2.Muhammad Saw, selain dibangkitkan sebagai Nabi, beliau juga diutuskan untuk menjadi khalifah....
-
Upload
nurul-azkaa -
Category
Documents
-
view
121 -
download
4
description
Transcript of 2.Muhammad Saw, selain dibangkitkan sebagai Nabi, beliau juga diutuskan untuk menjadi khalifah....
SEJARAH PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM
DOSEN PENGASUH : Dr. SYAUGI MARAK SEFF, MA
Dr. NUR KOLIS, M.Ag
DISUSUN OLEH : JAILANI ABDULLAH
13.0254.1167
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
KALIMANTAN SELATAN
SOAL FINAL TEST
SEMESTER GANJIL 2013/2014
1. Sejak masa-masa awal kelahiran Islam, umat Islam sudah dihadapkan dengan masalah-masalah politik seperti problem pengangkatan khalifah sepeninggal nabi Muhammad Saw, konflik Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah, Ali bin Abi Thalib dengan Muawwiyah, dan sebagainya. Dalam konteks ini, paling tidak timbul diskursus tentang relasi agama dan Negara. Menurut anda bagaimana sesungguhnya relasi agama dan Negara dan bagaimana relasi agama dan Negara ini yang dibangun pada masa nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin?.
2. Muhammad Saw, selain dibangkitkan sebagai Nabi, beliau juga diutuskan untuk menjadi khalifah. Bagaimana strategi Nabi Muhammad Saw. Menyelesaikan tahapan-tahapan risalahnya itu baik di Mekkah maupun di Madinah?.
3. Hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam disikapi secara berbeda oleh beberapa golongan, seperti mutakallim, ahli fikih dan sufi. Di antara mereka ada yang pemisif, longgar da nada pula yang bersikap ketat, selektif dan kritis terhadap hadis. Bahkan sempat pula muncul kelompok inkarussunnah. Tolong, saudara jelaskan berbagai sikap dan pemikiran firwah terhadap hadis yang terjadi dalam sejarah pemikiran islam dari masa ke masa.
4. Temuan Freedom House yang terungkap dalam index of political righ and civil liberty menyebutkan bahwa dalam tiga dekade terakhir, hanya ada satu Negara muslim yang mampu membangun demokrasi secara penuh selama lebihh dari lima tahun, yaitu Negara mali di Afrika. Dua belas Negara muslim lainnya termasuk dalam kelompok semi demokratis. Sisanya, yakni 35 negara bersifat otoritarian. Lebih dari itu, delapan dari 13 negara dengan pemerintaha paling represif di dunia pada dekade yang lalu adalah Negara Negara muslim. Bagaimana anda melihat temuan ini kalau dikaitkan dengan warisan sejarah peradaban Islam pada masa Nabi Muhammad Saw dengan Negara Madinahnya?.
5. Pemikiran tasawuf merupakan satu disiplin keilmuan Islam yang menggunakan dzauq sebagai metodenya. Sedangkan pemikiran filsafat (Islam) menggunakan pendekatan nalar pikiran rasional. Antara kedua-dua pemikiran tersebut berbeda dalam tataran metodologis. Yang pertama dikenal dengan metode intuitif dan kedua disebut nalar rasional. Dalam sejarah pemikiran islam, perbedaan metode berpikir tersebut berhasil disepadukan oleh syaikh al-Akbar Muhi al-Din ibn Arabi. Coba saudara terangkan bagaimana kiprah Ibn Arabi dalam mensintesakan tasawuf dan filsafat pada zamannya dan bagaimana pengaruhnya di dunia Islam sekarang.
6. Salah satu prestasi yang diraih pada masa Dinasti Turki Usmani adalah lahirnya kodifikasi hukum Islam yaitu majallah al-Ahkam al- ‘adliyyah ( Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam). Apa yang anda ketahui tentang majallah al-Ahkam al- ‘adliyyah tersebut?.
7. Legislasi adalah pembentukan hukum tertulis melalui Negara. Bagaimana pandangan anda tentang legislasi hukum islam dan dalam konteks Indonesia, seberapa pentingkah legeslasi hukum islam itu dilakukan?
8. Ada pernyataan bahwa demokrasi sebagai satu-satunya sistem pemerintahan sah yang diakui secara universal. Bagaimana demokrasi relevan degan sistem politik Islam?bukankah demokrasi bukan berasal dari Islam? Bagaimana memahami secara tepat hubungan antara demokrasi dan Islam?
JAWABAN
1. JAWABAN UNTUK NOMOR SATU
Diskursus hubungan agama dan negara bukan tergolong baru, baik dalam wacana
maupun aksi politik. Namun kini seakan mendapat aktualisasinya kembali, terutama
setelah merebaknya fenomena fundamentalisme Islam. Munculnya kembali gejala
fundamentalisme agama ini secara tidak langsung merupakan bentuk bantahan
terhadap konsep sekularisme yang sebelumnnya diyakini kebenaranya berlaku universal
seiring keberlangsungan modernitas yang melanda seluruh pelosok dunia. Sosiolog
kontemporer, Peter L. Berger menyatakan bahwa modernisasi memang akan membawa
pengaruh sekularisasi,tapi pada saat yang sama modernisasi juga menghasilkan gerakan
tandingan yang disebutnya dengan istilah desekularisasi atau fundamentalisme agama.
Kendati agama telah mengalami kebangkitan bersaing dengan ideologi sekuler
lain sebagai penjelas realitas, namun hubungan agama dan negara ini tetap rumit
dibanding mempertautkan kapitalisme dengan demokrasi, misalnya. Kesulitan ini
nampak jelas terutama ketika agama dan negara dilihat sebagai dua entitas yang
berbeda. Agama sebagai entitas yang trensenden tentu sangat berbeda dengan negara
sebagai lembaga profan ciptaan manusia. Agama didefinisikan sebagai keyakinan pada
yang trensenden dengan berbagai laku spritualitas yang mengikutinya harus dikaitkan
dengan negara yang merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan yang berdiri di atas
kesepakatan-kesepakatan dari bermacam-macam golongan untuk bersama-sama
bernaung dalam lingkungan organisasi masyarakat yang mereka dirikan guna menuju
satu tujuan bersama. Negara adalah lembaga ciptaan manusia yang memiliki kekuasaan
dan secara absah untuk menggunakan alat represif kepada warganya. Kekuasaan negara
ini diperoleh karena negaralah lembaga yang diciptakan untuk kebaikan masyarakat
dan warganya secara umum.
Agama dan negara memiliki dasar pijakan pada kenyataan yang berbeda. Agama
dan negara adalah dua kesatuan sejarah yang berbeda hakikatnya, agama adalah kabar
gembira dan peringatan. Sedangkan negara adalah kekuatan pemaksa. Agama
mempunyai khatib, juru dakwah dan ulama, sedangkan negara memiliki birokrasi,
pengadilan dan tentara. Agama dapat mempengaruhi jalannya sejarah melalui
kesadaran bersama. Negara mempengaruhi sejarah dengan keputusan, kekuasaan
dan perang. Agama adalah kekuatan dari dalam dan negara adalah kekuatan dari luar.
Berangkat dari uraian tersebut di atas akan semakin jelas bahwa rumitnya
hubungan agama dan negara terletak pada masalah definisi dan wilayah jangkauanya.
Kesulitan untuk merumuskan hubungan agama yang sakral dengan entitas negara
sebagai ciptaan manusia. Karena itu, dalam melihat hubungan agama dan negara
pertama-tama keberadaan agama sendiri harus dilihat secara fenomenologis,
sebagaimana pengalaman manusia tentangnya bukan entitas normatif dan abstrak.
Dengan perspektif fenomenologi agama, Amin Abdullah menjelaskan bahwa sebenarnya
esensi keberadaan agama itu dibedakan menjadi dua ketegori dengan cakupan yang
berbeda, yaitu antara agama normatif dan agama historis. Maksud dari agama normatif,
adalah agama dalam wilayah trensenden, milik Tuhan semata. Sedangkan agama dalam
ketegori historis adalah agama sebagaimana dipahami dan ditafsirkan manusia menurut
setting lingkungan sosial dan kepentingan historisnya. Kebenaran absolut sebuah agama
hanya ada dalam wilayah agama normatif, sementara makna kebenaran dalam agama
historis bersifat relatif.
Namun yang patut diperhatikan bahwa antara wilayah normatif, agama pada
dirinya atau sebelum diturunkan Tuhan untuk manusia dan agama pada wilayah historis
sebagaimana dipahami dan dihayati pemeluknya yang berkaitan dengan situasi sosial
historis masing-masing hendaknya tidak diposisikan bertolak belakang. Melainkan
dengan membedakan agama sebagai agama (wilayah normatif) dan agama dalam
bebagai kepanjangan dan implikasinya dalam kehidupan sosial yang tidak bisa
dilepaskan dari doktrin normatifnya. Perpanjangan atau penafsiran dokrin agama oleh
manusia ini dapat dianalisa dalam berbagai ranah kehidupan sosial masyarakat,
termasuk kehidupan politik.
Dengan tidak melepaskan dimensi Illahiahnya, agama harus dipahami sebagai
bagian dari realitas sosial. Dengan mengikuti definisi Peter L. Berger, agama tidak lain
adalah usaha manusia untuk membentuk suatu tatanan kosmos yang sakral dan
trensendental. Kekuatan adi-duniawi ini tidak berasal dari manusia, tapi berkaitan
dengan kehidupanya. Tatanan kosmos yang dianggap sakral tersebut memberikan acuan
kebenaran pada kehidupan manusia bahwa hidupnya terhindar dari kekacauan. Nomos
(aturan) dari yang trensendental dipahami manusia sebagai negasi dari situasi dunia
yang sarat dengan chaos (kekacauan). Peran sosial agama secara garis besar dibagi dua
yaitu sebagai acuan pembangunan dunia dan sebagai pemelihara dunia. Agama memiliki
peran ganda sebagai ideal tipe dalam membangun dunianya agar tetap dalam keadaan
bermakna sekaligus memberikan legitimasi yang berisi segenap pengetahuan dan norma
ketika realitas obyektif hasil kreasi manusia telah tercipta.
Dalam konteks itulah, hubungan agama dan politik harus ditempatkan secara
dialektis. Agama kadangkala menjadi sistem beliefe yang mampu menjadi acuan pada
pembentukan sekaligus legitimasi pada tatanan politik negara. Tapi pada saat
bersamaan, penentuan pemahaman dan penafsiran agama dalam kehidupan ditentukan
oleh sistem sosial-politik yang ada. Agama menjadi sebab sekaligus akibat dari realitas
sosial negara. Pada akhirnya bisa dipahami lembaga negara sebagai institusi dunia,
memainkan peran yang kurang lebih sepadan dengan peran agama sebagai penjelas dan
pengatur kehidupan. Laiknya agama, negara selain menjadi rujukan pembangunan
dunia sosial-individual, juga mampu menjadi pemelihara tertib sosial masyarakat itu
sendiri.
Perbedaan mendasar antara agama dan negara hanya terletak pada dasar
legitimasinya. Namun agama dan negara dapat menyatu, yaitu dalam ranah kekuasaan.
Legitimasi kuasa negara yang paling ampuh hanya tersedia pada agama, demikian pula
produktivitas kuasa agama tidak akan pernah menjadi nyata tanpa basis sosial yang
disediakan negara. Konsep kekuasaan tertinggi dalam taraf kehidupan seseorang di
dunia ada dalam institusi negara. Sementara itu, setiap negara dalam bentuknya yang
paling absolut sama dengan agama itu sendiri. Carl Schmit, ahli politik kontemporer
menyatakan bahwa sebenarnya teori politik modern tentang negara tidak lain adalah
konsep-konsep teologis yang di-sekulerkan. Fenomena ini terjadi bukan hanya lantaran
sejarah yang telah berubah, dimana kekuasaan Tuhan telah digantikan oleh pemberi
hukum. Tapi karena struktur sistematis keberadaan negara tetap membutuhkan
legitimasi teologis bagi pertimbangan konsep-konsep tersebut ketika diaplikasikan dalam
konteks sosiologis-politisnya. Hal ini berarti kesatuan integral antara agama dan negara
tidak hanya terjadi dalam ranah aksi politik, melainkan juga dalam wilayah disiplin
keilmuan.
Dalam konteks Islam, sebagaimana dikatakan oleh M. Arkoun peradaban Islam
tidak lain adalah peradaban “Teks”. al-Qur’an dan sunnah menduduki peran fundamental
yang sangat mempengaruhi perwatakan dan pembentukan tradisi Islam dalam lintasan
sejarahnya. Perkembangan sosial kultural masyarakat Islam tidak dapat dilepaskan dari
tuntutan dan penafsiran atas teks al-Qur’an. Dalam arti itulah bisa dikatakan bahwa
dalam peradaban Islam, agama tidak hanya menjadi faktor komplementer, tapi menjadi
elan vital dari terbentuknya sistem sosial-politik masyarat Muslim. Teks agama tersebut
pada akhirnya memiliki muatan doktrin dan aksi sosial-politik.
Bahkan John L. Esposito dalam bukunya Islam dan Politik menyatakan bahwa
faktor signifikan dan elemen terpenting dalam politik Islam adalah teks yang telah
terkodifikasikan dalam syari`at. Syari`at merupakan elemen kunci yang
menyambungkan hubungan Islam dan politik. Syari`at juga menjadi pembeda dari
doktrin dan aksi politik Islam dengan non-Muslim. Pada akhirnya syari`at ini menjadi
pembentuk identitas kemusliman seseorang dan menjadi dasar bagi pendirian suatu
negara.
Secara sosiologis, benar jika dikatakan bahwa Islam sendiri sebenarnya tidak
mengenal kesatuan konsep agama dan negara. Sebab, menurut Nurcholis Madjid, dalam
Islam tidak ada sebuah lembaga kependetaan yang menjadi wakil Tuhan di dunia dengan
wewenang keagamaan dan berhak menentukan spritualitas seorang hambanya. Peran
sosial dari seorang Syekh hanya terbatas pada pengetahuan agama, wewenangnya
hanya terbatas pada masalah kultur dan tidak ada sangkut pautnya dengan wewenang
politik.Tapi disisi lain, sejarah membuktikan bahwa sejak awal perkembanganya Islam
mengalami sukses luar biasa dalam politik. Islam sejak awal adalah agama penguasa
atau agama yang terkait dengan kekuasaan negara dalam praktiknya.
Akar historis dari politik Islam telah dimulai sejak masa Nabi, terutama pada
periode Madinah. Sistem yang dibangun oleh Rasulullah s.a.w dan kaum Mukminin yang
hidup bersama beliau di Madinah, jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan
variabel-variabel politik di era modern, dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem
politik religius par excellence. Pada masa Islam awal inilah kesatuan integral antara
agama dan negara nampak terlihat jelas.
Lebih jauh Nurcholis Madjid mengatakan cita-cita politik Islam sepanjang sejarah
selalu merujuk kepada khazanah klasik Islam yang dalam literatur keagamaan Islam
sering disebut masa al-salaf al-salih (Masa klasik yang saleh) atau disebut juga dengan
masa al-sadar al-awwal (inti pertama). Masa tersebut selain menunjuk masa Rasulullah
sendiri, juga masa para sahabat Nabi dan tabi'in (para pengikut Nabi). Hal demikian
terjadi karena realitas politik umat Islam pada masa al-sadar al-awwal diyakini
merupakan realitas politik yang menerapkan secara sungguh-sungguh prinsip normatif
Islam secara empiris mengenai keadilan sosial, persamaan, partisipasi, dan demokrasi
serta berkeadilan sosial.
Dalam aksi politik, oleh mayoritas kaum Muslim era Nabi ini merupakan tipe ideal
dimana cita ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat sempurna. Sedangkan dari segi
pembentukan pemikiran politik, pengaruhnya terbatas pada kenyataannya sebagai ruh
umum yang terus memberikan. ilham terhadap pemikiran ini, memberikan contoh atau
teladan ideal yang menjadi rujukan pemikiran-pemikiran itu dan memberikan titik
pertemuan bagi pendapat-pendapat dan mazhab-mazhab yang berbeda.
Pembahasan tentang hubungan agama dan negara dalam Islam senantiasa
menarik bagi kalangan intelektual Islam dengan berbagai perbedaan pendapat dan
kontroversi yang mengikutinya. Persoalan ini paling tidak ditenggarai oleh al-Qur’an
maupun hadits yang tidak pernah memberikan penjelasan secara tegas terkait sistem
pemerintahan yang dikategorikan Islami.
Secara garis besar perbedaan pendapat tentang hubungan antara agama dan
negara dalam Islam dapat dikategorisasikan dalam tiga pola utama. Pertama, pendapat
yang menyatakan kesatuan organik antara agama dan politik secara formalistik dalam
suatu negara Islam. Kedua, pendirian sekuleris yang memisahkan dengan tegas antara
Islam dan negara. Negara diyakini memiliki wewenang dalam wilayah publik, sedangkan
agama terkait persoalan privat sehingga tidak mungkin dipertemukan antar keduanya.
Ketiga, pendapat substantif yang menyatakan bahwa Islam memang tidak menggariskan
secara khusus teori tetanegara, namun Islam memiliki etika dan nilai tertentu bagi
kehidupan bernegara.
Corak pemikiran politik yang menekankan kesatuan integral antara agama dan
negara dengan merujuk periode awal Islam begitu mendominasi wacana pemikiran Islam
klasik seperti telihat dari pemikiran politik al-Farabi yang ditulisklan dalam bukunya ArI
Ahl al-Madinah al-FIdilah. Pada umumya pemikiran politik pada abad pertengahan
menyandarkan argumenya pada gagasan ideal negara-kota model Plato untuk
mendukung argumenya tentang sistem Agama oleh pemikir abad pertengahan
diposisikan dalam kerangka normatifnya sebagai kebenaran absolut yang tidak akan
lekang dan mengalami perubahan di tengah zaman yang berubah. Namun ini tidak
berarti bahwa semua pemikir abad pertengahan memaknai agama dalam perspektif
normatif-idealnya.Berkenaan dengan hal tersebut maka pendapat para pakar berkenaan
dengan relasi agama dan negara dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat yakni
paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik.
A. Paradigma Integralistik
Paham ini merupakan pendapat atau konsep yang menggap agama dan negara
adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Paham ini dianut oleh beberapa
ulama-ulama Islam diantaranya yang paling ekstrim adalah golongan syiah dengan teori
Imamah mereka. Dan juga ulama-ulama terkemuka lainya yakni, Al-Mawardi, Imam Al-
Ghazali, Ibnu Khaldun, serta dikalangan ulama kontemporor seperti Rayid Ridho,
kelompok-kelompok Ikhwanul Muslimin seperti Hasan Al-Bana, Syaid Qutub, dan lain
sebagainya.Mawardi berpendapat bahwa Allah mengangkat untuk umatnya seorang
pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan agama, dengan
disertai mandat politik. Dengan demikian imam di satu pihak adalah pemimpin agama
dan di lain pihak adalah pemimpin politik. Pemikiran ini tidak beranjak dari ilustrasinya
tentang kepemimpinan pada masa Rasullulah dan Khalifah Ar-Rasyidin.
Begitu juga yang ditegaskan Al –Ghazali bahwa:
Agama dan raja ibarat dua anak kembar; agama adalah suatu fondasi sedangkan
sultan adalah penjaganya; sesuatu yang tanpa fondasi akan mudah runtuh, dan fondasi
tanpa penjaga akan hilang. Keberadaan sultan merupakan keharusan bagi tertib agama,
dan ketertiban agama merupakan keharusan bagi tercapainya kesejahteraan akhirat
nanti.Bagitu juga Ibnu Khaldun yang dengan memberikan uruaian tentang makna
khalifah bahwa khalifah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan
syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk
kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia
seluruhnya harus berpegang kepada syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi
pembuat syariat (Rasullulah, SAW) dalam memeliharaan urusan agama dan mengatur
politik keduniaan. Dan Rasyid Ridha walaupun dia merupakan murid dari Muhammad
Abduh yang berpemikiran simbiotik namun Ridha memiliki ide yang berbeda dengan
sang gurunya, menurut Ridha eksistensi syariat sangat penting dalam rangka penetapan
hukum syariat Islam. Bahwa Islam adalah agama kedaulatan, politik dan pemerintahan,
maka bentuk pemeintahan yang lain (selain kekhalifahan) baginya tidak dapat
menerpakan syariat Islam.Selanjutnya Al- Ikhwan Al-Muslimin yang dirikan Hasan Al-Bana
di Kairo Mesir tahun 1928, yang mana perhatiannya pada mulanya hanya pada kegiatan-
kegiatan reformasi moral dan sosial, namun dalam perkembangan berikutnya menjadi
suatu organisasi keagamaan dan politik, hal ini terlihat jelas saat mereka mendabakan
berdirinya negara Islam di Mesir. Adapun pendapat tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin yang
paling sentral adalah: Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat lengkap,
yang meliputi tidak saja tuntuan moral dan peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk
mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan politik, ekonomi
sosial; oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat Islam harus
kembali kepada agamanya yang sempurna dan lengkap itu, kembali kepada kitab
sucinya, Al-Qur’an dan Sunah Nabi, mencontoh pola hidup rasul dan umat Islam generasi
pertama, tidak perlu atau bahkan jarang meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan
sosial barat.
B. Paradigma Simbiotik
Paham ini memahami bahwa agama dan negara adalah saling membutuhkan
artinya memiliki hubungan timbal balik, perbedaanya dengan aliran integralistik adalah
bahwa agama dan negara suatu etensitas yang berbeda, namun saling membutuhkan,
bukanya menyatu seperti yang dimaksud pada paham integralistik. Pemikiran ini di anut
kalangan-kalangan ulama Islam yakni Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Jamaludin Al-
Afghani, Yusuf Al-Qardawi dan lain-lain.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan
manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan
negara, maka agama tidak bisa tegak. Pendapat beliau meligitimasikan agama dan
negara merupakan dua etensitas yang berbeda, tetapi saling mebutuhkan. Oleh
karenannya, konstusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak hanya bersal dari adanya
social contect, tetapi bisa saja diwarnai dengan hukum agama.
Jamaludin Al-Afghani dalam membahas ketatanegaraan lebih menghendaki
pemerintahan republik dimana pemikiran beliau lebih dipengaruhi pemikiran barat,
namun hal ini menurut beliau cukup ideal diterapkan pada pemerintahan, sebab di
dalamnya terdapat kekebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada
undang-undang dasar, tetapi tidak lepas dari pemahaman beliau terhadap prisnsip-
prinsip ajaran Islam. Selanjutnya pemikiran beliau dilanjutkan oleh murid beliau yakni
Muhammad Abduh. Abduh tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem
khalifah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan, maka bentuk
demikianpun harus sesuai perkembanga masyarakat dalam kehidupan materi dan
kebebasan berpikir, menurutnya lebih jelas lagi bahwa Islam tidak menentukan bentuk
pemeritahan. Pemerintah dan rakyat mempunyai hak dan kewajiban yang sama
memelihara dasar-dasar agama, dan menafsirkan selama ia berkaitan dengan masalah
keduniaan. Produk dari pemahaman ini tidak bertentangan dengan salah satu pokok
agama. Dalam kepala meraka adalah bentuk pemerintahan. Artinya merekalah
menentukan bagaimana bentuk pemerintahan yang mereka kehendaki. Namun demikian
tidak berari Muhammad Abduh memisahkan antara urusan agama dan negara secara
mutlak, namun menurutnya Islam menetapkan hak-hak dan kewajiban kepada rakyat
dan pemerintah, dan pemeritah wajib menegakan keadilan yang dituntut oleh agama
dan rakyat.
Demikian juga pendapat yang dikemukakan ulama kontemporer Yusuf Al-Qardawi
bahwa: Ada yang mengatakan, karen demokrasi itu merupakan hukum bagi rakyat oleh
rakyat, yang berarti harus menolak pendapat yang mengatakan kedaulatan pembuat
hukum hanya miliki Allah, hal ini merupakan pendapat yang tidak bisa diterima. Prinsip
hukum miliki rakyat, yang merupakan asas demokrasi, tidak bertentangan dengan
prinsip hukum milik Allah yang merupakan asas penetapan hukum dalam Islam.
C. Paradigma Sekularistik
Paradigma ini beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama dan negara,
agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki
garapan bidang masing-masing, sehingga keberadaanya harus dipisahkan. Hal ini dianut
beberapa ulama kontemporer yakni Ali Abdul Raziq, Muhammad Husain Haikal dan lain-
lain.
Menurut Raziq, pemerintahan Rasul bukanlah bagian dari tugas kerasulannya,
melainkan tugas terpisah dari dakwah Islamnya dan berada di luar tugas kerasulan.
Alasanya, bahwa Nabi Muhammad, SAW memang telah mendirikan negara di Madinah,
akan tetapi sulit membuat kesimpulan bagaimana prosedur penetapan hukum yang
ditempuh oleh Rasul, demikian pula tidak ada informasi yang cukup mengenai fungsi-
fungsi pemerintahan lain, minsalnya masalah keungan dan wawasan, dan keamanan jiwa
dan harta. Namun demikian, bagian-bagian tugas yang dilakukan oleh Nabi seperti
ekspedisi militer untuk membeladiri, distribusi zakat, jizyah dan ghanimah,
pendeleglasian tugasnya kepada para sahabat untuk melaksanakanya. Jadi kegiatan
kenegaraan merupakan keadaan nabi yang terpisah dari jabatan beliau sebagai Rasul,
melainkan merupakan tugas beliau sebagai pemimpin dalam dunia muamalah manusia
biasa. Pendapat tesebut sealiran dangan pendapat Muhammad Husain Haikal dimana ia
menyampaikan bahwa : Sesungguhnya Islam tidak menetapkan sistem tertentu bagi
pemerintah, dan akan tetapi ia melatakan kaidah-kaidah bagi tingkah laku dan
muamalah dalam kehidupan antar manusia. Kaidah-kaidah itu menjadi dasar untuk
menentukan sistem pemerintahan yang berkembang sepanjang sejarah.
Diluar sikap dan paradigma yang menerima atau menolak adanya hubungan
Agama dan Negara (sebagaimana pro dan kontra yang sudah kita kenal dan
berkepanjangan), disini saya ingin melihat secara historis analisis lebih-lebih dari segi
sosialis-kulturalis yang peran menjadi pergumulan peradaban dalam Islam. Sebelum
masuk lebih jauh antara relasi agama dan negara, ada baiknya kita pahami betul
beberapa item berikut:
Memahami betul makna Agama dan Negara
Mengapa harus memahami betul makna Agama dan negara, karena sudut
pandang yang berbeda tentang agama dan negara sehingga menimbulkan
perspektif yang berbeda yang berimbas pada berbeda concolation
terhadap relasi keduanya.
I. Beberapa tokoh mendefinisikan Negara secara berbeda-beda; menurut Roger H.
Soltau, Negara didefinisikan sebagai agency (alat) atau authority (wewenang)
yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama
masyarakat. Lain halnya dengan apa yang dikemukakan Harold J. Laski,
menurutnya Negara merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena
mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung
daripada individu atau kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk
mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Sementara Harold J.
Laski dan Max Weber mendefinisikan bahwa Negara adalah suatu masyarakat
yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam
suatu wilayah.
II. Dalam konsepsi Islam, dengan mengacu pada al-Quran dan al-Sunnah, tidak
ditemukan rumusan tentang Negara secara eksplisit, hanya di dalam al-Quran
dan al-Sunnah terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Selain itu, konsep Islam tentang Negara juga berasal dari 3 (tiga)
paradigma, yaitu: pertama, Paradigma tentang teori khilafah yang dipraktikkan
sesudah Rasulullah saw, terutama biasanya merujuk pada masa Khulafa al-
Rasyidun. Kedua, Paradigma yang bersumber pada teori Imamah dalam paham
Islam Syi’ah. Ketiga, Paradigma yang bersumber dari teori Imamah atau
pemerintahan.Dari beberapa poin di atas dapat dipahami secara sederhana
bahwa yang dimaksud Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya
diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga
negaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan
(control) monopolistis dari kekuasaan yang sah. Saya lebih cendrung pada
pedapat dan sikap al-Jabiri yang mengkilas balikkan –dalam masalah relasi agama
dan negara- pada sejarah yang ia sebut dengan tradisi (Lihat al-Din Wa al-Daulah
Wa al-Tathbiq al-Syari’ah dalam pembahasan Agama dan Negara dalam rujukan
tradisi, H. 55-118). Al-Jabiri menghimbau kepada umat Islam agar jangan
terhegemoni dengan ungkapan atau pertanyaan palsu yang akan
mengklasifikasikan rasional dualistik terbatas yang menghipotesiskan dua
kemungkinan. Pertanyaan itu adalah Apakah Islam itu agama atau negara,
sehingga kemungkinan jawabnnya adalah Islam itu agama bukan negara, Islam
itu negara bukan agama atau Islam adalah agama sekaligus negara, hal ini dalam
pandangan al-Jabiri adalah hal yang absurd, karena Islam secara definitif adalah
suatu Agama.
Memahami betul tujuan/peran Agama dan Negara
Mengapa harus memahami betul tujuan/peran agama dan Negara, karena
sudut pandang yang berbeda tentang tujuan dan peran agama dan negara
akan sehingga menimbulkan perspektif yang berbeda yang berimbas pada
berbeda justifikasi terhadap relasi keduanya atau terhegomini dengan
latar belakang dan kepentingan sesoarang.Tujuan sebuah Negara yang
banyak diperbincangkan adalah bermacam-macam, antara lain;
Pertama : Bertujuan untuk memperluas kekuasaan semata.
Kedua : Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum.
Ketiga : Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum.
Pandangan konsepsi negara dalam wacana pemikiran, diantara:
I. Dalam konsep dan ajaran Plato, tujuan adanya Negara adalah untuk
memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan (individu) dan
sebagai makhluk sosial. Sedangkan menurut Roger H. Soltau tujuan
Negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta
menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin. Dalam ajaran dan
konsep teokratis yang diwakili oleh Thomas Aquinas dan Agustinus, tujuan
Negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan
tentram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan. Masih banyak
pemikiran dari pemikir tentang tujuan sebuah negara.
II. Dalam Islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, tujuan Negara
adalah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh
dari sengketa dan menjaga intervensi asing. Paradigma ini didasarkan
pada konsep sosio-historis bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan
watak dan kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat, yang membawa
konsekuensi antara individu-individu satu sama lain saling membutuhkan
bantuan. Sementara menurut Ibnu Khaldun, tujuan Negara adalah untuk
mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada
kepentingan akhirat.
III. Sementara itu, dalam konsep dan ajaran Negara hukum, tujuan Negara
adalah menyelenggarakan ketertiban hukum, dengan berdasarkan dan
berpedoman pada hukum. Dalam Negara hukum segala kekuasaan dari
alat-alat pemerintahannya didasarkan atas hukum. Semua orang tanpa
kecuali harus tunduk dan taat pada hukum, hanya hukumlah yang
berkuasa dalam Negara itu.
Rujukan yang dijadikan pemahaman untuk memahami antara agama dan
Negara.
Salah satu yang penting diperhatikan dalam memahami relasi agama dan
negara adalah rujukan yang dijadikan pijakan untuk memahami relasi
keduanya, mengapa demikian, karena justifikasi terhadap relasi agama
dan negara akan selalu dalam pemikiran dan pendapat yang bertolak
belakang antara menerima dan menolak dikarenakan rujukan yang
menjadi landasan dan paradigma berbeda.
alam kontek Islam, saya lebih condong pada pendapat yang melihat relasi
agama dan negara dari islam itu sendiri (genuin) tanpa melihat dan
dipengaruhi oleh perkembangan isu kenegaraan dan keagamaan diluar
islam. Hal ini, senada dengan apa yang dilontarkan al-Jabiri yang
mengkritik pemikir kontemporer saat ini, walaupun mereka menghadirkan
gebrakan baru dalam wacana agama dan negara dengan mengajukan
paradigma baru atau telaah kontemporer, namun yang sangat
disayangkan menurut adalah bahwa mereka bertolak dari dasar-dasar
hepotesis yang tidak didukung oleh Nushush (teks-teks) ataupun
pengalaman sejarah Arab Islam (al-‘Aql al-‘Arabi) bahkan mereka
megajukan penafsiran baru terhadap teks-teks itu secara agak berlebihan
sehingga berefek pada terlampauinya makna yang tekandung dari teks-
teks itu sendiri. Hal tersebut terkadang bertambah parah lagi dengan
mengabaikan perbedaan antara yang ilmiah dan yang ideologis atau
antara fakta sejarah dengan yang semata-mata keinginan subyektif, baik
yang terkandung dalam wacana itu sendiri maupun pada wacana-wacana
rujukan dalam mazhab atau aliran bagi pemikir modern maupun pemikir
klasik. hal ini merupakan sebuah kesalahan metodologis yang sangat
berbahaya, karena berbicara tentang term Agama dan Negara ini sangat
rentan dengan kepentingan politik dan tunduk pada kebutuhan serta
logika politik tersebut, sementara itu dalam penilaian al-Jabiri, rujukan
(Marja’iyyah/authority) yang dijadikan oleh sarjana kontemporer adalah
rujukan yang sudah terkontaminasi dan dipengaruhi oleh konstelasi politik
zamannya, kalau hal ini sudah terjadi -dalam pengamatan al-Jabiri- maka
dapat dipastikan bahwa kebenaran akan kabur dan kemudian lenyap
diantara tangga-tangga politik masa lalu dan labirin politik masa depan.
Rujukan dalam islam yang lebih awal secara historis menimbulkan
perbincangan antara agama dan negara adalah periode Khulafaurrasyidin.
Mengapa kita melihat dan menjadikan rujukan tersebut, karena Alquran
dan Sunnah tidak mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan
dan perpolitikan. Alquran dan Sunnah tidak terlibat dengan persoalan
hubungan antara agama dan negara secara rinci dan jelas sebagaimana
dalam persoalan keagamaan seperti perkawinan dan waris. Mengapa
praktek sahabat (Khulafaurrasyidin) yang menjadi titik berat dalam
memahami relasi agama dan negara, beberapa fakta berikut dapat kita
analisis:
Orang-orang Arab ketika Nabi Muhammad diutus tidak mempunyai
raja dan negara. Sistem politik yang berlaku dalam starata sosial
bangsa Arab adalah sistem kesukuan yang belum memenuhi syarat
sebagai sebuah Negara, apalagi dilihat dari teritorial tertentu dan
jumlah penduduk yang tinggal pada saat itu.
Seiring dengan diutusnya Nabi Muhammad maka kaum muslimin
dalam menjalankan agama baru yang dibawa Nabi bukan hanya
dalam ruang ingkup individual namun juga dalam bentuk prilaku
sosial. Prilaku sosial ini berkembang sering berkembangnya dakwah
dan ajaran Islam sehingga sampai puncaknya pada saat Nabi
berhijrah kemadinah yang mana Nabi merupakan seorang
pemimpin, komandan sekaligus pembimbing masyarakat muslim
dan hal yang menarik adalah Al-Jabiri menolak dengan keras untuk
disebut sebagai raja atau pemimpin Negara.
Hal-hal yang diatur dalam dakwah Islam khususnya hal-hal yang
berhubungan dengan persoalan keduniaan, sedangkan dunia Nabi
dan para sahabat telah mencapai taraf yang mapan dan luas.
Manakala Nabi wafat para sahabat merasakan kekosongan
konstitusional namun disisi lain dakwah Nabi telah berakhir
bersamaan dengan terbentuknya satu Negara atau suatu yang
menyerupai negara. Jika agama adalah wahyu Allah yang tidak
seorangpun berhak mewarisinya dan tidak pula menggantikan
Nabi, maka bersamaan dengan pertumbuhan dan penyebaran
dakwah membutuhkan adanya orang yang menjaga, mengatur
serta memperhatikannya pasca wafatnya Nabi. Siapakah yang
berhak memimpin, menjaga dan meneruskan perjuangan
tersebut…?
Alquran berulang kali membicarakan perihal “ummat”, umat Islam
dan kaum Muslim (Ali-Imran:110) justru menghindari dari
pembicaraan mengenai sistem politik, sosial dan ekonomi yang
sebenarnya telah menyatukan umat tersebut dengan Negara.
Perdebatan yang terjadi di Saqifah Bani Sa’idah yang berakhir
dengan pembaiatan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah,
merupakan perdebatan murni dan diselesaikan berdasarkan
pertimbangan kekuatan sosial politik murni (kesukuan) yang
mengandung dua pemahan yaitu: kekuatan dan potensi.
Dari fakta-fakta inilah apat disimpulkan bahwa persoalan hubungan antara agama
dan negara tidak terlontar di zaman Nabi tidak pula di zaman khulafaurrasyidin. Semua
perintah berada ditangan Nabi dan perintah itu tidak dianggap sebagai sebuat institusi
kerajaan (al-Mulk), karena kerajaan berkonotasi jelek pada saat itu apalagi dianggap
sebagai Negara (Dawlah) yang dalam pemahaman orang Arab berarti perputaran harta
atau perang, yakni perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lainnya.
Namun kalau kita menelisik pada pelaksanaan hukum-hukum yang digariskan
Islam sudah barang tentu ada yang menaunginya, hal inilah yang dikaitkan al-Jabiri
dengan kekhalifahan, namun kekhalifahan ini dalam analisis al-Jabiri sangat erat
kaitannya dengan pertimbangan kekuatan. Ia mengemukakan fakta-fakta historis yang
menjelaskan hal tersebut diantaranya:
Islam lahir dalam satu masyarakat yang tidak bernegara dan Negara Arab Islam
tumbuh secara bertahap dan menyebar luas dengan adanya penaklukan-
penaklukan wilayah sekitar semananjung Arabia.
Tidak adanya kepastian apakah Nabi sejak periode awal dakwah beliau telah
berkeinginan untuk mendirikan negara.
Alquran tidak menjelaskan dengan jelas bahwa dakwah Islam merupakan dakwah
yang bertujuan untuk mendirikan sebuah Negara, kerajaan atau imperium.
Namun dari fakta lain ada dua fakta sebaliknya, yaitu:
Alquran mengandung hukum-hukum yang menuntut kaum muslimin untuk
melaksanakannya dan sebagian dari hukum itu memerlukan kekuasaan yang
mewakili komunitas mereka untuk melaksankannya seperti hukuman atas
pencuri.
Pelaksanaan hukum-hukum Islam pada akhirnya telah mengantarkan kepada
perkembangan dakwah Islam menjadi satu negara yang teratur dan memiliki
lembaga-lembaga yang berkembang bersama dengan perkembangan dan
perluasan geografis, peradaban dan pemikiran dunia Islam.
Fakta dan kenyataan yang kontradiktif inilah yang dalam pandangan al-Jabiri
hanya dapat dijawab melalui pengalaman historis Islam seperti pengangkatan Abu Bakar
sebagai khalifah yang pada finalnya mengembalikan penentuannya pada kesukuan yang
mengandung dua pemahan yaitu: kekuatan dan potensi, inilah merupakan hubungan
erat antara kekhalifahan dengan kekuatan yang pada akhirnya -peristiwa ini- menjadi
dasar bagi suatu analogi (Qiyas) yang terdiri dari tiga unsur utama:
Siapa yang akan menjadi khalifah. Dalam persoalan ini -menurut versi sunni-
bukan membicarakan sebuah Negara sebagai institusi melainkan pada orang
yang akan dibai’at menjadi khalifah.
Khalifah harus satu (kesatuan khalifah).
Khalifah harus berdasarkan pilihan bukan teks.
Menurut al-Jabiri dari analisis inilah tidak ada sistem pemerintahan yang
disyariatkan Islam, melainkan berpijak pada model seorang komandan dan perang.
Manakala perluasan wilayah dan masalah-masalah bermunculan karena tidak ditangani
dengan penanganan damai dan berdasarkan hukum fikih, maka yang berbicara akhirnya
adalah pedang yang menyebabkan khilafah terbentuk menjadi kerajaan atau dinasti.
Dari sinilah dalam pandangan al-Jabiri, penegakan hukum syariat harus diberangi
penegakan yang menegakkan hukum, disamping banyaknya hukum-hukum syariat yang
berwatak sosial seperti hukuman dan sanksi (al-hudud wa al-‘Uqubat). Disisi lain, umat
Islam berkewajiban mempertahankan wilayah teritorialnya yang termasuk dalam
masalah jihad.
Dari peparan diatas dalam menyikapi relasi agama dan negara lebih-lebih
dihubungkan dengan masa Nabi dan Khulafaurrasyidin, saya lebih mengikuti al-Jabiri
yang berkesimpulan bahwa negara dalam Islam telah lahir dimasa rasul dan kemudian
menjadi mapan dan bertambah luas dimasa Khulafaurrasyidin yang disebabkan dua hal;
penerapan hukum-hukum syariat dan jihad.
2. JAWABAN UNTUK NOMOR DUA
Tidak dapat diingkari oleh siapapun bahwa nabi Muhammad saw. adalah manusia
terbesar di muka bumi. Kebesarannya tidak hanya diakui oleh orang muslim, tetapi juga
oleh orang-orang Barat; tidak hanya diakui oleh para pengikutnya, tetapi juga oleh para
lawannya. Nabi Muhammad saw. adalah manusia sempurna (insân kâmil). Memang
benar ia adalah manusia biasa, tetapi di sisi lain ia tidak seperti umumnya manusia. Syair
Arab mengatakan: Muhammadun basyarun lâ kalbasyari bal huwa kal yâqûti baina al-
hajari. Muhammad adalah manusia, tetapi tidak seperti manusia lainnya. Ia seperti yâqût
(batu mulia) di antara batu-batu.
Dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah terbagi dalam 2 periode, yaitu di Mekkah
dan Madinah. Pada awal periode Mekkah Rasulullah berdakwah secara sembunyi-
sembunyi, mendatangi orang-orang dekat Beliau antara lain istri Beliau Khadijah,
keponakannya Ali, budak Beliau Zaid, untuk diajak masuk Islam. Ketika turun surat al
Muddatstsir : 1-2, Rasululah mulai melakukan dakwah di tengah masyarakat, setiap
bertemu orang Beliau selalu mengajaknya untuk mengenal dan masuk Islam (masih
dalam keadaan sembunyi-sembunyi). Ketika Abu Bakar menyatakan masuk Islam, dan
menampakkannya kepada orang-orang yang dia percayai, maka muncullah nama-nama
seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqash
dan Thalhah bin Ubaidillah yang juga masuk Islam. Dan seterusnya diikuti oleh yang lain
seperti Abu ‘Ubaidah, Abu Salamah, Arqom bin Abi al Arqom, dll. Beliau menjadikan
rumah Arqom bin Abi al Arqom sebagai pusat pengajaran dan sekaligus pusat kutlah
(kelompok) yang dalam bahasa kita tepatnya disebut sekretariat. Di tempat ini
Rasulullah mengajarkan hukum-hukum Islam, membentuk kepribadian Islam serta
membangkitkan aktivitas berpikir para sahabatnya tersebut. Beliau menjalankan
aktivitas ini lebih kurang selama 3 tahun dan menghasilkan 40 orang lebih yang masuk
Islam.
Selama 3 tahun membangun kutlah kaum muslim dengan membangun pola pikir
yang islami (‘aqliyah islamiyah) dan jiwa yang islami (nafsiyah islamiyah), maka
muncullah sekelompok orang yang memiliki syakhsiyah islamiyah (kepribadian Islam)
yang siap berdakwah di tengah-tengah masyarakat jahiliyah pada saat itu. Hal ini
bertepatan dengan turunnya surat al Hijr : 94, yang memerintahkan Rasulullah untuk
berdakwah secara terang-terangan dan terbuka. Ini berarti Rasulullah dan para
sahabatnya telah berpindah dari tahapan dakwah secara sembunyi-sembunyi (daur al
istikhfa’) kepada tahapan dakwah secara terang-terangan (daur al i’lan). Dari tahapan
kontak secara individu menuju tahap menyeruh seluruh masyarakat. Sejak saat itu mulai
terjadi benturan antara keimanan dan kekufuran, antara pemikiran yang haq dan
pemikiran yang batil. Tahapan ini disebut marhalah al tafa’ul wa al kifah yaitu tahap
interaksi dan perjuangan. Di tahapan ini kaum kafir mulai memerangi dan menganiayah
Rasulullah dan para sahabatnya. Ini adalah periode yang paling berat dan menakutkan di
antara seluruh tahapan dakwah. Bahkan sebagian sahabat yang dipimpin oleh Ja’far bi
Abi Thalib diperintahkan oleh rasul untuk melakukan hijrah ke Habsyi. Sementara
Rasulullah dan sahabat yang lain terus melakukan dakwah dan mendatangi para ketua
kabilah atau ketua suku baik itu suku yang ada di Mekkah maupun yang ada di luar
Mekkah. Terutama ketika musim haji, dimana banyak suku dan ketua sukunya datang ke
Mekkah untuk melakukan ibadah haji. Rasulullah mendatangi dan mengajak mereka
masuk Islam atau minimal memberikan dukungan terhadap perjuangan Rasulullah.
Benturan antara Rasulullah dengan kafir Quraisy terjadi karena Rasulullah dan
para sahabat selalu melecehkan khayalan mereka, merendahkan tuhan-tuhan mereka,
menyebarkan rusaknya kehidupan mereka yang rendah, dan mencela cara-cara hidup
mereka yang sesat. RASULULLAH TIDAK PERNAH BERKOMPROMI APALAGI BEKERJASAMA
MENJALANKAN SISTEM KEHIDUPAN RUSAK DAN SESAT BUATAN MANUSIA JAHILIYAH. Al
Qur’an senantiasa turun kepada Beliau, dan menyerang orang-orang kafir secara
gamblang : “sesunggunya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan
neraka jahannam.” (QS 21 : 98). al Qur’an juga menyerang praktek riba yang telah turun
temurun mewarnai kehidupan jahiliyah : “dan segala hal yang kalian datangkan berupa
riba agar dapat menambah banyak harta manusia, maka riba itu tidak menambah
apapun di sisi Allah.” (QS 30:39), demikian juga dengan kecurangan2 dalam takaran
yang sangat biasa terjadi : “kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan
apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS
83:1-3). Akibatnya, manusia-manusia jahil itu menghalangi dan menyakiti Rasulullah
dengan fitnah, propaganda yang menyesatkan, pemboikotan bahkan penyiksaan fisik.
Di tengah cobaan yang sangat berat tersebut, datanglah kabar gembira akan
kemenangan dari Madinah. Hal ini terjadi ketika beberapa orang dari suku khazraj
datang ke Mekkah untuk berhaji. Kemudian Rasulullah mendatangi mereka, berdakwah
kepada mereka dan merekapun akhirnya masuk Islam. Setelah selesai melaksanakan
haji dan mereka kembali ke Madinah, mereka menceritakan keislaman mereka kepada
kaumnya. Sejak saat itu cahaya Islam mulai muncul di Madinah.
Pada musim haji tahun berikutnya, datang 12 orang dari Madinah ke Mekkah, lalu
mereka membai’at Rasulullah dalam peristiwan Bai’at ‘Aqobah pertama. Bai’at ini adalah
sebuah pernyataan janji di hadapan Rasulullah bahwa mereka akan berpegang teguh
pada risalah Islam dan meninggalkan semua perbuatan-perbuatan yang rusak dan sesat
yang selama ini mereka praktekkan dalam kehidupan. Ketika penduduk Madinah ini akan
kembali, Rasulullah memerintahkan Mush’ab bin Umair untuk ikut bersama mereka dan
mengajarkan Islam kepada penduduk Madinah.
Berbeda dengan penduduk Mekkah yang jumud dan berusaha untuk
mempertahankan status quo, terutama para penguasa kekufuran seperti Abu Lahab, Abu
Jahal dan Abu Sofyan, penduduk Madinah lebih baik dan bersahabat dengan Islam.
Mereka mau menerima agama baru tersebut. Bahkan ketika musim haji tiba dan Mush’ab
kembali ke Mekkah serta melaporkan kepada Rasulullah tentang kondisi perkembangan
Islam di Madinah yang sangat baik, Rasulullah mulai berpikir untuk memindahkan medan
dakwah dari Mekkah ke Madinah. Ketika rombongan haji dari Madinah yang berjumlah 75
orang datang, terjadilah peristiwah Bai’at Aqobah kedua. Bai’at ini adalah sebuah
pernyataan dan janji di hadapan Rasulullah bahwa mereka penduduk Madinah akan
melindungi Rasulullah dan menyerahkan kekuasaan kepada Rasulullah untuk memimpin
mereka baik dalam kehidupan sehari-hari maupun memimpin mereka berperang
melawan orang-orang yang menghalangi risalah Islam. Tidak lama setelah itu Rasulullah
memerintahkan kepada para sahabatnya untuk melakukan hijrah ke Madinah dan
Rasulullah menyusul kemudian.
Sejak tiba di Madinah, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya membangun
masjid sebagai tempat sholat, berkumpul, bermusyawarah serta mengatur berbagai
urusan ummat. Sekaligus memutuskan perkara yang ada di antara mereka. Beliau
menunjuk Abu Bakar dan Umar sebagai pembantunya. Beliau bersabda “dua (orang)
pembantuku di bumi adalah Abu Bakar dan Umar.” Dengan demikian Beliau
berkedudukan sebagai kepala negara, qlodi dan panglima militer. Beliau menyelesaikan
perselisihan yang terjadi di antara penduduk Madinah dengan hukum Islam, mengangkat
komandan ekspedisi dan mengirimkannya ke luar Madinah. Negara Islam oleh Rasulullah
ini dijadikan pusat pembangunan masyarakat yang berdiri di atas pondasi yang kokoh
dan pusat persiapan kekuatan militer yang mampu melindungi negara dan menyebarkan
dakwah. Setelah seluruh persoalan dalam negeri stabil dan terkontrol, Baliau mulai
menyiapkan pasukan militer untuk memerangi orang-orang yang menghalangi
penyebaran risalah Islam. Wallah’alam.
Skema Metode Dakwah Rasulullah :
1) PERIODE MEKKAH
A. Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan
Pemantapan Aqidah
Pembentukan Syakhsiyah Islamiyah
Pembentukan Kutlah/kelompok Dakwah
B. Tahapan Interaksi dan Perjuangan
Pertarungan Pemikiran (shira’ul fikr)
Perjuangan Politik (Kifahus siyasi)
2) PERIODE MADINAH
C. Tahapan Penerapan Syarat Islam (tathbiq ahkam al Islam)
Membangun Masjid
Membina Ukhuwah Islamiyah
Mengatur urusan masyarakat dengan syariat Islam
Membuat Perjanjian dengan warga non muslim
Menyusun strategi politik dan militer
Jihad
Nabi mulai menyambut perintah Allah dengan mengajak manusia untuk
menyembah Allah semata dan meninggalkan berhala. Tetapi da’wah Nabi ini
dilakukannya secara rahasia untuk menghindari tindakan buruk orang-orang Quraisy
yang fanatik terhadap kemusyrikan dan paganismenya. Nabi saw tidak menampakan
da’wah di majelis-majelis umum orang-orang Quraisy, dan tidak melakukan da’wah
kecuali kepada orang-orang yang memiliki hubungan kerabat atau kenal baik
sebelumnya.
Orang-orang pertama kali masuk Islam ialah Khadijah binti Khuwailid ra, Ali bin
Abi Thalib, Zaid bin Haritsah mantan budak Rasulullah saw dan anak angkatnya, Abu
bakar bin Abi Quhafah, Utsaman bin Affan, Zubair bin Awwan, Abdur-Rahman bin Auf,
Sa’ad bin Abi Waqqash dan lainnya.
Mereka ini bertemu dengan Nabi secara rahasia. Apabila diantara mereka ingin
melaksanakan salah satu ibadah, ia pergi ke lorong-lorong Mekah seraya bersembunyi
dari pandangan orang Quraisy.
Ketika orang-orang yang menganut Islam lebih dari tiga puluh lelaki dan wanita,
Rasulullah memilih rumah salah seseorang dari mereka, yaitu rumah al-Arqam bin Abil
Arqam, sebagai tempat pertama untuk mengadakan pembinaan dan pengajaran. Da’wah
pada tahap ini menghasilkan sekitar empat puluh lelaki dan wanita telah menganut
Islam. Kebanyakan mereka adalah orang-orang fakir, kaum budak dan orang-orang
Quraisy yang tidak memiliki kedudukan.
Dakwah Islam dimulai di Mekah dengan cara sembunyi-sembunyi. Dan Ibnu Ishaq
menyebutkan, dakwah dengan cara ini berjalan selama tiga tahun. Demikian pula
dengan Abu Naim: ia mengatakan dakwah tertutup ini berjalan selama tiga tahun.
Ibnu Hisyam berkata: kemudian secara berturut-turut manusia, wanita dan lelaki,
memeluk Islam, sehingga berita Islam telah tersiar di Mekah dan menjadi bahan
pembicaraan orang. Lalu Allah memerintahkan Rasul-Nya menyampaikan Islam dan
mengajak kepadanya secara terang-terangan, setelah selama tiga tahun Rasulullah saw
melakukan da’wah secara tersembunyi, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Maka
siarkanlah apa yang diperintahkan kepdamu dan janganlah kamu pedulikan orang
musyrik.”(al-Hijr : 94). “Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat, dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang
beriman.” (Asy-Syu’ara: 214-215). Dan katakanlah, “sesungguhnya aku adalah pemberi
peringatan yang menjelaskan.” (al-Hijr: 89).
Pada waktu itu pula Rasulullah saw segera melaksanakan perintah Allah,
kemudian menyambut perintah Allah, “Maka siarkanlah apa yang diperintahkan
kepadamu dan janganlah kamu pedulikan orang-orang musyrik” dengan pergi ke atas
bukit Shafa lalu memanggil, “Wahai Bani Fihir, wahai Bani ‘Adi,“ sehingga mereka
berkumpul dan orang yang tidak bisa hadir mengirimkan orang untuk melihat apa yang
terjadi. Maka Nabi saw berkata, “Bagaimanakah pendapatmu jika aku kabarkan bahwa di
belakang gunung ini ada sepasukan kuda musuh yang datang akan menyerangmu,
apakah kamu mempercayaiku?”Jawab mereka, “Ya, kami belum pernah melihat kamu
berdusta. “ kata Nabi, “Ketahuilah, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi
peringatan kepada kalian dari sisksa pedih.” Kemudian Abu lahab memprotes, “Sungguh
celaka kamu sepanjang hari, hanya untuk inikah kamu mengumpulkan kami. “Lalu
turunlah firman Allah: ”Binasalah kedua belah tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia
akan binasa.”
Kemudian Rasulullah saw turun dan melaksanakan firman Allah, ”Dan berilah
peringatan kepada kerabatmu yang terdekat” dengan mengumpulkan semua keluarga
dan kerabatnya, lalu berkata kepada mereka, “Wahai Bani Ka’b bin Lu’ai, selamatkanlah
dirimu dari api neraka! Wahai Bani Murrah bin Ka’b, selamatkanlah dirimu dari api
neraka! Wahai Bani Abdi Syams, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai Bani Abdul
Muthalib, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu
dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa dapat membela kalian di hadapan Allah,
selain bahwa kalian mempunyai tali kekeluargaan yang akan aku sambung dengan
hubungannya.”
Da’wah Nabi saw secara terang-terangan ini ditentang dan ditolak oleh bangsa
Quarisy, dengan alasan bahwa mereka tidak dapat meninggalkan agama yang telah
mereka warisi dari nenek moyang mereka, dan sudah menjadi bagian dari tradisi
kehidupan mereka. Pada saat itulah Rasullulah mengingatkan mereka akan perlunya
membebaskan pikiran dan akal mereka dari belenggu taqlid. Selanjutnya di jelaskan oleh
Nabi saw bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah itu tidak dapat memberi faidah atau
bahaya sama sekali. Dan, bahwa turun-temurunya nenek moyang mereka dalam
menyembah tuhan-tuhan itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengikuti mereka
secara taqlid buta. Firman Allah menggambarkan mereka: Dan apabila dikatakan kepada
mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,”mereka menjawab,”(Tidak), tetapi
kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga,) walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu pun, dan tidak mendapat petunjuk? (al-Baqarah: 170).
Ketika Nabi saw mencela tuhan mereka, membodohkan mimpi mereka, dan
mengecam tindakan taqlid buta kepada nenek moyang mereka dalam menyembah
berhala, mereka menentang dan sepakat untuk memusuhinya, kecuali pamannya, Abu
Thalib, yang membelanya.
Prinsip dakwah Rasulullah saw dapat diturunkan dari fase atau pembabakan
kehidupan Muhammad saw. Banyak ahli yang merumuskan kehidupan Rasulullah dalam
beberapa fase, yakni fase pertamaMuhammad saw sebagai pedagang, fase kedua
Muhammad saw sebagai nabi dan rasul. Kedua fase ini berlangsung dalam periode
Mekah. Fase ketiga Muhammad saw sebagai politisi dan negarawan, danfase keempat
Muhammad saw sebagai pembebas. Fase ketiga dan keempat berlangsung dalam
periode Madinah.
Dari keempat fase tersebut, terlihat bahwa perjuangan Rasululllah saw dalam
menegakan amanat risalahnya, mengalami perkembangan dan peningkatan yang cukup
penting, strategis, dan sistimatis, menuju keberhasilan dan kemenangan yang gemilang,
terutama dengan terbentuknya masyarakat muslim di Madinah dan terjadinya futuh
Mekah. Juga sebagai dasar bagi perkembangan dan perjuangan untuk menegakan dan
menyebarkan ajaran Islam ke segala penjuru dunia.
Dilihat dari langkah-langkah dan sudut pandang pengembangan dan
pembangunan masyarakat, terdapat tiga posisi penting fungsi Rasulullah saw sebagai
figur pemimpin umat, yakni: Pertama, Rasulullah saw sebagai peneliti masyarakat,
kedua, Rasulullah saw sebagai pendidik masyarakat,ketiga Rasulullah saw sebagai
negarawan dan pembangun masyarakat.
Rasulullah saw sebagai peneliti masyarakat, berlangsung ketika beliau menjadi
pedagang. Ketika itu beliau sering kali melakukan perjalanan ribuan mil ke sebelah utara
jazirah Arab. Dalam perjalannya, Rasulullah saw berhubungan dengan berbagai ragam
orang dari berbagai bangsa, suku, agama, bahasa, tradisi, dan kebudayaan, dengan
bermacam watak dan sifatnya. Beliau berinteraksi dan berkomunikasi dengan berbagai
agama dan kepercayaan yang dianut; yaitu Yahudi, Nasrani, Majusi, dan orang-orang
Romawi.
Dalam perjalannya ini, beliau mengadakan fact-finding, (menghimpun data dan
fakta) mengenai berbagai aspek hidup dan kehidupan berbagai bangsa. Hal ini menjadi
pengalaman dan pengetahuan beliau tentang geografis, sosiologis, etnografis, religius,
psikologis, antropologis, karakter dan watak dari berbagai bangsa. Pengeahuan tentang
situasi dan kondisi ini sangat bermanfaat dalam menentukan taktik, strategi, dan metode
perjuangannya.
Dari data dan fakta yang menjadi pengetahuan dan pengalamannya itu,
Rasulullah saw sering mengadakan tafakur (merenung), dan kadang-kadang berkhalwat,
bersemedi (tahannus) di suatu tempat sunyi yang terkenal dengan Gua Hira. Di tempat
inilah beliau mengolah, menganalisis, mengklarifikasi, dan mengambil kesimpulan yang
akan menjadi bahan pertimbangan dalam sikap, langkah, dan pendekatan strategi
perjuangan hidup dan kehidupannya. Objektivitas, akurasi, dan validitas hasil penelitian
dan perenungan itu tidak diragukan lagi karena beliau termasyhur sebagai orang jujur
(al-amin). Kesimpulan utama dari hasil penelitian dan perenungan adalah masyarakat
Arab harus diselamatkan dari jurang kehancuran serta membangun landasan yang baru.
Upaya kerja keras Rasulullah saw dalam mencari solusi dari masalah yang sedang
dihadapinya itu, kemudian dijemput oleh hidayah ilahi dengan turunnya wahyu pertama,
lima ayat surat al-alaq. Dengan ayat Al-Qur’an yang mulia inilah, dimulai kegiatan
dakwah dan risalah Islamiyah yang ditugaskan kepada Muhammad Ibn Abdillah untuk
disampaikan kepada segenap manusia, melalui pembinaan dan pendidikan yang
berdasarkan la ilaha illa al-llah (nilai dasar ketahuidan).
Dengan demikian, dari turunnya wahyu pertama ini, Rasulullah saw mulai
berfungsi sebagai pendidik dan pembimbing masyrakat (social educator), melalui
perombakan dan revolusi mental masyarakat Arab dari kebiasaan menyembah berhala
yang merendahkan derajat kemanusiaan dan tidak menggunakan akal pikiran yan sehat,
tidak memiliki peri kemanusiaan dan menghinakan kaum wanita dan sebagainya,
menuju sikap mental yang mengangkat derajat kemanusiaan yang penuh percaya diri
dan hanya menyembah dan memohon perlindungan kepada Allah SWT.
Adapun sistim pembinaan dan pendidikan yang dikembangkan Rasulullah saw
adalah sistim kaderisasi dengan membina beberapa orang sahabat. Kemudian para
sahabat ini mengembangkan Islam ke berbagai penjuru dunia. Dimulai dari Khulafa Ar-
Rasyidin, kemudian generasi berikutnya. Dimulai dari pembinaan dan kaderisasi di
Mekah yang agak terbatas, kemudian dikembangkan di Madinah dengan membentuk
komunitas muslim di tengah-tengah masyrakat Madinah yang cukup heterogen.
Pembinaan dan pendidikan di Mekah lebih dioerientasikan pada pembinaan ketauhidan
sehingga ayat Al-Qur’an yang turun dalam periode ini lebih ditekankan pada pembinaan
akidah dan ibadah. Ayat-ayat dan surat yang turun biasanya pendek-pendek dan diawalii
ungkapan “Ya ayyuha an-nasa”.
Adapun di Madinah, pembinaan yang dilakukan Rasulullah saw lebih banyak
ditekankan pada pembentukan masyarakat muslim di tengah-tengah masyarakat
nonmuslim. Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun di periode ini lebih ditekankan pada masalah
muamalah, sistim kemasyarakatan, kenegaran, hubungan sosial, hubungan antaragama
(toleransi), ta’awun, ukhuwah, dan sebagainya. Ayat-ayat yang turun pada periode ini
biasanya panjang-panjang dan diawali ungkapan “Ya ayyuha al-ladzina amanu”.
Pada peride Madinah ini, lahirlah suatu peristiwa yang monumental dan sangat
penting sebagai cermin bagi kehidupan beragama dan bermasyarakat di masa
mendatang, yakni terumuskannya suatu naskah perjanjian dan kerja sama antara kaum
muslimin dan masyarakat Madinah (nonmuslim), yang kemudian terkenal dengan
sebutan Piagam Madinah
Di Madinah itulah Rasulullah saw mulai membangun sistim hukum, tatanan
masyarakat, dan kenegaraan. Fungsi Rasulullah saw meningkat dari fungsi pendidik
menjadi negarawan pembangun masyarakat (community builder) atau pembangun
Negara (state builder). Di bawah pembinaan dan kepemimpinan Rasulullah saw, kota
Madinah menjadi sebuah kota masyarakat yang beradab, sadar hukum, penuh toleran,
bersikap saling tolong menolong, dihiasi persaudaraan dan semangat kerja sama antara
warga masyarakat. Gambaran masyarakat seperti itu, kemudian dikenal dengan sebutan
masyarakat madani.
Pada masa awal-awal perkembangan Islam, masyarakat Islam menampilkan diri
sebagai masyarakat alternative, yang memberi warna tertentu pada kehidupan manusia.
Karakter yang paling penting yang ditampilkan oleh masyarakat Islam ketika itu adalah
kedamaian dan kasih sayang.
Masyarakat model seperti ini tampil di tengah kehadiran Rasulullah saw, baik di
Mekah atau Madinah, yang banyak disebut sejarawan sebagai model masyarakat ideal
dalam level masyarakat Arab yang masih sangat sederhana. Sejumlah karakteristik
penting yang diperlihatkan masyarakat Islam pada masa Rasulullah saw ini, diantaranya
adalah: memiliki akidah yang kuat dan konsisten dalam beramal (berkarya). Semua itu
dipandu oleh kepemimpinan yang penuh wibawa.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa prinsip dakwah Rasulullah saw,
yaitu : Mengetahui medan (mad’u) melalui penelitian dan perenungan, Melalui
perncanaan pembinaan, pendidikan, dan pengembangan serta pembangunan
masyarakat,Bertahap, diawali dengan cara diam-diam (marhalah sirriyah), kemudian
cara terbuka (marhalah alaniyyah), Diawali dari keluarga dan teman terdekat, kemudian
masyarakat secara umum, Melalui cara dan strategi hijrah, yakni menghindari siutasi
yang negative untuk menguasai suasana yang lebih positif, Melalui syiar dan pranata
Islam, antara lain melalui khotbah, adzan, iqamah, dan shalat berjamaah, ta’awun, zakat,
dan sebagainya, Melalui musyawarah dan kerja sama, perjanjian dengan masyarakat
sekitar, seperti dengan Bani Nadhir, Bani Quraidzah, dan Bani Qainuqa,Melalui cara dan
tindakan yang akomodatif, toleran, dan saling menghargai, Melalui nilai-nilai
kemanusiaan, kebebasan, dan demokratis, Menggunakan bahasa kaumnya, melalui
kadar kemampuan pemikiran masyarakat (ala qadri uqulihim), Melalui surat.
Sebagaimana yang telah dikirim ke raja-raja berpengaruh pada waktu itu, seperti pada
Heraklius, Melalui uswah hasanah dan syuhada ala an-nas, dan melalui peringatan,
dorongan dan motivasi (tarhib wa targhib). Melalui Kelembutan dan pengampunan.
Seperti pada peristiwa Fathul Mekah disaksikan para pemimpin kafir Quraisy sambil
memendam kemarahan dan kebencian. Begitu pula isi hati Fadhalah, yang begitu dalam
kebenciaanya kepada Rasulullah sehingga ingin membunuhnya. Tanpa ia duga,
Rasulullah mengetahui suara hatinya tersebut. ketika ditegur dengan lembut, fadhalah
menjadi ketakutan dan mencoba berbohong untuk membela diri. Tetapi Rasulullah tidak
marah, bahkan melempar dengan senyumnya. Seketika Fadhalah terpesona dengan
reaksi orang yang hendak dibunuhnyatersebut. Ia yang berada dalam puncak ketakutan
merasakan kelegaan luar biasa. Tumbuh simpatinya dan kebenciannya mulai surut.
Hatinya benar-benar berbalik ketika Rasulullah meletakan tangan kanan tepat di
dadanya. Sentuhan fisik refleksi dari kasih sayang Rasulullah ini benar-benar
mengharubiru perasaan Fadhalah. Kedengkian dan kebenciaan berubah menjadi
kecintaan yang mendalam.
Dari prinsip dan langkah-langkah perjuangan Rasulullah saw di atas, dapat
diturunkan kaidah-kaidah dakwah Rasulullah saw sebagai berikut:
Tauhidullah, yakni sikap mengesakan Allah dengan sepenuh hati, tidak
menyekutukan-Nya, hanya mengabdi, memohon, dan meminta
pertolongan kepada Allah SWT. Sebagai pencipta dan pemelihara alam
semesta. Kaidah ini bertujuan untuk membersihkan akidah (tathir al-
i’tiqad) masyrakat dari berbagai macam khurajat dan kepercayaan yang
keliru, menuju satu landasan, motivasi, tujuan hidup dan kehidupan dari
Allah dan dalam ajaran Allah menuju mardhatillah (min al-Lah, fi al-Allah,
dan ila Allah).
Ukhuwah Islamiah, yakni sikap persaudaraan antarsesama muslim karena
adanya kesatuan akidah, pegangan hidup, pandangan hidup, sistim sosial,
dan peradaban sehingga terjalinlah kesatuan hati dan jiwa yang
melahirkan persaudaraan yang erat dan mesra, dan terjalin pula kasih
sayang, perasaan senasib sepenanggungan, serta memperhatikan
kepentingan orang lain, seperti mementingkan kepentingan diri sendiri.
Dengan demikian, terhindar dari sikap individualisme, fanatisme golongan,
fir’aunisme, materialisme, dan dari segala penyakit jiwa lainnya.
Musawah, yakni sikap persamaan antar sesama manusia, tidak arogan,
tidak saling merendahkan dan meremehkan orang lain, tidak saling
mengaku paling tinggi. Ini karena perbedaan dan penghargaan di sisi Allah
adalah dilihat prestasi pengabdian dan ketakwaannya.
Musyawarah, yakni sikap kompromis dan menghargai pendapat orang lain,
tidak menonjolkan kepentingan kelompok, memperhatikan kepentingan
bersama untuk meraih kemaslahatan dan kebaikan bersama. Hal ini
dilakukan oleh Rasulullah saw, antara lain di Madinh, yaitu dengan
munculnya Piagam Madinah. Ayat-ayat yang dapat dirujuk dalam
kaitannya dengan kaidah ini, antara lain: Q.S. Ali-Imran: 159, Q.S. Asu’ara:
38.
Ta’awun, yakni sikap gotong-royong, saling membantu, kebersamaan
dalam menghadapi persoalan dan tolong-menolong dalam hal-hal
kebaikan. Ayat-ayat yang dapat dirujuk dalam kaitannya dengan kaidah
ini, antara lain: Q.S. Al-Maidah: 2, Q.S. At-Taubah: 71, q.s. Al-Anfal: 46.
Takaful al-ijtima, yakni sikap pertanggungjawaban bersama senasib
sepenanggungan, kebersamaan dan sikap solidaritas sosial. Ayat-ayat
yang dapat dirujuk dalam kaitannya dengan kaidah ini, antara lain: Q.S. At-
Tahrim: 6, Q.S. Al-Baqarah:195.
Jihad dan Ijtihad, yakni sikap dan semangat kesungguh-sungguhan, serius
menunjukan etos kerja yang tinggi, kreatif, inovatif dalam penyelesaian
yang dihadapi. Ayat-ayat yang dapat dirujuk dalam kaitannya dengan
kaidah ini, antara lain: Q.S. Ash-Shaff: 4, 10-13.
Fastahiq al-khayrat, yakni sikap dan semangat berlomba-lomba dalam
kebaikan, pada berbagai lapangan hidup dan kehidupan. Ayat-ayat yang
dapat dirujuk dalam kaitannya dengan kaidah ini, antara lain: Q.S. Ali-
Imran: 114, Q.S. Al-Mu’minun: 57,61, Q.S. Al-Hadid: 21.
Tasamuh, yakni sikap toleransi, tenggang rasa, tidak memaksakan
kehendak, mengikuti dan melaksanakan sesuatu dengan landasan ilmu,
saling menghargai perbedaan pandangan. Ayat-ayat yang dapat dirujuk
dalam kaitannya dengan kaidah ini, antara lain: Q.S. Az-Zumar: 18, Q.S. Al-
Baqarah: 256, Q.S. Al-Ankabut: 46, Q.S. An-Nahl: 125, 109, 1-6.
Istiqamah, yakni sikap dan semangat berdisiplin, tidak goyah, berjalan
terus di atas ajaran yang benar dengan penuh kesabaran. Ayat-ayat yang
dapat dirujuk dalam kaitannya dengan kaidah ini, antara lain Q.S.
Fushshilat: 6, 30, 32, Q.S. Al-Ahqaff: 13-14, Q.S. Asy-Syu’ara: 13-15.
Sebelum kita melangkah untuk melihat masa-masa terakhir kehidupan Rasulullah
saw, sepatutnya kita memberikan perhatian sekilas terhadap aktivitas agung yang
menjadi inti kehidupan beliau dan yang membedakan beliau dari seluruh Nabi dan Rasul,
sehingga Allah mengangkat beliau sebagai pemimpin orang-orang terdahulu maupun
orang-orang di kemudian hari. Dikatakan kepada Rasulullah saw: “Wahai orang yang
berselimut, bangunlah (untuk shalat), di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya).” (al-
Muzzamil: 1-2), “Wahai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan!” (al-
Muddatstsir: 1-2).
Maka, beliau pun bangkit dan terus bangkit lebih dari dua puluh tahun, memikul
beban amanat besar di bumi ini, seluruh beban aqidah, beban perjuangan dan jihad di
berbagai medan.
Beliau memikul beban perjuangan dan jihad di medan perasaan manusia yang
tenggelam dalam angan-angan dan konsepsi jahiliyah serta terbelenggu oleh kehidupan
dunia dan syahwat. Ketika perasaan manusia berhasil dibersihkan dari noda-noda
jahiliyah dan kehidupan dunia, mulailah peperangan lain di medan yang lain pula,
bahkan peperangan ini tiada putus-putusnya. Yaitu, peperangan melawan musuh-musuh
da’wah Islam yang bersekongkol untuk menghancurkan da’wah ini sampai ke akarnya
sebelum berkembang dan kokoh akarnya. Peperangan di jazirah Arab hampir saja
berakhir, Romawi sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi umat yang baru ini serta
menghadangnya di perbatasan bagian utara.
Ketika semua ini berlangsung, peperangan pertama yaitu peperangan perasaan
tidaklah berhenti, karena peperangan ini bersifat abadi, peperangan melawan syaithan.
Sesaat pun syaithan tidak akan pernah meninggalkan aktivitasnya di dalam hati
manusia. Di sanalah, Muhammad saw bangkit menyerukan da’wah Allah, dan melakukan
peperangan yang tiada henti-hentinya di berbagai medan. Beliau berjuang menghadapi
kesulitan hidup, padahal dunia berada di hadapannya. Beliau berjuang keras tidak kenal
lelah, ketika orang-orang mu’min beristirahat menikmati ketenangan dan ketentraman.
Semua itu beliau lakukan dengan semangat yang tak pernah kendor dan kesabaran
tinggi. Beliau berjuang dalam melakukan qiyamul lail dan beribadah kepada Rab-Nya,
membaca Al-Qur’an, dan bermunajat kepada-Nya sebagaimana yang diperintah-Nya.
Demikianlah, beliau hidup dalam perjuangan dan peperangan yang tiada henti-
hentinya lebih dari dua puluh tahun. Selama itu, tidak pernah melalaikan suatu urusan
karena sibuk dengan urusan yang lain. Sehingga, da’wah meraih suatu keberhasilan
yang gemilang, sulit dicerna oleh akal manusia. Jazirah Arab tunduk kepada da’wah
Islam, debu-debu jahiliyah tidak berhamburan lagi di kawasan jazirah Arab, dan akal
yang menyimpang telah lurus kembali. Sehingga, berhala-berhala ditinggalkan, bahkan
dihancurkan. Udarapun dipenuhi oleh gema suara tauhid. Suara adzan terdengar
membelah angkasa di celah-celah padang pasir yang telah dihidupkan oleh iman yang
baru. Para da’i bertolak ke arah utara dan selatan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan
menegakkan hukum-hukum Allah.
Berbagai bangsa dan kabilah bertebaran di mana-mana bersatu padu. Manusia
pun keluar dari penyembahan terhadap hamba menuju peribadatan kepada Allah. Di
sana, tidak ada pihak yang memaksa dan dipaksa, tidak ada tuan dan hamba, penguasa
dan rakyat, orang yang zhalim dan terzhalimi. Semuanya adalah hamba Allah,
bersaudara dan saling mmencintai, dan melaksanakan hukum-hukum Allah. Allah telah
menyingkirkan penyaki-penyakit jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang
dari diri mereka. Di sana, tidaka ada kelebihan yang dimiliki oleh orang yang berkulit
merah atas orang berkulit hitam, kecuali ketaqwaannya. Seluruh manusia adalah anak
keturunan Adam, dan adam tercipta dari tanah.
Berkat da’wah Islam, terwujudlah kesatuan Arab, keadilan sosial, kebahagiaan
manusia dalam segala urusan dunia dan akhirat. Perjalanan hari dan wajah bumi pun
berubah, demikian garis sejarah dan pola pikir.
Sebelum ada da’wah Islam, dunia di kuasai oleh semangat kejahiliyahan,
sehingga perasaannya memburuk, jiwanya membusuk, nilai-niali moral dan norma-
norma sosialnya jadi kacau, dipenuhi kezhaliman dan perbudakan, dirongrong oleh
gelombang kemewahan dan kemiskinan, diliputi oleh kekufuran, kesesatan dan
kegelapan, meskipun pada saat itu sudah terdapat agama-agama langit. Namun, agama
itu telah jauh diselewengkan oleh manusia, sehingga menjadi lumpuh, tidak berdaya
menguasai manusia dan berubah menjadi beku, tidak hidup dan tidak memiliki ruh.
Setelah da’wah Islam tampil dan memainkan perannya dalam kehidupan
manusia, jiwa manusia menjadi bersih dari khayalan dan khurafat, perbudakan,
kerusakan dan kebusukan, kekotoran dan kemerosotan. Masyarakat pun menjadi bersih
dari kezhaliman dan kesewenang-wenangan, perpecahan dan kehancuran, perbedaan
kelas, kediktatoran penguasa, dan pelecehan para dukun. Da’wah ini tampil membangun
dunia di atas kesucian dan kebersihan, hal-hal yang bersifat positip dan membangun,
kebebasan dan pembaruan, pengetahuan dan keyakinan, kepercayaan, keadilan,
kehormatan, serta kinerja yang berkesinambungan untuk meningkatkan taraf kehidupan
dan menjamin setiap orang untuk memperoleh hak-hak dalam kehidupan.
Berkat perkembangan-perkembangan ini, jazirah Arab mengalami suatu
kebangkitan yang penuh berkah, yang belum pernah dialaminya sejak adanya bangunan
di atas jazirah tersebut.
3. JAWABAN UNTUK NOMOR TIGA
Sunnah atau lebih dikenal dengan hadis, mempunyai sejarah yang unik dan
panjang. Ia pernah mengalami masa transisi dari tradisi oral ke tradisi tulisan.
Pengkompilasiannya pun membutuhkan waktu yang cukup panjang. Persaingan politik
antar kelompok Muslim dalam rangka perebutan kekuasaan juga ikut mewarnainya.
Sampai pada akhir abad ke-9 M, usaha pengkodifikasian tersebut dapat menghasilkan
beberapa koleksi besar (kitab hadis) yang dianggap autentik, di samping sejumlah besar
koleksi hadis lainnya.
Seleksi dan pengeditan koleksi kitab hadis tersebut, menurut pandangan
Mohammed Arkoun, menimbulkan kontroversi berkepanjangan di antara tiga golongan
Muslim besar, yakni; Sunni, Syi’i (Syi’ah), dan Khariji (Khawarij). Kelompok Sunni
menganggap, kompilasi sahihayn dari Bukhari dan Muslim sebagai yang paling autentik.
Syi’ah 12 (Isna ‘Asyariyah) mengklaim, hasil kompilasi Kulayni sebagai “suitable for the
science of religion” dan dilengkapi juga dengan koleksi Ibn Babuyah dan al-Tusi .
Sementara, Khawarij memakai koleksi Ibn Habib (tercatat akhir abad ke-8) yang disebut
sebagai al-sahih al-rabi’ (The true one of spring).
Terdapat satu anggapan, bahwa perbedaan aqidah dalam aliran-aliran Islam
berdampak atau bahkan merupakan sumber pada perbedaan hadis yang diakui oleh
masing-masing kelompok. Kelompok Sunni misalnya, hanya berpegang pada riwayat
Sunni saja, sementara kelompok Syi’ah hanya mengakui hadis-hadis riwayat kelompok
Syi’ah saja. Demikian seterusnya.
Masing-masing kelompok cenderung egois dan hanya mementingkan
kelompoknya. Lebih parah lagi, hadis-hadis yang ada banyak dibuat oleh kelompok
tertentu demi kepentingan kelompoknya, bahkan tidak sedikit yang mendiskreditkan
mazhab yang berseberangan. Dampak terbesar dari anggapan ini adalah, hadis-hadis
yang ada tidak bisa dipertanggungjawabkan otentisitasnya karena dibuat/dipalsukan
oleh mazhab-mazhab tertentu demi kepentingan mereka.
Perbedaan konsepsi secara metodologis tentang hadis antara Sunni dan Syi’ah
bergulir pada wilayah kajian epistimologi. Pilihan untuk menggunakan epistimologi dalam
kajian ini karena epistemologi, sebagai suatu cabang filsafat yang membahas tentang
asal, struktur, metode-metode, kesahihan, dan tujuan pengetahuan. Epistemologi, juga
merupakan sarana untuk mendekati masalah-masalah pokok berkaitan dengan dinamika
ilmu pengetahuan yang menyangkut sumber, hakekat, validitas dan metodologi.
Dalam tradisi Sunni, yang dimaksud dengan hadis ialah segala sabda, perbuatan,
taqrir, dan hal-ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Hadis dalam
pengertian ini oleh ulama hadis disinonimkan dengan istilah al-sunnah. Dengan
demikian, menurut umumnya jumhur ulama hadis, bentuk-bentuk hadis atau al-sunnah
ialah segala berita berkenaan dengan; sabda, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal Nabi
Muhammad saw.
Dari definisi hadis yang ditetapkan Sunni di atas, memberikan batasan tentang
segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad saw., sekaligus adanya anggapan
bahwa wahyu telah terhenti setelah wafatnya Nabi Muhammad. Dengan demikian
apapun yang bersumber dari Nabi dapat dijadikan dasar hukum dan sekaligus sumber
ajaran Islam. Sebaliknya apapun yang tidak bersumber langsung dari Nabi bukan
termasuk hadis, dan karenanya tidak wajib diikuti dan tidak dapat dijadikan dasar hukum
apalagi dijadikan sebagai sumber ajaran Islam. Dengan demikian sumber utama yang
dapat mengeluarkan hadis menurut Sunni hanya Nabi Muhammad saw.
Pada dasarnya, hampir semua mazhab dalam Islam, sepakat akan pentingnya
peranan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Otoritas Nabi saw dalam hal ini
(selain al-Qur’an) tidaklah terbantahkan dan mendapat legitimasi melalui wahyu juga,
sehingga secara faktual, Nabi saw adalah manifestasi al-Qur’an yang pragmatis. Dalam
diskursus Islam, terdapat berbagai permasalahan yang tidak cukup dijelaskan hanya
dengan mengacu kepada al-Qur’an, tetapi juga harus mengacu kepada hadis Nabi saw.
Hal ini dikarenakan al-Qur’an lebih banyak menerangkan secara global. Sesuatu yang
global inilah yang harus dijelaskan dan dijabarkan. Dan di sinilah hadis mempunyai
fungsi menafsirkan yang mubham, memerinci yang mujmal, membatasi yang mutlak,
mengkhususkan yang ‘am, dan menjelaskan hukum-hukum sasarannya bayan al-tafsir,
bahkan hadis juga mengemukakan hukum-hukum yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an
(sunah pembentuk).Pernyataan seperti ini, banyak ditegaskan oleh al-Qur’an, misalnya
QS. al-Hasyr (57): 7, QS, al-Nahl (47): 80, QS. al-Ahzab (33): 21, dan lain sebagainya.
Kenyataan ini menunjukkan betapa penting dan strategisnya posisi hadis dalam
bangunan (pondasi) ajaran Islam. Sehingga, tidak berlebihan jika dikatakan (oleh
sebagian ulama) bahwa al-Qur’an lebih membutuhkan hadis daripada sebaliknya.
Pada dasarnya, ketika Nabi saw masih hidup fenomena hadis tidak begitu krusial
dan pembicaraan mengenai perkatan, perbuatan, dan ketetapan Nabi saw pun sebagai
hal yang biasa-biasa saja, karena hadis sebagai sumber pedoman masyarakat muslim
waktu itu lebih bersifat peneladanan langsung tanpa melibatkan rumusan-rumusan
verbal (living tradition). Para sahabat lebih berusaha untuk hidup sesuai dengan ajaran-
ajaran Nabi saw, sehingga diktum dan fatwa Nabi saw yang aktual seringkali terjalin
secara halus dan tidak dapat dibedakan. Akan tetapi, setelah Nabi saw wafat, umat Islam
mulai serius menyikapi hadis Nabi saw tersebut. Pembicaraan tentangnya menjadi
sebuah fenomena yang dilakukan masyarakat muslim dengan sengaja dan penuh
kesadaran. Karena, sebuah generasi baru sedang tumbuh dan secara otomatis
membutuhkan suatu bimbingan dengan mempertanyakan perilaku Nabi saw.
Dengan demikian, menurut Sunni hakekat hadis pada dasarnya adalah wahyu
Allah yang diberikan melalui Nabi Muhammad saw berupa peneladanan langsung yang
melibatkan rumusan-rumusan verbal (living tradition). Karena itulah, hadis mempunyai
peranan yang sangat urgen ketika disandingkan dengan al-Qur’an. Keduanya menjadi
sumber hukum yang harus diyakini oleh umat Islam.
Definisi hadis sahih yang disepakati oleh ulama Sunni meliputi beberapa unsur. Di
antara kriteria yang ditetapkan ulama untuk mendapatkan suatu hadis sahih adalah:
Sanad bersambung;
Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil;
Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabit;
Sanad dan matan hadis terhindar dari syaz;
Sanad dan matan hadis terhindar dari ‘illat.Sedangkan dari segi matannya harus
sesuai dengan al-Qur’an, sunnah yang sahih, tidak menyalahi fakta historis dan
tidak bertentangan dengan akal dan panca indera.
Langkah selanjutnya, hadis-hadis tersebut diklasifikasi dan dimasukkan dalam
kategori-kategori tertentu. Misalnya dengan menggunakan ilmu Jarh wa al-Ta’dil yang
melibatkan berbagai ilmu, hadis-hadis dapat dikelompokkan ke dalam berbagai kategori
dengan tingkat kecermatan yang tinggi. Seseorang yang diterima atau ditolak hadisnya
harus melalui seleksi dan evaluasi kritis terlebih dahulu. Demikianlah, kriteria-kriteria
kesahihan hadis yang dibangun oleh ulama Sunni. Sekaligus menetapkan bahwa suatu
hadis yang tidak memenuhi kelima unsur tersebut adalah dha’if dan tidak dapat
dijadikan sebagai dasar hukum.
Dengan tidak mudahnya suatu informasi diterima sebagai suatu kebenaran
sebagaimana ditunjukkan di atas dengan standar-standarnya, menunjukkan bahwa Islam
bukan hanya mementingkan atau mewajibkan mencari ilmu saja, tetapi juga aspek
epistemologinya (masalah kebenaran). Tidak dikesampingkannya aspek epistemologi
dalam bangunan keilmuan Islam, terutama hadis telah menunjukkan bagaimana
kejujuran intelektual dengan memegang pengetahuan lebih dari sesuatu yang lain, tetapi
juga sebagai sesuatu yang dapat dinilai salah dan benar dengan pertanggungjawaban
serentak pada tingkat individu dan kelompok, dipraktekkan. Semuanya adalah dalam
rangka agar segala perilaku mendapat pengabsahan dan landasan dari otoritas yang
memiliki kriteria yang tinggi sehingga kebaikan dunia dan akhirat dapat dicapai secara
bersamaan atas dasar teladan dari Nabi. Dengan demikian keberadaan hadis sebagai
sumber kedua setelah al-Qur’an telah memberi pengaruh yang besar pada seluruh
aktivitas Muslim dalam mencari pijakan dan memberi teladan bagi kaum Muslim dalam
bertindak.
Hadis dalam tradisi Syi’ah yang mempunyai pengertian segala sesuatu yang
disandarkan kepada yang ma’sum, Nabi saw dan Imam dua belas, baik itu berupa
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan adalah sumber hukum yang kedua setelah al-
Qur’an. Syi’ah menjadikan imam seperti kedudukan Nabi Muhammad dalam menjelaskan
al-Qur’an. Mereka juga berpandangan bahwa para periwayat mereka melarang
mengamalkan zahir al-Qur’an karena mereka tidak berpedoman dalam syari’at kecuali
dari para imam mereka. Mereka mengatakan bahwa imam mempunyai ilham yang
sebanding dengan wahyu bagi Rasulullah saw.
Dari definisi hadis di atas, memberi kesimpulan bahwa sumber hadis bukan hanya
Nabi Muhammad, melainkan setiap imam yang ma’shum juga dapat mengeluarkan hadis
yang dapat dijadikan hujjah. Dengan demikian, Syi’ah juga mempunyai keyakinan
tentang berlangsungnya wahyu pasca wafatnya Nabi Muhammad saw.
Menurut Syi’ah, substansi atau hakekat hadis mempunyai tiga macam: Pertama:
Khabar dan riwayat yang mengandung petunjuk pembersihan jiwa, akhlak, nasehat dan
cara-cara pengobatan penyakit hati. Dengan muatan berisi ancaman, dan dorongan.
Atau yang berkaitan dengan tubuh, seperti kesehatan, penyakit, sakit dan pengobatan.
Juga manfaat buah-buahan, tumbuh-tumbuhan, pepohonan, air dan batu. Di samping itu
khabar tersebut mengandung do’a, zikir, dan keutamaan ayat-ayat. Serta semua hal
yang disunnahkan, baik dalam pembicaraan, perbuatan, maupun sikap. Itu semua,
menurut kaum Syi’ah, bisa dijadikan landasan untuk beramal ibadah. Dan tidak perlu
mencari tahu apakah sanad dan matannya shahih atau tidak. Kecuali jika ada tanda-
tanda yang menunjukkan kepalsuannya.
Kedua: Yang mengandung hukum syara’ parsial, taklifi atau wadl’i. Seperti
taharah, berwudlu, cara shalat, zakat, khumus, jihad dan semua bagian muamalat,
transaksi yang diperbolehkan. Juga tentang nikah, thalaq, warisan, hudud dan diyat.
Semua khabar dan riwayat tersebut tidak boleh langsung dijalankan. Namun diberikan
kepada faqih yang mujtahid untuk menterjemahkannya. Sedangkan orang awam harus
mengikuti mujtahid marji’.
Ketiga: Khabar dan riwayat yang mengandung pokok-pokok aqidah, seperti
pengitsbatan al-Khaliq swt., juga tentang hasyr, barzakh, sirâth, mîzân, hisâb dan lain-
lain.
Jadi, pada hakekatnya hadis menurut Syi’ah adalah Khabar dan riwayat yang jika
berkaitan dengan aqidah dan pokok agama mereka, seperti tauhid, ‘adl, nubuwwah,
imâmah dan ma’ad. Jika khabar tersebut sesuai dengan dalil-dalil ‘aqli, urgensi, dan
tanda-tanda yang qath’i, maka ia dapat dijalankan, dan tidak perlu menyelidiki sanad.
Dalam kaitannya dengan kesahihan hadis, para ulama Syi’ah dalam kajian sanad
telah memberikan kriteria-kriteria sebagai periwayat hadis. Ada beberapa kriteria yang
harus terpenuhi sebagai seorang periwayat hadis untuk dapat diterima riwayatnya.
Diantaranya adalah: 1) sanadnya bersambung kepada imam ma’sum tanpa terputus, 2)
seluruh periwayat dalam sanad berasal dari kelompok Imamiyah dalam semua tingkatan,
dan 3) seluruh periwayat dalam sanad bersifat ‘adil, dhabit. Dengan demikian, hadis
sahih menurut Syi’ah adalah, hadis yang memiliki standar periwayatan yang baik dari
imam-imam di kalangan mereka yang ma’shum.
Pengaruh Imamiyah di sini tampak pada pembatasan imam yang ma’shum
dengan persyaratan periwayat harus dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Jadi hadis tidak
sampai pada tingkatan sahih jika para periwayatnya bukan dari Ja’fariyah Isna ‘Asyariyah
dalam semua tingkatan.
Sedangkan pengertian hadis menurut disiplin ilmu ushul fiqh adalah ucapan-
ucapan Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Namun, bila ia mencakup perbuatan
dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum dinamakan sunnah. Dan pengertian
hadis/sunnah menurut pandangan ulama ahli fiqh, disamping pengertian yang
dikemukakan ulama ushul fiqh, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi yang
mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan
apabila ditinggalkan tidak berdosa”.
Terjadinya perbedaan pengertian tersebut di atas disebabkan perbedaan sudut
pandang masing-masing terhadap hadis/sunnah. Ulama hadis memandang bahwa hadis
maupun sunnah adalah hal yang satu dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya,
disamping mereka juga berpendapat bahwa Rasulullah saw. adalah sosok yang patut
diteladani (uswatun hasanah), sehingga apapun yang berasal dari beliau dapat diterima
sebagai hadis. Ulama ushul fiqh memandang bahwa hadis merupakan salah satu sumber
atau dalil hukum serta sebagai dasar bagi para mujtahid dalam bidang hukum.
Sedangkan ulama fiqh menempatkannya sebagai salah satu dari hukum taklifi yang lima,
yaitu wajib, haram, makruh, mubah dan sunat, karena menurut mereka hadis adalah
sifat syar’iyyah untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya akan tetapi tuntutan
melaksanakannya tidaklah pasti, sehingga orang yang melaksanakannya diberi pahala
dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.
Harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan al-Quran
dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini
bahwa wahyu al-Quran disusun langsung oleh Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril
yang kemudian Nabi Muhammad saw. langsung menyampaikannya kepada umat, dan
demikian seterusnya dari generasi ke generasi. Redaksi al-Quran dapat dipastikan tidak
mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh
sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara mutawatir oleh sejumlah
orang yang mustahil mereka sepakat berbohong. Atas dasar ini wahyu-wahyu al-Quran
menjadi qath’i al-wurud.
Berbeda dengan hadis yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang
dan itupun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang
diucapkan oleh Nabi saw. Disamping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun
pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya
penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis hanya berdasarkan hafalan para
sahabat dan tabi’in. ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otentisitasnya adalah
zhanni al-wurud.
Secara bahasa, kata al-hadis berasal dari kata hadatsa – yahdutsu – hadtsan –
haditsan dengan pengertian yang bermacam. Al-hadis dapat berarti al-jadid min al-
asyya’ (sesuatu yang baru)
sebagai lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang sudah lama, kuno, klasik). Kata al-hadits
dapat
pula berarti al-qarib, yakni menunjukkan pada waktu yang dekat atau singkat. Al-hadis
juga
mempunyai makna al-khabar yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal (sesuatu yang
diperbincangkan, dibicarakan, diberitakan dan dialihkan dari seseorang kepada orang
lain.
Definisi hadis atau sunnah dapat dibedakan menurut disiplin ilmunya. Menurut
sebagian ulama hadis, pengertian sunnah sama dengan pengertian hadis, yakni segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik ucapan, perbuatan, sikap/ketetapan,
sifatnya sebagai manusia biasa, dan akhlaknya apakah itu sebelum atau sesudah
diangkatnya menjadi rasul. Berbeda dengan al-Thibby dan lainnya yang berpendapat
bahwa hadis tidak hanya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., akan
tetapi termasuk perkataan, perbuatan dan ketetapan para sahabat dan tabi’in.
Bersama al-Qur’an, hadis menjadi point yang sensitif dalam kesadaran spiritual
maupun
intelektual muslim. Tidak saja karena ia menjadi sumber pokok ajaran Islam, tetapi juga
sebagai tambang informasi bagi pembentukan budaya Islam, terutama sekali
historiografi Islam yang cukup banyak merujuk pada hadis-hadis. Hadis menjadi semakin
krusial ketika makin banyaknya masalah yang muncul, sementera Nabi dan sahabat
telah banyak yang wafat. Ketika Nabi s.a.w. masih hidup persoalan dapat dipecahkan
dengan otoritas al-Qur’an atau Nabi Muhammad sendiri.
Demikian pula pada masa sahabat, masyarakat dapat melihat praktek nabi yang
dijalankan para sahabat. Tetapi setelah itu berbagai informasi tentang nabi menjadi
sangat penting bagi kaum
muslim. Itu sebabnya belakangan sangat banyak sekali muncul literatur hadis dalam
berbagai
bentuk dan jenisnya dengan muatan hadis-hadis yang cukup beragam.
Dalam kaitannya sebagai sumber pokok ajaran Islam, hadis pada umumnya lebih
merupakan
penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespon
pertanyaan para
sahabat Nabi. Dengan demikian hadis merupakan interpretasi nabi saw yang
dimaksudkan untuk
menjadi pedoman bagi para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an. Karena
kondisi sahabat dan latar belakang kehidupannya berbeda, maka petunjuk-petunjuk
yang diberikan nabi berbeda pula. Pada sisi lain, para sahabat pun memberikan
interpretasi yang berbeda terhadap hadis nabi. Dari sini, maka hadis pada umumnya
bersifat temporal dan kontekstual.
Situasi sosial budaya dan alam lingkungan semakin lama semakin terus berubah
dan berkembang. Dengan semakin jauh terpisahnya hadis dari situasi sosial yang
melahirkannya, maka sebagian hadis nabi terasa tidak komunikatif lagi dengan realitas
kehidupan sosial saat ini. Karena itu
pemahaman atas hadis nabi merupakan hal yang mendesak, tentu dengan acuan yang
dapat dijadikan sebagai standarisasi dalam memahami hadis. Realitanya bahwa hadis
nabi lebih banyak dipahami secara tekstual, bahkan belakangan gejala ini muncul di
kalangan generasi muda Islam, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di banyak negeri Islam
lainnya.
Pendekatan ini terhadap sebahagian hadis Nabi merupakan satu keharusan, tidak
selamanya mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang muncul
belakangan, bahkan malah menjadi sesuatu yang kontradiktif sehingga memalingkan
kepercayaan terhadap hadis Nabi. Karena pemahaman seperti ini maka sebagian
sarjana-sarjana muslim lantas menyerang hadis yang tanpak kontradiktif dan tidak
komunikatif dengan zaman meskipun ulama hadis menyatakan bahwa hadis tersebut
dilihat dari kaedah-kaedah ilmu hadis yang demikian ketat, validitasnya diakui dan
makbul (shahih). Karena itu upaya atau pengkajian terhadap konteks-konteks hadis
merupakan aspek yang sangat penting dalam menangkap makna hadis yang akan
diamalkan. Sayangnya, menurut Afif Muhammad, pendekatan kontekstual atas hadis
Nabi saw, belum begitu memperoleh perhatian. Bagi orang yang belum mengenal apa itu
Ilmu Tasawwuf atau Sufi tentu akan merasa asing untuk
.
keduanya, karena tidak tahu orang cendrung untuk menjauhi atau enggan untuk
mempelajarinya bahkan sampai mengejeknya. Hal ini serupa dengan awal kedatangan
Islam tempo dulu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.: "Permulaan Islam ini
asing, dan akan kembali asing pula, maka gembiralah orang-orang yang dianggap asing
(orang-orang Islam)." HR. Muslim dari Abi Hurairah.
Kaum Sufi bukanlah sekelompok aliran bid'ah yang ajarannya masih saja
diperdebatkan, namun dalam memahami Ilmu kesufian hati perlu benar-benar bersih dan
jeli untuk menangkap doktrin-doktrin yang diajarkan dalam sufi itu sendiri dengan
catatan tidak melenceng dari Islam. Tanpa didampingi ilmu sebagai manusia terlalu
gampang untuk mencoreng, mencela dan berprasangka buruk terhadap sesama. Dalam
sebuah hadits Nabi Saw.: "Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, karena sesungguhnya
prasangka itu merupakan perkataan yang paling dusta." HR. Bukhari & Muslim.
Ilmu kesufian atau Ilmu Tasawwuf adalah ilmu yang didasari oleh al-Qur'an dan
Hadits denga
tujuan utamanya amar ma'ruf nahi munkar. Sejak jaman sahabat Nabi Saw. tanda-tanda
sufi dan ilmu kesufian sudah ada, namun nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul,
sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh dan
lain sebagainya. Barulah pada
tahun 150 H atau abad ke-8 M Ilmu Sufi atau Ilmu Tasawwuf ini berdiri sebagai ilmu yang
berdiri sendiri yang bersifat Keruhanian. Kontribusi Ilmu Tasawwuf ini banyak dibukukan
oleh kalangan orang-orang Sufi sendiri seperti Hasan al-Basri, Abu Hasyim Shufi al-Kufi,
al-Hallaj bin Muhammad al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa'id ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad-
Darani, Abu Hafs al-Haddad,Sahl at-Tustari, al-Qusyairi, ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat,
Basyir al-Haris, as-Suhrawardi, Ain
Qudhat al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya hingga kini terus berkembang.
4. JAWABAN UNTUK NOMOR EMPAT
Salah satu tema yang muncul begitu kuat ke permukaan dewasa ini dalam
diskursus keislaman dan kemodernan adalah demokrasi dan demokratisasi. Ide ini kalau
kita melihat dari konteks historisnya, dikenal dunia Islam lewat kolonialisme Barat -yang
diawali dengan pendudukan Napoleon di Mesir- dan jalur pengiriman mahasiswa muslim
ke Eropa dan Ameika Serikat. Belakangan, di kawasan Timur Tengah umpamanya, isu
demokratisasi kembali mencuat seiring dengan gencarnya gelombang demokratisasi di
Uni Soviet (kini Rusia) dan Eropa Timur, pasca berakhirnya perang Teluk II 1991 dan
sesudah terjadiya pergolakan politik di Aljazair 1992.
Selain itu, belahan dunia lainnya seperti Asia Tenggara termasuk Indonesia juga
mengalami hal yang sama. Hal ini pernah disinyalir oleh Samuel P. Huntington bahwa
telah terjadi gelombang demokratisasi ketiga di dunia, setelah sebelumnya terjadi
gelombang pertama tahun 1922 dan kedua tahun 1950-an. Gelombang ketiga itu diawali
dengan runtuhnya rezim komunisme di Eropa Timur dan Tengah pada akhir 1989. Itu
berarti, kemenangan mutlak bagi demokrasi". Dalam setengah abad terakhir ini,
demokrasi dalam pengertian moderen, telah memperoleh kekuatan universal sebagai
kekuatan politik, sebagai sebuah inspirasi dan sebuah ideologi.
Dr. Bachtiar Efendi dalam pengantar buku Dilema Islam Dilema Demokrasi tulisan
Mun'im A. Sirry mengatakan "Ditengah proses demokatrisasi yang terjadi dimana-mana
itu, pada mulanya dunia Islam tidak menjadi bagian perhatian dengan alasan dunia Islam
tidak mempunyai prospek untuk menjadi demokratis serta tidak memiliki pengalaman
demokrasi yang cukup.
"The Islamic countries of the Middle East and North Africa generall lack much
preivious democratic experience, and most appear to have little prospect of transition
even to semidemocracy", demikian tulis Larry Diamond, Juan J, Linze dan Seymour Martin
Lipset dalam pengantar buku suntingan mereka, Democracy in Developing Countries.
Pandangan seperti ini sejalan dengan pendapat Samuel P. Huntington dalam
bukunya The Third Wave, yang selain konfusinisme, ia meragukan bahwa ajaran Islam
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Luthfi Asysyaukani bahkan menulis bahwa
Demokrasi di negara muslim payah. Lebih jauh ia mempertanyakan "Apakah kita masih
layak untuk mengatakan bahwa Islam menghargai kebebasan manusia, bahwa Islam
memiliki doktrin-doktrin yang luhur tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi…?"
Perbincangan Islam dan demokrasi ini kemudian diperparah lagi dengan temuan freedom
index yang dikeluarkan oleh Freedom House (1998) yang terangkum dalam Index of
Politic Right and Civil Liberty, bahwa selama dua puluh lima tahun terakhir, negara-
negara muslim di dunia -berjumlah 48 negara- umumnya gagal untuk membentuk
sebuah politik yang demokratis. Selama periode itu, hanya satu negara muslim yang
berhasil membentuk demokrasi sepenuhnya selama lima tahun yaitu Mali di Afrika.
Negara semidemokrasi berjumlah 12, sisanya adalah negara otoritarian. Bahkan,
mayoritas rezim-rezim yang rtepresif di dunia pada akhir 1990-an adalah di negara-
negara muslim (Mun'im A. Sirry: 2002).
Pada akhir Desember 2001 yang lalu, Freedom House kembali mengeluarkan
laporannya dan menyebutkan bahwa di antara negara-negara yang ada di dunia,
kawasan Islam tidak ada yang masuk dalam katagori demokratis. Paling banter, masuk
dalam katagori "Partly Free" yaitu Banglades, Indonesia, Jordan, Kuwait, Maroko, Turki,
dan Malaysia.
Sedangkan Aljazair, Mesir, Libanon, Oman, Pakistan, Tunisia, Uni Emirat Arab,
Yaman, Brunei, Iran, Qatar, Bahrain, Afghanistan, Irak, Libia, Arab Saudi, Sudan dan
Syiria masuk dalam katagori "Not Free (tidak demokratis)". Oleh karena itu, Freedom
House menyimpulkan bahwa "There is a dramatic, expanding gap in the levels of
freedom and democracy between Islamic countries and the rest of the world". Yang lebih
dramatis lagi adalah kesimpulan sebuah studi yang bertajuk Freedom in the 2001-2002
bahwa " a non Islamic country is more than three times likely to be democratic than an
Islamic state" (Bachtiar Efendi: 2002).
Bila dikritisi, muncul pertanyaan dari kasus ini: "Bisakah demokrasi menerima
kekuatan politik Islam?", mengapa saya utarakan seperti itu, karena sejak tahun 1970-an
wacana yang dikembangkan adalah "Bisakah kekuatan politik Islam menerima
Demokrasi?" dari sinilah kita dapat melihat dari penyebar isu demokratis, yaitu Barat
yang sekarang lebih di dominasi Amerika. juga bisa dilihat ketakutan Barat yang sangat
over terhadap kebangkitan kekuatan politik Islam.
Survey ini banyak dikritik karena mempergunakan perkiraan kasar,
sehingga tidak mampu mengungkapkan ciri-ciri sistem politik suatu negara, dan
mengabaikan dimensi-dimensi penting yang lain dari demokrasi, misalnya hak-hak
dan kebebasan politik. Selain itu dengan survey ini negara-negara yang diragukan
memberikan kekebasan politik yang sesungguhnya (liberal) seperti AS, Swis, Belanda,
Denmark, juga masuk kategori “paling demokratis”, juga negara-negara seperti
Jepang, Kosta Rika (dengan rata-rata skor 1), Ekuador, Jamaika (skor rata-rata 2),
Papua Nugini, Thailand (dengan skor rata-rata 2.5).
Pada masa pemerintahan Clinton, menyebarkan demokrasi ke luar negeri
merupakan salah satu dari tiga pilar utama kebijakan luar negeri Amerika serikat.
Sementara itu, penggantinya George W. Bush lebih progresif dengan mengangkat
ancaman baru demokrasi global, yaitu terorisme global. Lalu perang total terhadap
terorisme menjadi prasyarat baru bagi negara ketiga untuk disebut demokratis. Terlebih
lagi, akhir-akhir ini Amerika Serikat "ngotot" untuk melakukan penyerangan ke Irak. Dari
apa yang telah dipaparkan, apakah tidak mungkin kecemasan Barat terhadap Islam dan
posisinya sebagai promotor demokratrisasi dengan segala kepentingannya, menggiring
Barat untuk menggunakan unsur kekuatan nasionalis sekuler di negeri-negeri muslim
sebagai tembok penghalang bagi kekuatan politik Islam di panggung demokrasi?.
Mengapa demikian…?, saya ingin melihatnya dan mengaitkannya dengan historis
peradaban Islam pada masa nabi Muhammad SAW dengan icon Negara Madinahnya.
Sesuai dengan realita diatas bahwa konsep Negara Demokrasi dan konsep Negara Islam
merupakan dua paradigma. Saya disini tidak menganggaka dan mengungkap tentang
pro kontra antara Islam vs demokrasi dalam ranah negatif dan fositif baik dari kalangan
muslim (perorangan maupun organisasi) atau non muslim seperti Lisa Anderson, John L.
Esposito, dan Fawaz A. Gerges, yang berpandangan bahwa Islam punya nilai-nilai positif
bagi tumbuhnya demokrasi. Mereka berpendapat Islam dan demokrasi -dalam bahasa
ilmiah- punya korelasi positif.
Sebagai muslim tentu mengakui bahwa islam itu sesuai kapan dan dimanapun ia
berada, lebih-lebih menanggapi isu demokrasi dalam sebuah negara. Namun yang
menjadi standar adalah yang perlu ditanyakan, standar versi Islam atau versi lain. Hal ini
lebih hangat diperbincakan apabila dikaitkan dengan Madinah sebagai basis wilayah
dakwah nabi Muhammad SAW. Pertanyaan dualistik yang muncul biasanya adalah
apakah Madinah itu negara atau tidak. Untuk menjawabnya perlu diutarakan pertanyaan
berikut; apa standar penentuan itu sebuah negara atau tidak, apakah versi Islam atau
bukan...?. untuk membuka wacana disini saya mengkilas balikkan dengan melihat
historisasi pergumulan kehidupan dan interaksi yang terjadi di Madinah pada masa Nabi
berikut masa khulafaurrasyidin.
Di Madinah Rasulullah SAW membangun peradaban baru yang di dasarkan
kepada Islam. Rasulullah SAW menjadi pemimpin yang bertanggungjawab mengurus
urusan umat (rakyat) secara keseluruhan. Sementara hukum yang berlaku adalah hukum
Islam. Keberadaan pemimpin , rakyat dan hukum ini cukup untuk mengatakan apa yang
dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah adalah sebuah negara atau memenuhi
karakteristik sebuah negara.
Menarik diperhatikan adalah komunitas (dalam bahasa kecil) atau negara (dalam
bahasa besar) yang dibangun Rasulullah SAW ini dihuni oleh warga yang beragam
(pluralitas bukan pluralisme). Terdapat Yahudi Bani Auf, Yahudi Bani Najjar, termasuk
masih terdadapat orang-orang musyrik penyembah berhala. Namun pluralitas ini tidak
menghalangi pemberlakuan hukum Islam oleh negara. Sebab hukum Islam memang
bukan hanya untuk muslim tapi merupakan rahmat bagi seluruh manusia (rahmatan lil
‘alamin), termasuk non muslim.
Bahwa yang berlaku adalah hukum Islam tampak dari salah satu point penting
dari piagam Madinah (watsiqoh al madinah). Sebagaimana dalam Sirah Ibnu Hisyam
disebutkan apabila muncul perselisihan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam
perjanjian wajib dikembalikan kepada Allah dan Rasulullah SAW.
Yang membedakan dengan konsep negara nation-state, wilayah kekuasaan
negara Islam ini tidak berhenti pada batasan-batasan kebangsaan, tapi meluas sebagai
konsekuensi kewajiban mendakwah Islam ke seluruh penjuruh dunia. Jumlah penduduk
yang masih sedikit di masa Rasul dengan batas wilayah masih sekitar Madinah, tidak
menjadi alasan untuk mengatakan bahwa itu adalah negara. Bukankah Singapura, Brunai
Darussalam, Swiss adalah tetap dikatakan negara meskipun penduduknya sedikit...?,
Apalagi kemudian negara Islam dimasa Khulafaurrasyidin dan khalifah selanjutnya
meluas hampir mencapai 2/3 dunia dengan jutaan orang penduduknya ?
Dalam perjalannannya, Madinah tampak jelas dari apa yang dipraktikkan
Rasulullah SAW sebagaimana lazimnya kepala negara. Rasulullah SAW memimpin kaum
muslimin, mengatur. urusan-urusan dan kepentingan rakyatnya, memenuhi kebutuhan
pokok, menjamin keamanan dan kesehatan dan melindungi penduduk Madinah.
Rasulullah SAW menjadi hakim (qadhi) saat terjadi perselisihan antara rakyatnya,
termasuk mengangkat Ali bin Abi Tholib, Mu’adz bin Jabal, dan Abu Musa al Asy’ari
sebagai qodhi di di Yaman. Untuk membantu pemerintahannya Rasululah SAW
mengangkat Mu’ad bin Jabal menjadi wali (setingkat gubernur) di Janad, Kholid bin Walid
sebagai amil (setingkat walikota) di Shun’a, Ziyad bin Lubaid wali di Hadramaut, Abu
Dujanah sebagai amil di Madinah.
Dalam politik luar Madinah, Rasulullah saw mengirim surat-surat diplomatik,
utusan diplomatik, yang intinya mengajak wilayah dan kerajaan lain untuk memeluk
agama Islam. Termasuk menjadi amirul jihad (pemimpin perang) dalam berbagai
pertempuran. Mengirim Hamzah bin Abdul Muthalib dan sahabat lainnya dalam
detasemen menyerang Quraisy, mengutus antara lain Zaid bin Haritsah menyerang
Romawi, Khalid bin Walid menyerang Dumatul Jandal. Semua ini merupakan fakta tak
terbantahkan bahwa (menurut pendukungnya) Madinah adalah sebuah negara.
Adapun kewajiban mendirikan negara Islam yang kemudian disebut juga sebagai
Khilafah Islam adalah merupakan konsekuensi dari kewajiban menerapkan seluruh
syariah Islam sebagai bukti keimanan seorang muslim. Keberadaan negara (kekuasaan)
adalah hal yang mutlak untuk itu. Kewajiban syariah Islam seperti dalam menetapkan
mata uang berdasarkan dinar (emas) dan dirham (perak), mengadili pihak yang
bersengketa, menjatuhkan hukuman terhadap pelaku kriminal, mengirim pasukan,
menjamin pendistribusian harta di tengah masyarakat, menjamin kebutuhan pokok
rakyat adalah masuk dalam wewenang negara bukan kelompok atau individu.
Dalam perjalanannya madinah mencatat langkh-langkah taktis yang dilakukan
nabi dalam mengatur kehidupan dan keberlanjutannya di Madinah, diantaranya:
A. Pembinaan Masjid
Peristiwa hijrah telah menyebabkan penyebaran agama Islam semakin meluas
terutamanya dengan terbinanya Masjid Quba dan Masjid Madinah yang menjadi
tempat ibadat dan penyebaran agama Islam. Kaum Ansar di Madinah menyambut
Muhajirin dari Mekah dan buat pertama kali, kegiatan dakwah dapat dilakukan
secara terbuka. Kaum Ansar banyak berkorban untuk mengembangkan agama
Islam.
Setelah tiba ke Madinah Nabi Muhammad SAW telah membina masjid-masjid
yang bukan sahaja menjadi tempat ibadat dan penyebaran agama Islam tetapi
juga digunakan untuk menyebarkan pendidikan dan ilmu pengetahuan Islam.
B. Pembentukan Ummah (persaudaraan)
Nabi Muhammad adalah seorang negarawan. Sebagai langkah pertama terhadap
penyatuan masyarakat Islam di Madinah, Nabi Muhammad SAW
mempersaudarakan kaum Anshar dengan kaum Muhajirin :
Muahajirin dengan Muhajirin.
Ansar dengan Ansar.
Muhajirin dengan Ansar.
Semangat Asabiyah telah digantikan dengan semangat ummah mengikut akidah
Islam. Hubungan persaudaraan mengatasi masalah perbedaan dari segi sosial
dan ekonomi. Kedua-dua golongan bergaul dan bekerjasama untuk kebaikan
agama Islam dan negara.
C. Mewujudkan hukum legal (Piagam Madinah)
Perwujudan sebuah piagam untuk dijadikan panduan untuk membentukkan
sebuah negara Islam yang berdaulat. Piagam Madinah bukan saja membentukkan
persaudaraan antara Anshar dan Muhajirin tetapi juga perpaduan antara orang
Islam dengan orang bukan Islam terutamanya orang Yahudi. Kaum Yahudi
diberikan kebebasan mengamalkan ibadat mengikut agama mereka selama
mereka mematuhi undang-undang Islam dan peraturan yang diterima umum.
Orang Islam dan bukan Islam dapat hidup secara aman damai dan bebas
menjalankan aktiviti masing-masing. Keselamatan penduduk Madinah terjamin
dan mereka bertanggungjawab mempertahankan negara Madinah daripada
serangan musuh. Penduduk Madinah juga mengakui Nabi Muhammad SAW
sebagai pemimpin agama dan ketua negara. Dengan pengakuan itu Nabi telah
menjadi pemimpin yang berwibawa dalam urusan pentadbiran dan pemerintahan
negara Islam Madinah.
D. Mengasaskan Penyelesaian Masalah Melalui Musyawarah
Baginda berjaya mengasaskan sistem musyawarah dalam segala hal-hal politik.
Dalam hubungan dengan kaum Yahudi semasa Perang Badar, Nabi Muhammad
SAW tidak menunjukkan permusuhannya terhadap kaum Yahudi tetapi terus
mengadakan perundingannya dengan mereka. Hanya setelah perundingan gagal
barulah mereka disingkirkan secara terhormat dari Madinah. Baginda juga
menjalankan musyawarah semasa mewujudkan persaudaraan antara Ansar dan
Muhajirin serta antara Aus dan Khazraj. Konsep musyawarah terbayang dalam
hubungan politik antarabangsa.
E. Mewujudkan Tentara Islam di Madinah
Baginda juga adalah seorang pemimpin tentera Islam yang menyertai beberapa
ekspedisi ketenteraan untuk mempertahankan kesucian agama Islam daripada
ancaman dan serangan musuh. Dalam mempertahankan kedaulatan negara Islam
Madinah. Baginda merupakan seorang panglima tentera dan ahli strategi dalam
bidang ketenteraan.
F. Mengadakan Hubungan Luar
Baginda adalah seorang diplomat yang mengambil inisiatif untuk menghantar
perwakilan ke luar seperti Mesir, Byzantine, dan Parsi.
G. Menyusun semula struktur ekonomi Madinah
Penyatuan masyarakat yang berlaku telah mewujudkan semangat saling
membantu sehingga meliputi segenap bidang.Golongan Muhajirin bergiat dalam
bidang pertanian. Nabi menggalakkan umat Islam bergiat dalam bidang
perniagaan.Umat Islam menguasai semula kawasan subur dan oasis daripada
penguasaan orang Yahudi dengan cara membelinya semula.
Langkah-langkah yang dilakukan Rasulullah untuk membentuk masyarakat
Madinah adalah membangun kesatuan internal dengan cara mempersaudarakan
orang-orang Muhajirin dan Anshar. Kemudian Rasulullah setelah dapat
membentuk Madinah dan untuk mengatur permerintahan semua elemen
masyarakat Madinah yaitu membuat dokumen ketentuan hidup bersama yang
ditandatangani oleh Nabi yang dikenal dengan konstitusi (Madinah).
Dari sejarah itu, menunjukkan bahwa betapa kuatnya jalinan kohesitas di antara
elemen masyarakat Madinah yang majemuk baik ditinjau dari segi keturunan,
agama maupun dari segi budaya selama kepemimpinan Rasulullah.
Keanekaragaman sosial yang tercermin dengan komposisi warga yang terdiri dari
Arab Muslim, Yahudi, dan Arab non Muslim mampu diikat oleh tali kepentingan,
cita-cita bersama, kewajiban menaati kontrak sosial yang dibuat bersama. Mereka
menjadi bangunan sosial yang harmonis lantaran didasari sikap saling
menghargai diantara berbagai elemen masyarakat yang plural. Mereka juga
menunjukkan satu kata dan perbuatan dalam menaati konstitusi yang telah
mereka rumuskan.
Sekarang, kalau kita kembalikan dengan temuan Freedom House yang terangkum
dalam Index of Politic Right and Civil Liberty dengan kesimpulan bahwa selama lebih dari
lima tahun negara muslim tidak ada yang mampu menjalankan demokrasi kecuali Mali.
Namun melihat realita secara sekilas tentang perjalanan Madinah yang di pimpin Nabi
apakah tidak layak disebut Negara...?, kalau tidak, maka kembali saya pertanyakan yang
apa yang menjadi standar dalm menentukan sebuah negara, apaka versi Islam atau versi
yang lain (Barat). Saya lebih senada dengan apa yang diutarakan al-Jabiri bahwa kita
harus terlepas dari toeri dan knsep manapun dan kita bangun teori dan konsep yang
sesuai dengan framework dan worlview masyarakat muslim dengan melihat sejarah
yang sudah diraih ummat Islam pada masa awal. Kalua Barat menggaungkan demokrasi
versi mereka, maka Islam juga menyuarakan Demokrasi ala Islam. Manakala mereka
merumuskan konsep negara versi mereka, maka Islampun harus merumuskan konsep
negara versi Islam sendiri. Sehingga dalam perdebatan wacana yang kita usung adalah
konsep dan teori Islam sebagai sanggahan atau rival dari konsep dan teori non Islam.
Disinilah kita mempunyai ketegasan dan ketuntasan dalam konsep demokrasi dalam
sebuah negara, bukan mencaplok teori dan konsep dari luar apakanlagi mencoba
menerapkannya yang pada akhirnya kita akan kecolongan dan kebablasan atau menjadi
The Sick Men.
Untuk lebih mendalam lagi pemaham kita tentang relasi agama dan negara,
dapat kita lihat dalam pergumulan perdebatan wacana demokrasi vs Islam yang mana
demokrasi dianggap sebagai satu-satunya sistem pemerintahan sah yang diakui secara
universal. Bagaimana demokrasi relevan dengan sistem politik Islam…?, bukankah
demokrasi bukan berasal dari Islam…?, bagaimana memahami secara tepat hubungan
antara demokrasi dan Islam.
5. JAWABAN UNTUK NOMOR LIMA
Seperti yang kita ketahui tasawuf sebelum Ibn ‘Arabi banyak sekali terfokus pada
bimbingan amali atau panduan praktis untuk para murid ataupun berbagai ungkapan sufi
yang mengekspresikan al-ahwâl (keadaan-keadaan spiritual) atau al-maqam
(pengalaman spiritual) yang telah mereka alami. Tetapi dengan keberadaan Ibn ‘Arabi,
tiba-tiba kita berhadapan dengan doktrin ‘irfan, kosmologi, termasuk psikologi dan
antropologi yang sangat monumental, hingga menjadi turning point dalam tradisi
tasawuf. Ibn ‘Arabi telah mengekspresikan doktrin tasawuf dalam bentuk dan rumusan
teoretis. Doktrin tasawuf—yang sebelumnya hanya secara implisit terkandung dalam
kata-kata para syaikh sufi—di tangan Ibn ‘Arabi telah diformulasikan secara benderang.
Ibn ‘Arabi telah menjadi pemapar par excellence tasawuf Islam.
Dengan kata lain, mengeksplisitkan doktrin irfan, hanya menunjukkan bahwa
masyarakat pada masa itu sudah hilang akses pada fakultas intuisi dan batin. Maka itu
mereka membutuhkan penjelasan yang teoretis yang sangat elaboratif. Menurut Nasr,
keberadaan doktrin irfan yang telah diformulasikan Ibn ‘Arabi bisa memelihara
keterjagaan auntentisitas tradisi tasawuf di tengah manusia-manusia yang sering berada
dalam bahaya penyimpangan lewat pikiran yang tidak benar dan juga karena mereka
sudah kehilangan akses pada intuisi intelektual.
Melalui doktrin irfan Ibn ‘Arabi, tasawuf telah mendominasi kehidupan spiritual
dan intelektual Islam sampai sekarang. Sekali lagi, yang ingin ditegaskan di sini, Ibn
‘Arabi telah menjadikan esoterisme sebagai poros dan pusat dimensi fundamental
sekaligus esensial dalam Islam. Kiprah dalam mensintesakan tasawuf dan filsafat tidak
lepas dari dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal.
Secara internal tasawuf terpengaruh oleh tindakan nabi dan para sahabatnya
yang berlandaskan pada hikmah dan mauidzah yang terdapat dalam Al qur’an dan Al
sunnah. Banyak ayat Al Qur’an yang mereka gunakan sebagai dalil untuk justifikasi atas
tindakan maupun perilaku mereka. Misalnya saja Al Muzammil : 1-8 yang mengajak
untuk berdzikir dan beribadah. Atau surat Al Mujadalah : 7 yang menggambarkan
kedekatan hubungan manusia dengan Allah. Adapun hadist-hadist yang dijadikan dasar
pemikiran mereka tentang tujuan dari penciptaan makluk, seperti hadist qudsi yang
berbunyi : “Aku (bagaikan) gudang yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenali,
untuk itu aku menciptakan makluk, kemudian mereka mengenalku”.
Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tasawuf diantaranya adalah tradisi
Kristen yang sudah lebih dulu muncul di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Peradaban
India-Cina. Selain itu yang begitu terlihat dalam faktor eksternal ini adalah pengaruh dari
filsafat Yunani, terutama Plato, Aristoteles dan Neoplatonisme. Klasifikasi faktor internal
dan eksternal ini ditujuakan untuk tasawuf secara umum, meski demikian pemikiran
tasawuf Ibnu ‘Arabi juga tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor yang telah disebut di
atas.
Secara eksplisit A.E. Affifi memaparkan sumber-sumber yang mempengaruhi
pemikiran Ibnu ‘Arabi dalam dua kelompok besar yaitu : sumber-sumber dari Islam dan
sumber-sumber non Islam. Sumber-sumber Islam disebutkan ada tujuh macam yaitu :
Qur’an dan Hadist-hadist Nabi, Sufi-sufi pantheistik, seperti Hallaj, Bayazid dan
sebagainya. Asketik-asketik muslim, Theologia-theologia skolastik seperti Asy’ari dan
Mu’tazilah, Carmathian dan Ismailian (terutama Ikhwanus Shafa), Aristotelian dan
Neoplatonik Persia, terutama Ibnu Sina Isyraqiyah.
Sedangkan sumner-sumber non Islam adalah filsafat hellenistik, terutama
Neoplatonik dan filsafat Pilo dan Stoies. AE. Affifi tidak memberi penjelasan secara rinci
mengenai unsur-unsur tersebut, tetapi menurutnya pada sisi filosofis Ibnu ‘Arabi lebih
merupakan seorang Neoplatonis sebagaimana yang di tunjukkan oleh aliran Ikhwanus
Shafa. Pada sisi mistis gayanya sama dengan Hallaj, tetapi tidak dalam emosionalnya,
karena Ibnu ‘Arabi jauh lebih besar sikap intelektualnya. Pada sisi logika serta dalam hal
etika dan eskatologinya, Ibnu ‘Arabi menggunakan banyak sekali theologia-theologia
muslim.
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa Ibnu ‘Arabi sosok ekletik yang berusaha memadukan berbagai unsur – unsur pemikiran. Disamping ajaran Islam yang menjadi unsur fundamental dari permikirannya, unsur-unsur tersebut juga berasal dari ajaran Kristen kuno, Filsafat Yunani, Persia dan India. Namun kita harus mengakui bahwa pemikirannya ini tidak semata-mata diambil secara apa adanya atau asal-asalan dari sumbernya. Oleh Ibnu ‘Arabi setiap unsur yang diambil disesuaikan dengan proporsinya kemudian dipadukan, diolah dan di analisa sehingga menghasilkan formula yang dapat diklaim otentik sebagai hasil pemikirannya. Fakta sejarah membuktikan, meskipun dalam penyampaiannya cenderung tidak beraturan dan sangat sulit dipahami, ajaran Ibnu ‘Arabi dinyatakan oleh banyak pemikir sebagai doktrin yang paling lengkap dan matang.
Pemikiran Ibnu ‘Arabi digambarkan sebagai puncak dari penggambaran spritual dan intelektual dari tokoh tokoh sebelumnya.
Tasawuf Ibn ‘Arabi menarik antusiasme para sufi dan salik di Dunia Islam, terutama melalui para muridnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Murid dan pengikutnya telah memberikan analisis, penafsiran, dan ulasan atas karya-karyanya. Di antara murid-muridnya adalah Shadr al-Dîn al-Qunawi, Mu`yid al-Dîn al-Jandi, ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî , Syaraf al-Dîn Dawûd al-Qaysharî, Sayyid Haydar Amulî, ‘Abd al-Karîm al-Jîlî, ‘Abd al-Rahmân al-Jâmî, ‘Abd al-Wahhâb al-Sya`rânî, ‘Abd al-Ghanî al-Nâbulusî dan lain-lainnya.
Melalui sufi dari Gujarat, India, Yunasril Ali mengatakan, Muhammad ibn Fadl Allâh al-Burhanpûrî, ajaran tasawuf Ibn’Arabî menyebar di Asia Selatan. Di sini, tasawuf Ibn al-‘Arabî diulas dan diperkenalkan oleh sejumlah ulama sufi seperti Hamzah Fansûri, Syams al-Dîn al-Sumatrânî, ‘Abd al-Shamad al-Fâlimbânî, Dawûd al-Fathânî, Muhammad Nafîs al-Banjârî, dan yang lainnya.
Pengaruh Ibn ’Arabi tidak hanya menancap di lingkungan tradisi teologi Sunni, tetapi merembet jauh ke negeri Persia yang mayoritas bermazhab Syi’ah. Salah seorang filosof Iran yang dipengaruhi Ibn ’Arabi adalah Mulla Shadra. Ia membangun suatu mazhab baru. Dalam mazhab yang disebut Shadra sendiri sebagai Hikmah al-Muta’âliyah, terdapat seluruh unsur aliran-aliran pemikiran Islam sebelum yang membentuk sebuah mazhab independen. Karena itu, mereka yang menganggapnya sebagai seorang pengikut filsafat Ibn Sina ataupun pembaharunya, atau filsafatnya sebagai pelengkap filsafat Ibn Sina, terjebak pada pendapat yang keliru. Karena mereka tidak mengetahui filsafat Mulla Shadra.
Filsafat Shadra merupakan “perpaduan” dari berbagai aliran pemikiran seperti aliran filsafat Ibn Sina, kalam Syi’ah, dan tasawuf Ibn ‘Arabi. Jika kita mencoba mengamati dengan jeli pengaruh yang ditinggalkan oleh Ibnu Arabi terhadap pemikiran Islam, goresan diatas tidaklah cukup. Sehingga, cukuplah kiranya saya sebutkan beberapa pernyataan para ilmuan di antaranya, yaitu:
1. Seorang orientalis spanyol, Juan Rivera, menyatakan bahwa Muhyiddin Ibnu Arabi telah memberikan pengaruh eksplisit dalam filsafat Raimundo Lulio. Mereka yang membuka beberapa tulisan Raimundo Lulio akan mendapati bahwa ia mengikuti pemikiran Ibnu Arabi (Zakhair al-A'laq, hal. 175, Pentahqiq al-Syanqiriy 1995).
2. Miguel Asin Palacios, juga seorang orientalis Spanyol, menyatakan bahwa Ibnu Arabi telah meninggalkan pengaruh besar dalam buku-buku Dante, seperti The Divine Comedy dan diikuti oleh banyak orang. Ia telah membuat sebuah daftar rinci terhadap pengaruh Ibnu Arabi terutama buku al-Futuhat al-Makkiyah dan buku Rihlah ila Mamlakatillah.
3. Seorang orientalis Jepang, Toshihiko Izutsu, menyatakan bahwa Taoisme dan perkembangannya telah dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Arabi dalam beberapa bidang, filsafat, tasawuf, kognitif, monotheis, hak mutlak dan kehendak. (Dzakhair al-A'laq, h. 18).
4. Spinoza juga terpengaruh dengan konsep Panteisme Ibnu Arabi. Ia juga terpengaruh dalam konsiliasi antara kebenaran filosofis dan kebenaran kognitif Ibn Rusyd. Dr. Ibrahim Madkur telah menjelaskan secara rinci dan mendalam hubungan antara Ibn Arabi dan Spinoza. (Wihdat al-Wujud bain Ibn Araby wa Spinoza, Kairo: 1972).
5. Gottfried Leibniz juga terpengaruh oleh pemikiran Ibnu Arabi. Hal ini sudah dapat terlihat dengan membandingkan secara sederhana antara keduanya. (Mahmud Qasim, Kairo, 1972).
Demikianlah pengaruh besar yang telah ditorehkan Ibn Arabi terhadap perkembangan islam dari masa ke masa semoga Allah membalas segala kebaikan dan segala hal yang telah beliau torehkan untuk perkembangan Islam.
6. JAWABAN UNTUK NOMOR ENAM
Berbicara tentang Turki Usmani lebih-lebih berkaitan dengan hukum Islam yang
berkembang pada saat itu, maka kita perlu memposisikan turki Usmani dalam ranah
sejarah dengan melihat kilas baliknya pada periode Rasulullah saw dan para sahabat.
Pada periode Rasulullah saw dan para sahabat mereka menghadapi persoalan
hidup dalam setiap kesempatan dengan bimbingan kitabullah dan sunnah Nabi
Muhammad saw untuk mengetahui hukum syara’ pada waktu itu cukup bagi umat Islam
langsung menyimak teks (bacaan), tafsiran dan penjelasan Nabi mengenai al-Qur’an
sebagai sumber hukum ditunjang oleh suasana kehidupan sosial ketika itu masih
dibawahi bimbingan Nabi sebagai utusan Allah yang memiliki kepribadian teguh untuk
tetap pada tuntutan Allah swt. Adapun setelah Rasulullah wafat, maka para sahabat
berfungsi sebagai pemberi arah (petunjuk), mereka memelihara al-Qur’an, hadis dan
hukum-hukum melalui istimbat untuk berjalan pada jalan yang lurus.
Seiring dengan perkembangan zaman dan perluasan wilayah Islam, masalah
hukum yang dihadapi umat pun semakin kompleks. Setiap menghadapi kasus masalah
yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah maka para tokoh
tasyri’ melakukan ijtihad baik secara individual maupun secara kolektif. Karena itu para
pemikir Islam siap berijtihad menjawab tantangan zaman, sehingga Islam tetap relevan
dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Tahap periodesasi hukumpun berkembang yang berlangsung dalam silih
bergantinya tampuk kepemimpinan umat Islam baik Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah
sampai pada masa Turki Usmani yang juga turut andil dalam mewarnai perkembangan
hukum Islam. Islamisasi yang telah dilancarkan oleh bangsa Turki Usmani mempunyai
arti yang sangat penting dalam sejarah perkembangan hukum Islam. Pada masa
pemerintahan Usmani telah dilakukan legislasi besar-besaran, diantaranya dalam bidang
hukum perdata Islam dengan merumuskan kodifikasi hukum bernama Majallah al-Ahkam
al-Adliyah.
Dalam perjalanan yang melatarbelakangi munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyah
adalah Gerakan Reformasi (Tanzimat) dan disusul dengan Taqnin (kodifikasi yang
bersifat legalitas) pada masa Sultan Abdulmejid I dan Abdulaziz (1839-76). Dalihnya
adalah pembaruan dan modernisasi. Ada sejumlah elemen penting dari Tanzimat ini,
yang tidak lain adalah penghentian hukum muamalat, digantikan dengan hukum sekuler.
Pertama-tama diadopsinya doktrin persamaan hak bagi warga nonmuslim, yang
berimpilkasi penghapusan jizyah, yakni pajak kepala bagi nonmuslim (1839). Ini menjadi
pintu masuk banyak hal: penghapusan hukum dzimmi (1857), izin pemilikan tanah bagi
orang asing (1867), pengenalan dan penerapan sistem peradilan sekuler yang
menggantikan peradilan Islam, dan pencetakan uang kertas kaime saat Istambul
dinyatakan bangkrut (1876). Sebelum itu semua, pada 1826, pemerintah sebelumnya,
Sultan Mahmud, lebih dulu dipaksa membubarkan'Tentara Jihad', Janissari; memisahkan
pendidikan Islam dan sekuler, serta mengadopsi cara hidup sekuler Eropa.
Dalam kemelut Tanzimat itu para hakim mengalami banyak persoalan di
lapangan, karena berpegang pada Hukum Perdata (1850) dan Hukum Dagang (1861)
baru yang merujuk pada hukum sekuler yang diadopsi dari Eropa (Swiss). Mereka tidak
mengerti hukum muamalat. Maka, dibentuklah sebuah Komisi Yuris, dengan mandat
mengkodifikasi hukum mauamalat yang sebelumnya berlaku berbada-abad, tapi
berserakan. Hasilnya adalah sebuah kitab Hukum Perdatan Islam, berjudul asli; Mejelle
Ahkame Adliye yang berasaskan mazdhab Hanafi.
Ahmad Zarqa menyebutkan bahwa latar belakang yang melandasi pemikiran
pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang
didasarkan Mazhab Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya beberapa
pendapat dalam Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memilih
hukum yang akan diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi. Atas dasar ini,
pemerintah Turki Usmani meminta ulama untuk mengkodifikasikan fiqih dalam Mazhab
Hanafi tersebut dan memilih pendapat yang paling sesuai dengan perkembangan zaman
ketika itu. Namun hal ini kiranya merupakan dampak dari adanya tanzimat tersebut dari
pemerintah Turki Usmani sendiri.
Mejelle Alkahme Adliye selesai disusun 1869, dituntaskan pada 1885, di masa
Sultan Abdul Hamid II, sultan terakhir yang berupaya menegakkan kembali syariat Islam.
Mejelle telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Majallah Al-Ahkam al-Adliya), Inggris
(The Mejelle and A Complete Code of Islamic Civil Law) dan bahasa Melayu di negara
bagian Johor, Malaysia, yang jadi rujukan hukum, sejak 1913 (Majalah Ahkam Johor). Di
Turki sendiri, meskipun sistem hukum perdata sekuler semakin mencengkeram, Mejelle
terus berlaku sampai 1926, dua tahun sejak resmi berakhirnya Kesultanan Utsmani.
Kodifikasi ini terdiri atas enam belas (16) buku, dua belas buku mengatur urusan
komersial, dan empat buku terakhir mengatur soal terakhir soal-soal penyelesaian
sengketa dan prosedur berperkara (sulh dan ibra').
Buku I tentang Perdagangan (Buyu'). Lalu beberapa masalah tentang sewa-
menyewa (Buku II Ijarah), tentang perwalian (Buku III Kafalah), pemindahan utang (Buku
IV Hawalah), serta gadai (Buku V Rahn). Beberapa buku selanjutnya mengatur soal-soal
penitipan (Buku VI Amanah), soal hibah (Buku VII Hibah), tentang Perbuatan Curang dan
Perusakan (Buku VIII Ghasab dan Itlaf), kemudian soal larangan, pemaksaan, dan
peringatan (Buku IX).
Kemudian satu buku mengatur soal kerja sama usaha yang terdiri atas dua
bentuk perserikatan dan investasi perdagangan (Buku X Syirkat dan Mudarabah),
diteruskan dengan soal keagenan (Buku XI Wakalah). Empat buku terakhir termasuk soal
kompromi (Buku XII), soal pengakuan (Buku XIII), gugatan atau dakwaan (Buku XIV),
tentang bukti dan sumpah (Buku XV), serta terakhir tugas dan wewenang hakim (Buku
XVI).
Versi bahasa Inggris ditulis sebagai berikut: Book 1: Sale, Book 2: Hire, Book 3:
Guarantee, Book 4: Transfer of Debt, Book 5: Pledges, Book 6: Trust and trusteeship,
Book 7: Gift, Book 8: Wrongful Appropriation and Destructions, Book 9: Interdiction,
Constraint and Pre-emption, Book 10: Joint Ownership, Book 11: Agency, Book 12:
Settlement and Release, Book 13: Admissions, Book 14: Actions, Book 15: Evidence and
Administration of an Oath, Book 16: Administration of Justice by the Courts.
Sedangkan dalam versi bahasa Arab sebagai berikut:
لكتاب األول في البيوع وينقس[م إلى مقدم[ة وس[بعة أب[واب، الكت[اب الث[اني في اإلج[ارات ويش[مل على مقدم[ة
وثمانية أبواب، الكتاب الثالث في الكفالة ويحتوي على مقدمة وثالثة أبواب، الكت[[اب الراب[[ع في الحوال[[ة ويحت[[وي
على مقدمة وب[[ابين، الكت[[اب الخ[[امس في ال[[رهن ويش[[تمل على، مقدم[[ة وأربع[[ة أب[[واب، الكت[[اب الس[[ادس في
األمانات ويشتمل على مقدمة وثالثة أبواب، الكتاب السابع في الهبة ويشتمل على مقدمة وثالث[[ة أب[[واب، الكت[[اب
الثامن في الغصب واإلتالف، ويشتمل على مقدمة وبابين، الكتاب التاسع في الحجر واالكراه والش[[فعة، ويش[[تمل
، الكت[[اب العاش[[ر في أن[[واع الش[[ركات، ويش[[تمل على مقدم[[ة وثماني[[ة أب[[واب، الكت[[اب على مقدمة وثالث أبواب�
الحادي عشر في الوكالة، ويشتمل على مقدمة وثالثة أبواب، الكتاب الثاني عش[[ر في الص[[لح واإلب[[راء، ويش[[تمل
على مقدمة وأربعة أبواب، الكتاب الثالث عشر في اإلقرار، ويشتمل على أربعة أبواب، الكت[[اب الراب[[ع عش[[ر في
الدعوى ويشتمل على مقدمة وبابين، الكتاب الخامس عشر في البينات والتحلي[[ف ويش[[تمل على مقدم[ة وأربع[[ة
أبواب، الكتاب السادس عشر في القضاء، ويشتمل على مقدمة وأربعة أبواب
Secara keseluruhan Mejelle memuat 1851 pasal (edisi Inggris, 379 halaman),
didahului dengan pasal-pasal tentang ketentuan umum, baik pada setiap Buku, maupun
sebagai Pendahuluan Mejelle itu sendiri, yang berisi prinsip dan kaidah hukum (qawaid)
yang berlaku, terdiri atas 100 pasal. Mejelle juga dilengkapi dengan daftar istilah
(Glossary) alfabetis. Jumlah pasal yang mengatur soal transaksi di pasar merupakan
yang paling banyak jumlahnya. Buku I tentang perdagangan, misalnya, terdiri atas 300
pasal, Buku II tentang sewa-menyewa terdiri atas 207 pasal.
Mejelle merupakan tata hukum muamalah secara luas, kecuali soal hukum
keluarga yang terdiri atas munakahat (pernihakan) dan faraid (warisan), yang diatur
secara terpisah dalam kitab lain yaitu tentang undang-undang keluarga (Qanunul ‘Ailat)
yang dikhususkan untuk masalah-masalah perkawinan dan putusnya perkawinan.
Banyak ketentuan-ketentuannya yang diambil bukan dari mazhab Hanafi, seperti tidak
sahnya perkawinan orang yang dipaksa dan tidak sahnya talak yang dijatuhkannya.
Jika pada masa Abbasiyah sumber hukum yang digunakan dalam menetapkan
hukum pada suatu perkara beragam sesuai dengan mazhab yang dianut oleh hakim di
pengadilan tersebut, maka pada masa Turki Usmani seluruh hakim berkewajiban untuk
menerapkan materi hukum yang telah dikodifikasikan tersebut.
Setelah perang Dunia II, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara Arab.
Sebelumnya, kodifikasi hukum Islam diawali oleh Mesir pada tahun 1875 dan diikuti pula
dengan kodifikasi tahun 1883. kodifikasi hukum di Mesir ini merupakan campuran antara
hukum Islam dan hukum Barat (Eropa). Setelah itu pada tahun 1920, Muhammad Qudri
Pasya, seorang pakar hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir di bidang perdata
yang diambil secara murni dari hukum Islam (fiqih). Lebih lanjut kodifikasi hukum di
Mesir mengalami berbagaii perubahan antara lain pada tahun 1920, 1929, 1946 dan
1952. di irak pun muncul kodifikasi hukum Islam yaitu pada tahun 1951 dan 1959.
kodifikasi hukum Islam di yordania pertama kali dilakukan pada tahun 1951 dan
mengalami perubahan pada tahun 1976. Libanon, yang merupakan bagian kerajaan
Turki Usmani, melakukan kodifikasi pula pada tahun 1917 dan 1934. kemudian suriah
mulai mengkodifikasi hukum Islam pada tahun 1949, Libya pada tahunn 1953, Maroko
pada tahun 1913, Sudan pada tahun 1967 dan negara-negara Islam lainnya.
Di Asia tenggara, malaysia tercatat sebagai negara pertama yang melakukan
pembaruan hukum Islam, terutama hal-hal yang berhubungan dengan hukum-hukum
keluarga. Hal ini dapat dilihat dalam Muhammadan Marriage Ordinance Nomor V tahun
1880 yang diperuntukkan bagi daerah pulau Penag, Singapura dan Malaka. Sedangkan
untuk daerah Melayu bersatu (Perak, Selagor, Negeri Sembilan, dan Pahang)
diberlakukan Regestration of Muhammadan Marriage and Divorces Enactment 1885.
Sedangkan untuk daerah negara-negara Melayu tidak bersekutu (Kelantan, Perlis,
Trenggono, dan Johor) diberlakukan the Devorces Regulation tahun 1907. Bagaimana
dengan Indonesia...?.
Dibakukan dan dibukukannya hukum pada Dinasti Turki Usmani ini sangat
berpengaruh pada perkembangan hukum Islam berikutnya yang mana model kodifikasi
hukum yang dilakukan dan diterapkan oleh Turki Usmani di amini dan dikembangkan
oleh negara-negara muslim lainnya. Kodifikasi hukumpun berkembang sesuai dengan
keadaan masa dan tempat yang mana asal dari kodifikasi tersebut menitikberatkan pada
persaingan antara hukum sekuler dan mempertahankan hukum Islam yang kemudian
dilegislasikan atas nama hukum negara. Dari kodifikasi dan legislasi hukum khususnya
dalam konteks Indonesia tentu ada pasang surutnya serta fositif dan negatif dari
keduanya.
7. JAWABAN UNTUK NOMOR TUJUH
Menyorot legislasi hukum Islam, khususnya dalam konteks ke Indonesiaan serta
pentingnya legislasi hukum Islam itu sendiri dapat kita lihat melalui pendekatan historis
dan tinjauan terhadap esensi, eksistensi, pelembagaan, pembaharuan, pengembangan
dan prospek penerapannya dalam konteks Indonesia
Pertama-tama kita melihat posisi legislasi hukum itu dalam perjalanan sejarah yang
dapat kita lihat melalui periodisasi hukum Islam (fiqih), sebgai berikut:
Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW sampai
wafatnya beliau (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum
sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah
Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW.
Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi
Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk
pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqih pada periode ini,
disamping Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya
berbagai ijtihad para sahabat.
Periode awal pertumbuahn fiqih. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam.
Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada
pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini
termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode
sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad
yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu
pengetahuan berkembang.
Periode kemunduran. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai
munculnya Majalah al-Ahkam al- ‘Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki
Usmani). Perkembangan fiqih pada periode ini merupakan lanjutan dari
perkembangan fiqih yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini
dalam sejarah perkembangan fiqih dikenal juga dengan periode taqlid.
Periode pengkodifikasian fiqih. Periode ini di mulai sejak munculnya Majallah al-
Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqih pada masa ini
semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi
hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang
pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif
antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit
demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim. Disamping
itu, bermunculan pula ulama fiqih yang menghendaki terlepasnya pemikiran
ulama fiqih dari keterikatan mazhab tertentu dan mencanangkan gerakan ijtihad
digairahkan kembali.
Mustafa Ahmad al-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai
perkembangan fiqih pada periode ini.
Munculnya upaya pengkodifikasian fiqih sesuai dengan tuntutan situasi dan
zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah di
Kerajaan Turki Usmani yang memuat persoalan-persoalan muamalah (hukum
perdata).
Upaya pengkodifikasian fiqih semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi
Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada
yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengkodifikasian
hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum
pidana dan hukum administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam hukum
perdata tersebut menyangkut persoalan ekonomi/perdagangan, pemilikan tanah,
dan persoalan yang berkaitan dengan hukum acara. Meluasnya pengkodifikasian
hukum di bidang perekonomian dan perdagangan disebabkan karena meluasnya
hubungan ekonomi dan perdagangan di dalam dan luar negeri. Untuk itu,
penguasaan terhadap hak milik yang ada di dalam negeri juga diatur, seperti
pengadministrasian tanah-tanah rakyat dengan menetapkan berbagai peraturan
yang menyangkut pemilikan tanah, serta penyusunan perundang-undangan yang
berkaitan dengan tata cara berperkara di pengadilan. Akibat yang ditimbulkan
oleh pengkodifikasian hukum perdata di bidang perekonomian dan perdagangan
ini adalah semakin jumudnya fiqih di tangan para fuqaha Hanafi yang datang
belakangan (muta’akhkhirin) serta terhentinya upaya pembaruan hukum dan
bahkan upaya pen-tarjih-an hukum.
Terlepas dari hal tersebut, kodifikasi hukum tentu ada sisi positif dan negative.
Dalam pembahasan para ahli fiqih, dikemukakan beberapa sisi negatif kodifikasi hukum
Islam tersebut antara lain:
Munculnya kekakuan hukum.
Manusia dengan segala persoalan kehidupannya senantiasa berkemdang dan
perkembangan ini sering kali tidak diiringi dengan hukum yang mengaturnya.
Dalam persoalan ini ulama fiqih menyatakan, “Hukum bisa terbatas, sedangkan
kasus yang terjadi tidak terbatas.” Di sisi lain, fiqih Islam tidak dimaksudkan
untuk berlaku sepanjang masa, tetapi hanya untuk menjawab persoalan yang
timbul pada suatu kondisi, masa dan tempat tertentu. Oleh karena itu, hukum
senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi, tempat dan zaman yang lain. Tidak
jarang diteukan bahwa peristiwa yang menghendaki hukum lebih cepat
berkembang dibandingkan dengan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, kodifikasi
hukum bisa memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.
terhentinya upaya ijtihad.
Kodifikasi hukum Islam dapat mengakibatkan kemandekan upaya ijtihad
dikalangan ulama fiqih. Seorang ulama atau hakim bisa saja terpaku pada fiqih
yang telah dikodifikasi tersebut sehingga perkembangan berpikirnya pun mandek.
Munculnya persoalan taklid baru.
Kodifikasi hukum Islam bisa memunculkan persoalan taklid baru karena warga
negara yang terikat pada kodifiksi hukum tersebut hanya terikat pada satu
pendapat. Padahal fiqih Islam masih dapat berkembang, berbeda antara satu
pendapa dan pendapat lainnya, sehingga setiap orang dapat mengikuti pendapat
mana saja selama belum mampu berijtihad sendiri. Hal ini juga memberikan
kesan mengenai sempit dan sulitnya fiqih, serta berlawanan dengan ungkapan
iktilaf ala al-aimmah rahmah li al-ummah (perbedaan pendapat dikalangan ulama
merupakan rahmat bagi umat). Apabila suatu hukkum telah dikodifikasi, maka
hukum itu harus dipatuhi olehh seluruh warga negara dan bersifat mengikat bagi
para pelaku hukum. Apabila hakim menentukan hukum secara berbeda daengan
hukum yang telah dikodifikasi, maka hakim tersebut melanggar perundang-
undangan yang sah.
Disamping sisi negatif di atas, ulama fiqih juga mengemukakan sisi positif adanya
kodifikasi hukum Islam tersebut, antara lain :
memudahkan para praktisi hhukum untuk merujuk hukum sesuai dengan
keinginannya. Kitab-kitab fiqih yag tersebar di dunia Islam penuh dengan
perbedaan pendapat yang kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan.
Dengan adanya kodifikasi hukum, para praktisi hukum tidak perlu lagi mentarjih
berbagai pendapat dalam literatur fiqih.
Mengukuhkan fiqih Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fiqih
Islam penuh dengan perbedaan pendapat, bukan hanya antar mazhab, tetapi juga
perbedaan antarulama dalam mazhab yang sama, sehingga sulit untuk
menentukan pendapat terkuat dari sekian banyak pendapat dalam satu mazhab.
Keadaan seperti ini sangat menyulitkan praktisi hukum (apalagi orang awam)
untuk memilih hukum yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang itu
bermazhab Hambali atau Syafi’I, sehingga hasil ijtihad Mazhab Hanafi atau Maliki
tidak diterapkan kepadanya. Dalam kaitan ini, kodifikasi hukum Islam yang sesuai
dengan pendapat yang kuat akan lebih prakti dan mudah dirujuk oleh para
praktisi hukum, apabila di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum
memenuhi syarat-syarat mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktis hukum, yang selama ini
menjadi kendala dalam lembaga-lembaga hukum.
Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga-lembaga peradilan. Apabila hukum
dalam suatu negara tidah hanya satu, maka akan muncul perbedaan keputusan
antara satu peradilan dan peradilan lainnya. Hal ini bukan hanya membingungkan
umat, tetapi juga mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan
antara satu peradian dan peradilann lainnya. Dalam kaitan ini, Wahbah Zuhaili,
ahli fiqih dan usul fiqih kontemporer Suriah berkomentar bahwa kodifikasi hukum
di zaman sekarang merupakan tuntutan zaman dan tidak dapat dihindari karena
tidak semua orang mampu merujuk kitab-kitab fiqih dalam berbagai mazhab,
khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab. Namun demikian,
menurutnya, kodifikasi hukum Islam tidak bersifat kaku. Artinya, kalau
dikemudian hari ternyata tuntutan zaman dan perubahan masyarakat
menghendaki hukum lain dan penerapan sebagian materi hhukum yang telah
dikodifikasi tidak sesuai lagi dengan kemaslahatan masyarakat, maka pihak
pemerintah harus melakukan perubahan materi hukum tersebut.[8] Dalam kaitan
dengan ini, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah berlaku kaidah, “Perubahan
hukum sesuai perubahan situasi dan kondisi masyarakat dan lingkungannya.
Sekalipun ada kecemasan terhadap sisi-sisi negatif kodifikasi hukum Islam
tersebut, seperti mandeknya ijtihad dan tidak berkembangnya hukum, akhirnya ulama
Islam di zaman modern lebih banyak mendukung ide kodifikasi hukum di negeri masing-
masing karena terdesak oleh situasi dan kondisi sosio-kultural dan politik. Bahkan di
berbagai negara Islam, kodifikasi hukum disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan
bidangnya masing-masing, seperti kodifikasi bidang hukum perdata, pidana
perseorangan serta keluarga, peradilan, tata usaha negara, administrasi negara dan
keuangan negara.
Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, keberdayaanhukum Islam itu sendiri telah sejak lama memperoleh
tempat yang layak dalam kehidupan masyarakat seiring dengan berdirinya kerajaan-
kerajaan Islam, dan bahkan pernah sempat menjadi hukum resmi Negara.
Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yang kemudian berhasil
mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam tersebut, maka sedikit demi sedikit
hukum Islam mulai dipangkas, sampai akhirnya yang tertinggal-selain ibadah-hanya
sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama
sebagai pelaksananya.
Meskipun demikian, hukum Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah tidak
seutuhnya. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam tidak pernah mati dan bahkan
selalu hadir dalam kehidupan umat Islam dalam sistem politik apapun, baik masa
kolonialisme maupun masa kemerdekaan serta sampai masa kini.
Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam di Indonesia itu kemudian dibagi
menjadi dua:
Hukum Islam yang bersifat normatif, yaitu yang berkaitan dengan aspek
ibadah murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung kepada iman dan
kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya.
Hukum Islam yang bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan dengan
aspek muamalat (khususnya bidang perdata dan dipayakan pula dalam
bidang pidana sekalipun sampai sekarang masih dalam tahap perjuangan),
yang telah menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia.
Meskipun keduanya (hukum normative dan yuridis formal) masih mendapatkan
perbedaan dalam pemberlakuannya, namun keduanya itu sebenarnya dapat terlaksana
secara serentak di Indonesia sesuai dengan UUD 45 pasal 29 ayat 2.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa esensi hukum Islam Indonesia adalah
hukum-hukum Islam yang hidup dalam masyarakat Indonesia, baik yang bersifat
normatif maupun yuridis formal, yang konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan
yurisprudensi.
Adapun eksistensi hukum Islam di Indonesia yang sebagian daripadanya telah
terpaparkan pada uraian sebelumnya, sepenuhnya dapat ditelusuri melalui pendekatan
historis, ataupun teoritis.
Dalam lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi empat
periode, dua periode sebelum kemerdekaan, dan dua lagi pasca kemerdekaan.
Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam dua fase sebagai berikut:
Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception
in complexu yang dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.
Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islam
berlaku sejak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni ketika
Belanda masih belum mencampuri semua persoalan hukum yang berlaku di
masyarakat.
Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin kuat dalam menjarah kekayaan
bumi Indonesia, maka pada tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara
resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang kemudian
dikenal dengan Compendium Freijer.
Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam
bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan), tetapi juga menggantikan
kewenangan lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibentuk oleh para raja atau
sultan Islam dengan peradilan buatan Belanda.
Keberadaan hukum Islam di Indonesia sepenuhnya baru diakui oleh Belanda
setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, dan terakhir
dengan staatstabled 1913 No. 354.
Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di
Jawa dan Madura, dengan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam
melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan fiqhi.
Fase berlakunya hukum Islam setelah dikehendaki atau diterima oleh hukum
adat.
Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yang pertama kali diperkenalkan oleh
L.W.C. Van Den Breg itu kemudian digantikan oleh teori Receptio yang
dikemukakan oleh Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai oleh Corenlis Van
Vallonhoven sebagai penggagas pertama.
Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda
kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat
Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings
Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan kepada hakim
Indonesia untuk memberlakukan undang-undang agama.
Dalam I.S. tersebut, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa hukum
Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Dan dalam pasal 134
ayat 2 dinyatakan:
"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan
oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, dan
sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi".
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum diterima
sepenuhnya oleh hukum adat, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Stbl.
1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam
masalah waris (yang sejak 1882 telah menjadi kompetensinya) dan dialihkan ke
Pengadilan Negeri.
Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala peraturan yang
meninak-lanjutinya, di samping dirancang untuk melumpuhkan system dan
kelembagaan hukum Islam yang ada, juga secara tidak langsung telah
mengakibatkan perkembangan hukum Barat di Indonesia semakin eksis,
mengingat ruang gerak hukum adapt sangat terbatas tidak seperti hukum Islam,
sehingga dalam kasus-kasus tertentu kemudian dibutuhkan hukum Barat.
Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami kemunduran
sebagai rekayasa Belanda yang mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral
umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran
Islam.
Dua periode kedua, yakni setelah kemerdekaan dapat dibagi pula ke dalam dua
fase sebagai berikut:
Hukum Islam sebagai sumber persuasif, yang dalam hukum konstitusi disebut
dengan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat
diterima hanya setelah diyakini.
Hukum Islam sebagai sumber otoritatif, yang dalam hukum konstitusi dikenal
dengan outheriotative source, yakni sebagai sumber hukum yang langsung
memiliki kekuatan hukum.
Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan
sebagai sumber persuasuf UUD-45. Namun setelah Dekrit yang mengakui bahwa
Piagam itu menjiwai UUD-45, berubah menjadi sumber otoritatif.
Suatu hal yang pasti adalah, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yang
dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, mempunyai arti yang sangat
penting bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.
Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan untuk mengikuti system hukum
Belanda mulai berusaha untuk melepaskan diri dan berupaya untuk menggali
hukum secara mandiri.
Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan
kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk hukum yang telah lama
melembaga dalam tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah. Ia
memerlukan upaya persuasif dan harus dilakukan secara terus menerus, simultan
dan sistematis.
Upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintah RI terhadap hukum Islam adalah
pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin yang berarti menolak teori
Receptio yang diberlakukan oleh pemerintah colonial Belanda sebelumnya.
Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda untuk
merintangi kemajuan Islam di Indonesia. Teori itu sama dengan teori IBLIS karena
mengajak umat Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah
dan Rasul-Nya.
Perkembangan hukum Islam menjadi semakin menggembirakan setelah lahirnya
teori Receptio a Canirario yang memberlakukan hukum kebalikan dari Receptio,
yakni bahwa hukum adat itu baru dapat diberlakukan jika tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka hukum Islam jadi
memiliki ruang gerak yang lebih leluasa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perkembangan hukum Islam di
Indonesia telah melampaui tiga tahapan: 1. Masa penerimaan, 2. Masa suram
akibat politik kolonial Belanda, 3. Masa pencerahan dengan menjadikan hukum
Islam sebagai salah satu alternatif utama yang dipercaya oleh pemerintah RI
dalam upaya menciptakan hukum nasional.
Dalam perjalanan legislasi hukum Islam Indonesia dapat dilihat dari adanya
kontribusi hukum Islam itu sendiri, setidak-tidaknya dalam aspek penjiwaan dan nilai
Islami (khususnya bidang perdata karena bidang pidana untuk saat ini masih belum
memungkinkan) terhadap hukum nasional adalah :
UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan
kehakiman pada pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh peradilan dalam lingkungan: 1) Peradilan
umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha
Negara. Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta
terunifikasikan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga
menjadi undang-undang tertulis dan berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia
tanpa terkecuali. Namun demikian, secara substansial terdapat bagian-
bagian tertentu yang hanya berlaku khusus bagi masyarakat Islam saja.
UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini telah
terlahirkan setelah melalui berbagai perjuangan yang panjang nan sulit
penuh liku dalam tiga zaman: zaman Kolonial Belanda, zaman pendudukan
Jepang, dan pasca kemerdekaan. Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai
menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dan Kementerian Kehakiman
kepada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/SD/1946
kemudian setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949 Pemerintah
RI melalui Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan
kembali pendiriannya untuk tetap memberlakukan Peradilan Agama.
Sebagai tindak lanjut dari penegasan tersebut, setidak-tidaknya telah
diterbitkan tiga peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan
Agama di Indonesia, yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang
Peradilan Agama di jawa dan Madura. Stbl 1937 No. 638 dan 639 tentang
Peradilan Agama di Kalimantan Selatan.
UU No. 7 1989, maka selain lebih mempertegas keberadaan lembaga
Peradilan Agama dalam system pengadilan nasional, juga telah
membatalkan segala peraturan tentang Peradilan Agama yang telah ada
sebelumnya.
Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Inpres No. 1 Tahun
1991 yang berisikan rangkuman berbagai pendapat hukum dari kitab-kitab
fiqhi untuk dijadikan sebagai pertimbangan bagi hakim agama dalam
mengambil keputusan, dan kemudian disusun secara sistematis
menyerupai kitab perundang-undangan, terdiri dari bab-bab dan pasal-
pasal, adalah merupakan salah satu kontribusi pembaharuan hukum Islam
di Indonesia. Disebut sebagai pembaharuan, karena di satu sisi gagasan
keberadaan KHI tersebut tidak pernah tercetus secara resmi sebelumnya
(meskipun materi perbandingan mazhab sudah lama dikenal), juga
beberapa materi muatannya memang termasuk baru, khususnya bagi
masyarakat Islam Indonesia, seperti ahli waris pengganti, pelarangan
perkawinan berbeda agama, dan sebagainya.
Sesungguhnya keadaan Islam dan masyarakat Islam di masa depan khususnya
Indonesia sangat tergantung pada kecakapan para intelektualnya dalam menghadapi,
mengerti dan memecahkan berbagai persoalan yang baru. Namun kenyataan
menunjukkan, bahwa masih ada sebagian umat Islam, bahkan dari kalangan intelektual
yang masih bersikukuh mempertahankan intepretasi ajaran lama dan tidak terbuka
terhadap gagasan-gagasan baru.
Sebagai contoh konkrit, khususnya dalam bidang hukum Islam adalah penetapan
terhadap gagasan fiqih bercorak keindonesiaan oleh Hazairin dengan mazhab Nasional
yang ia gambarkan dalam Hendak Kemana Hukum Islam, Tujuan Serangkai Tentang
Hukum dan Hasbi Ash-Shiddieqy dengan Fiqhi Indonesia yang dimuat dalam Jeram-Jeram
Peradaban Muslim tantangan dan kritikan pun datang bukan hanya dari kalangan awam,
namun yang sangat keras justru dari pada cendekiawan, seperti Ali Yafie dalam Mata
Rantai yang Hilang, Dalam Pesantren walaupun belakangan nampak adanya
kecenderungan untuk mendukungnya yang ia utarakan dalam Menggagas Fiqhi
Indonesia.
Adanya berbagai perkembangan dan pembaharuan hukum tersebut, maka sangat
dimungkinkan hukum Islam di Indonesia kemudian berkembang sesuai dan seiring
dengan perubahan sosial terutama di era globalisasi saat ini. Dimana kemajuan teknologi
informasi seringkali dapat menimbulkan pergeseran nilai-nilai yang semula dianggap
sudah sangat mapan. Jika umat Islam Indonesia tidak cepat mengantisipasi perubahan
sosial tersebut dan sekaligus mencari solusi dan pemecahan yang tepat, maka tidak
mustahil Islam akan dilanda krisis relevansi (crisis of relevance) dan akihrnya tersisihkan
serta ditinggalkan orang. Diantara wacana kontemporer yang menjadi tantangan besar
bagi umat Islam Indonesia adalah wacana demokrasi yang menggoyang perpolitikan
Indonesia dan tidak dipungkiri hal itu akan bersenggolan dan bersentuhan dengan
penetapan dan penerapan hukum Islam.
8. JAWABAN UNTUK NOMOR DELAPAN
Istilah "demokrasi" saat ini tidak dapat dilepaskan dari wacana politik apapun,
baik dalam konteks mendukung, setengah mendukung, atau menentang. Mulai dari skala
warung kopi pinggir jalan sampai hotel berbintang lima, demokrasi menjadi obyek yang
paling sering dibicarakan, paling tidak di negeri ini.
Dengan logika antitesis, lawan kata demokrasi adalah totaliter. Jika tidak
demokratis, pasti totaliter. Totaliter sendiri memiliki kesan buruk, kejam, bengis,
sehingga negara-negara komunis sekalipus tidak ketinggalan ikut memakai istilah
demokrasi, walaupun diembel-embeli sebagai "Demokrasi Sosialis" atau "Demokrasi
Kerakyatan".
Demokrasi merupakan pemerintahan ”dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Ucapan Abrahan Lincoln. Demokrasi “menjanjikan“ tatanan dunia baru yang adil dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, sehingga dengan dikomandani Barat/Amerika
upaya demokratisasi dunia terus diperjuangkan. Negara-negara mayoritas muslim yang
selama ini dianggap belum demokratis menjadi lahan dakwah demokrasi yang
membutuhkan kejeniusan dan keseriusan tingkat tinggi.
Demokrasi dalam lahan pasang surut pendukung dan penolaknya menjadi
perbincangan hangat, apakanlagi dalam kasus negara muslim. Pengkritik demokrasi
seperti gatano Mosca, Clfre Pareto, dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi
sebagai topeng ideologis yang melindungu tirani minoritas atas mayoritas. Kritik yang
sama muncul dari C. Wright Mills yang memfokuskan penelitian pada persoalan elit
politik. Berdasarkan penelitiannya pada sebuah kota kecil di AS, dia melihat bahwa
meskipun pemilu dilakukan secara demokratis, ternyata elit penguasa yang ada selalu
datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok elit didaerah
tersebut yang menguasai jabatan-jabatan negara, militer, dan posisi kunci
perekonomian.
Para pendukung demokrasi sangat bangga dengan menyatakan bahwa dalam
demokrasi setiap keputusan yang diambil adalah suara mayoritas rakyat. Namun
kenyataannya tidaklah begitu. Tetap saja keputusan diambil oleh sekelompok orang
yang berkuasa, yang memiliki modal besar. Bukankah untuk menjadi aanggota dewan
atau pejabat dibutuhkan modal besar. Memang dalam kenyataannya, sulit untuk
membuat keputusan dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan rakyat. Jadi bisa
disebut, klaim ‘suara anggota parlemen adlah cerminan suara rakyat’ hanya mitos
belaka. Seharusnya, kalau prinsip ini benar-benar dilaksanakan, setiap kali parlemen
akan menghasilkan sebuah UU atau kebijakan, mereka terlebih dahulu bertanya kepada
rakyat. Klaim demokrasi adalah pemerintahan rakyat adalah anggapan utopis belaka.
Pada praktiknya tidak mungkin seluruh rakyat memerintah. Tetap saja yang menjalankan
pemerintahan adalah elit pengusa yang berasal dari pemilik modal kuat.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat interaksi demokrasi dan Negara
muslim diantaranya; benarkah demokrasi akan menjadi solusi atas berbagai persoalan di
dunia, lebih dekatnya di Indonesia saat ini. Apakah demokrasi akan memberikan
kebaikan pada manusia sebagaimana yang digembar-gemborkan para juru dakwahnya
atau sebaliknya? Bagaimana hakikat demokrasi yang sebenarnya? Apakah Islam
memiliki titik temu dengan demokrasi? Bagaimana realitas demokrasi sesungguhnya?
Dan apa peranan negara-negara adidaya dalam pemaksaan ide demokrasi kepada
negeri-negeri Islam? dan sebagainya. Sebelum jauh dalam membicarakan demokrasi,
ada pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab adalah sejarah demokrasi itu seperti
apa.
Dalam perjalanan sejarah demokrasi dapat kita lihat dari sejak memudarnya
kejayaan Imperium Romawi (abad ke-3 M), gereja Kristen mulai masuk ke arena
kekuasaan politik. Kaisar Konstantin, penguasa Romawi yang pertamakali memeluk
agama Kristen, menggabungkan kekuasaan negara dengan urusan gereja sehingga
pihak gereja memiliki peranan besar dalam pengambilan keputusan politik.
Kerajaan-kerajaan lokal mulai muncul di Eropa sejak tahun 476 M. Seperti halnya
Romawi, gereja turut menjadi penentu dalam sepak-terjang penguasa kerajaan. Para
bangsawan dan politikus--yang umumnya dari keluarga kaya--menjadi boneka yang
dikendalikan penuh oleh gereja. Tetapi karena ajaran Kristen tidak mengatur urusan
kenegaraan, gereja membuat berbagai fatwa menurut kemauan mereka sendiri dan hal
itu diklaim sebagai wewenang yang diterimanya dari Tuhan. Tidak heran jika sosok
kerajaan-kerajaan Eropa saat itu lebih mirip dengan Imperium Romawi Kuno yang
paganistis dan belum mengenal agama.
Gereja memiliki supremasi yang sangat tinggi hampir dalam setiap urusan. Para
pemuka gereja diyakini sebagai satu-satunya pihak yang berhak berkomunikasi langsung
dengan Tuhan, dan hasil "komunikasi" itu diajukan kepada penguasa kerajaan untuk
ditetapkan sebagai keputusan politik. Eropa memiliki sejarah yang cukup berdarah
mengenai hal ini : ribuan wanita dibunuh ketika gereja mencap perempuan sebagai
tukang sihir, kaum ilmuwan yang tidak setuju dengan pendapat gereja harus rela
dipenjara atau bahkan dibunuh (seperti yang menimpa Galileo Galilei dan Nicolaus
Copernicus), perampasan tanah milik rakyat untuk dibagi-bagikan kepada penguasa dan
pemuka gereja, sampai orang yang hendak matipun tak luput dari pemerasan oleh
gereja. Pendapatan terbesar gereja berasal dari penjualan Kunci Surga (Keys to Heaven),
yaitu menjual surat pertobatan kepada orang-orang yang hendak meninggal. Dengan
membayar sejumlah uang, gereja meyakinkan orang tersebut bahwa dosa-dosanya telah
diampuni dan boleh memasuki surga.
Kelaliman gereja (yang difasilitasi oleh penguasa), kekalahan telak pasukan salib
dari tentara Khilafah Islamiyyah, dan kegeraman para pemikir Eropa kepada gereja,
menumbuhkan benih-benih pemberontakan pada abad ke-14. Hal ini juga disebabkan
oleh gencarnya penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin Eropa
sejak abad ke-10 yang berpusat di Andalusia (Spanyol). Kegemilangan peradaban Islam
telah memberi inspirasi kepada para pemikir Eropa untuk mendobrak kejumudan yang
meliputi seluruh daratan Eropa saat itu, yang dikenal sebagai Dark Ages (Masa
Kegelapan).
Pada tahun 1618 meletus perang sipil di seluruh daratan Eropa antara pendukung
dan penentang supremasi gereja. Perang itu berlangsung selama 30 tahun dan
menghabiskan sepertiga penduduk Eropa serta meruntuhkan sebagian besar kerajaan
yang bercokol di Eropa. Perang terlama terjadi antara Perancis dan Spanyol sampai
tahun 1659. Akibatnya, para pemikir terpecah menjadi 2 kelompok:
yang mempelajari filsafat Yunani, disebut Naturalis, dan meyakini bahwa akal
manusia mampu menyelesaikan semua persoalan;
yang berpihak pada gereja, disebut Realisme, dan meyakini ajaran gereja sebagai
kebenaran.
Di Itali, dua kelompok ini dikenal sebagai Gulf dan Ghibelline, dan mereka saling
berperang memperebutkan kekuasaan. Pertentangan panjang itu akhirnya dimenangkan
oleh kelompok naturalis yang mendasarkan pemikirannya pada penyingkiran peran
agama (Kristen) dari kehidupan negara, atau dikenal dengan sekularisme.
Sekularisme benar-benar menggembirakan hati para filosof dan politikus. Tidak
ada lagi gereja yang memenjarakan kebebasan berpikir mereka. Politik dan segala
urusan duniawi telah menjadi sangat bebas nilai. Tidak ada satupun yang membatasi.
Tidak nilai agama. Tidak pula nilai moral. Salahsatu lambang betapa liarnya dunia politik
sekuler adalah buku karya Niccolo Machiavelli yang berjudul The Discourses on the First
Ten Books of Livy dan The Prince. Salahsatu pilar pemikiran politiknya adalah: "….politik
adalah sesuatu yang sekuler. Politik adalah pertarungan antar manusia untuk mencari
kekuasaan. Semua orang pada dasarnya sama, brutal, dan egoisme politik harus
mengikuti aturan universal yang sama untuk semua orang. Penguasa yang sukses harus
belajar dari sejarah, harus mengamati para pesaingnya, dan mampu memanfaatkan
kelemahan mereka."
Sekularisme tetap dianut hingga masa kini. Menteri Luar Negeri AS, Madeleine
Albright, pada tanggal 23 Oktober 1997 di depan sivitas akademika Columbus School of
Law, The Catholic University, Washington D.C. menyatakan: "Di AS, kita meyakini
pemisahan gereja dan negara. Konstitusi kita merefleksikan ketakutan atas penggunaan
agama sebagai alat penyiksaan, yang pada abad ke-17 dan 18 menyebabkan banyak
orang melarikan diri ke daratan Amerika…".
Sekularisme merupakan akar demokrasi. Dalam sistem politik yang sekularistik,
dimana agama hanya menjadi "inspirasi moral dan alat penyembuhan", kehendak akal
manusia menjadi penentu semua keputusan. Dan inilah ciri yang utama dari demokrasi,
yaitu menyerahkan keputusan politik kepada kehendak masyarakat (the will of the
people), sesuai dengan pertimbangan akal manusia.
Mengapa demokrasi dipilih? Mengapa menjadi the only game in town? Teori
pertama mengatakan bahwa demokrasi menyebarkan perdamaian. Imanuel Kant
dalam “Perpetual Peace” (1795) mengatakan bahwa:
Pada republik federal terdapat kecenderungan pemimpin politik mendorong
dukungan masyarakat kepada negara sehingga membuat negara lebih kuat
dalam menghadapi ancaman.
Pada negara demokrasi pemerintah dikontrol oleh masyarakat, sehingga
untuk memutuskan perang diperlukan persetujuan masyarakat. Keputusan
perang menjadi tidak mudah. Jadi, bukan demokrasi menghapuskan
peperangan, namun terdapatnya mekanisme konstitusional dalam demokrasi.
Selain terdapat komitmen moral untuk tidak saling berperang, terbentuk pula
spirit of commerce di antara negara-negara demokratis –yang disebutnya sebagai
“uni pasifik”. Kondisi ini menguat ketika ada saling ketergantungan ekonomi antar
negara.
Demokrasi menjadi salah satu komponen dari perkembangan globalisasi yang
digerakkan oleh liberalisasi perdagangan, kapitalisme global, yang berjalan seiring
dengan bangkitnya kembali libertarianisme dan kebangkitan ekomomi klasik. Fukuyama
(The End of History and the Last Man,1992) mengatakan bahwa akhir dari peradaban
adalah kapitalisme, Lesther Thurow (The Future of Capitalism, 1996) menambahkan
bahwa persaingan kini bukanlah kapitalis dengan sosialis, namun kapitalis dengan
kapitalis, dan Heilbrowner (Vison of the Future, 1995) dengan tegas mengatakan bahwa
kapitalisme akan menjadi ideologi peradaban abad 21 dan bahkan ke depan, karena
belum ada konsep pengganti yang lebih baik dan lebih menarik. Sementara ituFriedman
(The Lexus and The Olive Three: Understanding Globalization, 2000) bahwa bangsa yang
paling cocok untuk tatanan global hanyalah Amerika (Serikat), jadi tidak aneh jika
globalisasi identik dengan Amerikanisasi, dan Amerika identik dengan kapitalisme-
libertaianisme-demokrasi liberal). Seperti kata Boaz (Libertarianisme, A Primer, 1996)
bahwa liberatarianisme bangkit lagi karena fasisme, komunisme, sosialisme, dan negara
kesejahteraan telah terbukti gagal.
Dari paparan diatas jelaslah bahwa ide demokrasi bukan anak kandung Islam
sendiri, lalu bagaimana Islam menjawab isu demokrasi ini. Disini kita akan melihat
perbandingan sistem demokrasi dan sistem Islam.
Ditinjau dari akar kelahirannya, Islam jelas berbeda dengan demokrasi. Sistem
Islam tidak lahir dari akal-akalan manusia, tetapi merupakan wahyu Allah swt. Tetapi
memang ada sementara pihak yang mencoba menyebut Islam sebagai Mohammedanism
untuk menimbulkan kesan sebagai agama buatan Muhammad, seperti yang dinyatakan
oleh H.A.R. Gibb. Dalam hal ini Allah swt berfirman: "Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah
Kuridhai Islam menjadi agama bagi kalian." (QS al-Maaidah : 3).
Selain dari segi akar kelahirannya, pilar-pilar demokrasi bertentangan secara
diametral dengan Islam. Beberapa elemen pokok demokrasi adalah:
kedaulatan ada di tangan rakyat;
rakyat sebagai sumber kekuasaan;
penjaminan terhadap empat kebebasan pokok, yaitu kebebasan beragama
(freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan
pemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan bertingkah laku (personal
freedom).
KEDAULATAN
Kedaulatan (as siyadah) didefinisikan sebagai "menangani dan menjalankan suatu
kehendak atau aspirasi tertentu". Dalam sistem demokrasi kedaulatan berada di tangan
rakyat. Hal ini berarti rakyat sebagai sumber aspirasi (hukum) dan berhak menangani
serta menjalankan aspirasi tersebut.
Dalam sistem demokrasi, rakyat berfungsi sebagai sumber hukum. Semua produk
hukum diambil atas persetujuan mayoritas rakyat, baik secara langsung (demokrasi
langsung) maupun melalui wakil-wakilnya di parlemen (demokrasi perwakilan). Inilah
cacat terbesar dari sistem demokrasi. Manusia dengan segala kelemahannya dipaksa
untuk menetapkan hukum atas dirinya sendiri. Pikiran manusia akan sangat dipengaruhi
lingkungan dan pengalaman pribadinya. Pikiran manusia juga dibatasi oleh ruang dan
waktu. Atas pengaruh-pengaruh itulah maka manusia bisa memandang neraka sebagai
surga, dan surga sebagai neraka.
Dalam sistem demokrasi, jika mayoritas rakyat menghendaki dihalalkannya
perzinaan, maka negara harus mengikuti pendapat tersebut. Budaya sebagian suku di
Sumatera Utara yang terbiasa meminum tuak, dapat memaksa penguasa setempat
untuk mengizinkan peredaran minuman keras. Mayoritas rakyat Iran pada Revolusi Islam
1979 menginginkan diterapkannya sistem pemerintahan Wilayatul Faqih, tetapi sekarang
muncul gugatan terhadap sistem tersebut, maka penguasa harus memperhatikan
kehendak tersebut. Walaupun dalam konsep Syi'ah, sistem Wilayatul Faqih adalah
sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar.
Dalam sistem demokrasi, masyarakat kehilangan standar nilai baik-buruk.
Siapapun berhak mengklaim baik-buruk terhadap sesuatu. Masyarakat bersikap "apapun
boleh". Di San Fransisco, para eksekutif makan siang di restoran yang dilayani oleh
pelayan wanita yang bertelanjang dada. Tetapi di New York (masih di AS), seorang
wanita telah ditangkap karena memainkan musik dalam suatu konser tanpa pakaian
penutup dada. Newsweek menyatakan: "…kita adalah suatu masyarakat yang telah
kehilangan kesepakatan….suatu masyarakat yang tidak dapat bersepakat dalam
menentukan standar tingkah laku, bahasa, dan sopan santun, tentang apa yang patut
dilihat dan didengar."
Dalam Islam, penetapan hukum adalah wewenang Allah swt. Penetapan hukum
tidak bermakna teknis, tetapi bermakna penentuan status baik-buruk, halal-haram,
terhadap sesuatu hal. Allah swt berfirman: "Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah."
(QS al-An'aam : 57)
"Kemudian jika kamu (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya)." (QS an-Nisaa :
59)
"Tentang apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah."
(QS asy-Syuuraa : 10)
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (QS al-Maaidah : 50)
Abdul Qadim Zallum mengomentari ayat di atas: "Hukum Jahiliyah adalah hukum
yang tidak dibawa Muhammad saw dari Tuhannya, yaitu hukum kufur yang dibuat oleh
manusia."
Dengan demikian jelaslah bahwa Islam menempatkan kedaulatan di tangan Allah
sebagai Musyarri' (Pembuat Hukum), sebagai pihak yang paling berhak menentukan
status baik-buruk terhadap suatu masalah. Segala produk hukum dalam sistem Islam
harus merujuk kepada keempat sumber hukum Islam, yaitu al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma
Shahabat, dan Qiyas (ijtihad).
KEKUASAAN
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat dan mereka
"mengontrak" seorang penguasa untuk mengatur urusan dan kehendak rakyat. Jika
penguasa dipandang sudah tidak akomodatif terhadap kehendak rakyat, penguasa dapat
dipecat karena penguasa tersebut merupakan "buruh" yang digaji oleh rakyat untuk
mengatur negara. Konsep inilah yang diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan
Montesquieu (1689-1755), dikenal dengan sebutan Kontrak Sosial.
Dalam sistem Islam, kekuasaan ada di tangan rakyat. Dan atas dasar itu rakyat
dapat memilih seorang penguasa (Khalifah) untuk memimpin negara. Pengangkatan
seorang Khalifah harus didahului dengan suatu pemilihan dan dilandasi perasaan
sukarela tanpa paksaan (ridha wal ikhtiar). Tetapi berbeda dengan sistem demokrasi,
Khalifah dipilih oleh rakyat bukan untuk melaksanakan kehendak rakyat, tetapi untuk
melaksanakan dan menjaga hukum Islam. Maka seorang Khalifah tidak dapat dipecat
hanya karena rakyat sudah tidak suka lagi kepadanya, tetapi dapat dipecat jika tidak lagi
melaksanakan hukum Islam walaupun baru sehari menjabat. Bukhari, Muslim, Ahmad,
an-Nasai, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit: "Kami membaiat
Rasulullah saw (sebagai kepala negara) untuk mendengar dan mentaatinya dalam
keadaan suka maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun lapang, serta dalam hal
yang tidak mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak
merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, kecuali (sabda Rasulullah): 'Kalau kalian
melihat kekufuran yang mulai nampak secara terang-terangan (kufran bawaahan), yang
dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah."
Untuk memutuskan apakah seorang Khalifah lalai dalam pelaksanaan hukum
Islam, negara mempunyai instrumen hukum berupa Mahkamah Mazhalim yang berhak
mengadili dan memecat penguasa. Dan kaum muslimin juga didorong untuk selalu
mengoreksi penguasa. Rasulullah saw bersabda: "Pemimpin para syuhada adalah
Hamzah bin Abdul Mutthalib, dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang
lalim, lalu ia menyuruhnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat munkar, lalu
penguasa itu membunuhnya (karena marah)."
KEBEBASAN
Dalam sistem demokrasi, kebebasan adalah faktor utama untuk memberi
kesempatan kepada masyarakat untuk mengekspresikan kehendaknya--apapun
bentuknya--secara terbuka dan tanpa batasan atau tekanan.
Masyarakat demokratis bebas memeluk agama apapun, berpindah-pindah agama,
bahkan tidak beragama sekalipun. Juga bebas mengeluarkan pendapat, walaupun
pendapat itu bertentangan dengan batasan-batasan agama. Bebas pula memiliki segala
sesuatu yang ada di muka bumi, termasuk sungai, pulau, laut, bahkan bulan dan planet
jika sanggup. Harta dapat diperoleh dari segala sumber, baik dengan berdagang ataupun
dengan berjudi dan korupsi. Dalam sistem demokrasi, masyarakat juga bebas bertingkah
laku tanpa peduli dengan mengabaikan tata susila dan kesopanan.
Islam tidak mengenal kebebasan mutlak. Islam telah merinci dengan jelas apa
saja yang menjadi hak dan kewajiban manusia. Islam bukan hanya berorientasi kepada
kewajiban, tetapi juga hak sebagai warganegara dan individu. Islam melarang seorang
muslim untuk mempermainkan agama dengan cara berpindah-pindah agama. Rasulullah
saw bersabda: "Barangsiapa mengganti agamanya (Islam), maka jatuhkanlah hukuman
mati atasnya." (HSR Muslim dan Ashabus Sunan). Islam juga membatasi seorang muslim
untuk hanya mengatakan kebenaran dan melarangnya untuk berpendapat dengan
sesuatu yang batil. Ubadah bin ash-Shamit meriwayatkan: "…dan kami akan
mengatakan kebenaran di manapun kami berada. Kami tidak takut karena Allah
terhadap celaan orang yang mencela." Ummu Athiyah dari Abu Said ra meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw bersabda:"Jihad paling utama adalah (menyampaikan) perkataan
yang haq kepada penguasa yang zalim."
Islam melarang seseorang untuk memiliki benda-benda yang tidak berhak
dimilikinya, baik secara pribadi maupun kelompok. Islam telah merinci beberapa cara
pemilikan yang terlarang, misalnya pencurian, perampasan, suap (riswah), korupsi, judi,
dan sebaliknya menghalalkan beberapa sebab pemilikan, yaitu bekerja, waris,
mengambil harta orang lain dalam keadaan terdesak yang mengancam jiwanya, serta
harta yang diperoleh tanpa pengorbanan semisal hadiah, hibah, sedekah, atau zakat.
Dalam masalah tingkah laku, Islam memberikan batasan susila yang jelas,
terutama masalah interaksi pria-wanita (ijtima'iy). Di dalam sistem demokrasi, interaksi
pria-wanita yang sangat bebas telah memunculkan berbagai masalah pelik, seperti
menyebarnya berbagai penyakit menular seksual (PMS) mulai dari sifilis sampai AIDS
yang sukar disembuhkan. Belum lagi lahirnya anak-anak yang identitasnya tidak jelas,
dan konon 75% generasi muda Inggris saat ini dilahirkan dari orangtua yang tidak
menikah secara resmi (zina).
Hingga masalah-masalah kesusilaan yang ringan pun, Islam memberi aturan yang
rinci semata-mata untuk menjaga kehormatan manusia. Misalnya, al-Qur'an melarang
seseorang untuk memasuki rumah orang lain tanpa izin pemilik rumah. Allah swt
berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah orang
lain, sampai kamu mendapatkan izin, dan kamu mengucapkan salam kepada
penghuninya." (QS an-Nuur : 27)
Dalam Islam hal yang diusung dan disamakan dengan demokrasi adalah Syura,
namun betulkan ada kesamaan antara keduanya sehingga Islam bis menerima
domokrasi ataukah keduanya memang berbeda.
Adanya prinsip syura dalam sistem Islam dan musyawarah dalam sistem
demokrasi tidak dapat dijadikan alasan untuk menyamakan Islam dengan demokrasi.
Becak memiliki roda, demikian pula dengan mobil. Tetapi bukankah becak jauh berbeda
dengan mobil?
Tidak semua masalah dapat dimusyawarahkan dalam Islam. Hal inilah yang
membedakannya dengan sistem demokrasi yang mengharuskan setiap keputusan
diambil dengan suara terbanyak, tidak peduli apakah hasil keputusan itu melanggar
batasan-batasan agama yang sudah mereka singkirkan jauh-jauh dari panggung
kehidupan dunia. Islam membatasi musyawarah hanya untuk masalah-masalah yang
mubah. Adapun masalah-masalah yang telah jelas halal-haramnya, tidak dapat
dimusyawarahkan untuk dicabut atau sekedar mencari jalan tengah.
Rasulullah saw pernah menolak keberatan sebagian besar Shahabat ketika beliau
menyetujui tawaran pihak Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah. Umar bin Khatthab
menunjukkan penentangan yang paling keras. Tetapi Rasulullah saw mengatakan:
"Wahai Ibnul Khatthab, aku adalah Rasulullah, dan aku tidak akan mendurhakai-Nya. Dia
adalah penolongku dan sekali-kali tidak akan menelantarkan aku." Setelah itu turunlah
surat al-Fath yang menjanjikan kemenangan bagi kaum muslimin.
Untuk masalah-masalah teknis dan menyangkut keterampilan tertentu, Rasulullah
saw menyerahkan keputusannya kepada para pakar dalam bidang tersebut. Ketika
meletus perang Badar Kubra, Rasulullah saw menempatkan pasukannya jauh di belakang
sebuah sumur (sumber air). Melihat hal ini, Hubbab bin al-Mundzir bertanya: "Wahai
Rasulullah, apakah ini wahyu atau sekedar pendapatmu?" Lantas dijawab oleh beliau:
"Ini hanyalah pendapatku." Hubbab al-Mundzir kemudian mengusulkan kepada beliau
untuk menempatkan pasukannya di depan sumur, sehingga mereka dapat menguasai
sumur tersebut dan menimbunnya jika pasukan Quraisy menyerang sehingga musuh
tidak dapat mengambil air dari sumur itu. Rasulullah saw lantas mengubah pendapatnya
dengan pendapat Hubbab tersebut.
Untuk masalah-masalah yang sifatnya mubah (boleh), Rasulullah saw meminta
pendapat kaum muslimin. Ketika Perang Uhud, beliau dan sebagian Shahabat yang
terlibat dalam Perang Badar memilih menyambut musuh dari dalam benteng kota
Madinah. Tetapi mayoritas penduduk Madinah dan sebagian Shahabat yang tidak ikut
Perang Badar memilih untuk menyongsong musuh di luar benteng. Melihat semangat
yang begitu membara, ditambah ucapan Hamzah bin Abdul Mutthalib yang ketika Perang
Badar tidak turun ke medan laga, akhirnya Rasulullah saw memutuskan untuk
menyambut musuh di luar benteng. Dalam hal ini, beliau hanya meminta pendapat
mengenai lokasi penyambutan musuh. Adapun kewajiban jihad tidak beliau
musyawarahkan karena jihad merupakan kewajiban yang tidak berhenti hingga hari
kiamat. Allah swt berfirman:"Wahai orang-orang yang beriman, telah diperintahkan
kalian untuk berperang, padahal berperang itu merupakan sesuatu yang kalian benci."
(QS al-Baqarah : 216)
Rasulullah saw bersabda: "Jihad itu wajib atas kalian, bersama seorang pemimpin,
apakah dia pemimpin yang taat maupun yang buruk." (HR Abu Dawud dan Abu Ya'la dari
Abu Hurairah).
Dan memang pada kenyataannya, menyerahkan setiap keputusan politik kepada
seluruh warganegara adalah sesuatu yang mustahil dan justru dapat mengkhianati
kebenaran. Sistem polis di Yunani Kuno yang digembar-gemborkan telah menerapkan
demokrasi langsung (direct democracy), ternyata melakukan diskriminasi rasial dengan
memberikan hak bersuara hanya kepada golongan penduduk kaya dan menengah.
Adapun golongan pedagang asing dan budak (yang merupakan mayoritas penduduk)
tidak memiliki hak suara samasekali.
Dalam lapangan peradilan, sistem juri seperti yang dipakai di AS dan Inggris telah
mengundang kritik yang sangat keras. Para juri dipilih mewakili setiap komunitas di
suatu kota/distrik tanpa melihat kemampuan masing-masing sedangkan hakim hanya
bertugas mengatur persidangan agar sesuai dengan hukum acara. Vonis terhadap
terdakwa dijatuhkan berdasarkan kesepakatan atau suara mayoritas anggota juri.
Dengan sistem seperti ini, diharapkan akan lahir keputusan pengadilan yang
"demokratis".
Tetapi layakkah nasib seorang terdakwa (apalagi terdakwa hukuman mati)
diserahkan kepada 10-12 orang yang samasekali buta hukum? Mereka (para juri) bisa
jadi buta huruf, tidak menguasai asas-asas hukum pidana, atau bahkan pernah
melakukan kejahatan yang sama dengan si terdakwa. Atau termakan oleh kepandaian
bersilat lidah dari para pengacara sehingga vonis yang dijatuhkan tidak lagi didasarkan
pada bukti-bukti materiil yang memang hanya dapat dipahami oleh para ahli hukum.
Sistem juri adalah pengadilan primitif, sisa-sisa peradilan hukum rimba, yang tidak
menjunjung kebenaran hukum, tetapi mengambil suara mayoritas (siapapun orangnya)
sebagai kebenaran.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa demokrasi yang bukan anak kandung Islam.
Ketika tema demokrasi disentuhkan dengan Islam dalam tema Syura (Musyawarah), saya
kira, itu hanya titik-titik sentuh yang kita buat sendiri. Artinya, barang yang sebenarnya
berbeda kemudian kita cari-cari titik kesamaannya. Nah akhirnya, kemudian terjadi over
simplifikasi, sehingga demokrasi itu disamakan dengan syura. Padahal berbeda.
Demokrasi itu menghajatkan mendiskusikan semua perkara, baik itu perkara yang sudah
jelas dalam hukum Islam maupun yang samar-samar. Artinya, semuanya haruslah
produk dari akal manusia. Misalnya di Indonesia, soal minuman keras tidak selesai.
Sedang dalam Islam sudah selesai dan tak perlu diperdebatkan. Jadi, karena demokrasi
mengajarkan kepada kita untuk membicarakan semua perkara, akibatnya masalah yang
sudah demikian gamblang tidak pernah selesai. Jadi kalau ada pihak yang menyamakan
syura dengan demokrasi, menurut saya itu terlalu menyederhanakan masalah. Sedang
syura, itu dalam tema-temanya hanya membicarakan pada tema-tema tertentu yang
telah ditentukan oleh syariah.