17 soal retorika
Transcript of 17 soal retorika
1. Ritorika Dikenal
Ilmu retorika pertama kali dikembangkan di Yunani. Saat itu kepandaian berbicara di
sebut techne rhetorike yang berarti ilmu tentang seni berbicara. Berikut akan diuraikan
perkembangan ilmu retorika sejak zaman yunani kuno hingga saat ini dan perkembangan
retorika di Indonesia. Zaman Yunani Kuno
Sejak abad ke- 7 sampai ke- 5 sebelum Masehi ilmu retorika telah dikenal di Yunani.
Telah banyak ahli-ahli pidato saat itu. Alhi-ahli yang dicatat sejarah saat itu diantaranya Solon
(640-560); Peisistratos (600-527); Thenustokles (525-460); Perikles (500-429). Karena
kemahirannya berpidato penggemarnya mengatakan bahwa dewi-dewi seni berbicara yang
memiliki daya tarik memukau dan bertahta di atas lidahnya.
2. Retorika pertama kali muncul.
Yunani merupakan tempat kelahiran atau tempat retorika pertama kali
diperkenalkan. Hal itu telah disepakati secara konvensional oleh retoris. Tempat
kelahirannya itu tepatnya di Syracuse, daerah Sisilia, yang diperkirakan pada tahun 476
SM.
Tokoh yang dianggap berjasa kepada kelahiran retorika adalah:
1. Corax dikenal sebagai seorang ahli penyusun argument dalam berbagai perdebatan
pada lembaga-lembaga pemerintahan dan hukum pada zaman itu. Dia terkenal dengan
doktrinnya yang disebut doctrin general probability (doktrin tentang kemungkinan-
kemungkinan yang umum). Karena pikirannya yang demikian cemerlang itu, Corax
dijuluki sebagai bapak pendiri retorika. Dan kemudian pikiran-pikiran Corax itu
dikembangkan oleh muridnya, Tissias, di Yunani.
2. Tissias (murid dari Corax) yang pertama kali menyelenggarakan sebuah sekolah
tempat mendidik para tokoh atau wakil rakyat untuk menjadi ahli pidato. Ia dikenal
sebagai guru retorika. Pada sekolah itu terutama diajarkan retorika dalam pengertian
kecakapan berpidato untuk meyakinkan pihak lain. Pelajaran retorika yang
diselenggarakan pada sekolah tersebut dianggap baik. Sejumlah muridnya yang benar-
benar ahli berpidato berhasil meyakinkan penguasa (pemerintah) tentang kebaikan
sistem pemerintahan demokrasi yang dituntutnya tanpa harus terjadi pertumpahan darah.
Hal itulah yang menjadikan retorika menjadi populer ke seluruh Yunani terutama di kota
Athena.
3.
4.
5. Pengertian retorika menurut Aristoteles
Menurut Aristoteles retorika berarti kemampuan untuk melihat perangkat alat
yang tersedia untuk mempersuasi. Kemapuan dalam pengertian ini kita tafsirkan sebagai
kemapuan unutk memilih dan mengugunakan. Alat perangkat yang tersedia adalah
berupa bahasa dan segala aspeknya. Jadi retorika menurut Aristoteles kemampuan unutk
memilih dan mengunakan bahasa dalam situasi tertentu secara afektif untuk mempesuasi
orang lain.
Aristoteles berpendapat bahwa retorika itu sendiri sebenarnya bersifat netral.
Maksudnya adalah orator itu sendiri bisa memiliki tujuan yang mulia atau justru hanya
menyebarkan omongan yang gombal atau bahkan dusta belaka. Menurutnya, “…by using
these justly one would do the greatest good, and unjustly, the greatest harm” (1991: 35).
Aristoteles masih percaya bahwa moralitas adalah yang paling utama dalam retorika.
Akan tetapi dia juga menyatakan bahwa retorika adalah seni. Retorika yang sukses adalah
yang mampu memenuhi dua unsur, yaitu kebijaksanaan (wisdom) dan kemampuan dalam
mengolah kata-kata (eloquence).
Rethoric, salah satu karya terbesar Aristoteles, banyak dilihat sebagai studi
tentang psikologi khalayak yang sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu membawa
retorika menjadi sebuah ilmu, dengan cara secara sistematis menyelidiki efek dari
pembicara, orasi, serta audiensnya. Orator sendiri dilihat oleh Aristoteles sebagai orang
yang menggunakan pengetahuannya sebagai seni. Jadi, orasi atau retorika adalah seni
berorasi.
Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai komunikasi ‘persuasif’, meskipun dia
tidak menyebutkan hal ini secara tegas. Meskipun begitu, dia menekankan bahwa retorika
adalah komunikasi yang sangat menghindari metode yang kohersif.
Aristoteles kemudian menyebutkan tentang klasifikasi tiga kondisi audiens dalam studi
retorika. Klasifikasi yang pertama adalah courtroom speaking, yaitu yang dicontohkan
dengan situasi ketika hakim sedang menimbang untuk memutuskan tersangka bersalah
atau tidak bersalah dalam suatu sidang peradilan. Ketika seorang Penuntut dan Pembela
beradu argumentasi dalam persidangan tersebut, maka keduanya telah melakukan judicial
rethoric.
Yang kedua adalah political speaking, yang bertujuan untuk mempengaruhi legislator
atau pemilih untuk ikut serta dalam pilihan politik tertentu. Debat dalam kampanye
termasuk dalam kategori ini. Sedangkan yang ketiga adalah ceremonial speaking, di
mana yang dilakukan adalah upaya mendapatkan sanjungan atau menyalahkan pihak lain
guna mendapatkan perhatian dari khalayak. Mungkin yang masuk kategori ini semacam
tabligh akbar atau sejenisnya.
Karena muridnya terbiasa dengan metode dialectic Socrates, yaitu metode diskusi tanya-
jawab, one-on-one discussion, maka Aristoteles menyebutkan retorika adalah
kebalikannya. Retorika adalah diksusi dari satu orang kepada banyak orang. Jika dialectic
adalah upaya untuk mencari kebenaran, maka retorika mencoba menunjukkan kebenaran
yang telah diketemukan sebelumnya. Dialectic menjawab pertanyaan filosofis yang
umum, retorika hanya fokus pada satu hal saja. Dialectic berurusan dengan kepastian,
sedang retorika berurusan dengan probabilitas (kemungkinan). Menurutnya, retorika
adalah seni untuk mengungkapkan suatu kebenaran kepada khalayak yang belum yakin
sepenuhnya terhadap kebenaran tersebut, dengan cara yang paling cocok atau sesuai.
Menurut Aristoteles, kualitas persuasi dari retorika bergantung kepada tiga aspek
pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos). Pembuktian
logika berangkat dari argumentasi pembicara atau orator itu sendiri, pembuktian etis
dilihat dari bagaimana karakter dari orator terungkap melalui pesan-pesan yang
disampaikannya dalam orasi, dan pembuktian emosional dapat dirasakan dari bagaimana
transmisi perasaan dari orator mampu tersampaikan kepada khalayaknya.
Aristoteles mengutarakan tentang dua konsep pembuktian logis (logical proof), yakni
enthymeme dan example (contoh). Enthymeme sendiri adalah semacam silogisme yang
belum sempurna. Berikut ini contohnya:
Premis mayor : Semua manusia memiliki derajat yang sama
Premis minor : Saya adalah manusia
Konklusi : Maka saya memiliki derajat yang sama
Dalam entymeme, biasanya hanya menggunakan premis “semua manusia memiliki
derajat yang sama dengan manusia yang lain…..Saya memiliki derajat yang sama”, tanpa
perlu menggunakan premis “saya adalah manusia”.
Entymeme ini digunakan dengan tujuan agar khalayak menggunakan kerangka logika
tertentu, sehingga mereka semacam diberikan ‘ruang’ untuk menafsirkan premis yang
digunakan dalam silogisme yang dimaksud oleh orator tadi. Dengan memberikan ‘ruang’
tadi pada dasarnya khalayak digiring untuk menggunakan cara berpikir yang sama
dengan apa yang dipikirkan oleh orator. Sejauh orasi yang digunakan dapat masuk ke
dalam logika khalayak tadi, maka pembuktian logis dari orasi yang dilakukan akan terasa
cukup efektif.
Enthymeme kemudian diperkuat dengan example atau contoh. Jika enthymeme digunakan
sebagai pembentuk logika atau kerangka berpikir, maka contoh dipakai untuk
memperkuat pembuktian dengan detail contoh-contoh dari pemikiran yang dimaksudkan
sebelumnya.
Pembuktian etis (ethical proof) menurut Aristoteles berpulang kepada kredibilitas dari
orator tersebut. Retorika yang baik tidak hanya mengandalkan kata-kata yang baik
semata, melainkan bahwa oratornya sendiri juga harus ‘terlihat’ memiliki kredibilitas.
Karena seringkali khalayak sudah cukup terpesona kepada seseorang, bahkan sebelum
orang tersebut berpidato atau berorasi. Sebelum kata-kata keluar dari mulut orang
tersebut.
Dalam Rethoric, Aristoteles menyebutkan tentang tiga sumber kredibilitas yang baik,
yaitu intelligence, character, dan goodwill.
Intelligence atau kecerdasan lebih kepada persoalan kebijaksanaan dan kemampuan
dalam berbagi nilai atau kepercayaan antara orator dengan khalayaknya. Maksudnya
adalah khalayak seringkali menilai bahwa orator tersebut ‘cerdas’ adalah sejauh mana
mereka sepakat atau memiliki kesamaan pemikiran, cara berpikir, atau ide dengan orator
tersebut. Orator yang cerdas, oleh karenanya mampu menyesuaikan diri atau mampu
membaca cara berpikir khalayaknya, untuk kemudian disesuaikan dengan cara
berpikirnya.
Character lebih kepada citra orator sebagai orang yang baik dan orang yang jujur. Jika
seorang orator mampu memiliki citra sebagai orang yang baik dan jujur, apapun kata-kata
yang disampaikan dalam orasinya maka khalayak cenderung lebih mudah untuk percaya.
Begitu pula sebaliknya, jika orator yang bersangkutan memiliki citra yang kurang baik
maka sebaik apapun kata-kata yang disampaikannya khalayak sulit untuk percaya.
Good will atau niat baik, adalah penilaian positif yang coba ditularkan oleh orator kepada
khalayaknya. Seorang orator mungkin mampu memperlihatkan kecerdasannya,
menunjukkan karakter kepribadiannya, akan tetapi belum tentu mampu ‘menyentuh hati’
khalayaknya. Niat baik ini biasanya dapat dirasakan oleh hati khalayak.
Pembuktian emosional (emotional proof). Di sini orator dituntut untuk mampu
menyesuaikan suasana emosional yang ingin dicapai dalam sebuah orasi. Orator yang
cerdas mampu mengendalikan suasana emosi yang diinginkan, bukan apa yang
diinginkan khalayak, akan tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh orator itu sendiri.
Dengan mengetahui karakteristik khalayak, pemahaman yang mendalam terhadap
berbagai macam karakter emosi, diharapkan retorika yang dilakukan dapat berjalan
efektif.
Walaupun banyak ilmuwan menyatakan bahwa sebenarnya pemikiran Aristoteles tentang
retorika itu rumit, mereka kemudian menyederhanakan pemikiran tersebut ke dalam
empat konsep tentang bagaimana mengukur kualitas seorang orator yang baik. Keempat
hal tersebut adalah bagaimana menciptakan argumentasi (invention), menyusun bahan-
bahan atau materi argumentasi (arrangement), pemilihan bahasa (style), dan bagaimana
teknik penyampaiannya (tecniques of delivery).
Untuk menciptakan argumentasi yang baik, orator dituntut untuk memiliki pengetahuan
yang luas, kemampuan penalaran dan logika yang baik dalam berbagai macam bentuk
pembicaraan. Penguasaan terhadap berbagai macam topik, isu, informasi, data, dan
sejenisnya, dapat dijadikan sebagai memori yang setiap saat mampu dibentuk menjadi
argumentasi ketika orasi dilakukan. Semakin banyak memori yang dimiliki maka akan
semakin mudah untuk menciptakan argumentasi yang baik.
Aristoteles mengingatkan tentang pentingnya penyusunan atau pentahapan argumentasi
itu sendiri. Menurutnya, pada awal-awal orasi baiknya adalah sebagai upaya untuk
menarik perhatian dari khalayak, menjaga kredibilitas, dan kemudian memperjelas
maksud atau tujuan dari pembicaraan atau orasi itu sendiri. Yang terakhir adalah
konklusi, yang sebaiknya adalah mengupayakan bagaimana khalayak akan selalu
mengingat apa-apa yang telah kita katakan, dan kita meninggalkan khalayak dengan citra
yang positif tentang diri kita dan ide-ide yang telah kita sampaikan kepada mereka.
Style atau gaya bicara adalah tentang bagaimana kemapuan seorang orator menggunakan
cara atau gaya bicara tertentu. Gaya bicara ini ibarat karakteristik si orator itu sendiri.
Ada orator yang bagus karena dinilai memiliki gaya orasi yang unik, menarik, dan bukan
tentang kata-kata apa yang disampaikannya.
Style ini juga terkait erat dengan cara penyampaian kata-kata atau argumentasi kepada
khalayak. Cara penyampaian yang menarik adalah hal yang penting dalam sebuah orasi.
Karena seringkali kefektifan orasi dilihat dari sejauh mana khalayak menilai cara bicara
atau cara orasi orang tersebut menarik atau tidak. Mengenai apa yang disampaikannnya
itu menjadi hal yang berikutnya.
Para pengkritik terhadap teori retorika Aristoteles ini mengatakan bahwa kesalahan
terbesar di sini adalah audiens atau khalayak dianggap pasif. Orator menurut Aristoteles
dianggap akan selalu mampu menyampaikan apa-apa yang dimaksudkannya kepada
khalayak sejauh mereka mengikuti anjuran-anjuran Aristoteles tersebut. Ada faktor yang
penting yang terlupa oleh Aristoteles, yaitu situasi. Padahal faktor ini adalah salah satu
aspek penting yang perlu diperhatikan dalam praktek retorika itu sendiri.
Di luar itu semua, teori retorika ini memang banyak dinilai memadai jika dilihat sebagai
landasan dalam studi dan praktek retorika. Tentunya seiring masa perlu dilakukan beragai
macam penyesuaian dan semacamnya. Akan tetapi yang terpenting dari itu semua bahwa
retorika atau komunikasi secama umum pada dasarnya adalah seni, sehingga tidak akan mampu
untuk terbakukan dalam bentuk-bentuk aturan apapun. Seringnya, semuanya berpulang kepada
manusia itu sendiri.
6.
7.
8. RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan
kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk
memperoleh kemenangan politik: talk it out ('membicarakan sampai tuntas) atau shoot it
out (menembak sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika
demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang
pemerintahan, "membicarakan" diganti dengan "menembak". Retorika tersingkir ke
belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama
Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen
waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan
Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis
ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah
mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman
itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus
sanggup mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan - yang oleh Cicero disebut
sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan
kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan. Satu abad kemudian, di
Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, "Berilah
mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh
jiwa mereka" (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan
ini, "Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya".
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih - dengan kata-kata singkat yang
mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering
menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak
hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat
memperhatikan orang-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan
keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan menamainya
Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya,
Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas
Carlyle, "every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his
eloquence and valor". Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung
kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan
diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam
peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika.
Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji
dengan tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan
dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma'ani dan bayan,
masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam
tradisional.
9. RETORIKA RENAISSANCE
Zaman Renaisans dan Humanisme
Abad ke-14 dan 16 berkembanglah Renaisans di Italia. Sejalan dengan
perkembangan ini, muncul juga pemahaman baru terhadap zaman Romawi dan Yunani
kuno, sehingga ilmu retorika dikembangkan kembali. Karya-karya tulis berkembang
pesat. Ahli-ahli pidato membawakan ceramah dimana-mana, menyiapkan pidato, menulis
surat, mengadakan diskusi dan debat, mengajar anak-anak sekolah tentang tekhnik
berbicara dan menulis buku. Pada zaman ini juga diterbitkan buku-buku mengenai ilmu
retorika, dialektika, seni sastra, filsafat dan pendidikan.
Para ahli yang terkenal di zaman ini diantaranya Poggio Bracciolini (1380-1459) seorang
philolog dan pengumpul karya tulis zaman kuno. Tokoh lainnya Valla (1407-1457) seorang
profesor retorika di kota Pavila yang berjasa menghidupkan kembali peranan ilmu retorika
seperti zaman kuno. Juga terdapat ahli lain seperti Philip Melanchthon (1497-1560), Ulrich Von
Hutten (1488-1523), Ignatius (1491-1556), Pertrus Kanisius (1521-1597) dan Abraham (1644-
1709).
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.