18 (Repaired)

30
Riwayat Pengobatan Pasien Tuberculosis Paru Angelica 102012215 [email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Krida wacana Jl. Arjuna No.6 Kebon Jeruk- Jakarta Barat Telp: 021-569422061 Pendahuluan Penderita Tuberkulosis (TB) seringkali tidak patuh menghabiskan obat yang telah diberikan, penyebabnya paling banyak adalah karena malas atau lupa. Namun ketidakpatuhan mengonsumsi obat dapat menimbulkan kekebalan tubuh terhadap obat tersebut. Akibatnya, obat yang sebelumnya efektif akan menjadi tidak efektif sama sekali pada tubuh penderita. Tetapi tingkat keberhasilan pengobatan tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah mencapai lebih dari 90 persen dan tingkat deteksi kasus baru TB jumlahnya di atas 70 persen. Prestasi yang cukup membanggakan. Pada tahun 2008 prevalensi TB di Indonesia mencapai 253 per 100.000 penduduk, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah 222 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka kematian TB pada tahun 2008 telah menurun tajam menjadi 38 per 100.000 1

description

bbb

Transcript of 18 (Repaired)

Page 1: 18 (Repaired)

Riwayat Pengobatan Pasien Tuberculosis Paru

Angelica

102012215

[email protected]

Fakultas Kedokteran

Universitas Krida wacana

Jl. Arjuna No.6 Kebon Jeruk- Jakarta Barat

Telp: 021-569422061

Pendahuluan

Penderita Tuberkulosis (TB) seringkali tidak patuh menghabiskan obat yang telah

diberikan, penyebabnya paling banyak adalah karena malas atau lupa. Namun ketidakpatuhan

mengonsumsi obat dapat menimbulkan kekebalan tubuh terhadap obat tersebut. Akibatnya,

obat yang sebelumnya efektif akan menjadi tidak efektif sama sekali pada tubuh penderita.

Tetapi tingkat keberhasilan pengobatan tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah

mencapai lebih dari 90 persen dan tingkat deteksi kasus baru TB jumlahnya di atas 70 persen.

Prestasi yang cukup membanggakan.

Pada tahun 2008 prevalensi TB di Indonesia mencapai 253 per 100.000 penduduk,

sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah 222 per 100.000 penduduk. Sedangkan

angka kematian TB pada tahun 2008 telah menurun tajam menjadi 38 per 100.000 penduduk

dibandingkan tahun 1990 sebesar 92 per 100.000 penduduk.

Pada tahun 2009 angka cakupan penemuan kasus mencapai 71 persen dan angka

keberhasilan pengobatan mencapai 90 persen. TB ditemukan terjadi pada lebih dari 70 persen

penduduk usia produktif.

Jumlah pasien TB di Indonesia adalah sekitar 5,8 persen dari total jumlah pasien TB

dunia. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru di Indonesia dengan tingkat

kematian sekitar 91.000 orangamun bukan berarti tugas masyarakat Indonesia sudah selesai

dalam memerangi TB.

1

Page 2: 18 (Repaired)

Kekebalan terhadap obat TB atau dikenal sebagai Multi-Drug Resistant TB (MDR-

TB) merupakan salah satu faktor penyebab masih ada sekitar 10 persen penderita TB di

Indonesia belum sembuh sempurna.

Pasien yang sudah terlanjur menderita MDR-TB tubuhnya akan jadi kebal terhadap

obat TB, misalnya Isoniazid (INH). Untuk pengobatannya diberikan obat lini kedua.

Pendeteksian terhadap MDR-TB yang memakan waktu dalam hitungan bulan membuat

pasien TB seringkali terlalu lama menunggu hasil tes, akibatnya pasien TB menjadi terlambat

diberi pengobatan. 

Pembahasan

1. Anamesa1

Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara

melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau

dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara

biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang

penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta

bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien.

Pada pasien yang datang dengan symptom tuberculosis, diagnosis kerja harus di dukung

dengan indeks kecurigaan yang tinggi terutama pada pasien dengan imunosupresi atau dari

daerah endemisnya. Gejala lokal: Batuk, sesak napas, hemoptisis, limfadenopati, ruam

(misalnya lupus vulgaris), kelainan rontgen toraks, atau gangguan GI. Efek sistemik:Demam,

keringat malam, anoreksia, atau penurunan berat badan.

Beberapa pertanyaan penting tentang rekam medis perjalanan penyakit juga dianjurkan

untuk ditanyakan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit sudah

sejauh mana. Beberapa pertanyaan tersebut terbagi menjadi sebagai berikut :

- Riwayat penyakit dahulu

Pernahkah pasien berkontak dengan pasien TB?

Apakah pasien mengalami imunosupresi (kortikosteroid/HIV)?

Apakah pasien pernah menjalani pemeriksaan rontgen toraks dengan hasil abnormal?

Adakah riwayat vaksinasi BCG atau tes Mantoux?

Adakah riwayat diagnosis TB?

2

Page 3: 18 (Repaired)

- Obat-obatan

Pernahkah pasien menjalani terapi TB? Jika ya, obat apa yang digunakan, berapa

lama terapinya, bagaimana kepatuhan pasien mengikuti terapi, dan apakah

dilakukan pengawasan terapi?

- Riwayat keluarga dan sosial

Adakah riwayat TB di keluarga atau lingkungan sosial? Tanyakan konsumsi

alkohol, penggunaan obat intravena, dan riwayat bepergian ke luar negeri.

2. Pemeriksaan

a. Pemeriksaan fisik2

Biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu

selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis

hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk-batuk berkurang, batuk

darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat.

b. Pemeriksaan penunjang2,3

Bahan terolah yang berasal dari tempat-tempat nonsteril dan bahan tersentrifugasi

yang berasal dari tempat steril dapat dibiakkan secara Iangsung ke dalam perbenihan selektif

dan nonselektif). Pembiakan dengan kaldu selektif sering merupakan metode yang paling

sensitif dan memberi hasil yang paling cepat. Perbenihan agar selektif (misalnya, dua

lempeng Lowenstein-Jensen atau Middlebrook 7H10/7H11 dengan antibiotik).Inkubasi pada

suhu 37°C dalam 5-10% CO2 memerlukan waktu sampai 8 minggu. Jika biakan bersifat

negatif dan pewarnaan tahan-asam bersifat positif atau dicurigai terdapatnya mikobakteria

atipik yang tumbuh lambat.

Penting untuk mengkarakterisasikan dan memisahkan M tuberculosis dari semua

spesies mikobakteria lainnya. Mikobakteria yang diisolasi sebaiknya diidentifikasi sampai

sebagai spesies. Metode konvensional untuk mengindentifikasi mikobakteria antara lain

pemantauan laju pertumbuhan, morfologi koloni, pigmentasi, dan sifat-sifat biokimianya.

Metode konvensional seringkali memerlukan waktu 6-8 minggu untuk identifikasi. Laju

pertumbuhan memisahkan yang tumbuh cepat (tumbuh dalam waktu < 7 hari) dari

mikobakteria lain . Spesies tersendiri atau kompleks dipastikan melalui tambahan ciri-ciri

khas biokimia (misalnya, tes niasin positif seperti pada M tuberculosis, reduksi nitrat,

3

Page 4: 18 (Repaired)

pembentukan urease atau katalase, tes arilsulfatase, dan banyak yang lainnya). Metode

konvensional untuk mengklasifikasikan mikobakteria secara cepat telah menjadi sejarah masa

lalu saja karena metode penanda molekuler jauh lebih cepat dan lebih mudah.

Penanda molekuler menyediakan metode yang cepat, sensitif, dan spesifik untuk

mengidentifikasi mikobakteria. Penanda dapat digunakan pada mikobakteria yang tumbuh

dari perbenihan padat atau dari biakan kaldu. Penanda DNA spesifik untuk urutan rRNA dari

tes organisme digunakan pada prosedur hibridisasi. Terdapat kurang lebih 10.000 salinan

rRNA per sel mikobakteria, memungkinkan sistem penguat alami, meningkatkan

pendeteksian. Hibrida untai ganda dipisahkan dari penanda untai tunggal yang tidak

terhibridisasi. Penanda DNA terkait pada struktur kimia yang teraktivasi pada hibrida dan ter-

deteksi oleh kemiluminesens. Dengan digunakannya penanda ini, maka telah memperpendek

waktu untuk mengidentifikasi mikobakterium yang penting secara klinik dari beberapa

minggu sampai paling sedikit 1 hari.

Cairan kromatografi tampilan-tinggi (HPLC) telah dipakai untuk menggolongkan

banyak spesies mikobakteria. Metode ini bekerja berdasarkan pembentukan asam mikolat,

yang beraneka macam dari satu spesies ke spesies lainnya. HPLC untuk menggolongkan

mikobakteria terdapat pada laboratorium rujukan.

Uji kepekaan mikobakteria merupakan hal penting di samping pemilihan obat-obat

untuk terapi yang efektif. Teknik biakan kaldu radiometrik yang distan-darisasi dapat

digunakan untuk menguji kepekaan terhadap obat pilihan pertama. Teknik konvensional ber-

dasarkan agar yang bersifat kompleks dan lebih sulit biasanya dilakukan di laboratorium

rujukan; obat pilihan pertama dan kedua dapat diuji melalui metode ini.

3. Diagnosa

a. Working diagnosis

Pada kasus ini,sudah jelas sekali diagnosis kerja yang diambil adalah tuberculosis

dalam pengobatan, hal ini di dukung dengan datangnya pasien yang bertujuan untuk

mengetahui kondisi penyakit TB parunya,dan sudah memiliki riwayat pengobatan sebanyak

dua kali,yang pertama pasien hanya minum obat sekitar 3 bulan. Saat ini pasien menjalani

pengobatan TB yang kedua kalinya,dan mendapat obat suntik yang sudah berjalan selama 6

bulan.

b. Differential diagnosis

i. MDR-TB (multidrug resistant tuberculosis)

4

Page 5: 18 (Repaired)

Multi drug resistance TB (MDR TB) disebabkan oleh organisme yang resisten

terhadap obat anti tuberkulosis yang paling efektif, yaitu isoniazid dan rifampisin. MDR TB

merupakan hasil dari infeksi dari organisme yang sudah resisten terhadap obat atau timbul

saat pasien sedang terapi, namun terhenti. Fluorokuinolon merupakan golongan paling kuat di

antara obat-obat lini kedua untuk terapi MDR-TB. Pasien MDR-TB yang disertai resistensi

terhadap golongan fluorokuinolon memiliki manifestasi klinik yang lebih serius

dibandingkan dengan yang tidak. Penyakit ini lebih susah diterapi, dan lebih berisiko untuk

menjadi XDR-TB, dan memungkinkan resistensi terhadap obat-obat lini kedua yang lain.

ii. XDR-TB

XDR TB merupakan bentuk TB yang resisten terhadap setidaknya empat obat inti anti

TBC. XDR TB mencakup resistensi terhadap dua obat anti tuberkulosis yang paling efektif,

isoniazid dan rifampisin, sama seperti MDR TB, ditambah dengan resistensi terhadap

golongan fluorokuinolon (seperti ofloxacin atau moxifloxacin), dan terhadap satu dari tiga

obat second-line therapy (amikacin, capreomycin, atau kanamycin). MDR TB dan XDR TB

membutuhkan terapi lebih banyak dibandingkan dengan TB yang tidak resisten, dan

membutuhkan kegunaan dari obat second-line therapy yang lebih mahal dan mempunyai efek

samping yang lebih banyak dari first-line therapy.

iii. TDR-TB

Istilah 'tahan benar-benar obat belum jelas untuk TB. Sementara konsep 'resistensi obat

total' mudah dimengerti secara umum, dalam prakteknya, in vitro tes kerentanan terhadap

obat secara teknis menantang. XDR-TB sangat mengurangi pilihan untuk pengobatan

meskipun mereka belum dipelajari dalam kohort besar. Pilihan pengobatan untuk pasien TB-

XDR yang memiliki ketahanan terhadap lini kedua obat anti-TB tambahan bahkan lebih

terbatas.

4. Etiologi3

Mikobakteria adalah bakteri obligat aerob, berbentuk batang, yang tidak membentuk

spora. Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah diwarnai bakteri ini tahan penghilangan

warna (dekolorisasi) oleh asam atau alkohol dan karena itu dinamakan basil "tahan-asam".

Mycobacterium tuberculosis menyebabkan tuberkulosis dan merupakan patogen yang sangat

penting bagi manusia.

5

Page 6: 18 (Repaired)

Dalam jaringan, basil tuberkel merupakan batang ramping lurus berukuran kira-kira 0,4 x

3 pm. Mikobakteria tidak dapat diklasifikasikan sebagai gram-positif atau gram-negatif.

Sekali diwarnai dengan zat warna basa, warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan

alkohol, meskipun dibubuhi iodium. Basil tuberkel yang sebenar-nya ditandai oleh sifat

"tahan-asam"—misalnya, 95% etil alkohol yang mengandung 3% asam hidroklorida (asam-

alkohol) dengan cepat akan menghilangkan warna semua bakteri kecuali mikobakteria. Sifat

tahan-asam ini bergantung pada integritas struktur selubung berlilin.

5. Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi paling umum di dunia, dengan perkiraan

sepertiga populasi terinfeksi dan 2,5 juta orang meninggal setiap tahun. Insidensinya yang

menurun telah berbalik, dengan peningkatan di negara berkembang dan negara maju sejak

pertengahan 1980-an: human immunodeficiency virus (HIV) menyebabkan banyak epidemi

baru. Mycobacterium tuberculosis: menginfeksi 8,7 juta kasus baru pada.tahun 2000 dengan

angka insidensi global yang meningkat sebanyak 0,4% per tahun. Infeksi baru dalam jumlah

banyak terdapat di Asia tenggara (3 juta) dan Afrika (2 juta). Sepertiga pasien dengan

tuberkulosis di Afrika mengalami koinfeksi dengan HIV. Pada tahun 2005, WHO

memprediksi bahwa akan terdapat 10,2 juta kasus baru dan Afrika akan memiliki lebih

banyak kasus daripada daerah lainnya (hampir 10% setiap tahun). Di Inggris jumlah kasus

meningkat dengan kasus di London mengalami peningkatan sebesar 40% antara tahun 1999

dan 2000 ,lebih sering terjadi pada kondisi tertentu ketika kerentanan HIV meningkat,

silikosis, immunocompromised, keganasan (terutama leukemia dan limfoma), diabetes

melitus tergantung insulin, gagal ginjal kronik, dan penyakit saluran pencernaan dengan

malnutrisi.

6. Patogenesis5

Tuberkulosis menyebar dari orang-ke-orang melalui rute aerosol. Paru merupakan

tempat infeksi pertama. Sebagian besar infeksi menghilang dan menyisakan jaringan parut

lokal (kompleks primer). Infeksi dapat menyebar dari fokus primer ke seluruh tubuh

(penyebaran rnilier). Infeksi ini dapat sembuh spontan atau berkembang menjadi infeksi lokal

(misalnya meningitis). Resistensi terhadap tuberkulosis bergantung pada fungsi sel T.

Penyakit dapat mengalami reaktivasi jika imunitas menurun (diperkirakan risiko reaktivasi

6

Page 7: 18 (Repaired)

sepanjang hidup adalah 10%). Pada individu immunocompromised seperti pasien yang positif

HIV, infeksi cenderung berkembang menjadi penyakit yang bergejala.

Mycobacterium tuberculosis diingesti oleh makrofag, tetapi dapat lolos dari

fagolisosom untuk kemudian bermultiplikasi dalam sitoplasma. Respon imun yang hebat

menyebabkan destruksi jaringan setempat (kavitasi pada paru) dan efek sistemik yang

diperantarai oleh sitokin (demam dan penurunan berat badan). Bermacam-macam antigen

telah diidentifikasi sebagai kemungkinan penentu virulensi, termasuk lipoarabinomanan

(menstimulasi sitokin dan superoksida dismutase (memacu kelangsungan hidup

intramakrofag).

7. Gambaran klinis5

Mycobacterium tuberculosis dapat memengaruhi semua organ tubuh: menyerupai

baik peradangan maupun penyakit keganasan. Tuberkulosis paru dapat muncul dalam bentuk

batuk kronik, hemontisis, demam, dan penurunan berat badan, atau sebagai pneumonia

bakterial yang rekuren. Jika tidak diobati, infeksi dapat berkembang menjadi rangkaian

penyakit yang kronik dan terus memburuk. .

8. Penatalaksanaan

Prinsip pengobatan tuberkulosis2

Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberkulosis yakni:

- aktivitas bakterisid

Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih

aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau me-

lenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari

permulaan pengobatan).

- aktivitas sterilisasi

Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolisme-

nya kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan

dihentikan.

Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatan pada manusia temyata :

7

Page 8: 18 (Repaired)

- Hampir semua obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol

dan tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah

terjadinya resistensi kuman terhadap obat,

- Rifampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan

INH dan streptomisin menempati urutan yang lebih bawah. - dalam aktivitas

bakterisid

- Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap (complete bactericidal drug)

oleh karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Kedua obat ini

masing-masing mendapat nilai satu.

- Pirazinamid dan streptomisin masing-masing hanya mendapat nilai setengah, karena

pirazinamid hanya bekerja dalam lingkungan asam sedangkan streptomisin dalam

lingkungan basa.

- Etambutol dan tiasetazon tidak mendapat nilai.

Faktor Kuman Tuberkulosis2

Penelitian Mitchison telah membagi kuman M.tuberculosae dalam beberapa populasi

dalam hubungan antara pertumbuhannya dengan aktivitas obat yang membunuhnya yakni:

- Populasi A: dalam kelompok ini kuman tumbuh berkembang biak terus menerus dengan

cepat. Kuman-kuman ini banyak terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi yang pH-

nya netral. INH bekerja sangat baik pada populasi ini karena aktivitas bakterisid segera

kerjanya adalah tertinggi. Rifampisin dan Streptomisin juga dapat bekerja pada populasi

ini tetapi efeknya lebih kecil Z .daripada INH.

- Populasi B: dalam kelompok ini kuman tumbuh . sangat lambat dan berada dalam

lingkungan asam (pH rendah). Lingkungan asam ini melindungi kuman terhadap obat

antituberkulosis tertentu. Hanya pirazinamid yang dapat bekerja di sini.

- Populasi C: pada kelompok ini kuman berada dalam keadan dormant (tidak ada aktivitas

metabolisme) hampir sepanjang waktu. Hanya kadang-kadang saja kuman ini meng-

adakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang.singkat. Kuman jenis ini banyak

terdapat pada dinding kavitas. Di sini hanya rifampisin yang dapat bekerja karena obat

ini dapat segera bekerja bila kontak dengan kuman selama 20 menit.

- Populasi D : dalam kelompok ini terdapat kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat

dormant (complete dormant), sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruni oleh obat

8

Page 9: 18 (Repaired)

antituberkulosis. Jumlah populasi ini tidak jelas dan hanya dapat dimusnahkan oleh

mekanisme pertahanan tubuh manusia itu sendiri.

Resistensi mikroorganisme6

Problem resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik mula-mula ditemukan pada tahun

1980-an dengan ditemukannya kasus multipel resisten pada strain bakteri Streptococcus

pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis, Staphylococcus aureus, dan Enterococcus

faecalis. Semakin tinggi penggunaan antibiotik, semakin tinggi pula tekanan selektif proses

evolusi dan proliferasi strain mikroorganisme yang bersifat resisten. Mikroorganisme

patogen yang resisten terhadap antibiotik sangat sulit dieliminasi selama proses infeksi, dan

infeksi oleh beberapa strain bakteri dapat berakibat letal (kematian).

Resistensi mikroorganisme dapat dibedakan menjadi resistensi bawaan (primer),

resistensi dapatan (sekunder), dan resistensi episomal. Resistensi primer (bawaan)

merupakan resistensi yang menjadi sifat alami mikroorganisme. Hal ini misalnya dapat

disebabkan oleh adanya enzim pengurai antibiotik pada mikroorganisme sehingga secara

alami mikroorganisme dapat menguraikan antibiotik.

Mekanisme resistensi sekunder (dapatan) diperoleh akibat kontak dengan agen

antimikroba dalam waktu yang cukup lama dengan frekuensi yang tinggi, sehingga

memungkinkan terjadinya mutasi pada mikroorganisme. Terbentuknya mutan yang resisten

terhadap obat antimikroba dapat terjadi secara cepat (resistensi satu tingkat) dan dapat pula

terjadi dalam kurun waktu yang lama (resistensi multi tingkat). Contoh resistensi satu tingkat

adalah pada INH, streptomisin, dan rifampisin.

Mekanisme resistensi dapatan juga dapat berlangsung akibat adanya mekanisme adaptasi

atau penyesuaian aktivitas metabolisme mikroorganisme untuk melawan efek obat,

contohnya dengan perubahan pola enzim. Dengan demikian, mikroorganisme dapat

membentuk enzim yang menguraikan antibiotik.

Mekanisme resistensi dapatan yang lain adalah dengan memperkuat dinding sel

mikroorganisme sehingga menjadi impermeabel terhadap obat, dan perubahan sisi perlekatan

pada dinding sel. Ada pula mikroorganisme yang melepaskan dinding selnya sehingga

menjadi tidak peka lagi terhadap penisilin,

Resistensi episomal disebabkan oleh faktor genetik di luar kromosom (episom =

plasmid —> di luar kromosom). Beberapa bakteri memiliki faktor resistensi pada plasmidnya

9

Page 10: 18 (Repaired)

yang dapat menular pada bakteri lain yang memiliki kaitan spesies melalui kontak sel secara

konjugasi maupun transduksi.

Ketergantungan (dependence) merupakan kejadian di mana pertumbuhan

mikroorganisme tergantung pada adanya antibiotik tertentu. Contohnya, penisilin,

streptomisin, INH, dan kloramfenikol dapat digunakan mikroorganisme sebagai zat tumbuh.

Sifat ini dapat terjadi pada mikroorganisme mutan yang resisten.

Dikenal juga adanya resistensi silang (cross resistance) pada mikroorganisme, di mana

mikroorganisme yang resisten terhadap suatu antibiotik juga diketahui memiliki resistensi

terhadap semua derivat antibiotik tersebut. Contohnya, penisilin dan ampisilin, tetrasiklin,

sulfonamid, rifamisin dan rifampisin, amoksisilin, dan sebagainya.

Resistensi pada tuberculosis, terutama disebabkan kepathan pasien yang rendah. Untuk

mencegah ketidakpatuhan dan berkembangnya tuberkulosis resisten-obat, terapi yang diamati

secara langsung disarankan untuk ke-banyakan pasien (yakni penyedia asuhan kesehatan

yang mengamati pasien dalam menjalankan pengobatan 2-5 kali dalam seminggu).

Jika dicurigai terjadi resistensi obat (yakni pada pasien yang pernah diobati sebelumnya),

terapi harus dijalankan dengan 5 atau 6 obat, termasuk 2 atau 3 obat yang belum pemah

diterima sebelumnya oleh pasien. Regimen ini dapat mencakup isoniazid, hfampin, pira-

zinamida, etambutol, streptomisin, dan etionamida. Beberapa dokter memasukkan isoniazid

dalam regimen terapi, meskipun telah terjadi resistensi mikroorganisme, karena beranggapan

bahwa penyakit dengan mikobakteria resisten-isoniazid tidak "berkembang" selama terapi

tersebut. Dokter lainnya menghentikan isoniazid untuk mengurangi kemungkinan toksisitas.

Terapi harus dilanjutkan selama sedikitnya 24 bulan.

Paduan obat2,7

Dalam riwayat kemoterapi terhadap tuberkulosis dahulu dipakai satu macam obat saja.

Kenyataannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi karena sebagian

besar kuman tuberkulosis memang dapat di-binasakan tetapi sebagian kecil tidak. Kelompok

kecil yang resisten ini malah berkembang biak dengan leluasa. Untuk mencegah terjadinya

resistensi ini, terapi tuberkulosis dilakukan dengan memakai paduan obat, sedikitnya

diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid.

Dengan memakai paduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan karena :

- Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih.

- Pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH.

10

Page 11: 18 (Repaired)

Tetapi belakangan ini di beberapa negara banyak terdapat resistensi terhadap lebih dari

satu obat (multi drug resistance) terutama terhadap INH dan rifampisin.

Jenis obat yang dipakai:

I. Obat primer (obat antituberkulosis tingkat satu)

1. Isoniazid

Isoniazid merupakan obat utama untuk tuberkulosis. Seluruh pasien dengan penyakit

yang disebabkan oleh galur yang sensitif sebaiknya menerima obat ini jika mereka dapat

menoleransinya. Isoniazid merupakan bakteriostatik untuk basilus "istirahat", tetapi

bakterisid untuk mikroorganisme yang sedang membelah. Isoniazid bekerja dengan cara

menghambat biosintesis asam mikolat.

2. Rifampisin

Rifamisin (rifampin, rifabutin, rifapentin) merupakan antibiotik makrosiklik.Rifampin

bersifat bakterisid untuk mikroorganisme intraseluler maupun ekstraseluler.

3. Pirazinamid

Pirazinamida menunjukkan aktivitas antibiotik secara in vitro hanya pada pH yang

sedikit asam; ini tidak menimbulkan masalah karena pirazinamida membunuh basilus

tuberkulum yang terletak pada fagosom asam di dalam makrofag.

4. Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid untuk basilus tuberkulum secara in vitro. Mayoritas

galur M. tuberculosis sensitif terhadap streptomisin. Streptomisin secara in vivo tidak

mengeradikasi basilus tuberkulum, kemungkinan karena obat ini tidak mudah memasuki sel

hidup sehingga tidak dapat membunuh mikroba intraseluler.

5. Etambutol

Etionamida menghambat pertumbuhan mikobakteri dengan cara menghambat biosintesis

asam mikolat dan mengakibatkan gangguan pada sintesis dinding sel.

II. Obat sekunder (obat antituberkulosis tingkat dua)

1. Kanamisin

2. PAS (Para Amino Salicylic acid)

3. Tiasetazon

4. Etionamid

5. Protionamid

6. Sikloserin

11

Page 12: 18 (Repaired)

7. Viomisin

8. Kapreomisin

9. Amikasin

10. Ofloksasin

11. Siprofloksasin

12. Norfloksasin

13. Klofazimin

Sebelum ditemukan rifampisin, metode terapi tuberkulosis paru adalah dengan sistem

jangka panjang (terapi standar) yakni : INH (H) + streptomisin (S) + PAS atau etambutol (E)

tiap hari dengan fase initial selama 1-3 bulan dan dilanjutkan dengan INH + etambutol atau

PAS selama 12-18 bulan.

Setelah Rifampisin ditemukan paduan obat menjadi INH + rifampisin + streptomisin

atau etambutol setiap hari (fase initial) dan diteruskan dengan INH + rifampisin atau

etambutol (fase lanjut).

Paduan ini selanjutnya berkembang menjadi terapi jangka pendek, dengan memberikan

INH + rifampisin + streptomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z) setiap hari sebagai fase

initial selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH + rifampisin atau etambutol atau

streptomisin 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama pengobatan keseluruhan

menjadi 6-9 bulan.

Paduan obat yang dipakai di Indonesia dan dianjurkan juga oleh WHO adalah : 2 RHZ/4

RH dengan variasi 2 RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3, 2 RHS/4R2H2, dll. Untuk tuberkulosis paru

yang berat (milier) dan tuberkulosis ekstraparu, terapi tahap lanjutan diperpanjang menjadi 7

bulan sehingga paduannya menjadi 2 RHZ/7 RH, dll.

Dengan pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan seperti

waktu pengobatan lebih singkat, biaya keseluruhan untuk pengobatan menjadi lebih rendah,

jumlah pasien yang membangkang menjadi berkurang, dan tenaga pengawas pengobatan

menjadi lebih hemat/efisien.

Oleh karena itu Departemen Kesehatan Rl dalam rangka program pemberantasan

penyakit tuberkulosis paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek dengan paduan obat

HRE/5 H2R2 (isoniazid + rifampisin + etambutol setiap hari selama satu bulan, dan dilan-

jutkan dengan isoniazid + rifampisin 2 kali seminggu selama 5 bulan), daripada terapi jangka

panjang HSZ/11 H2Z2.(INH + streptomisin + pirazinamid 2 kali seminggu 11 bulan).

12

Page 13: 18 (Repaired)

Terapi jangka pendek yang semula dianjurkan oleh WHO belakangan ini mendapat

hambatan-hambatan antara lain karena obat rifampisin dan pirazinamid tidak dapat diterima

pasien karena harganya relatif mahal. Di negara-negara yang sedang berkembang,

pengobatan jangka pendek ini banyak yang gagal mencapai kesembuhan yang ditargetkan

(cure rate) yakni 85% karena program pengobatan yang kurang baik, kepatuhan ber-obat

pasien yang buruk, sehingga menimbulkan populasi tuberkulosis makin meluas, resistensi

obat makin banyak.

Pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni : kurang dari 33 kg, 33-50 dan lebih

dari 50 kg. Pengobatan dibagi atas 4 kategori yakni: -

Kategori I Ditujukan terhadap:

- Kasus baru dengan sputum positif.

- Kasus baru dengan bentuk tuberkulosis berat seperti meningitis, tuberkulosis dise-minata,

perikarditis, peritonitis, pleuritis, spondilitis dengan gangguan neurologis, kelainan paru

yang luas dengan BTA negatif, tuberkulosis usus, tuberkulosis genitouri-narius.

- Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan 2 RHZS (E). Bila setelah 2 bulan BTA

menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 2 bulan masih tetap

positif maka tahap intensif diperpanjang lagi selama 2-4 minggu dengan 4 macam obat.

Pada populasi dengan resistensi primer terhadap INH rendah, tahap intensif cukup diberikan

3 macam obat saja yakni RHZ.

- Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4 RH atau 4 R3H3. Pasien dengan

tuberkulosis berat (meningitis, tuberkulosis diseminata, spondilitis dengan kelainan

neurologis), R dan H harus diberikan tiap hari selama 6-7 bulan. Paduan obat altematif adalah

6 HE (T).

Kategori II Ditujukan terhadap:

- Kasus kambuh.

- Kasus gagal dengan sputum BTA positif

Pengobatan tahap intensif selama 3 bulan dengan 2 RHZSE/1 RHZE. Bila setelah tahap

intensif BTA menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 3 bulan

tahap intensif BTA tetap positif, maka tahap intensif tersebut diperpanjang lagi 1 bulan

dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan BTA masih juga positif, pengobatan dihentikan selama 2-

3 hari, lalu diperiksa biakan dan resistensi terhadap BTA dan pengobatan diteruskan dengan

tahap lanjutan. Bila pasien masih mempunyai data resistensi BTA dan ternyata BTA masih

13

Page 14: 18 (Repaired)

sensitif terhadap semua obat dan setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka tahap

lanjutan dapat diubah menjadi sama dengan kategori I dengan pengawasan yang ketat. Bila

data menunjukkan resisten terhadap R dan H, maka kemungkinan keberhasilan menjadi kecil.

Bila sputum BTA masih tetap positif setelah selesai tahap lanjutan, maka pasien tidak perlu

diobati lagi.

Kategori III Ditujukan terhadap :

- Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.

- Kasus tuberkulosis ekstraparu selain dari yang disebut dalam kategori I

Pengobatan tahap intensif dengan paduan 2RHZ atau 2R3H3Z3. Bila kelainan paru

lebih luas dari 10 cm2 atau pada tuberkulosis ekstra paru dengan remisi belum sempurna,

maka tahap lanjutan diperpanjang lagi dengan H saja selama 4 bulan lagi. Paduan obat

alternatif adalah 6 HE (T).

Kategori IV

Ditujukan terhadap kasus tuberkulosis kronik. Prioritas pengobatan di sini rendah.

Terdapat resistensi obat-obat antituberkulosis (sedikit-nya R dan H), sehingga masalahnya

jadi rumit. Pasien mungkin perlu dirawat beberapa bulan dan diberikan obat-obat antituber-

kulosis tingkat dua yang kurang begitu efektif, lebih mahal dan lebih toksis. Di negara maju

dapat diberikan obat-obat antituberkulosis eksperimental sesuai dengan sensitivitasnya,

sedangkan negara yang kurang mampu cukup dengan pemberian H seumur hidup dengan

harapan dapat mengurangi infeksi dan penularan.

Departemen Kesehatan Rl dalam program baru pemberantasan tuberkulosis paru telah

mulai dengan paduan obat: 2 RHZE/4 R3H3 (kategori I), 2 RHZSE/1 RHZE/5 R3H3E3 (kat

II), 2 RHZ/2 R3H3 (kat III).

Dosis obat2

Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai (di Indonesia) secara harian

maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.

Tabel1. Dosis

obat2

14

Dosis harian Dosis berkala

Nama obat BB < 50 kg BB > 50 kg 3 x seminggu

Isoniazid 300 mg 400 mg 600 mg

Rifampisin 450 mg 600 mg 600 mg

Pirazinamid 1.500 mg 2.000 mg 2-3 g

Streptomisin 750 mg 1.000 mg 1.000 mg

Etambutol 750 mg 1.000 mg 1-1.5 g

Etionamid 500 mg 750 mg -

PAS 99 10 g -

Page 15: 18 (Repaired)

Efek samping obat2

Dalam pemakaian obat-obat antituberkulosis tidak jarang ditemukan efek samping yang

mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin obat anti-

tuberkulosis yang bersangkutan masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil,

tetapi bila efek samping ini sangat menggang-gu, obat antituberkulosis yang bersangkutan

harus dihentikan pemberiannya, dan pengobatan tuberkulosis dapat diteruskan dengan obat

lain. Perlu diketahui bahwa semua obat anti tuberkulosis mempunyai efek samping yang

kadarnya berbeda-beda pada tiap-tiap individu.

Adapun efek samping tiap-tiap obat tersebut ialah :

INH : neuropati perifer (hal ini dapat dicegah dengan pemberian vitamin B6),

hepatotoksik

Rifampisin : sindrom.flu,hepatotoksik

Streptomisin : nefrotoksik,gangguan nervus VIII kranial.

Etambutol : neuritis optika,nefrotoksik, skin rash/dermatitis.

Etionamid : hepatotoksik,gangguan pencernaan.

PAS : hepatotoksik, gangguan pencernaan

Evaluasi pengobatan2

Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif.

Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan

kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2,4, dan 6. Pada yang memakai

paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA

dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke 2 dan akhir pengobatan. Pemeriksaan resistensi

dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal

terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif,

sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Sputum BTA

sebaiknya tetap diperiksa untuk kontrol pada kasus-kasus yang dianggap selesai

pengobatan/sembuh. Sewaktu-waktu mungkin terjadi silent bacterial shedding, yaitu terdapat

sputum BTA positif tanpa disertai keluhan-keluhan tuberkulosis yang relevan pada kasus-

kasus yang memperoleh kesembuhan. Bila ini terjadi yakni BTA positif pada 3 kali-

pemeriksaan biakan (3 bulan), berarti pasien mulai kambuh lagi. Radiologis. Evaluasi

radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Beberapa ahli kedokteran

menyatakan evaluasi radiologis ini sebenarnya kurang begitu berperan dalam evaluasi 15

Page 16: 18 (Repaired)

penyakitnya. Bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir pengobatan

sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh. Jika keluhan

pasien tetap tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis

dapat dilihat keadaan tuberkulosis parunya atau adakah penyakit lain yang menyertai-nya.

Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto

dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.

Bila secara bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis tidak, harus dicurigai

penyakit lain di samping tuberkulosis paru. Bila secara klinis, bakteriologis dan radiologis

tetap tidak ada perbaikan padahal pasien sudah diobati dengan dosis yang adekuat serta

teratur, perlu dipikirkan adanya gangguan imunologis pada pasien tersebut, antara lain AIDS

Kegagalan Pengobatan2

Sebab-sebab kegagalan pengobatan:

a. Obat:

- Paduan obat tidak adekuat.

- Dosis obat tidak cukup.

- Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan.

- Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya.

- Terjadi resistensi obat.

- Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap

intensif, tidak terlihat perbaikan. Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten

terhadap OAT makin meningkat dan sudah mencapai 9%. Di negara yang sedang

berkembang seperti di Afrika, diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten

terhadap OAT saat ini sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP {Polymerase Chain

Reaction-Single Stranded Confinnation Polymorphism) dalam waktu 1 hari.

b. Drop out:

- Kekurangan biaya pengobatan.

- Merasa sudah sembuh.

- Malas berobat / kurang motivasi.

c. Penyakit

- Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat.

- Penyakit lain yang menyertai tuberkulosis seperti diabetes melitus, alkoholisme, dll.

- Adanya gangguan imunologis.16

Page 17: 18 (Repaired)

Sebab-sebab kegagalan pengobatan yang terbanyak adalah karena kekurangan biaya

pengobatan atau merasa sudah sembuh. Kegagalan pengobatan ini dapat mencapai 50% pada

terapi jangka panjang, karena sebagian besar pasien tuberkulosis adalah golongan yang tidak

mampu sedangkan pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama dan biaya banyak.

Untuk mencegah kegagalan pengobatan ini perlu kerjasama yang baik dari dokter dan

paramedis lainnya serta motivasi pengobatan tersebut terhadap pasien. Penanggulangan

terhadap kasus-kasus yang gagal ini adalah :

a) Terhadap pasien yang sudah berobat secara teratur.

- Menilai kembali apakah paduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara

pemberiannya.

- Lakukan pemeriksaan uji kepekaan/tes resistensi kuman terhadap obat.

- Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi temyata gagal juga, maka

pertimbangkan terapi dengan pembedahan terutama pada pasien dengan kavitas atau

destroyed lung.

b) Terhadap pasien dengan riwayat pengobatan tidak teratur.

- Teruskan pengobatan lama selama + 3 bulan dengan evaluasi bakteriologis tiap-tiap

bulan.

- Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat.

- Bila ternyata terdapat resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang masih

sensitif.

Pengobatan pembedahan2

Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani terapi TB adekuat dan sudah di-

nyatakan sembuh oleh dokter secara klinis, mikrobiologis maupun radiologis, kemudian pada

evaluasi berikutnya terdapat gejala klinis tuberkulosis positif (mikrobiologi positif). Terapi

bedah, banyak dilakukan dalam upaya pe-nyembuhan pasien tuberkulosis paru yang kambuh.

Pada saat ini dengan banyaknya obat-obat yang bersifat bakterisid, terapi bedah jarang sekali

dilakukan terhadap pasien-tuberkulosis paru.

Indikasi terapi bedah saat ini adalah :

a. pasien dengan sputum BTA tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulang,

b. pasien dengan batuk darah masif atau berulang.

17

Page 18: 18 (Repaired)

Di samping syarat toleransi operasi (spiro-metri, analisis gas darah dll) diperlukan juga

syarat adanya obat-obat antituberkulosis yang masih sensitif. Obat-obat antituberkulosis ini

tetap diberikan sampai 6 bulan setelah operasi.

Hasil operasi pasien dengan sputum BTA tetap positif, sebagian besar BTA menjadi

negatif di samping perbaikan keluhan-keluhan-nya, sehingga dapat dikatakan tindakan bedah

sangat berarti dalam penyembuhan pasien.

9. Pencegahan2

- Vaksinasi BCG

Dari beberapa peneliti diketahui bahwa vaksinasi BCG yang telah dilakukan pada anak-

anak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagian saja, yakni 0-80%. Tetapi BCG

masih tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap tuberkulosis berat

(meningitis, tuberkulosis milier dll) dan tuberkulosis ekstra paru lainnya.

- Kemoprofilaksis

Kemoprofilaksis terhadap tuberkulosis merupakan masalah tersendiri dalam penang-

gulangan tuberkulosis paru di samping diagnosis yang cepat dan pengobatan yang adekuat

Isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganya murah dan efek sampingnya sedikit

(terbanyak hepatitis dengan frekuensi 1%, sedangkan yang berusia lebih dari 50 tahun adalah

2%).

Obat altematif lain setelah Isoniazid adalah Rifampisin. Beberapa peneliti pada IUAT

(International Union Against Tuberculosis) menyatakan bahwa profilaksis dengan INH

diberikan selama 1 tahun, dapat menurunkan insidens tuberkulosis sampai 55-83%, dan yang

kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat mencapai penurunan 90%. Yang minum obatnya

tidak teratur (intermittent), efekvitasnya masih cukup baik. Lama profilaksis yang optimal

belum diketahui, tetapi banyak peneliti menganjurkan waktu antara 6-12 bulan terhadap

tersangka dengan hasil uji tuberkulin yang diametemya lebih dari 5-10 mm. Yang mendapat

profilaksis 12 bulan adalah pasien HIV positif dan pasien dengan kelainan radiologis dada.

Yang lainnya seperti kontak tuberkulosis dan sebagainya cukup 6 bulan saja. Pada negara-

negara dengan populasi tuberkulosis tinggi sebaiknya profilaksis diberikan terhadap semua

pasien HIV positif dan pasien yang mendapat terapi imunosupresi.

10. Prognosis

18

Page 19: 18 (Repaired)

Tanpa pengobatan yang adekuat, tuberkulosis bisa menjadi fatal. Penyakit aktif yang

tidak diobati ini biasanya menyerang paru-paru, namun dapat menyebar ke bagian tubuh lain

melalui aliran darah, seperti tulang, otak, hati atau ginjal, jantung, dan rongga abdomen,

sehingga prognosisnya bisa lebih buruk, apalagi pada pasien dengan resistensi obat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;2005. h.

175

2. Soematri ES, Uyainah A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke 3. Jakarta: FK UI.

2003.h.33-881.

3. Jawetz E,Melnick J,Adelberg E. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta :EGC; 2008. h.

302-9

4. Mandal BK,Wilkins EGL,Dunbar EM,White M. Lecture notes: penyakit

infeksi.Jakarta : Erlangga,2009.h.220

5. Gillespie SH, Bamford KB. At a glance mikrobiologi medis dan infeksi. Jakarta:

Erlangga;2009. h. 40-1

6. Pratiwi ST. Mikrobiologi farmasi. Jakarta: Erlangga;2008.h.165-7

7. Brunton L. parker K. bluementhal D. Buxton I. Goodman & gilman: manual

farmakologi dan terapi. Jakarta: EGC;2008.h.742-50

19