18 (Repaired)
-
Upload
angelicaveronika -
Category
Documents
-
view
8 -
download
0
description
Transcript of 18 (Repaired)
Riwayat Pengobatan Pasien Tuberculosis Paru
Angelica
102012215
Fakultas Kedokteran
Universitas Krida wacana
Jl. Arjuna No.6 Kebon Jeruk- Jakarta Barat
Telp: 021-569422061
Pendahuluan
Penderita Tuberkulosis (TB) seringkali tidak patuh menghabiskan obat yang telah
diberikan, penyebabnya paling banyak adalah karena malas atau lupa. Namun ketidakpatuhan
mengonsumsi obat dapat menimbulkan kekebalan tubuh terhadap obat tersebut. Akibatnya,
obat yang sebelumnya efektif akan menjadi tidak efektif sama sekali pada tubuh penderita.
Tetapi tingkat keberhasilan pengobatan tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah
mencapai lebih dari 90 persen dan tingkat deteksi kasus baru TB jumlahnya di atas 70 persen.
Prestasi yang cukup membanggakan.
Pada tahun 2008 prevalensi TB di Indonesia mencapai 253 per 100.000 penduduk,
sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah 222 per 100.000 penduduk. Sedangkan
angka kematian TB pada tahun 2008 telah menurun tajam menjadi 38 per 100.000 penduduk
dibandingkan tahun 1990 sebesar 92 per 100.000 penduduk.
Pada tahun 2009 angka cakupan penemuan kasus mencapai 71 persen dan angka
keberhasilan pengobatan mencapai 90 persen. TB ditemukan terjadi pada lebih dari 70 persen
penduduk usia produktif.
Jumlah pasien TB di Indonesia adalah sekitar 5,8 persen dari total jumlah pasien TB
dunia. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru di Indonesia dengan tingkat
kematian sekitar 91.000 orangamun bukan berarti tugas masyarakat Indonesia sudah selesai
dalam memerangi TB.
1
Kekebalan terhadap obat TB atau dikenal sebagai Multi-Drug Resistant TB (MDR-
TB) merupakan salah satu faktor penyebab masih ada sekitar 10 persen penderita TB di
Indonesia belum sembuh sempurna.
Pasien yang sudah terlanjur menderita MDR-TB tubuhnya akan jadi kebal terhadap
obat TB, misalnya Isoniazid (INH). Untuk pengobatannya diberikan obat lini kedua.
Pendeteksian terhadap MDR-TB yang memakan waktu dalam hitungan bulan membuat
pasien TB seringkali terlalu lama menunggu hasil tes, akibatnya pasien TB menjadi terlambat
diberi pengobatan.
Pembahasan
1. Anamesa1
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara
biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang
penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta
bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien.
Pada pasien yang datang dengan symptom tuberculosis, diagnosis kerja harus di dukung
dengan indeks kecurigaan yang tinggi terutama pada pasien dengan imunosupresi atau dari
daerah endemisnya. Gejala lokal: Batuk, sesak napas, hemoptisis, limfadenopati, ruam
(misalnya lupus vulgaris), kelainan rontgen toraks, atau gangguan GI. Efek sistemik:Demam,
keringat malam, anoreksia, atau penurunan berat badan.
Beberapa pertanyaan penting tentang rekam medis perjalanan penyakit juga dianjurkan
untuk ditanyakan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit sudah
sejauh mana. Beberapa pertanyaan tersebut terbagi menjadi sebagai berikut :
- Riwayat penyakit dahulu
Pernahkah pasien berkontak dengan pasien TB?
Apakah pasien mengalami imunosupresi (kortikosteroid/HIV)?
Apakah pasien pernah menjalani pemeriksaan rontgen toraks dengan hasil abnormal?
Adakah riwayat vaksinasi BCG atau tes Mantoux?
Adakah riwayat diagnosis TB?
2
- Obat-obatan
Pernahkah pasien menjalani terapi TB? Jika ya, obat apa yang digunakan, berapa
lama terapinya, bagaimana kepatuhan pasien mengikuti terapi, dan apakah
dilakukan pengawasan terapi?
- Riwayat keluarga dan sosial
Adakah riwayat TB di keluarga atau lingkungan sosial? Tanyakan konsumsi
alkohol, penggunaan obat intravena, dan riwayat bepergian ke luar negeri.
2. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan fisik2
Biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu
selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis
hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk-batuk berkurang, batuk
darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat.
b. Pemeriksaan penunjang2,3
Bahan terolah yang berasal dari tempat-tempat nonsteril dan bahan tersentrifugasi
yang berasal dari tempat steril dapat dibiakkan secara Iangsung ke dalam perbenihan selektif
dan nonselektif). Pembiakan dengan kaldu selektif sering merupakan metode yang paling
sensitif dan memberi hasil yang paling cepat. Perbenihan agar selektif (misalnya, dua
lempeng Lowenstein-Jensen atau Middlebrook 7H10/7H11 dengan antibiotik).Inkubasi pada
suhu 37°C dalam 5-10% CO2 memerlukan waktu sampai 8 minggu. Jika biakan bersifat
negatif dan pewarnaan tahan-asam bersifat positif atau dicurigai terdapatnya mikobakteria
atipik yang tumbuh lambat.
Penting untuk mengkarakterisasikan dan memisahkan M tuberculosis dari semua
spesies mikobakteria lainnya. Mikobakteria yang diisolasi sebaiknya diidentifikasi sampai
sebagai spesies. Metode konvensional untuk mengindentifikasi mikobakteria antara lain
pemantauan laju pertumbuhan, morfologi koloni, pigmentasi, dan sifat-sifat biokimianya.
Metode konvensional seringkali memerlukan waktu 6-8 minggu untuk identifikasi. Laju
pertumbuhan memisahkan yang tumbuh cepat (tumbuh dalam waktu < 7 hari) dari
mikobakteria lain . Spesies tersendiri atau kompleks dipastikan melalui tambahan ciri-ciri
khas biokimia (misalnya, tes niasin positif seperti pada M tuberculosis, reduksi nitrat,
3
pembentukan urease atau katalase, tes arilsulfatase, dan banyak yang lainnya). Metode
konvensional untuk mengklasifikasikan mikobakteria secara cepat telah menjadi sejarah masa
lalu saja karena metode penanda molekuler jauh lebih cepat dan lebih mudah.
Penanda molekuler menyediakan metode yang cepat, sensitif, dan spesifik untuk
mengidentifikasi mikobakteria. Penanda dapat digunakan pada mikobakteria yang tumbuh
dari perbenihan padat atau dari biakan kaldu. Penanda DNA spesifik untuk urutan rRNA dari
tes organisme digunakan pada prosedur hibridisasi. Terdapat kurang lebih 10.000 salinan
rRNA per sel mikobakteria, memungkinkan sistem penguat alami, meningkatkan
pendeteksian. Hibrida untai ganda dipisahkan dari penanda untai tunggal yang tidak
terhibridisasi. Penanda DNA terkait pada struktur kimia yang teraktivasi pada hibrida dan ter-
deteksi oleh kemiluminesens. Dengan digunakannya penanda ini, maka telah memperpendek
waktu untuk mengidentifikasi mikobakterium yang penting secara klinik dari beberapa
minggu sampai paling sedikit 1 hari.
Cairan kromatografi tampilan-tinggi (HPLC) telah dipakai untuk menggolongkan
banyak spesies mikobakteria. Metode ini bekerja berdasarkan pembentukan asam mikolat,
yang beraneka macam dari satu spesies ke spesies lainnya. HPLC untuk menggolongkan
mikobakteria terdapat pada laboratorium rujukan.
Uji kepekaan mikobakteria merupakan hal penting di samping pemilihan obat-obat
untuk terapi yang efektif. Teknik biakan kaldu radiometrik yang distan-darisasi dapat
digunakan untuk menguji kepekaan terhadap obat pilihan pertama. Teknik konvensional ber-
dasarkan agar yang bersifat kompleks dan lebih sulit biasanya dilakukan di laboratorium
rujukan; obat pilihan pertama dan kedua dapat diuji melalui metode ini.
3. Diagnosa
a. Working diagnosis
Pada kasus ini,sudah jelas sekali diagnosis kerja yang diambil adalah tuberculosis
dalam pengobatan, hal ini di dukung dengan datangnya pasien yang bertujuan untuk
mengetahui kondisi penyakit TB parunya,dan sudah memiliki riwayat pengobatan sebanyak
dua kali,yang pertama pasien hanya minum obat sekitar 3 bulan. Saat ini pasien menjalani
pengobatan TB yang kedua kalinya,dan mendapat obat suntik yang sudah berjalan selama 6
bulan.
b. Differential diagnosis
i. MDR-TB (multidrug resistant tuberculosis)
4
Multi drug resistance TB (MDR TB) disebabkan oleh organisme yang resisten
terhadap obat anti tuberkulosis yang paling efektif, yaitu isoniazid dan rifampisin. MDR TB
merupakan hasil dari infeksi dari organisme yang sudah resisten terhadap obat atau timbul
saat pasien sedang terapi, namun terhenti. Fluorokuinolon merupakan golongan paling kuat di
antara obat-obat lini kedua untuk terapi MDR-TB. Pasien MDR-TB yang disertai resistensi
terhadap golongan fluorokuinolon memiliki manifestasi klinik yang lebih serius
dibandingkan dengan yang tidak. Penyakit ini lebih susah diterapi, dan lebih berisiko untuk
menjadi XDR-TB, dan memungkinkan resistensi terhadap obat-obat lini kedua yang lain.
ii. XDR-TB
XDR TB merupakan bentuk TB yang resisten terhadap setidaknya empat obat inti anti
TBC. XDR TB mencakup resistensi terhadap dua obat anti tuberkulosis yang paling efektif,
isoniazid dan rifampisin, sama seperti MDR TB, ditambah dengan resistensi terhadap
golongan fluorokuinolon (seperti ofloxacin atau moxifloxacin), dan terhadap satu dari tiga
obat second-line therapy (amikacin, capreomycin, atau kanamycin). MDR TB dan XDR TB
membutuhkan terapi lebih banyak dibandingkan dengan TB yang tidak resisten, dan
membutuhkan kegunaan dari obat second-line therapy yang lebih mahal dan mempunyai efek
samping yang lebih banyak dari first-line therapy.
iii. TDR-TB
Istilah 'tahan benar-benar obat belum jelas untuk TB. Sementara konsep 'resistensi obat
total' mudah dimengerti secara umum, dalam prakteknya, in vitro tes kerentanan terhadap
obat secara teknis menantang. XDR-TB sangat mengurangi pilihan untuk pengobatan
meskipun mereka belum dipelajari dalam kohort besar. Pilihan pengobatan untuk pasien TB-
XDR yang memiliki ketahanan terhadap lini kedua obat anti-TB tambahan bahkan lebih
terbatas.
4. Etiologi3
Mikobakteria adalah bakteri obligat aerob, berbentuk batang, yang tidak membentuk
spora. Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah diwarnai bakteri ini tahan penghilangan
warna (dekolorisasi) oleh asam atau alkohol dan karena itu dinamakan basil "tahan-asam".
Mycobacterium tuberculosis menyebabkan tuberkulosis dan merupakan patogen yang sangat
penting bagi manusia.
5
Dalam jaringan, basil tuberkel merupakan batang ramping lurus berukuran kira-kira 0,4 x
3 pm. Mikobakteria tidak dapat diklasifikasikan sebagai gram-positif atau gram-negatif.
Sekali diwarnai dengan zat warna basa, warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan
alkohol, meskipun dibubuhi iodium. Basil tuberkel yang sebenar-nya ditandai oleh sifat
"tahan-asam"—misalnya, 95% etil alkohol yang mengandung 3% asam hidroklorida (asam-
alkohol) dengan cepat akan menghilangkan warna semua bakteri kecuali mikobakteria. Sifat
tahan-asam ini bergantung pada integritas struktur selubung berlilin.
5. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi paling umum di dunia, dengan perkiraan
sepertiga populasi terinfeksi dan 2,5 juta orang meninggal setiap tahun. Insidensinya yang
menurun telah berbalik, dengan peningkatan di negara berkembang dan negara maju sejak
pertengahan 1980-an: human immunodeficiency virus (HIV) menyebabkan banyak epidemi
baru. Mycobacterium tuberculosis: menginfeksi 8,7 juta kasus baru pada.tahun 2000 dengan
angka insidensi global yang meningkat sebanyak 0,4% per tahun. Infeksi baru dalam jumlah
banyak terdapat di Asia tenggara (3 juta) dan Afrika (2 juta). Sepertiga pasien dengan
tuberkulosis di Afrika mengalami koinfeksi dengan HIV. Pada tahun 2005, WHO
memprediksi bahwa akan terdapat 10,2 juta kasus baru dan Afrika akan memiliki lebih
banyak kasus daripada daerah lainnya (hampir 10% setiap tahun). Di Inggris jumlah kasus
meningkat dengan kasus di London mengalami peningkatan sebesar 40% antara tahun 1999
dan 2000 ,lebih sering terjadi pada kondisi tertentu ketika kerentanan HIV meningkat,
silikosis, immunocompromised, keganasan (terutama leukemia dan limfoma), diabetes
melitus tergantung insulin, gagal ginjal kronik, dan penyakit saluran pencernaan dengan
malnutrisi.
6. Patogenesis5
Tuberkulosis menyebar dari orang-ke-orang melalui rute aerosol. Paru merupakan
tempat infeksi pertama. Sebagian besar infeksi menghilang dan menyisakan jaringan parut
lokal (kompleks primer). Infeksi dapat menyebar dari fokus primer ke seluruh tubuh
(penyebaran rnilier). Infeksi ini dapat sembuh spontan atau berkembang menjadi infeksi lokal
(misalnya meningitis). Resistensi terhadap tuberkulosis bergantung pada fungsi sel T.
Penyakit dapat mengalami reaktivasi jika imunitas menurun (diperkirakan risiko reaktivasi
6
sepanjang hidup adalah 10%). Pada individu immunocompromised seperti pasien yang positif
HIV, infeksi cenderung berkembang menjadi penyakit yang bergejala.
Mycobacterium tuberculosis diingesti oleh makrofag, tetapi dapat lolos dari
fagolisosom untuk kemudian bermultiplikasi dalam sitoplasma. Respon imun yang hebat
menyebabkan destruksi jaringan setempat (kavitasi pada paru) dan efek sistemik yang
diperantarai oleh sitokin (demam dan penurunan berat badan). Bermacam-macam antigen
telah diidentifikasi sebagai kemungkinan penentu virulensi, termasuk lipoarabinomanan
(menstimulasi sitokin dan superoksida dismutase (memacu kelangsungan hidup
intramakrofag).
7. Gambaran klinis5
Mycobacterium tuberculosis dapat memengaruhi semua organ tubuh: menyerupai
baik peradangan maupun penyakit keganasan. Tuberkulosis paru dapat muncul dalam bentuk
batuk kronik, hemontisis, demam, dan penurunan berat badan, atau sebagai pneumonia
bakterial yang rekuren. Jika tidak diobati, infeksi dapat berkembang menjadi rangkaian
penyakit yang kronik dan terus memburuk. .
8. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan tuberkulosis2
Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberkulosis yakni:
- aktivitas bakterisid
Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih
aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau me-
lenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari
permulaan pengobatan).
- aktivitas sterilisasi
Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolisme-
nya kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan
dihentikan.
Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatan pada manusia temyata :
7
- Hampir semua obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol
dan tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap obat,
- Rifampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan
INH dan streptomisin menempati urutan yang lebih bawah. - dalam aktivitas
bakterisid
- Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap (complete bactericidal drug)
oleh karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Kedua obat ini
masing-masing mendapat nilai satu.
- Pirazinamid dan streptomisin masing-masing hanya mendapat nilai setengah, karena
pirazinamid hanya bekerja dalam lingkungan asam sedangkan streptomisin dalam
lingkungan basa.
- Etambutol dan tiasetazon tidak mendapat nilai.
Faktor Kuman Tuberkulosis2
Penelitian Mitchison telah membagi kuman M.tuberculosae dalam beberapa populasi
dalam hubungan antara pertumbuhannya dengan aktivitas obat yang membunuhnya yakni:
- Populasi A: dalam kelompok ini kuman tumbuh berkembang biak terus menerus dengan
cepat. Kuman-kuman ini banyak terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi yang pH-
nya netral. INH bekerja sangat baik pada populasi ini karena aktivitas bakterisid segera
kerjanya adalah tertinggi. Rifampisin dan Streptomisin juga dapat bekerja pada populasi
ini tetapi efeknya lebih kecil Z .daripada INH.
- Populasi B: dalam kelompok ini kuman tumbuh . sangat lambat dan berada dalam
lingkungan asam (pH rendah). Lingkungan asam ini melindungi kuman terhadap obat
antituberkulosis tertentu. Hanya pirazinamid yang dapat bekerja di sini.
- Populasi C: pada kelompok ini kuman berada dalam keadan dormant (tidak ada aktivitas
metabolisme) hampir sepanjang waktu. Hanya kadang-kadang saja kuman ini meng-
adakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang.singkat. Kuman jenis ini banyak
terdapat pada dinding kavitas. Di sini hanya rifampisin yang dapat bekerja karena obat
ini dapat segera bekerja bila kontak dengan kuman selama 20 menit.
- Populasi D : dalam kelompok ini terdapat kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat
dormant (complete dormant), sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruni oleh obat
8
antituberkulosis. Jumlah populasi ini tidak jelas dan hanya dapat dimusnahkan oleh
mekanisme pertahanan tubuh manusia itu sendiri.
Resistensi mikroorganisme6
Problem resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik mula-mula ditemukan pada tahun
1980-an dengan ditemukannya kasus multipel resisten pada strain bakteri Streptococcus
pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis, Staphylococcus aureus, dan Enterococcus
faecalis. Semakin tinggi penggunaan antibiotik, semakin tinggi pula tekanan selektif proses
evolusi dan proliferasi strain mikroorganisme yang bersifat resisten. Mikroorganisme
patogen yang resisten terhadap antibiotik sangat sulit dieliminasi selama proses infeksi, dan
infeksi oleh beberapa strain bakteri dapat berakibat letal (kematian).
Resistensi mikroorganisme dapat dibedakan menjadi resistensi bawaan (primer),
resistensi dapatan (sekunder), dan resistensi episomal. Resistensi primer (bawaan)
merupakan resistensi yang menjadi sifat alami mikroorganisme. Hal ini misalnya dapat
disebabkan oleh adanya enzim pengurai antibiotik pada mikroorganisme sehingga secara
alami mikroorganisme dapat menguraikan antibiotik.
Mekanisme resistensi sekunder (dapatan) diperoleh akibat kontak dengan agen
antimikroba dalam waktu yang cukup lama dengan frekuensi yang tinggi, sehingga
memungkinkan terjadinya mutasi pada mikroorganisme. Terbentuknya mutan yang resisten
terhadap obat antimikroba dapat terjadi secara cepat (resistensi satu tingkat) dan dapat pula
terjadi dalam kurun waktu yang lama (resistensi multi tingkat). Contoh resistensi satu tingkat
adalah pada INH, streptomisin, dan rifampisin.
Mekanisme resistensi dapatan juga dapat berlangsung akibat adanya mekanisme adaptasi
atau penyesuaian aktivitas metabolisme mikroorganisme untuk melawan efek obat,
contohnya dengan perubahan pola enzim. Dengan demikian, mikroorganisme dapat
membentuk enzim yang menguraikan antibiotik.
Mekanisme resistensi dapatan yang lain adalah dengan memperkuat dinding sel
mikroorganisme sehingga menjadi impermeabel terhadap obat, dan perubahan sisi perlekatan
pada dinding sel. Ada pula mikroorganisme yang melepaskan dinding selnya sehingga
menjadi tidak peka lagi terhadap penisilin,
Resistensi episomal disebabkan oleh faktor genetik di luar kromosom (episom =
plasmid —> di luar kromosom). Beberapa bakteri memiliki faktor resistensi pada plasmidnya
9
yang dapat menular pada bakteri lain yang memiliki kaitan spesies melalui kontak sel secara
konjugasi maupun transduksi.
Ketergantungan (dependence) merupakan kejadian di mana pertumbuhan
mikroorganisme tergantung pada adanya antibiotik tertentu. Contohnya, penisilin,
streptomisin, INH, dan kloramfenikol dapat digunakan mikroorganisme sebagai zat tumbuh.
Sifat ini dapat terjadi pada mikroorganisme mutan yang resisten.
Dikenal juga adanya resistensi silang (cross resistance) pada mikroorganisme, di mana
mikroorganisme yang resisten terhadap suatu antibiotik juga diketahui memiliki resistensi
terhadap semua derivat antibiotik tersebut. Contohnya, penisilin dan ampisilin, tetrasiklin,
sulfonamid, rifamisin dan rifampisin, amoksisilin, dan sebagainya.
Resistensi pada tuberculosis, terutama disebabkan kepathan pasien yang rendah. Untuk
mencegah ketidakpatuhan dan berkembangnya tuberkulosis resisten-obat, terapi yang diamati
secara langsung disarankan untuk ke-banyakan pasien (yakni penyedia asuhan kesehatan
yang mengamati pasien dalam menjalankan pengobatan 2-5 kali dalam seminggu).
Jika dicurigai terjadi resistensi obat (yakni pada pasien yang pernah diobati sebelumnya),
terapi harus dijalankan dengan 5 atau 6 obat, termasuk 2 atau 3 obat yang belum pemah
diterima sebelumnya oleh pasien. Regimen ini dapat mencakup isoniazid, hfampin, pira-
zinamida, etambutol, streptomisin, dan etionamida. Beberapa dokter memasukkan isoniazid
dalam regimen terapi, meskipun telah terjadi resistensi mikroorganisme, karena beranggapan
bahwa penyakit dengan mikobakteria resisten-isoniazid tidak "berkembang" selama terapi
tersebut. Dokter lainnya menghentikan isoniazid untuk mengurangi kemungkinan toksisitas.
Terapi harus dilanjutkan selama sedikitnya 24 bulan.
Paduan obat2,7
Dalam riwayat kemoterapi terhadap tuberkulosis dahulu dipakai satu macam obat saja.
Kenyataannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi karena sebagian
besar kuman tuberkulosis memang dapat di-binasakan tetapi sebagian kecil tidak. Kelompok
kecil yang resisten ini malah berkembang biak dengan leluasa. Untuk mencegah terjadinya
resistensi ini, terapi tuberkulosis dilakukan dengan memakai paduan obat, sedikitnya
diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid.
Dengan memakai paduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan karena :
- Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih.
- Pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH.
10
Tetapi belakangan ini di beberapa negara banyak terdapat resistensi terhadap lebih dari
satu obat (multi drug resistance) terutama terhadap INH dan rifampisin.
Jenis obat yang dipakai:
I. Obat primer (obat antituberkulosis tingkat satu)
1. Isoniazid
Isoniazid merupakan obat utama untuk tuberkulosis. Seluruh pasien dengan penyakit
yang disebabkan oleh galur yang sensitif sebaiknya menerima obat ini jika mereka dapat
menoleransinya. Isoniazid merupakan bakteriostatik untuk basilus "istirahat", tetapi
bakterisid untuk mikroorganisme yang sedang membelah. Isoniazid bekerja dengan cara
menghambat biosintesis asam mikolat.
2. Rifampisin
Rifamisin (rifampin, rifabutin, rifapentin) merupakan antibiotik makrosiklik.Rifampin
bersifat bakterisid untuk mikroorganisme intraseluler maupun ekstraseluler.
3. Pirazinamid
Pirazinamida menunjukkan aktivitas antibiotik secara in vitro hanya pada pH yang
sedikit asam; ini tidak menimbulkan masalah karena pirazinamida membunuh basilus
tuberkulum yang terletak pada fagosom asam di dalam makrofag.
4. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid untuk basilus tuberkulum secara in vitro. Mayoritas
galur M. tuberculosis sensitif terhadap streptomisin. Streptomisin secara in vivo tidak
mengeradikasi basilus tuberkulum, kemungkinan karena obat ini tidak mudah memasuki sel
hidup sehingga tidak dapat membunuh mikroba intraseluler.
5. Etambutol
Etionamida menghambat pertumbuhan mikobakteri dengan cara menghambat biosintesis
asam mikolat dan mengakibatkan gangguan pada sintesis dinding sel.
II. Obat sekunder (obat antituberkulosis tingkat dua)
1. Kanamisin
2. PAS (Para Amino Salicylic acid)
3. Tiasetazon
4. Etionamid
5. Protionamid
6. Sikloserin
11
7. Viomisin
8. Kapreomisin
9. Amikasin
10. Ofloksasin
11. Siprofloksasin
12. Norfloksasin
13. Klofazimin
Sebelum ditemukan rifampisin, metode terapi tuberkulosis paru adalah dengan sistem
jangka panjang (terapi standar) yakni : INH (H) + streptomisin (S) + PAS atau etambutol (E)
tiap hari dengan fase initial selama 1-3 bulan dan dilanjutkan dengan INH + etambutol atau
PAS selama 12-18 bulan.
Setelah Rifampisin ditemukan paduan obat menjadi INH + rifampisin + streptomisin
atau etambutol setiap hari (fase initial) dan diteruskan dengan INH + rifampisin atau
etambutol (fase lanjut).
Paduan ini selanjutnya berkembang menjadi terapi jangka pendek, dengan memberikan
INH + rifampisin + streptomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z) setiap hari sebagai fase
initial selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH + rifampisin atau etambutol atau
streptomisin 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama pengobatan keseluruhan
menjadi 6-9 bulan.
Paduan obat yang dipakai di Indonesia dan dianjurkan juga oleh WHO adalah : 2 RHZ/4
RH dengan variasi 2 RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3, 2 RHS/4R2H2, dll. Untuk tuberkulosis paru
yang berat (milier) dan tuberkulosis ekstraparu, terapi tahap lanjutan diperpanjang menjadi 7
bulan sehingga paduannya menjadi 2 RHZ/7 RH, dll.
Dengan pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan seperti
waktu pengobatan lebih singkat, biaya keseluruhan untuk pengobatan menjadi lebih rendah,
jumlah pasien yang membangkang menjadi berkurang, dan tenaga pengawas pengobatan
menjadi lebih hemat/efisien.
Oleh karena itu Departemen Kesehatan Rl dalam rangka program pemberantasan
penyakit tuberkulosis paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek dengan paduan obat
HRE/5 H2R2 (isoniazid + rifampisin + etambutol setiap hari selama satu bulan, dan dilan-
jutkan dengan isoniazid + rifampisin 2 kali seminggu selama 5 bulan), daripada terapi jangka
panjang HSZ/11 H2Z2.(INH + streptomisin + pirazinamid 2 kali seminggu 11 bulan).
12
Terapi jangka pendek yang semula dianjurkan oleh WHO belakangan ini mendapat
hambatan-hambatan antara lain karena obat rifampisin dan pirazinamid tidak dapat diterima
pasien karena harganya relatif mahal. Di negara-negara yang sedang berkembang,
pengobatan jangka pendek ini banyak yang gagal mencapai kesembuhan yang ditargetkan
(cure rate) yakni 85% karena program pengobatan yang kurang baik, kepatuhan ber-obat
pasien yang buruk, sehingga menimbulkan populasi tuberkulosis makin meluas, resistensi
obat makin banyak.
Pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni : kurang dari 33 kg, 33-50 dan lebih
dari 50 kg. Pengobatan dibagi atas 4 kategori yakni: -
Kategori I Ditujukan terhadap:
- Kasus baru dengan sputum positif.
- Kasus baru dengan bentuk tuberkulosis berat seperti meningitis, tuberkulosis dise-minata,
perikarditis, peritonitis, pleuritis, spondilitis dengan gangguan neurologis, kelainan paru
yang luas dengan BTA negatif, tuberkulosis usus, tuberkulosis genitouri-narius.
- Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan 2 RHZS (E). Bila setelah 2 bulan BTA
menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 2 bulan masih tetap
positif maka tahap intensif diperpanjang lagi selama 2-4 minggu dengan 4 macam obat.
Pada populasi dengan resistensi primer terhadap INH rendah, tahap intensif cukup diberikan
3 macam obat saja yakni RHZ.
- Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4 RH atau 4 R3H3. Pasien dengan
tuberkulosis berat (meningitis, tuberkulosis diseminata, spondilitis dengan kelainan
neurologis), R dan H harus diberikan tiap hari selama 6-7 bulan. Paduan obat altematif adalah
6 HE (T).
Kategori II Ditujukan terhadap:
- Kasus kambuh.
- Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Pengobatan tahap intensif selama 3 bulan dengan 2 RHZSE/1 RHZE. Bila setelah tahap
intensif BTA menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 3 bulan
tahap intensif BTA tetap positif, maka tahap intensif tersebut diperpanjang lagi 1 bulan
dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan BTA masih juga positif, pengobatan dihentikan selama 2-
3 hari, lalu diperiksa biakan dan resistensi terhadap BTA dan pengobatan diteruskan dengan
tahap lanjutan. Bila pasien masih mempunyai data resistensi BTA dan ternyata BTA masih
13
sensitif terhadap semua obat dan setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka tahap
lanjutan dapat diubah menjadi sama dengan kategori I dengan pengawasan yang ketat. Bila
data menunjukkan resisten terhadap R dan H, maka kemungkinan keberhasilan menjadi kecil.
Bila sputum BTA masih tetap positif setelah selesai tahap lanjutan, maka pasien tidak perlu
diobati lagi.
Kategori III Ditujukan terhadap :
- Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.
- Kasus tuberkulosis ekstraparu selain dari yang disebut dalam kategori I
Pengobatan tahap intensif dengan paduan 2RHZ atau 2R3H3Z3. Bila kelainan paru
lebih luas dari 10 cm2 atau pada tuberkulosis ekstra paru dengan remisi belum sempurna,
maka tahap lanjutan diperpanjang lagi dengan H saja selama 4 bulan lagi. Paduan obat
alternatif adalah 6 HE (T).
Kategori IV
Ditujukan terhadap kasus tuberkulosis kronik. Prioritas pengobatan di sini rendah.
Terdapat resistensi obat-obat antituberkulosis (sedikit-nya R dan H), sehingga masalahnya
jadi rumit. Pasien mungkin perlu dirawat beberapa bulan dan diberikan obat-obat antituber-
kulosis tingkat dua yang kurang begitu efektif, lebih mahal dan lebih toksis. Di negara maju
dapat diberikan obat-obat antituberkulosis eksperimental sesuai dengan sensitivitasnya,
sedangkan negara yang kurang mampu cukup dengan pemberian H seumur hidup dengan
harapan dapat mengurangi infeksi dan penularan.
Departemen Kesehatan Rl dalam program baru pemberantasan tuberkulosis paru telah
mulai dengan paduan obat: 2 RHZE/4 R3H3 (kategori I), 2 RHZSE/1 RHZE/5 R3H3E3 (kat
II), 2 RHZ/2 R3H3 (kat III).
Dosis obat2
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai (di Indonesia) secara harian
maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.
Tabel1. Dosis
obat2
14
Dosis harian Dosis berkala
Nama obat BB < 50 kg BB > 50 kg 3 x seminggu
Isoniazid 300 mg 400 mg 600 mg
Rifampisin 450 mg 600 mg 600 mg
Pirazinamid 1.500 mg 2.000 mg 2-3 g
Streptomisin 750 mg 1.000 mg 1.000 mg
Etambutol 750 mg 1.000 mg 1-1.5 g
Etionamid 500 mg 750 mg -
PAS 99 10 g -
Efek samping obat2
Dalam pemakaian obat-obat antituberkulosis tidak jarang ditemukan efek samping yang
mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin obat anti-
tuberkulosis yang bersangkutan masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil,
tetapi bila efek samping ini sangat menggang-gu, obat antituberkulosis yang bersangkutan
harus dihentikan pemberiannya, dan pengobatan tuberkulosis dapat diteruskan dengan obat
lain. Perlu diketahui bahwa semua obat anti tuberkulosis mempunyai efek samping yang
kadarnya berbeda-beda pada tiap-tiap individu.
Adapun efek samping tiap-tiap obat tersebut ialah :
INH : neuropati perifer (hal ini dapat dicegah dengan pemberian vitamin B6),
hepatotoksik
Rifampisin : sindrom.flu,hepatotoksik
Streptomisin : nefrotoksik,gangguan nervus VIII kranial.
Etambutol : neuritis optika,nefrotoksik, skin rash/dermatitis.
Etionamid : hepatotoksik,gangguan pencernaan.
PAS : hepatotoksik, gangguan pencernaan
Evaluasi pengobatan2
Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif.
Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan
kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2,4, dan 6. Pada yang memakai
paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA
dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke 2 dan akhir pengobatan. Pemeriksaan resistensi
dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal
terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif,
sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Sputum BTA
sebaiknya tetap diperiksa untuk kontrol pada kasus-kasus yang dianggap selesai
pengobatan/sembuh. Sewaktu-waktu mungkin terjadi silent bacterial shedding, yaitu terdapat
sputum BTA positif tanpa disertai keluhan-keluhan tuberkulosis yang relevan pada kasus-
kasus yang memperoleh kesembuhan. Bila ini terjadi yakni BTA positif pada 3 kali-
pemeriksaan biakan (3 bulan), berarti pasien mulai kambuh lagi. Radiologis. Evaluasi
radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Beberapa ahli kedokteran
menyatakan evaluasi radiologis ini sebenarnya kurang begitu berperan dalam evaluasi 15
penyakitnya. Bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir pengobatan
sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh. Jika keluhan
pasien tetap tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis
dapat dilihat keadaan tuberkulosis parunya atau adakah penyakit lain yang menyertai-nya.
Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto
dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.
Bila secara bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis tidak, harus dicurigai
penyakit lain di samping tuberkulosis paru. Bila secara klinis, bakteriologis dan radiologis
tetap tidak ada perbaikan padahal pasien sudah diobati dengan dosis yang adekuat serta
teratur, perlu dipikirkan adanya gangguan imunologis pada pasien tersebut, antara lain AIDS
Kegagalan Pengobatan2
Sebab-sebab kegagalan pengobatan:
a. Obat:
- Paduan obat tidak adekuat.
- Dosis obat tidak cukup.
- Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan.
- Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya.
- Terjadi resistensi obat.
- Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap
intensif, tidak terlihat perbaikan. Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten
terhadap OAT makin meningkat dan sudah mencapai 9%. Di negara yang sedang
berkembang seperti di Afrika, diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten
terhadap OAT saat ini sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP {Polymerase Chain
Reaction-Single Stranded Confinnation Polymorphism) dalam waktu 1 hari.
b. Drop out:
- Kekurangan biaya pengobatan.
- Merasa sudah sembuh.
- Malas berobat / kurang motivasi.
c. Penyakit
- Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat.
- Penyakit lain yang menyertai tuberkulosis seperti diabetes melitus, alkoholisme, dll.
- Adanya gangguan imunologis.16
Sebab-sebab kegagalan pengobatan yang terbanyak adalah karena kekurangan biaya
pengobatan atau merasa sudah sembuh. Kegagalan pengobatan ini dapat mencapai 50% pada
terapi jangka panjang, karena sebagian besar pasien tuberkulosis adalah golongan yang tidak
mampu sedangkan pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama dan biaya banyak.
Untuk mencegah kegagalan pengobatan ini perlu kerjasama yang baik dari dokter dan
paramedis lainnya serta motivasi pengobatan tersebut terhadap pasien. Penanggulangan
terhadap kasus-kasus yang gagal ini adalah :
a) Terhadap pasien yang sudah berobat secara teratur.
- Menilai kembali apakah paduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara
pemberiannya.
- Lakukan pemeriksaan uji kepekaan/tes resistensi kuman terhadap obat.
- Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi temyata gagal juga, maka
pertimbangkan terapi dengan pembedahan terutama pada pasien dengan kavitas atau
destroyed lung.
b) Terhadap pasien dengan riwayat pengobatan tidak teratur.
- Teruskan pengobatan lama selama + 3 bulan dengan evaluasi bakteriologis tiap-tiap
bulan.
- Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat.
- Bila ternyata terdapat resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang masih
sensitif.
Pengobatan pembedahan2
Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani terapi TB adekuat dan sudah di-
nyatakan sembuh oleh dokter secara klinis, mikrobiologis maupun radiologis, kemudian pada
evaluasi berikutnya terdapat gejala klinis tuberkulosis positif (mikrobiologi positif). Terapi
bedah, banyak dilakukan dalam upaya pe-nyembuhan pasien tuberkulosis paru yang kambuh.
Pada saat ini dengan banyaknya obat-obat yang bersifat bakterisid, terapi bedah jarang sekali
dilakukan terhadap pasien-tuberkulosis paru.
Indikasi terapi bedah saat ini adalah :
a. pasien dengan sputum BTA tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulang,
b. pasien dengan batuk darah masif atau berulang.
17
Di samping syarat toleransi operasi (spiro-metri, analisis gas darah dll) diperlukan juga
syarat adanya obat-obat antituberkulosis yang masih sensitif. Obat-obat antituberkulosis ini
tetap diberikan sampai 6 bulan setelah operasi.
Hasil operasi pasien dengan sputum BTA tetap positif, sebagian besar BTA menjadi
negatif di samping perbaikan keluhan-keluhan-nya, sehingga dapat dikatakan tindakan bedah
sangat berarti dalam penyembuhan pasien.
9. Pencegahan2
- Vaksinasi BCG
Dari beberapa peneliti diketahui bahwa vaksinasi BCG yang telah dilakukan pada anak-
anak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagian saja, yakni 0-80%. Tetapi BCG
masih tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap tuberkulosis berat
(meningitis, tuberkulosis milier dll) dan tuberkulosis ekstra paru lainnya.
- Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis terhadap tuberkulosis merupakan masalah tersendiri dalam penang-
gulangan tuberkulosis paru di samping diagnosis yang cepat dan pengobatan yang adekuat
Isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganya murah dan efek sampingnya sedikit
(terbanyak hepatitis dengan frekuensi 1%, sedangkan yang berusia lebih dari 50 tahun adalah
2%).
Obat altematif lain setelah Isoniazid adalah Rifampisin. Beberapa peneliti pada IUAT
(International Union Against Tuberculosis) menyatakan bahwa profilaksis dengan INH
diberikan selama 1 tahun, dapat menurunkan insidens tuberkulosis sampai 55-83%, dan yang
kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat mencapai penurunan 90%. Yang minum obatnya
tidak teratur (intermittent), efekvitasnya masih cukup baik. Lama profilaksis yang optimal
belum diketahui, tetapi banyak peneliti menganjurkan waktu antara 6-12 bulan terhadap
tersangka dengan hasil uji tuberkulin yang diametemya lebih dari 5-10 mm. Yang mendapat
profilaksis 12 bulan adalah pasien HIV positif dan pasien dengan kelainan radiologis dada.
Yang lainnya seperti kontak tuberkulosis dan sebagainya cukup 6 bulan saja. Pada negara-
negara dengan populasi tuberkulosis tinggi sebaiknya profilaksis diberikan terhadap semua
pasien HIV positif dan pasien yang mendapat terapi imunosupresi.
10. Prognosis
18
Tanpa pengobatan yang adekuat, tuberkulosis bisa menjadi fatal. Penyakit aktif yang
tidak diobati ini biasanya menyerang paru-paru, namun dapat menyebar ke bagian tubuh lain
melalui aliran darah, seperti tulang, otak, hati atau ginjal, jantung, dan rongga abdomen,
sehingga prognosisnya bisa lebih buruk, apalagi pada pasien dengan resistensi obat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;2005. h.
175
2. Soematri ES, Uyainah A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke 3. Jakarta: FK UI.
2003.h.33-881.
3. Jawetz E,Melnick J,Adelberg E. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta :EGC; 2008. h.
302-9
4. Mandal BK,Wilkins EGL,Dunbar EM,White M. Lecture notes: penyakit
infeksi.Jakarta : Erlangga,2009.h.220
5. Gillespie SH, Bamford KB. At a glance mikrobiologi medis dan infeksi. Jakarta:
Erlangga;2009. h. 40-1
6. Pratiwi ST. Mikrobiologi farmasi. Jakarta: Erlangga;2008.h.165-7
7. Brunton L. parker K. bluementhal D. Buxton I. Goodman & gilman: manual
farmakologi dan terapi. Jakarta: EGC;2008.h.742-50
19