17 soal retorika

14
1. Ritorika Dikenal Ilmu retorika pertama kali dikembangkan di Yunani. Saat itu kepandaian berbicara di sebut techne rhetorike yang berarti ilmu tentang seni berbicara. Berikut akan diuraikan perkembangan ilmu retorika sejak zaman yunani kuno hingga saat ini dan perkembangan retorika di Indonesia. Zaman Yunani Kuno Sejak abad ke- 7 sampai ke- 5 sebelum Masehi ilmu retorika telah dikenal di Yunani. Telah banyak ahli-ahli pidato saat itu. Alhi-ahli yang dicatat sejarah saat itu diantaranya Solon (640- 560); Peisistratos (600-527); Thenustokles (525-460); Perikles (500-429). Karena kemahirannya berpidato penggemarnya mengatakan bahwa dewi-dewi seni berbicara yang memiliki daya tarik memukau dan bertahta di atas lidahnya. 2. Retorika pertama kali muncul. Yunani merupakan tempat kelahiran atau tempat retorika pertama kali diperkenalkan. Hal itu telah disepakati secara konvensional oleh retoris. Tempat kelahirannya itu tepatnya di Syracuse, daerah Sisilia, yang diperkirakan pada tahun 476 SM. Tokoh yang dianggap berjasa kepada kelahiran retorika adalah: 1. Corax dikenal sebagai seorang ahli penyusun argument dalam berbagai perdebatan pada lembaga-lembaga pemerintahan

Transcript of 17 soal retorika

Page 1: 17 soal retorika

1. Ritorika Dikenal

Ilmu retorika pertama kali dikembangkan di Yunani. Saat itu kepandaian berbicara di

sebut techne rhetorike yang berarti ilmu tentang seni berbicara. Berikut akan diuraikan

perkembangan ilmu retorika sejak zaman yunani kuno hingga saat ini dan perkembangan

retorika di Indonesia. Zaman Yunani Kuno

Sejak abad ke- 7 sampai ke- 5 sebelum Masehi ilmu retorika telah dikenal di Yunani.

Telah banyak ahli-ahli pidato saat itu. Alhi-ahli yang dicatat sejarah saat itu diantaranya Solon

(640-560); Peisistratos (600-527); Thenustokles (525-460); Perikles (500-429). Karena

kemahirannya berpidato penggemarnya mengatakan bahwa dewi-dewi seni berbicara yang

memiliki daya tarik memukau dan bertahta di atas lidahnya.

2. Retorika pertama kali muncul.

Yunani merupakan tempat kelahiran atau tempat retorika pertama kali

diperkenalkan. Hal itu telah disepakati secara konvensional oleh retoris. Tempat

kelahirannya itu tepatnya di Syracuse, daerah Sisilia, yang diperkirakan pada tahun 476

SM.

Tokoh yang dianggap berjasa kepada kelahiran retorika adalah:

1.      Corax dikenal sebagai seorang ahli penyusun argument dalam berbagai perdebatan

pada lembaga-lembaga pemerintahan dan hukum pada zaman itu. Dia terkenal dengan

doktrinnya yang disebut doctrin general probability (doktrin tentang kemungkinan-

kemungkinan yang umum). Karena pikirannya yang demikian cemerlang itu, Corax

dijuluki sebagai bapak pendiri retorika. Dan kemudian pikiran-pikiran Corax itu

dikembangkan oleh muridnya, Tissias, di Yunani.

2.      Tissias (murid dari Corax) yang pertama kali menyelenggarakan sebuah sekolah

tempat mendidik para tokoh atau wakil rakyat untuk menjadi ahli pidato. Ia dikenal

sebagai guru retorika. Pada sekolah itu terutama diajarkan retorika dalam pengertian

kecakapan berpidato untuk meyakinkan pihak lain. Pelajaran retorika yang

diselenggarakan pada sekolah tersebut dianggap baik. Sejumlah muridnya yang benar-

Page 2: 17 soal retorika

benar ahli berpidato berhasil meyakinkan  penguasa (pemerintah) tentang kebaikan

sistem pemerintahan demokrasi yang dituntutnya tanpa harus terjadi pertumpahan darah.

Hal itulah yang menjadikan retorika menjadi populer ke seluruh Yunani terutama di kota

Athena.

3.

4.

5. Pengertian retorika menurut Aristoteles

Menurut Aristoteles retorika berarti kemampuan untuk melihat perangkat alat

yang tersedia untuk mempersuasi. Kemapuan dalam pengertian ini kita tafsirkan sebagai

kemapuan unutk memilih dan mengugunakan. Alat perangkat yang tersedia adalah

berupa bahasa dan segala aspeknya. Jadi retorika menurut Aristoteles kemampuan unutk

memilih dan mengunakan bahasa dalam situasi tertentu secara afektif untuk mempesuasi

orang lain.

Aristoteles berpendapat bahwa retorika itu sendiri sebenarnya bersifat netral.

Maksudnya adalah orator itu sendiri bisa memiliki tujuan yang mulia atau justru hanya

menyebarkan omongan yang gombal atau bahkan dusta belaka. Menurutnya, “…by using

these justly one would do the greatest good, and unjustly, the greatest harm” (1991: 35).

Aristoteles masih percaya bahwa moralitas adalah yang paling utama dalam retorika.

Akan tetapi dia juga menyatakan bahwa retorika adalah seni. Retorika yang sukses adalah

yang mampu memenuhi dua unsur, yaitu kebijaksanaan (wisdom) dan kemampuan dalam

mengolah kata-kata (eloquence).

Rethoric, salah satu karya terbesar Aristoteles, banyak dilihat sebagai studi

tentang psikologi khalayak yang sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu membawa

retorika menjadi sebuah ilmu, dengan cara secara sistematis menyelidiki efek dari

pembicara, orasi, serta audiensnya. Orator sendiri dilihat oleh Aristoteles sebagai orang

Page 3: 17 soal retorika

yang menggunakan pengetahuannya sebagai seni. Jadi, orasi atau retorika adalah seni

berorasi.

Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai komunikasi ‘persuasif’, meskipun dia

tidak menyebutkan hal ini secara tegas. Meskipun begitu, dia menekankan bahwa retorika

adalah komunikasi yang sangat menghindari metode yang kohersif.

Aristoteles kemudian menyebutkan tentang klasifikasi tiga kondisi audiens dalam studi

retorika. Klasifikasi yang pertama adalah courtroom speaking, yaitu yang dicontohkan

dengan situasi ketika hakim sedang menimbang untuk memutuskan tersangka bersalah

atau tidak bersalah dalam suatu sidang peradilan. Ketika seorang Penuntut dan Pembela

beradu argumentasi dalam persidangan tersebut, maka keduanya telah melakukan judicial

rethoric.

Yang kedua adalah political speaking, yang bertujuan untuk mempengaruhi legislator

atau pemilih untuk ikut serta dalam pilihan politik tertentu. Debat dalam kampanye

termasuk dalam kategori ini. Sedangkan yang ketiga adalah ceremonial speaking, di

mana yang dilakukan adalah upaya mendapatkan sanjungan atau menyalahkan pihak lain

guna mendapatkan perhatian dari khalayak. Mungkin yang masuk kategori ini semacam

tabligh akbar atau sejenisnya.

Karena muridnya terbiasa dengan metode dialectic Socrates, yaitu metode diskusi tanya-

jawab, one-on-one discussion, maka Aristoteles menyebutkan retorika adalah

kebalikannya. Retorika adalah diksusi dari satu orang kepada banyak orang. Jika dialectic

adalah upaya untuk mencari kebenaran, maka retorika mencoba menunjukkan kebenaran

yang telah diketemukan sebelumnya. Dialectic menjawab pertanyaan filosofis yang

umum, retorika hanya fokus pada satu hal saja. Dialectic berurusan dengan kepastian,

sedang retorika berurusan dengan probabilitas (kemungkinan). Menurutnya, retorika

adalah seni untuk mengungkapkan suatu kebenaran kepada khalayak yang belum yakin

sepenuhnya terhadap kebenaran tersebut, dengan cara yang paling cocok atau sesuai.

Menurut Aristoteles, kualitas persuasi dari retorika bergantung kepada tiga aspek

pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos). Pembuktian

logika berangkat dari argumentasi pembicara atau orator itu sendiri, pembuktian etis

dilihat dari bagaimana karakter dari orator terungkap melalui pesan-pesan yang

Page 4: 17 soal retorika

disampaikannya dalam orasi, dan pembuktian emosional dapat dirasakan dari bagaimana

transmisi perasaan dari orator mampu tersampaikan kepada khalayaknya.

Aristoteles mengutarakan tentang dua konsep pembuktian logis (logical proof), yakni

enthymeme dan example (contoh). Enthymeme sendiri adalah semacam silogisme yang

belum sempurna. Berikut ini contohnya:

Premis mayor : Semua manusia memiliki derajat yang sama

Premis minor : Saya adalah manusia

Konklusi : Maka saya memiliki derajat yang sama

Dalam entymeme, biasanya hanya menggunakan premis “semua manusia memiliki

derajat yang sama dengan manusia yang lain…..Saya memiliki derajat yang sama”, tanpa

perlu menggunakan premis “saya adalah manusia”.

Entymeme ini digunakan dengan tujuan agar khalayak menggunakan kerangka logika

tertentu, sehingga mereka semacam diberikan ‘ruang’ untuk menafsirkan premis yang

digunakan dalam silogisme yang dimaksud oleh orator tadi. Dengan memberikan ‘ruang’

tadi pada dasarnya khalayak digiring untuk menggunakan cara berpikir yang sama

dengan apa yang dipikirkan oleh orator. Sejauh orasi yang digunakan dapat masuk ke

dalam logika khalayak tadi, maka pembuktian logis dari orasi yang dilakukan akan terasa

cukup efektif.

Enthymeme kemudian diperkuat dengan example atau contoh. Jika enthymeme digunakan

sebagai pembentuk logika atau kerangka berpikir, maka contoh dipakai untuk

memperkuat pembuktian dengan detail contoh-contoh dari pemikiran yang dimaksudkan

sebelumnya.

Pembuktian etis (ethical proof) menurut Aristoteles berpulang kepada kredibilitas dari

orator tersebut. Retorika yang baik tidak hanya mengandalkan kata-kata yang baik

semata, melainkan bahwa oratornya sendiri juga harus ‘terlihat’ memiliki kredibilitas.

Karena seringkali khalayak sudah cukup terpesona kepada seseorang, bahkan sebelum

orang tersebut berpidato atau berorasi. Sebelum kata-kata keluar dari mulut orang

tersebut.

Dalam Rethoric, Aristoteles menyebutkan tentang tiga sumber kredibilitas yang baik,

yaitu intelligence, character, dan goodwill.

Page 5: 17 soal retorika

Intelligence atau kecerdasan lebih kepada persoalan kebijaksanaan dan kemampuan

dalam berbagi nilai atau kepercayaan antara orator dengan khalayaknya. Maksudnya

adalah khalayak seringkali menilai bahwa orator tersebut ‘cerdas’ adalah sejauh mana

mereka sepakat atau memiliki kesamaan pemikiran, cara berpikir, atau ide dengan orator

tersebut. Orator yang cerdas, oleh karenanya mampu menyesuaikan diri atau mampu

membaca cara berpikir khalayaknya, untuk kemudian disesuaikan dengan cara

berpikirnya.

Character lebih kepada citra orator sebagai orang yang baik dan orang yang jujur. Jika

seorang orator mampu memiliki citra sebagai orang yang baik dan jujur, apapun kata-kata

yang disampaikan dalam orasinya maka khalayak cenderung lebih mudah untuk percaya.

Begitu pula sebaliknya, jika orator yang bersangkutan memiliki citra yang kurang baik

maka sebaik apapun kata-kata yang disampaikannya khalayak sulit untuk percaya.

Good will atau niat baik, adalah penilaian positif yang coba ditularkan oleh orator kepada

khalayaknya. Seorang orator mungkin mampu memperlihatkan kecerdasannya,

menunjukkan karakter kepribadiannya, akan tetapi belum tentu mampu ‘menyentuh hati’

khalayaknya. Niat baik ini biasanya dapat dirasakan oleh hati khalayak.

Pembuktian emosional (emotional proof). Di sini orator dituntut untuk mampu

menyesuaikan suasana emosional yang ingin dicapai dalam sebuah orasi. Orator yang

cerdas mampu mengendalikan suasana emosi yang diinginkan, bukan apa yang

diinginkan khalayak, akan tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh orator itu sendiri.

Dengan mengetahui karakteristik khalayak, pemahaman yang mendalam terhadap

berbagai macam karakter emosi, diharapkan retorika yang dilakukan dapat berjalan

efektif.

Walaupun banyak ilmuwan menyatakan bahwa sebenarnya pemikiran Aristoteles tentang

retorika itu rumit, mereka kemudian menyederhanakan pemikiran tersebut ke dalam

empat konsep tentang bagaimana mengukur kualitas seorang orator yang baik. Keempat

hal tersebut adalah bagaimana menciptakan argumentasi (invention), menyusun bahan-

bahan atau materi argumentasi (arrangement), pemilihan bahasa (style), dan bagaimana

teknik penyampaiannya (tecniques of delivery).

Untuk menciptakan argumentasi yang baik, orator dituntut untuk memiliki pengetahuan

yang luas, kemampuan penalaran dan logika yang baik dalam berbagai macam bentuk

Page 6: 17 soal retorika

pembicaraan. Penguasaan terhadap berbagai macam topik, isu, informasi, data, dan

sejenisnya, dapat dijadikan sebagai memori yang setiap saat mampu dibentuk menjadi

argumentasi ketika orasi dilakukan. Semakin banyak memori yang dimiliki maka akan

semakin mudah untuk menciptakan argumentasi yang baik.

Aristoteles mengingatkan tentang pentingnya penyusunan atau pentahapan argumentasi

itu sendiri. Menurutnya, pada awal-awal orasi baiknya adalah sebagai upaya untuk

menarik perhatian dari khalayak, menjaga kredibilitas, dan kemudian memperjelas

maksud atau tujuan dari pembicaraan atau orasi itu sendiri. Yang terakhir adalah

konklusi, yang sebaiknya adalah mengupayakan bagaimana khalayak akan selalu

mengingat apa-apa yang telah kita katakan, dan kita meninggalkan khalayak dengan citra

yang positif tentang diri kita dan ide-ide yang telah kita sampaikan kepada mereka.

Style atau gaya bicara adalah tentang bagaimana kemapuan seorang orator menggunakan

cara atau gaya bicara tertentu. Gaya bicara ini ibarat karakteristik si orator itu sendiri.

Ada orator yang bagus karena dinilai memiliki gaya orasi yang unik, menarik, dan bukan

tentang kata-kata apa yang disampaikannya.

Style ini juga terkait erat dengan cara penyampaian kata-kata atau argumentasi kepada

khalayak. Cara penyampaian yang menarik adalah hal yang penting dalam sebuah orasi.

Karena seringkali kefektifan orasi dilihat dari sejauh mana khalayak menilai cara bicara

atau cara orasi orang tersebut menarik atau tidak. Mengenai apa yang disampaikannnya

itu menjadi hal yang berikutnya.

Para pengkritik terhadap teori retorika Aristoteles ini mengatakan bahwa kesalahan

terbesar di sini adalah audiens atau khalayak dianggap pasif. Orator menurut Aristoteles

dianggap akan selalu mampu menyampaikan apa-apa yang dimaksudkannya kepada

khalayak sejauh mereka mengikuti anjuran-anjuran Aristoteles tersebut. Ada faktor yang

penting yang terlupa oleh Aristoteles, yaitu situasi. Padahal faktor ini adalah salah satu

aspek penting yang perlu diperhatikan dalam praktek retorika itu sendiri.

Di luar itu semua, teori retorika ini memang banyak dinilai memadai jika dilihat sebagai

landasan dalam studi dan praktek retorika. Tentunya seiring masa perlu dilakukan beragai

macam penyesuaian dan semacamnya. Akan tetapi yang terpenting dari itu semua bahwa

retorika atau komunikasi secama umum pada dasarnya adalah seni, sehingga tidak akan mampu

Page 7: 17 soal retorika

untuk terbakukan dalam bentuk-bentuk aturan apapun. Seringnya, semuanya berpulang kepada

manusia itu sendiri.

6.

7.

8. RETORIKA ABAD PERTENGAHAN

Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan

kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk

memperoleh kemenangan politik: talk it out ('membicarakan sampai tuntas) atau shoot it

out (menembak sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika

demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang

pemerintahan, "membicarakan" diganti dengan "menembak". Retorika tersingkir ke

belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.

Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama

Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen

waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan

Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis

ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah

mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman

itu.

Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus

sanggup mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan - yang oleh Cicero disebut

sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan

kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan. Satu abad kemudian, di

Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, "Berilah

mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh

jiwa mereka" (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan

ini, "Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya".

Page 8: 17 soal retorika

Ia sendiri seorang pembicara yang fasih - dengan kata-kata singkat yang

mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering

menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak

hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat

memperhatikan orang-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan

keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan menamainya

Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya,

Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas

Carlyle, "every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his

eloquence and valor". Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung

kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan

diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).

Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam

peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika.

Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji

dengan tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan

dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma'ani dan bayan,

masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam

tradisional.

9. RETORIKA RENAISSANCE

Zaman Renaisans dan Humanisme

Abad ke-14 dan 16 berkembanglah Renaisans di Italia. Sejalan dengan

perkembangan ini, muncul juga pemahaman baru terhadap zaman Romawi dan Yunani

kuno, sehingga ilmu retorika dikembangkan kembali. Karya-karya tulis berkembang

pesat. Ahli-ahli pidato membawakan ceramah dimana-mana, menyiapkan pidato, menulis

surat, mengadakan diskusi dan debat, mengajar anak-anak sekolah tentang tekhnik

Page 9: 17 soal retorika

berbicara dan menulis buku. Pada zaman ini juga diterbitkan buku-buku mengenai ilmu

retorika, dialektika, seni sastra, filsafat dan pendidikan.

Para ahli yang terkenal di zaman ini diantaranya Poggio Bracciolini (1380-1459) seorang

philolog dan pengumpul karya tulis zaman kuno. Tokoh lainnya Valla (1407-1457) seorang

profesor retorika di kota Pavila yang berjasa menghidupkan kembali peranan ilmu retorika

seperti zaman kuno. Juga terdapat ahli lain seperti Philip Melanchthon (1497-1560), Ulrich Von

Hutten (1488-1523), Ignatius (1491-1556), Pertrus Kanisius (1521-1597) dan Abraham (1644-

1709).

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.