2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di...

37
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut ICOZM (Integrated Coastal and Ocean Zone Management) atau sering disingkat ICZM merupakan cabang ilmu baru di Indonesia, bahkan menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 1994, juga merupakan cabang ilmu baru di dunia. ICZM adalah: “pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatnya, guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan” (Dahuri et al., 2001). Senada dengan pengertian di atas dinyatakan bahwa ICM: can be defined as a continuous and dynamic process by which decisions are made for the sustainable use, development, and protection of coastal and marine areas and resources. Integrated coastal management is a process that recognizes the distinctive character of the coastal area - itself a valuable resource - and the importance of conserving it for current and future generations” Cicin-Sain dan Knecht (1998). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa: The major functions of integrated coastal management are: (1) area planning; (2) promotion of economic development; (3) stewardship of resources; (4) conflict resolution; (5) protection of public safety; dan (6) proprietorship of public submerged lands and waters”. (Cicin-Sain and Knecht, ibid.) Wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan dan interaksi antara daratan dan lautan, sehingga menjadikan wilayah ini dalam posisi yang sangat rentan, unik, bernilai, dan tertekan. Mengingat posisi alam dan topografi wilayah pesisir sebagai “penampung” limpahan kegiatan di darat, maka respons sistem pesisir terhadap aktifitas manusia di darat tersebut sangat sensitif. Kegiatan di daratan seperti pertanian, pembangunan perkotaan dan industri, kehutanan dan

Transcript of 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di...

Page 1: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

ICOZM (Integrated Coastal and Ocean Zone Management) atau sering

disingkat ICZM merupakan cabang ilmu baru di Indonesia, bahkan menurut

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 1994, juga merupakan

cabang ilmu baru di dunia. ICZM adalah: “pengelolaan pemanfaatan sumberdaya

alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara

melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya

alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan

sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap

kegiatan pemanfaatnya, guna mencapai pembangunan yang optimal dan

berkelanjutan” (Dahuri et al., 2001).

Senada dengan pengertian di atas dinyatakan bahwa ICM:

“can be defined as a continuous and dynamic process by which decisions are made for the sustainable use, development, and protection of coastal and marine areas and resources. Integrated coastal management is a process that recognizes the distinctive character of the coastal area - itself a valuable resource - and the importance of conserving it for current and future generations” Cicin-Sain dan Knecht (1998). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa:

“The major functions of integrated coastal management are: (1) area planning; (2) promotion of economic development; (3) stewardship of resources; (4) conflict resolution; (5) protection of public safety; dan (6) proprietorship of public submerged lands and waters”. (Cicin-Sain and Knecht, ibid.)

Wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan dan interaksi antara daratan

dan lautan, sehingga menjadikan wilayah ini dalam posisi yang sangat rentan,

unik, bernilai, dan tertekan. Mengingat posisi alam dan topografi wilayah pesisir

sebagai “penampung” limpahan kegiatan di darat, maka respons sistem pesisir

terhadap aktifitas manusia di darat tersebut sangat sensitif. Kegiatan di daratan

seperti pertanian, pembangunan perkotaan dan industri, kehutanan dan

Page 2: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

9

pertambangan, perumahan dan lain sebagainya menyumbang lebih dari 70 % dari

seluruh polusi wilayah pantai dan lautan, mulai dari transpor erosi dan sedimen,

material dan bahan-bahan kimia serta bahan beracun lainnya (Collier, 2002).

Mengingat demikian besarnya pengaruh daratan terhadap pesisir, maka

konsep pembangunan pesisir tidak hanya bersifat sektoral (melainkan multisektor

dan interdisiplin) dan berbasis lautan, namun harus pula berbasis daratan,

sehingga merupakan suatu konsep pembangunan wilayah yang integral (Clark,

1995). Hal inilah yang belum banyak (kalau tidak dapat dikatakan belum ada)

dilakukan di Indonesia, di mana perencanaan tata ruang dan pembangunan

wilayah masih bersifat parsial.

Sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta sumberdaya buatan

merupakan obyek-obyek yang dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan

pengelolaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan. Sumberdaya non-hayati

dan sumberdaya hayati yang menjadi obyek utama penelitian ini adalah: pasir

laut, ekosistem mangrove dan terumbu karang, karena sumberdaya inilah yang

mendominasi keberadaannya pada lokasi studi.

1) Ekosistem laut: sebuah contoh kegagalan kebijakan publik panambangan

pasir laut

Penambangan pasir laut telah mengakibatkan meningkatnya kekeruhan air

laut, perubahan sirkulasi air laut akibat pengerukan dasar laut, rusaknya

bagan-bagan ikan dan keramba budidaya ikan nelayan akibat gelombang arus

kapal pengangkut pasir, serta bermigrasinya ikan tangkap yang

mengakibatkan kerugian nelayan setempat.

Kegiatan penambangan pasir laut telah berlangsung selama lebih kurang tiga

puluh tahun sejak tahun 1970. Kegiatan ini dihentikan sementara dengan

terbitnya Inpres Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengendalian Penambangan

Pasir Laut. Namun, aktifitas tersebut dibuka kembali melalui Keppres Nomor

33 Tahun 2003, dan kemudian karena menimbulkan kontroversi lagi maka

kegiatan ini ditutup kembali dengan diterbitkannya Keputusan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor: 117/MPP/KEP/II/ 2003.

Page 3: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

10

2) Ekosistem mangrove: sebuah contoh kegagalan kebijakan publik,

khususnya karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum

Kegagalan pengawasan dan penegakan hukum merupakan suatu kegagalan

kebijakan publik dalam pengelolaan sumberdaya dan wilayah. Berdasarkan

hasil penelitian Global Environment Facility/ United Nations Development

Program/International Maritime Organization (GEF/UNDP/IMO) Regional

Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the

East Asian Seas di Selat Malaka, termasuk wilayah pesisir dan laut pulau

Bintan (Chua, 1999), maka kerusakan wilayah dan sumberdaya mangrove

telah mengakibatkan kehilangan (dan dampak lebih besar lagi apabila diukur

dampak berganda dari kerusakan dimaksud), yaitu:

a. Nilai fungsi pemijahan dan pembesaran ikan pada mangrove,

b. Nilai fungsi penyaringan karbon pada mangrove,

c. Nilai fungsi pencegahan erosi pada mangrove,

d. Nilai persepsi keberadaan sumberdaya dan ekosistem mangrove, dan

e. Nilai manfaat pelestarian sumberdaya dan ekosistem untuk mangrove.

3) Ekosistem terumbu karang: sebuah contoh kegagalan kebijakan publik,

khususnya karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum

Demikian pula kegagalan pengawasan dan penegakan hukum merupakan

suatu kegagalan kebijakan publik dalam pengelolaan sumberdaya dan wilayah

pada ekosistem terumbu karang telah mengakibatkan kehilangan (dan dampak

lebih besar lagi apabila diukur dampak berganda dari kerusakan dimaksud),

yaitu:

a. Nilai fungsi produksi organik dan penyaringan karbon pada terumbu

karang,

b. Nilai fungsi perlindungan garis pantai oleh terumbu karang,

c. Nilai keanekaragaman terumbu karang,

d. nilai persepsi keberadaan sumberdaya dan ekosistem pada terumbu karang

e. Nilai eko-turisme terumbu karang, dan

f. Nilai manfaat pelestarian sumberdaya dan ekosistem terumbu karang.

Page 4: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

11

2.2. Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut

Dalam perspektif (definisi) konsepsional, pemanfaatan ruang dalam teori

ICOZM adalah merupakan bagian atau sebagai implementasi dari perencanaan

tata ruang. Perencanaan adalah seni dalam pengambilan keputusan di bidang

sosial secara rasional, suatu aplikasi formulasi dan implementasi program dan

kebijakan ke depan, suatu proses di mana masyarakat mengontrol dan

mengarahkan diri mereka sendiri, suatu proses rasionalisasi kepentingan publik,

atau suatu upaya untuk mengaitkan pengetahuan ilmiah dan teknis kepada proses

arahan sosial atau transformasi sosial. Perencanaan yang baik adalah perencanaan

yang berbasis (kepentingan) masyarakat.

Apabila tujuan utama dari sistem perencanaan atas tanah adalah untuk

mengatur perkembangan dan penggunaan tanah untuk kepentingan publik, maka

definisi formal atas perencanaan tata ruang laut sejauh ini belum banyak

dikembangkan (Canning and Gilliland, 2003). Dalam bahasa sederhana

perencanaan tata ruang laut adalah suatu perencanaan stratejis untuk mengatur,

mengelola dan melindungi lingkungan laut dari kompleksnya, kumulatifnya dan

sangat potensialnya konflik penggunaan sumberdaya dan ruang laut. Perencanaan

tata ruang laut harus dapat memasukkan mekanisme untuk mencapai integrasi dari

beberapa sektor yang berbeda. Isu utama dari definisi tersebut adalah elemen-

elemen yang dibutuhkan dalam perencanaan tata ruang laut, yaitu yang meliputi:

1) Data dan informasi lingkungan laut; 2) Skala perencaraan ruang; 3) Sektor-sektor kelautan yang disertakan; 4) Penilaian lingkungan stratejis terhadap lingkungan laut secara keseluruhan; 5) Pendapatan dari ijin-ijin kelautan; 6) Pengaturan praktis dalam pengelolaan kegiatan-kegiatan kelautan; 7) Tanggungjawab dalam pembangunan, implementasi, monitoring, dan

penegakan hukum dari rencana tata ruang laut; 8) Meyakinkan keterlibatan para lintas pemangku kepentingan.

Adapun prinsip-prinsip dalam arahan dan pengembangan perencanaan tata

ruang laut yang harus dipegang, adalah:

1) Konservasi dan pembangunan berkelanjutan, yang terdiri dari prinsip-prinsip:

a. Pembangunan berkelanjutan, b. Manajemen terpadu, c. Konservasi keanekaragaman biologi;

Page 5: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

12

d. Ilmu pengetahuan yang kuat, e. Prinsip keselamatan, f. Keterlibatan pemangku kepentingan, dan g. Prinsip-prinsip “pencemar membayar” dan “pengguna membayar”.

2) Pendekatan ekosistem, yang terdiri dari prinsip-prinsip:

a. Menyediakan dan berkerja di dalam suatu rangkaian tujuan ekosistem yang jelas,

b. Pemanfaatan lebih besar dari penilaian lingkungan dan sosial-ekonomi, c. Penggunaan manajemen strategis yang lebih baik dari aktifitas manusia di

lingkungan laut, d. Pengambilan keputusan dan aksi manajemen yang mempertimbangkan

keanekaragaman biologi dan memperteguh arah pembangunan yang berkelanjutan,

e. Memanfaatkan pengetahuan ilmiah dalam proses pengambilan keputusan, f. Mengembangkan penelitian dan monitoring yang lebih terfokus, dan g. Melibatkan para lintas pemangku kepentingan secara penuh.

3) Integrasi: diperlukan pemaduan seluruh program dan kepentingan yang ada di

sektor kelautan untuk dapat menangulangi masalah-masalah yang

berkelanjutan. Langkah-langkah menuju integrasi dalam perancanaan tata

ruang laut diawali dari komunikasi, kemudian dilanjutkan dengan kerjasama,

koordinasi, harmonisasi dan barulah kemudian integrasi.

Kebijakan penataan ruang laut pada umumnya, dan pengelolaan sumberdaya

pesisir dan lautan khususnya dewasa ini masih bersifat parsial, baik ditinjau dari

sisi cara pandang sektoralisme parsial: baik sektor kegiatan maupun sektor

wilayah (keruangan), pembangunan daratan terpisah dengan pembangunan

kelautan (Kusumastanto 2002a), maupun dari sudut pandang pengutamaan

strategi tertentu saja (Nikijuluw, 2002). Konsep kebijakan penataan ruang pesisir

dan lautan yang berkeadilan mengandung implikasi yang luas.

Pertama, berkeadilan di sini dapat diukur dari aspek keadilan di antara para

lintas pemangku kepentingan, yaitu tripartit “good ocean governance”: negara,

sektor privat, dan masyarakat. Negara sebagai pemegang hak penguasaan

tertinggi atas bumi, air, dan ruang angkasa berikut seluruh kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya harus dapat merencanakan pengelolaan sumberdaya ini

secara adil, bijaksana, dan berkelanjutan serta dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat. Prinsip-prinsip desentraliasi kewenangan dan pelaksanaan

otonomi daerah juga merupakan indikator utama kepemerintahan yang baik

Page 6: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

13

tersebut, termasuk pula penghargaan atas kearifan lokal dan pengakuan atas hak-

hak masyarakat hukum adat atas ruang dan sumberdaya pesisir dan lautan.

Kedua, berkeadilan di sini mempunyai konotasi pula menurut aspek

keruangan. Perencanaan ruang dan pembangunan di sektor daratan tidak boleh

merugikan atau berdampak merusak ruang dan ekosistem pesisir dan lautan.

Ketiga, berkeadilan di sini harus pula dapat dipandang dari sisi resolusi konflik,

yaitu bagaimana perencanaan tata ruang pesisir dan lautan dapat menghindari

serta menyelesaikan konflik atas ruang dan penggunaan ruang pesisir dan lautan.

Pengembangkan konsep pembangunan wilayah pesisir dan laut yang

berkeadilan harus menggunakan perspektif tata ruang dan ekologi sebagai arus

utamanya bersama-sama dengan prinsip keadilan dalam aspek tripartit lintas

pemangku kepentingan, aspek keadilan dan kesetaraan kewilayahan, serta aspek

keadilan dalam menghindari dan menyelesaikan konflik. Artinya bahwa, konsep

perencanaan tata ruang daratan, pesisir, dan lautan harus menjadi satu kesatuan

perencanaan dengan memaksimalkan saling menguntungkan serta meminimalkan

kerugian dan kerusakan. Untuk itu maka prinsip utama yang harus dipedomani

adalah, lakukan sinergi perencanaan dan pembangunan wilayah daratan dan

pesisir, melalui prinsip kesetaraan dan kesesuaian tata ruang dan ekologi, sesuai

dengan daya dukung lingkungan dan sumberdaya alamnya, dan diselenggarakan

dalam rangka untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Konsep “milik bersama” dalam doktrin “mare liberum” (kebebasan di laut)

Grotius mengakibatkan “dilema kepemilikan bersama” dan “tragedi kepemilikan

bersama” karena menganggap sumberdaya sebagai “res nullius” (tidak dimiliki

dan oleh karenanya “akses bebas”). Doktrin ini awalnya lahir dari masalah di

wilayah luar landas kontinen (200 mil laut), namun sungguh tidak dapat

dibenarkan adanya doktrin “akses bebas” dan terjadinya “tragedi tragedi

kepemilikan bersama” di wilayah pesisir, maka doktrin ini berlaku pula di wilayah

ini. Namun, sejak terbitnya artikel yang ditulis oleh Garret Hardin pada tahun

1968 yang berjudul “Tragedy of the Commons”, konsep tersebut terus dikritik dan

akhirnya UNCLOS 1982 mematahkan doktrin “mare liberum”, sumberdaya

lautan disepakati sebagai “res communes” atau “properti bersama” dalam konsep

laut sebagai “warisan umat manusia”.

Page 7: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

14

Faham Grotius yang masih mengilhami banyak orang dewasa ini, yang tidak

menyetujui adanya partisi (boundary) atau persil laut, karena menganggap setiap

orang berhak dan bebas mengakses, memanfaatkan, dan mengeksploitasi laut

sebagai milik bersama. Sedangkan di pihak lain, sebagaimana telah banyak

dilakukan dewasa ini, penerapan konsep tentang perlunya partisi atau persil laut

justru dilakukan sebagai langkah awal menuju pentadbiran lautan (ocean

governance).

Kepemerintahan di lautan dimulai dari perencanaan, pemanfaatan, dan

pengelolaan ruang dan sumberdaya laut secara terpadu dan berkelanjutan,

melindungi hak-hak bersama, hak privat dan hak masyarakat tertentu, serta

melindungi ekosistem, taman-taman laut dan kawasan lindung lainnya.

Praktek masa lalu atas kasus-kasus pengkaplingan laut tertentu yang

melanggar azas “akses publik” dan kelestarian alam dan ekosistemnya, telah

menyebabkan pemahaman yang kurang tepat mengenai konsep persil-persil laut.

Warisan umat manusia itu seharusnya dijaga (agar tidak terjadi konflik dan tidak

melampaui batas daya dukungnya) dan dimanfaatkan bersama untuk dapat

memberikan kesejahteraan manusia baik sekarang maupun yang akan datang.

Namun sering terlihat adanya praktek-praktek ‘konsep’ pemilikan oleh

negara, perseorangan dan badan hukum atas persil laut dan pesisirnya secara

eksklusif berupa real estat pantai, bangunan dan jasa kelautan, hotel dan resort.

Termasuk dalam hal ini adalah berbagai kegiatan pengurukan pantai berbasis

legitimasi perijinan (ijin lokasi) atau hak kepemilikan (hak guna bangunan atau

hak pakai atas tanah) yang mengejar keuntungan dengan mengabaikan bahkan

merusak ekosistem di lokasi pengurukan maupun daerah di sekitarnya.

Pengurukan pantai terlanjur diartikan sebagai reklamasi, suatu penggunaan

terminologi yang menyesatkan, karena reklamasi (dari bahasa Inggeris:

“reclamation”) berarti: (1) pemulihan kembali tanah tandus (waste land) atau

kering melalui irigasi dan pemupukan, atau (2) suatu proses untuk

menghasilkan barang yang berguna (useful) dari sisa-sisa produksi (waste

products) (Webster’s New World College Dictionary, 1997).

Paradigma laut sejak awal abad ke 17, tepatnya tahun 1609, melalui gagasan

Grotius (Hugo de Groot, yaitu yang pada waktu itu adalah seorang pelajar

Page 8: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

15

berkebangsaan Belanda) tentang “mare liberum” yaitu kebebasan laut, masih

membayangi pola pikir saat ini. Padahal konsep ini telah mengakibatkan

“common property dilemmas” serta melahirkan “tragedy of the commons” di

mana-mana. Menimbulkan konflik-konflik maritim, overfishing, kerusakan

ekosistem pesisir dan lautan, polusi, dan pembuangan limbah-limbah berbahaya di

lautan. Sesungguhnya ide dasar kebebasan laut ini adalah untuk memberikan

legitimasi negara-negara kolonial Eropa untuk menguasai samudera, yang pada

akhirnya menguasai dunia mengembangkan wilayah-wilayah jajahannya. Motto

mereka: “who command the sea, control the world”. “Mare liberum” inilah awal

dari kolonialisme di negara-negara Asia, Afrika, danAmerika Selatan oleh negara-

negara barat dengan teknologi perkapalan jarak jauh.

Doktrin “freedom of the seas” ini sesungguhnya merupakan reaksi atas

doktrin “mare clausum” (laut tertutup), yang terkait dengan pernyataan Paus

Alexander VI, Inter Caertera 1493, Treaty Tordessillas 1494, dan klaim Portugal

serta Spanyol yang memiliki hegemoni atas wilayah lautan di dunia. Hugo

Grotius, sebagaimana kebanyakan orang Belanda pada masa itu, perlu menentang

doktrin yang memberikan hegemoni wilayah laut dunia kepada Portugal dan

Spanyol karena Belanda mempunyai kepentingan yang sangat besar, khususnya

bagi perusahaan VOC (Dutch East India Company) atas wilayah lautan Hindia

(East Indies). Setelah itu, khususnya sejak akhir Perang Dunia II, muncul doktrin

bahwa lautan dan sumberdaya lautan adalah warisan umat manusia, sehingga

semua bangsa di dunia ini mempunyai hak yang sama untuk menikmati kekayaan

yang berada di lautan, tidak terkecuali, kendatipun negara tersebut tidak memiliki

laut. Doktrin “the sea is a common heritage of mankind ” ini semakin menguat

sejak “Pacem in Maribus”, sebuah Konferensi Institut Kelautan Internasional

yang didirikan pada tahun 1972 (Rais et al., 2004, Cicin-Sain and Knecht, 1998).

Perdebatan lain terus berlangsung antara konsep imperium atau

souvereignity (kedaulatan) dan konsep dominium (kepemilikan). Demikian pula

tentang bentuk kedaulatan dan kepemilikan, apakah mutlak, atau bersifat

stewardship atau trusteeship. Pada tahun 1982 dunia internasional sepakat atas

Konvensi PBB Tentang Hukum Laut (UNCLOS) di mana Indonesia telah

meratifikasinya melalui UU No. 17 Tahun 1985. Dalam konvensi ini dengan

Page 9: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

16

tegas telah diatur mengenai laut wilayah teritorial, wilayah tambahan, dan Zona

Ekonomi Eksklusif suatu negara berikut hak-hak, batasan-batasan serta

kewajibannya.

Dengan adanya UNCLOS 1982 maka doktrin “ocean space as a common”

tidak berfungsi lagi, karena telah ada perangkat hukum pentadbiran lautan yang

telah disepakati tersebut, antara lain tentang penetapan Laut Teritorial, Zona

Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan landas kontinen suatu negara. Sejak berlakunya

Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 ini, maka mulailah berkembang konsep

“marine cadastre”. Konsep ini mengarah kepada obyek wilayah laut teritorial,

tidak dapat diterapkan azas “marine cadastre” di ZEE, karena tidak ada “tenure

system” pada zona ini dan bukan merupakan wilayah kedaulatan suatu negara.

Selanjutnya dalam konferensi Pacem in Maribus (PIM) ke XIX di Lisbon

pada tanggal 18-21 November 1991 ditetapkan sebuah tema: “Ocean Governance:

National, Regional, Global Institutional Mechanisms for Sustainable

Development in the Oceans” atau “Pentadbiran Lautan: Mekanisme Kelembagaan

Nasional, Regional, dan Global Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Lautan”

(Rais et al., 2004).

Pertentangan serta kesesuaian kepentingan dan pemanfaatan secara

ekonomi, ekologi, dan sosial-politik atas ruang pesisir dan lautan merupakan isu

pokok yang telah berkembang selama beberapa abad ini. Meskipun Konvensi

PBB tentang Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982 telah banyak diratifikasi

dan dipedomani oleh sebagian besar negara-negara di dunia, dan bahkan telah

dikeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan untuk wilayah pesisir

dan laut teritorial nasional, namun pandangan berdasarkan doktrin-doktrin

kelautan di masa lalu (mare liberum dan mare clausum) masih tetap mewarnai

cara pandang dan pola pikir serta tindakan para lintas pemangku kepentingan

(stakeholders) di wilayah ini. Berkenaan dengan itu diperlukan suatu pemahaman

yang benar, agar lautan sebagai warisan seluruh umat manusia dapat dijaga

kelestariannya, sehingga pembangunan pesisir dan lautan dapat terus berlangsung

dalam siklus berkelanjutan untuk kesejahteraan umat manusia.

Konflik kepentingan di wilayah pesisir (daratan pesisir dan perairan laut)

terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan intensitas

Page 10: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

17

kegiatan manusia di wilayah tersebut. Berdasarkan publikasi Vallega pada tahun

1990 dan dari hasil penelitian Couper pada tahun 1993 di Laut Mediterania, maka

dari 29 kegiatan dan pemanfaatan perairan pesisir dan apabila masing-masing

kegiatan diurutkan dalam suatu matriks kegiatan, maka ditemukan 100 pasang

kegiatan yang saling bertentangan bertentangan (konflik) dan 60 pasang kegiatan

yang saling membahayakan satu dengan lainnya (Cicin-Sain and Knecht, 1998)

(Gambar 2).

Gambar 2. Interaksi antara penggunaan dan aktifitas ruang pesisir dan laut di

Laut Mediterania menurut Couper, 1993 dan Vallega, 1990 sebagaimana gambar dan teks aslinya (Cicin-Sain and Knecht, 1998)

Relasi: ▲ Saling bertentangan x Saling membahayakan ■ Membahayakan terhadap kegiatan I □ Membahayakan terhadap kegiatan J

√ Saling menguntungkan ● Menguntungkan terhadap kegiatan I ○ Menguntungkan terhadap kegiatan J

Page 11: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

18

Telah dikemukakan di atas bahwa penyebab utama dari konflik-konflik

tersebut adalah karena tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang dan

alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan. Pada sisi lain

terdapat berbagai kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang

yang juga merupakan masalah utama, yaitu:

1) Belum merupakan satu kesatuan dengan produk rencana pembangunan daerah lainnya, seperti Propeda;

2) Sering terlambat terhadap proses pembangunan daerah;

3) Kualitas rencana tata ruang yang masih rendah;

4) Sering kali tidak diperkuat oleh aturan perundangan atau belum ada penegakan hukumnya;

5) Belum tersosialisasi dengan baik terhadap seluruh pelaku pembangunan; dan

6) Kualitas sumberdaya pelaku pembangunan di daerah masih perlu peningkatan (Kusumastanto, 2001).

Dua tipe utama konflik atas sumberdaya pesisir dan lautan adalah: (1)

konflik di antara para pengguna perihal penggunaan atau ketidak-penggunaan

wilayah pesisir dan lautan tertentu, dan (2) konflik di antara instansi pemerintah

yang menjalankan program pesisir dan lautan (Cicin-Sain and Knecht 1998).

“Pengguna” yang dimaksudkan di sini adalah baik pengguna langsung (seperti:

operator penambangan dan transportasi minyak dan nelayan), maupun pengguna

tak langsung atau pengguna potensial (misalnya kelompok-kelompok lingkungan

yang mempromosikan nilai-nilai non-komersil pesisir dan lautan, angota-anggota

masyarakat yang tinggal di tempat lain, serta generasi mendatang). Karena

sebagian besar sumberdaya kelautan merupakan kekayaan publik, dan terdapat

pula kepentingan-kepentingan strategis dari publik dan sosial dalam pengelolaan

bagian daratan dari wilayah pesisir, maka hak-hak dan kepentingan-kepentingan

para pengguna tak langsung tersebut harus pula diperhitungkan. “Konflik antar instansi pemerintah” ini dapat berupa konflik di antara

lembaga pemerintah pada level yang sama baik di tingkat nasional, provinsi, dan

lokal; maupun konflik antar tingkatan lembaga pemerintah yang berbeda. Konflik

ini berawal dari berbagai sebab, yaitu karena perbedaan misi dan mandat,

perbedaan persepsi dan keterampilan personel, perbedaan partner eksternal

instansi pemerintah, dan kurangnya komunikasi dan informasi. Ada beberapa

Page 12: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

19

tipikal manifestasi konflik di antara para pengguna, yaitu: (1) kompetisi pada

ruang pesisir dan lautan; (2) efek bertentangan dari suatu kegiatan (seperti

pengeboran minyak), dengan kegiatan lainnya (seperti perikanan); (3) pengaruh

yang bertentangan dalam ekosistem; dan (4) pengaruh pada ekosistem pesisir,

seperti kompetisi dalam wilayah pelabuhan.

Dalam konteks pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia,

Kusumastanto (2001) berpendapat bahwa penyebab utama dari konflik-konflik

tersebut adalah karena tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang dan

alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan. Contoh-contoh

“kecil” konflik dimaksud adalah: konflik penggunaan ruang di Pantai Indah

Kapuk Jakarta, konflik nelayan tradisional dan nelayan trawl, konflik antara

kepentingan konservasi dengan pariwisata di taman laut Kepulauan Seribu, serta

kontroversi “pengurukan” pantai Manado.

Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, diperlukan perencanaan dan

pengelolan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu, agar pemanfaatn ruang dan

sumberdaya pesisir dan lautan dapat berlangsung secara berkelanjutan untuk

kesejahteraan masyarakat. Khusus berkaitan dengan resolusi konflik, maka pada

intinya perencanaan dan pengelolaan pesisir dan lautan secara terpadu ini tipikal

berfungsi sentral untuk mengatasi konflik di antara pengguna dan instansi di

pesisir dan lautan (Cicin-Sain and Knecht, 1998). Senada pula dinyatakan bahwa

masalah pengelolaan pesisir sesungguhnya pertama-tama harus terpusat kepada

isu-isu konflik (Kay and Alder 1999).

Dalam sejarah sistem politik di Indonesia, periodisasi kebijakan umumnya

dibagi ke dalam tiga era, yaitu era orde lama, era orde baru dan era reformasi.

Namun dalam konteks pembangunan kelautan, dikhotomi tersebut tidak banyak

berpengaruh, karena kebijakan kelautan di masa lalu dan masa yang sedang

berlangsung saat ini masih berorientasi kepada paradigma lama.

Pada masa lalu orientasi pembangunan mengutamakan pertumbuhan

ekonomi. Sistem kebijakan bersifat social exclusion (sentralistik otoriter) yang

menyebabkan timbulnya masyarakat marginal yang miskin dan mempunyai posisi

tawar yang lemah. Pelayanan birokrasi bersifat normatif, fungsi pemerintah

Page 13: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

20

sebagai provider, dan pengambilan keputusan bersifat top-down (Budiharsono

2001).

Konsep mengejar pertumbuhan ekonomi banyak mengabaikan aspek

kelestarian dan daya dukung lingkungan dengan cara mengekploitasi secara besar-

besaran sumberdaya pesisir dan lautan yang ada. Konsep pembangunan ini pula

telah mengabaikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan,

hak-hak masyarakat atas sumberdaya di wilayahnya, serta mengembangkan rezim

open access yang mengakibatkan terjadinya moral hazard (Kusumastanto 2003a).

Strategi masa depan perencanaan dan pengelolaan pesisir memerlukan

pergeseran landasan epistemologi pembangunan dari konsep pembangunan

berkelanjutan Michael Redclif kepada konsep penguatan pengetahuan lokal

Feyereban serta Friberg dan Hettne. Kegagalan doktrin pembangunan

berkelanjutan dapat menghancurkan sumberdaya alam pulih di negara dunia

ketiga, seperti hutan dan sumberdaya perikanan, karena beban biaya yang

ditimbulkan ditanggung sendiri oleh negara berkembang, sementara negara maju

tetap meningkatkan aktifitas ekonomi dengan merusak lingkungan hidup. Melalui

landasasan epistemologi pembangunan yang bercirikan kearifan lokal ini, maka

(communal) property rights atas sumberdaya kelautan diakui, sehingga

berkembangnya moral hazard akibat rezim open access atas sumberdaya

kelautan seperti pada era Orde Baru dapat dihindari (Kusumastanto, 2003a);

Sejalan dengan itu, strategi masa depan perencanaan dan pengelolaan

pesisir memerlukan pula pergeseran dari paradigma eksklusi sosial (sentralisitik

otoriter) kepada paradigma inklusi sosial (masyarakat sebagai main stakeholder

serta diakuinya indegenous knowledge) dalam pembangunan sumberdaya pesisir

dan laut. Dalam konsep ini diperhatikan hak-hak kepemilikan (property right)

masyarakat, hak ulayat masyarakat hukum adat, hak-hak perolehan rakyat

(entitlement), dan manfaat sosial (social benefit) terbesar diberikan kepada

masyarakat (Budiharsono, 2001).

Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa strategi masa depan

perencanaan dan pengelolaan pesisir harus bersifat holistik; dari sisi keruangan

harus meliputi perencanaan dan pengelolaan mulai wilayah hulu dan hilir

(daratan) hingga lautan secara terpadu, dari sisi kewenangan harus dimulai dari

Page 14: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

21

kewenangan daerah dan kearifan lokal; melibatkan semua lintas pemangku

kepentingan; berwawasan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam melalui

pendekatan konsep carrying capacity; dan digunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat melalui penyelenggaraan good ocean governance.

Banyak keberhasilan kebijakan publik di sektor kelautan dan perikanan yang

dapat dikemukakan. Misalnya di bidang kelembagaan, kebijakan nasional sektor

kelautan dan perikanan dapat ditangani oleh suatu lembaga, yaitu Departemen

Kelautan dan Perikanan (DKP). Namun demikian sebagaimana ditunjukkan

dalam Tabel 1, tidak semua kebijakan publik tersebut membuahkan keberhasilan,

masih tersisa pula kegagalan yang memerlukan solusi untuk mengatasinya.

Tabel 1. Kegagalan kebijakan publik di sektor kelautan dan perikanan (disarikan dari Kusumastanto, 2003a)

No Isu Pokok Kegagalan Kebijakan Baik Yang Ada Mapun Yang Berpotensi Terjadi

(Kebijakan Tidak Memuaskan)

1 Pasir laut dan penambangan laut

Kerusakan lingkungan, eksploitasi ilegal, berkurangnya mata pencaharian nelayan, konflik kepentingan pusat dan daerah, indikasi KKN

2 Perikanan tangkap Pencurian ikan oleh kapal asing, pengawasan yang lemah, konflik nelayan tradisional dengan nelayan modern dan nelayan asing

3 Pulau kecil Rusaknya ekosistem pulau kecil, indikasi terancam tenggelamnya sebanyak 4.000 pulau pada tahun 2012

4 Pariwisata bahari Kerusakan habitat terumbu karang (sekitar 70% dengan estimasi kerugian sekitar US$ 45 juta), rusaknya sebagian besar hutan mangrove

5 Perikanan budidaya Matinya udang, ikan mas, ikan koi di pulau Jawa akibat virus dengan kerugian sekitar Rp. 90 milyar

6 Pelabuhan umum dan perikanan serta lemahnya Armada Laut Nasional

Pendangkalan beberapa pelabuhan tradisional, belum terdesentralisasinya perijinan pelabuhan, daya saing angkutan laut nasional yang rendah

7 Embargo hasil perikanan Adanya ancaman embargo ikan budidaya khususnya dari Singapura dan Jerman, belum dicabutnya embargo udang dari Amerika Serikat, ancaman embargo ikan tuna

8 Sumberdaya manusia kelautan

Rendahnya pengetahuan dan keterampilan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya laut, rendahnya daya saing pelaut Indonesia

9 Degradasi lingkungan pesisir dan laut

Terjadinya pencemaran sumberdaya hayati laut oleh logam berat dan buang limbah yang menghancurkan industri pertambakan, terjadinya abrasi pantai di beberapa daerah

10 Keamanan laut Nelayan merasa tidak aman melakukan penangkapan ikan di laut, perusahaan merasa tidak aman melakukan pengangkutan barang di laut

11 Kelembagaan (retribusi hasil perikanan)

Ketidakjelasan kewenangan untuk memungut retribusi hasil perikanan dalam era otonomi daerah

12 Pelanggaran HAM Penggunaan tenaga anak-anak dalam bisnis kelautan

Page 15: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

22

Masalah kebijakan publik timbul apabila kondisi sumberdaya alam dan

lingkungan tidak sama dengan yang diharapkan, atau dengan kata lain ada

perbedaan antara harapan dengan kenyataan. Pentingnya peranan analisis

kebijakan nampak jelas di sini serta merupakan kebutuhan untuk menuju

pencapaian suatu “good ocean governance”.

2.3. Konsep “Marine Cadastre”

Aspek hukum konsep “Marine Cadastre” ke dalam merupakan bagian dari

konstitusi dan sistem hukum negara yang bersangkutan, sedangkan keluar

merupakan bagian dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan internasional yang

tertuang di dalam United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS).

Demikian pula, ditinjau dari aspek keilmuan studi “Marine Cadastre”, konsep ini

merupakan bagian integral dari dasar teori dan konsep Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, atau sering pula disebut Integrated Coastal

and Ocean Zone Management (ICOZM), atau Integrated Coastal and Ocean

Management (ICOM).

“Marine cadastre” belum lama dikenal karena memang masih merupakan

konsepsi baru. Demikian pula belum banyak peneliti yang tertarik atau

mendalami topik ini. Sudah banyak penelitian yang mendalami bidang

pengelolaan dan penataan ruang pesisir dan laut dari berbagai aspek atau

pendekatan, namun masih sulit sekali didapatkan penelitian yang mengaitkan

bidang ini dengan konsep kadaster, yaitu: hak, batasan, dan kewajiban dalam

penguasaan dan pemanfaatan ruang.

Sistem penguasaaan lahan mengenal adanya konsep batas lahan. Demikian

pula dalam sistem pesisir dan laut, konsepsi batas-batas (boundary system)

penguasaan dan pemanfaaatan lahan pesisir dan lautan mengenal pula sistem

batas, zonasi, atau persil. Sesungguhnya sistem batas-batas perencanaan,

penguasaan, pemanfaatan dan pemantauan atau pengawasan ini telah dikenal

sejak lama. Pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran persil atau zonasi laut

bukanlah merupakan hal yang baru.

Page 16: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

23

Misalnya di Jepang, dokumen tentang hak penguasaan dan hak ulayat laut

telah dikenal sejak Era Feodal (1603 – 1867). Formalisasi keberadaan hak ulayat

laut pada masa kekaisaran Edo dipercaya didasarkan oleh tradisi yang berlaku

sebelumnya. Setelah restorasi Meiji pada tahun 1868, maka pada tahun 1876

pemerintah Jepang mengambil alih seluruh kepemilikan atas perusahaan

perikanan, kemudian menerbitkan lisensi dan perijinan perikanan perorangan

dengan disertai pajak (Ruddle, 1992).

Filosofi kadaster adalah “the boundary of use” atau “the boundary of

tenure”, yaitu batas atau zonasi penguasaan, penggunaan, serta pemilikan lahan.

Sejarah dan filosofi kadaster dapat ditarik kembali jauh ke masa sekitar 2.000

tahun sebelum Masehi di tepi Sungai Nil, Mesir, di mana terhampar luas daerah-

daerah pertanian yang subur. Penduduk di sekitar sungai ini telah menikmati

hidup yang cukup makmur dari hasil pertanian serta perdagangan melalui

transportasi sungai. Namun suatu ketika terjadilah banjir besar akibat meluapnya

air sungai yang cukup deras arusnya sehingga merusak tanah pertanian, rumah

dan bangunan lainnya (permukiman penduduk) di sekitar sungai termasuk

merusak batas-batas tanahnya. Pasca kerusakan akibat bencana alam tersebut,

penduduk setempat membentuk tim untuk melakukan pengukuran pengembalian

(rekonstruksi) batas-batas tanah yang telah hilang. Rekonstruksi batas-batas lahan

ini tidak hanya untuk pengembalian batas penggunaan dan pemilikan lahan saja,

namun juga dimaksudkan untuk memungut kembali pajak-pajak tanahnya. Sejak

itu dikenallah kadaster sebagai suatu kegiatan bahkan institusi yang melakukan

pengukuran, pemetaan dan pendaftaran tanah.

Bentuk-bentuk persil laut dimaksud selama ini dikenal sebagai: pemintakat

(zonasi) laut, batas budidaya ikan–kerang–rumput (biota) laut (aquaculture),

batas penambangan pasir laut, batas alur pelayaran, batas laut lindung, batas

wilayah hak ulayat laut dan sebagainya. Lebih jauh lagi dalam konteks penetapan

batas administrasi pemerintahan dan batas kedaulatan negara, yaitu batas-

batas wilayah laut Kabupaten dan Kota, Propinsi, batas wilayah laut Negara

(territorial sea), batas wilayah tambahan (contiguous zone), dan batas ZEE,

semuanya adalah merupakan penerapan dari konsep persil-persil laut.

Page 17: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

24

Gambar 3. Persil-persil laut: ijin-ijin penambangan pasir laut di Riau (kanan) dan

blok-blok penambangan minyak dasar laut (blok Ambalat) di wilayah perbatasan antara Kalimantan Timur dan Sarawak, Malaysia (Rais, 2002a; dan KOMPAS, 1 November 2004)

Isu-isu “mengkapling” laut acapkali dilempar sebagai isu yang berkonotasi

negatif tanpa mengindahkan substansi atau pokok masalahnya. Kapling atau

zonasi atau persil laut justru sangat diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya

pesisir dan laut, baik sebagai jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum

bagi pengelolanya, arahan, evaluasi, pemantauan, maupun perencanaan

pemanfaatan dan pengelolaan ruang dan sumberdaya pesisir dan laut. Gambar 3

di atas menunjukkan beberapa “fakta” pengkaplingan laut dewasa ini di Indonesia,

yaitu kapling ijin-ijin penambangan pasir laut di Riau dan “claim” Pemerintah

Indonesia atas “kapling laut” yang diberi nama Blok Ambalat, yang di pihak lain

oleh Pemerintah Malaysia diklaim pula sebagai Blok YZ.

Konsep “marine cadastre” merupakan pengembangan dari Kadaster Darat

atau “land cadastre”. Federasi Surveyor Internasional (FIG: Federation

Internationale des Geometres) memberikan definisi dan ilustarsi kadaster sebagai

berikut (Gambar 4):

“A Cadastre is normally a parcel based and up-to-date land information system containing a record of interests in land (i.e. rights, restrictions, and responsibilities). It usually includes a geometric description of land parcels linked to other records describing the nature of the interests, and ownership or control of those interests, and often the value of the parcel and its improvements. It may be established for fiscal purposes (e.g. valuation and equitable taxation), legal purposes (conveyance), to assist in the management of land and land use (e.g. for planning and other administrative purposes), and enables sustainable development and environmental protection” (FIG, 1995).

Page 18: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

25

Gambar 4. Ilustrasi konsep kadaster (FIG, 1995)

Cukup banyak definisi tentang “marine cadastre”, namun beberapa

pengertian berikut ini cukup mewakili konsep-konsep dimaksud, yaitu antara lain

adalah:

a. U.S. DOC: United States Department of Communication–NOAA: National

Oceanic and Atmospheric Administration (2002):

“The U.S. Marine Cadastre is an information system, encompassing both nature and spatial extent of interests in property, value and use of marine areas. Marine or maritime boundaries share a common element with their land-based counterparts in that, in order to map a boundary, one must adequately interpret the relevant law and its spatial context. Marine boundaries are delimited, not demarcated, and generally there is no physical evidence of the boundary”.

b. Rais (2002a):

“Marine Cadastre atau Kadaster Laut adalah penerapan prinsip-prinsip kadaster di wilayah laut, yaitu mencatat: penggunaan ruang laut oleh aktifitas masyarakat dan pemerintah; ruang laut yang dilindungi, dikonservasi, taman nasional, taman suaka margasatwa, dan sebagainya; dan penggunaan ruang laut oleh komunitas adat.”

Page 19: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

26

c. Binns (2004):

“A Marine Cadastre is a spatial boundary management tool, which describes, visualises, and realises legally defined boundaries and associated rights, restrictions, and responsibilities in marine environment, allowing them to be more effectively assessed, administered and managed”.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, serta ditambah dengan

beberapa referensi konsep dari Universitas Melbourne Australia, Universitas New

Brunswick, Canada, dan FIG: International Federation of Surveyors, maka

dapatlah dirumuskan suatu definisi operasional “marine cadastre” sehubungan

dengan penelitian ini, yaitu:

“Marine Cadastre” adalah sistem penyelenggaraan administrasi publik

yang mengelola dokumen legal dan administratif, baik yang bersifat spasial

maupun tekstual, mengenai kepentingan berupa: hak, kewajiban, dan batasannya,

termasuk catatan mengenai nilai, pajak, serta hubungan hukum dan perbuatan

hukum yang ada dan berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan ruang

perairan pesisir dan laut.

“Marine Cadastre” diselenggarakan dalam rangka mewujudkan tertib

hukum, tertib administrasi, tertib penggunaan dan tertib pemeliharaan ekosistem

laut serta mendukung tertib perencanaan, penataan, dan pengelolaan wilayah laut

secara spasial terpadu. Sebagai suatu bagian dari sistem hukum (“legal

cadastre”), maka “marine cadastre” ditujukan untuk mengelola dan menyediakan

data, informasi, dan dokumen jaminan kepastian hukum atas pemanfaatan ruang

pesisir dan laut.

“Marine Cadastre” merupakan pengembangan dari “land cadastre”, namun

tidak semua aspek “land cadastre” dapat diterapkan ke dalam konsep “marine

cadastre”. Berikut adalah perbedaan dan kesamaan di antara keduanya (Tabel 2).

Beberapa konsep dasar “marine cadastre” melengkapi pengertian tersebut

misalnya dapat dikemukakan tentang sistem batas. Dalam beberapa hal batas

persil laut dapat ditandai dengan benda fisik di permukaan maupun di dasar laut

dangkal, namun dalam banyak hal batas persil laut hanya ditetapkan dalam sistem

koordinat geografis namun tidak dibangun tanda-tanda fisik batas di laut.

Page 20: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

27

Tabel 2. Perbedaan dan persamaan antara kadaster pertanahan (Land Cadastre) dengan kadaster kelautan (Marine Cadastre) (dari berbagai sumber serta

modifikasi dari BPN – LPPM ITB, 2003)

No Unsur & Aspek “Land Cadastre” “Marine Cadastre”

1 Kepemilikan Dikenal adanya Hak Milik atas (persil) tanah (Pasal 16 UUPA);

Tidak dikenal hak milik pribadi atas bidang atau persil laut, yang ada adalah pembagian kewenangan pengelolaan wilayah laut, baik diberikan kepada Negara, publik, masyarakat hukum Adat, badan usaha, maupun perseorangan (Rais, 2002.a);

2 Penguasaan & pemanfaatan

Dikenal hak-hak sementara yaitu: HGB, HGU, HP (Pasal 28, 35, dan 41 UUPA);

Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan (Pasal 46 UUPA);

Dikenal Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan (Pasal 47 UUPA); Hak Atas Ruang (UU No.24/1992 jo. PP 69/1996) Lisensi, konsesi dan perijinan eksploitasi sumberdaya laut (undang-undang sektoral);

3 Administrasi Mencatat batas administratif (desa, kabupaten/kota, provinsi) dan batas setiap bidang tanah baik yang ada haknya maupun tidak;

Dikenalnya NIB (Nomor Identifikasi Bidang) tanah, Daftar Tanah, dan Sistem Buku Tanah;

Merupakan produk hukum (sertipikat hak atas tanah) dan produk fiskal (PBB & BPHTB);

Mencatat persil pesisir dan laut serta batas-batas terkait, hak atas persil termasuk hak adat atau ulayat;

Batas-batasnya adalah batas yuridiksi (laut teritorial); batas administratif (provinsi, kabupaten, dan lainnya); batas laut, selat dan teluk; batas estat laut (pemanfaatan ruang laut untuk kepentingan ekonomi masyarakat, perseorangan, dan badan hukum);

Merupakan ruang laut 3-dimensi yang menggambarkan stratifikasi hak pada permukaan laut, kolom air (laut), dasar laut dan tanah di bawahnya (Rais, 2002.a)

4

Kelembagaan

BPN (Badan Pertanahan Nasional) sebagai “Legal Land Cadastre”

Direktorat PBB & BPHTB Ditjen. Pajak Departemen Keuangan sebagai “Fiscal Land Cadastre”

Belum ada UU yang secara spesifik mengatur perihal “Marine Cadastre” UU terkait: UUPA 1960, UU No. 11 Tahun 1967 (Pertambangan), UU No. 5 Tahun 1990 (Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya), UU No. 24 Tahun 1992 (Penataan Ruang), UU No. 23 Tahun 1997 (Pengelolaan Lingkungan Hidup), dan UU No. 32 Tahun 2004 (Pemerintahan Daerah);

Belum ada peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur perihal kelembagaan “Marine Cadastre”: Opsi: BPN sepanjang menyangkut administrasi (manajemen) hak-hak (property rights) atas ruang pesisir dan laut; DKP menyangkut perihal administrasi dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut (coastal and sea resources);

5

Teknis

Skala peta 1:1.000 dan 1: 500 untuk perkotaan dan 1:2.000 atau 1:2.500 untuk perdesaan, serta 1:5.000 atau 1:10.000 untuk lokasi perkebunan besar;

Skala peta 1:1.000 atau 1:2.500 untuk wilayah “tidal interface”;

Skala 1:50.000 – 1:100.000 untuk wilayah laut kabupaten/kota dan provinsi serta laut teritorial; skala 1:100.000 – 1:1.000.000 untuk landas kontinen dan ZEE;

Warna dan legenda peta minimalis;

“Fixed boundary system” untuk batas-batas persil tanah dan batas administarsi (lihat butir 2 di atas)

Warna dan legenda peta: berwarna dan banyak legenda maritim “Maritime boundary system” (sistem batas): • Batas yuridiksi nasional sampai batas laut

territorial;

Page 21: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

28

No Unsur & Aspek “Land Cadastre” “Marine Cadastre”

• Batas adminsitratif dan batas zona khusus (laut

lindung, kawasan konservasi, zona perikanan, dan sebagainya);

• Batas estat laut (batas pemanfaatan dan penggunaan laut untuk kepentingan ekonomi oleh masyarakat, perseorangan, dan badan hukum);

• Batas kewenangan Negara sesuai UNCLOS (Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif);

Peta Kadaster Darat: menggambarkan batas-batas zonasi lahan yang diukur dan berbagai jenis hak dan penggunaannya

Sistem koordinat menggunakan proyeksi TM 3o (Transverse Mercator dengan lebar zone 3o) dengan referensi datum WGS-1984 (a = 6.378.137 m dan f = 1/298,26);

Ruang tanah (lahan) dalam referensi 2-dimensi (ukuran luas, panjang dan lebar);

Peta Kadaster laut: memuat informasi persil-persil pesisir dan laut serta batas-batasnya yang terkait, hak dan ketentuan hukum lainnya atas persil tersebut termasuk hak adat dan hak ulayat, serta kewenangan yuridiksi yang menyangkut sumberdayanya (Rais, 2002.a) Rais (2003: hal.27-28) mengusulkan agar semua peta di Indonesia kompatibel, maka sistem yang digunakan sebaiknya sistem koordinat geosentris dengan Datum Geodesi Nasional Indonesia (DGNI) 1995 yang mengacu kepada WGS 1984 (a = 6,378,137 m and f = 1/298,26); Ruang laut dalam referensi 3-dimensi yang menggambarkan stratifikasi hak (rights) pada permukaan laut, kolom air, dasar laut dan tanah di bawahnya (Rais, 2002.a);

6 Terminologi Dikenal adanya Tanah Negara dan Tanah Hak

Dikenal pula adanya Tanah Negara, yaitu tanah yang tertutup oleh air laut dan dasar laut (sea bed) dan tanah di bawahnya, serta Laut Negara (untuk menghindari istilah Laut Provinsi, Laut Kabupaten, atau Laut Kota berkaitan dengan UU No. 32 Tahun 2004) (a.l. Rais, 2002.a);

Sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juncto UUPA, UNCLOS

juncto UU No. 17/1985, laut dapat dipartisi dalam persil-persil untuk penguasaan

dan pemanfaatannya. Contoh, untuk ruang usaha ekonomis seperti bididaya ikan,

rumput laut, kerang, penambangan dasar laut dan di bawah dasar laut; sebagai

ruang laut konservasi seperti laut lindung dan taman nasional; sebagai ruang laut

wisata dan rekreasi seperti arena selam, surfing, sailing dan fishing-sport; serta

sebagai ruang laut publik seperti alur pelayaran, pelabuhan dan sebagainya (Rais,

2002).

Konsep “marine cadastre” di Australia melingkupi pengggunaan dasar laut

(sea floor), misalnya untuk jalur pipa dan kabel bawah laut sebagaimana dalam

(Binns, 2004). Bahkan di Kanada penyelenggaraan “marine cadastre” merupakan

barometer keberhasilan dari sebagian indikator ‘good governance’ (Nichols et al.,

2001).

Page 22: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

29

Konsep diagram “marine cadastre” yang banyak dijadikan referensi adalah

gambaran yang dikemukakan Melbourne University, Australia (Gambar 5).

Model ini banyak digunakan oleh berbagai pihak dan peneliti sebagai referensi.

Konsepsi ini memberikan pendekatan holistik dalam gagasannya, yaitu dengan

menghubungkan keterkaitan tiga pintakat kegiatan:

1) Kegiatan terestrial (aktifitas urban dan kegiatan industri serta pertanian),

2) Kegiatan pesisir (pertanian, turisme dan rekreasi, serta hak-hak masyarakat

adat), dan

Gambar 5. Diagram Konsepsi “Marine cadastre”: hak cipta © The

University of Melbourne sebagaimana gambar dan teks aslinya (Collier, 2002)

Page 23: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

30

3) Kegiatan kelautan (kawasan lindung laut, budidaya laut, eksploitasi mineral

dan energi, pelayaran, wilayah tangkapan ikan, kabel dan pipa dasar laut, harta

karun, serta tempat pembuangan limbah di lautan).

2.4. Relevansi Konsep “Marine Cadastre” Dengan Teori ICZOM

Clark (1992) mengemukakan bahwa: “ICZM is a planning and coordinating

process which deals with development management coastal reasources”. Lewat

definisi-definisi teori dasar ICZM tersebut di atas, dapat ditarik benang merah

yang tajam antara konsep dan teori dasar ICZM dimaksud dengan konsep “marine

cadastre”, teristimewa pada aspek-aspek: penataaan ruang dan sumberdaya secara

komprehensif, perencanaan pemanfaatan sumberdaya dan kawasan, media

penyelesaian konflik, dan pengakuan hak-hak penguasaan dan pemanfaatan ruang

pesisir dan laut. Relevansi ini kemudian lebih menonjol lagi pada tataran praktik

ICZM, khususnya pada aspek penataan ruang pesisir dan lautan, serta aspek

penguasaan dan pemanfaatan (tenurial) (Gambar 6).

Melalui gambaran di atas maka nampak setidaknya terdapat 8 (delapan)

komponen grand theory ICZOM yang terkait erat dengan konsep “marine

cadastre”, yaitu:

1) ICZOM adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa

lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara:

a. Melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan pesisir beserta

sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya;

menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian;

b. Merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya, guna

mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan (Dahuri et al.

2001);

2) ICOZM menurut Clark, adalah:

c. A planning and coordinating process which deals with development

management and coastal resources and which is focused on the land/water

interface;

Page 24: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

31

d. ICM menurut Cicin-Sain and Knecht:

“can be defined as a continuous and dynamic process by which decisions

are made for sustainable use, development, and protection of coastal and

marine areas and resources; ... is a process that recognizes the distinctive

character of the coastal area - itself a valuable resource - and the

importance of conserving it for current and future generations; … has

major functions as:

Gambar 6. Relevansi Konsep “Marine Cadastre” Dengan Teori Dasar dan Praksis ICOZM

e. Area planning: plan for present and future uses of coastal and marine

areas; provide a long-term vision; Promotion of economic development:

promote appropriate uses of coastal and marine areas (e.g., marine

aquaculture, ecotourism);

Teori Dasar ICOZM

• Tata Ruang dan proses koordinasi

• Orientasi Kebijakan dan Pengembangan Manajemen Strategis untuk Isu-isu Konflik Pemanfaatan Sumberdaya (Clark, 1992)

• Tata Ruang • Arahan Pemanfaatan • Resolusi Konflik • Arahan Kesesuaian (Cicin Sain and Knecht, 1998)

• Penilaian Spasial Komprehensif

• Penentuan Tujuan, Sasaran & Perencanaan Pemanfaatan Kawasan (Dahuri et al., 2001)

“Marine Cadastre”Philosofi: Batas

Pemilikan

Hak

KewajibanBatasan

Page 25: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

32

f. Stewardship of resources: protect the ecological base of coastal and marine

areas, preserve biological diversity, and ensure sustainability of uses;

g. Conflict resolution: harmonize and balance existing and potential uses,

address conflicts among coastal and marine uses; Protection of public

safety: protect public safety in coastal and marine areas typically prone to

significant natural, as well as human-made, hazards;

h. Proprietorship of public submerged lands and waters: as governments are

often outright owners of specific coastal and marine areas, manage

government-held areas and resources wisely and with good economic

returns to public (Cicin-Sain and Knecht, 1998).

2.5. Sejarah “Marine Cadastre”: Munculnya Filosofi “The Boundary of

Tenure”

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kadaster adalah kantor tempat

pendaftaran hak milik (Badudu dan Zain, 2001). Selanjutnya dalam pengertian

modern, kadaster dikenal sebagai suatu sistem informasi pertanahan publik. Bab

Pendahuluan telah menguraikan perihal asal mula dikenalnya kadaster, yaitu

kembali ke tahun 2.000 S.M. di tepian sungai Nil, Mesir, di mana dalam sejarah

tercatat pernah dilaksanakan kegiatan rekonstruksi batas-batas kepemilikan tanah

akibat banjir besar yang melanda tempat permukiman dan daerah pertanian

penduduk. Sejak peristiwa di sekitar sungai Nil inilah, yaitu diselenggarakannya

pengukuran, pemetan dan pencatatan serta pendaftaran kembali tanah-tanah

pertanian yang kemudian dikenal dengan nama “kadaster”. Demikian pula

selanjutnya dikenal konsep “the boundary of tenure” atau “the boundary of use”

sebagai dasar filosofi kadaster.

Sejarah kadaster kemudian berkembang seiring dengan perkembangan ilmu,

khususnya matematika. Dalam sejarah dicatat pula bahwa pada tahun 1.500 SM

di Mesir mulai dikenal pengukuran sudut secara matematis dengan cara

Page 26: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

33

mengamati lintasan sinar matahari pada permukaan batu ukur (stone tablet)

dengan menggunakan mistar vertikal (Gnomon) di atasnya. Namun alat ukur

sudut yang pertama dikenal adalah instrumen yang mereka kembangkan kemudian

yang disebut Groma, yaitu empat butir batu yang tergantung oleh tali pada ke-

empat ujung batang kayu yang terikat saling tegak lurus. Alat ini dipakai selama

ribuan tahun termasuk untuk pembangunan piramid dan bangunan-bangunan

kekaisaran Romawi. Sejak itu pula dikenal seorang yang bernama Lucius

Aebutius Faustus sebagai “Agremèntor” atau juru ukur tanah yang pertama

(Wallis, 2005).

Periode berikutnya, Eratosthenes (275-195 SM) dikenal sebagai “bapak”

konsep geometri (Lelgemann, 2005), yang kemudian digunakan pula sebagai

dasar pemodelan (pengukuran dan pemetaan) batas tanah. Sedangkan alat ukur

sudut pertama yang merupakan cikal bakal theodolite yang dikenal sekarang

adalah Dioptra, yang dalam bahawa Yunani artinya instrumen untuk melihat

dengan jelas, dibuat sekitar tahun 150 SM (Wallis, 2005).

“The mile stone” sejarah kadaster berikutnya adalah program Napoleon

Bonaparte (1789–1821) untuk mendaftarkan seluruh bidang tanah di Perancis

guna mengatur perekonomian dan membiayai perangnya melalui pungutan pajak

tanah dan hasil bumi serta kekayaan penduduk. Napoleon berhasil membangun

kadaster di Perancis dalam masa pemerintahannya, bahkan ia sempat

mengeluarkan “fatwa” yang cukup terkenal, yaitu: “Barang siapa dapat

membangun suatu kadaster yang baik, sungguh layak dibuatkan patung baginya”.

Pengenalan istilah kadaster di Indonesia pertama kali dilakukan oleh

pemerintah jajahan Belanda ketika membentuk Kadastrale Dienst (Dinas

Kadaster) pada tahun 1823, yaitu sebuah dinas di bawah Departemen Kehakiman.

Pemerintah pendudukan Jepang merubah nama dinas ini menjadi Jawatan

Pendaftaran Tanah dan Kantor Pendaftaran Tanah. Setelah kemerdekaan,

Pemerintah Indonesia membentuk Kementerian Agraria berdasarkan Keppres

Nomor 55 Tahun 1955, namun baru dua tahun kemudian, yaitu melalui Keppres

Nomor 190 Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula di bawah

Departemen Kehakiman dialihkan dalam lingkungan tugas Kementerian Agraria.

Page 27: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

34

Sedikitnya ada delapan tonggak sejarah batas laut dan delapan periode

konsep awal sejarah batas laut dan konsep awal “marine cadastre” sebagaimana

disarikan dalam Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Sejarah Batas Laut dan Konsep Awal “Marine Cadastre” (dari berbagai

sumber utamanya Soebroto et al., 1983 dan BPN-LPPM ITB, 2003)

Sejarah Batas Laut Konsep Awal “Marine Cadastre”

Tahun Peristiwa Tahun Peristiwa

1945

1957

1958

1960

Pemerintah Amerika Serikat mengumumkan yuridiksinya atas kekayaan sumberdaya alam yang berada di dasar laut dan tanah di bawahnya di sepanjang landas kontinen yang mengelilingi pantainya. Pengumuman ini menggugah negara-negara pantai lainnya untuk berbuat yang sama. Deklarasi Djuanda: Pengumunan Pemerintah tentang Perairan Indonesia dalam suatu Konsep Wawasan Nusantara sebagai konsekuensi logis dan geografis bagi sebuah negara kepulauan (archipelagic state). Deklarasi yang dikeluarkan pada tanggal 13 Desember 1957 ini sekaligus merupakan “kontra” undang-undang pemerintah kolonial Belanda: “Territoriale Zee- en Maritiem Kringen Ordonantie 1939” (Ordonansi Laut Wilayah dan Lingkungan Maritim). Konferensi PBB tentang Hukum Laut ke I digelar di Geneva. Digelar Konferensi PBB tentang Hukum Laut ke II di Geneva;

Pada tahun yang sama, terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang sekaligus merupakan “pengukuhan” Deklarasi Djuanda 1957.

1982

1989

1991

1999

2000

Lahirnya UNCLOS 1982 merupakan “tonggak sejarah” yang melahirkan konsep “Marine Cadastre” berangkat dari filsofi dan isu “the boundary of use”. Sue Nichols, Kandidat Ph.D. di Universitas New Brunswick, Kanada menulis tentang “Water Boundaries – Coastal” dan ide awal konsep “Marine Cadastre”. Konferensi Pacem in Maribus di Lisbon menetapkan tema “Ocean Governance” yang merupakan ‘cikal bakal’ pula dari berkembangnya konsep “Marine Cadastre”. Konsep ini mulai ramai dibicarakan dalam seminar, workshop, dan juga dalam proyek-proyek penelitian, antara lain: • Canadian Center for Marine Communication

menerbitkan Draft MGDI: Marine Geospatial Data Infrastructure;

• Sue Nichols dan David Monahan menulis tentang: Fuzzy Boundaries of the Sea;

• Sue Nichols, David Monahan, dan Michel Sutherland menulis tentang menawarkan konsep Good Ocean Governance;

• Terminologi “Marine Cadastre” mulai dikenalkan, antara lain Sue Nichols, Hoogsteden dan Robertson, serta Grant;

Sebuah proyek “Marine Cadastre” dilaksanakan di Kanada oleh beberapa peneliti, yaitu Sam Ng’ang’a, Sue Nichols, Michel Sutherland, dan Sarah Cockburn;

Page 28: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

35

Sejarah Batas Laut Konsep Awal “Marine Cadastre”

Tahun Peristiwa Tahun Peristiwa

1969

1973

1980

1982

1983

1985

1996

1999

2004

Pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Februari 1969 menerbitkan Pernyataan atau Pengumuman tentang Landas Kontinen dalam perairan laut Indonesia. Terbit UU Nomor 1 Tahun 1973 Tanggal 6 Januari 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia;

Dalam tahun yang sama mulai digelar Konferensi PBB tentang Hukum Laut ke III digelar di New York; Sidang ini berlangsung bertahap selama 9 (sembilan) tahun hingga sidang yang ke 12 pada tahun 1982.

Pengumuman Pemerintah Indonesia tanggal 21 Maret 1980 tentang Zona Ekonomi Eksklusif

Ditandatanganinya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) oleh 119 negara di dunia pada tanggal 7 Oktober 1982.

Terbit UU Nomor 5 Tahun 1983 tanggal 18 Oktober 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif.

Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU Nomor 17 Tahun 1985 tanggal 31 Desember 1985.

Terbit UU Nomor 16 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia sebagai pengganti dan penyempurnaan PERPU Nomor 4 Tahun 1960.

Terbit UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah khususnya yang mengatur batas wilayah laut provinsi dan kabupaten/kota. Terbit UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999.

2001

2002

2003

2004

2005

Kelompok Kerja 2 PCGIAP – FIG mengeluarkan Resolusi No. 6 tentang “Marine Cadastre” diawali dari PCGIAP Meeting 7th di Tsukuba, Jepang (24 – 27 April 2001) dan pertemuan lanjutan di Penang, Malaysia (11 – 12 September 2001). Dalam kedua pertemuan ini Williamson dan Widodo menyampaikan pula presentasi perihal konsep “Marine Cadastre”.

Tercatat banyak seminar, workshop maupun penelitian mendalami konsep “Marine Cadastre”, bahkan US DOC-NOAA telah menetapkan kebijakan tentang “US Marine Cadastre”; Beberapa penulis telah pula secara intensif membahas konsep ini, misalnya: • Collier, Leahly, dan Williamson mengusulkan

konsep “Australian Marine Cadastre”; • Jacub Rais menawarkan konsep “Marine

Cadastre” untuk Indonesia; • Beberapa “statement” dalam surat khabar

juga menyoroti perihal “Marine Cadastre”, antara lain: Budi Sulistyo dan Sarwono Kusumaatmadja dalam harian KOMPAS;

LPPM ITB Bandung berkerjasama dengan BPN menghasilkan dokumen “Studi Pengembangan Kadaster Kelautan di Indonesia”; Sementara itu Widodo menyampaikan makalah tentang “Spatial Data Infrastructure and Marine Cadastre” dalam sebuah FIG Weekly Meeting di Paris; • Secara berurutan Tamtomo dan Widodo

menyampaikan makalah tentang “Marine Cadastre” dalam 3rd FIG Regional Conference di Jakarta;

• Telah terbit buku “Menata Ruang Laut” terbitan Pradnya Paramita ditulis oleh Rais et al. termasuk perihal “Marine Cadastre”;

• Telah diselenggarakan sebuah seminar oleh FT UGM “Kadaster Laut dan Peran Geodesi-Geomatika Untuk Masyarakat” di Yogyakarta;

• Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat mencanang-kan “Implementation Plan for a Multipurpose Marine Cadastre” (US DOI – MMS, 2004)

Jacub Rais dan J.P.Tamtomo menulis tentang kasus Blok Ambalat: “Make Marine Cadastre Not War” (KOMPAS, 11-04-2005)

Page 29: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

36

2.6. Tujuan dan Manfaat Penyelenggaraan “Marine Cadastre”

Tujuan penyelenggaraan “marine cadastre” oleh suatu negara, adalah untuk:

1) Mengadministrasikan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan laut berikut

sumberdaya alam dan buatan serta termasuk pula semua kepentingan, hak,

batasan dan kewajiban yang ada di wilayah itu;

2) Mewujudkan ketertiban wilayah, yaitu tertib administrasi, tertib hukum, tertib

tata ruang wilayah, tertib pemanfaatan dan penggunaan ruang dan sumberdaya

wilayah, serta tertib pemeliharaan wilayah dan ekosistem wilayah;

3) Memberikan perspektif manajemen sumberdaya alam kepada pemerintah dan

mengembangkannya agar manfaat dan kegunaan “marine cadastre” menjadi

lebih nyata bagi para pemangku kepentingan, seperti: pemerintah dan daerah,

sektor industri, serta masyarakat akademis (US DOI–MMS, 2004) dan

masyarakat disektor pesisir dan kelautan khususnya;

4) Menyediakan infrastruktur data spasial yang komprehensif di mana hak,

batasan, dan kewajiban di lingkungan pesisir dan kelautan dapat dinilai,

diadministrasikan, dan dikelola (US DOI–MMS, 2004);

5) Menyediakan informasi wilayah laut yang berguna untuk: (1) mengidentifikasi

masalah dan prioritas; (2) merumuskan dan menerapkan kebijakan dan strategi

pembangunan kelautan yang sesuai dan tepat sasaran; (3) membantu

perencanaan tata guna ruang dalam aktifitas pembangunan kelautan; (4)

menyediakan suatu proses perijinan yang proporsional dalam mendukung

pembangunan perekonomian sektor kelautan; (5) dapat menerapkan suatu

sistem pengelolaan pajak yang tepat dan efisien; dan (6) mengawasi tata guna

ruang untuk dapat mengidentifikasi permasalahan baru dan mengevaluasi

pengaruh dari suatu kebijakan kelautan (BPN – LPPM ITB, 2003). Direktorat

Jenderal Pajak telah memungut PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) atas

bangunan-bangunan kelautan seperti penambangan minyak “offshore”,

rumpon dan bagan-bagan ikan, dan bangunan kelautan, jasa kelautan serta

akuakultur lainnya.

Manfaat dari penyelenggaraan “marine cadastre” bagi suatu negara, adalah:

1) Tersedianya mekanisme untuk mendefinisikan, menggambarkan,

menganalisis, dan menghitung, serta menyatakan hak kedaulatan dari setiap

Page 30: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

37

jengkal lahan di wilayah pesisir dan lepas pantai berikut kekayaan alam atau

sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya;

2) Tersedianya mekanisme untuk mengidentifikasi tumpang tindih dan konflik

hak, kepentingan, dan tanggungjawab di wilayah pesisir dan lautan serta untuk

mendorong dan menyelenggarakan kepemerintahan yang baik di bidang

kelautan (good ocean governance) (US DOI – MMS, 2004);

3) Tersedianya serta meningkatnya akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan

efisiensi penggunaan sumberdaya dan ruang laut sekaligus meningkatkan

perlindungan terhadap terjadinya degradasi lingkungan akibat kegiatan

pembangunan kelautan (BPN – LPPM ITB, 2003);

Sementara itu, dalam pengembangan konsep “Multi-Purpose Marine

Cadastre”, maka Tamtomo (2006) telah mengenalkan konsep Total Asset Value

(TAV), yaitu agregat nilai Total Real Property Value (TRPV) ditambah dengan

Total Economic Value (TEV) dari suatu “persil laut”, khususnya persil pada

perairan pesisir (near shore parcel).

2.7. Aspek Yuridis Dalam Penyelenggaraan “Marine Cadastre”

Kadaster, ditinjau dari definisi dan pengertiannya sendiri, adalah sebuah

institusi hukum. Pertama, karena di dalam sistem kadaster dikandung tiga pilar

utama, yaitu 3R (FIG, 1995, Dale and McLaughlin, 1988), yang terdiri dari:

rights: hak-hak, restrictions: batasan atas penguasaan dan penggunaan hak-hak

tersebut, dan responsibilities: tanggungjawab terhadap penguasaan dan

penggunaan hak-hak tersebut. Oleh karena itu maka kadaster memenuhi syarat

sebagai sebuah struktur hukum.

Kedua, karena tujuan kadaster adalah mewujudkan ketertiban dalam

penyelenggaraan administrasi dan praktik hukum atas penggunaan hak,

pemenuhan kewajiban, dan implementasi batasan tersebut (Larsson, 1991); maka

dengan sendirinya kadaster merupakan dan menjalankan fungsi-fungsi hukum.

Sehubungan dengan itu, maka “marine cadastre”, meskipun tidak dengan serta

merta dapat langsung dipersamakan dengan kadaster daratan karena adanya

perbedaan sifat dan karakteristik obyek dan subyek hukumnya, merupakan

institusi hukum pula, karena “marine cadastre” memenuhi kedua syarat tersebut

Page 31: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

38

di atas. Apabila “marine cadastre” telah mempunyai dasar hukum bagi legitimasi

penyelenggaraannya, maka dengan sendirinya ia akan mempunyai implikasi

hukum dalam pelaksanaannya.

Cockburn dan Nichols (2002) menyatakan bahwa setidaknya ada 4 (empat)

hal yang akan berimplikasi dan oleh karena itu harus dipertimbangkan. Pertama,

jenis-jenis hak apakah yang ada dalam konteks kelautan. Kedua, rezim hukum

apa yang mengatur atau menentukan hak-hak tersebut. Ketiga, apakah dapat

ditentukan atau diletakkan hirarki atas hak-hak tersebut, dan Ke-empat, adalah

bagaimana dapat diletakkan hubungan di antara hak-hak tersebut satu dengan

lainnya (Gambar 7).

Gambar 7. Kerangka Hukum Pelaksanaan “Marine Cadastre” (Cockburn

dan Nichols, 2002: p.3)

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu kiranya dapat

dipahami beberapa karakteristik serta doktrin yang membedakan “land cadastre”

dengan “marine cadastre”. Untuk itu perlu merujuk kembali pada Tabel 3 tentang

perbedaan dan persamaan antara kadaster pertanahan dengan kadaster kelautan

(marine cadastre). Selebihnya, Cockburn, Nichols dan Monahan (2003) mengajak

untuk memahami tentang konsepsi persil laut dibandingkan dengan persil tanah.

Kerangka Hukum “Marine Cadastre”

KewenanganNegara

Hak Wilayah Administrasi

Berpengaruh pada:

Hak Privat Hak Publik

• Hak Guna Usaha • Hak Penambangan • Hak Kabel Laut

• Hak Akses • Hak Penangkapan Ikan • Navigasi, dsb.

Page 32: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

39

Di laut di mana sumberdaya dan kegiatan, dan oleh karena itu hak, batasan, dan

kewajiban, dapat ada atau timbul seiring dengan waktu dan ruang, serta dapat

bergerak atau berpindah sesuai perubahan waktu dan ruang, maka konsepsi persil

laut menjadi kompleks.

Pertama, kepemilikan individual secara penuh, sebagaimana dikenal dalam

persil tanah, tidaklah dikenal dalam konteks ruang lautan (sama dengan pendapat

Rais, 2002: “ ... the ocean is an heritage of human kind, available to anyone but

owned by none ...”, tidak ada hak milik pribadi di lautan, yang ada adalah

kewenangan pengelolaan saja). Hak penguasaan dari negara, hak-hak publik, dan

hukum internasional adalah faktor-faktor yang akan banyak mempengaruhi hak-

hak privat, dan dapat dipastikan pula bahwa kepemilikan pribadi yang eksklusif

atas atas kolom (persil) laut tidak mendapat pengakuan.

Kedua, dapat dikatakan hanya sedikit sekali aktifitas di sektor kelautan

yang hanya menggunakan permukaan air laut saja sebagai ruang kegiatan

utamanya. Hampir semua kegiatan kelautan sesungguhnya berada pada volume

atau kolom laut, sehingga dengan demikian hampir semua hak-hak kelautan,

seperti akuakultur, penambangan laut, perikanan laut, dan hak-hak berlabuh dan

bahkan navigasi laut secara inheren memiliki sifat-sifat tiga dimensi (bandingkan

dengan persil tanah yang bersifat dua dimensi). Demikian pula kemungkinan

berlapis-lapisnya beberapa hak yang mungkin ada pada ruang laut sangat terbuka,

mengingat banyak kemungkinan sesuatu hak pada kolom permukaan air laut

bagian atas berlapis dengan sesuatu hak lainnya pada kolom air di bawahnya, dan

bahkan sesuatu hak pada dasar laut (seabed). Untuk mengawasi dan mengatur

aktifitas kelautan, gambaran mengenai hak-hak yang ada dalam ruang atau kolom

laut yang lebih akurat sangatlah diperlukan.

Ketiga, adanya suatu kenyataan bahwa tidak semua atau bahkan pada

umumnya batas persil atau kolom laut tidak dapat ditandai dengan batas fisik,

khususnya persil laut yang terletak dilepas pantai. Batas-batas tersebut hanya

dapat ditandai dalam peta atau publikasi lainnya. Nichols dan Monahan (1999)

menamakan sistem penetapan batas persil laut dengan “fuzzy boundary system”,

sedangkan Hoogsteden and Robertson. (1999) justru mengatakannya sebagai

“seamless boundary system” (tegas).

Page 33: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

40

Dalam konteks sistem penguasaan dan pemilikan properti (property

tenureships) di Indonesia, maka “state of the arts” konsep “marine cadastre”

harus pula mencerminkan kekhasan sistem dimaksud. Dengan kata lain harus ada

keberanian untuk meletakkan konsep ini secara aktual, agar dapat menampung

kebutuhan masyarakat dan pembangunan, dengan pertimbangan bahwa:

1) Ruang perairan laut teritorial adalah ruang perairan yang dihitung dari rata-

rata air laut surut terendah sejauh 12 nautical miles ke arah laut;

2) Adanya sistem penguasaan atau pemilikan dalam wilayah perairan pantai

dangkal (shallow shore-water), misalnya: rumah-rumah nelayan di atas air

laut, bagan-bagan dan keramba ikan, pelantar (“jalan” di atas air laut sebagai

akses publik yang dikenal di Kepulauan Riau), dan sebagainya;

3) Adanya kekosongan hukum dalam pengaturan hak-hak kepemilikan di

wilayah ini, padahal sistem kepemilikan lahan telah berlaku di masyarakat.

Sejalan dengan itu, maka obyek “Marine Cadsatre” dalam perspektif hukum

agraria Indonesia harus dapat membedakan antara ruang perairan pantai dan

ruang laut. Perlunya pemilahan kedua wilayah ini secara spesifik karena adanya

perbedaan substansial di antara keduanya, meskipun keduanya merupakan satu

wilayah yang tidak terpisahkan. Perbedaan dimaksud adalah:

1) Ruang perairan pantai merupakan wilayah yang sangat rentan (fragile), baik

ditinjau dari aspek fisik dan ekosistem (merupakan wilayah “tumpahan”

seluruh dampak aktifitas di daratan yang terbuang atau mengalir ke laut),

maupun ditinjau dari aspek hukum dan sosial-ekonomi, yaitu sangat

berhubungan erat dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan

pemanfaatan tanah (land tenureships) daratan pesisir;

2) Ruang perairan pantai merupakan wilayah perairan laut dangkal, termasuk

wilayah yang pada saat air laut surut nampak sebagai ruang daratan, dan oleh

karena itu tenureship system lahan ini dapat dicirikan oleh tipologi atau

karakteristik tenureships daratan (land-based tenure) maupun ruang laut (sea-

based tenure) secara seimbang; Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas,

maka jenis-jenis hak yang dapat dipunyai oleh perseorangan serta badan

hukum publik dan privat, adalah hak-hak menurut UU No. 5 Tahun 1960

(UUPA) dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Page 34: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

41

3) Ruang laut, yaitu ruang laut teritorial di luar perairan pantai, di lain pihak,

umumnya tidak berkaitan langsung dengan tenureship system di daratan;

Hak-hak yang sesuai di wilayah ini adalah Hak Guna Perairan, kecuali untuk

konstruksi pengeboran minyak lepas pantai (rigs) dan bagan-bagan ikan dapat

diberikan dengan Hak Guna Bangunan.

Dalam bab hasil penelitian dan pembahasan akan ditelaah mengenai hak-

hak di wilayah perairan pantai dan laut dalam konteks lokus penelitian khususnya,

dan di Indonesia pada umumnya.

2.8. Pemetaan dan Penetapan Hak-Hak di Wilayah Pesisir dan Laut Dalam

Kerangka “Marine Cadastre”

Beberapa negara di dunia telah melaksanakan “marine cadastre” dalam

pengelolaan sumberdaya dan wilayah pesisir dan lautan. Negara-negara dimaksud

antara lain: Canada, Amerika Serikat, dan Australia. Di Negara Belanda,

meskipun tidak menggunakan nomenklatur “marine cadastre”, namun batas laut

teritorial negara ini telah diukur dan dipetakan serta didaftar dalam Kantor

Kadaster Belanda, semacam Badan Pertanahan Nasional di Indonesia.

Dalam Gambar 8 berikut ini adalah contoh pelaksanaan “marine cadastre”

pada pilot proyek di Negara Bagian Victoria, Australia. Peta ini menggambarkan

berbagai representasi hak yang cukup lengkap, yaitu hak-hak publik, privat, dan

kolektif (adat), serta hak-hak atas pengelolaan sumberdaya dan lingkungan hidup.

Hak-Hak Guna Dasar Laut (sea-bed rights) untuk jalur pipa dan kabel

bawah laut dipetakan dalam bentuk garis-garis warna hijau. Hak-Hak Ulayat Laut

dan hak-hak masyarakat tradisional (native title claims) di wilayah pesisir dan laut

dipetakan dalam bentuk persil-persil pesisir dan laut. Hak Pengelolaan untuk

National Marine Parks dipetakan dalam bentuk persil-persil laut berwarna merah

muda. Hak atas wilayah laut teritorial negara dipetakan dalam zona-zona

berwarna coklat muda (cream), sedangkan wilayah laut tambahan (contiguous

zone) dipetakan dalam zona-zona berwarna tekstur hijau muda, dan keduanya

dipetakan dengan garis batas zona berwarna hitam.

Page 35: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

42

G

amba

r 8.

Pet

a “M

arin

e C

adas

tre”

di N

egar

a B

agia

n V

icto

ria, A

ustra

lia (B

inns

, 200

5)

U

۞

Skal

a (T

anpa

Sk

ala)

Page 36: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

43

Gam

bar 9

. P

eta

“Mar

ine

Cad

astr

e” d

i Flo

rida

Sanc

tuar

y, U

SA (

US-

DO

C N

OA

A, 2

002)

Page 37: 2. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id 2... · alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara ... (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention

44

Demikian pula, sebagaimana tersaji dalam Gambar 9 adalah contoh

pelaksanaan “marine cadastre”. Peta ini menggambarkan secara lebih khusus

kepada pengadministrasian sumberdaya dan lingkungan pesisir dan laut di Negara

Bagian Florida, Amerika Serikat.

Hak atas wilayah laut teritorial (Florida State Waters) dipetakan dalam

zona-zona dengan garis berwarna biru muda. Hak Negara atas Taman Nasional

(National Park Boundaries) dipetakan dalam persil atau zona yang dibatasi oleh

garis berwarna merah, yang meliputi batas di darat dan di laut dalam satu kesatuan

zona (tidak dipisahkan). Pengadministrasian wilayah taman nasional ini

merupakan “state of the art” dari suatu pelaksanaan “marine cadastre”, di mana

dalam hal-hal tertentu, antara “land cadastre” dan “marine cadastre” dapat

diintegrasikan ke dalam satu peta.

Hak-hak pengelolaan negara untuk taman-taman suaka marga satwa laut

(National Wildlife Refuge) dipetakan dalam zona-zona atau persil-persil berwarna

hijau. Sementara itu, zona-zona lindung laut (Ecological Reserves) dipetakan

dengan zona warna ungu muda, dan zona-zona pengelolaan laut (Existing

Management Areas) dipetakan dalam warna hijau muda. Penerapan konsep

“marine cadastre” di Amerika Serikat dan Australia ini harus dapat menjadi

teladan bagi Indonesia, terlebih karena negara ini merupakan negara kepulauan

yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan.