1.pdf

10
36 MAKNA NILAI DAN PEMIKIRAN KEFILSAFATAN DALAM SILA-SILA PANCASILA KAJIAN KEFILSAFATAN PANCASILA Pancasila yang merupakan filsafat bangsa Indonesia, memiliki makna yang sangat penting bagi tata kehidupan bangsa Indonesia sejak awal mula terbentuknya dan tumbuh-kembangnya komunitas sosial bangsa ini, dengan segala bentuk adat, budaya dan peradabannya sampai dengan masa yang akan datang. Pancasila menjadi jiwa dan kerpibadian bangsa ini sekaligus menjadi pedoman dan tuntunan perilaku bangsa ini dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pedoman dan tuntunan perilaku hidup, tentunya filsafat bangsa Indonesia yang dinamakan Pancasila, yang terkristalisasi dan tersarikan dalam lima rumusan sila, menganjung nilai-nilai luhur yang universal, dan mengajarkan kepada kita untuk hidup dan meniti kehidupan pada suatu kebenaran hakiki. Ajaran dan nilai-nilai luhur adalah benar adanya tentang kebenaran dan kebaikan serta keharmonisan hidup dan kehidupan. Sebagai sebuah filsafat, Pancasila memiliki obyek kajian serta pendekatan melalui sistematika filsafat untuk mengkaji obyek kajian dalam rangka mendapatkan kebenaran hakiki. Pada dasarnya obyek kajian dari filsafat Pancasila adalah tentang hidup dan kehidupan (terutama dan khususnya manusia dan masyarakat bangsa Indonesia), serta hal-hal lain yang berkaitan dengan sesuatu yang hidup dan kehidupan sesuatu itu. Kajian ontologi dari Pancasila, mempertanyakan apa hakekat hidup dan kehidupan. Pertanyaan ontologi Pancasila tersebut tidak berhenti hanya disitu, menyangkut pula pada pertanyaan siapa/apa yang hidup, siapa/apa subyek dan obyek hidup dan dari mana (yang) hidup dan kehidupan, ke mana setelah (selesainya) hidup dan kehidupan. Jawaban atas semua pertanyaan ontologi tersebut akan menyangkut pada hakekat makna atas subyek, dasar asal subyek dan predikat maupun konsep-konsep lainya yang ada pada rumusan sila-sila Pancasila. Pada konteks epistemologi, kajian Pancasila adalah bagaimana proses hudip/kehidupan, bagaimana manusia (Indonesia) seharusnya melangsungkan proses kehidupan sebagaimana layaknya manusia dan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabat manusia sebagai makhluk beradap. Kajian epistemologi Pancasila mengajarkan tentang bagaimana manusia Indonesia, sebagai pribadi maupun dalam kontek komunitas, melangsungkan kehidupan dengan tatanan yang penuh keharmonisan. Keberadaan dan kehidupan manusia tidak berdiri sendiri dan tatanan kehidupan hidup tidak tiba-tiba ada. Terbentuknya tatanan kehidupan melalui proses dialektika, yang melibatkan berbagai kausa sebagai tesa dan antitesa sehingga menghasilkan sistesa berupa tatanan kehidupan yang

Transcript of 1.pdf

Page 1: 1.pdf

36

MAKNA NILAI DAN PEMIKIRAN KEFILSAFATAN DALAM SILA-SILA PANCASILA KAJIAN KEFILSAFATAN PANCASILA

Pancasila yang merupakan filsafat bangsa Indonesia, memiliki makna yang sangat penting bagi tata kehidupan bangsa Indonesia sejak awal mula terbentuknya dan tumbuh-kembangnya komunitas sosial bangsa ini, dengan segala bentuk adat, budaya dan peradabannya sampai dengan masa yang akan datang. Pancasila menjadi jiwa dan kerpibadian bangsa ini sekaligus menjadi pedoman dan tuntunan perilaku bangsa ini dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pedoman dan tuntunan perilaku hidup, tentunya filsafat bangsa Indonesia yang dinamakan Pancasila, yang terkristalisasi dan tersarikan dalam lima rumusan sila, menganjung nilai-nilai luhur yang universal, dan mengajarkan kepada kita untuk hidup dan meniti kehidupan pada suatu kebenaran hakiki. Ajaran dan nilai-nilai luhur adalah benar adanya tentang kebenaran dan kebaikan serta keharmonisan hidup dan kehidupan. Sebagai sebuah filsafat, Pancasila memiliki obyek kajian serta pendekatan melalui sistematika filsafat untuk mengkaji obyek kajian dalam rangka mendapatkan kebenaran hakiki. Pada dasarnya obyek kajian dari filsafat Pancasila adalah tentang hidup dan kehidupan (terutama dan khususnya manusia dan masyarakat bangsa Indonesia), serta hal-hal lain yang berkaitan dengan sesuatu yang hidup dan kehidupan sesuatu itu. Kajian ontologi dari Pancasila, mempertanyakan apa hakekat hidup dan kehidupan. Pertanyaan ontologi Pancasila tersebut tidak berhenti hanya disitu, menyangkut pula pada pertanyaan siapa/apa yang hidup, siapa/apa subyek dan obyek hidup dan dari mana (yang) hidup dan kehidupan, ke mana setelah (selesainya) hidup dan kehidupan. Jawaban atas semua pertanyaan ontologi tersebut akan menyangkut pada hakekat makna atas subyek, dasar asal subyek dan predikat maupun konsep-konsep lainya yang ada pada rumusan sila-sila Pancasila.

Pada konteks epistemologi, kajian Pancasila adalah bagaimana proses hudip/kehidupan, bagaimana manusia (Indonesia) seharusnya melangsungkan proses kehidupan sebagaimana layaknya manusia dan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabat manusia sebagai makhluk beradap. Kajian epistemologi Pancasila mengajarkan tentang bagaimana manusia Indonesia, sebagai pribadi maupun dalam kontek komunitas, melangsungkan kehidupan dengan tatanan yang penuh keharmonisan. Keberadaan dan kehidupan manusia tidak berdiri sendiri dan tatanan kehidupan hidup tidak tiba-tiba ada. Terbentuknya tatanan kehidupan melalui proses dialektika, yang melibatkan berbagai kausa sebagai tesa dan antitesa sehingga menghasilkan sistesa berupa tatanan kehidupan yang

Page 2: 1.pdf

37

harmonis. Dalam dialektika proses kehidupan manusia, senantiasa berkait dan berhubungan dengan banyak pihak dalam semua aspeknya, melibatkan hubungan secara vertikal dan secara horizontal. Konsep hubungan vertikal mecakup pada konteks : (a) hubungan manusia dengan Tuhannya; (b) hubungan antar sesama manusia dalam arti antara yang kedudukan lebih tinggi dengan yang lebih rendah. Konsep hubungan secara horizontal menyangkut : (a) hubungan antar sesama manusia (dalam kesamaan derajat sebagai sesama manusia tanpa memandang stratifikasi)1; (b) hubungan manusia dengan lingkuan termasuk alam sekitar dan kesemestaan.

Secara aksiologi, pancasila mengkaji dan mengajarkan tentang apa nilai dan manfaat atas hidup manusia, serta nilai dan manfaat yang dapat diperoleh manusia (secara individu maupun kelompok) dalam perjalanan hidup manusia dan proses kehidupan manusia. Nilai dan manfaat atas hidup manusia, bertolak dari keberadaan manusia sesuai dengan hakekat dan martabatnya sebagai makhluk beradap. Nilai dan manfaat dapat diperoleh (dicari) manusia, betolak dari apa yang dicari oleh manusia sebagai makhluk Tuhan, yang harus mengabdi dan bertanggungjawab kepada Tuhan. NILAI DALAM SILA-SILA PANCASILA

Bahwa dalam kajian berikut ini hendak mengupayakan mengupas nilai-nilai dalam sila-sila Pancasila secara terpisah satu sama lain. Hal itu tidak boleh dimaknai bahwa Pancasila dapat diartikan secara sepenggal dan terpisah antar sila. Kajian atas nilai-nilai sila-sila Pancasila secara terpisah hanya untuk lebih memudahkan dalam proses pemahaman dan pendalamannya. Kita harus tetap pada prisip bahwa nilai-nilai Pancasila adalah integral, pemaknaannya harus secara utuh sebagai satu kesatuan. Selain itu pemaknannya juga harus mengikuti hierarkhis sila-sila sebagimana sistematikanya, dan hubungan saling jiwa menjiwai antar sila Pancasila. Sila ke 1: KETUHANAN YANG MAHA ESA Subyek dalam teks sila ke 1 adalah “Tuhan”, mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” teksnya “ke-Tuhan-an”, maknanya merujuk pada nilai-nilai yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Konsep “yang Maha Esa” menunjukan nilai tentang sifat eksistensi Tuhan. Kata “yang” sebagai penghubung yang menjelaskan akan keberadaan Tuhan adalah “paling” atau “ter” tinggi hierarkhinya. Kata “Esa” menunjukan pada sifat tunggal, tidak ada yang

1Hubungan horizontal antara sesama manusia mencakup/bida dalam arti

hubungan antar individu, antara individu dengan kelompok (komunitas masyarakat) dan hubungan antar kelompok.

Page 3: 1.pdf

38

menyamai baik dalam sifat maupun kedudukan, hanya satu-satunya (tidak ada yang lain). Secara keseluruhan, konsep “Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa” mengandung makna akan nilai-tentang keberadaan Tuhan memiliki sifat tunggal, sebagai pihak yang tertinggi hierarkhinya, baik dalam keberadaan, kekuasaan, kewenangan, sifat yang tungal. “Tuhan” adalah konsep yang paling abstrak, yang tidak bisa dibayangkan, diilustrasikan apalagi dipersonifikasikan. Keberadaan Tuhan ada dalam rohani manusia bersumber dari keyakinan religius manusia. Jangkauan pikir nalar manusia adalah pada nilai-nilai tentang Tuhan, dengan semua ajaran Tuhan melalui keyakinan religius manusia. Pancasila mengajarkan bahwa manusia berkewajiban untuk meyakini akan adanya Tuhan (sebagai perihal dan sifat yang mutlak adanya), yang mencipta dan mengatur alam semesta, yang hidup dan kehidupan yang hidup. Bukan hanya sekedar percaya (iman) kepada Tuhan, Pancasila mengajarkan mengajarkan pula bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan berkewajiban pula untuk mengabdi kepada Tuhan, menempuh kehidupan di jalan Tuhan (sesuai dengan ajaran Tuhan) dan mempertanggungjawabkan semua perilakunya kepada Tuhan. Dalam ajaran tentang ke-Tuhan-an ini, Pancasila tidak membatasi dan menentukan kepada manusia (Indonesia) ber-Tuhan melalui agama tertentu. Pancasila memberikan ruang gerak atau kebebasan kepada manusia untuk memilih agama dan kepercayaan sesuai dengan keyakinan religiusnya masing-masing. Sila ke 2: KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB Pada sila ke 2 ini pada perinsipnya membahas tentang keberadaan nilai-nilai tentang manusia, sesuai dengan harkat, martabat dan kodratnya sebagai makhluk Tuhan yang dipercaya menjadi pemimpin di bumi. Makna nilai-nilai tentang manusia tercermin dari subyek teks sila ke 2 adalah kemanusiaan dari kata dasar “manusia” dengan awalan “ke” dan akhiran “an”. Lingkup bahasan manusia pada sila ke 2 tidak hanya pada manusia Indonesia, tetapi manusia sebagai makhluk penghuni bumi secara keseluruhan. Manusia Indonesia adalah bagian dari keseluruhan umat manusia di bumi. Secara keseluruhan manusia di bumi memiliki kesamaan, adanya nilai-nilai universal yang berlaku dan dipatuhi oleh semua masyarakat, bangsa di bumi (dunia) ini. Pancasila (nilai dan budaya bangsa Indonesia) mengakui, menghormati dan mengikuti nilai-nilai kemanusiaan yang universal tersebut, yang terakomodasikan pula pada nilai-nilai kearifan lokal di semua komponen bangsa ini.

Manusia adalah makhluk mono dualis dan mono pluralis. Makna mono dualis mencakup pada dimensi substansi dan wujud serta dimensi keberadaan. Pada dimensi substansi dan wujud, manusia terdiri atas jiwa sebagai substansinya dan raga (fisik) sebagai wujudnya. Pada dimensi keberadaan, manusia sebagai dirinya sendiri pada masing-masing diri-pribadi manusia dengan

Page 4: 1.pdf

39

segala kelemahan dan kelebihannya dan sifat serta karakternya, merupakan keberadaan manusia sebagai makhluk individu. Dengan segala kelemahan dan kelebihannya tiap-tiap manusia tidak bisa mandiri sepenuhnya. Setiap manusia memiliki ketergantungan dan membutuhkan kehadiran manusia lain, hal itu mencerminkan bahwa manusia sebagai bagian dan saling tergantung dengan lingkungan dan komunitasnya dan karenanya merupakan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial. Keberadaan setiap individu manusia ditentukan dan tergantung pada manusia lain di sekitarnya, keberadaan dan status manusia ditentukan pengakuan manusia lainnya. Manusia sebagai makhluk yang mono pluralis, bahwa dalam setiap diri manusia terdiri atas berbagai organ, karakter/sifat, nilai dan pemikiran, naluri, kemauan, rasa dan lainnya. Pluralisme dalam manusia adalah refleksi kompleksitas dan keberadaan manusia sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan paling sempurna. Dalam kajian budaya, bahwa dalam manusia ada “cipta”, “rasa” dan “karsa”. Konsep “cipta” dalam diri manusia mencakup pada kemampuan manusia untuk mencipta (membuat) sesuatu yang dilandasi dari kemampuan daya nalar (pikir) untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sain, teknologi dan seni. Konsep “rasa” berkait dengan kemampuan manusia untuk merasakan terhadap apa yang ada pada diri dan lingkungannya, seperti rasa senang, sedih, benci, takjub, haru dan lainnya. Konsep “kara” adalah kepemilikan manusia akan kehendak untuk sesuatu, seperti kehendak untuk melakukan, melihat, memiliki atau lainnya akan sesuatu atau untuk tidaknya. Pluralisme yang ada pada diri manusia, Prof. Notonagoro mengilustrasikan bahwa manusia dalam melakukan sesuatu didorong oleh kehendak pada dirinya, dorongan kehendak dan tindakan tersebut dilandasi oleh kesadaran manusia akan dirinya sendiri (perasaan nuraninya, logikanya, kemampuannya), kesadaran akan lingkungannya (keberadaan dan dampak pada orang lain) sampai pada kesadaran akan dirinya sebagai makhluk Tuhan. Manusia sebagai makhluk yang mendapat amanah mengelola bumi, sebagai subyek kehidupan dan khalifah di bumi, berkewajiban melaksanakan amanah dan mampu menjadi wakil Tuhan, untuk berlaku adil dalam kehidupan. Konsep “adil” pada teks sila ke 2 merujuk pada kewajiban manusia melaksanakan amanah mewujudkan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Adil (manusia sebagai khlaifah adalah wakil Tuhan) dalam kehidupan manusia. Manusia harus mampu dan memiliki keadilan terhadap dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya, kepada bangsanya, kepada negaranya dan kepada Tuhannya2.

2Adil kepada diri sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, serta kondisi

dirinya sendiri, adil kepada orang lain dan lingkungan berpatokan norma-norma yang berlaku pada lingkungan sosial/komunitasnya, adil kepada bangsa berpatokan norma berbangsa, adil kepada negara berpatokan pada hukum negara, adil kepada Tuhan berpatokan pada agama dan kepercayaan masing-masing.

Page 5: 1.pdf

40

Konsep “beradab” merujuk pada keberadaan manusia makhluk yang paling sempurna, yang memiliki nurani, memiliki cipta, rasa dan karya, dan yang membedakan manusia dengan makhluk lain seperti binatang dan lainnya. Konsep “beradab” tersebut juga bermakna manusia memiliki “adab” yang teraktualisasi dalam tata kehidupan berupa “peradaban”. “Adab” merupakan konsep yang menunjuk pada kepemilikan dan adanya keluhuran “akal-budi” manusia, dan diaktualisasikan dan dikembangkan dalam tata kehidupan yang dilandasi keluhuran nilai-nilai kehidupan berupa peradaban. Manusia yang beradab dan peradaban manusia, senantiasa memegang teguh dan memuliakan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, diantaranya adalah hak asasi manusia (HAM), yang merupakan hak-hak dasar dalam kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu manusia yang dibawa dari lahir (pemberian Tuhan). Keberadaan manusia sebagai makhluk mono dualis dan mono pluralis, akan memberikan keseimbangan dan keselarasan dalam implementasi terhadap HAM dan nilai kemanusiaan universal lainnya, hingga terjadi kesimbangan dan keselarasan antara hak dan kewajiban manusia (baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari dan sebagai komunitas sosial). Setiap individu memiliki hak dan kebebasan yang senantiasa selalu akan dihadapkan pada hak dan kebebasan individu yang lainnya. Setiap individu memiliki cipta, rasa dan karsa yang bisa jadi akan saling berbeda dan bahkan saling bertentangan, masing-masing individu berkewajiban untuk mengakui dan menghormati hak dan kebebasan yang lain. Sehingga hak dan kebebasan individu seseorang manusia dibatasi oleh hak dan kebebasan individu manusia yang lain. Sebagai makhluk individu manusia memiliki hak dan kebebasan, sebagai makhluk sosial manusia memiliki kewajiban dan keterikatan terhadap norma dan tatanan kehidupan bersama manusia yang lain dalam setiap komunitasnya. Sila ke 3: PERSATUAN INDONESIA Pada dasarnya bahasan dalam kefilsafatan Pancasila tentang Indonesia baru pada sila ke 3, dimana pada sila ke 2 membahas tentang manusia dan nilai-nilai kemanusiaan secara universal, dan pada sila ke 1 membahas tentang nilai-nilai ke-Tuhan-an dan kesemestaan. Bahasan dan konsep “Indonesia” dalam sila ke 3 lebih merujuk pada konsep masyarakat (society) dan bangsa (nation), yang menamakan dirinya Indonesia, dan kemudian akan mencakup pada kewilayahan dan negara. Bangsa Indonesia, yang di dalamnya terdapat kemajemukan (pluralisme) yang baik suku, ras, agama dan budaya merupakan sub-sub budaya nasional. Pada aspek kewilayahan, sebagai ruang hidup bangsa dan sekaligus unsur negara, adalah wilayah kepulauan (nusantara).

Kemajemukan tersebut sudah mengakar dan diakui sejak nenek moyang bangsa ini tumbuh-kembang. Pengakuan akan keragaman/kemajemukan dalam diri bangsa Indonesia, khususnya sejak era kerajaan Majapahit, melalui

Page 6: 1.pdf

41

semboyan “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrua”. Sekalipun pada era itu pengakuan kemajemukan itu lebih merujuk pada kemajemukan agama, namun hal itu menunjukan adanya kemampuan dan kemauan komponen bangsa ini mengakui dan menghargai perbedaan. Kini semboyan tersebut dipakai sebagai semboyan bangsa dan negara Indonesia modern yang berbentuk republik, “Binneka Tunggal Ika” dengan makna yang lebih luas, yakni perbedaan yang ada bukan hanya pada aspek agama tetapi juga pada aspek lain, seperti kesukuan dan ras, budaya-budaya lokal dengan keseniannya dan lainnya. Konsep “per-satuan-an” dalam sila ke 3 merefleksikan nilai-nilai tentang suatu proses menyatukan, mempersatukan atau penyatauan guna membentuk suatu kesatuan (proses intergasi membentuk integralisme), baik pada aspek masyarakat dan bangsa beserta nilai dan tatanan sosial budayanya, juga pada aspek kewilayahan dan negara. Konsep persatuan-kesatuan (integrasi) yang diajarkan bangsa Indonesia, sejalan dengan konsep “intergrasi politik”, meliputi: (1) integrasi bangsa, (2) integrasi wilayah, (3) integrasi nilai, (4) integrasi elie-massa, dan (5) integrasi perilaku. Konsep persatuan-kesatuan tersebut, sebagai sebuah proses yang berjalan secara terus-menerus (tidak pernah berhenti), berkelanjutan dan berkesinambungan, di dalamnya terkandung makna mulai dari proses membentuk kesatuan juga memelihara dan meneruskan (melestarikan) kesatuan yang sudah terjalin. Sebagai proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan, selama bangsa dan negara Indonesia ini ada maka proses itu akan tetap berjalan. Sila ke 3 melandasi ajaran atau pahan persatuan dan kesatuan, yang kemudian lebih dikenal dengan “paham integralistik”. Tokoh pendiri negara yang banyak mengajarkan paham integralistik adalah Prof. Soepomo. Paham integralistik merupakan ajaran yang mengedepankan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial dari pada sebagai individu, mengedepankan tatanan kebersamaan dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan sosial, keberadaan manusia sebagai individu lebur dalam kebersamaan kehidupan sosial3. Paham integralistik mengajarkan, bahwa dalam kehidupan manusia mengutamakan kehidupan bersama, dengan suasana yang penuh keharmonisan dan kebersamaan, yang dalam bahasa Jawa disebut dengan “paguyuban”, kehidupan bersama masyarakat yang penuh dengan kerukunan. Dalam kehidupan demikian mekanisme kebersamaan itu dilaksanakan melalui mekanisme “patembayan”,

3 Baca ulang dan perhatikan bahwa sekalipun manusia memiliki keberadaan sebagai diri sendiri (individu) namun manusia masih tergantung dan membutuhkan kehadiran manusia lain. Bahwa keberadaan manusia ditentukan dan karena keberadaan orang lain serta pengakuan dari lingkungan dan komunitasnya. Sebagai ilustrasi, sekalipun seseorang kaya raya, dia masih membutuhkan banyak pembantu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kontek kehidupan politik dan pemerintahan, sekalipun secara hukum seseorang sah menjadi presiden, namun apabila tidak mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyatnya (society) maka dia akan jatuh.

Page 7: 1.pdf

42

yakni kegotong-royongan, adanya sikap dan tatanan saling membantu antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam paham integralistik, hak-hak individu warga negara melekat dan mendapat pengakuan dalam kehidupan bersama komunitas suatu masyarakat atau bangsa. Dalam kontek ini hak dan kebebasan individu menjadi bagian dari tatanan sosial kehidupan bersama4. Nilai-nilai persatuan kesatuan dan paham integralistik tersebut, kemudian pada tataran pelaksanaannya dalam kehidupan dan penyelenggaraan negara mengilhami pengembangan doktrin wawasan nusantara dan bentuk negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Sila ke 4: KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM

PERMUSYAWATAN/PERWAKILAN

Nilai-nilai dalam sila ke 4, sudah mengarah bagaimana penyelenggaraan negara yang dibentuk oleh bangsa Indonesia. Sila ke 4 memberikan kerangka prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan oleh setiap penyelenggara negara dan seluruh warga negara dalam menyelenggarakan negara guna mencapai tujuan nasional, tujuan dibentuknya negara. Konsep yang menjadi subyek sila ke 4 adalah “kerakyatan” dari kata dasar “rakyat”. Rakyat merupakan konsep untuk menyebut warga negara (citizen) dalam terminologi penyelenggaraan negara, yakni dalam hubungannya dengan penyelenggara negara. Dalam konteks penyelenggaraan negara, setidaknya terdapat dua kelompok warga negara, pertama adalah warga negara yang menduduki jabatan sebagai penyelenggara negara dan yang kedua adalah warga negara biasa. Dengan demikian konsep rakyat adalah untuk menyebut dan menunjuk warga negara biasa. Konsep “kerakyatan” menunjuk pada nilai-nilai penyelenggaraan negara yang harus tunduk, memperhatikan, mengutamakan dan berorientasi untuk

4Pemikiran dan nilai-nilai ajaran sila ke 3 diatas, dengan perkembangan tatanan

kehidupan masyarakat internasional dewasa ini. Dikotomi paham ideologi yang paling ekstrim antara liberalis/individualis dengan komunis (yang komunal) mulai melebur. Pada era akhir 1990-an dan awal 2000-an nampak muncul gerakan humanism (humanisasi) pada masyarakat barat dan Eropa Timur. Pada masyarakat Eropa Timur yang negaranya berideologi komunis, dimana hak-hak individu warga negara tidak diakui, terjadi pergerakan adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak individu. Sementara pada masyarakat barat, khususnya di Amerika Serikat, terdapat gerakan humanisme untuk lebih mengedepankan tata kehidupan bermasyarakat dan kebersamaan (gerakan-gerakan mengurangi ego individu) muncul kegiatan-kegiatan bersama (gotong royong dalam komunitas-komunitas masyarakat). Selain itu bandingkan pula dengan isi pidato Presiden RI pertama Ir. Soekarno di depan konggres Amerika Serikat pada tahun 1957. Yang pada dasarnya Presiden Soekarno mengatakan bahwa kelak dunia akan terjadi pergeseran nilai dan tatanan baru, apabila dunia menginginkan tatanan baru menolehlah ke Indonesia. Maksud presiden Soekarno, dunia mesti memakai Pancasila bila ingin berkehidupan yang harmonis.

Page 8: 1.pdf

43

kepentingan rakyat Indonesia. Karena rakyat adalah pemilik negara5, dan dalam penyelenggaraan negara adalah pihak yang dilayani dan akan diberikan kesejahteraan dan kemakmuran dalam kehidupannya. Sebagai pemilik negara rakyat yang memiliki kekuasaan (kedaulatan) tertinggi atas negara, seperti yang dijabarkan dalam pasal 1 ayat (2) UUD1945, bahwa kedaulatan ditangan rakyat. Konsep kerakyatan menunjuk pula pada prinsip demokrasi. Konsep “yang dipimpin” dalam teks sila ke 4, menunjukan adanya keharusan kepemilikian tatanan dan keteraturan dalam penyelenggaraan negara, yang berorientasi pada kepentingan rakyat, untuk mensejahterakan rakyat. Dengan adanya tatanan dan keteraturan, akan dapat terwujud adanya tertib sosial dan tertib hukum. Tatanan dan keteraturan dalam penyelenggaraan negara, melalui prinsip kepemimpinan yang dilandasi nilai-nilai luhur bangsa dan berorientasi kepada rakyat. Kepemimpinan merupakan sifat dari pemimpin dan cara memimpin, dalam mengelola dan mengendalikan penyelenggaraan negara. Dimana terminologi penyelenggaraan negara menyangkut pada manajemen pemerintahan atau manajemen publik. Kata “oleh” menujuk pada siapa pelaku penyelenggaraan negara. Dalam hal ini tidak menunjuk pihak-pihak tertentu, melainkan menunjuk pada konsep filosofis yang melandasi kepemimpinan negara, pemerintahan dan manajemen publik, yaitu “hikmat” “kebijaksanaan”. Penggunaan istilah “hikmat” mengandung makna nilai, prinsip, hakekat dan substansi serta produk dari “kebijaksanaan”. Konsep kebijaksanaan mengandung setidaknya dua makna: pertama, menyangkut pada konsep “wisdom” yakni sikap dan sifat pemimpin yang “arif” dan “bijak”, dan kedua menyangkut pada konsep ”policy” dalam hal ini public policy dan political decission6. Secara teoritis, bahwa dalam public policy maupun political decission harus dilandasi sikap dan sifat bijak (wisdom) dari para pembuatnya, karena keduanya senantiasa menyangkut hajat hidup dan menentukan nasib rakyat. Kebijaksanaan (public policy) yang dilandasi sikap arif dan bijak (wisdom) dalam pembuatannyapun harus pula melalui proses bijak pula, yang mampu mengakomodasikan (mewakili) dan merefleksikan kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat. Arif dan bijaksana dalam proses pembuatan kebijaksanaan (public policy = kebijakan) merupakan ajaran sila ke 4 yang terangkum dalam nilai-nilai konsep

5 Rakyat sebagai pemilik negara berpijak pada pemahaman bahwa rakyat adalah

bangsa yang mendirikan negara. Dalam hubungan dengan negara disebut warga negara dan dalam hubungan dengan penyelenggaraan negara disebut rakyat.

6 Terjemahan kata policy dalam bahasa Indonesia, dahulu menggunakan istilah kebijaksanaan, namun dewasa ini menggunakan istilah kebijakan. Public policy diterjemahkan kebijakan publik/umum adalah kebijakan yang dibuat oleh para penyelenggara negara, termasuk pejabat pemerintah/ birokrasi. Political decission adalah keputusan politik, yang dibuat oleh pejabat politik (biasanya legislatif dan eksekutif), dan keputusan politik juga merupakan kebijakan publik.

Page 9: 1.pdf

44

“permusyawaratan”. Konsep permusyawaratan menunjuk dan mencerminkan kehidupan yang demokratis, bukan sekedar secara material namun juga secara substansial. Permusyawaratan adalah kata sifat dari kata dasar musyawarah. Konsep musyawarah bermakna bahwa pembuatan keputusan apapun dalam suatu komunitas dilakukan secara bersama, mencari yang terbaik menurut kesepakatan dan kemauan semua yang terlibat. Permusyawaratan, pertama-tama bermakna pada proses pembuatan keputusan secara bersama atas dasar kesepatan dengan tanpa ada pemaksaan atau eksploitasi atas satu pihak dari pihak yang lain. Makna kedua, adalah dalam kaitan dengan konsep hikmat, yakni “hikmat permusyawaratan” yang menunjuk pada substansi hasil proses musyawarah berupa political decission atau public policy lainnya yang berpihak dan menguntungan kepentingan dan hajat hidup rakyat.

Siapa yang bermusyawarah, yakni perwakilan dari seluruh elemen rakyat Indonesia. Terminologi perwakilan, mengandung makna, pertamam bahwa yang bermusyawarah adalah wakil-wakil rakyat, sesuai dengan prinsip dan kaedah demokrasi; kedua, bahwa dari keseluruhan rakyat Indonesia yang majemuk, baik suku, agama, profesi, budaya, strata ekonomi, pendidikan harus terwakili (secara keseluruhan) secara komprehensif. Proses permusyawaratan oleh rakyat (perwakilan) yang majemuk hanya akan dapat terlaksana apabila dalam perikehidupan sosial dan politik terdapat kebersamaan, kerukunan dan kegotong-royongan, serta tatanan dan keteraturan kehidupan yang mapan. Sila ke 5: KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA

Nilai-nilai yang terkandung dalam rumusan teks sila ke 5 Pancasila pada dasarnya merupakan cita-cita/tujuan yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia melalui Negara Kesatuan Republik Indonesia. Makna konsep “keadilan” menunjuk pada sifat dan keadaan. Arti kata “adil” dalam sila ke 2 dan ke 5, secara harfiah kurang lebihnya sama, dari segi kontek dan maknanya terdapat perbedaan7. Kontek sifat dari keadilan adalah dalam proses penyelenggaraan negara, menunjuk juga pada bagaimana negara berlaku adil kepada rakyat/warga negara. Pada kontek keadaan, keadilan adalah hasil dari pelaksanaan sifat, yang menunjukan adanya keadaan yang diperoleh warga negara (rakyat) dari penyelenggaraan negara. Nilai dan makna keadilan dalam kontek keadaan mencakup pula terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan hidup warga negara. Kemakmuran merupakan keadaan dimana tercukupinya

7Kata “adil” dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan dengan menempatkan

segala sesuatu sebagaimana mestinya dan sesuai dengan proporsinya, serta sebagai tindakan perlakuan satu pihak ke pihak lain yang sesuai dengan kaedah dan norma yang berlaku dan sesuai dengan proporsi yang menjadi hak dan kewajibannya. Pada sila ke 2 “konsep” adil diperuntukan bagi terminologi keberadaan manusia sebagai manusia itu sendiri sebagai makhluk. Pada sila ke 5 diperuntukan bagi terminologi negara, dalam proses dan hasil penyelenggaraan negara serta perilaku manusia penyelenggaran negara maupun manusia rakyat/warga negara.

Page 10: 1.pdf

45

atau tepenuhinya semua kebutuhan hidup warga negara, kesejahteraan meliputi rasa yang ada pada warga negara atas apa yang diperoleh dari negara atau penyelenggaraan negara.

Konsep sosial pada sila ke 5, merujuk pada keberadaan manusia sebagai makluk sosial dan hidup dalam komunitas. Dimana negara merupakan wadah dan sarana komunitas bagsa/warga negara/rakyat Indonesia menyelenggarakan hidup bersama guna mencapai tujuan bersama. Konsep “keadilan sosial” mengandung makna bahwa keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan yang hendak diwujudkan melalui dibentuk dan diselenggarakannya negara bukan berorientasi kepada individu-individu bangsa/rakyat/warga negara, tetapi berorientasi kepada bangsa, rakyat secara komunal, yakni keadilan, kemamkmuran dan kesejahteraan bersama dengan pengukurannya secara agregat.

Nilai dan pemikiran tersebut, ditunjukan oleh kata “bagi” yang bermakna kepada siapa keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan itu diperuntukan. Kemudian frase “seluruh rakyat Indonesia” bermakna dan menunjukan pihak yang menjadi sasaran peruntukan dari keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan yang diwujudkan melalui dibentuk dan diselenggarakannya negara. Kata “seluruh” bermakna sebagai lingkup, cakupan dan orientasi penerima, kata “rakyat” menunjukan pihak penerima. Rakyat dalam konsep ini paralel dengan warga negara. Kata “Indonesia” menunjuk pada negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai negara yang dibentuk dan diselenggarakan bangsa Indonesia. Secara keseluruhan frase, juga bermakna bahwa negara menjamin adanya atau keharusan adanya pemerataan, baik dalam distribusi dan alokasi, atas keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan tersebut. CATATAN : Baca dan pelajari referensi buku : Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, PT. Pancuran Telagasari