit, booster compressor 2 (dua) unit dan peralatan penunjang

lainnnya). Rencana ini di dukung pula oleh adanya potensi gas ikutan tambahan

sebesar 6 juta sampai 7 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) di Lapangan Tugu

Barat dan sekitar yang belum termanfaatkan. Proses pemanfaatan gas ikutan

Lapangan Tugu Barat ini agak berbeda dengan konsep kilang mini LPG lainnya,

karena gas yang diproses adalah gas yang mengandung CO2 sebesar 40%,

sehingga tanpa menggunakan peralatan pemisah CO2, gas tersebut akan

memiliki tekanan yang rendah dan hanya memiliki kalori 750 Btu per satu kaki

kubik (BTU/SCF) yang menyebabkan gas tersebut tidak dapat dijual atau

dimanfaatkan langsung.

Berdasarkan kajian teknik dan perundingan dengan pihak Pertamina,

maka kontrak kerja sama diperpanjang, dengan menambah investasi baru dan

mengoperasikan keseluruhan Plant Tugu Barat untuk jangka waktu 10 (sepuluh)

tahun sejak pembangunan investasi baru tersebut selesai dan tanggal

berakhirnya kontrak pertama PT SDK, akan memperoleh imbalan jasa

pengolahan menurut jumlah produksi kilang saat ini yaitu dalam bentuk LPG,

kondensat dan lean gas. Proyek ini merupakan proyek yang cukup penting untuk

Page 142: 2009zra Tesis Doktoral IPB

121

menambah pasokan gas alam (lean gas) dan menambah pasokan LPG dalam

negeri sekaligus mengurangi terjadinya pencemaran udara, hujan asam,

pemanasan global dan perubahan iklim global. Di sisi lain keberadaan industri ini

dapat memberikan manfaat sosial dan ekonomi terhadap masyarakat khususnya

di Jawa Barat. Namun demikian, pembangunan investasi dalam pengelolaan

gas ikutan yang berskala mini dan menengah ini oleh PT. SDK ini sebelum

dipertimbangkan secara lingkungan juga perlu dipertimbangkan apakah secara

ekonomi layak untuk dikembangkan atau malah tidak layak. Untuk mengetahui

sejauhmana resiko, manfaat dan kelayakan suatu perusahaan dalam

pemanfaatan gas ikutan, maka perlu dilakukan penelitian tentang kelayakan

ekonomi sehingga perusahaan dapat mengantisipasi resiko yang akan terjadi

atau dijadikan alat pengambilan keputusan bagi perusahaan untuk berinvestasi.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas

ikutan, khususnya di lapangan produksi minyak Tugu Barat Kabupaten

Indramayu, Jawa Barat.

6.2. Metode Analisis Kelayakan Ekonomi Pemanfaatan Gas Ikutan. Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui kelayakan

ekonomi pemanfaatan gas ikutan di areal Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP)

PT Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region Jawa Area Operasi Timur

dan Wilayah Kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola (SDK) Kecamatan Cikedung,

Kabupaten Indramayu adalah analisis kelayakan ekonomi dengan menggunakan

pendekatan net present value (NPV), internal rate of return (IRR), pay back

period (PBP), dan analisis profitability index.

a. Net Present Value (NPV) Analisis NPV digunakan untuk menilai manfaat investasi dengan ukuran

nilai kini (present value) dari keuntungan bersih proyek. Adapun rumus untuk

mengetahui nilai NVP adalah sebagai berikut (Hufschmidt et. al., 1996):

Keterangan : NPV = net present value

Bt = Benefit (manfaat) untuk tahun ke-t

Ct = Cost (biaya) untuk tahun ke-t

Page 143: 2009zra Tesis Doktoral IPB

122

r = Interest rate (suku bunga)

n = Cakrawala perencanaan

t = Tahun

Jika NPV > 0, maka proyek dapat diteruskan

Jika NPV = 0, maka proyek mengembalikan sebesar tingkat bunga

Modal

Jika NPV < 0, maka proyek tidak dapat dilanjutkan

b. Analisis Internal Rate of Return (IRR)

IRR = DfP + (PVP) x (DfN - DfP

(PVP) – (PVN)

Keterangan :

DfP = Discounting factor yang digunakan yang

menghasilkan preset value positif

DfN = Discounting factor yang digunakan yang

menghasilkan preset value negative

PVP = Present value positif

PVN = Present value negative

Jika nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku

(IRR . i), maka proyek dapat dilanjutkan, dan

Jika nilai IRR < i, maka proyek tidak dapat dilanjutkan

c. Analisis Pay Back Period (PBP)

PBP = - P + ∑ At ( P / F )

Keterangan :

At = Aliran kas yang terjadi pada periode t

P = Nilai sekarang dan F = Nilai yang akan datang

N = Periode pengembalian yang akan dihitung

Jika PBP > N, maka investasi dari proyek tersebut adalah layak

Jika PBP < N, maka investasi tersebut tidak layak

N

t=1

Page 144: 2009zra Tesis Doktoral IPB

123

e. Analisis Profitability Index

=

=

n

tt

n

t

CB

K

tt

1

1

Keterangan:

PI/K = Profitability Indeks

Kt = cost (biaya) modal untuk tahun ke-t

Ct = Cost (biaya) rutin untuk tahun ke-t

n = Umur ekonomis dari proyek

Bt = Benefit (manfaat) untuk tahun ke-t

6.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Kelayakan Ekonomi Pemanfaatan Gas Ikutan

Sumber daya alam tidak dapat terbarukan atau sering juga disebut

dengan sumber daya terhabiskan (depletable) adalah sumber daya alam yang

tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis. Selain itu, sumber daya

alam ini dibentuk melalui proses geologi yang memerlukan waktu sangat lama

untuk dapat dijadikan sebagai sumber daya alam yang siap diolah atau siap

pakai. Salah satu contohnya adalah tambang minyak yang memerlukan waktu

ribuan bahkan jutaan tahun untuk terbentuk kembali karena ketidakmampuan

sumber daya tersebut untuk melakukan regenerasi. Sumber daya alam ini sering

kita sebut juga sumber daya alam yang memiliki stok tetap. Sifat-sifat tersebut di

atas menyebabkan masalah eksploitasi sumber daya alam tidak terbarukan (non

renewable) akan sangat berbeda dengan ekstrasi sumber daya terbarukan

(renewable). Pengusaha perminyakan tidak saja harus memutuskan kombinasi

yang tepat dari berbagai faktor produksi untuk menentukan produksi yang

optimal, namun harus pula memikirkan seberapa cepat stok harus diekstraksi

dengan kendala stok yang terbatas (Fauzi, 2006).

Beberapa perbedaan pokok antara pengelolaan sumber daya alam dan

model ekonomi konvensional, antara lain adalah:

PI/K =

Page 145: 2009zra Tesis Doktoral IPB

124

1. Dalam model ekonomi kompetetif, maksimisasi keuntungan ditentukan pada

saat penerimaan marginal sama dengan biaya marginal. Dalam model

sumber daya alam tidak terbarukan, stock yang tidak terekstraksi memiliki

nilai yang dicerminkan dari biaya oportunitasnya. Dengan demikian,

ekstraksi optimal sumber daya alam tidak hanya ditentukan oleh harga dan

marginal tetapi juga oleh biaya oportunitas.

2. Ektraksi sumber daya alam merupakan masalah investasi karena nilai rente

sumber daya yang diperoleh terkait oleh waktu, sehingga penentuan rente

atau keuntungan (benefit) tidak saja dihitung untuk masa kini tetapi juga

sepanjang waktu.

3. Berbeda dengan ekstraksi produk lainnya, ekstraksi sumber daya alam tidak

terbarukan menghadapi kendala stock. Artinya, karena tidak adanya proses

regenerasi, maka pada waktu tertentu (terminal period), stock tersebut akan

habis.

Dari beberapa ciri di atas terlihat bahwa ekstraksi sumber daya alam tidak

terbarukan seperti halnya yang terjadi pada industri migas di Lapangan Tugu

Barat berkaitan erat dengan aspek intertemporal yang dalam hal ini, peranan

waktu sangat krusial untuk diperhatikan. Investasi dalam mengekstraksi sumber

daya tidak terbarukan diharapkan memberikan manfat ekonomi yang sangat

signifikan bagi pelaku ekstraksi (industri). Untuk mengetahui manfaat ekonomi

dari investasi pengolahan gas khususnya pengolahan gas ikutan mini dan

menengah di Lapangan produksi minyak Tugu Barat yang dikelolan oleh PT.

Sumber Daya Kelola selanjutnya dilakukan perhitungan.

Berdasarkan data yang didapat dari penelitian dan hasil perhitungan,

memperlihatkan bahwa pengembangan industri gas di Lapangan Tugu Barat

oleh PT. SDK akan menghasilkan produk berupa : liquid petroleum gas (LPG)

sebesar 34 ton/hari, lean gas @ 1050 Btu/Scf sebesar 3.99 MMSCF/hari, dan

kondensat sebesar 360 Bbl/hari. Mengingat PT. SDK mengembangkan

usahanya melalui kontrak kerjasama dengan PT. Pertamina (Persero), maka

berdasarkan perhitungan kemungkinan biaya investasi dengan menggunakan

data kondisi exising maka PT. Pertamina akan memberikan imbalan jasa kepada

PT. SDK sebagai imbalan jasa pengolahan (processing fee) untuk masing-

masing jenis produk kurang lebih sebesar US$ 150/ton untuk liquid petroleum

gas (LPG), US$ 1.20/MMBTU untuk lean gas @ 1050 Btu/Scf, dan US$ 15/Bbl

untuk kondensat.

Page 146: 2009zra Tesis Doktoral IPB

125

Adapun estimasi potensi volume metric gas ikutan yang dilakukan dengan

pengukuran laju volume metric di jalur pipa menuju menara gas ikutan yang di

bakar didasarkan pada persamaan estimasi potensi gas ikutan adalah sebagai

berikut :

Potensi gas ikutan (m3)= laju produksi minyak (barrel) X GOR

= 500 X 3,95 = 1975 m3.perhari

Dalam rangka memperoleh produksi dengan besaran tersebut, maka PT.

Sumber Daya Kelola harus mengeluarkan biayai untuk keseluruhan investasi,

sehingga PT SDK dapat meningkatkan produksi LPG, kondensat dan lean gas.

Adapun investasi yang harus dikeluarkan bukan hanya dalam proses pengolahan

dari gas ikutan, namun termasuk investasi untuk keperluan:

1. Rekayasa dan rancang bangun.

2. Membuat studi kelayakan.

3. Pembelian dan konstruksi seluruh peralatan.

4. Pengoperasian dan pemeliharaan selama 10 (sepuluh) tahun.

5. Penambahan lahan apabila diperlukan.

Mengingat evaluasi kelayakan ekonomi pengembangan industri gas

ikutan dalam penelitian ini didasarkan pada masa kontrak antara antara PT. SDK

dengan PT. Pertamina selama 10 tahun, maka jangka waktu penghitungan

kelayakan ekonomi mengacu pada masa kontrak yang telah disepakati yaitu

selama 10 tahun dengan waktu operasi kilang pertahun adalah 340 hari. Dalam

perhitungan kelayakan ekonomi ini, waktu kilang operasi tersebut hanya dihitung

hari operasi, sehingga masa libur yang jumlahnya kurang lebih 25 hari tidak

dimasukan ke dalam perhitungan.

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan didapatkan nilai debit to equity

ratio sebesar 70/30 dengan alokasi masing-masing 70% untuk bank loan dan

30% untuk equity. Berdasarkan hasil perhitungan yang dibuat berdasarkan

prediksi harga-harga yang berlaku saat ini untuk kebutuhan investasi tersebut di

atas diperlukan biaya investasi (total project cost) sebesar US$ 6.488.659,04.

Untuk keperluan dana diperkirakan tingkat inflasinya (inflation rate) antara 3% –

3,5% (US$ terms), dan tingkat suku bunga yang dihitung di sini adalah tingkat

suku bunga pinjaman nominal (nominal interest rate) yang berlaku di perbankan

yakni kurang lebih 8%. Berdasarkan perhitungan tersebut didapat extended cost

Page 147: 2009zra Tesis Doktoral IPB

126

benefit analysis dengan menggunakan discount rate sebesar 8 %. Dari hasil

perhitungan tersebut juga diperoleh nilai internal rate of return (IRR) sebesar

14,42% dan net present value (NPV) sebesar US$ 1.148.174,00 dengan payback

investment 5,080 tahun; payback loan sebesar 3,537 tahun dan profitability

index 1,41. Untuk mempermudah membandingkan nilai-nilai parameter

keekonomian proyek pengembangan industri gas ikutan di Lapangan Tugu Barat

secara rinci dinyatakan pada Tabel 13.

Tabel 13. Parameter keekonomian proyek pengembangan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu (hasil perhitungan)

• IRR 14,42% • NPV US$ 1.148.174,00

• Payback Investment 5,080 Tahun

• Payback Loan 3,537 Tahun • Profitability Index

1,41

Internal rate of return (IRR) merupakan ukuran tingkat bunga maksimum

yang dapat dibayar oleh kegiatan ekonomi dalam hal ini PT. SDK dalam

pengembangan industri gas di Lapangan Tugu Barat untuk sumberdaya yang

digunakan karena kegiatan ekonomi tersebut membutuhkan dana lagi untuk

membiayai kegiatan operasi dan investasi serta kegiatan ekonomi sampai pada

tingkat pulang modal. Atau dengan kata lain IRR merupakan metode untuk

menghitung tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang investasi dengan

nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa-masa akan datang.

Hasil perhitungan IRR Total menunjukkan nilai sebesar 14,42% pada

pengembangan usaha gas ikutan oleh PT SDK menunjukkan bahwa nilai ini juga

dianggap layak karena memiliki nilai IRR yang lebih besar dari bunga investasi di

bank sebesar 8 % dengan selisih yang cukup signifikan. Hal ini mengandung arti

bahwa jika perusahaan (PT.SDK) memanfaatkan dana pinjaman bank dengan

tingkat suku bunga sebesar 8%, maka perusahaan tersebut masih memiliki

kemampuan untuk mengembalikan modal pinjaman sampai pada batas waktu

yang telah disepakati bersama antara pihak peminjam dengan pihak pemilik

modal. Dalam hal ini antara PT. SDK dan perbankan.

NPV merupakan ukuran nilai sekarang dari arus pendapatan yang

ditimbulkan dari suatu kegiatan penggunaan sumberdaya. Kriteria formal dari

penggunaan NPV adalah bahwa jika NPV bernilai positif, maka kegiatan ekonomi

layak dilakukan, sebaliknya jika NPV bernilai negatif, maka kegiatan ekonomi

Page 148: 2009zra Tesis Doktoral IPB

127

tidak layak dilakukan atau dilanjutkan. Berdasarkan hasil analisis ekonomi yang

hasil perhitungannya tertera pada Tabel 13 menunjukkan bahwa pengembangan

industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat, Indramayu yang

dikelola oleh PT. SDK memperlihatkan penampilan yang cukup baik. Hal ini

dapat dilihat dari nilai NPV yang bernilai positif serta nilai IRR yang lebih besar

dari nilai suku bunga bank. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, maka perusahaan

akan mendapatkan keuntungan bersih sebesar US$ 1.142.174,00 selama jangka

waktu analisis 10 tahun pada faktor diskonto (suku bunga nominal) sebesar 8 %.

Kondisi ini menunjukkan bahwa berdasarkan perhitungan yang didasarkan pada

nilai saat ini, maka penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan

datang akan lebih besar daripada nilai investasi, sehingga perusahaan

memperoleh keuntungan.

Nilai payback investment adalah nilai yang digunakan untuk mengukur

seberapa cepat investasi bisa kembali dimana satuan hasilnya bukan

persentase, tetapi satuan waktu (bulan atau tahun). Berdasarkan hasil

perhitungan nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh nilai

sebesar 5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk payback

loan. Hal ini mengandung arti bahwa waktu yang diperlukan oleh perusahaan

untuk dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan berkisar antara masa tiga

sampai empat tahun. Dengan kata lain bahwa perusahaan dapat

mengembalikan modalnya dalam waktu yang lebih cepat, sebelum masa kontrak

berakhir. Dengan demikian maka pada tahun kelima dan seterusnya

perusahaan akan memperoleh keuntungan sebesar selisih antara hasil penjualan

dengan biaya atau modal yang dikeluarkan. Artinya perusahaan akan

memperoleh keuntungan selama sisa kontrak karena periode payback lebih

pendek daripada masa kontrak perusahaan yaitu selama 10 tahun. Kondisi ini

menunjukkan bahwa penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan

datang akan lebih besar daripada nilai sekarang (pada saat dilakukan investasi),

dengan demikian maka PT SDK akan memperoleh keuntungan jika mau

memanfaatkan gas ikutan dan mengolahnya menjadi lean gas, kondensat atau

LPG.

Hasil perhitungan juga memperlihatkan nilai profitability index sebesar

1,41 (lebih besar dari 1). Berdasarkan nilai-nilai parameter kelayakan

keekonomian proyek seperti telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa

pengembangan industri gas ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat layak secara

Page 149: 2009zra Tesis Doktoral IPB

128

ekonomis. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan gas ikutan akan

mempunyai dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi perusahaan dan

pembangunan daerah.

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas, maka pengembangan

industri gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu akan memberikan

dampak positif bukan saja untuk perusahaan, namun juga terhadap masyarakat

dan lingkungan sekitar. Dalam hal ini, gas ikutan yang tadinya tidak dapat

dimanfaatkan dan seolah tidak berguna, dengan diolah menjadi barang lain,

menjadi bernilai ekonomis sehingga akan menguntungkan pada perusahaan

pengolahnya (Tabel 13). Selain itu dengan dimanfaatkannya gas ikutan, maka

akan menambah jumlah gas yang jumlah persediaannya semakin menipis,

sementara kebutuhannya semakin meningkat. Pemanfaatan gas ikutan juga

mempunyai dampak positif pada masyarakat, karena dengan adanya

pemanfaatan gas ikutan, sudah barang tentu dibutuhkan pekerja, sehingga akan

menjadi peluang membuka lapangan kerja baru.

Adanya pengolahan gas ikutan menjadi LPG merupakan keuntungan

ekonomi yang tidak bisa hanya dilihat dengan sebelah mata. Hal ini disebabkan

adanya konversi dari minyak tanah yang subsidinya sangat tiggi menjadi LPG,

mengakibatkan kebutuhan gas LPG saat ini sangat tinggi. Namun keuntungan

yang didapat bukan sekedar memenuhi kebutuhan LPG akibat dari konversi

minyak tanah menjadi gas LPG, namun juga secara ekonomi akan sangat

menguntungkan, karena untuk memenuhi kebutuhan minyak tanah, pemerintah

harus mengeluarkan subsidi yang begitu besar. Oleh karena itu adanya konversi

minyak tanah ke LPG, akan meminimalisasi subsidi pemerintah dalam

pemenuhan energi di dalam rumah tangga. Selain itu adanya konversi minyak

tanah ke LPG juga mempunyai dampak positif pada berkurangnya biaya

kebutuhan rumah tangga, dan sekaligus mendatangkan keuntungan ekonomi

karena gas ikutan yang biasanya langsung dibuangke lingkungan atau dibakar

dapat bernilai ekonomis karena gas metan dan CO2-nya dapat menjadi

sumberdaya yang bernilai ekonomis.

Dampak positif lainnya juga akan terjadi pada lingkungan. Dalam hal ini

gas ikutan yang biasanya dibuang ke lingkungan atau dibakar sehingga akan

menyumbang bahan pencemar di udara dan sekaligus dilepaskannya gas rumah

kaca (GRK), dengan dimanfaatkan, maka gas ikutan tidak mengakibatkan

terjadinya pencemaran udara dan tidak menyumbang GRK ke atmosfir.

Page 150: 2009zra Tesis Doktoral IPB

129

Mengingat GRK akan berdampak terhadap perubahan iklim global, dan

secara perlahan akan mempengaruhi kehidupan, maka berbagai negara maju

membuat kesepakatan untuk mengurangi emisi yang diwujudkan dalam Protokol

Kyoto dengan tujuan utama untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer.

Protokol ini telah menjadi dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi

emisi gas rumah kaca paling sedikit 5 % dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang

periode 2008 sampai 2012. Protokol Kyoto juga mengatur mekanisme

kerjasama antar negara maju dan negara berkembang dalam melakukan

pembangunan berkelanjutan dengan cara melaksanakan mekanisme

pembangunan bersih (CDM) yang menawarkan win-win solution antara negara

maju dengan negara berkembang dalam rangka pengurangan emisi GRK

(Appenzeller, 2005). Menurut Murdiarso (2003) CDM juga bertujuan untuk

memberi kesempatan kepada negara berkembang yang tidak wajib mereduksi

emisi agar dapat berperan dalam pengurangan GRK, sekaligus memungkinkan

negara Annex I untuk menurunkan emisi GRK secara lebih murah dibandingkan

dengan mitigasi di dalam negerinya sendiri (domestic action). Oleh karenanya,

CDM beserta dengan dua mekanisme lainnya dikenal sebagai mekanisme

fleksibilitas (flexibility mechanisms). Dalam praktek pelaksanaan CDM, terdapat

komoditi yang diperjualbelikan, yakni reduksi emisi GRK tersertifikasi yang biasa

dikenal sebagai CER (certified emission reduction). CER merupakan upaya

negara Annex I dalam memitigasi emisi GRK dengan nilai yang setara dengan

nilai penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dalam rangka pemenuhan

target penurunan emisi GRK negara Annex I seperti yang disepakati dalam

Annex B Protokol Kyoto. Berdasarkan hal tersebut, maka bukan angan-angan

jika pemanfaatan gas ikutan menjadi produk yang bernilai ekonomis ini juga

dapat diajukan dalam skema CDM/menjadi proyek CDM (dapat diikutkan dalam

perdagangan karbon internasional), karena masuk pada kegiatan menurunkan

karbon pada sumbernya (Saloh dan Clogh, 2002). Berdasarkan hal tersebut,

maka seperti halnya hutan sebagai penyimpan karbon (Granda, 2005), maka

pemanfaatan gas ikutan yang bermanfaat untuk menurunkan karbon pada

sumbernya akan semakin meningkatkan keuntungan perusahaan. Selain hal

tersebut, pemanfaatan gas ikutan juga diharapkan dapat ikut mewujudkan tujuan

kebijakan energi yakni menjadikan energi menjadi komoditi yang terjangkau bagi

seluruh rakyat Indonesia dan secara nasional berguna untuk menunjang

pembangunan (Agenda 21 Sektor Energi, 2001).

Page 151: 2009zra Tesis Doktoral IPB

130

Dimanapun dilakukan pembangunan, sudah barang tentu akan ada

dampak negatif terhadap lingkungan, begitupun halnya dengan pemanfaatan gas

ikutan yang dilakukan oleh PT SDK. Dalam hal pemanfaatan gas ikutan ini,

maka dampak negatif yang dapat terjadi adalah munculnya pencemaran

lingkungan baik lingkungan perairan, maupun lingkungan udara di sekitar

kawasan industri. Pencemaran ini pada umumnya akan terjadi akibat dari

limbah-limbah cair yang dihasilkan oleh aktivitas industri (proses pengolahan)

yang setelah diolah ataupun tidak mengalami pengolahan terlebih dahulu masuk

ke dalam ekosistem perairan. Selain pencemaran air masalah lain yang mungkin

timbul dari kegiatan tambahan berupa pemanfaatan gas ikutan adalah adanya

pencemaran udara yang berasal dari proses industri, baik berupa pencemaran

bahan kimia yang berasal dari pembakaran BBM untuk keperluan produksi

maupun munculnya kebisingan.

Pencemaran badan air akibat pembuangan limbah cair yang dihasilkan

dari proses industri ini akan mengganggu kehidupan yang terdapat pada

ekosistem perairan penerima limbah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi

hasil tangkapan nelayan yang melakukan penangkapan di lokasi tersebut. Jika

hasil tangkapan semakin berkurang, maka yang selanjutnya terjadi adalah

munculnya konflik-konflik sosial di masyarakat, yang pada umumnya muncul

dalam bentuk tekanan dari masyarakat terhadap aktivitas industri. Kondisi yang

sama juga akan terjadi jika terjadi pencemaran udara baik yang berasal dari

bahan kimia maupun dari kebisingan. Padahal menurut Hung (2005)

pencemaran secara tidak langsung akan menyebabkan penurunan produktivitas

kerja yang pada akhirnya akan menyebabkan berkurangnya pendapatan, baik

pada para pekerja maupun pada masyarakat sekitar industri.

Berdasarkan hal tersebut, maka hal yang perlu dilakukan untuk

mencegah terjadinya pencemaran adalah melakukan perencanaan yang matang

pada saat investasi, dalam hal ini pada saat perencanaan bukan hanya sekedar

melakukan investasi terhadap kelima hal tersebut di atas, namun juga dari awal

harus sudah direncanakan untuk membuat instalasi pengolah air limbah (IPAL)

sehingga dapat memperbaiki kinerja manajemen lingkungan. Khusus untuk

pencemaran udara, hal yang harus dilakukan adalah memasang alat peredam

suara sehingga akan sangat menurunkan kebisingan dan melakukan

pemasangan filter pada cerobong asap. Selain melakukan minimalisasi

pencemaran, hal yang tidak kalah pentingnya untuk dilakukan adalah perbaikan

Page 152: 2009zra Tesis Doktoral IPB

131

hubungan dengan masyarakat sekitar dan perusahaan juga diharapkan dapat

melakukan program-program corparate social responsibility (CSR).

Adanya pemanfaatan gas ikutan di PT SDK yang diikuti dengan

melakukan pengelolaan terhadap lingkungan, akan berdampak positif bagi

seluruh sektor. Hal ini disebabkan kehadiran industri pengolahan gas ikutan di

Lapangan Tugu Barat Indramayu, Jawa Barat bukan hanya akan memberikan

keuntungan pada perusahaan, namun juga akan memberi manfaat bagi

masyarakat dan pemerintah setempat baik manfaat langsung maupun manfaat

tidaklangsung. Berbagai manfaat yang dapat diperoleh masyarakat maupun

pemerintah dalam pengembangan industri gas ikutan ini seperti penyerapan

tenaga kerja lokal, pemberian bantuan melalui community development

(comdev) atau biasa juga disebut corporate social responsibility (CSR),

pemasukan bagi pemerintah daerah melalui pembayaran pajak dan restribusi,

dan pengembangan ekonomi masyarakat, serta peningkatan kualitas

sumberdaya manusia melalui kegiatan pelatihan dan kegiatan lainnya.

Walaupun pada pemanfaatan gas ikutan terdapat pencemaran yang akan

mengganggu kualitas lingkungan, namun pada penelitian ini, tidak mengukur

secara langsung biaya yang digunakan dalam perbaikan kualitas lingkungan dan

biaya-biaya sosial lainnya yang sebenarnya dapat ditanggung oleh perusahaan

akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh industri (PT. SDK) dalam

menjalankan usahanya (memanfaatkan gas ikutan). Tetapi jika dilihat dari

keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan berdasarkan hasil analisis di atas

menunjukkan bahwa jika perusahaan mengeluarkan biaya-biaya lain untuk

mendukung perbaikan lingkungan dalam rangka menuju mekanisme

pembangunan bersih (CDM) dan perbaikan biaya sosial, mencerminkan

perusahaan masih mendapatkan keuntungan yang besar.

6.4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa industri

pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu

secara ekonomi layak untuk dikembangkan, karena keuntungan bersih yang

diperolehnya bernilai positif dengan tingkat keuntungan bersih (NPV) sebesar

US$ 1.148.174,00 dengan kemampuan mengembalikan modal pinjaman bank

yang besar yaitu lebih besar dari tingkat suku bunga bank sampai pada batas

waktu yang ditetapkan dengan rata-rata IRR berkisar 14,42 % ( IRR total).

Page 153: 2009zra Tesis Doktoral IPB

132

Dilihat dari nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh

nilai sebesar 5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk

payback loan yang berarti bahwa waktu yang diperlukan oleh perusahaan untuk

dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan lebih cepat dari masa kontrak;

atau dengan kata lain perusahaan akan memperoleh keuntungan selama sisa

kontrak karena periode payback lebih pendek daripada masa kontrak

perusahaan yaitu selama 10 tahun. Namun demikian biaya-biaya perlindungan

lingkungan dan biaya sosial yang perlu dikeluarkan oleh perusahaan dalam

menjalankan usahanya dalam penelitian ini belum diperhitungkan.

Page 154: 2009zra Tesis Doktoral IPB

133

Daftar Pustaka

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 259 hal.

Hufschmidt dalam Supranto. J. 2007. Statistik : Teori dan Aplikasi. Jilid I Penerbit

Erlangga. Jakarta-Indonesia.

IPCC. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories

[PT. SDK] PT. Sumberdaya Kelola. 2005. Profil Bisnis LPG Indonesia. PT. Sumberdaya Kelola. Indramayu

_______2005. Penjelasan Umum Proyek Kilang Mini LPG – Tugu Barat. PT.

Sumberdaya Kelola. Indramayu.

Page 155: 2009zra Tesis Doktoral IPB

VII. DISAIN MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN (INTERAKSI EKOLOGI, TEKNO-EKONOMI DAN SOSIAL)

Abstrak

Keberadaan PT. SDK sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di sektor minyak dan gas bumi yang bekerjasama dengan PT. Pertamina memegang peran penting dalam penyediaan energi gas dan peningkatan pendapatan daerah di dalam negeri. Untuk mengetahui besarnya produksi gas ikutan dan sumbangannya terhadap PAD, serta pengaruhnya terhadap lingkungan dibangun suatu model pemanfaatan gas ikutan. Penelitian bertujuan untuk membangun model pemanfaatan gas ikutan di lapangan minyak Tugu Barat, Kabupaten Indramayu. Penelitian menggunakan metode analisis data sistem dinamik dengan bantuan software powersim constructor versi 2.5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial. Hal ini menunjukan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat kelahiran maupun tingginya penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan pada sub model pengolahan gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan deposit gas, maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Dalam hal ini di dalam model terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut mengikuti pola dasar (archetype) “Limit to Growth”. Pengolahan gas ikutan untuk menghasilkan gas hasil olahan seperti LPG, CNG, dan lean gas akan menurunkan jumlah polutan udara seperti CO2, NOx, dan polutan lainnya. Sebaliknya jika tidak dilakukan pengolahan gas ikutan, akan memperbesar polutan udara. Dilihat dari tingkat pendapatan total dan pendapatan asli daerah (PAD) menunjukkan adanya peningkatan setiap tahun dengan meningkatnya produksi gas ikutan. Pada tahun 2025 diproyeksikan pendapatan total perusahaan dalam memproduksi gas ikutan (LPG, CNG, lean gas, dan CO2) akan mencapai nilai sebesar Rp. 658.221.255.663,00 Kata kunci : Model, gas ikutan, sistem dinamik, PAD

7.1. Pendahuluan Pemanfaatan gas ikutan sebagai salah satu sektor usaha yang strategis

dan produktif dalam pembangunan di Indonesia memberikan pengaruh yang

sangat besar terhadap penyediaan energi nasional ditengah krisis energi yang

terjadi saat ini. Di sisi lain pemanfaatan gas ikutan sangat membantu pemerintah

dalam rangka menggalakkan program diversifikasi energi dan penghematan

bahan bakar minyak (BBM). Selain lebih harga gas lebih murah dibandingkan

dengan bahan bakar minyak dan ramah lingkungan, serta dapat menghemat

devisa negara. Menurut Suzeta (2007), kebijakan diversifikasi energi dengan

memanfaatkan sumber energi alternatif seperti gas dapat menghemat devisa

Page 156: 2009zra Tesis Doktoral IPB

135

negara sekitar Rp.30 triliun per tahun karena adanya pengurangan subsidi

minyak. Berdasarkan hasil perhitungan pada tahun 2006, bahwa jika kebijakan

diversifikasi minyak berhasil dengan baik, maka anggaran subsidi yang sedianya

dianggarkan sebesar Rp 54 triliun akan turun menjadi Rp.24 triliun.

Keberadaan PT. SDK bekerjasama dengan PT. Pertamina turut

memegang andil yang besar dalam penyediaan sumberdaya energi yang berasal

dari gas. Saat ini, melalui perpanjangan kontrak kerjasama dengan pihak PT.

Pertamina, PT. SDK bermaksud untuk memperluas usahanya dalam rangka

meningkatkan produksi gas di Indonesia baik untuk kepentingan dalam negeri

maupun untuk kepentingan ekspor. Jika dilihat dari cadangan gas di Indonesia

diproyeksikan bahwa reserve to production ratio untuk gas masih dapat

memenuhi sekitar 68 tahun ke depan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa

sampai saat ini, Indonesia masih mengimpor gas untuk memenuhi kebutuhan

akan gas dalam negeri apalagi dengan keluarnya kebijakan pengalihan

penggunaan bahan bakar minyak ke gas untuk kebutuhan rumah tangga

semakin mempertinggi kebutuhan impor akan gas. Melihat besarnya potensi

cadangan gas Indonesia dan besarnya kebutuhan akan gas, memberi peluang

PT. SDK dan industri lainnya untuk mengembangkan industri gas di Indonesia.

Pengembangan industri gas tersebut seperti PT. SDK, selain berdampak

pada peningkatan stok gas di dalam negeri, juga dapat memberikan sumbangan

yang besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dan keuntungan bagi

perusahaan itu sendiri. Di sisi lain, pengembangan industri gas juga akan

memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar yaitu dengan adanya

gas buang yang dihasilkan sebagai hasil pembakaran dari proses produksi yang

sedang berlangsung. Untuk melihat kemampuan produksi gas khususnya PT.

SDK dalam memproduksi gas ikutan di lapangan produksi minyak Tugu Barat

Indramayu dan dampaknya terhadap pendapatan total perusahaan, serta

pendapatan asli daerah (PAD) dan lingkungan sekitar, perlu dibangun suatu

model pemanfaatan gas ikutan. Penelitian bertujuan untuk membangun model

pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu

7.2. Metode Analisis Disain Model Pemanfaatan Gas Ikutan Disain model pengelolaan eksploitasi gas bumi yang berkelanjutan akan

dibangun dengan menggunakan metode analisis sistem dinamik dengan

bantuan software powersim constructor versi 2.5. Analisis sistim dinamik

Page 157: 2009zra Tesis Doktoral IPB

136

digunakan untuk mengetahui potensi perilaku variabel-variabel indikator

keterpaduan dan keberlanjutan seperti disebutkan di atas dalam kurun waktu ke

depan. Analisis ini dibangun dengan mengembangkan model simulasi. Prinsip

model dinamik adalah mengembangkan dua atau lebih variabel yang berkaitan

secara dinamik dan simultan sebagaimana digambarkan pada persamaan order

satu berikut ini.

),(

),(),(

yxgdtdyy

yxgyxfdtdxx

==

−==

&

&

Persamaan di atas mengandung dua variabel yaitu x dan y yang bergerak

secara simultan dan berinteraksi sata sama lain melalui persamaan derivative

terhadap waktu (ordinary differential equation). Kedua persamaan di atas dapat

dipecahkan untuk menentukan trajectory atau lintasan variabel terhadap waktu

dengan mencari solusi homogen dimana diasumsikan sistim dalam kondisi

keseimbangan melalui 0,0 == yx && . Kedua solusi x dan y tersebut kemudian

dapat dilihat keseimbangan nya dengan cara melakukan linierisasi. Linearisasi

pada titik keseimbangan *X dan xd& ditulis sebagai berikut :

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

=⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡*

*

yx

dyyd

dxyd

dyxd

dxxd

yx

&&

&&

&

&

Dalam model sistim dinamik, variabel x dan y bisa saja variabel ekonomi

dan lingkungan maupun infrastruktur yang saling berinteraksi satu sama lain.

Ketika lebih dari dua varibel berinteraski, maka model menjadi kompleks

sehingga umumnya model dinamik diimplementasikan ke dalam model simulasi.

Disain model dilakukan dengan dengan tahapan-tahapan analisis kebutuhan,

formulasi masalah, identifikasi sistem, simulasi model, dan validasi model.

a. Analisis kebutuhan (Needs Analysis) Model pengelolaan gas ikutan yang berwawasan lingkungan dan

berkelanjutan dalam operasionalisasinya harus dapat memenuhi kebutuhan

stakeholders secara optimal. Adapun pelaku/stakeholders yang terlibat dalam

perencangan model pemanfaatan gas ikutan yang berwawasan lingkungan dan

berkelanjutan adalah sebagai berikut:

Page 158: 2009zra Tesis Doktoral IPB

137

1. Pengelola industri areal Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP)

PT.Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region Jawa Area Operasi

Timur dan Wilayah Kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola (SDK)

Kelurahan/Desa Amis Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu Propinsi

Jawa Barat, yaitu manajemen kawasan industri pengolahan gas ikutan yang bertanggung jawab secara teknis terhadap kelancaran operasi industri

dan kualitas lingkungan.

2. Pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, yaitu:

lembaga otoritas lokal dan nasional yang memegang kebijakan di dalam

areal Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) PT.Pertamina EP (Eksplorasi

dan Produksi) Region Jawa Area Operasi Timur dan Wilayah Kerja (WK)

PT.Sumber Daya Kelola (SDK) Kelurahan/Desa Amis Kecamatan

Cikedung Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat.

3. Pengusaha yang menginvestasikan modal di areal Wilayah Kuasa

Pertambangan (WKP) PT.Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region

Jawa Area Operasi Timur dan Wilayah Kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola

(SDK) Kelurahan/Desa Amis Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu

Propinsi Jawa Barat

4. Masyarakat, baik sebagai karyawan maupun masyarakat yang berdomisili

di sekitar lokasi penelitian.

5. LSM yang memperhatikan masalah-masalah lingkungan.

6. Perbankan atau lembaga keuangan bukan bank yang akan membiayai

proyek pemanfaatan gas ikutan menjadi barang yang bernilai ekonomis.

b. Formulasi Masalah (Problem Formulation)

Pemanfaatan gas ikutan pada industri minyak dan gas bumi selain

memiliki dampak negatif yang dapat mencemari lingkungan, juga memiliki

potensi konflik kepentingan didalam pemanfaatannya. Adanya konflik

kepentingan ini, jika tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan sangat bijaksana

dapat menimbulkan berbagai dampak negatif yang dapat merugikan baik secara

ekonomi, sosial maupun ekologi. Oleh karena itu, dalam mendisain model

pemanfaatan gas ikutan pada industri minyak dan gas bumi yang berwawasan

lingkungan dan berkelanjuta, dapat diformulasikan beberapa permasalahan

berdasarkan hasil evaluasi dari adanya keterbatasan sumberdaya yang dimiliki

dan konflik kepentingan diantara stakeholders. Adapun permasalahan

pemanfaatan gas ikutan di lokasi penelitian diformulasikan sebagai berikut :

Page 159: 2009zra Tesis Doktoral IPB

138

1. Keterbatasan kepemilikan, keterbatasan lahan dan akses permodalan untuk

kegiatan operasi dan pengembangan usaha dalam menyediakan lahan

2. Keterbatasan sumberdaya manusia dalam pengetahuan peralatan dan

teknologi konversi/pengolahan gas ikutan yang berdampak pada rendahnya

inovasi dan kreativitas pengolahan gas ikutan.

3. Keterbatasan kemampuan investor menerapkan teknologi berwawasan

lingkungan pada setiap proses produksi yang masih tetap berakibat pada

tingginya tingkat pencemaran.

4. Perencanaan saat ini yang masih bersifat sektoral dan parsial, belum dapat

mengakomodisasi kebutuhan stakeholders, sehingga kerjasama lintas

sektoral masih rendah.

5. Tekanan penduduk dan tuntutan perkembangan ekonomi daerah yang

semakin dinamis, serta tingginya permintaan konsumsi barang,

mengakibatkan permintaan terhadap lapangan kerja dan jumlah angkatan

kerja.

6. Hukum dan kelembagaan yang saat ini masih belum bersifat operasional dan

dalam pelaksanaannya yang belum konsisten

7. Masih adanya keterbatasan infrastruktur usaha seperti : perijinan,

komunikasi, perpajakan, retribusi berdampak kurang kondusifnya iklim usaha.

c. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem pada dasarnya merupakan hubungan antara pernyataan

dari kebutuhan dengan pernyatan khusus dari masalah yang akan diselesaikan

dalam rangka mencukupi kebutuhan dan digambarkan dalam bentuk diagram

lingkar sebab akibat untuk perancangan model dari sistem yang dikaji.

Identifikasi sistem model pemanfaatan gas ikutan yang berwawasan lingkungan

direpresentasikan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop) dan

kotak hitam (black box).

C.1. Diagram Lingkar Sebab Akibat (Causal Loop Diagram) Diagram lingkar sebab akibat adalah bahasa gambar yang

mengungkapkan kejadian hubungan sebab akibat, yang dibuat dalam bentuk

garis panah yang saling mengait, sehingga membentuk sebuah diagram lingkar

sebab akibat. Pangkal panah yang terdapat pada diagram ini menyatakan

penyebabnya sedangkan ujung panahnya menyatakan akibatnya.

Page 160: 2009zra Tesis Doktoral IPB

139

PAD

Eksploitasimigas

Pengolahangas ikutan

+

+

+

Flare

+

+Pencemaranlingkungan

-

-

PendapatanPerusahaan

Penduduk

+

+

-

Hubungan sebab akibat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

hubungan positif dan hubungan negatif. Hubungan positif adalah hubungan

sebab akibat dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin besar pula

nilai faktor akibat, sedangkan hubungan negatif adalah hubungan sebab akibat

dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin kecil nilai dari faktor

akibat. Dampak atau akibat dari suatu sebab dapat mempengaruhi balik sebab

tersebut, sehingga terdapat hubungan sebab akibat yang memiliki arah

berlawanan dengan hubungan sebab akibat yang lain. Dalam hal ini terbentuk

suatu umpan balik tertutup, yang sering kali disebut sebagai loop. Loop adalah

suatu akibat yang dibalikkan ke penyebabnya, sehingga terbentuk apa yang

dinamakan umpan balik atau feed back loop (Aminullah, et al. 2001).

Umpan balik dapat dibedakan atas dua macam yaitu umpan balik positif

dan umpan balik negatif. Suatu umpan balik disebut positif bila perkalian tanda

dari hubungan sebab akibat yang membentuknya adalah positif, sedangkan bila

hasilnya negatif maka umpan balik tersebut disebut umpan balik negatif. Umpan

balik dapat terjadi secara alamiah maupun karena adanya suatu kebijakan yang

diterapkan pada sistemnya. Suatu umpan balik menyatakan mekanisme

perubahan nilai faktor secara otomatis. Umpan balik positif memberikan

penguatan terhadap perubahan yang terjadi, sehingga nilai perubahan tersebut

makin lama makin besar. Sebaliknya umpan balik negatif memberikan

pelemahan terhadap perubahan yang terjadi, sehingga nilai perubahan tersebut

makin lama makin kecil dan akhirnya hilang. Adapun diagram sebab akibat

seperti pada Gambar 36.

Gambar 36. Diagram sebab akibat (causal loop) model pemanfaatan gas ikutan

di perusahaan migas.

Page 161: 2009zra Tesis Doktoral IPB

140

Pada model pemanfaatan gas ikutan yang berwawasan lingkungan ini

keterkaitan hubungan antar faktor yang saling berinteraksi dalam penyusunan

model dibuat berdasarkan variabel kombinasi dari hasil analisis kondisi saat ini

dan dari analisis kebutuhan stakeholders.

c.2. Diagram Input-Output (Black Box)

Diagram input-output menggambarkan hubungan antara peubah

masukan dan keluaran melalui proses tranformasi yang digambarkan sebagai

kotak hitam. Pada diagram ini terdapat dua macam input yakni input yang

terkendali dan input yang tidak terkendali. Selain input juga terdapat output yang

juga terdiri dari dua macam output atau keluaran yang dikehendaki dan keluaran

yang tidak dikehendaki. Untuk lebih jelasnya diagram input-output ini dapat

dilihat pada Gambar 37.

Gambar 37. Diagram input - output model pemanfaatan gas ikutan di

perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih.

Input Tak Terkendali : 11.. PPeerrmmaassaallaahhaann lliinnggkkuunnggaann gglloobbaall 22.. TTeerrjjaaddiinnyyaa ggaass rruummaahh kkaaccaa 33.. PPeerrsseeddiiaaaann mmiiggaass ddaallaamm ppeerruutt bbuummii 44.. MMoobbiilliittaass PPeenndduudduukk

Input Terkendali : 1. Potensi gas suar bakar 2. Teknologi pengolahan 3. Modal pengembangan 4. Tenaga kerja yang terserap 5. Managemen dan pengawasan gas 6. proporsi produk olahan gas ikutan 7. Kapasitas unit produksi 8. Sarana dan prasarana

Output Yang Dikehendaki : 1. Adanya kebijakan pemanfaatan gas suar bakar 2. Penurunan Emisi 3. Terpeliharanya kualitas lingkungan 4. Bertambahnya keuntungan perusahaan 5. Penyerapan tenaga kerja 6. Gas ikutan menjadi bernilai ekonomis 7. Pematuhan hukum UULH

Model pengelolaan gas suar bakar yang berkelanjutan

Output Yang Tidak Dikehendaki : 1. Investasi industri berkurang 2. Gas suar bakar terbuang ke lingkungan 3. Peningkatan biaya operasional 4. Menurunnya keuntungan perusahaan 5. Terjadinya pencemaran lingkungan 6. Tingginya tingkat pengangguran 7. Terjadi konflik (land use & stakeholders) 8. Inefisiensi infrastruktur

Manajemen Pengendalian (feed back)

Input Lingkungan :1. Peraturan/perundangan migas 2. Peraturan/perundangan LH

Page 162: 2009zra Tesis Doktoral IPB

141

d. Simulasi Model

Simulasi merupakan proses penggunaan model untuk meniru perilaku

secara bertahap dari sistem yang dipelajari (Grant et al., 1997). Simulasi

merupakan eksperimentasi yang menggunakan model suatu sistem dengan

analisis sistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perilaku terhadap

sistem yang diteliti dan kegagalan seperti yang terjadi pada eksperimen biasa.

Siswosudarmo et al., (2001), menjelaskan bahwa simulasi adalah peniruan

perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala

atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau

proses tersebut di masa depan. Ada beberapa fase dalam analisis simulasi

model seperti yang dikemukakan oleh Purnomo (2005), sebagai berikut :

1. Identifikasi indikator/isu/masalah, tujuan dan batasan

Identifikasi indikator/isu atau masalah dan batasan dilakukan untuk

mengetahui dimana sebenarnya pemodelan perlu dilakukan. Hal ini dilakukan

untuk menetukan indikator hipotetikal sebanyak 10 indikator. Setelah isu

ditentukan, selanjutnya menentukan tujuan pemodelan menyangkut metode

pemodelan, ketelitian model dan jenis model yang dinyatakan secara

eksplisit. Setelah isu dan masalah berikutnya menentukan batasan terhadap

permodelan yang dilakukan.

2. Konseptualisasi model dengan menggunakan ragam metode seperti diagram

kotak dan panah, diagram sebab-akibat, diagram stok (stock) dan aliran

(flow) atau diagram klas dan diagram sekuens.

Tahapan ini dimulai dengan mengidentifikasi semua komponen yang

terlibat atau dimasukan dalam pemodelan. Jika melalui komponen tersebut

banyak maka dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori. Komponen-

komponen tersebut kemudian mencari hubungannya satu sama lain dengan

menggunakan diagram kotak dan panah

Dalam konseptualisasi model ini, perlu diperhatikan bahwa

komponen-komponen yang membentuk sistem harus dinamis, sensitif

terhadap perubahan serta keterkaitannya dalam sistem membentuk

hubungan sebab-akibat. Identifikasi keterkaitan komponen tersebut

didasarkan pada keadaan nyata agar hasil yang digambarkan model tersebut

mendekati keadaan sebenarnya.

3. Spesifikasi model dengan merumuskan makna diagram, kuantifikasi dan atau

kualifikasi komponen indikator yang diperlukan

Page 163: 2009zra Tesis Doktoral IPB

142

Spesifikasi model kuantitatif, bertujuan untuk membentuk model

kuantitatif dari konsep model yang telah ditetapkan dengan memberikan nilai

kuantitatif terhadap masing-masing variabel/indikator dan menterjemahkan

hubungan atau keterkaitan antar 10 variabel/indikator dan komponen

penyusunan model sistem tersebut kedalam persamaan matematika.

Persamaan tersebut dapat diperoleh dari hasil regresi terhadap data yang ada,

hasil rujukan atau berdasarkan rekaan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Secara rinci tahapan dalam spesifikasi model kuantitatif terdiri dari :

Memilih dan menentukan struktur kuantitas model

Menentukan satuan waktu dalam simulasi

Identifikasi bentuk-bentuk fungsional dan persamaan model

4. Evaluasi model yaitu mengamati kelogisan model dan membandingkan

dengan dunia nyata atau model yang serupa jika ada dan diperlukan

Evaluasi model bertujuan untuk mengetahui keterhandalan model untuk

mendikripsikan keadaan sebenarnya. Proses pengujian dilakukan dengan

mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau

model andal yang serupa jika ada. Setelah setiap dari model diamati apakah

relasi-relasi yang ada logis atau tidak, maka selanjutnya diamati logis tidaknya

keterkaitan antar bagian sebagai model yang utuh. Logis dalam hal ini berarti

bahwa semua persamaan sesuai dengan apa yang dipercayai orang atau

dengan kata lain sesuai dengan paradigma yang ada. Tahapan kedua dari

evaluasi model ini adalah mengamati apakah perilaku model sesuai dengan

harapan atau perkiraan yang digambarkan pada tahapan konseptualisasi model.

Model dijalankan atau dieksekusi pada sebuah komputer, dan diamati hasilnya

apakah beberapa komponen yang diamati atau menjadi fokus perhatian sesuai

dengan pola perilaku perilaku yang diharapkan. Tahapan ketiga adalah

membandingkan periaku model dengan data yang diperoleh dari sistem atau

dunia nyata. Jika dalam model terdapat fungsi-fungsi bilangan acak, maka model

harus dieksekusi sebanyak 30 kali untuk mengamati keragaman hasil

pemodelan tersebut.

e. Validasi Model

Validasi model dapat dilakukan dua pengujian yaitu uji validasi struktur

dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan

pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran, sedangkan uji validasi kinerja

lebih menekankan pemeriksaan kebenaran yang taat data empiris. Model yang

Page 164: 2009zra Tesis Doktoral IPB

143

baik adalah yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris (logico-

empirical).

e.1. Uji validitas struktur Uji ini dilakukan untuk mengetahui struktur model dengan konsep teori

empirik. Secara empirik, perkembangan permukiman dipengaruhi oleh jumlah

penduduk, sarana dan prasarana, interaksi sosial budaya, perkembangan

ekonomi dan aktivitas dan mobititas masyarakat.

e.2. Uji validitas kinerja

Uji validitas kinerja ini dilakukan untuk mengetahui apakah model yang

dikembangkan dapat diterima secara akademik atau tidak. Pengujian dilakukan

dengan cara memvalidasi output model, yaitu dengan membandingkan output

model dengan data empirik. Ada beberapa teknik uji statistik yang dapat

digunakan antara lain AME (absoulte mean error) dan AVE (absolut variation

error). Batas penyimpangan yang dapat ditolerir adalah 5% - 10%.

f. Uji Sensivitas Model Uji sensivitas model merupakan respon model terhadap suatu stimulus.

Respon ini ditunjukkan dengan perubahan perulaku dan/atau kinerja model.

Stimulus diberikan dengan memberikan perlakuan tertentu pada unsur atau

struktur model. Berikut ini langkah-langkah penerapan uji sensitivitas terhadap

indikator-indikator pengelolaan hutan alam produksi ada lima yaitu :

- Identifikasi alternatif intevensi, yaitu melihat intervensi apa perlu dilakukan

untuk mencapai kinerja model yang diinginkan pada waktu mendatang. Untuk

itu perlu dilihat dulu hasil simulasi tanpa intervensi, yaitu mengamati apakah

kecendurangan kinerja model masih terkendali dan mantap, atau justru

memperlihatkan kecendurangan melampaui batas (overshot) dan/atau

bergejolak (oscillation). Jika kejadiannya adalah kecenderungan kinerja

model masih terkendali dan mantap, bukan berarti tidak diperlukan intervensi,

karena lingkungan sistem masa datang terus berubah dengan cepat.

- Uji sensitivitas intervensi terhadap penggunaan paramater input dan

intervensi struktur model sehingga menghasilkan output dengan intervensi

atau normal.

- Analisis dampak intervensi, yaitu melihat secara kuantitatif berapa besar dan

kapan dampak intervensi menunjukkan hasil.

Page 165: 2009zra Tesis Doktoral IPB

144

- Hasil uji parameter/indikator kemudian dievaluasi dengan maksud memilih

tiga diantara yang paling sensitif dari sepuluh indikator pada langkah

identifikasi indikator/masalah maupun atau isu-isu.

- Selanjutnya mensimulasikan dan mengamati hasil dan dampaknya pada

keseluruhan kinerja unsur dalam sistem. Perubahan sifat dampak bersifat

dinamis yang dinyatakan dalam prosentase fungsi waktu dan pola

kecanderungan hasil dan dampak intervensi adalah bersifat non-linier. Hal

tersebut akan di uji dengan fasilitas uji sensitivitas variabel/indikator dengan

menggunakan perangkat lunak powersim constructor 2,5, hal ini digunakan

untuk mengantisipasi perubahan parameter yang mungkin terjadi dalam

dunia nyata.

- Kemudian menentukan dua sampai tiga indikator/variabel yang paling sensitiv

terhadap respon intervensi.

- Menguji hasil model yang telah dikembangkan (mensimulasikan) di lapangan

dengan mengukur nilai normal indikator dan melakukan intervensi serta

mengamati perbahan nilai indikator.

Penggunaan model yaitu membuat skenario-skenario ke depan atau

alternatif kebijakan kemudian mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan

tersebut dan pengembangan perencanaan dan agenda kedepan. Model yang

telah dibentuk digunakan untuk mencapai tujuan pembentukannya. langkah pertama

adalah membuat daftar panjang semua skenario yang mungkin dapat dibuat dari

model yang dikembangkan. Semua skenario tersebut disimulasikan, kemudian hasil

simulasi tersebut dicoba untuk dipahami. Dari hasil simulasi tersebut kemudian

dibuat daftar pendek yang memenuhi tujuan pemodelan. Dari daftar pendek tersebut

dilakukan penajaman untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkan, seperti makna

yang lebih rinci dari skenario tersebut dan bagaimana hubungannya dengan

komponen-komponen yang diubah-ubah untuk memenuhi skenario tersebut.

Langkah kedua adalah menganalisis hasil simulasi skenario tersebut. Hasil

analisis simulasi tiap skenario akan dipakai untuk membuat peringkat skenario -

skenario tersebut yang mencerminkan urutan skenario yang lebih cocok untuk

diterapkan sesuai dengan model yang dikembangkan. Tahapan terakhir adalah

merumuskan skenario tersebut menjadi opsi atau pilihan kebijakan.

Page 166: 2009zra Tesis Doktoral IPB

145

7.3. Hasil dan Pembahasan Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Kabupaten Indramayu

7.3.1. Simulasi Model Pemanfaatan Gas Ikutan

Simulasi model pemanfaatan gas ikutan dilakukan untuk mengetahui

respon tingkat pertumbuhan penduduk Kabupaten Indramayu yang disebabkan

oleh aktivitas industri pemanfaatan gas ikutan, dan dampak terhadap keuntungan

perusahaan dan lingkungan sekitar. Simulasi model dinamik ini dibangun melalui

logika hubungan antara komponen yang terkait dan interaksinya. Komponen-

komponen yang terkait adalah pertumbuhan penduduk, jumlah gas ikutan, jumlah

gas hasil pengolahan gas ikutan seperti LPG, lean gas, kondensat, dan CO2,

pendapatan terhadap daerah (PAD), dan dampaknya terhadap lingkungan.

Sumilasi model yang dibangun terdiri atas empat sub model yaitu (1) sub model

pertumbuhan penduduk, (2) sub model pengolahan gas ikutan (3) sub model

ekologi (lingkungan) dan (4) sub model ekonomi. Adapun perilaku model dinamik

pemanfaatan gas ikutan di Lapangan minyak Tugu Barat dianalisis dengan

menggunakan program powersim constructor versi 2.5 dengan struktur model

seperti pada Gambar 38 dan formula pada Lampiran 2.

Gambar 38. Struktur model dinamik pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu.

laju_flare

fr_H2S fr_CO2

laju_pengurangan_gas_pollaju_pertambahan_gas_ikutan

Laju_pengolahan

gas_terbakar

fr_prespitasi

gas_ikutan

exploitasi_minyak

lj_emigrasi

laju_imigrasi

fr_CNG

harga_CNG harga_LPG

pendapatan_dari_LPGpendapatan_dari_CNG

harga_lean_gas

pendapatan_dari_prod_CO2

harga_produk_CO2

Gas_olahan

pendapatan_dari_Lean_Gas

fr_LPG

fr_flare

pol_H2S pol_lain

fr_pol_lain

pol_CO2

fr_gas_ikutan

laju_kelahiran

lj_kematian

total_cemaran_flareJML_PDDK

faktor_klhr_krn_pencmr

fr_emigrasi

fr_immigrasi

jumlah_KK

faktor_umur_krn_pencmr

status_pencmr_udarastatus_pencmr_lingk

status_pencmr_udara_akibat_flare

status_pencemaran_lain status_pencmr_udara_sumber_lain

umur_rata2

fr_lahir

LPG

IINDUSTRI

fr_pertamh_ind

laju_pengurangan_industri

fr_pengurangan_ind

laju_pertumbuhan_industri

fr_KKfr_LPG_KK

kebutuhan_LPG_RT

kebut_LPG_Tot

fr_kebut_LPG_ind

fr_ind_pengguna_LPG

kebut_LPG_ind

fr_LPG_industri

LPG_dari_industri

Total_Pasokan_LPG

kekurangan_pasok_LPG

Lean_GasCO2

industr_pengguna_CNG

kebutuhan_CNG

proporsi_diolah

CNG

pendapatan_total

fr_olahCO2

laju_prod_CO2

fr_leankap_prod_CO2

kap_prod_Lean_Gas

laju_prod_lean

kap_prod_CNG

laju_prod_CNG

kap_prod_LPG

laju_prod_LPG

LPG

fr_kebut_CNG_per_ind fr_ind_pengg_CNG

CNG

kekurangan_pasok_CNG

industr_pengguna_Lean_Gasfr_ind_pengg_Lean_Gas

Lean_Gasfr_kebut_Lean_per_ind

kebutuhan_Lean_Gas

kekurangan_pasok_Lean_Gas

CO2

kekurangan_pasok_Co2

kebutuhan_CO2

fr_kebut_CO2_per_indfr_ind_pengg_CO2

industr_pengguna_CO2

pajak_industri

PAD

Page 167: 2009zra Tesis Doktoral IPB

146

Peningkatan jumlah penduduk berimplikasi pada peningkatan kebutuhan

akan bahan bakar minyak untuk kebutuhan hidup masyarakat sehingga

menyebabkan peningkatan eksploitasi migas. Dalam operasional konvensional,

peningkatan eksploitasi migas menyebabkan peningkatan aktivitas flare yang

selanjutnya meningkatkan bahan cemaran bagi lingkungan. Peningkatan

pencemaran lingkungan akan menurunkan aktivitas eksploitasi migas dan

kesehatan masyarakat yang lebih lanjut menurunkan laju pertambahan jumlah

penduduk. Dengan adanya teknologi pengolahan gas ikutan, eksploitasi migas

akan meningkatkan aktivitas pengolahan gas ikutan. Pengolahan gas ikutan

selanjutnya akan menurunkan aktivitas flare dan meningkatkan pendapatan

perusahaan. Dampak selanjutnya adalah peningkatan PAD dan kesejahteraan

masyarakat yang cenderung memperpanjang harapan hidup dan angka kelahiran

sehingga meningkatkan jumlah penduduk. Asumsi yang digunakan dalam

pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu antara lain:

1. Laju kelahiran normal di Jawa Barat dan DKI Jakarta adalah 1.2%

2. Ada pengaruh tingkat pencemaran lingkungan terhadap angka kelahiran

3. Laju imigrasi normal adalah 3,5%

4. Harapan hidup rata-rata penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta adalah 80

tahun

5. Ada pengaruh tingkat pencemaran lingkungan terhadap harapan hidup

masyarakat

6. Angka emigrasi normal adalah 1%

7. Tingkat pencemaran lingkungan dipengaruhi oleh aktivitas flare pada

eksploitasi migas

8. Pengolahan gas ikutan akan menambahkan tingkat pendapatan perusahaan

dan menurunkan tingkat pencemaran lingkungan

9. Proporsi gas ikutan yang diolah dipengaruhi oleh kemampuan mengolah

yang ditentukan oleh tingkat pendapatan perusahaan.

a. Sub Model Pertumbuhan Penduduk Analisis model dinamik pemanfaatan gas ikutan dilakukan untuk 24 tahun

yang akan datang dimulai pada tahun 2002 sampai pada tahun 2025. Jumlah

penduduk Jawa Barat dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk dan

komponen migrasi penduduk. Laju pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh

Page 168: 2009zra Tesis Doktoral IPB

147

angka kelahiran dan kematian penduduk. Angka kelahiran ditentukan oleh

tingkat fertilitas pasangan usia subur, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan di mana pasangan tersebut tinggal. Angka kematian ditentukan oleh

umur rata-rata masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan. Pada lingkungan

dengan kandungan CO2 tinggi berpeluang memperpendek umur penduduk yang

tinggal di kawasan tersebut sebaliknya pada komposisi CO2 yang lebih rendah

berpeluang memperpanjang usia harapan hidup akibat terciptanya lingkungan

yang lebih baik. Pada model yang yang dibangun memperlihatkan adanya

keterkaitan negatif antara tingkat pencemaran lingkungan dengan angka

kelahiran, dan keterkaitan positif antara tingkat pencemaran lingkungan dengan

angka kematian. Selain itu, angka kelahiran dan kematian juga dipengaruhi oleh

tingkat kepadatan penduduk. Kepadatan yang semakin tinggi menyebabkan

angka kelahiran semakin rendah, tetapi harapan hidup menjadi semakin singkat.

Hubungan pertumbuhan penduduk ini merupakan hubungan timbal balik negatif

(negative feedback) melalui proses balancing dan hubungan timbal balik positif

melalui proses reinforcing.

Pertumbuhan penduduk Jawa Barat juga dipengaruhi tingkat imigrasi dan

emigrasi. Tingginya laju imigrasi penduduk dipengaruhi oleh aktivitas industri di

sekitar kawasan. Adanya industri di suatu kawasan maka orang akan datang ke

kawasan tersebut baik untuk berusahan di sekitar industri ataupun datang karena

bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Hubungan antar komponen yang

membangun sub model pertumbuhan penduduk di Jawa Barat dapat dilihat pada

Gambar 39.

Gambar 39. Struktur model dinamik pertumbuhan penduduk di Jawa Barat

Pertumbuhan populasi penduduk Jawa Barat sepeti pada Gambar 37

menunjukkan kecenderungan pertumbuhan mengikuti kurva eksponensial pada

fr_emigrasi

fr_immigrasi

umur_rata2

faktor_umur_krn_pencmr

fr_lahirstatus_pencmr_lingk

faktor_klhr_krn_pencmrlaju_kelahiran

lj_kematianlj_emigrasi

laju_imigrasi

JML_PDDK

Page 169: 2009zra Tesis Doktoral IPB

148

Time

JML_

PD

DK

2,005 2,010 2,015 2,020 2,025

40,000,000

50,000,000

60,000,000

tahun simulasi 2002 sampai tahun 2025. Pertumbuhan eksponensial terjadi

akibat dari pertumbuhan positif penduduk (positive growth) yang lebih besar

dibandingkan pertumbuhan negatif (negative growth) dengan laju peningkatan

yang semakin berkurang. Hal tersebut disebabkan laju pertumbuhan penduduk

yang berasal dari angka kelahiran dan penduduk pendatang jauh lebih besar dari

pertumbuhan tingkat kematian penduduk dan laju perpindahan penduduk keluar

dari Provinsi Jawa Barat.

Gambar 40. Simulasi pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Barat dan DKI

Jakarta periode 2002 – 2025

Pada Gambar 40 terlihat bahwa pertumbuhan penduduk Jawa Barat pada

tahun simulasi 2002 sampai 2025 yang terus meningkat. Namun karena

keterbatasan sumberdaya terutama sumberdaya lahan yang semakin sempit dan

menjadi faktor pembatas terhadap pertumbuhan penduduk, maka pada suatu

saat pertumbuhan penduduk di Jawa Barat akan menuju pada suatu titik

keseimbangan tertentu (stable equilibrium). Hal ini sesuai dengan konsep limit

to growth dan dalam model dinamik disebut mengikuti pola dasar “archetype”

limit to growth (Muhammadi et al., 2001).

Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat pada tahun 2001 adalah sebesar

36.914.883 jiwa dan pada tahun 2025 diproyeksikan akan meningkat menjadi

66.076.041,2 jiwa. Adapun simulasi pertumbuhan penduduk Jawa Barat seperti

pada Tabel 14.

Tingginya tingkat pertumbuhan di Jawa Barat disebabkan oleh tingginya

laju tingkat kelahiran dan imigrasi yang datang ke Jawa Barat. Hal ini terlihat

Page 170: 2009zra Tesis Doktoral IPB

149

pada tahun 2002, laju kelahiran penduduk hanya sekitar 416.585,93 dan terus

meningkat menjadi 700.555,91 pada tahun 2025. Hal yang sama diikuti oleh laju

imigrasi penduduk. Pada tahun 2002 laju imigrasi baru mencapai 1.292.020,91

dan terus mengalami peningkatan sampai pada tahun 2025 yang mencapai

2.312.661,44. Hal sebaliknya terjadi pada tingkat kematian dan emigrasi

penduduk sebagai penyebab berkurangnya pertumbuhan penduduk. Namun laju

pengurangan penduduk akibat kematian dan emigrasi tersebut lebih kecil

dibandingkan dengan tingkat kelahiran penduduk. Hal ini yang menyebabkan

bentuk kurva mengikuti kurva pertumbuhan eksponensial. Pada tahun 2002 laju

kematian penduduk sekitar 404.111,83 dan terus meningkat sampai pada tahun

2025 yang mencapai nilai 627.292,61. Laju emigrasi, pada tahun 2002 mencapai

nilai 369.148,83 dan terus naik sampai pada tahun simulasi 2025 sebesar

660.760,41.

Tabel 14. Perkembangan penduduk Jawa Barat dan DKI (tahun simulasi 2002 – 2025)

Page 171: 2009zra Tesis Doktoral IPB

150

b. Sub Model Pengolahan Gas Ikutan Stock flow diagram (SFD) sub model pengolahan gas ikutan yang

menggambarkan hubungan beberapa komponen seperti jumlah gas ikutan, gas

olahan, CO2, lean gas, CNG, dan LPG, serta gas bakar sebagai komponen

utama dan selanjutnya diikuti oleh komponen lainnya disajikan pada Gambar 41.

Gambar 41. Struktur model dinamik pengelolaan gas ikutan

Pada gambar terlihat bahwa besarnya gas olahan yang diperoleh sangat

tergantung pada produksi gas ikutan yang diperoleh. Hasil pengolahan gas

ikutan akan diperoleh berbagai jenis gas olahan seperti CNG, LPG, lean gas, dan

CO2. Selain jenis-jenis gas yang dihasilkan seperti disebutkan, dalam

pengolahan gas ikutan ini juga dihasilkan gas bakar yang sangat berpengaruh

laju_flare laju_pengurangan_gas_pol

harga_lean_gasharga_produk_CO2

Gas_olahan

fr_LPG

fr_flarefr_gas_ikutan

LPG

Lean_GasCO2

proporsi_diolah

CNG

fr_olahCO2

laju_prod_CO2

fr_leankap_prod_CO2

kap_prod_Lean_Gas

laju_prod_lean

kap_prod_CNG

laju_prod_CNG

kap_prod_LPG

laju_prod_LPG

exploitasi_minyak

pendapatan_dari_LPG

PAD

pendapatan_dari_CNG

harga_CNG

harga_LPGpajak_industri

pendapatan_total

pendapatan_dari_Lean_Gas

gas_terbakar

gas_ikutan

Laju_pengolahan

laju_pertambahan_gas_ikutan

fr_prespitasi

pendapatan_dari_prod_CO2fr_CNG

Page 172: 2009zra Tesis Doktoral IPB

151

terhadap pencemaran lingkungan. Jumlah gas ikutan yang diperoleh sangat

tergantung dari besarnya kegiatan eksploitasi minyak disamping rata-rata fraksi

gas ikutan. Demikian pula dengan produksi gas olahan sangat tergantung dari

kapasitas produksi masing-masing jenis gas olahan gas ikutan disamping

kapasitas produksi gas ikutan. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa semakin

besar produksi gas ikutan, maka peluang untuk mendapatkan gas olahan juga

akan semakin besar. Adapun perkembangan produksi gas olahan baik CO2, lean

gas, CNG, dan LPG dapat dilihat pada Gambar 42.

Gambar 42. Simulasi perkembangan produksi gas olahan di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu tahun 2004 – 2025.

Pada Gambar 42 memperlihatkan kurva peningkatan produksi gas

olahan mengikuti pola pertumbuhan kurva sigmoid (sigmoid curve). Ini berarti

bahwa peningkatan produksi gas olahan di Lapangan Minyak Tugu Barat

Indramayu mengalami peningkatan yang cukup tajam dengan bertambahnya

tahun eksploitasi minyak. Namun perlu diingat bahwa pemanfaatan gas ikutan

ini merupakan sumberdaya alam yang tidak terbarukan sehingga pada suatu

saat akan menuju suatu titik keseimbangan (stable equilibrium) yang tidak bisa

ditingkatkan lagi melainkan mengalami penurunan produksi sebagai akibat dari

menurunya deposit minyak yang tersedia.

Hasil simulasi produksi gas ikutan di lapangan produksi minyak Tugu

Barat oleh PT. SDK (Tabel 15) memperlihatkan bahwa perkembangan

Page 173: 2009zra Tesis Doktoral IPB

152

peningkatan gas hasil olahan. Pada tahun 2004 terlihat gas CO2 dihasilkan

sebesar 0,0345 ton, gas CNG sebesar 0,0496 ton, lean gas 0,0134 ton dan LPG

0,0549 ton. Selanjunya mengalami peningkatan dengan meningkatnya produksi

gas ikutan. Pada tahun 2025 terlihat gas CO2 meningkat menjadi 137.729,41

ton, CNG 192.821,18 ton, lean gas 52.337,18 ton, dan LPG sebesar 213.480,59

ton.

Tabel 15. Perkembangan hasil olahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat

Peningkatan pengolahan gas ikutan menjadi produk gas lainnya akan

berpengaruh terhadap peningkatan gas terbakar dimana gas terbakar ini sangat

besar pengaruhnya terhadap lingkungan (ekologi) karena dapat menimbulkan

pencemaran. Dampak gas bakar terhadap lingkungan secara rinci dibahas pada

sub model sistem ekologi.

c. Sub Model Ekologi Komponen-komponen yang saling berhubungan dalam sub model sistem

ekologi ini adalah jumlah gas ikutan, jumlah gas terbakar, tingkat pencemaran

Page 174: 2009zra Tesis Doktoral IPB

153

CO2, NOx, dan polutan lainnya yang dihasilkan dari pembakaran gas. Laju

peningkatan bahan pencemar lingkungan (polutan udara) ditentukan oleh laju

peningkatan pembakaran gas yang sejalan dengan peningkatan pengolahan gas

ikutan. Pada peningkatan laju CO2, NOx, dan poluan lain terjadi proses

reinforcing akibat kebutuhan akan gas ikutan semakin meningkat dan proses

balancing akibat keterbasan sumberdaya gas ikutan. Model perkembangan gas

polutan dalam proses produksi gas ikutan seperti pada Gambar 43.

Gambar 43. Struktur model dinamik perkembangan gas polutan dalam proses produksi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu.

Gambar 44 memperlihatkan kurva perkembangan gas ikutan, gas olahan,

dan gas terbakar, serta produksi gas polutan tanpa dilakukan pengolahan gas

ikutan tahun simulasi 2002-2025.

Gambar 44. Simulasi perkembangan produksi gas ikutan, gas olahan, dan gas terbakar (a), serta produksi gas polutan (b) di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu Tahun 2004 – 2025 Tanpa Pengolahan.

laju_flare

fr_CO2

laju_pengurangan_gas_pollaju_pertambahan_gas_ikutan

Laju_pengolahan

gas_terbakar

exploitasi_minyak

pol_lain

fr_pol_lain

pol_CO2

total_cemaran_flare

proporsi_diolah

gas_ikutan

status_pencmr_udarastatus_pencmr_lingk

status_pencmr_udara_akibat_flare

tatus_pencemaran_lain

tatus_pencmr_udara_sumber_lain

fr_flarefr_prespitasi

Gas_olahanfr_gas_ikutan

pendapatan_total

pol_NOx

fr_NOx

a b

Page 175: 2009zra Tesis Doktoral IPB

154

Pada Gambar 44 terlihat bahwa apabila tidak dilakukan pengolahan gas

ikutan, maka jumlah gas terbakar yang dihasilkan akan sangat besar (Gambar a)

yang dapat berdampak pada tingginya gas polutan (Gambar b). Peningkatan

gas terbakar dan gas olahan merupakan fungsi dari gas ikutan. Apabila tidak

dilakukan pengolahan gas ikutan maka peluang dihasilkannya gas terbakar

sangat besar. Pada awal tahun simulasi terlihat jumlah gas ikutan, gas olahan,

dan gas terbakar memperlihatkan jumlah yang relatif sama. Karena dalam

simulasi ini tidak dilakukan pengolahan gas ikutan, maka akan mempercepat laju

peningkatan gas terbakar yang sangat berpengaruh terhadap tingginya gas

polutan yang dihasilkan. Pada tahun 2002 jumlah gas CO2 yang dihasilkan

sekitar 2,43 ton dan naik menjadi 1.822.745,31 ton pada tahun 2025. Hal yang

sama ditunjukkan pada gas polutan NO2 dan polutan lainnya mengalami

peningkatan dengan bertambahnya tahun simulasi. Pada pada tahun 2002

produksi gas NOx hanya sebesar 0,025 ton dan pada tahun 2025 diproyeksikan

menjadi 18.716,32 ton, sedangkan polutan lainnya dari 4,00 ton pada tahun 2002

terus mengalami peningkatan sampai pada tahun 2025 menjadi 2.994.611,75

ton. Adapun proyeksi perkembangan gas polutan di lapangan produksi minyak

Tugu Barat Indramayu dengan tanpa pengolahan gas ikutan secara rinci

disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Simulasi proyeksi perkembangan gas polutan dengan tanpa pengolahan gas ikutan tahun simulasi 2002-2025

Page 176: 2009zra Tesis Doktoral IPB

155

Gambar 45 memperlihatkan kurva perkembangan gas ikutan, gas olahan,

gas terbakar, dan gas polutan dengan melakukan pengolahan gas ikutan. Pada

gambar terlihat bahwa apabila dilakukan pengolahan gas ikutan, peluang

dihasilkannya gas olahan sangat besar, sementara gas terbakar yang dihasilkan

sangat kecil. Akibatnya gas polutan yang dihasilkan juga akan semakin kecil

walaupun pada awal tahun simulasi menunjukkan peningkatan yang cukup

tajam, tetapi menjelang tahun 2005 memperlihatkan kecenderungan kurva yang

semakin datar. Hal ini disebabkan karena gas ikutan diolah untuk menjadi produk

gas olahan seperti LPG, CNG, dan lean gas, walaupun gas polutan juga

dihasilkan tetapi dengan proporsi yang sangat kecil.

Gambar 45. Simulasi perkembangan produksi gas ikutan, gas olahan, dan gas

terbakar (a), serta produksi gas polutan (b) di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu tahun 2004 – 2025 dengan pengolahan.

Pada tahun 2002, jumlah gas CO2 yang dihasilkan sama seperti gas CO2

yang dihasilkan dengan tanpa pengolahan gas ikutan yaitu sekitar 2,43 ton. Hal

yang sama juga ditunjukkan oleh gas NOx dan gas polutan lainnya yaitu masing-

masing 0,025 ton dan 4,00 ton. Selanjutnya mengalami peningkatan dengan

bertambahnya tahun simulasi namun peningkatan tersebut jauh lebih kecil

dibandingkan dengan tanpa pengolahan gas ikutan. Pada tahun 2025 jumlah

CO2 diproyeksikan akan mencapai nilai 252.652,87 ton. Sedangkan NOx dan

polutan lainnya di proyeksikan hanya sekitar 2.594,29 ton dan 415.086,65 ton.

Perkembangan gas polutan dengan pengolahan gas ikutan di Lapangan Minyak

Tugu Barat Indramayu secara rinci disajikan pada Tabel 17.

Page 177: 2009zra Tesis Doktoral IPB

156

Tabel 17. Simulasi proyeksi perkembangan gas polutan dengan pengolahan gas ikutan tahun simulasi 2002-2025

d. Sub Model Ekonomi

Komponen-komponen yang saling berhubungan dalam sub model

ekonomi adalah jumlah CO2, jumlah CNG, jumlah LPG, dan jumlah lean gas

yang akan berpengaruh terhadap komponen pendapatan dari masing-masing

gas dan pendapatan total yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan

asli daerah (PAD) Kabupaten Indramayu. Adapun model ekonomi dalam proses

produksi gas ikutan seperti pada Gambar 46.

Page 178: 2009zra Tesis Doktoral IPB

157

Gambar 46. Struktur model dinamik sub model ekonomi dalam proses produksi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu.

Pada Gambar 46 terlihat bahwa peningkatan PAD merupakan fungsi dari

pendapatan total perusahaan dalam proses produksi gas ikutan. Semakin tinggi

total pendapatan maka peluang peningkatan PAD juga akan semakin besar.

Sedangkan pendapatan total merupakan fungsi dari peningkatan pendapatan

yang diperoleh dari masing-masing gas hasil pengolahan gas ikutan dan

besarnya produksi masing-masing gas olahan (CO2, CNG, LPG dan lean gas)

merupakan fungsi dari jumlah total gas olahan yang berasal dari jumlah total gas

ikutan. Adapun perkembangan pendapatan masing-masing jenis gas olahan

disajikan seperti pada Gambar 47.

harga_CNGharga_LPG

pendapatan_dari_LPGpendapatan_dari_CNG

harga_lean_gasharga_produk_CO2

Gas_olahan

pendapatan_dari_Lean_G

fr_LPG

LPG

Lean_GasCO2

CNG

pendapatan_total

laju_prod_CO2

fr_leankap_prod_CO2

kap_prod_Lean_Gas

laju_prod_lean

kap_prod_CNG

laju_prod_CNG

kap_prod_LPG

fr_olahCO2

PADpajak_industri

laju_prod_LPG

fr_CNG

pendapatan_dari_prod_CO2

Page 179: 2009zra Tesis Doktoral IPB

158

Gambar 47. Simulasi perkembangan pendapatan dari hasil pengolahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu tahun 2004 – 2025.

Pada Gambar 47 terlihat kurva pertumbuhan pendapatan yang diperoleh

dari hasil pengolahan gas ikutan menjadi LPG jauh lebih tajam dibandingkan

dengan pendapatan dari hasil pengolahan gas ikutan jenis lainnya. Kurva

peningkatan pendapatan yang berasal dari CNG juga terlihat mengalami

peningkatan, namun peningkatan yang terjadi masih jauh lebih kecil

dibandingkan dengan pendapatan dari LPG. Sedangkan pendapatan yang

berasal dari lean gas dan CO2 terlihat jauh lebih kecil. Berdasarkan hasil

simulasi tersebut dapat disimpulkan bahwa PT. SDK dalam pemanfaatan gas

ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu, pengembangan usahannya lebih

diarahkan pada produksi LPG dibandingkan dengan jenis produksi gas ikutan

lainnya. Hal ini penting dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah dalam

penyediaan energi nasional yang berasal dari bahan bakar gas.

Berdasarkan hasil simulasi menunjukkan bahwa pendapatan yang

berasal dari produksi LPG telah menyumbangkan sebesar Rp 153.607,02 pada

tahun 2004 yang merupakan nilai yang lebih besar dibandingkan pendapatan

yang berasal dari jenis gas olahan lainnya. Pada tahun yang sama, hasil olahan

CNG menyumbangkan pendapatan sekitar Rp 14.856,20, lean gas sebesar Rp

295,89, dan CO2 sebesar Rp 379,77. Dengan proses produksi gas ikutan yang

berjalan terus sepanjang tahun, akan berpengaruh terhadap peningkatan

pendapatan. Pada tahun 2025, pendapatan yang berasal dari LPG

diproyeksikan akan mencapai nilai sebesar Rp 597.745.648.141,50. Sementara

Page 180: 2009zra Tesis Doktoral IPB

159

pendapatan yang berasal dari CNG, lean gas, dan CO2 diproyeksikan akan

memberikan sumbangan pendapatan masing-masing Rp57.846.353.045,95;

Rp 1.151.417.884,44; dan Rp 1.477.836.590,91. Dari seluruh jenis gas olahan

tersebut akan memberikan sumbangan pendapatan yang besar baik terhadap

perusahaan maupun terhadap pemerintah daerah setempat dalam bentuk

pendapatan asli daerah (PAD). Pada tahun 2004, pendapatan total dari

pemanfaatan gas ikutan diperoleh sebesar Rp 169.147,87 dan terus mengalami

peningkatan sampai pada tahun 2025 apabila proses produksi berjalan terus dan

prospek pemasaran berlangsung dengan baik. Pada tahun 2025 pendapatan

total dari memanfaatan gas ikutan diproyeksikan akan diperoleh sebesar Rp

658.221.255.663. Adapun perkembangan pendapatan dalam pemanfaatan gas

ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu seperti pada Tabel 18.

Tabel 18. Simulasi proyeksi pendapatan dari pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu tahun simulasi 2004-2025

Page 181: 2009zra Tesis Doktoral IPB

160

7.3.2. Validasi model Pemanfaatan Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat

Kenyataan menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk Jawa Barat dan

DKI mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahun. Hal ini menunjukkan

bahwa proses reinforcing terjadi jauh lebih besar jika dibandingkan dengan

proses balancing. Berdasarkan data Propinsi Jawa Barat dalam Angka (2007)

jumlah penduduk pada tahun 2002 adalah 3.6914.883 jiwa dan pada tahun 2006

menjadi 40.737.594 jiwa (Tabel 19). Terdapat kecenderungan bahwa

pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat yang kemungkinan

disebabkan oleh faktor migrasi ke dalam wilayah Jawa Barat dan DKI. Pola

pertumbuhan penduduk secara aktual seperti pada Gambar 48.

Tabel 19. Hasil analisis uji validasi kinerja terhadap komponen jumlah penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta

Jumlah Penduduk Jawa Barat dan DKI Jakarta No Tahun

Aktual Simulasi

1 2002 36.914.883 36.914.883

2 2003 38.132.356 37.850.229

3 2004 39.140.812 38.809.845

4 2005 39.960.869 39.794.457

5 2006 40.737.594 40.804.735

Rata-rata 38.977.302 38.834.829

Varian 2.26507E+12 2.3644E+12

AME (Average Mean Error) 0.004 (0,4%)

AVE (Average Variance Error) 0.04 (4%)

Berdasarkan hasil simulasi model dinamik dari struktur model yang telah

dibangun sesuai dengan konsep teori empirik seperti uraian di atas, maka model

pengelolaan gas ikutan dapat dikatakan valid secara empirik. Berdasarkan

analisis validasi kinerja terhadap komponen jumlah penduduk di Jawa Barat dan

DKI Jakarta diperoleh nilai AME sebesar 0,4 % dan nilai AVE 4% sehingga dapat

disimpulkan bahwa model tersebut memiliki kinerja yang baik, relatif tepat, dan

dapat diterima secara ilmiah karena nilai kedua parameter lebih kecil dari 10%

(Tabel 19).

Trend pertumbuhan penduduk Jawa Barat dan DKI Jakarta sejak tahun

2002 hingga tahun 2006 antara data simulasi dengan data aktual relatif sama.

Page 182: 2009zra Tesis Doktoral IPB

161

34000000

36000000

38000000

40000000

42000000

2002 2003 2004 2005 2006

Tahun

jiwa aktual

simulasi

Jika dilihat dari nilai AME dan AVE yang sangat rendah, maka dapat dikatakan

bahwa dinamika pertumbuhan jumlah penduduk Jawa Barat dan DKI Jakarta

dalam model telah dapat menggambarkan dinamika pentumbuhan penduduk

secara aktual di lapangan. Oleh karena itu, model pengolahan gas ikutan

berdasarkan validasi kinerja terhadap jumlah penduduk dapat dikatakan valid.

Gambar 48. Pertumbuhan jumlah penduduk aktual dan hasil simulasi

model di Jawa Barat dan DKI Jakarta periode 2002 – 2006

7.4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan

bahwa hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan

kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth) naik

mengikuti kurva eksponensial. Ini menunjukan tingginya tingkat pertumbuhan

penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat kelahiran maupun tingginya

penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan pada sub model pengolahan

gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun karena

keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan deposit

gas maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik keseimbangan

tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Dalam hal ini

berarti terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) pada modal

melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui

Page 183: 2009zra Tesis Doktoral IPB

162

proses balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut mengikuti pola

dasar (archetype) “limit to growth”.

Pengolahan gas ikutan untuk menghasilkan gas hasil olahan seperti LPG,

CNG, dan lean gas akan menurunkan jumlah polutan udara seperti CO2, NOx,

dan polutan lainnya. Sebaliknya jika tidak dilakukan pengolahan gas ikutan, akan

memperbesar polutan udara. Dilihat dari tingkat pendapatan total dan

pendapatan asli daerah (PAD) menunjukkan adanya peningkatan setiap tahun

dengan meningkatnya produksi gas ikutan. Pada tahun 2025 diproyeksikan

pendapatan total perusahaan dalam memproduksi gas ikutan (LPG, CNG, lean

gas, dan CO2) akan mencapai nilai sebesar Rp. 658.221.255.663,00

Page 184: 2009zra Tesis Doktoral IPB

163

Daftar Pustaka

Suzeta, P. 2007. Minyak Tanah : Konversi ke Gas Elpiji. http://www.pikiran-

rakyat.com. Dikunjungi tanggal 06 Januari 2009.

Aminullah. 2001. dalam Fauzi A dan Anna A, Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Grant. 1997. dalam Fauzi A dan Anna A, Permodelan Sumber Daya Perikanan

dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Siswosudomo. 2001. dalam Fauzi A dan Anna A, 2005, Permodelan Sumber

Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Purnomo. 2005. dalam Fauzi A dan Anna A, Permodelan Sumber Daya

Perikanan dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 185: 2009zra Tesis Doktoral IPB

VIII. STRATEGI ARAHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN GAS IKUTAN YANG MENGUNTUNGKAN SECARA EKONOMI,

EKOLOGI DAN SOSIAL

Abstrak Besarnya potensi gas yang dimiliki Indonesia dan semakin menurunnya produksi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia, telah mendorong pemerintah untuk mengubah kebijakannya yang semala ini diarahkan pada pemanfaatan BBM menjadi bahan bakar gas (BBG) sebagai alternatif energi yang murah dan ramah lingkungan. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian untuk menentukan strategi arahan kebijakan pengelolaan gas ikutan. Penelitian menggunakan metode analisis data analitycal hierarchy process (AHP) untuk menyusun strategi arahan kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat. Sedangkan untuk mengetahui kendala utama yang dihadapi dan kebutuhan program dilakukan analisis interpretatif structural modeling (ISM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan yang perlu dikembangkan di Lapangan Minyak Tugu Barat adalah pemanfaatan liquified petroleum gas (LPG). Tujuan yang diharapkan dalam pengembangan pemanfaatan LPG adalah terpeliharanya kualitas lingkungan dalam rangka menuju clean development mechanism (CDM). Untuk mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan pemerintah disamping sumberdaya manusia yang tersedia, sumberdaya alam (ketersediaan gas ikutan), permodalan, teknologi, dan sarana dan prasarana. Oleh karena itu diperlukan kebijakan pemerintah dan peningkatan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam pengelolaan gas ikutan di lapanagn Tugu Barat. Saat ini kebijakan pemerintah khususnya terkait dengan pengelolaan gas ikutan belum ada, sehingga dalam pengelolaannya masih lebih mengacu pada kebijakan tentang pengembangan sumberdaya energi secara umum. Sedangkan sumberdaya manusia yang berkualitas yang dimaksud adalah selain memiliki keterampilan dalam mengelola manajemen industri tetapi memiliki pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dimana SDM tersebut dimanfaatkan. Di sisi lain perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan agar dalam pengembangannya dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kata kunci : Kebijakan, pengelolaan gas ikutan, AHP, ISM

8.1. Pendahuluan

Ditengah meningkatnya kebutuhan minyak dan semakin menurunnya

jumlah produksi minyak dalam negeri membuat pemerintah mencari sumberdaya

energi lainnya untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Salah satu

sumberdaya energi yang memiliki peran besar dalam rangka memenuhi

kebutuhan energi dalam negeri selain minyak dan dalam rangka diversifikasi

energi adalah pemanfaatan gas dimana dalam pemanfaatannya harganya lebih

murah dan ramah lingkungan. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah

mengubah kebijakannya yang selama ini lebih diarahkan pada pemanfaatan

Page 186: 2009zra Tesis Doktoral IPB

165

minyak seperti minyak tanah dan solar sebagai sumber bahan bakar beralih pada

pemanfaatan gas.

Bersamaan dengan menurunnya jumlah produksi minyak dan besarnya

jumlah pemanfaatan minyak yang selama ini dilakukan untuk digunakan sebagai

bahan bakar, membuat pemanfaatan gas sebagai bentuk diversifikasi energi

perlu dimanfaatkan lebih banyak lagi untuk digunakan sebagai bahan bakar yang

lebih murah dan ramah lingkungan. Hal ini penting dimana pemanfaatan gas

dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menuju pembangunan bersih

(clean development mechanism/CDM) dalam pengelolaan minyak dan gas di

Indonesia dalam rangka mendukung pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan

hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, melaporkan bahwa pemanfaatan gas

baik dalam kegiatan rumah tangga, industri, dan transportasi sangat sedikit

menimbulkan gas buang yang dapat berbahaya bagi lingkungan seperti gas

rumah kaca (GRK) dibandingkan dengan penggunaan minyak terutama minyak

tanah dan solar. Di sisi lain, pemanfaatan gas dalam berbagai kegiatan

pembangunan, diharapkan akan memberikan keuntungan yang besar baik dilihat

dari manfaat ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial.

Namun demikian keputusan pemerintah untuk memanfaatkan energi gas

yang lebih murah dan ramah lingkunganini bagi penggunaan domestik telah

mempengaruhi besarnya jumlah beban pemerintah untuk menyediakan gas

dalam jumlah yang besar. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa

ketersediaan gas dalam negeri belum cukup untuk memenuhi kebutuhan gas

domestik yang cukup besar. Pada tahun 2002, suplai gas oleh pertamina baru

mencapai 800.000 ton per tahun sementara permintaan telah mencapai

1.200.000 per tahun (http://strategis.ic.gc). Dari data tersebut mencerminkan

bahwa kebutuhan akan gas dalam negeri masih kekurangan sekitar 400.000 ton

per tahun. Untuk menutupi kekurangan akan gas tersebut, maka Pertamina

meningkatkan impor gas disamping mencari alternatif lain untuk memenuhi

kebutuhan akan gas yang besar tersebut. Salah satu alternatif yang dapat

dilakukan adalah dengan melakukan pemanfaatan gas ikutan yang terkandung

dalam minyak mentah.

Keberadaan gas ikutan dalam industri minyak dan gas bumi sangat

memegang peran penting dalam mendukung ketersediaan energi nasional

khususnya yang berasal dari bahan-bahan fosil, sehingga proses penyediaan

pemanfaatan gas ikutan yang ada di dalam proses produksi minyak mentah

Page 187: 2009zra Tesis Doktoral IPB

166

sangat diperlukan. Saat ini proses produksi gas ikutan masih jarang dilakukan.

Hal ini disebabkan selain masih kurangnya dukungan pemerintah dalam produksi

gas ikutan tersebut, juga dalam proses produksi juga dibutuhkan investasi yang

besar. Di sisi lain cadangan minyak dan gas yang semakin berkurang yang

menyebabkan pengelolaan gas ikutan dapat menjadi tidak ekonomis. Berkaitan

dengan hal tersebut, perlu disusun suatu strategi sebagai arahan kebijakan

dalam rangka pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan. Penelitian bertujuan

untuk menentukan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang

menguntungkan secara ekonomi, ekologi dan sosial

8.2. Metode Analisis Strategi Kebijakan Pemanfaatan Gas Ikutan

Metode analisis yang digunakan dalam menganalisis strategi kebijakan

gas ikutan sekaligus menggali kendalah dan kebutuhan dalam pengelolaan gas

ikutan adalah analytical hierarchy process (AHP) dan interpretatif structural

modeling (ISM).

a. Analytical Hierarchy Process (AHP) AHP ini digunakan untuk menentukan elemen-elemen kunci untuk

ditangani. Dalam analisis AHP didasarkan pada hasil pendapat pakar (expert

judgment) untuk mengetahui kendala-kendala dan kebutuhan utama serta

menjaring berbagai informasi dari beberapa elemen-elemen yang berpengaruh

dalam penyusunan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan. Skala penilaian

oleh pakar didasarkan pada skala nilai yang dikeluarkan oleh Saaty (1993) yang

berkisar antara nilai 1 – 9, seperti pada Tabel 20.

Tabel 20. Skala penilaian perbandingan berpasangan (Saaty, 1993)

Tingkat Kepentingan Keterangan Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya

Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya

Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen lainnya

5 Elemen yang satu sedikit lebih cukup daripada elemen lainnya

Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas lainnya

7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya

Satu elemen yang kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek

9 Satu elemen mutlak Bukti yang menyokong elemen

Page 188: 2009zra Tesis Doktoral IPB

167

penting daripada elemen lainnya

yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Nilai ini diberikan jika ada dua kompromi diantara dua pilihan

Sumber : Saaty, 1993

Menurut Saaty (1994) bahwa tahapan analisa data dengan AHP adalah

sebagai berikut :

1. Mendefinisikan dan menentukan solusi masalah;

2. Membuat struktur hierarki yang dimulai dengan penentuan tujuan umum, sub-

sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkat kriteria yang

paling bawah. Penyusunan hierarki dilakukan melalui diskusi mendalam

dengan pakar yang mengetahui persoalan yang sedang dikaji.

3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan

pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang

setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para

pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen

dibandingkan dengan elemen lainnya, Untuk mengkuantifikasi data kualitatif

digunakan nilai skala 1-9, Skala perbandingan secara berpasangan seperti

Tabel 20 di atas

4. Melakukan pengolahan perbandingan berpasangan. Pengolahan dilakukan

untuk menyusun prioritas setiap elemen dalam hierarki terhadap sasaran

utama. Jika NPpq didefenisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-p

pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama, maka :

NPpq =

Keterangan :

p = 1,2,....,r T = 1,2,.....,s

NPpq = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada tingkat

ke-q terhadap sasaran utama NPHpq = Nilai prioritas elemen ke-p pada tingkat ke-q NPTt = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada

tingkat q-1

5. Mengisi konsistensi judgment stakeholder dengan menghitung consistency

ratio, Nilai konsistensi yang dianggap baik adalah < 0,1 Jika tidak konsisten

∑−

−−S

tqxNPTtqtNPHpq

1)1()1,(

Page 189: 2009zra Tesis Doktoral IPB

168

(nilainya > 0,1) maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi, consistency

ratio merupakan parameter yang digunakan untuk memeriksa apakah

perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh pakar telah dilakukan

dengan konsekuen atau tidak (Marimin, 2004). Nilai consistency ratio dihitung

dengan rumus :

CR =

Keterangan : CI = Indeks konsistensi CI = (p – n) / (n – 1) RI = Indeks Random

p = rata-rata Consistensy Vector n = Banyak alternatif

Sedangkan RI merupakan nilai random indeks sebagaimana yang

ditetapkan oleh Oarkridge laboratory (Marimin, 2004) seperti pada Tabel 21

Tabel 21. Nilai indeks random untuk menghitung nilai consistency ratio

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56

RICI

Page 190: 2009zra Tesis Doktoral IPB

169

Model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Kebijakan pemerintah

Sarana dan prasarana Teknologi Modal Sumberdaya

alam Sumberdaya

manusia Faktor

Pengelola/Pertamina Pemerintah

Terpeliharanya Kualitas lingkungan

menuju CDM

Peningakatn Pendapatan Asli

Daerah

Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan

Perluasan lapangan kerja

KONDENSAT

Stakeholders

Tujuan

Alternatif

Fokus

Gambar 49. Hierarki pengambilan keputusan model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

LEAN GAS (POWER GENERATOR)

Perbankan Masyarakat

LPG CO2

169

Page 191: 2009zra Tesis Doktoral IPB

170

b. Interpretatif Structural Modeling (ISM) Pada penelitian ini akan dibuat teknik permodelan interpretasi struktural

(interpretatif structural modelling) dalam rangka merumuskan alternatif kebijakan

di masa yang akan datang. Tahapan ISM akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu

penyusunan hirarki dan klasifikasi subelemen (Eriyatno, 2003). Adapun tahapan-

tahapan dalam analisis ISM secara rinci dijelaskan sebagai berikut:

1. Penyusunan Hierarki

(a) Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi

elemen-elemen, dan setiap elemen akan diuraikan menjadi sejumlah

subelemen.

(b) Menetapkan hubungan kontekstual antara subelemen yang terkandung

adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi subordinat yang

menuju pada perbandingan berpasangan (oleh pakar). Jika jumlah pakar

lebih dari satu maka dilakukan perataan. Penilaian hubungan kontekstual

pada matriks perbandingan berpasangan menggunakan simbol VAXO

dimana :

V jika eij = 1 dan eji = 0; V = subelemen ke-i harus lebih dulu ditangani

dibandingkan subelemen ke-j

A jika eij = 0 dan eji = 1; A = subelemen ke-j harus lebih dulu ditangani

dibandingkan subelemen ke-i

X jika eij = 1 dan eji = 1; X = kedua subelemen harus ditangani

bersama

O jika eij = 0 dan eji = 0; O = kedua subelemen bukan prioritas yang

ditangani

Pengertian nilai eij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara

subelemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai eji = 0 adalah tidak ada

hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j.

(c) Hasil olahan tersebut tersusun dalam structural self interaction matrix

(SSIM). SSIM dibuat dalam bentuk tabel reachability matrix (RM) dengan

mengganti V, A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Adapun tabel SSIM

seperti di bawah ini.

Page 192: 2009zra Tesis Doktoral IPB

171

Tabel 22. Structural self interaction matrix (SSIM) awal elemen

12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12

Setelah Structural self interaction matrix (SSIM) terisi sesuai pendapat

responden, maka simbol (V, A, X, O) dapat digantikan dengan simbol (1 dan 0)

sesuai dengan ketentuan sehingga dari situ akan dapat diketahui nilai dari hasil

reachability matrix (RM) final elemen. Bentuk pengisian hasil reachability matrix

(RM) final elemen disajikan pada Tabel 23

Tabel 23. Hasil reachability matrix (RM) final elemen

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 DP R 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 D L

Keterangan :

DP = driver power R = rangking D = dependence L = level/hierarki

Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui nilai driver power, dengan

menjumlahkan nilai subelemen secara horizontal; untuk nilai rangking ditentukan

Page 193: 2009zra Tesis Doktoral IPB

172

berdasarkan nilai dari driver power yang diurutkan mulai dari yang terbesar

sampai yang terkecil; nilai dependence diperoleh dari penjumlahan nilai

subelemen secara vertikal; untuk nilai level ditentukan berdasarkan nilai dari

dependence yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil.

2. Klasifikasi subelemen

Secara garis besar klasifikasi subelemen digolongkan dalam 4 sektor

yaitu:

(a) Sektor 1, weak driver-weak dependent variabels (Autonomous).

Subelemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan

dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun

hubungan tersebut bisa saja kuat. Subelemen yang masuk pada sektor

1 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah subelemen.

(b) Sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels (Dependent).

Umumnya subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah subelemen

yang tidak bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 2 jika : Nilai DP

≤ 0.5 X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah subelemen.

(c) Sektor 3; strong driver- strongly dependent variabels (Lingkage).

Subelemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati,

sebab hubungan antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada

subelemen akan memberikan dampak terhadap subelemen lainnya dan

pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Subelemen

yang masuk pada sektor 3 jika : Nilai DP > 0.5 X dan nilai D > 0.5 X, X

adalah jumlah subelemen.

(d) Sektor 4; strong driver-weak dependent variabels (Independent).

Subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari

sistem dan disebut peubah bebas. Subelemen yang masuk pada

sektor 4 jika : Nilai DP > 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah

subelemen.

Adapun analisa matrik dari klasifikasi subelemen disajikan pada Gambar 50.

Page 194: 2009zra Tesis Doktoral IPB

173

Gambar 50. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor (Marimin, 2004)

8.3. Hasil dan Pembahasan Penyusunan Strategi Kebijakan Pemanfaatan Gas Ikutan

Sebagaimana telah diuraikan pada Bab III, bahwa untuk mengetahui

strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan digunakan analisis AHP (analytical

hierarchy process) berdasarkan hasil diskusi dengan pakar dan penelitian di

lapangan ada 5 level hirarki yang terkait secara nyata mempengaruhi strategi

kebijakan pengelolaan gas ikutan yaitu: (1) level fokus; (2) level faktor; (3) level

stakeholder; (4) level tujuan dan (5) level alternatif seperti yang terlihat pada

Gambar 49 di atas. Hasil analisis AHP secara terperinci seperti pada Tabel

24.

Tabel 24. Hasil analisis AHP strategi kebijakan pemanfaatan gas ikutan

No ELEMEN PENGELOLAAN GAS IKUTAN PENDAPAT PAKAR

I. Strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan II Faktor 1. SDM 0,212 2. SDA 0,185 3. Modal 0,095 4. Teknologi 0,131 5. Sarana dan Prasarana 0,106 6. Kebijakan Pemerintah 0,270

III. Stakeholder 1. Pemerintah 0,292 2. Pengelola/Pertamina 0,321 3. Perbankan 0,250 4. Masyarakat 0,137

IV. Tujuan 1. Terpeliharanya Kualitas Lingkungan Menuju CDM 0,323 2. Perluasan Lapangan Kerja 0,194 3. Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan 0,310

Independent Variable Sektor IV

Dependent Variable Sektor II

Autonomous Variable Sektor I

Lingkage Variablel Sektor III

Ketergantungan (Dependence)

Daya Dorong (Drive Power)

Page 195: 2009zra Tesis Doktoral IPB

174

4. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah 0,173 V. Alternatif

1. LPG 0,382 2. Kondensat 0,204 3. Lean Gas (Power Generator) 0,317 4. CO2 0,097

1. Level Fokus

Peran masing-masing stakeholder dan strategi kebijakan pengelolaan gas

ikutan difokuskan pada pengelolaan gas ikutan. karena besaran (size) dan

kompleksitas permasalahan dan ketergantungan masing-masing sektor dan

pihak yang terkait dalam pengelolaan gas ikutan merupakan salah satu alat yang

berpengaruh untuk efisiensi pencapaian tujuan pelaksanaan kebijakan baik oleh

pemerintah maupun perusahaan yang berperan sebagai pengelola sehingga

alternatif yang dihasilkan berdampak positif dan mengurangi resiko selama

berlangsungnya kegiatan.

2. Level Faktor Berdasarkan hasil survey pakar yang telah dilakukan menunjukkan

bahwa terdapat 6 (enam) faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan

antara lain : (1) sumberdaya manusia, (2) sumberdaya alam, (3) modal, (4)

teknologi, (5) sarana dan prasarana, dan (6) kebijakan pemerintah.

Hasil analisis pendapat pakar terhadap 6 (enam) faktor tersebut diperoleh

bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengelolaan gas ikutan adalah

kebijakan pemerintah dengan skor tertinggi 27,0 % dan selanjutnya diikuti oleh

factor lainnya yaitu factor sumberdaya manusia dengan skor 21,2 %,

sumberdaya alam 18,5 %, teknologi 13,1 %, sarana dan prasarana 10,6 %, dan

modal 9,5 %.

Tingginya nilai skor faktor kebijakan pemerintah dibandingkan faktor

lainnya menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sangat penting dalam

pengelolaan gas ikutan sebagai pedoman dalam bentuk undang-undang dan

peraturan-peraturan yang mengatur pengelolaan gas ikutan dimulai dari

perencanaan, proses produksi, pemasaran, penentuan kerjasama, subsidi dan

program-program pengelolaan lingkungan industri yang dapat dilaksanakan baik

dalam jangka pendek maupun jangka panjang, baik bagi industri maupun

masyarakat. Adanya kebijakan pemerintah diharapkan mampu menjamin

ketersediaan energi yang berasal dari gas ikutan secara berkelanjutan. Adapun

Page 196: 2009zra Tesis Doktoral IPB

175

nilai scoring pada setiap factor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan

dapat dilihat seperti pada Gambar 51.

Gambar 51. Prioritas faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu

Dengan adanya kebijakan pemerintah akan mampu mengawasi dan

mengontrol penggunaan sumberdaya yang tidak terpebaharui ini sehingga

pengelolaannya dapat berjalan secara transparan artinya bahwa tidak ada pihak

yang akan dirugikan baik pihak pengelola, pemerintah maupun masyarakat

sebagai pemakai atau konsumen terakhir. Dengan adanya kebijakan pemerintah

eksploitasi sumberdaya gas tidak dimonopoli oleh satu pihak dan memaksa

industri untuk memperhatikan aspek lingkungan terhadap dampak yang akan

ditimbulkan. Kebijakan pemerintah mampu mengakomodir dan menjembatani

semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan gas ikutan terutama merangkul

pihak swasta untuk berinvestasi dalam pengelolaan gas ikutan.

Kebijakan pemerintah juga berperan dalam mengontrol dan mengawasi

seluruh kegiatan industri sehingga kegiatan yang dilakukan tidak memberikan

dampak negatif baik untuk lingkungan maupun industri. Kebijakan pemerintah

mampu mengatur dan menentukan apa saja kegiatan industri yang boleh dan

tidak boleh dilakukan serta memuat dengan jelas tentang sanksi-sanksi bagi

industri yang tidak menjalankan aturan yang diberlakukan dalam kebijakan

pemerintah. Kebijakan pemerintah dalam bidang industri minyak dan gas dapat

berupa aturan tentang subsidi, kebijakan mengenai konversi minyak tanah ke

gas, penentuan harga migas dan lain-lain.

21,2%

18,5%

9,5%13,1%

10,6%

27,0%

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

Pers

enta

si (%

)

SDM SDA Modal Teknologi Sarana danPrasarana

KebijakanPemerintah

Faktor

Page 197: 2009zra Tesis Doktoral IPB

176

Adanya kebijakan pemerintah akan mampu memberikan perlindungan

kepada konsumen maupun pelaku industri sehingga pemenuhan kebutuhan

akan energi bagi masyarakat dapat terpenuhi secara efektif dan efisien.

Kebijakan pemerintah untuk memanfaatkan energi gas bagi penggunaan

domestik dan bahan bakar minyak untuk ekspor telah mempengaruhi besarnya

jumlah beban pemerintah atas subsidi yang harus dipenuhi akibat meningkatnya

harga minyak dunia, yang juga semakin diperburuk dengan melemahnya nilai

tukar akan sangat membantu daya beli terhadap kebutuhan energi masyarakat

terutama masyarakat ekonomi lemah. Kebijakan pemerintah berperan untuk

mengantisipasi perdagangan energi terutama gas sehingga terciptanya kondisi

yang lebih kondusif dan memberikan kesempatan bagi pihak swasta atau

investor untuk mengelola energi alternatif secara swadaya melalui bantuan

finansial maupun penyediaan sumberdaya manusia yang berkualitas dan

potensial dalam pengelolaan sumberdaya alam baik yang dapat diperbaharui

maupun yang tidak terbaharui.

Untuk keberhasilan pengelolaan gas ikutan diperlukan komitmen dan

tanggungjawab moral pembangunan dari pihak yang terkait terutama pemerintah

dalam bentuk kebijakan, sehingga pengelolaan gas ikutan dapat dilakukan

secara efektif, efisien, terintegrasi, dan sinkron dengan sistem kelembagaan dan

tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak yang terlibat. Kebijakan

dapat berupa peraturan peraturan yang mengikat dan memaksa perusahaan

untuk ikut terlibat secara langsung dalam pengelolaan lingkungan salah satunya

adanya peraturan-peraturan yang mewajibkan industri untuk mengurangi dan

bahkan menghilangkan limbah yang dihasilkan melalui pengelolaan yang ramah

lingkungan sehingga tidak melabihi baku mutu lingkungan yang ditetapkan.

Artinya pihak industri yang merusak lingkungan akan diberikan sanksi atau

denda sehingga menimbulkan efek jera bagi pihak industri yang tidak

mematuhinya. Sedangkan bagi industri yang mampu mengurangi dan mengelola

limbahnya dengan baik akan diberikan insentif baik dalam bentuk pajak maupun

kemudahan dalam hal regulasi dan pengawasan. Namun demikian, keberhasilan

pengelolaan gas ikutan tidak saja ditentukan oleh faktor kebijakan pemerintah,

tetapi perlu didukung oleh faktor-faktor lainnya seperti ketersediaan sumberdaya

manusia, sumberdaya alam, sarana dan prasarana, teknologi dan modal.

Pengelolaan gas ikutan dapat melakukan sistem kemitraan atau kerjasama

dengan investor lain yang bergerak dibidang industri sejenis, dengan masyarakat

Page 198: 2009zra Tesis Doktoral IPB

177

maupun dengan pihak swasta secara simbiosis dimana masing-masing pihak

memiliki tugas, tanggung jawab dan wewenang yang jelas yang tertuang dalam

perjanjian kerjasama sehingga dalam menjalankan tugas tidak terjadi

ketimpangan.

Kebijakan pemerintah juga dapat berupa keputusan pembentukan komisi

khusus yang mengawasi dan mengontrol seluruh kegiatan industri yang

dilakukan oleh pengusaha dan kebijakan yang memberikan sanksi yang berat

terhadap perusahaan yang tidak menjalankan aturan yang ditetapkan dalam

kebijakan pemerintah sebaliknya memberikan penghargaan (apresiasi) terhadap

industri yang secara nyata memberikan konstribusi positif terhadap peningkatan

kualitas perusahaan secara ekonomi maupun lingkungan yang diatur dalam

peraturan perundangan, dan adanya pedoman-pedoman pengelolaan gas ikutan

yang mudah diakses dan diterapkan oleh masyarakat.

3. Level Stakeholder

Untuk mencapai tujuan dari strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan di

lapangan Tugu Barat Indramayu, stakeholder yang paling berperan adalah

pengelola yaitu Pertamina dengan nilai skor tertinggi yaitu 32,1 %, selanjutnya

pemerintah dengan nilai skor 29,2 %, perbankan 25,0 % dan masyarakat 13,7 %.

Adapun nilai skoring pada setiap stakeholder yang berperan dalam pengelolaan

gas ikutan dapat dilihat seperti pada Gambar 52.

Gambar 52. Prioritas stakeholder yang berperan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu

Stakeholder yang Berperan

29,2%

32,1%

13,7%

25,0%

Pemerintah Pengelola/Pertamina Perbankan Masyarakat

Page 199: 2009zra Tesis Doktoral IPB

178

Pakar menilai bahwa Pertamina selaku pengelola memiliki nilai skor

tertinggi karena selama ini pertamina dianggap memiliki pengalaman, konstribusi

dan andil besar dalam pengelolaan dan pertumbuhan ekonomi dalam industri

minyak dan gas. Pertamina sebagai pengelola merupakan pihak yang memiliki

modal besar atau padat modal sehingga mampu melakukan eksplorasi dan

eksploitasi sumberdaya mineral termasuk pemanfaatan gas ikutan yang

menguasai perdagangan minyak dan gas di Indonesia baik dari segi proses

produksi sampai pada tahap distribusi.

Peran Pertamina/pengelola sangat penting dalam pengembangan

kawasan industri minyak dan gas, oleh karena itu pemerintah wajib menjaga iklim

kondusif dan persaingan yang sehat dalam dunia usaha sehingga pemilik modal

tetap menanamkan modalnya pada perusahaan yang ada di wilayahnya

sehingga dampak merosotnya ekonomi dapat dihindarkan. Pertamina/pengelolan

dan manajemen sangat berpengaruh dalam hal pengelolaan perusahaan dari

segi manajemen. Dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan sampai

produk dihasilkan serta distribusi ke pihak konsumen. Manajemen bertanggung

jawab terhadap seluruh kegiatan perusahaan atau industri oleh karena itu

dibutuhkan tenaga yang profesional dan memiliki keahlian dibidangnya.

Selanjutnya peran pemerintah tidak saja dilihat dari kebijakannya dalam

menetapkan sistem pengelolaan gas ikutan dengan mengeluarkan surat

keputusan atau peraturan-peraturan, tetapi juga menfasilitasi setiap kegiatan

industri dalam bentuk program-program pengelolaan industri yang dapat

dilaksanakan dalam jangka pendek maupun jangka panjang baik bagi industri

maupun masyarakat sekitar misalnya kegiatan penyuluhan, pelatihan dan

pemberdayaan masyarakat sekitar sehingga masyarakat mendapat manfaat baik

secara pendidikan maupun ekonomi.

Pemerintah juga berperan dalam mengontrol dan mengawasi seluruh

kegiatan industri sehingga kegiatan yang dilakukan tidak memberikan dampak

negatif baik untuk lingkungan maupun industri. Pemerintah memiliki wewenang

dan kapasitas dalam menentukan apa saja kegiatan industri yang boleh dan tidak

boleh dilakukan. Dalam pengelolaan industri gas ikutan tentunya didukung oleh

para stakeholder lain yang terkait seperti perbankan dan masyarakat. Peran

perbankkan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi perusahaan

baik dari segi modal maupun tingkat suku bunga yang akan berpengaruh

terhadap pemberlakuan pajak dan penerimaan perusahaan. Peran masyarakat

Page 200: 2009zra Tesis Doktoral IPB

179

baik sebagai konsumen maupun sebagai pelaku dan yang terkena dampak

akibat adanya industri pengelolaan gas sangat penting diperhatikan. Misalnya

masyarakat sebagai konsumen, Pertamina/pengelola diharapkan mampu

menyediakan dan mencukupi kebutuhan energi khususnya gas dengan harga

murah yang dapat dijangkau oleh masyarakat serta adanya jaminan keamanan

dalam penggunaan produk. Sedangkan masyarakat sebagai pelaku adalah

bahwa masyarakat sekitar mampu diberdayakan dan dilibatkan dalam kegiatan

pengeloaan industri gas ikutan sehingga kualitas SDM harus ditingkatkan melalui

pendidikan dan pelatihan yang difasilitasi oleh perusahaan. Masyarakat yang

terkena dampak keberadaan industri harus mendapatkan kompensasi misalnya

melalui kegiatan pemberdayaan ekonomi sehingga pendapatan mereka

meningkat dan secara langsung meningkatkan kesejahteraan rakyat.

4. Level Tujuan yang Diharapkan dalam Pengelolaan Gas Ikutan

Hasil diskusi dengan pakar dan pihak terkait dalam penelitian

penyusunan kebijakan pengelolaan gas ikutan di lapangan, diperoleh 4 (empat)

tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan gas ikutan. Keempat tujuan tersebut

meliputi :

(1) Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM

(2) Perluasan lapangan kerja

(3) Peningkatan nilai guna gas ikutan

(4) Peningkatan pendapatan asli daerah

Hasil analisis pendapat pakar terhadap 4 (empat) tujuan tersebut

diperoleh bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam strategi kebijakan pengelolaan

gas ikutan adalah terpeliharanya kualitas lingkungan menuju menuju mekanisme

pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM) karena memiliki nilai

skor paling tinggi yaitu 32,3 %, selanjutnya peningkatan nilai guna gas ikutan,

perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan asli daerah dengan nilai

skor masing-masing adalah 31,0 %, 19,4 % dan 17,3 %.

Tingginya nilai skor tujuan terpeliharanya kualitas lingkungan menuju

CDM dibandingkan dengan tujuan lainnya menunjukkan bahwa terpeliharanya

kualitas lingkungan menuju CDM menjadi perhatian utama pengelola industri

minyak dan gas, hal ini sangat penting dimasukkan ke dalam perencanaan dan

pelaksanaan kegiatan industri. Karena terpeliharanya kualitas lingkungan menuju

CDM sebagai parameter dan asset utama perusahaan dalam menjamin

Page 201: 2009zra Tesis Doktoral IPB

180

ketersediaan sumberdaya energi secara berkelanjutan untuk memenuhi

kebutuhan manusia akan energi. Adapun nilai skoring pada setiap tujuan yang

diharapkan tercapai dalam pengelolaan gas ikutan dapat dilihat seperti pada

Gambar 53.

Gambar 53. Prioritas tujuan yang diharapkan tercapai dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu

Mekanisme pembangunan bersih (CDM) atau clean development

mechanism (CDM) merupakan salah satu mekanisme Protokol Kyoto dalam

kerangka konvensi PPB mengenai perubahan iklim (United Nations Framework

Convention on Climate Change, UNFCCC). Protokol tersebut mengikat negara-

negara industri (Pihak-pihak Annex-1) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca

sesuai target yang telah ditentukan. Target batas emisi yang ditentukan adalah

beberapa persen dibawah tingkat emisi. Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto

melalui UU No. 17/2004, yang merupakan langkah pertama partisipasi Indonesia

dalam CDM. Lebih lanjut, pembentukan Komisi Nasional CDM pada tahun 2005

menjadikan Indonesia siap sepenuhnya untuk implementasi kegiatan-kegiatan

CDM. (World Bank, 2007)

Protokol Kyoto yang ditandatangani tahun 1997 akhirnya mulai berlaku

sejak 16 Februari 2005. Sejak penandatanganan Persetujuan Marrakesh tahun

2001, yang menetapkan aturanaturan dasar bagi mekanisme Kyoto – Clean

Development Mechanism (CDM)/Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB), Joint

Implementation (JI)/Implementasi Bersama, dan Emission Trading (ET)/

Tujuan yang Diharapkan

32,3%

19,4%

31,0%

17,3%

Terpeliharanya Kualitas Lingkungan Menuju CDM Perluasan Lapangan KerjaPeningkatan Nilai Guna Gas Ikutan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah

Page 202: 2009zra Tesis Doktoral IPB

181

Perdagangan emisi. Walaupun minat untuk melaksanakan CDM cukup tinggi

dan perbaikan dalam aturan-aturan terus berlanjut, banyak investor dan

pengembang proyek yang masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan

proyek CDM. Salah satu faktor yang menjadi penghalang penerapan CDM

adalah masalah kemampuan suatu negara untuk menarik investor asing. Faktor

penghalang lain yang langsung berkenaan dengan keefektifan penerapan CDM

adalah belum siapnya negara berkembang untuk menjadi tuan rumah proyek

CDM. Penyebabnya antara lain belum matangnya perkembangan institusi,

kompleksnya sistem untuk pengesahan suatu proyek, kurangnya pengalaman

para pegawai pemerintah, dan kurangnya koordinasi diantara Kementerian dan

institusi pemerintah lainnya yang relevan (KLH et al., 2005).

Sumber utama emisi GRK di sektor energi adalah pembakaran bahan

bakar minyak dalam proses produksi dan prosesing sumber energi primer

terutama minyak dan gas, pembangkit tenaga, dan proses pembakaran di

industri-industri lainnya (Abrahamson, 1989). Umumnya sektor ini masih banyak

menggunakan teknologi yang tidak menghasilkan emisi GRK lebih rendah.

Berdasarkan catatan KLH (2000) banyak teknologi rendah emisi GRK yang

tersedia di pasaran untuk sektor energi, namun demikian, karena berbagai sebab

sebagian besar masih sulit diterapkan.

World Bank (2007) melaporkan bahwa sektor minyak dan gas Indonesia

memiliki peluang yang signifikan untuk memperoleh keuntungan dari kredit

karbon dalam penerapan CDM. Hal ini dilihat dari potensi pengurangan gas

ikutan dan pemanfaatan dari gas ikutan (associated gas) pada beberapa

lapangan produksi minyak bumi Indonesia cukup besar. Pada tahun 2005,

sekitar 110 BSCF gas ikutan dibakar. Berdasarkan Kajian Strategi Nasional

(National Strategic Study, NSS) CDM yang disusun untuk sektor energi

Indonesia pada tahun 2000-2001, implementasi proyek-proyek pengurangan gas

ikutan berpotensi mengurangi emisi GRK sebesar 10,5 juta ton CO2 per tahun.

Potensi proyek-proyek pengurangan gas ikutan termasuk penangkapan dan

penjualan/pemanfaatan gas ikutan, pemanfaatan gas ikutan dalam fasilitas

produksi minyak, dan re-injeksi ke dalam reservoir. Sebagai mekanisme baru,

CDM memerlukan perangkat baru berupa prosedur teknik dan non-teknik serta

peraturan yang perlu diikuti oleh pihak-pihak manapun yang tertarik dalam

mengembangkan proyek-proyek CDM atau terlibat dalam proses CDM.

Page 203: 2009zra Tesis Doktoral IPB

182

Menurut KLH (2005) pengurangan emisi dari pembakaran gas ikutan

merupakan proyek yang potensial untuk CDM di Indonesia. Bahkan adanya

pemanfaatan gas ikutan merupakan salah satu upaya untuk melakukan CDM

dengan cara mengurangi karbon dioksida dari sumbernya (Saloh dan Clogh,

2002). Hasil perhitungan, menunjukkan bahwa Indonesia membakar sekitar 4.6

milyar m3 gas ikutan per tahun, yang menghasilkan sekitar 11 juta ton emisi CO2

per tahun. Pemerintah Indonesia yakin bahwa gas bakaran dapat dimasukkan

ke dalam pembangkit tenaga listrik skala kecil dalam rangka memenuhi

kebutuhan energi yang semakin meningkat, dan pada saat yang sama

menghasilkan pengurangan emisi GRK dibandingkan penggunaan sumber

energi lainnya yang berasal dari energi yang tidak terbarukan.

Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM akan berpengaruh

terhadap penurunan dampak atau resiko terhadap kegiatan eksplorasi maupun

eksploitasi karena lingkungan menyediakan sistem pendukung kehidupan untuk

mempertahankan keberadaan manusia dan keberlanjutan suatu aktivitas

ekonomi jangka panjang. Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM

industri mempunyai masa guna yang panjang, dan dapat memanfaatkan gas

ikutan melalui proses daur ulang (recycle) menjadi bahan baku oleh industri lain

yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam proses produksi dan

pemanfaatan sumberdaya tersedia sehingga kebutuhan materi dan energi dapat

ditekan sampai seminimum mungkin. Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju

CDM dalam kegiatan industri mempunyai implikasi yang luas dalam rangka

memperpanjang daur guna (use cycle) materi, sehingga disamping mengurangi

pencemaran, juga mampu mengurangi laju deplesi sumberdaya (Soemarwoto,

2001). Oleh karena itu perlu adanya kerjasama dan hubungan simbiosis

berbagai industri minyak dan gas dalam rangka mendukung terpeliharanya

kualitas lingkungan menuju CDM menjamin semua sumberdaya yang tersedia

maupun sisa produksi untuk dapat dimanfaatkan menjadi sumberdaya yang

memiliki nilai ekonomi sehingga secara tidak langsung pengelola mampu

menyediakan sumberdaya cadangan dalam rangka pemenuhan kebutuhan

energi untuk masyarakat secara berkelanjutan. Terpeliharanya kualitas

lingkungan menuju CDM diharapkan mampu menghasilkan produk yang

kompetitif dan mampu bersaing dalam pasar global. Terpeliharanya kualitas

lingkungan menuju CDM bertujuan bahwa dalam setiap proses produksi tidak

menghasilkan limbah artinya limbah yang dihasilkan akan menjadi sumberdaya

Page 204: 2009zra Tesis Doktoral IPB

183

yang terbarukan dan bermanfaat dalam meningkatkan pertumbuhan dan

keberlanjutan ekonomi dan ekologi perusahaan.

Berdasarkan uraian di atas bahwa dalam pengelolaan gas ikutan

terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM akan mampu meningkatkan nilai

guna gas ikutan sehingga membuka dan memperluas lapangan kerja bagi

sumberdaya manusia yang berkualitas melalui pengembangan industri gas

ikutan yang belih besar dan kompetitif. Pengelolaan industri gas ikutan yang

ramah lingkungan dapat memberikan pengaruh, baik secara langsung maupun

tidak langsung terhadap kehidupan sosial masyarakat sekitar kawasan industri.

Industri harus mampu memberikan dampak positif terhadap tingkat

kesejahteraan masyarakat sekitar melalui program-program pemberdayaan dan

keterlibatan masyarakat secara langsung dalam kegiatan industri dengan

menciptakan lingkungan yang baik bagi masyarakat yang ada disekitarnya. Hal

ini akan mampu meminimalisasi konflik dan kesenjangan sosial yang terjadi di

lingkungan masyarakat sekitar kawasan industri, sehingga menjamin stabilitas

penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar dan mengurangi angka kemiskinan

melalui penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat lokal, memperhatikan

keanekaragaman budaya dan hayati dengan mengakui dan menghargai sistem

ekologi, sistem sosial dan kebudayaan yang berlaku, mendorong partisipasi

masyarakat lokal sehingga mampu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan,

tujuan serta aspirasinya melalui pemberian tanggung jawab kepada masyarakat

sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan

dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka.

Selain tujuan utama yaitu terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM

dalam pengelolaan gas ikutan, tujuan lain seperti perluasan lapangan kerja,

peningkatan nilai guna gas ikutan, dan peningkatan PAD yang berasal dari

pengelolaan gas ikutan juga perlu mendapat perhatian. Saat ini tingkat

pengangguran tenaga kerja cukup besar, apalagi ditengah krisis global yang

menyebabkan perusahaan banyak merumahkan karyawannya akan menambah

tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Pengembangan industri gas

ikutan, setidaknya sangat membantu pemerintah untuk menurunkan tingkat

pengangguran mengingat pengembangan industri gas ikutan di Indonesia masih

cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa masih banyak ladang-

sumur baru yang potensial untuk dikembangkan.

Page 205: 2009zra Tesis Doktoral IPB

184

Dalam proses produksi gas ikutan, peningkatan nilai guna gas ikutan

selayaknya menjadi prioritas utama agar produk gas ikutan yang berkualitas ini

memiliki nilai jual yang tinggi baik di pasar domestik maupun di pasar global. Di

sisi lain, nilai pemanfaatan gas ikutan ini akan sangat baik dari sisi lingkungan,

karena kandungan gas buang dari pengolahan gas ikutan potensi untuk

meningkatkan pencemaran lingkungannya sangat kecil. Apabila pengembangan

industri gas ikutan ini berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sangat

membantu dalam penyediaan stok gas dalam negeri baik untuk kepentingan

rumah tangga maupun untuk kegiatan industri. Tentunya juga akan memberikan

sumbangan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) di tempat industri tersebut

berada.

5. Level Alternatif Kebijakan dalam Pengelolaan Gas Ikutan

Berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai serta peran para aktor dalam

pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu Barat seperti diuraikan di atas,

berbagai alternatif pengelolaan gas ikutan lapangan Tugu Barat seperti

pengelolaan dan pemanfaataan LPG, Kondensat, lean gas (power generator)

dan CO2. Gas ikutan tersebut diperoleh dari proses pemisahan antara minyak

mentah dan gas bumi. Gas ikutan diperoleh melalui proses tekanan hidrokarbon

yang diberikan dengan batas maksimum antara 25 % – 30 %. Dalam proses

produksi minyak mentah, biasanya dilakukan tidak bersamaan dengan

penyaringan gas ikutan (associated gas/flaring gas) karena hal ini sangat

berpengaruh terhadap kandungan minyak mentah dan gas yang dihasilkan serta

biaya operasional yang diperlukan dalam proses pemisahaan juga besar. Di sisi

lain keempat gas ikutan tersebut memiliki niali ekonomi dan dampak terhadap

lingkungan yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan

analisis untuk menentukan alternatif dalam pengembangannya sebagai salah

satu kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan.

Alternatif-alternatif kebijakan tersebut, dianalisis berdasarkan pendapat

pakar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alternatif pengelolaan dan

pemanfaatan LPG menduduki prioritas pertama yang perlu dikembangkan. Hal

ini terlihat dari hasil penilaian para pakar dengan memberikan nilai sebesar

38,2% dan selanjutnya diikuti oleh lean gas dengan nilai skor 31,7 %, kondensat

20,4 % dan CO2 dengan skor 9,7 %.

Page 206: 2009zra Tesis Doktoral IPB

185

Adapun nilai skoring pada setiap alternatif kebijakan dalam dalam

pengelolaan gas ikutan dapat dilihat seperti pada Gambar 54.

Gambar 54. Prioritas alternatif kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu

Tingginya nilai skoring yang diberikan oleh pakar terhadap alternatif

kebijakan pengembangan LPG dibandingkan dengan alternatif lainnya adalah

menunjukkan bahwa penggunaan LPG selain dapat meningkatkan efisiensi

penggunaan energi yang cukup besar karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi

dibandingkan jenis bahan bakar lainnya, dan juga mempunyai kandungan gas

buang yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Pengembangan kebijakan

pemanfaatan LPG ini juga sangat membantu meringankan beban pemerintah

dalam mengatasi permasalahan penyediaan energi di dalam negeri, khususnya

bahan bakar minyak dengan subsidi yang sangat tinggi. Di sisi lain kebijakan

pemanfaatan LPG ini akan mendukung kebijakan diversifikasi energi untuk

mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak khususnya minyak

tanah dengan mengalihkan ke penggunaan LPG.

Potensi gas yang dimiliki Indonesia yang sangat besar dan dengan

semakin meningkatnya kebutuhan gas domestik khususnya penggunaan LPG di

Indonesia, telah mendorong masyarakat untuk lebih memanfaatkan LPG sebagai

38,2%

20,4%

31,7%

9,7%

0,0%

5,0%

10,0%

15,0%

20,0%

25,0%

30,0%

35,0%

40,0%

Pers

enta

si (%

)

LPG Kondensat Lean Gas CO2

Alternatif Kebijakan

Page 207: 2009zra Tesis Doktoral IPB

186

alternatif energi yang murah dan ramah lingkungan. Produksi LPG Indonesia

pada tahun 2006 mencapai 1.428 ton, sedangkan angka konsumsi hanya

mencapai 1.100 ton sehingga masih mempunyai kuota untuk ekspor sebesar

289 ton (Departemen ESDM, 2007). Apabila kebutuhan LPG domestik ini

dipenuhi dapat terpenuhi dengan baik dan mendukung terjadinya alih

penggunaan pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) kepada penggunaan gas

sebagai energi, sehingga dapat membantu mengurangi kelangkaan BBM.

Kebijakan konversi minyak tanah bersubsidi ke LPG mempunyai maksud untuk

mengurangi subsidi. Perhitungan pengurangan subsidi melalui program konversi

minyak tanah bersubsdi ke LPG berdasarkan perhitungan seperti Tabel 25

berikut.

Tabel 25. Perbandingan subsidi minyak tanah dibandingkan dengan LPG

PERBANDINGAN

MINYAK TANAH LPG

Kesetaraan 1 Liter 0.57 Kg Harga Jual ke Masyarakat Rp. 2.500 /Ltr Rp. 4.250/Kg Pengalihan Volume Minyak Tanah Subsidi

10.000.000 Kiloliter 5.746.095 MT/Tahun

Asumsi Harga Keekonomian Rp. 5.665 /Liter Rp. 7.127 /Kg Harga Jual Rp. 2000 /Liter Rp. 4.250 /Kg Besaran Subsidi Rp. 3.665 /Liter Rp. 2.877 /Kg Total Subsidi Rp. 36.65

Triliun/Tahun Rp.16.53 Triliun/Tahun

Selisih Rp. 20.12 Triliun/Tahun

Dari Tabel 25 di atas terlihat bahwa Pemerintah Indonesia dapat

menghemat subsidi sebesar Rp 20 triliun/ tahun dari pengalihan penggunaan

minyak tanah dengan LPG. Perhitungan penghematan subsidi sebesar itu

dengan asumsi seluruh volume minyak tanah bersubsidi dikonversi ke LPG 3 kg.

Hal ini akan mengurangi beban pemerintah dalam menyediakan subsidi yang

besar dan beban subsidi tersebut dapat dialokasikan kepada sektor lain yang

lebih membutuhkan, seperti pendidikan dan kesehatan.

8.3.2. Kendala dan kebutuhan dalam Pengelolaan gas ikutan

a. Kendala dalam Pengelolaan gas ikutan Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas ikutan di wilayah

lapangan minyak dan gas Tugu Barat, Indramayu. Berdasarkan hasil pendapat

Page 208: 2009zra Tesis Doktoral IPB

187

pakar, ditemukan 10 sub elemen kendala yaitu: (1) Belum ada pengembangan

pasar gas domestik, (2) Terbatasnya kebijakan gas ikutan, (3) Sistem fiskal yang

rumit, (4) Harga gas ikutan yang masih rendah, (5) Terbatasnya sarana dan

prasarana pemanfaatan gas ikutan, (6) Akses pengelolaan gas yang terbatas, (7)

Modal usaha terbatas, (8) Kebijakan otonomi daerah, (9) Kualitas SDM yang

masih rendah, (10) Mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah.

Hasil analisis dengan menggunakan metode ISM, memperlihatkan

sebaran setiap sub elemen kendala menempatkan tiga sektor masing-masing

sektor I, II, dan IV seperti terlihat pada Gambar 51. Pada Gambar 51 terlihat

bahwa sub elemen kendala terbatasnya kebijakan gas ikutan (2) dan masih

rendahnya kualitas sumberdaya manusia (9), terletak pada sektor IV yang

merupakan sub elemen kunci yang sangat berpengaruh dalam pengelolaan gas

ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat. Sub elemen tersebut memiliki

kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pengembangan kawasan

dengan tingkat ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap sub elemen

kendala lainnya. Apabila kedua sub elemen ini tidak ditangani dengan baik akan

menjadi faktor penghambat utama dalam pengelolaan gas ikutan. Sub elemen

seperti (1) Belum ada pengembangan pasar gas domestik, (3) Sistem fiskal yang

rumit, (4) Harga gas ikutan yang masih rendah, (7) Modal usaha terbatas, dan

(10) Mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah menempati kuadran II yang

berarti sub elemen tersebut memiliki kekuatan pendorong yang rendah tetapi

tingkat ketergantungannya terhadap sub elemen lainnya tinggi. Sub elemen (8)

Kebijakan otonomi daerah menempati kuadran I dimana sub elemen ini memiliki

kekuatan pendorong dan ketergantungan yang rendah. Kedelapan sub elemen

kendalah tersebut dapat diartikan bahwa apabila kendala kebijakan pengelolaan

gas ikutan dan sumberdaya mansuai dapat teratasi dengan baik, maka

penyelesaian kedepalan kendala dapat dengan mudah untuk diatasi. Adapun

posisi masing-masing sub elemen kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas

ikutan seperti pada Gambar 55.

Page 209: 2009zra Tesis Doktoral IPB

188

Gambar 55 Matriks driver power – dependence untuk elemen kendala dalam

pengelolaan gas ikutan

Struktur hierarkhi hubungan antara sub elemen kendala program

pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan Tugu Barat secara rinci dapat

dilihat pada Gambar 56 di bawah ini.

Gambar 56. Struktur hierarkhi sub elemen kendala program pengelolaan gas

ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat, Indramayu.

Pada Gambar 56 terlihat bahwa penanganan kendala yang dihadapi

dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan tugu barat dapat dilakukan melalui

empat tahap. Pada tahap pertama yang diperlukan dalam pengelolaan gas

ikutan adalah perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan (2) dan peningkatan

kualitas sumberdaya manusia (9). Selanjutnya pada tahap kedua adalah

1

2, 9

3 4

5

6

7, 10

8

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

0 1 2 3 4 5 6 7

Sektor IV Indepencence

Sektor III Linkage

Sektor I Autonomous

Sektor II Depencence

Driver P

ower

Dependence

3 4 7 10

1 5 8

6

2 9

Level 4

Level 3

Level 2

Level 1

Page 210: 2009zra Tesis Doktoral IPB

189

memudahkan dalam akses pengelolaan gas yang terbatas (6). Pada tahap tiga

yang perlu dilakukan adalah pengembangan pasar gas domestik (1),

peningkatan sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan (5), penetapan

kebijakan otonomi daerah (8). Pada tahap terakhir (keempat) yang dapat

dilakukan dalam rangka penanganan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan

gas ikutan adalah mempermudah sistem fiskal yang rumit (3), meningkatkan

harga gas ikutan yang masih rendah (4), penyediaan modal usaha terbatas (7),

dan meningkatkan mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah (10).

b. Kebutuhan Program Pengelolaan gas ikutan Berdasarkan hasil pendapat pakar, ditemukan 10 sub elemen kebutuhan

yang diperlukan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Minyak dan Gas

Tugu Barat Indramayu. Adapun sub elemen tersebuat yaitu (1) Tersedianya

pasar gas ikutan dalam dan luar negeri, (2) Sistem fiskal yang lebih mudah, (3)

Harga gas ikutan yang lebih tinggi, (4) Sarana dan prasarana pemanfaatan gas

ikutan, (5) Akses pengelolaan gas ikutan yang lebih mudah, (6) Kemudahan

dalam memperoleh modal usaha, (7) Tersedianya kebijakan pengelolaan gas

ikutan, (8) Kualitas SDM yang terampil dan siap pakai, (9) Mutu hasil olahan gas

ikutan yang lebih baik, (10) Keamanan dalam berinvestasi.

Semua sub elemen tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan

metode ISM untuk mendapatkan sub elemen kunci yang merupakan kebutuhan

utama program pengelolaan gas ikutan. Hasil analisis ISM seperti disajikan pada

Gambar 57.

Page 211: 2009zra Tesis Doktoral IPB

190

Gambar 57. Matriks driver power – dependence untuk elemen kebutuhan

pengelolaan gas ikutan.

Berdasarkan hasil analisis seperti pada Gambar 57 tersebut

memperlihatkan bahwa ada tiga sub elemen terpenting dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pengelolaan gas ikutan, yaitu: tersedianya kebijakan

pengelolaan gas ikutan (7) kualitas SDM yang terampil dan siap pakai (8),

keamanan dalam berinvestasi (10). Ketiga sub elemen ini terletak pada sektor IV

yang merupakan sub elemen kebutuhan program yang perlu mendapat perhatian

serius karena merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak

(driver power) yang besar dalam pengelolaan gas ikutan, dan memiliki

ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap program. Ketiga sub

elemen ini menjadi sub elemen kunci pada kebutuhan program. Sub elemen

yang terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kebutuhan program

yang perlu mendapat perhatian serius karena merupakan sub elemen yang

mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pengelolaan

gas ikutan, dan memiliki ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap

program. Sub elemen ini menjadi sub elemen kunci pada kebutuhan program

pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan gas Tugu Barat.

Seperti diketahui sampai saat ini kebijakan yang khusus berkaitan dengan

pengelolaan gas ikutan belum ada, sehingga dalam pengembangannya masih

menggunakan kebijakan-kebijakan pengembangan industri minyak dan gas bumi

secara umum. Adapun kebijakan-kebijakan yang selama ini digunakan dalam

pengelolaan gas ikutan di Indonesia antara lain :

1

2, 5

3, 4, 6

7, 8, 10

9

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

0 1 2 3 4 5 6 7

Sektor IV Indepencence

Sektor III Linkage

Sektor I Autonomous

Sektor II Dependence

Page 212: 2009zra Tesis Doktoral IPB

191

1. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

2. UU Nomor 18 Tahun 2006 tentang APBN tahun 2007.

3. Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan usaha hilir Migas

4. Pperaturan Menteri (PERMEN) No. 0007 Tahun 2005 tentang Tata Cara

Perizinan Hilir Migas.

5. Keputusan Dirjen migas No. 25K/36/DDJM/1990 yang mngatur yang

mengatur tentang spesifikasi LPG yang beredar di dalam negeri. Selain perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan yang merupakan

kebutuhan utama dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan gas

Tugu Barat, keamanan berinvestasi dalam pengembangan gas ikutan di

Indonesia juga merupakan kebutuhan yang perlu segera ditangani dengan baik.

Adanya keengganan para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia

terutama dalam pengembangan industri gas ikutan diantaranya disebabkan oleh

lemahnya keamanan dalam berinvestasi.

Sumberdaya manusia dalam suatu industri termasuk industri pengolahan

gas ikutan juga sangat memegang peran penting terhadap kelangsungan usaha.

Banyak industri yang mengalami kebangkrutan atau gulung tikar disebabkan

kesalahan manajemen dan kesalahan manajemen disebabkan salah satunya

adalah ketidakmampuan sumberdaya manusia yang dimiliki untuk mengelola

usaha dengan baik. Terkait dengan sumberdaya manusia dalam pengelolaan

industri gas ikutan, dimaklumi bahwa sumberdaya manusia yang potensial dan

terampil dibidang tersebut masih sangat terbatas, sehingga untuk memenuhinya

masih lebih banyak memanfaatkan tenaga-tenaga asing. Sementara tenaga

kerja lokal lebih banyak dimanfaatkan pada pekerjaan-pekerjaan yang kasar.

Oleh karena itu, dalam rangka pengembangan industri gas ikutan ke depan

melalui pemberdayaan sumberdaya manusia lokal, maka peran lembaga

pendidikan sangat dibutuhkan untuk menyediakan sumberdaya manusia yang

berkualitas.

Menurut Suhariadi (2007) bahwa pada era saat ini, kepemilikan modal,

sumberdaya alam, tenaga kerja yang murah, mesin, dan teknologi tidak lagi

menjamin bahwa suatu organisasi seperti industri bukan lagi sebagai driver

organisasi/industri untuk mampu berkiprah dengan baik dalam suatu populasi

organisasi/industri. Namun yang sangat dipentingkan adalah pemilikan dan

penguasaan pengetahuan para karyawan industri, sehingga driver utama bagi

kelangsungan hidup industri adalah kepemilikan pengetahuan para

Page 213: 2009zra Tesis Doktoral IPB

192

karyawannya. Pengetahuan para karyawan ini perlu dikelola lebih baik yang

dikenal sebagai knowledge management. Nonaka dalam Suhariadi (2007)

membagi pengetahuan yang dimiliki organisasi menjadi dua yaitu tacit knowledge

dan explicit knowledge. Tugas para pengelola organisasi adalah menjadikan tacit

knowledge yang dimiliki anggota anggotanya menjadi explicit knowledge yang

dimiliki bersama. Organisasi dalam era ini membutuhkan knowledge workers.

Untuk dapat survive, organisasi sebaiknya mengubah pola pengelolaan

sumberdaya manusia dalam organisasi, karena knowledge ini dimiliki oleh para

anggota organisasi, dan akan keluar bersama anggota tersebut kalau dia

meninggalkan organisasi. Bukan seperti mesin yang tetap tinggal dalam

organisasi meskipun operatornya keluar dari organisasi.

Saat ini para pemimpin atau manajer organisasi/instansi harus

berhadapan dengan arus perubahan yang cepat dan terus-menerus. Para

pimpinan/manajer harus bekerja dengan pengambilan keputusan yang vital yang

tidak dapat mengacu pada arah-arah pengembangan di masa yang lalu. Teknik-

teknik manajemen harus secara berkesinambungan memperhatikan perubahan

di lingkungan dan organisasinya, mengukur perubahan dan mengelolanya.

Mengelola perubahan tidak hanya berarti mengendalikan saja namun juga

mengadaptasinya atau bahkan mengarahkan sebagaimana mestinya. Tentu saja

hal ini membuat para pimpinan/manajer tidak dapat menguasai seluruh metode

pemecahan masalah atau sumber daya bagi setiap situasi.

Hal yang seringkali terjadi, manajemen sumberdaya manusia dalam suatu

organisasi tidak menempatkan manusia sebagai objek yang harus dimiliki untuk

kepentingan apapun, melainkan bagaimana menempatkan manusia sebagai

bagian yang ikut berkembang selaras dengan alam semesta, dan tidak

mengobrak abrik alam untuk kepentingan sendiri. Paradigma ini disebut sebagai

”deep ecology” seperti yang dikemukakan Capra dalam Suhariadi (2007).

Manusia dalam paradigma deep ecology adalah manusia yang berproses

bersama alam semesta, dan berevolusi bersama untuk mencapai tingkat

kehidupan yang lebih tinggi. Manusia sebagai bagian dari alam semesta

bukanlah aset seperti pandangan organisasi, melainkan manusia yang utuh,

yang memiliki berbagai dimensi, seperti dimensi fisik, biologis, psikologis, sosial,

budaya, dan spiritual. Pengelolaan sumberdaya manusia dengan paradigma

semacam ini menghendaki organisasi benar benar memperlakukan manusia

sebagaimana adanya, dan mengembangkan potensi-potensinya agar dapat

Page 214: 2009zra Tesis Doktoral IPB

193

berkarya dengan baik dalam organisasi, baik untuk kemajuan organisasi maupun

untuk perkembangan pribadinya. Pengelolaan sumberdaya manusia dalam

organisasi seyogyanya menghasilkan Manusia yang berkarya, bukan manusia

yang bekerja.

Untuk membentuk sumberdaya manusia yang bukan saja sebagai

pekerja tetapi dalam pekerjaannya dapat bersahabat dengan lingkungan, maka

peran pendidikan baik pendidikan sarjana maupun pascasarjana tidak saja

membekali sumberdaya manusia dalam pengelolaan suatu organisasi tetapi

pemahanan dan peningkatan kesadaran akan kelestarian lingkungan perlu

ditingkatkan. Struktur hierarkhi hubungan antara sub elemen kebutuhan program

pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat secara rinci dapat dilihat pada

Gambar 58 di bawah ini.

Gambar 58. Struktur Hierarkhi Sub Elemen Kebutuhan Program Pengelolaan

gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu.

Pada Gambar 58 memperlihatkan bahwa ada tiga tahap yang dapat

ditempuh dalam rangka pemenuhan kebutuhan program pengelolaan gas ikutan.

Pada tahap pertama adalah tersedianya kebijakan pengelolaan gas ikutan (7),

kualitas SDM yang terampil dan siap pakai (8), keamanan dalam berinvestasi

(10).

Pada tahap kedua yang perlu dilakukan adalah Sistem fiskal yang lebih

mudah (2), Akses pengelolaan gas ikutan yang lebih mudah (5) dan Mutu hasil

olahan gas ikutan yang lebih baik (9). Sedangkan pada tahap terakhir (ketiga)

adalah Tersedianya pasar gas ikutan dalam dan luar negeri (1), Harga gas ikutan

yang lebih tinggi (3), Sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan (4),

Kemudahan dalam memperoleh modal usaha (6).

1 3 4 6

2 5 9

7 8 10

Page 215: 2009zra Tesis Doktoral IPB

194

8.4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana diuraikan di atas, dapat

disimpulkan bahwa alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan di Lapangan

Minyak Tugu Barat adalah pemanfaatan liquified petroleum gas (LPG).

Pemanfaatan LPG ini selain dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi

yang cukup besar karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi dibandingkan jenis

bahan bakar lainnya, dan juga mempunyai kandungan gas buang yang lebih

bersih dan ramah lingkungan. Tujuan yang diharapkan dalam pengembangan

pemanfaatan LPG adalah terpeliharanya kualitas lingkungan dalam rangka

menuju mekanisme pembangunan bersih atau clean development mechanism

(CDM). Untuk mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah

kebijakan pemerintah disamping sumberdaya manusia yang tersedia,

sumberdaya alam (ketersediaan gas ikutan), permodalan, teknologi, dan sarana

dan prasarana.

Hal ini sesuai juga dengan hasil analisis interpretatif structural modeling

(ISM) bahwa kebijakan pemerintah dan peningkatan sumberdaya manusia terkait

pengelolaan gas ikutan terutama dalam pemanfaatan LPG. Oleh karena itu

diperlukan kebijakan pemerintah dan peningakatan sumberdaya manusia yang

berkualitas dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu Barat. Saat ini

kebijakan pemerintah khususnya terkait dengan pengelolaan gas ikutan belum

ada, sehingga dalam pengelolaannya masih lebih mengacu pada kebijakan

tentang pengembangan sumberdaya energi secara umum. Sedangkan yang di

maksud dengan sumberdaya manusia yang berkualitas yang adalah selain

memiliki keterampilan dalam mengelola manajemen industri tetapi memiliki

pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian

lingkungan dimana SDM tersebut dimanfaatkan. Di sisi lain perlunya kebijakan

pengelolaan gas ikutan agar dalam pengembangannya dapat lebih terarah dan

dapat dipertanggungjawabkan.

Page 216: 2009zra Tesis Doktoral IPB

IX. PEMBAHASAN UMUM

Minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumberdaya energi tak

terbarukan yang memiliki peran strategis dan sangat berpengaruh terhadap

perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari besarnya kontribusi sektor

minyak dan gas bumi (migas) terhadap Gross Domestic Product (GDP)

Indonesia. Di sisi lain peran migas juga terlihat sangat besar terhadap

sumbangannya sebagai bahan baku untuk industri, sumber energi kelistrikan,

angkutan, dan untuk kepentingan rumah tangga. Sumbangan minyak dalam

perekonomian indonesia semakin besar dengan adanya peningkatan jumlah

penemuan minyak bumi terutama di daeah-daerah lepas pantai dan semakin

tingginya harga minyak dunia beberapa tahun terakhir ini. Sebagaimana

diketahui hingga akhir tahun 2008, harga minyak dunia pernah mencapai pada

US$ 120 per barrel. Hal ini sangat memberikan keuntungan yang besar bagi

Indonesai sebagai salah satu negara penghasil minyak dan gas.

Untuk meningkatkan nilai tambah dari sektor minyak dan gas bumi ini,

maka segmen pengolahan merupakan langkah strategis yang perlu dilakukan

untuk mengolah minyak mentah menjadi produk-produk lain untuk dipergunakan

oleh konsumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Sanusi (2002) bahwa minyak

mentah yang dihasilkan dari berbagai sumur minyak produktif belum dapat

dimanfaatkan tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu seperti pengolahan

minyak menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kebutuhan kendaraan

bermotor dengan berbagai jenis, maka minyak mentah tersebut harus melalui

proses pengolahan dalam kilang minyak. Berdasarkan hal tersebut, PT.

Pertamina mengembangkan berbagai kilang minyak untuk melakukan eksplorasi

dan produksi minyak di Indonesai dan salah satunya adalah di Wilayah Kuasa

Pertambangan (WKP) PT. Pertamina Eksplorasi dan Produksi (PT. Pertamina

EP) Region Jawa di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.

Thai Oil Company Limited (2000) melaporkan bahwa produk olahan

minyak mentah pada dasarnya dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu produk

bukan jenis bahan bakar dan produk jenis bahan bakar. Adapun produk yang

tidak termasuk dalam kategori seperti pelumas, lilin, gemuk, aspal, solven,

petroleum,dan beberapa produk petrokimia dasar lainnya seperti kelompok

olefin, aromatik, ataupun kelompok benzena dan turunannya. Sedangkan produk

olahan yang berupa bahan bakar minyak seperti LPG, avgas, avtur, solar,

Page 217: 2009zra Tesis Doktoral IPB

197

kerosin, dan gasoline, kondensat, dan lean gas. Produk yang tidak termasuk

bahan bakar tersebut diperoleh melalui hasil pengolahan sekunder atau

pengolahan yang lebih lanjut, sementara produk olahan dalam bentuk bahan

bakar minyak diperoleh secara langsung dari hasil pengolahan primer.

Krisis energi yang melanda Indonesia semenjak harga minyak dunia

bergerak naik melewati US$ 40 pada tahun 2005 dan mencapai nilai US$ 120

pada akhir tahun 2008, membuat alternatif pemanfaatan gas sebagai bahan

bakar hasil olahan menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi industri-industri

strategis dan rumah tangga. Hal ini yang mendasari pemerintah untuk

mengeluarkan kebijakan pengalihan penggunaan bahan bakar minyak terutama

minyak tanah ke penggunaan gas dalam rangka mengurangi subsidi BBM yang

semakin besar. Dengan pengalihan tersebut diharapkan terjadi penurunan

anggaran subsidi BBM, mengingat subsidi LPG lebih rendah dibanding dengan

subsidi minyak tanah. Disamping itu, LPG adalah energi yang bersih dan ramah

lingkungan. Pemakaian gas bumi dalam bentuk LPG dan Lean Gas di Indonesia

sebagian besar untuk industri pupuk dan pembangkit listrik dengan masing-

masing sekitar 35% dari total pemakaian dalam negeri. Sisanya sekitar 30%

digunakan untuk industri lain. Sedangkan sektor rumah tangga persentase

penggunaannya semakin kecil (PT. SDK, 2008)

Mengingat industri gas memegang peran penting dalam industri

perminyakan di Indonesia, maka PT. SDK bekerjasama dengan PT. Pertamina

melalui kontrak kerjasama yang dimulai pada tahun 1993 dan diperpanjang pada

tahun 2005 untuk mengembangkan proyek industri pengolahan minyak mentah

untuk menghasilkan gas ikutan dalam bentuk LPG, lean gas, kondensat, dan

CO2 di Lapangan minyak Tugu Barat, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa

Barat. Proyek ini merupakan proyek yang cukup vital untuk segera menambah

pasokan gas alam (Lean Gas) dan menambah pasokan LPG dalam negeri,

khususnya di Jawa Barat.

Pemanfaatan produksi minyak dan gas bumi Lapangan Tugu Barat

Komplek adalah (1) minyak, untuk keperluan kilang (proses extraksi) Balongan

dan untuk memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam Negeri,

dengan cara dikirim ke Stasiun Pengumpul Utama (SPU) Tugu Barat melalui pipa

trunk line (pipa utama) bersana-sama minyak mentah hasil dari Lapangan

Mundu, Blok Jatibarang, (2) gas alam (non associated), Gas alam ini digunakan

untuk :

Page 218: 2009zra Tesis Doktoral IPB

198

a. Digunakan untuk keperluan semburan buatan (gas lift) pada Lapangan

Bongas Blok Jatibarang.

b. Digunakan ke kilang Mundu untuk diproses (stripping) menjadi gas LPG.

c. Untuk konsumen industri : PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon dan Pabrik Kapur

Palimanan, Cirebon.

(3) Gas alam (associated), dimanfaatkan melalui PT.SDK untuk bahan baku

(feed stock) pada proses Mini LPG Plant.

PT. SDK (2008) melaporkan bahwa lapangan Tugu Barat mempunyai 6

formasi yaitu formasi BRF, Z-16, MA, MB, O dan P1 dengan kandungan CO2

sekitar 40 %. Adapun penjelasan enam formasi tersebut adalah :

1. Formasi BRF Formasi BRF merupakan reservoar migas dengan lithologi limestone.

Tipe jebakan adalah antiklin. Kedalaman lapisan datum adalah 1.783 mbpl,

kontur tutupan tertinggi pada kedalaman 1.740 mbpl dan kontur tutupan

terbawah pada kedalaman 1.880 mbpl. Reservoir ini mengandung minyak

dan tudung gas dimana batas gas minyak berada pada kedalaman 1.783

mbpl dan batas minyak-air terdapat pada 1.826 mbpl.

Formasi BRF mulai diproduksikan pada bulan Mei 1992 . Reserfoar

mempunyai porositas efektif rata-rata sebesar 29% dan saturasi air rata-rata

sebesar 36% serta permeabilitas rata-rata 20.7 mD.

2. Formasi Z-16 Formasi Z-16 merupakan reservoir migas dengan lithologi sandstone

dengan tipe jebakan adalah antiklin. Kedalaman lapisan datum adalah 1,729

mbpl, kontur tutupan tertinggi pada kedalaman 1.700 mbpl dan kontur

tutupan terbawah pada kedalaman 1,840 mbpl. Reservoir ini mengandung

minyak dan tudung gas dimana batas gas-minyak berada pada kedalaman

1,729 mbpl. Reserfoar mempunyai porositas efektif rata-rata sebesar 12%

dan saturasi air rata-rata sebesar 40%.

3. Formasi MA Reservoar pada formasi MA mempunyai porositas efektif rata-rata

sebesar 20% dan saturasi air rata-rata sebesar 30%

4. Formasi MB

Reservoar pada formasi MB mempunyai porositas efektif rata-rata

sebesar 8% dan saturasi air rata-rata sebesar 60%.

Page 219: 2009zra Tesis Doktoral IPB

199

5. Formasi O Reservoar pada formasi O mempunyai porositas efektif rata-rata

sebesar 12% dan saturasi air rata-rata sebesar 30%.

6. Formasi P1 Reservoar pada formasi P1 mempunyai porositas efektif rata-rata

sebesar 15% dan saturasi air rata-rata sebesar 50%.

Untuk melakukan pengolahan minyak mentah menjadi produk olahan

seperti gas ikutan, PT. SDK pada tahap awal membangun fasilitas kilang yang

disebut Fasilitas Existing Kilang LPG Plant Tugu Barat. Fasilitas ini mendapatkan

pasokan gas dari Stasiun Pengumpul Tugu Barat. Kilang Existing ini terdiri dari

Kilang CO2 removal & Kilang LPG. Kapasitas gas pasokan dari Stasiun

Pengumpul Tugu Barat ini adalah sebesar 4.5 MMSCFD dengan kandungan CO2

sekitar 40% dan setelah di proses di kilang existing ini akan dapat menghasilkan

produk tambahan berupa : LPG, Kondensat, Lean Gas, dan CO2. Selanjutnya

PT. SDK mengembangkan fasilitas kilang baru untuk lebih meningkatkan

produksi gas ikutan. Fasilitas Kilang Investasi baru disebut Kilang CO2 Removal

yang akan mendapatkan pasokan gas dari sumuran Pasir Catang dan beberapa

sumur lain di Tugu Barat Kompleks. Total pasokan gas ke fasilitas ini sebesar 6.5

MMSCFD, dan gas yang telah terproses akan dikirim untuk menambah pasokan

gas ke Kilang LPG Tugu Barat, sehingga akan dapat meningkatkan hasil

produksi kilang existing (PT. SDK, 2008).

Gambar 59..Salah satu contoh Fasilitas Produksi Industri Pengolahan Gas

Page 220: 2009zra Tesis Doktoral IPB

200

Dalam pengembangan fasilitas industri gas ikutan ini, dipengaruhi oleh

berbagai faktor seperti daya beli pasar, dimana tidak semua jenis produk yang

dihasilkan dapat diserap oleh pasar, deposit tersedia untuk pengolahan menjadi

gas ikutan secara ekonomi tidak menguntungkan, dan yang tidak kalah

pentingnya adalah penggunaan teknologi. Teknologi yang digunakan untuk

menghasilkan berbagai jenis gas ikutan yang diinginkan biasanya tidak

memungkinkan untuk membuat konfigurasi-konfigurasi pengolahan yang tepat

agar dapat menghasilkan semua jenis produk yang diinginkan yang disebabkan

oleh komposisi produk-produk yang dihasilkan oleh sebuah kilang biasanya

menghasilkan beberapa jenis yang sebenarnya secara ekonomi tidak

menguntungkan baik karena sulit dipasarkan ataupun karena memiliki nilai jua

yang terlalu rendah.

Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi dalam pengembangan

industri gas ikutan, maka sebaiknya sebelum memulai suatu usaha terlebih

dahulu dihitung kelayakan eknomi dari pengembangan usaha tersebut apakah

usaha yang dinginkan untuk dikembangkan memberikan keutungan ekonomi

yang berkelanjutan atau akan menimbulkan kerugian. Berkaitan dengan hal

tersebut, PT SDK telah melakukan perhitungan kelayakan ekonomi dalam rangka

pengembangan usaha pengolahan minyak menjadi gas ikutan di Lapangan

minyak Tugu Barat, Kabupaten Indramayu. Berdasarkan hasil perhitungan

menunjukkan bahwa pengembangan industri gas ikutan di lapangan Tugu Barat

oleh PT. SDK secara ekonomi yakin untuk dikembangkan sesuai dengan target

yang telah ditetapkan yaitu selama 10 tahun menurut kontrak kerjasama dengan

PT. Pertamina. Hal ini terlihat dari nilai keuntungan bersih yang diperoleh bernilai

positif dengan tingkat keuntungan bersih (NPV) sebesar US$ 1.148.174,00

dengan kemapuan mengembalikan modal pinjaman bank yang besar yaitu lebih

besar dari tingkat suku bunga bank sampai pada batas waktu yang ditetapkan

dengan rata-rata IRR berkisar 14,42 %.

Dilihat dari nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh

nilai sebesar 5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk

payback loan yang berarti bahwa waktu yang diperlukan oleh perusahaan untuk

dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan lebih cepat dari masa kontrak dan

untuk tahun kelima dan seterusnya perusahaan akan memperoleh keuntungan

dari selisih antara hasil penjualan dengan biaya atau modal yang dikeluarkan.

Artinya perusahaan akan memperoleh keuntungan selama sisa kontrak karena

Page 221: 2009zra Tesis Doktoral IPB

201

periode payback lebih pendek daripada masa kontrak perusahaan yaitu selama

10 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai sekarang penerimaan-

penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar daripada nilai

sekarang investasi sehingga perusahaan memperoleh keuntungan. Adapun

biaya-biaya perlindungan lingkungan dan biaya social yang perlu dikeluarkan

oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya dalam penelitian ini belum

diperhitungkan.

Walaupun secara ekonomi layak untuk dikembangkan, namun hal yang

perlu mendapat perhatian utama adalah bagaimana di dalam menjalankan

kegiatan, industri tidak menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap

lingkungan sekitar yang merupakan ekosistem yang dimanfaatkan bersama

antara perusahaan dengan mayarakat sekitar. Agar lingkungan sekitar dapat

terjaga dengan baik, maka pihak perusahaan dituntut untuk senantiasa

meningkatkan kinerja sistem manajemen lingkungannya (SML). Sistem

manajemen lingkungan merupakan manajemen yang dinamis sehingga

diperlukan adaptasi atau penyesuaian apabila terjadi perubahan di perusahaan,

yang mencakup sumberdaya, proses dan kegiatan perusahaan. Diperlukan pula

penyesuaian seandainya terjadi perubahan diluar perusahaan, misalnya

peraturan perundangan dan desain peralatan yang disebabkan oleh

perkembangan teknologi.

Penanganan efektif dari isu lingkungan merupakan suatu proses yang

berjalan dan secara berkelanjutan mengalami peningkatan sejalan dengan

perubahan operasional industri dan perubahan dari waktu kewaktu. Berdasarkan

hal tersebut maka terdapat tiga tujuan utama dari program lingkungan yang perlu

dikembangkan oleh PT. SDK dalam pengembangan industri gas ikutan yaitu :

1. Manajemen resiko yang efektif. Manajemen resiko yang efektif diperlukan

dalam semua jenis kegiatan. Dampak signifikan kepada lingkungan harus

diperkecil dengan memperkirakan dan mengukur dampak yang akan terjadi

2. Sesuai peraturan dimana semua kegiatan harus sesuai dengan peraturan

yang berlaku, dan

3. Eko-efisiensi. Pemakaian bahan-bahan mentah secara efisien baik dalam

bentuk penghematan pemakaian bahan baku dan energi serta pemakaian

kembali dan mendaur ulang dalam semua aspek kegiatan industri

Untuk memastikan bahwa Sistem Manajemen Lingkungan berjalan dengan baik,

PT.SDK secara rutin mengadakan audit baik yang bersifat internal seperti

Page 222: 2009zra Tesis Doktoral IPB

202

Environmental Internal Audit dan SMIT (Senior Management Inspection Team)

yang masing-masing dilaksanakan 2 kali tiap tahunnya, maupun yang bersifat

eksternal seperti Environmental External Audit dilakukan oleh ERM-CVS, suatu

badan standarisasi internasional yang berkompeten untuk memberikan sertifikat

ISO 14001.

Untuk melihat besarnya potensi pemanfatan gas ikutan yang

dikembangkan oleh PT. SDK, faktor-faktor yang mempengaruhi dalam

pengembangannya, dan dampaknya terhadap lingkungan, maka dibangun suatu

model pengelolaan gas ikutan di Lapangan produksi minyak Tugu Barat,

Kabupaten Indramayu. Dalam model terlihat bahwa penduduk Jawa Barat dan

DKI menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif

(positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial. Ini menunjukan tingginya

tingkat pertumbuhan penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat

kelahiran maupun tingginya penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan

pada pengolahan gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun

karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan

deposit gas maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik

keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami

penurunan. Terlihat bahwa di dalam model terjadi hubungan timbal balik positif

(positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative

feedback) melalui proses balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut

mengikuti pola dasar (archetype) “Limit to Growth”. Pengolahan gas ikutan untuk

menghasilkan gas hasil olahan seperti LPG, CNG, dan lean gas akan

menurunkan jumlah polutan udara seperti CO2, NOx, dan polutan lainnya.

Sebaliknya jika tidak dilakukan pengolahan gas ikutan, akan memperbesar

polutan udara. Dilihat dari tingkat pendapatan total dan pendapatan asli daerah

(PAD) menunjukkan adanya peningkatan setiap tahun dengan meningkatnya

produksi gas ikutan. Pada tahun 2025 diproyeksikan pendapatan total

perusahaan dalam memproduksi gas ikutan (LPG, CNG, lean gas, dan CO2)

akan mencapai nilai sebesar Rp. 658.221.255.663,00

Mengingat besarnya potensi pemanfaatan gas ikutan di lapangan Tugu

Barat Indramayu serta banyaknya faktor yang berpengaruh dan aktor yang

berperan, maka perlu disusun suatu arahan kebijakan agar dalam

pengembangannnya dapat lebih terarah dan dimanfaatkan secara optimal.

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa alternatif kebijakan pengelolaan

Page 223: 2009zra Tesis Doktoral IPB

203

gasi ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat yang perlu dikembangkan adalah

pemanfaatan Liquified Petroleum Gas (LPG). Hal ini penting mengingat

pemanfaatan LPG selain dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi yang

cukup besar karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi dibandingkan jenis bahan

bakar lainnya, juga mempunyai kandungan gas buang yang lebih bersih dan

ramah lingkungan. Dalam pengelolaan gas ikutan ini, tujuan utama yang

diharapkan dalam pengembangan pemanfaatan LPG adalah terpeliharanya

kualitas lingkungan dalam rangka menuju mekanisme pembangunan bersih atau

clean development mechanism (CDM). Namun demikian tujuan lain seperti

perluasan lapangan kerja, peningkatan nilai guna gas ikutan, dan peningkatan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga perlu mendapatkan perhatian serius. Saat

ini Indonesia menghadapi tantangan yang berat yaitu semakin tingginya tingkat

pengangguran. Apalagi krisis global yang terjadi saat ini semakin mengancam

tingginya angka pengangguran di tanah air akibat banyaknya tenaga kerja yang

dirumahkan oleh perusahaan. Melalui pengembangan industri gas ikutan,

tentunya akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi sebagian besar tenaga

kerja Indonesia yang sersedia. Dalam pengembangan industri gas ikutan

tersebut, peningkatan nilai guna dari gas ikutan yang dihasilkan perlu

diperhatikan dalam rangka menjamin kepuasan para konsumen baik di dalam

maupun di luar negeri. Melalui pengembangan industri gas ikutan tentunya juga

akan berdampak pada peningkatan terhadap pendapatan daerah (PAD).

Untuk mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah

kebijakan pemerintah disamping sumberdaya manusia yang tersedia,

sumberdaya alam (ketersediaan gas ikutan), permodalan, teknologi, dan sarana

dan prasarana. Hal ini sesuai juga dengan hasil analisis Interpretatif Structural

Modeling (ISM) bahwa kebijakan pemerintah dan peningkatan sumberdaya

manusia terkait pengelolaan gas ikutan terutama dalam pemanfaatan LPG. Oleh

karena itu diperlukan kebijakan pemerintah dan peningakatan sumebrdaya

mmanusia yang berkualitas dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu

Barat. Saat ini kebijakan pemerintah khususnya terkait dengan pengelolaan gas

ikutan belum ada, sehingga dalam pengelolaannya masih lebih mengacu pada

kebijakan tentang pengembangan sumberdaya energi secara umum. Sedangkan

sumberdaya manusia yang berkualitas yang dimaksud adalah selain memiliki

keterampilan dalam mengelola manajemen industri tetapi memiliki pengetahuan

dan kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dimana

Page 224: 2009zra Tesis Doktoral IPB

204

SDM tersebut dimanfaatkan. Di sisi lain perlunya kebijakan pengelolaan gas

ikutan agar dalam pengembangannya dapat lebih terarah dan dapat

dipertanggung jawabkan.

Page 225: 2009zra Tesis Doktoral IPB

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN 10.1. Kebijakan Umum

Kenaikan harga minyak mentah, net oil importer, kenaikan harga BBM

dan pembengkakan subsidi merupakan fenomena yang terjadi beberapa tahun

terakhir ini. Kenyataan menunjukkan bahwa minyak bumi memang masih

menjadi idola sebagai sumber penyedia energi terbesar di negeri ini. Tingginya

konsumsi masyarakat akan BBM, tidak mampu diimbangi oleh produksi dan

ketersediaan cadangan minyak bumi yang ada di perut bumi negara kita.

Sebagai dampak dari konsumsi BBM tersebut adalah tingginya tingkat

pencemaran lingkungan melalui emisi yang dihasilkan, seperti CO2, NOx, SOx..

Hal ini terkait langsung dengan isu dunia mengenai pemanasan global sebagai

akibat dari efek rumah kaca. Sebagai bangsa yang dianugerahi oleh beragam

SDA, sudah saatnya bagi bangsa ini untuk mulai melirik sumberdaya alam (SDA)

lain, seperti gas alam, untuk diolah sehingga dapat mengurangi porsi minyak

bumi, baik sebagai sumber energi maupun bahan baku industri lainnya. Untuk

itu, diversifikasi dan penguasaan teknologi merupakan yang faktor penting

disamping kesadaran akan kelestarian lingkungan. Teknologi Gas-To-Liquid

(GTL) merupakan salah satu teknologi yang saat ini tengah berkembang di dunia

karena kemampuannya dalam mengolah gas alam guna menghasilkan bahan

bakar cair sintetis yang mirip dengan produk-produk turunan minyak bumi,

bahkan dengan kualitas yang lebih baik.

Mengingat besarnya peran pemanfaatan gas dalam mendukung

ketersediaan energi nasional ditengah krisis energi yang terjadi saat ini, PT. SDK

bekerjasama dengan PT. Pertamina mengembangkan industri pemanfaatan gas

ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Kabupaten Indramayu, provinsi

Jawa Barat. Dalam pengolahan gas ikutan, terdapat empat produk turunan yang

dihasilkan yang meliputi LPG, lean gas, kondensat, dan CO2. Dari keempat jenis

turunan gas ikutan tersebut, LPG memiliki kandungan gas bakrr yang lebih tinggi

dan ramah lingkungan dalam pemanfaatannya. Berdasarkan hal tersebut, maka

dalam rangka pengembangan gas ikutan ke depan, alternatif kebijakan yang

dapat dikembangkan adalah “Pengembangan LPG” sebagai salah satu

alternatif pemanfaatan gas ikutan mendukung mekanisme pembangunan bersih

dalam rangka menunjang pembangunan berkelanjutan.

Page 226: 2009zra Tesis Doktoral IPB

206

10.2. Kebijakan Operasional Dalam rangka pengembangan industri LPG yang merupakan salah satu

bentuk pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu disamping

hasil olahan gas ikutan lainnya, maka terdapat beberapa kegiatan atau program-

program yang merupakan kebijakan operasional antara lain :

1. Perumusan dan pemberlakuan peraturan dan perundangan yang secara

khusus mengatur pengembangan industri gas ikutan di Indonesia dan secara

khusus lagi terkait dengan pengembangan LPG sebagai salah satu produk

dari hasil olahan gas ikutan.

2. Pemerintah setidaknya memberikan akses yang lebih besar bagi industri

dalam pemanfaatan gas ikutan dan memfasilitas penyediaan infrastruktur

terutama infrastruktur pengolahan gas ikutan dan pemasaran baik domestik

maupun mancanegara, termasuk perangkat peraturan perundangannya

3. Membentuk konsorsium pendanaan baik dalam maupun luar negeri untuk

pengembangan industri pemanfaatan gas ikutan seperti LPG.

4. Perusahaan (PT. SDK dan PT. Pertamina) dalam kegiatan produksi LPG dan

hasil olahan gas ikutan lainnya harus pro aktif dengan memprioritaskan pada

perlindungan dan pengendalian lingkungan hidup, dengan tetap memberikan

ruang keterlibatan partisipasi masyarakat, berdasarkan pertimbangan bahwa

masyarakat yang akan terkena dampak suatu kegiatan pembangunan suatu

kawasan industri dalam rangka menuju pembangunan bersih (Clean

Development Mechanism/CDM).

5. Menjalin kerjasama antara pemerintah daerah, PT. Pertamina, dan pihak

lainnya untuk lebih menjamin keberlanjutan pengembangan industri gas

ikutan di Lapangan Tugu Barat, maupun di lapangan produksi minyak

lainnya.

6. Peningkatan pendidikan dan keterampilan sumberdaya manusia yang dimiliki

oleh perusahaan dengan menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan

kursus baik secara formal maupun informal. Di sisi lain perusahaan juga

memiliki tanggung jawab sosial untuk meningkatkan pendidikan dan persepsi

masyarakat sekitar industri

Page 227: 2009zra Tesis Doktoral IPB

XI. KESIMPULAN DAN SARAN 11.1. Kesimpulan Secara umum tujuan penelitian telah berhasil mengembangkan suatu model

pemanfaatan gas ikutan yang mendukung mekanisme pembangunan bersih

dengan substitusi pemanfaatan gas ikutan. Fokus pemanfaatan tidak hanya pada

minyak dan gas bumi saja, tetapi melakukan pemanfaatan gas ikutan yang

terproduksi untuk dapat dimanfaatkan secara ekonomi sekaligus dapat

meminimalkan pencemaran lingkungan, sehingga kegiatan sosial ekonomi

masyarakat dapat berlangsung secara berkelanjutan (sustainable).

Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada

bagian sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan khusus, sebagai

berikut :

1. Lapangan minyak Tugu Barat memiliki areal seluar 920,328 ha dengan

cadangan minyak sebesar 43.423 milyar barrel. Cadangan minyak yang

telah terambil sebesar 12.485,50 milyar barrel dan cadangan gas ikutan

(flare) sebanyak 35,7 BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable.

Kondisi sistem pengolahan gas ikutan cukup berpotensi untuk dapat di

manfaatkan dan potensi gas ikutan yang dapat dimanfaatkan adalah 11

MMSCFD. Pengolahan gas ikutan menjadi LPG, CNG dan lean gas akan

menurunkan jumlah polutan udara seperti CO2, NOx, dan polutan lainnya.

2. Industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu

secara ekonomi, layak untuk dikembangkan. Hal ini dilihat dari

keuntungan bersih yang diperoleh bernilai positif dengan tingkat

keuntungan bersih (NPV) US$ 1.148.174,00, kemapuan mengembalikan

modal pinjaman bank lebih besar dari tingkat suku bunga bank sampai

pada batas waktu yang ditetapkan, rata-rata IRR total 14,42 %. Nilai

payback investment 5,080 tahun dan untuk payback loan 3,537 tahun

(waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal lebih cepat dari

masa kontrak dan untuk tahun kelima dan seterusnya perusahaan akan

memperoleh keuntungan dari selisih antara hasil penjualan dengan biaya

atau modal yang dikeluarkan), sehingga akan memperoleh keuntungan

selama sisa kontrak karena periode payback lebih pendek daripada masa

kontrak perusahaan yaitu selama 10 tahun.

3. Hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan

kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth)

Page 228: 2009zra Tesis Doktoral IPB

208

naik mengikuti kurva eksponensial. Hal yang sama terjadi pada sub

model ekologi dan ekonomi. Adanya keterbatasan sumberdaya yang

tersedia seperti lahan dan deposit gas maka, suatu saat kurva akan

menuju pada keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya

mengalami penurunan. Dalam hal ini pada model terjadi hubungan timbal

balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik

negatif (negative feedback) melalui proses balancing mengikuti pola

dasar (archetype) “limit to growth”. Jika terjadi peningkatan produksi gas

ikutan, maka tingkat pendapatan total dan pendapatan asli daerah (PAD).

akan meningkat setiap tahun, pada tahun 2025 pendapatan total

perusahaan yang mengolah gas ikutan menjadi LPG, CNG, lean gas, dan

CO2) diproyeksikan akan mencapai Rp. 658.221.255.663,00

4. Alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan di Lapangan Minyak Tugu

Barat adalah memanfaatkannya menjadi liquified petroleum gas (LPG)..

Untuk mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah

kebijakan pemerintah disamping sumberdaya manusia yang tersedia,

sumberdaya alam (ketersediaan gas ikutan), permodalan, teknologi, dan

sarana dan prasarana.

11.2. Saran-Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut khususnya terkait penilaian

kelayakan keekonomian pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu

Barat, Indramayu ataupun pada lapangan minyak lainnya yang tidak saja

menghitung biaya dan manfaat investasi tetapi juga memperhitungkan

biaya sosial dan biaya perlindungan lingkungan.

2. Melakukan studi potensi pemanfaatan gas ikutan di lapangan-lapangan

minyak lainnya, khususnya lapangan dengan potensi gas ikutan cukup

besar dengan kajian potensi aplikasi teknologi yang dapat mereduksi gas

ikutan.

3. Disarankan kepada Regulator (Pemerintah) untuk memungkinkan

pengusahaan terhadap gas ikutan oleh perusahaan lain (outsourcing),

bila proyek tersebut tidak menarik secara keekonomian maka di

masukkan kedalam skema CDM (Clean Development Mechanism).

Page 229: 2009zra Tesis Doktoral IPB

Daftar Pustaka

Adelman, M.A. 1990. Mineral Depletion, with special reference to petroleum. Review of Economics and Statistics 72:1-10.

Adimihardja, K. 1993. Kebudayaan dan Lingkungan, Studi Bibliography. PT.Ilham Jaya, Bandung. 101 hal.

Adimihardja, K. and M. Clemens (ed.), 1999. "Indigenous Knowledge Systems and Development", (Proceedings: "Indigenous Knowledge Systems and Development", Bandung, September 14, 1998). UPT.INRIK-UNPAD. Bandung.

Afsah, S., B. Laplante, and N. Makarim. 1996. "Program-Based Pollution Control Management: The Indonesian PROKASIH Program." Policy Research Working Paper 1602. World Bank, Policy Research Department, Washington, DC.

Allenby, B.R. 1999. Industrial Ecology. Policy Framework and Implementation.

Prentice-Hall Inc. New Jersey. USA.

Aldrian, E and Y.S. Djamil. 2008. Spatio Temporal Climate Change of Rain Fall in East Java Indonesia. Int J. Climatology: 23: 435 – 448

American Petroleum Institute. 1995. Report on the Best Available Technology

for Produced Water Management and Treatment. API Publication. _______________________. 1999. Fate Of Spilled Oil In Marine Waters:

Where It Does It Go?, What Does It Do? How Do Dispersants Affect It? Health And Environmental Sciences Dept. Publication No. 4691. Scientific And Environmental Associates, Inc. Cape Charles, Virginia. 43p.

_______________________, 2005. Oil and Gas Industry Guidance on Voluntary Sustainability Reporting Using Enviromental, Health & Safety, Social and Economic Performance Indicators.

Amstrong, S.J. & R.G. Botzier. 1993. Environmental Ethics, Divergence and Convergence. McGraw-Hill Inc. New York. 570p.

ANSI. 1996. ISO 14001 Environmental Management Systems – Specification with guidance for use. Geneve, Switzerland. 16p.

Ardiputra, I.K. 2002. PROPER - Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Pertambangan, Energi dan Migas. Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta. 29 hal.

Arif, I. dan P. Prodjosumarto. 2000. Pengusahaan Pertambangan dan Tanggung Jawab Sosial. Dalam Mencari Model Pemecahan Masalah Hubungan Industri Pertambangan Dengan Masyarakat Sekitar. P3PK Universitras Gadjah Mada, hal:43-57.

Page 230: 2009zra Tesis Doktoral IPB

210

Asian Development Bank. 1999. Policy on Indigenous Peoples. ADB. Manila.

Bailey, J. 1997. Environmental Impact Assessment and Management: An Underexplored Relationship. Environmental Management 21 (3): 317-327.

Baker, M.B. and M. McKiel. 1998. ISO 14000 Question & Answer. CEEM with American Society For Quality. Virginia, USA. 52p.

Ball, J. 2002. Can ISO 14000 and eco-labelling turn the construction industry green? Building and Environment 37: 421-428.

Balisacan, A.M., E.M. Pernia, A. Asra. 2003. “Revisiting Growth and Poverty Reduction: What Do Subnational Data Show?”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 39 (3): 329-351.

Bansal, K.M. 1992. Produced water treatment technologies. Technical Professional Forum of MIGAS, BAPEDAL, BPPT and PERTAMINA. Jakarta. 28p.

BAPEDAL, 1998. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Jakarta. 60 hal.

Barnett, H. and C. Morse. 1963. Scarcity and Growth: The economics of natural resources availability. John Hopkin University Press. Baltimore 356p.

Bellamy, J.A.; D. H. Walker; G.T. McDonald and G.J. Syme. 2001. A systems approach to the evaluation of natural resource management initiatives. Journal of Environmental Management 63 (4): 407-423.

Blomquista, G.C.; M. A. Newsomeb and D.B. Stonec. 2003. Measuring principals’ values for environmental budget management: an exploratory study. Journal of Environmental Management 68 (3):83–93.

Boiral, O. and J.M. Sala. 1998. Environmental Management: Should Industry Adopt IS0 14001? Business Horizon, January-February:57-64.

Booth, A. 1999. “Survey of Recent Development”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 35 (3): 3-38.

_______. 2000. “Poverty and Inequality in the Soeharto Era: An Assessment”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 36 (1): 73-104.

BP. 2006. Making More Energy. Sustainability Report 2005. BP PLC. www.bp.com. 73p.

BPMIGAS. 2004. BPMIGAS Website. http://www.bpmigas.com

BPMIGAS, 2006. Empat Tahun Kiprah BPMIGAS. Dinas Hupmas, Divisi Eksternal, BPMIGAS, Jakarta. 282 h

Page 231: 2009zra Tesis Doktoral IPB

211

BPMIGAS dan KLH. 2003. Hasil Rumusan Workshop Bimbingan Teknis Pelaksanaan PROPER Kegiatan Usaha Hulu Minyak & Gas Bumi. BPMIGAS – KLH, Bandung, 25 – 26 September 2003.

BPS-Bappenas-UNDP. 2001. Indonesia Human Development Report 2001.

__________________. 2004. Indonesia Human Development Report 2004.

BPS. 2004. Statistik Indonesia (Statistical Yearbook of Indonesia) 2003. Katalog BPS:1401. BPS Jakarta. 610 hal.

___. 2004. Neraca Energy (Energy Balance) 1998 - 2002. Katalog BPS:6401. BPS Jakarta. 76 hal.

___. 2005. Survei Tahunan Perusahaan Pertambangan. Statistik Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Mining Statistics of Petroleum And Natural Gas) 2003 2004. Katalog BPS:6301. BPS Jakarta. 63 hal.

___. 2002. Survei Tahunan Perusahaan Pertambangan. Statistik Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Mining Statistics of Petroleum And Natural Gas) 2000. Katalog BPS:6301. BPS Jakarta. 80 hal.

___. 1999. Survei Tahunan Perusahaan Pertambangan. Statistik Pertambangan Mining Statistics of Petroleum And Natural Gas) 1997. Katalog BPS:6301. Minyak dan Gas Bumi (BPS Jakarta. 102 hal.

Brata, A.G. 2004. Analisis Hubungan Imbal Balik Antara Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Daerah Tingkat II di Indonesia. Lembaga Penelitian, Universitas Atmajaya, Yogyakarta. 11hal.

__________. 2005. Investasi Sektor Publik Lokal, Pembangunan Manusia, dan

Kemiskinan. Lembaga Penelitian, Universitas Atmajaya, Yogyakarta. 22hal.

Brata, A. G. dan Z. Arifin. 2003. “Alokasi Investasi Sektor Publik dan

Pengaruhnya Terhadap Konvergensi Ekonomi Regional di Indonesia”. Media Ekonomi 13 (20): 59-71.

Budhisantoso, S. 2001. Pengolahan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Perspektif Antropologi. Makalah Seminar Sehari: Eksploitasi Sumberdaya Alam Dalam Konteks Kebudayaan Lokal dan Otonomi Daerah. FISIP UI, Depok. 6p.

_____________. 2002. Masalah Ketahanan Dan Keamanan Nasional. PASKAL, Hankam, Jakarta. 4p.

Business Council for Sustainable Development-Gulf of Mexico, 1998. By-product synergy; A strategy for sustainable development. A primer. Radian International LLC, Austin, Texas, USA.

Business News. 1994. Menghadapi Dampak Lingkungan Dari Industri Migas. Bussiness News 5534:1-4.

Page 232: 2009zra Tesis Doktoral IPB

212

Callicot, J.B. 1993. Earth’s Insight, A Survey of Ecological Ethics, California Press.

Candler, J.R., and A.J.J. Leuterman. 1997. Effectiveness of a 10-Days Amphipod Sediment Test to Screen Drilling Mud Base Fluids for Benthic Toxicity. Society of Petroleum Engineers (SPE). SPE Paper No.37890:35-64.

Canter, L.W. 1977. Environmental Impact Assessment. McGraw Hill Book Co. New York, USA. 331p.

Carter,T.R. 1996. Assessing Climate Change Adaptation. The IPCC guidelines in Adapting to Climate Change : Assessment ang Issues. Springer . pp:27-43.

Carter, A. 1999. Integrating Quality, Environment, Health and Safety Systems with Customers and Contractors. Green Management International 28: 59-68.

Christie, M. 2001. A comparison of alternative contingent valuation elicitation treatments for the evaluation of complex environmental policy. In Journal of Environmental Management 62 (3):255-269.

Choukri, N. 1981. International Energy Futures: Petroleum Prices, and Power. MIT Press. Cambridge, Massachuset. 87p.

Chua, T.E. ; S.A. Ross and H. Yu. 1997. Malacca Strait Environmental Profile. GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asia Seas. Quezon City, Philippines. 259p.

Cleary, M. and P. Eaton. 1992. Borneo: Change and Development. Oxford University Press, Oxford New York. 355p.

Clemens, B. 2001. Changing environmental strategies over time: An empirical study of the steel industry in the United States. Journal of Environmental Management 62 (2):221-231.

Cleveland, C.J. 1991. Natural resource scarcity and economic growth revisited: economic and biophysical perspectives. In R.Contanza. Ed. Ecological Economics: the science and management of sustainability, p.289-317. Columbia University Press. New York. 525p.

Connel DW dan Miller GJ, 2006, Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, Universitas Indonesia Press, Jakarta

Cochran, W.G. 1977. Sampling Technique. John Wiley & Sons Inc. New York. 488p.

ConocoPhillips. 2007. Sustainable Development Report-Baseline, Performing Today, Preparing for Tomorrow.

Page 233: 2009zra Tesis Doktoral IPB

213

Costanza, R. and M. Ruth. 1998. Using Dynamic Modeling to Scope Environmental Problems and Build Consensus. Environmental Management 22 (2): 183–195.

Daly, H.E. 1990. Toward Some Operational Principles of Sustainable Development. Ecological Economics, 2(1): 1-6.

Daly, H. and R. Goodland. 1993. An Ecological-Economic Assessment of Deregulation of International Commerce Under GATT. World Bank. 14p.

Dana Mitra Lingkungan. 2005. Seminar Produksi Bersih. Clean Technology to Increase Company Profitability. Jakarta. 23 Maret 2005.

Dasgupta, O. and G. Heal. 1974. The Optimal Depletion of Exhaustible

Resources. Review of Economics Studies. Symposium on the Economics of Exhaustible Resources. Edinburgh. Scotland, UK.

Davidsen, P.I.; J.D. Sterman and G.P. Richardson. 1990. A petroleum life cycle model for the United States with endogenous technology, exploration, recovery, and demand. System Dynamics Review 6(1):66-93

Davis, R.A., Jr. 1990. Oceanography An Introduction to The Marine Environment. 2nd Edition. Wm.C.Brown Publishers. Dubuque, Iowa. 307p.

Dewi dan Chandra. 2008. Applicability of Clean Development Mechanism (CDM) In The Utilization of Associated Gas from Oil Production Facilities That Would Otherwise be Flared.

Departemen ESDM. 2006. Statistik Energi. Profil Energi Ringkas Indonesia.

Dep.ESDM, Jakarta. 62 hal.

Departemen ESDM. 2007. Program Pengalihan Minyak Tanah ke LPG (Dalam Rangka Mengurangi Subsidi BBM 2007-2012). Dep.ESDM, Jakarta. 96 hal.

Des Jardins, JR. 1993. Evironmental Ethics, An Introduction To Enviromental Philosophy. Belmont, California. 272p.

Dinas Hupmas Pertamina. 1994. Mengenal Potensi Dampak Lingkungan Dan Pengelolaannya Di Sektor Migas dan Panas bumi Dalam menunjang Pembangunan Berkelanjutan. Pertamina. Jakarta. 24p.

Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat dan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) ITB. 2003. Laporan Akhir Pemanfaatan Sumur-Sumur Migas Non Ekonomis di Kabupaten Indramayu dan Majalengka.

Djajadiningrat, S.T. 2003. Community Development Dalam Paradigma Pembangunan Berkelanjutan hal.3-32 In Rudito, B; A. Prasetijo dan Kusaeri. 2003. Akses Peran Serta Masyarakat, Lebih Jauh Memahami

Page 234: 2009zra Tesis Doktoral IPB

214

Community Development. Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD), Jakarta. 347p.

Down to Earth. 2001. Sengketa Hak Rakyat dan Lingkungan Semakin Membara. Down To Earth No.48. 11 hal. http://dte.gn.apc.org/48iog.htm

Ehrenfeld, J., N. Gertler, 1997. Industrial ecology in practice. The evolution of interdependence at Kalundborg. J. Industrial Ecology 1 (1): 67-79.

Ekins, P.; R.Vanner dan J. Firebrace. 2005. Management of Produced Water On Offshore Oil Installlations: A Comparative Assessment Using Flow Analysis. Final Report. Policy Study Institute. UK Offshore Operators Association. 75p

Elliot, R. 1995. Environmental Ethics. Oxford University Press, New York. 255p.

Engel, J.R. & J.G. Engel. 1990. Ethics of Environmental Development, Arizona Press, Tuscon.

ENN Home Page. 2000. Environmental News Network. (http://www.enn.com)

E&P Forum. 1994. Methods For estimating Atmospheric Emissions from E&P Operations. Report No.2.59/197:1-87.

Escobar, A. 1999. Mengkonstruksi Alam: Menegakkan Ekologi Politik. Paskastruktural. Dalam Masyarakat Sipil. Jurnal Ilmu Sosial Transformatif Edisi 1. Vol. 1, 1999.

Epstein, M. and Roy, M.J. 1998. Managing Corporate Environmental Performance: A Multinational Perspective. European Management Journal 16 (3): 284-296.

Eomorfologi Lingkungan Pesisir Jawa Barat Bagian Utara, http://www.bplhdjabar.go.id/kategori/laut/altlas-utara/Bab-IV.pdf (dikunjungi 9 September 2007).

Fane, G. 2000. “Survey of Recent Developments”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 36 (1): 13-44

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingungan. Teori dan Aplikasi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 259 hal.

Fauzi A dan Anna A, 2005, Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Feldman, D. Lewis; R. A. Hanahan and R. Perhac. 1999. Environmental Priority-

Setting Through Comparative Risk Assessment. Environmental Management 23 (4): 483-493.

Folay, G. 1993. Pemanasan Global. (Alih Bahasa. Hira Jhamtani). Yayasan Obor Indonesia. Jakrta.

Page 235: 2009zra Tesis Doktoral IPB

215

Friedman, J. 2003. How Responsive is Poverty to Growth? A Regional Analysis of Poverty, Inequality, and Growth in Indonesia, 1984-99. UNU-WIDER Discussion Paper No. 2003/57. August 2003.

Fryxell, G.E. and Agnes Szeto. 2002. The Influence of Motivation for Seeking ISO 14001 Certification: An Empirical Study of ISO 14001 Certified Facilities in Hong Kong. Journal of Environmental Management 65 (3): 223-238.

Funston, R.; R. Ganesh; and L.Y.C. Leong. 2002. Evaluation of Technical and Economic Feasibility of Treating Oilfield Produced Water to Create a “New” Water Resource. Kennedy/Jenks Consultant. Bakerfield, California. 14p.

Gelber, M. 1998. EMS Standards Update. Industrial Environmental Management

(IEM), Vol. 7(4):9.

_________. 2000. There’s A Kind of Push... Industrial Environmental Management (IEM), Vol. 8(3):14-15.

_________. 2002. Slave To the Standard? Industrial Environmental Management (IEM), Vol. 11(5):10.

Gibbons, J.H. 1980. World Petroleum Availability 1980-2000. A Technical Memorandum. U.S. Central Intelligence Agency. Washinton, D.C. 77p.

Gilbert, J.T.E. 1982. Environmental Planning Guidelines For Offshore Oil and Gas Development. East West Center. Hawaii, USA. 63p.

Goudie, A. 1990. The Human Impact on the Natural Environment. Basil Blackwell. Oxford. UK. 388p.

Gralla, P. 1994. How the Environment Works. Ziff-Davis, Emeryville, California. USA. 201p.

Greer, J. dan K. Bruno. 1999. Kamuflase Hijau. Membedah Ideologi Lingkungan Perusahaan-Perusahaan TransNasional. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Jakarta. 295 hal.

Gerner F, Svensson B dan Djumena S, Gas Flaring and Venting : A regulatory Framework and incentive for Gas utilization http://www.worldbank.org/publicpolicy/journal/summary.aspx?id=279 (dikunjungi 17 Agustus 2007).

Gas, http://en.wikipedia.org/wiki/gas (dikunjungi 13 Agustus 2007). Gas Alam, http://pertamina.com/index.php?option=com content&task=view

(dikunjungi 6 September 2007). Gas Flare, http://en.wikipedia.org/wiki/Gas flare (dikunjungi 13 Agustus 2007). Global Climate Change and Energy Project, http://gcep.stanford.edu/ (dikunjungi

12 February 2007)

Page 236: 2009zra Tesis Doktoral IPB

216

Gas Flaring Reduction Projects Framework for Clean Development

Mechanism(CDM)BaselineMethodologies, http://www.worldbank.org/ggfr/report (dikunjungi 10 Februari 2007).

Gas Flaring Reduction Projects Framework for Clean Development

Mechanism(CDM)BaselineMethodologies, http://www.worldbank.org/ggfr/report (dikunjungi 10 Februari 2007).

Hanley, N.; J.F. Shogren; and B.White. 2002. Environmental Economics. In

Theory and Practice. Palgrave Macmillan. Bristol, UK. 464p.

Harian Kompas. 2004. KLH Membentuk Pusat Produksi Bersih Nasional.

Harris, J.M. 2000. Basic Principles of Sustainable Development. Global Development and Environment Institute. Tuft University. Medford, M.A.

Heal, G. 1998. Valuing the Future: Ecomic Theory and Sustainability. Columbia Univeristy Press. New York.

Hidayati.R, Abdullah, S.E.A. dan Suharsono, H. 1999. Perubahan Iklim di Bogor (studi kasus 5 Kecamatan) hubungannya dengan perubahan pemanfaatan lahan. Makalah pada Simposium Internasional PERHIMPI. Bogor 18-20 Oktober 1999.

Hidayati.R. 1990. Kajian Iklim Kota Jakarta, Perubahan dan Perbedaan

dengan daerah Sekitarnya. Thesis Program Studi Agroklimatologi. FPS-Institut Pertanian Bogor.

Hilarius, K.O. 2000. Dampak Operasi Perusahaan Minyak Unocal Di Marangkayu, Kalimantan Timur, Indonesia. Jaringan Advokasi Tambang Kaltim dan Community Aid Abroad. Victoria University of Technology, Melbourne. 23hal.

Holahan, W.L. and C.O. Kroncke. 2004. Teaching the Economics of Non-renewable Resources to Undergraduate. International Review of Economics Education, Vol. 3(77-87).

Hubbert, M.K. 1975. Hubbert’s Estimates from 1956 to 1974 of US Oil and Gas. In Models for Assessing Energy Resources, ed. M. Grenon, 370-383. Oxford Press.

Hufschmidt, M.M.; D.E. James, A.D.Meister, B.T. Bower and J.A. Dixon. 1996. Lingkungan, Sistem Alami, Dan Pembangunan. Terj. Dari Environmental, Natural Systems, and Development, An Economic Valuation Guide, oleh Rekshadiprodjo, S. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 483hal.

Indriani Gustya. 2005. Gas Flaring Reduction in the Indonesian Oil and Gas Sector - Technical and Economic Potential of Clean Development Mechanism (CDM) Projects.

Page 237: 2009zra Tesis Doktoral IPB

217

Irianto, A. 1992. Menekan Ketidakpastian Dampak Sosekbud. Makalah Seminar Nasional Metodologi Prakiraan dampak dalam AMDAL. PPLH IPB, Bogor. 10p.

Iskandar, J. 2001. Manusia Budaya Dan lingkungan. Kajian Ekologi Manusia. Humaniora Utama Press. Bandung. 184p.

Indonesia Country Study on Climate Change. 1998. Vulnerability and Adaptation Assessments of Climate Change in Indonesia. The Ministry of Environment the Republic of Indonesia. Jakarta

Institute for Global Enviromental Strategis (IGES),2006, CDM Country Guide for

Indonesia, Ministry of The Enviromental, Japan. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2005. Special Report on

Carbon Capture and Storage. Edited by B. Metz, O. Devidson. H. De connick, M. Loos, L. Meyer. Cambirdge University.

Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNDP.

IUCN and E&P Forum. 1993. Oil and Gas Exploration and Production in Mangrove Areas. E&P Forum, London, UK. 47p.

Jackson, L.M., and J.E. Myers, 2003. Design and Construction of Pilot Wetlands for. Produced-Water Treatment. SPE 84587, presented at the SPE Annual Technical Conference and Exhibition. Denver, CO, Oct.5-8.

Jenkins, W. 1978, Policy Analysis: A Political and Organizational Perspective (New York, St. Martin's Press).

Johnston, 2003 Wha Are The Contraints On Associated Gas Utilization ? http://www.dundee.ac.uk/cepmlp/car/html/car8_article19.pdf (dikunjungi 13 Agustus 2007).

Jurnal Tentang Minyak & Gas (JTMGB), november 2007, Peranan Manajemen Reservoir, IATMI (Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia). Hal 25, Jakarta

Kadariah, L.K. dan C.Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. 181hal.

Kadlec, R.H. and R.L. Knight. 1996. Treatment Wetlands. Lewis Publishers, Inc.

New York. 456p.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 111 tahun 2003 Tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air Atau Sumber Air. Jakarta.

Page 238: 2009zra Tesis Doktoral IPB

218

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000. Pedoman Umum Pengelolaan Lingkungan Sosial. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. 67hal.

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup , 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta.

_______, 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. KLH dan Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta. 156hal.

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2003. Homepage Kementerian Lingkungan Hidup. http://www.menlh.go.id/proper/html

Kementerian Lingkungan Hidup, Institute for Global Environmental Strategies (IGES), Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, dan CER Indonesia. 2001. Panduan kegiatan MPB di Indonesia (Clean Development Mechanism). Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta. 134 hal.

Killeen. 1996. Ozone and Greenhouse Gases in Introduction to Climate change

I. Lecture Notes. University of Michigan. USA.

Khoiroh, I. 2008. Natural Gas Processing (Introduction). http://www.esdm.go.id. Diakses pada Tanggal 06 januari 2009.

Kapoor, I. 2001. Towards participatory environmental management? Journal of Environmental Management 63 (3):269-279.

Katz, L. 2003. Treatment of Produced Water Using Surfactant Zeolite/ Vapor PhaseBioreactor System. The University of Texas, Austin, USA, 78p.

Kertell, K. and R.L. Howard. 1997. Environmental Auditing: Impoundment Productivity in the Prudhoe Bay Oil Field, Alaska: Implications for Waterbirds. Environmental Management 21 (5):779-792.

Keith, L.H. 1988. Principles of Environmental Sampling. American Chemical Society Professional Reference Book. Washington D.C., USA. 458p.

Keraf, A.S. 2000. Eksploitasi Sumberdaya Alam Dalam Konteks Budaya Lokal dan Otonomi Daerah. Pra-Simposium International Jurnal Antropologi Indonesia ke2. FISIP UI, Jakarta. 5p.

Keraf, A.S. Tanpa Tahun. Manusia Dan Lingkungan Hidup: Mencari Model Etika Lingkungan. Diktat Kuliah Etika Lingkungan. 18p.

Koentjaraningrat, 1987. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas Dan Pembangunan. PT.Gramedia, Jakarta. 151p.

Kebijakan Energi Nasional 2003-2020, Kebijakan Energi Yang Terpadu untuk mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan, 2004, Departemen Energi Sumber Daya Mineral Indonesia, Jakarta.

Page 239: 2009zra Tesis Doktoral IPB

219

Lanjauw, P., M. Pradhan, F. Saadah, H. Sayed, R. Sparrow. 2001. Poverty, Education and Health in Indonesia: Who Benefits from Public Spending?. World Bank Working Paper No. 2739. December 2001.

Lathrop, K.W. and T.J. Centner. 1998. Eco-Labeling and ISO 14000: An Analysis of US Regulatory Systems and Issues Concerning Adoption of Type II Standards. Environmental Management 22 (2):163-172.

Leccraft, J. 1983. A dictionary of petroleum Terms. 3rd edition. The University of Texas at Austin , Texas. 177p.

Ledgerwood, G., 1997. Corporate environmental governance. In: Greening the

boardroom, Ledgerwood, G., ed., pp. 11-16. Greenleaf Publishing, Sheffield, UK.

Lemigas. 1999. Kamus Minyak Dan Gas Bumi. Edisi keempat. PPPTMGB Lemigas. 435 hal.

Lewis, B.D. dan J. Chakeri. 2004. “Central Government Spending In the Regions

Post-Decentralisation”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 40 (3): 379-394.

Li, K. and R.N. Horne. 2003. A Decline Curve Analysis Model Based on Fluid Flow Mechanisms. SPE 83470. SPE Western Regional/ AAPG Pacific Section Joint Meeting, Long Beach, California. 9p.

Lin Li. 2001. Encouraging Environmental Accounting Worldwide: A Survey of

Government Policies and Instruments. Corporate Environmental Strategy 8 (1): 55-64.

Liquefied Petroleum Gas, http://en.wikipedia.org/wiki/Liquefied Petroleum Gas, (dikunjungi 13 Agustus 2007).

MacKenzie, J.J., R.C. Dower, D.D.T. Chen, 1992. The going rate: What it really costs to drive. World Resources Institute, Washington, D.C.

Maloringan, M.; J.R.G. Djopari dan Sugiarto. 1997. Referensi Manual Untuk Tugas Diskusi Dan Kelompok Environmental Awareness Course II. Kursus KKSD Pertamina BPPKA July 9-10 1997. Jakarta. 110hal.

Mateu, J. 1997. Methods of Assessing and Achieving Normality Applied to Environmental Data. Environmental Management 21 (5):767-777.

Mawarni, A., 2001. Community Development dalam Perusahaan Pertambangan. Suara Pembaruan Daily, 3 Oktober 2001.

Media Indonesia. 2007. Dua Pertiga Dunia Kekeringan pada 2050. Harian Media Indonesia, 21 Maret 2007. http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=127951

Page 240: 2009zra Tesis Doktoral IPB

220

Meiviana A, Sulistiowati DR, Soejachmoen MH, Bumi Makin Panas, http://www.pelangi.or.id/publikasi/2007/bumi_makin_panas.pdf (dikunjungi 17 Agustus 2007).

Meadows, D.H., D.L. Meadows. J. Randers and William Behrens III. 1972. The

Limit to Growth. Universe Book. New York.

Mitchell, B.; B. Setiawan & D.H. Rahmi, 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada Univ.Press., Yogyakarta. Hal: 297-331.

Moersidik, S.S. 2001. Minimalisasi Limbah dan Produksi Bersih. Dampak Pada Aspek Sosial Budaya. Pelatihan Dasar-Dasar AMDAL Angkatan LXXXVII, 5-17 Februari 2001. PPSML – UI dengan dukungan BAPEDAL, Jakarta.

Moore, C. and M.A. Santosa. 1995. "Developing Appropriate Environmental Conflict Management Procedures in Indonesia." Cultural Survival Quarterly, Vol. 19, Issue 3.

Muhammadi, E.Aminullah, dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis – Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta.

Muhammadi, M.Tasrif, A.T. Pabeta, E.Pudjiastuti, E.Aminullah, dan S.Dolant. 1995. Analisis Lingkungan Hidup dengan Dinamika Sistem. PP-PSL. Ditjen Dikti – Dep. Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Murdiyarso D, 2003, Sepuluh Tahun Perjalanan Konvensi Perubahan Iklim, PT. Kompas Media Nusantara.Jakarta.

Murdiyarso D, 2003, CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih, PT. Kompas

Media Nusantara, Jakarta. Murdiyarso D, 2003, Protokol Kyoto Implikasi bagi Negara Berkembang, PT.

Kompas Media Nusantara, Jakarta

Myung Kwon, D.; M. Seok Seo and Y. Chil Seo. 2002. A Study of Compliance with Environmental Regulation of ISO 14001 Certified Companies in Korea. Journal of Environmental Management 65 (4): 347-353.

Nagarajan, N.R., M.M. Honarpour and K. Sampath. 2007. Reservoir-Fluid Sampling and Characteriztion – Key to Efficient Reservoir Management. Journal Petroleum Technology, in press (August 2007).

Naill, R.F. 1973. The Discovery Lifecycle of a Finite Resource: A Case Study of Natural Gas. In D.L. Meadows and D.H. Meadows. Toward Global Equilibrium. MIT Press. Cambridge, Massachuset.

Nash, J., and J. Ehrenfeld, 1997. Codes of environmental management practice: Assessing their potential as a tool for change. Annual Review Energy and Environment 22: 487-535.

Natural Gas, http://.en.wikipedia.org/wiki/Natural Gas, (dikunjungi 13 Agustus 2007)

Page 241: 2009zra Tesis Doktoral IPB

221

Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. 622 hal.

New Logic Research Inc. 2007. To Treat Desalter Effluent. An Effective and Economical Solution. California. 64p.

Nybakken J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. (Diterjemahkan oleh M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo, S. Sukardjo tahun 1998). PT Gramedia. Jakarta. 459 hal

Nugroho, H. 2005. Ratifikasi Protokol Kyoto, Mekanisme Pembangunan Bersih

dan Pengembangan Sektor Energi Indonesia: Catatan Strategis. Bappenas. Jakarta. 21hal.

NUS Home Page 1999. South Chinese Sea Remote Sensing for Marine Pollution (http://www.crisp.nus.edu.sg/)

OSPAR Commission. 2002. Background Document Concerning Techniques for The Management of Produced Water from Offshore Installations. Offshore Industry Series. 70p.

Oey-Gardiner, M. 2000. “The Value of Education and The Indonesian Economic

Crisis”. Ekonomi dan Keuangan Indonesia 48 (2): 143-173.

Olishisfski Julian. 1985. B., P.E, C.S.P, editor in chief. Fundamental of Industrial Hygiene, National Safety Council, second edition, North Michigan

Parmesan, C. 2000. Effect of Climate Change on Butterfly Distribution in : Green, R.E., Harley, M., Spalding, M., and Zockler, C. Impact of Climate Chane on Wildlife. UNEP. UK.

Partney, P.R., 2000. Environmental problems and policy: 2000-2005. Resources

for the Future: 6-10. Winter 2000, Issue 138.

Pearce, D. and E.B. Barbier. 2000. Blueprint for Sustainable Economy. Earthscan Publication, London. UK. 273p.

Pandjaitan M, 2006, Industri Petrokimia dan Dampak Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogjakarta.

Petrosyan K, Journal Petroleum Economic, What the constraints on associated

gas utilization ?, http://www.ftnetwok.com. (dikunjungi 14 Maret 2007). Pedenaud, P. 2006. TOTAL Experience To Reduce Discharge of Hydrocarbons

Through Produced Water. SPE 98490. HSE in Oil and Gas Exploration and Production. 8p.

Perman, R. Yue Ma and J.McGilvray. 1996. Natural Resource & Environmental

Econimics. Longman. Singapore.

Page 242: 2009zra Tesis Doktoral IPB

222

Pertamina. 1997. Pengelolaan Lindungan Lingkungan, Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Migas. Penerbit HUPMAS Pertamina, Jakarta. 58hal.

Pertamina. 2001. Pedoman Program Community Development Di Lingkungan Pertamina Dit. MPS – KPS/JOB. Hasil Community Development Workshop, Bandung, 24-26 Oktober 2001. 7hal.

Pezzey, J. 1992. Sustainability: An Interdisciplinary Guide. Environmentalk Values 1(4):321-362.

P3PK-UGM, 2000. Mencari Model Pemecahan Masalah Hubungan Industri Pertambangan dengan Masyarakat Sekitar. Prosiding Lokakarya. P3PK-UGM, Yogyakarta. 151hal.

PPPTMGB Lemigas. 1999. Kamus Minyak dan Gas Bumi. Edisi Keempat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Lemigas. Jakarta. 436hal.

PT. RMT. 1974. Glossary of Petroleum Terms. (Indonesian-English). Publication No.7503 D. 70 al.

[PT. SDK] PT. Sumberdaya Kelola. 2005. Profil Bisnis LPG Indonesia. PT. Sumberdaya Kelola. Indramayu

_______2005. Penjelasan Umum Proyek Kilang Mini LPG – Tugu Barat. PT.

Sumberdaya Kelola. Indramayu

Purba, J. 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Yayasan Obor Indonesia. Diterbitkan atas kerjasama dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.

Purnomo, Y. 2006. Workshop On Enabling Framework to Support Implementing of GHG Emission Reduction Project in Oil and Gas Sector. Departemen Energi Sumber Daya Mineral. Jakarta.

Pusat Data Statistik, 2006. Buku Pegangan Statistik Energi Ekonomi Indonesia. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Jakarta. 65hal.

Rabke, S. and J. Candler. 1998. Development of acute benthic toxicity for monitoring synthetic-based muds discharged offshore. IBC Conference on Minimising the Environmental Effects of Offshore Drilling, Houston, Texas. 32p.

Rafinus, B. H., R. Lukman, dan K. Djaja. 2000. “Tinjauan Triwulan Perekonomian Indonesia”, Ekonomi dan Keuangan Indonesia 48 (3): 189-214.

Raines, S.S., 2002. “Implementing ISO 14001 - An International Survey Assessing the Benefits of Certification”. Corporate Environmental Strategy, Vol.9 (4):418-426.

Ramanathan, R. 2001. A note on the use of the analytic hierarchy process for environmental impact assessment. Journal of Environmental Management 65 (1):27-35.

Page 243: 2009zra Tesis Doktoral IPB

223

Ramirez, A., G. Ranis, dan F. Stewart. 1998. “Economic Growth and Human Capital”. QEH Working Paper No. 18.

Rasidin, Y. 2004 Personal Communication. Rapat Kerja PROPER Kegiatan E&P Migas antara KLH, BPMIGAS dan KPS. Bandung.

Reith, C. 2001. Applying Environmental Management Strategies to the Agricultural Sector: Louisiana’s Model Sustainable Agricultural Complex. Corporate Environmental Strategy 8 (1):75-83.

Reyes, J.L.P., K. Li and R.N. Horne. 2004. A New Decline Curve Analysis Method Applied to the Geysers. Stanford Geothermal Program. Stanford University, CA. 8p.

Richards, D.J., and R. A. Frosch, 1997. The industrial green game: Overview and perspectives. In: The industrial green game. Implications for environmental design and management, Richards, D. J., ed., pp. 1-34. National Academy of Engineering, Washington, D.C.

Rich, B. 1994. Mortgaging the Earth: The World Bank, Environmental Impoverishment and the Crisis of Development. Beacon Press, Boston, Massachusetts, USA. 376p.

Roderick P, Gas Flaring In Negeria (A Human Right, Enviromental and Economic Monstrosity, http://www.climatelaw.org. (dikunjungi 14 July 2007).

Rogers, M.F.; J.A. Sinden and T. De Lacy. 1997. The Precautionary Principle

for Environmental Management: A Defensive Expenditure Application. Journal of Environmental Management 51 (4): 343-360.

Rozari, M.B. Hidayati, R dan Manan, E. 1992. Perubahan Iklim di Indonesia. Jurnal Perhimpi Vol : VIII No:1, pp : 1-8

Rukeh AR, GO Ikiafa, PA Okokoyo, Global Journal of Enviromental Science,

Monitoring air pollutants due to gas flaring using rain water http://www.ajol.info/viewarticle.php?id=24369 (dikunjungi 18 Agustus 2007)

Rooney-Char, A.H., P.L.Coutrier, J.A. Galt, R. King Jr., J. Robinson, and R.B.

Wheeler. 1982. Technical Guidelines for Offshore Oil and Gas Development, Contingency Planning For Offshore Oil And Gas Development. The Environment and Policy Institute (EAPI), East West Center. Hawaii, USA. 118p.

Russel, S. 1994. Selamatkan Laut Kita. WWF, Gland, Switzerland. 24p. (Pencarian minyak sering melibatkan penggunaan bahan peledak yang menghancurkan lingkungan lokal. Pengeboran minyak merusak dasar laut, dan sementara minyak disedot, zat-zat kimia beracun tumpah ke dalam laut, p.12

Richard wolfson and Stephen H, Schneider, 2007. Understanding Climate Science, WorldBank

Page 244: 2009zra Tesis Doktoral IPB

224

Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sadiq, R. and T. Husain. 2005. A fuzzy-based methodology for an aggregative environmental risk assessment: a case study of drilling waste. Environmental Modelling & Software 20:33-46.

Said, U. 2001. Pencemaran Lingkungan Oleh Kegiatan Pertambangan dan Energi. Teknologi Pengendalian Pencemaran Dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan. Diktat Kuliah PSIL-UI, Jakarta. 36hal.

Saifuddin, A.F. 2007. Kemiskinan di Indonesia: Realita Dibalik Angka. Pidato ilmiah sebagai guru besar Antropologi FISIP, Universitas Indonesia. Jakarta, 24 Januari 2007.

Sageev, A. G.D. Prat and H.J. Ramey Jr. Decline Curne Analysis for Infinitive, Double Porosity Systems without Wellbore Skin. Workshop on Geothermal Reservoir Engineering, Stanford University. California.

Sajogyo, 1978. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Harian Kompas. Jakarta.

Salim, E. 1987. Pembangunan Berkelanjutan. PPSML, Universitas Indonesia, Jakarta. 17hal.

_______. 1991. Analisis Kebijakan Ekonomi Yang Berkelanjutan. PPSML, Universitas Indonesia. Jakarta. 23p.

_______. 1994. Pola Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pembangunan

Ekonomi Indonesia Jangka Panjang Kedua. Jurnal Ekonomi Lingkungan Edisi Ke-lima:1-10. Proyek EMDI – KLH, Jakarta.

_______. 1994. Ketegangan Akibat Tekanan Sumber Alam dan Kependudukan. Harian Kompas, 19 April 2004. Jakarta. 8hal.

_______. 2001. Keberlanjutan Pembangunan Dengan Pembangunan

Berkelanjutan. Diskusi : Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan di dalam Era Desentralisasi dan Tantangan Global. KLH Jakarta. 5hal.

_______. 2003. Riau Jangan Terlalu Andalkan Minyak dan Gas Bumi. Harian Kompas, Senin 28 Juli 2003. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/28/daerah/456726.htm dikunjungi (13 Agustus 2007)

_______. 2003. Closing The Gap. Guest Speaker during IPA – Annual Convention. Indonesian Petroleum Association (IPA). Jakarta. 4p.

_______. 2005. From Commitment to Realization of Sustainable Development. Sustainable Development Forum, ConocoPhillips Indonesia. Jakarta, April 6, 2005. 18p.

Page 245: 2009zra Tesis Doktoral IPB

225

_______. 2006. Mengarustengahkan Sustainabilitas dalam Kebijakan Pembangunan. Jurnal Lingkungan I(1):1-4.

Sari AP, Kehidupan Tanpa Minyak : Masa Depan yang Nyata,

http://www.pelangi.or.id/publikasi/2007/kehidupan tanpa minyak.pdf (dikunjungi 17 Agustus 2007). Sascha T.Djumena, 2007. Reducing Gas Flaring and Venting:How a Partnership

can Help Achieve Success, GGFR, worldBank/IFC, Oil, Gas Mining and Chemicals Departement.

Satter, A., and Thakur, G.C. 1994. Integrated Petroleum Reservoir Management: A Team Approach. PennWell Books. Tulsa.

Schaltegger, S. and T. Synnestevedt. 2002. The Link Between “Green” and

Economic Success: Environmental Management as The Crucial Trigger Between Environmental and Economic Performance. Journal of Environmental Management 65 (4): 339-346.

Schaltegger. S; R. Burritt and H. Petersen. 2003. An Introduction to Corporate Environmental Management, Striving for Sustainability. Greenleaf Publishing Limited. Sheffield, UK. 384p.

Schmidheiny, S., 1992. Changing course. MIT Press, Cambridge, MA, USA.

Siddayao, C.M. and L.A. Griffin. 1993. Energy Investment and The Environment. Economic Development Institute of The World Bank. Washington D.C. 253p.

Silalahi, M.D. 1992. Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan Implikasinya Secara Regional. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 328p.

Simarmata, A. 1991. Teori Pengambilan Keputusan. PPSML – UI. Jakarta. 11hal.

Simmons, W.R. 2006. The World’s Giant OilFields. How many exist? How much do they produce? How fast are they declining? Simmons & Company International. 65p.

Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1994. Metode Penelitian Survai. LP3ES, Jakarta. 210 hal.

Smith, J. Fielding. 1998. Does Decentralization Matter in Environmental Management? Environmental Management 22 (2):263-276.

Soemarwoto, O. 2000. Menindaklanjuti Emil Salim. Dalam rangka HUT ke -70. Harian Kompas Jakarta 8 Juni 2000.

____________. 2001. Atur Diri Sendiri. Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembangunan Ramah Lingkungan: Berpihak Pada Rakyat, Ekonomis, Berkelanjutan. Gadjah Mada Univ.Press., Yogyakarta. 261p.

Page 246: 2009zra Tesis Doktoral IPB

226

Soetaryono, R. 1989. Penentuan Rona Awal Komponen Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya. Widyapura No.3, hal 48.

____________. 2000. Dimensi Operasional Konsep Lingkungan Hidup Sosial dalam Kisi-Kisi Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pusat Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. 16p.

Soetrisno, L.; M.Maksum; Susetiawan; dan D. Ismowati. 2000. Mencari Model Pemecahan Masalah Hubungan Industri Pertambangan Dengan Masyarakat Sekitar. Prosiding Lokakarya. P3PK-UGM, Yogyakarta. 151hal.

Somantri, R.A. 1998. Peranan nilai budaya daerah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Bagian Proyek P2NB Jawa Barat, Bandung.

Spangenberg, J.H.; S. Pfahl and K. Deller. 2002. Towards indicators for institutional sustainability: lessons from an analysis of Agenda 21. Ecological Indicators 2: 61–77. Sriharjo, S. 2001. Sinergi Produksi Bersih Pada Peningkatan Daya Saing Industri . Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, Vol.3, No.4 (Juli 2001). BPPT, Jakarta. Hal.47-52. http://www.iptek.net.id/ind/jurnal/jurnal_idx.php?doc=V3.n4.07.htm

Sterman, J.D. and G.P. Richardson. 1985. An experiment to Evaluate Methods for Estimating Fossil Fuel Resources. Journal of Forecasting 4:197-226.

Strickland, J.D.H. and T.R. Parsons. 1968. A Practical Handbook of Sea Water Analysis. Fish. Res. Board Canada, Bull. 167:1-311.

Sudibyo, R. 2004. Laporan Kegiatan BPMIGAS Periode 2002 – 2004. Jakarta. 34 hal. http://www.bpmigas.com/Laporan.asp

Suhariadi, F. 2007. Paradigma Pengelolaan Manusia di Dalam Organisasi: Bidang Ilmu Manajemen Sumberdaya Manusia. Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia pada Fakultas Psikologi Universitas Airlangga di Surabaya pada hari Sabtu Tanggal 25 Agustus 2007. Surabaya. 23 hal.

Sumantojo, R.W. 1992. Minimisasi Limbah. Pusat Studi Ilmu Lingkungan,

Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Lingkungan & Pembangunan, 12 (4): 242-257.

Suparlan, P. 1980. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Perspektif Antropologi Budaya. Yang tersirat dan yang tersurat. Fak. Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta.

Suparmoko, M. 1995. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis). BPFE Yogyakarta. 411p.

Surna T.D. 2001. Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Penerbit Studi Tekno Ekonomi, departemen Teknik Industrifakultas teknik Industri ITB Bandung.

Page 247: 2009zra Tesis Doktoral IPB

227

Suryahadi, A., W. Widyanti, D. Perwira, S. Sumarto. 2003. “Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Formal Sector”, Bulletin of Indonesian Economic Studies 39 (1): 29-50.

Suzeta, P. 2007. Minyak Tanah : Konversi ke Gas Elpiji. http://www.pikiran-

rakyat.com. Dikunjungi tanggal 06 Januari 2009. Syahrial E. dan Bioletty L. 2007. Kajian potensi CO2 dan EOR dalam

Menciptakan Mekanisme Pembangunan Bersih di Indonesia. Jurnal Lemigas M & E Vol. 5 No. 3 September 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi. Jakarta p. 33-55

Syaifudin, A. 1993. Proses Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak Bumi, Flotation Cell dan Vortoil Hydrocyclone. Departemen Teknik Perminyakan ITB.

Bandung. 19hal.

Sustainable Development Report-Baseline, Performing Today Preparing Tomorrow,http://www.conocophilips.com/sustainable/report (dikunjungi 20 February 2007).

Tarras-Wahlberg, N.H. 2002. Environmental Management of Small-Scale and

Artisanal Mining: The Portovelo-Zaruma Gold Mining Area, Southern Ecuador. Journal of Environmental Management 65 (2):165-179.

Taylor, P.W. 1986. Respect for Nature, A Theory of Environmental Ethics, Princeton, New Jersey.

Teknik Lingkungan ITB. 2004. Pencemaran Lingkungan On Line Website. http://www.tlitb.org/plo/model.html

Thampapillai, D.J.; C. Hanf; Thangavelu, S.M.; and E.T. Quah. 2003. The Environmental Kuznets Curve Effect and the Scarcity of Natural Resources: A Simple Case Study of Australia. National University of Singapore. 23p.

Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. 2005. Kemiskinan Di Indonesia: Perkembangan Data dan Informasi Mutakhir. TKPK, Jakarta. 120hal.

Timoney, K. and P. Lee. 2001. Environmental management in resource-rich Alberta, Canada: first world jurisdiction, third world analogue? Journal of Environmental Management 63 (4):387-405.

Tietenberg, T. 1996. Environmental and Natural Resources Economics. Fourth Edition. HarperCollinsCollege Publishers. New York. 614p.

Turner, R.K.; R. Salmons and A. Craighill. 1998. Green Taxes, Waste Management and Political Economy. Journal of Environmental Management 53 (2): 121-136.

The EPA Natural Gas Star Program, Intented to reduce methane emission from the oil and gas industry, http://www.epa.gov/gasstar/. (dikunjungi 13 Agustus 2007).

Page 248: 2009zra Tesis Doktoral IPB

228

The Natural Gas Industry and the environment,

http://www.naturalgas.org/enviroment/ng industry enviroment.asp (dikunjungi 13 Agustus 2007).

The Enviroment, Statoil and Sustainable, http://www.statoil.com/ (dikunjungi 15

Agustus 2007). The Oil and Gas Industry and Sustainable Development,

http://www.totalfinaelf.com/ (dikunjungi 15 Agustus 2007). Undang-Undang RI No.23 Tahun 1997. Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang RI No.25 Tahun 2000. Tentang Program Pembangunan

Nasional Propenas) Tahun 2000 – 2004.

UNDP dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2000. Agenda 21 Sektoral. Agenda Energi Untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Jakarta. 227p.

UNEP. 1996. Cultural and Spiritual Values of Biodiversity. UNEP, Intermediate Technology Publications. 731p.

UNEP and E&P Forum. 1997. Environmental Management in Oil and Gas Exploration & Production. E&P Forum. London, UK. 68p.

US-EPA. 2000a. Development document for final effluent limitations guidelines and standards for synthetic-based drilling fluids and other non-aqueous drilling fluids in the oil and gas extraction point source category, US Environmental Protection Agency, Washington DC, EPA-821-00-013.

_______ 2000b. Environmental assessment of final effluent limitations guidelines and standards for synthetic-based drilling fluids and other non-aqueous drilling fluids in the oil and gas extraction point source category, US Environmental Protection Agency, Washington DC, EPA-821-00-014.

Wark, AC and TL Warner 1981: Threshold Limit Values for Chemical Substances and Physical Agent and Biological Exposure Indices, ACGIH Worldwide, Cincinati

Wales, J. 2008. Gas Alam Cair. http://www.eia.doe.gov. Diakses pada tanggal 06 januari 2009.

Wariyanto, A. 2002. Antara Eksploitasi Alam dan Pendapatan Daerah. Harian Suara Merdeka 22 Maret 2002. http://www.suaramerdeka.com/harian/0203/22/kha2.htm.

Warnika, K. 2006. Operasi Kegiatan Hulu Migas Yang Efisien, Efektif dan Ramah Lingkungan. BPMIGAS. Jakarta. 38hal.

Watterberg, A., Sumarto, S., dan Prittchett, L.. 1999. “A National Snapshot of the Social Impact of Indonesia’s Crisis”. Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 35 No 3, 145-152.

Page 249: 2009zra Tesis Doktoral IPB

229

Wawolumaya, C. 2001. Metodologi Riset Kedokteran, Survei Epidemiologi Sederhana. Bidang Perilaku Kedokteran/Kesehatan. Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas. Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Jakarta. 112p.

Wenten, I.G. dan Adityawarman, D. 1999. Prospek Pemanfaatan Teknologi Membran dalam Bidang Biuoteknologi Kelautan. ITB. Bandung.

Westmacott, S. 2001. Developing decision support systems for integrated coastal management in the tropics: Is the ICM decision-making environment too complex for the development of a useable and useful DSS? Journal of Environmental Management 62 (1):55-74.

Wheeler, D. and S.Afsah. 1996. "Going Public on Polluters in Indonesia's: BAPEDAL’s Proper Prokasih Program. New Public Disclosure Program." East Asian Executive Reports. International Executive Reports, Washington DC. 5p.

Wibowo, P. 2004. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Masyarakat.

Majalah Tempo. http://www.pdat.co.id/hg/opinions_pdat/2004/09/28/opn,20040928-03,id.html

Wibowo, R.S. dan E. Hafild. 2005. Studi Awal Transparansi Ekonomi Ekstraktif Di Indonesia. Transparency International Indonesia dan Yayasan Tifa Jakarta. 33 hal

WIMPOL. 1987. Environmental Impact Assesment For The Onshore Oil And Gas Industry. Wiltshire, UK. 32p.

Wiyono, 2001. Pengelolaan Sumber Daya Hutan Dalam Rangka Otonomi Daerah. http://www.arupa.or.id/papers/32htm. 5p.

World Bank, 1990. Indonesia. Sustainable development of forests, land and water. The World Bank, Washington, DC, USA.

__________. 1991. Environmental Assessment Sourcebook. Volume I: Policies, Procedures, and Cross-Sectoral Issues. World Bank Technical Paper No.139. The World Bank. Washington D.C. 227p.

__________. 1991. Environmental Assessment Sourcebook. Volume II: Sectoral Guidelines. World Bank Technical Paper No.140. The World Bank. Washington D.C. 282p.

__________. 1994. Indonesia. Environment and development. The World Bank, Washington, DC, USA.

__________. 2006. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Ikhtisar. The World Bank, Office Jakarta. 40 hal.

Page 250: 2009zra Tesis Doktoral IPB

230

World Bank. 2007. buku panduan MPB (Mekanisme Pembangunan Besih) untuk sektor minyak dan gas di indonesia. Ikhtisar. The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank, Sofreco in Collaboration With, Natsource, dan Cerindenesia. Jakarta. 72 hal.

Wisaksono W, Sanusi B, Nugrahanti A, Oetomo RG, Situmorang B, Abduh S, Pribadi IGOS, Sediadi ER, Amran TG, Prayitno, 2004, Bunga Rampai

World Commission on Environment and Development (WCED). 1987. Our Common Future. Oxford University Press, Oxford.

World Oil, 2003. Special Focus. International Outlook: Far East. Energy demands spur oil/gas developments. World Oil, The Oilfield Information Source. August 2003 Edition. 6p.

World Business Council for Sustainable Development, undated. Collection of case studies in eco-efficiency. http://www.bcsd.ch/eedata

Yusgiantoro, P. 2007. Penerimaan Sektor Migas Rp 228,97 Triliun. http://www.bpmigas.com/w1.asp

Zanten, W.V. 1994. Statistika Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. PT. Gramedia, Jakarta. 494hal.

Page 251: 2009zra Tesis Doktoral IPB

231

Lampiran 1. Perhitungan IRR, NPV dan PBP

Page 252: 2009zra Tesis Doktoral IPB

232

Lampiran 2. Formula Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

init CNG = 0 flow CNG = +dt*laju_prod_CNG doc CNG = total produksi CNG init CO2 = 0 flow CO2 = +dt*laju_prod_CO2 doc CO2 = produksi gas CO2 olahan init gas_ikutan = 10000 flow gas_ikutan = -dt*Laju_pengolahan-dt*laju_flare+dt* laju_pertambahan_gas_ikutan doc gas_ikutan = produksi gas ikutan init Gas_olahan = 0 flow Gas_olahan = +dt*Laju_pengolahan-dt*laju_prod_CO2 -dt*laju_prod_LPG-dt*laju_prod_CNG-dt*laju_prod_lean doc Gas_olahan = total gas olahan init gas_terbakar = 1000 flow gas_terbakar = -dt*laju_pengurangan_gas_pol+dt*laju_flare doc gas_terbakar = jumlah gas ikutan yang dibakar init IINDUSTRI = 1000 flow IINDUSTRI = -dt*laju_pengurangan_industri+dt* laju_pertumbuhan_industri doc IINDUSTRI = jumlah industri di wilayah jawa barat init JML_PDDK = 36914883 flow JML_PDDK = -dt*lj_kematian-dt*lj_emigrasi+dt*laju_kelahiran

+dt*laju_imigrasi doc JML_PDDK = jumlah penduduk jawa Barat pada tahun 2002 init Lean_Gas = 0 flow Lean_Gas = +dt*laju_prod_lean doc Lean_Gas = produksi Lean gas hasil olahan init LPG = 0 flow LPG = +dt*laju_prod_LPG doc LPG = total produksi LPG aux laju_flare = gas_ikutan*fr_flare doc laju_flare = laju gas ikutan yang dibakar per tahun aux laju_imigrasi = JML_PDDK * fr_immigrasi doc laju_imigrasi = Number of new individuals born into a population per time unit aux laju_kelahiran = JML_PDDK * fr_lahir*faktor_klhr_krn_pencmr doc laju_kelahiran = Number of new individuals born into a population per time unit aux Laju_pengolahan = gas_ikutan*prop_olah doc Laju_pengolahan = laju gas ikutan yang diiolah setiap tahun aux laju_pengurangan_gas_pol = gas_terbakar*fr_prespitasi doc laju_pengurangan_gas_pol = laju pengurangan gas polutan aux laju_pengurangan_industri = IINDUSTRI*fr_pengurangan_ind

Page 253: 2009zra Tesis Doktoral IPB

233

doc laju_pengurangan_industri = laju pengurangan industri aux laju_pertambahan_gas_ikutan = exploitasi_minyak*fr_gas_ikutan* fr_konversi*fr_hari_operasi doc laju_pertambahan_gas_ikutan = laju pertambahan gas ikutan per tahun aux laju_pertumbuhan_industri = IINDUSTRI*fr_pertamh_ind doc laju_pertumbuhan_industri = laju pertumbuhan industri aux laju_prod_CNG = Gas_olahan*fr_CNG*kap_prod_CNG doc laju_prod_CNG = laju produksi CNG aux laju_prod_CO2 = Gas_olahan*fr_olahCO2*kap_prod_CO2 doc laju_prod_CO2 = laju produksi gas CO2 hasil olahan aux laju_prod_lean = Gas_olahan*fr_lean*kap_prod_Lean_Gas doc laju_prod_lean = laju produksi lean gas aux laju_prod_LPG = Gas_olahan*fr_LPG*kap_prod_LPG doc laju_prod_LPG = laju produksi LPG aux lj_emigrasi = JML_PDDK*fr_emigrasi doc lj_emigrasi = Number of individuals that die out of a population per time unit aux lj_kematian = JML_PDDK / umur_rata2*faktor_umur_krn_pencmr doc lj_kematian = Number of individuals that die out of a population per time unit aux exploitasi_minyak = GRAPH(TIME,2002,2,[463,541,538,507,496,465, 454,435,407,379,359,320,289,224,115"Min:0;Max:600"]) doc exploitasi_minyak = eksploitasi minyak bumi aux faktor_klhr_krn_pencmr = GRAPH(status_pencmr_lingk,0,1,[1,0.97,0.91,0.84,0.77"Min:0;Max:1"]) doc faktor_klhr_krn_pencmr = faktor kelahiran karena pencemaran lingkungan aux faktor_umur_krn_pencmr = GRAPH(status_pencmr_lingk,0,1,[1,0.93, 0.82,0.66,0.42"Min:0;Max:1"]) doc faktor_umur_krn_pencmr = faktor harapan hidup karena pengaruh pencemaran lingkungan aux fr_flare = 1-prop_olah doc fr_flare = fraksi gas ikutan yang dibakar melalui flare aux industr_pengguna_CNG = IINDUSTRI*fr_ind_pengg_CNG doc industr_pengguna_CNG = jumlah industri yang menggunakan CNG aux industr_pengguna_CO2 = IINDUSTRI*fr_ind_pengg_CO2 doc industr_pengguna_CO2 = jumlah industri pengguna CO2 aux industr_pengguna_Lean_Gas = IINDUSTRI*fr_ind_pengg_Lean_Gas doc industr_pengguna_Lean_Gas = jumlah industri pengguna lean gas aux jumlah_KK = JML_PDDK/fr_KK doc jumlah_KK = jumlah KK aux kebut_LPG_ind = IINDUSTRI*fr_ind_pengguna_LPG*fr_kebut_LPG_ind doc kebut_LPG_ind = kebutuhan LPG oleh industri aux kebut_LPG_Tot = kebut_LPG_ind+kebutuhan_LPG_RT doc kebut_LPG_Tot = kebutuhan LPG total di wilayah Jabar & Jakarta aux kebutuhan_CNG = industr_pengguna_CNG*fr_kebut_CNG_per_ind doc kebutuhan_CNG = kebutuhan CNG oleh industri aux kebutuhan_CO2 = industr_pengguna_CO2*fr_kebut_CO2_per_ind doc kebutuhan_CO2 = kebutuhan CO2 olahan untuk industri

Page 254: 2009zra Tesis Doktoral IPB

234

aux kebutuhan_Lean_Gas = industr_pengguna_Lean_Gas* fr_kebut_Lean_per_ind doc kebutuhan_Lean_Gas = jumlah kebutuhan lean gas oleh industri aux kebutuhan_LPG_RT = (jumlah_KK*fr_LPG_KK)/1000 doc kebutuhan_LPG_RT = kebutuhan LPG DKI per tahun aux kekurangan_pasok_CNG = kebutuhan_CNG-CNG doc kekurangan_pasok_CNG = kekurangan pasok CNG aux kekurangan_pasok_Co2 = kebutuhan_CO2-CO2 doc kekurangan_pasok_Co2 = kekurangan pasok CO2 pd industri aux kekurangan_pasok_Lean_Gas = kebutuhan_Lean_Gas-Lean_Gas doc kekurangan_pasok_Lean_Gas = kekurangan pasok Lean gas aux kekurangan_pasok_LPG = kebut_LPG_Tot-Total_Pasokan_LPG doc kekurangan_pasok_LPG = kekurangan pasokan LPG di wilayah Jabar & DKI aux kemamp_olah = GRAPH(pendapatan_total,1000000,1000000,[0.29, 0.454,0.568,0.69,0.774,0.829,0.866,0.883,0.892,0.896,0.896"Min:0; Max:0.9"]) doc kemamp_olah = proporsi gas yang diolah terkait kemampuan keuangan perusahaan aux LPG_dari_industri = kebut_LPG_Tot*fr_LPG_industri doc LPG_dari_industri = pasok LPG dari industri migas aux PAD = pajak_industri*pendapatan_total doc PAD = pendapatan asli daerah dari produksi olahan gas ikutan aux pendapatan_dari_CNG = CNG*harga_CNG doc pendapatan_dari_CNG = pendapatan kotor dari CNG aux pendapatan_dari_Lean_Gas = Lean_Gas*harga_lean_gas doc pendapatan_dari_Lean_Gas = pendapatan kotor dari Lean gas aux pendapatan_dari_LPG = LPG*harga_LPG doc pendapatan_dari_LPG = pendapatan kotor dari LPG aux pendapatan_dari_prod_CO2 = CO2*harga_produk_CO2 doc pendapatan_dari_prod_CO2 = pendapatan kotor dari CO2 aux pendapatan_total = pendapatan_dari_CNG+ pendapatan_dari_Lean_Gas+pendapatan_dari_LPG+ pendapatan_dari_prod_CO2 doc pendapatan_total = total pendapatan dari gas olahan aux pol_CO2 = gas_terbakar*fr_CO2*fr_CO2_per_gas doc pol_CO2 = produksi gas polutan CO2 aux pol_lain = gas_terbakar*fr_pol_lain*pol_lain_per_gas doc pol_lain = produksi gas polutan lain aux pol_NOx = gas_terbakar*fr_NOx*NOx_per_gas doc pol_NOx = produksi polutan H2S aux prop_olah = kemamp_olah*fr_olah doc prop_olah = proporsi gas yang diolah aux status_pencemaran_lain = GRAPH(TIME,2002,4,[1.51,1.64,1.85, 2.02,2.21,2.37,2.54,2.75,2.92,3.05,3.18"Min:0;Max:4"]) doc status_pencemaran_lain = status pencemaran lingkungan dari faktor selain udara aux status_pencmr_lingk = (0.5*status_pencemaran_lain)+(0.5*

Page 255: 2009zra Tesis Doktoral IPB

235

status_pencmr_udara) doc status_pencmr_lingk = status pencemaran lingkungan aux status_pencmr_udara = (0.9*status_pencmr_udara_sumber_lain)+(0.1* status_pencmr_udara_akibat_flare) doc status_pencmr_udara = status pencemaran udara aux status_pencmr_udara_akibat_flare = GRAPH(total_cemaran_flare,0, 1000000,[0,0.24,0.43,0.71,0.97,1.29,1.76,2.17,2.77,3.31,3.98"Min:0; Max:4"]) doc status_pencmr_udara_akibat_flare = pencemaran udara akibat gas yang dihasilkan dari flare aux status_pencmr_udara_sumber_lain = GRAPH(TIME,2002,4,[1.64,1.7, 1.83,1.91,2.09,2.26,2.41,2.58,2.77,2.92,3.08"Min:0;Max:4"]) aux total_cemaran_flare = pol_CO2+pol_NOx+pol_lain doc total_cemaran_flare = total akumulasi gas yang dihasilkan dari proses flare aux Total_Pasokan_LPG = LPG+LPG_dari_industri doc Total_Pasokan_LPG = total pasokan LPG yaitu dari PT SDK dan dari industri lain, termasuk dari industri pengolahan LPG dari migas const fr_CNG = 0.25 doc fr_CNG = proporsi olahan CNG const fr_CO2 = 0.97 doc fr_CO2 = fraksi CO2 const fr_CO2_per_gas = 2510/1000000 doc fr_CO2_per_gas = jumlah CO2 yang dihasilkan per m3 gas flare const fr_emigrasi = 1% doc fr_emigrasi = rata-rata proporsi emigrasi normal const fr_gas_ikutan = 5.7/550 doc fr_gas_ikutan = fraksi gas ikutan dari eksploitasi migas per barrel const fr_hari_operasi = 340 doc fr_hari_operasi = jumlah hari operasi per tahun const fr_immigrasi = 3.5% const fr_ind_pengg_CNG = 1% doc fr_ind_pengg_CNG = fraksi industri yang menggunakan CNG const fr_ind_pengg_CO2 = 1% doc fr_ind_pengg_CO2 = fraksi industri pengguna CO2 const fr_ind_pengg_Lean_Gas = 1% doc fr_ind_pengg_Lean_Gas = fraksi industri pengguna Lean Gas const fr_ind_pengguna_LPG = 30% doc fr_ind_pengguna_LPG = proporsi industri pengguna LPG const fr_kebut_CNG_per_ind = 500 doc fr_kebut_CNG_per_ind = penggunaan CNG per industri per tahun const fr_kebut_CO2_per_ind = 500 doc fr_kebut_CO2_per_ind = kebutuhan CO2 per industri per tahun const fr_kebut_Lean_per_ind = 500 doc fr_kebut_Lean_per_ind = fr kebutuhan lean gas per industri per tahun const fr_kebut_LPG_ind = 150000 doc fr_kebut_LPG_ind = fraksi kebutuhan LPG per industri per tahun const fr_KK = 5

Page 256: 2009zra Tesis Doktoral IPB

236

doc fr_KK = jumlah jiwa per KK const fr_konversi = 0.035937*1000000 doc fr_konversi = konversi dari mmscf ke m3 const fr_lahir = 1.2% doc fr_lahir = Birth fraction in a population, i.e., the number of new individuals born per individual in a population per time unit. const fr_lean = 0.25 doc fr_lean = proporsi olahan lean gas const fr_LPG = 0.25 doc fr_LPG = proporsi olahan LPG const fr_LPG_industri = 0.8 doc fr_LPG_industri = proporsi LPG yang dipasok dari industri const fr_LPG_KK = 15*12 doc fr_LPG_KK = kebutuhan LPG per KK per tahun const fr_NOx = 0.01 doc fr_NOx = frfaksi H2S const fr_olah = 1 doc fr_olah = dilakukan atau tidaknya pengolahan gas ikutan const fr_olahCO2 = 0.25 doc fr_olahCO2 = proporsi gas olahan menjadi CO2 const fr_pengurangan_ind = 0.005 const fr_pertamh_ind = 0.01 doc fr_pertamh_ind = pertambahan industri const fr_pol_lain = 002 doc fr_pol_lain = fraksi gas polutan lain const fr_prespitasi = 0.05 doc fr_prespitasi = fraksi presipitasi gas polutan oleh air hujan const harga_CNG = 30*10000 doc harga_CNG = harga CNG per satuan const harga_lean_gas = 2.2*10000 doc harga_lean_gas = harga lean gas const harga_LPG = 280*10000 doc harga_LPG = harga LPG per satuan const harga_produk_CO2 = 1.073*10000 doc harga_produk_CO2 = harga CO2 per satuan const kap_prod_CNG = 14/(5.7*1000000*0.035937) doc kap_prod_CNG = jumlah CNG yang dihasilkan oleh setiap satuan gas yang diolah const kap_prod_CO2 = 10/(5.7*1000000*0.035937) doc kap_prod_CO2 = jumlah CO2 yang dihasilkan oleh setiap satuan gas yang diolah const kap_prod_Lean_Gas = 3.8/(5.7*1000000*0.035937) doc kap_prod_Lean_Gas = jumlah Lean Gas yang dihasilkan oleh setiap satuan gas yang diolah const kap_prod_LPG = 15.5/(5.7*1000000*0.035937) doc kap_prod_LPG = jumlah LPG yang dihasilkan oleh setiap satuan gas yang diolah const NOx_per_gas = 2500/1000000

Page 257: 2009zra Tesis Doktoral IPB

237

const pajak_industri = 0.01 doc pajak_industri = pajak const pol_lain_per_gas = 2000/1000000 const umur_rata2 = 80 doc umur_rata2 = Average lifetime in a population

Page 258: 2009zra Tesis Doktoral IPB

238

Lampiran 3. Hasil Analisis Pendapat Pakar dalam Mendisain Kebijakan Pemanfaatan gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat, Kabupaten Indramayu

LEVEL SUB LEVEL Pakar

I Pakar

II Pakar

III Pakar

IV Pakar

V Pakar

VI Pakar

VII Rata

GeometrikRata-rata

FAKTOR SDM 0,139 0,136 0,147 0,130 0,130 0,298 0,452 0,180843 0,211879 SDA 0,093 0,077 0,491 0,104 0,104 0,261 0,253 0,158483 0,185682 Modal 0,144 0,186 0,071 0,150 0,150 0,022 0,024 0,080855 0,094731 Teknologi 0,258 0,186 0,043 0,244 0,244 0,041 0,044 0,11204 0,131268 Sarana dan Prasaran 0,127 0,186 0,025 0,122 0,122 0,072 0,08 0,090734 0,106306 Kebijakan Pemerintah 0,24 0,23 0,224 0,250 0,250 0,307 0,146 0,230565 0,270134 0,853521 STAKEHOLDER Pemerintah 0,204 0,241 0,484 0,155 0,161 0,310 0,490 0,264346 0,292305 Pengelola/Pertamina 0,206 0,318 0,303 0,289 0,202 0,426 0,355 0,290653 0,321395 Perbankan 0,423 0,315 0,15 0,398 0,470 0,127 0,063 0,225785 0,249666 Masyarakat 0,167 0,126 0,062 0,159 0,167 0,138 0,092 0,123565 0,136634 0,904349

TUJUAN Terpeliharanya Kualitas Lingkungan Menuju CDM 0,250 0,247 0,352 0,250 0,250 0,422 0,444 0,306575 0,322817

Perluasan Lapangan Kerja 0,250 0,226 0,063 0,250 0,250 0,208 0,158 0,184622 0,194404

Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan 0,250 0,301 0,477 0,250 0,250 0,278 0,306 0,294217 0,309805

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah 0,250 0,226 0,108 0,250 0,250 0,092 0,092 0,164271 0,172974

ALTERNATIF LPG 0,373 0,314 0,248 0,370 0,370 0,475 0,475 0,367026 0,382355 Kondensat 0,268 0,29 0,077 0,271 0,271 0,158 0,158 0,195645 0,203816 Lean Gas (Power Generator) 0,287 0,31 0,426 0,290 0,290 0,275 0,275 0,3042 0,316905 CO2 0,072 0,086 0,249 0,068 0,068 0,092 0,092 0,093038 0,096924 0,959909

Page 259: 2009zra Tesis Doktoral IPB

239

Lampiran 4. Kuisioner Disain Kebijakan Pemanfaatan gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat, Kabupaten Indramayu dengan AHP

KUESIONER MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI PERUSAHAAN MIGAS DALAM RANGKA MENDUKUNG

MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH

EXPERT SURVEY

Oleh:

ZULKIFLI RANGKUTI NPM.P062059434

PENELITIAN PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2008

Page 260: 2009zra Tesis Doktoral IPB

240

PETUNJUK PENGISIAN I. Tata Cara Pengisian Kuesioner

Isilah perbandingan antara masing-masing atribut seperti tertera pada Tabel 2 dengan Skala Saaty seperti yang tertera pada Tabel 1. Misalnya pada Tabel 2, bila Atribut B lebih penting dari pada Atribut A maka nilai Skala Saaty = 5 diberikan pada Atribut B yang terletak disisi kanan

angka-angka pertbandingan itu. Sebaliknya, bila Atribut A sangat penting maka nilai Skala Saaty = 7 diberikan pada Atribut A yang terletak disisi kiri angka-angka pertbandingan itu.

Dimohonkan pengisian ini dilakukan secara konsisten. Sebagai contoh, apabila Atribut A lebih baik dari Atribut C, dan Atribut B lebih baik dari Atribut C maka Atribut A harus lebih baik dari Atribut C.

Tabel 1. Penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing atribut

Nilai Skor Keterangan

1 Kriteria yang satu dengan yang lainnya sama penting 3 Kriteria yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Kriteria yang lainnya. 5 Kriteria yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding Kriteria

yang lainnya 7 Kriteria yang satu sangat penting dibanding Kriteria yang lainnya 9 Kriteria yang satu ekstrim pentingnya dibanding Kriteria yang lainnya

2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas

CONTOH PENILAIAN :

Tabel 2. Berilah Tanda (X) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing atribut.

Kolom Kiri Diisi jika Kriteria di kolom sebelah kiri lebih penting

dibanding Kriteria di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Kriteria di kolom sebelah kiri lebih penting

dibanding Kriteria di kolom sebelah kanan

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Atribut A v Atribut B Atribut A X Atribut C Selanjutnya Selanjutnya

Page 261: 2009zra Tesis Doktoral IPB

241

Model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Kebijakan pemerintah

Sarana dan prasarana Teknologi Modal Sumberdaya

alam Sumberdaya

manusia Faktor

LSM Pempus Pengelola/Pertamina Pengusaha Pemda

Terpeliharanya Kualitas lingkungan

menuju CDM

Peningakatn Pendapatan Asli

Daerah

Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan

Perluasan lapangan kerja

KONDENSAT

Stakeholders

Tujuan

Alternatif

Fokus

Gambar 1. hierarki pengambilan keputusan model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

LEAN GAS (POWER GENERATOR)

Perbankan Masyarakat

LPG CO2

Page 262: 2009zra Tesis Doktoral IPB

242

PEMBOBOTAN FAKTOR 1. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap FAKTOR yang berpengaruh dalam PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI PERUSAHAAN MIGAS

DALAM RANGKA MENDUKUNG MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH

Diisi jika Faktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Faktor

di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Faktor di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Faktor di kolom

sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

Sumberdaya Manusia Sumberdaya Alam Sumberdaya Manusia Modal Sumberdaya Manusia Teknologi Sumberdaya Manusia Sarana dan Prasarana Sumberdaya Manusia Kebijakan Pemerintah Sumberdaya Alam Modal Sumberdaya Alam Teknologi Sumberdaya Alam Sarana dan Prasarana Sumberdaya Alam Kebijakan Pemerintah Modal Teknologi Modal Sarana dan Prasarana Modal Kebijakan Pemerintah Teknologi Sarana dan Prasarana Teknologi Kebijakan Pemerintah Sarana dan Prasarana Kebijakan Pemerintah

B. PEMBOBOTAN STAKEHOLDER

2. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam Peningkatan SDM terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Kolom Kiri Diisi jika Aktor di kolom sebelah

kiri lebih penting dibanding Aktor di kolom sebelah kanan Diisi

Bila Sama

Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding Aktor di kolom

Kolom Kanan

Page 263: 2009zra Tesis Doktoral IPB

243

Penting sebelah kiri 9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Pengelola/Pertamina Pemerintah Pusat Pengusaha Pemerintah Pusat Perbankan Pemerintah Pusat LSM Pemerintah Pusat Masyarakat Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pemerintah Daerah Pengusaha Pemerintah Daerah Perbankan Pemerintah Daerah LSM Pemerintah Daerah Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengelola/Pertamina Perbankan Pengelola/Pertamina LSM Pengelola/Pertamina Masyarakat Pengusaha Perbankan Pengusaha LSM Pengusaha Masyarakat Perbankan LSM Perbankan Masyarakat LSM Masyarakat

3. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam Pengelolaan SDA terkait pemanfaatan gas ikutan di

perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor

di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding Aktor di kolom sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Pengelola/Pertamina

Page 264: 2009zra Tesis Doktoral IPB

244

Pemerintah Pusat Pengusaha Pemerintah Pusat Perbankan Pemerintah Pusat LSM Pemerintah Pusat Masyarakat Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pemerintah Daerah Pengusaha Pemerintah Daerah Perbankan Pemerintah Daerah LSM Pemerintah Daerah Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengelola/Pertamina Perbankan Pengelola/Pertamina LSM Pengelola/Pertamina Masyarakat Pengusaha Perbankan Pengusaha LSM Pengusaha Masyarakat Perbankan LSM Perbankan Masyarakat LSM Masyarakat

4. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam penyediaan Modal terkait pemanfaatan gas ikutan di

perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor

di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding Aktor di kolom sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Pengelola/Pertamina Pemerintah Pusat Pengusaha Pemerintah Pusat Perbankan Pemerintah Pusat LSM Pemerintah Pusat Masyarakat

Page 265: 2009zra Tesis Doktoral IPB

245

Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pemerintah Daerah Pengusaha Pemerintah Daerah Perbankan Pemerintah Daerah LSM Pemerintah Daerah Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengelola/Pertamina Perbankan Pengelola/Pertamina LSM Pengelola/Pertamina Masyarakat Pengusaha Perbankan Pengusaha LSM Pengusaha Masyarakat Perbankan LSM Perbankan Masyarakat LSM Masyarakat

5. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam penyediaan Teknologi terkait pemanfaatan gas ikutan di

perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor

di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding Aktor di kolom sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Pengelola/Pertamina Pemerintah Pusat Pengusaha Pemerintah Pusat Perbankan Pemerintah Pusat LSM Pemerintah Pusat Masyarakat Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pemerintah Daerah Pengusaha Pemerintah Daerah Perbankan Pemerintah Daerah LSM

Page 266: 2009zra Tesis Doktoral IPB

246

Pemerintah Daerah Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengelola/Pertamina Perbankan Pengelola/Pertamina LSM Pengelola/Pertamina Masyarakat Pengusaha Perbankan Pengusaha LSM Pengusaha Masyarakat Perbankan LSM Perbankan Masyarakat LSM Masyarakat

6. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam penyediaan Sarana dan Prasarana terkait pemanfaatan

gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor

di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding Aktor di kolom sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Pengelola/Pertamina Pemerintah Pusat Pengusaha Pemerintah Pusat Perbankan Pemerintah Pusat LSM Pemerintah Pusat Masyarakat Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pemerintah Daerah Pengusaha Pemerintah Daerah Perbankan Pemerintah Daerah LSM Pemerintah Daerah Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengelola/Pertamina Perbankan Pengelola/Pertamina LSM

Page 267: 2009zra Tesis Doktoral IPB

247

Pengelola/Pertamina Masyarakat Pengusaha Perbankan Pengusaha LSM Pengusaha Masyarakat Perbankan LSM Perbankan Masyarakat LSM Masyarakat

7. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam penyusunan Kebijakan terkait pemanfaatan gas ikutan di

perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor

di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding Aktor di kolom sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Pusat Pengelola/Pertamina Pemerintah Pusat Pengusaha Pemerintah Pusat Perbankan Pemerintah Pusat LSM Pemerintah Pusat Masyarakat Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pemerintah Daerah Pengusaha Pemerintah Daerah Perbankan Pemerintah Daerah LSM Pemerintah Daerah Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengelola/Pertamina Perbankan Pengelola/Pertamina LSM Pengelola/Pertamina Masyarakat Pengusaha Perbankan Pengusaha LSM Pengusaha Masyarakat

Page 268: 2009zra Tesis Doktoral IPB

248

Perbankan LSM Perbankan Masyarakat LSM Masyarakat

C. PEMBOBOTAN TUJUAN

8. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Pemerintah Pusat terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah

kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom

sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

Penciptaan Lapangan Kerja

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Penciptaan Lapangan Kerja

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Penciptaan Lapangan Kerja

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

9. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Pemerintah Daerah terkait pemanfaatan gas ikutan di

perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Kolom Kiri Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding

Tujuan di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom

sebelah kiri

Kolom Kanan

Page 269: 2009zra Tesis Doktoral IPB

249

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9Penciptaan Lapangan Kerja

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Penciptaan Lapangan Kerja

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Penciptaan Lapangan Kerja

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

10. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Pengelola/Pertamina terkait pemanfaatan gas ikutan di

perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding

Tujuan di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom

sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

Penciptaan Lapangan Kerja

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Penciptaan Lapangan Kerja

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Penciptaan Lapangan Kerja

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Page 270: 2009zra Tesis Doktoral IPB

250

11. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Pengusaha terkait pemanfaatan gas ikutan di

perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding

Tujuan di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom

sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

Penciptaan Lapangan Kerja

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Penciptaan Lapangan Kerja

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Penciptaan Lapangan Kerja

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

12. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Perbankan terkait pemanfaatan gas ikutan di

perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding

Tujuan di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom

sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

Penciptaan Lapangan Kerja

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Page 271: 2009zra Tesis Doktoral IPB

251

Penciptaan Lapangan Kerja

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Penciptaan Lapangan Kerja

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

13. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh LSM terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan

migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding

Tujuan di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom

sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

Penciptaan Lapangan Kerja

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Penciptaan Lapangan Kerja

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Penciptaan Lapangan Kerja

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Page 272: 2009zra Tesis Doktoral IPB

252

14. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Masyarakat terkait pemanfaatan gas ikutan di

perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding

Tujuan di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom

sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

Penciptaan Lapangan Kerja

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Penciptaan Lapangan Kerja

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Penciptaan Lapangan Kerja

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan

Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

D. PEMBOBOTAN ALTERNATIF 15. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap ALTERNATIF yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai Tujuan Penciptaan

Lapangan Kerja terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Page 273: 2009zra Tesis Doktoral IPB

253

Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kiri lebih penting

dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom

sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

LPG KONDENSAT

LPG LEAN GAS (POWER

GENERATOR) LPG CO2

KONDENSAT LEAN GAS (POWER GENERATOR)

KONDENSAT CO2

LEAN GAS (POWER GENERATOR)

CO2

16. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap ALTERNATIF yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai Tujuan Kualitas Lingkungan

Terjaga Menuju CDM terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kiri lebih penting

dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom

sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

LPG KONDENSAT

LPG LEAN GAS (POWER

GENERATOR) LPG CO2

KONDENSAT LEAN GAS (POWER GENERATOR)

Page 274: 2009zra Tesis Doktoral IPB

254

KONDENSAT CO2

LEAN GAS (POWER GENERATOR)

CO2

17. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap ALTERNATIF yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai Tujuan Peningkatan Nilai

Guna Gas Ikutan terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kiri lebih penting

dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom

sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

LPG KONDENSAT

LPG LEAN GAS (POWER

GENERATOR) LPG CO2

KONDENSAT LEAN GAS (POWER GENERATOR)

KONDENSAT CO2

LEAN GAS (POWER GENERATOR)

CO2

18. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap ALTERNATIF yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai Tujuan Peningkatan

Pendapatan Asli Daera (PAD) terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih

Page 275: 2009zra Tesis Doktoral IPB

255

Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kiri lebih penting

dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom

sebelah kiri

Kolom Kiri

9 8 77 6 55 4 3 2 1 2 33 4 5 6 7 8 9

Kolom Kanan

LPG KONDENSAT

LPG LEAN GAS (POWER

GENERATOR) LPG CO2

KONDENSAT LEAN GAS (POWER GENERATOR)

KONDENSAT CO2

LEAN GAS (POWER GENERATOR)

CO2

Terima Kasih atas partisipasi Bapak/Ibu, semoga menjadi amal baik bapak/ibu untuk turut memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya berkaitan dengan Penyusunan Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Perusahaan Migas dalam rangka mendukung Pembangunan Bersih.

12 Nopember 2008 Hormat kami, ZULKIFLI RANGKUTI.

Page 276: 2009zra Tesis Doktoral IPB

  

 

256

Lampiran 5. Peta Sumur Migas di Desa Amis, Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu