17 18 19 OJan oMar o 0 SintaRidwan Berteman Lupus Naskah...

2
I(OMPAS o Sabtu o Senin Se/asa o Minggu o Rabu o Kamis o Jumat 8 9 10 <!!) 23 24 25 26 23 17 18 19 45 20 21 ONov ODes OJan OPeb o Mar OApr 6 7 22 o Me/ OJun OJul 0 Ags 12 13 27 28 14 15 29 30 31 .Sep OOkt Sinta Ridwan Berteman Lupus dani Naskah Kuno Pada layar televisi satu tahun lalu, sepasang mata berbingkai kaca gaga I menahan air mata untuk tidak mengalir. Pemilik mata itu adalah Sinta Ridwan (27), mahasiswa Universitas Padjadjaran, Bandung, yang mengidap penyakit lupus. Dalam acara itu, dengan malu-malu, dia menerima bantuan berupa tiga laptop dan uang tunai sebesar Rp 50 juta. OLEH HERLAMBANG JALUARDI 'S' aat saya memulai kegiatan ini, saya tidak mengharapkan ban- tuan," kata Sinta sambil ter- bata-bata menahan haru. Bantuan dari dua perusahaan itu untuk me- nunjang kegiatan Sinta bersama Ke- las Aksara Kuna (Aksakun) yang ia bentuk sejak 2009. Dia sedang mene- liti naskah dan aksara kuno yang ada di sejumlah daerah di Indonesia. Lewat pesan singkatnya pada suatu sore pertengahan Agustus lalu, Sinta mengabarkan sudah kembali ke Ban- dung dari meneliti naskah kuno se- lama 17 hari. Dia mendatangi be- berapa lokasi, seperti Mojokerto, Ma- lang, Bali, Lombok, Jakarta, dan kota kelahirannya, Cirebon. Sehari sebelum berangkat, Kompas sempat berbincang dengan perem- puan penggemar band indie pop Cherry Bombshell ini. Dia bercita-ci- ta hendak membuat museum digital berisi naskah-naskah kuno dari da- erah-daerah di Nusantara. "Museum" itu rencananya bemama Filologia Nusantara Kunjungannya ke beberapa daerah itu dalam rangka mengumpulkan da- ta dan bahan sebanyak mungkin. Per- jalanannya pada pertengahan Juli itu merupakan perjalanan yang kedua kalinya Pada akhir 2011, dengan menggunakan uang bantuan, dia ma- suk-keluar perpustakaan dan muse- um di wilayah Indonesia, seperti Pa- pua, Maluku, dan Sulawesi. Dari museum-museum itulah ia mendapati naskah-naskah dari be- berapa zaman tidak dirawat dengan layak. "Naskah-naskah sarat sejarah itu ditumpuk begitu saja, tanpa ada penanganan khusus. Dari bentuknya saja sudah terlihat lusuh, dan juga bau (apak). Kondisinya memang memprihatinkan," kata lulusan S-2 Jurusan Filologi, Universitas Padja- .djaran, ini. Dia menuturkan, ada perpustaka- an di Kalimantan yang berusaha me- rawat .arsip kuno. Namun, caranya salah. Perpustakaan itu menumpuk arsip kuno berbahan kertas dan daun lontar di dalam plastik. Padahal, kata Sinta, cara itu justru mempercepat kerusakan akibat unsur kelembaban yang tinggi. Perawatan yang lebih baik, lanjut Sinta, ditunjukkan oleh pengelola Perpustakaan Nasional di Jakarta Naskah kuno disimpan di dalam ru- angan berpengatur suhu udara Na- mun, karena banyaknya naskah yang dimiliki perpustakaan itu, tidak se- muanya bisa disimpan di dalam ru- angan tersebut. Penyelamatan Bersama enam temannya di Kelas Aksara Kuna, Sinta memulai upaya penyelamatan penggalan-penggalan sejarah Nusantara yang terabaikan itu. Berbekal kamera digital, Sinta memotret halaman derni halaman arsip kuno. Potret itu dikumpulkan, lalu akan diunggah ke laman in- temet yang sedang ia siapkan. Itulah "museum digital" naskah kuno idamannya Mewujudkan cita-cita itu tak semudah membayang- kannya. Saat mendokumen- tasikan naskah kuno itu, ada saja halangan yang mereka hadapi. Biasanya, mereka berbenturan dengan aturan birokrasi museum atau per- pustakaan. "Selarna ini, kami terkendala izin memotret. Meskipun dengan alasan penelitian, memotret satu halaman naskah dikenai biaya sampai Rp 10.000. Jadi, untuk memotret satu naskah utuh, biayanya bisa lebih dari SINTA RIDWAN • Lahir: Cirebon, 11 Januari 1985 • Ayah: Djadja Ridwan (almarhum) Ibu: Denny Hermayanti • Pendidikan: - 5-1 Jurusan 5astra Inggris, STBA-ABA Yapari, Bandung - 5-2 Jurusan Filologi, Universitas Padjadjaran, Bandung - 5edang menempuh 5-3 Jurusan Filologi, Universitas Padiadlaran, Bandung • Karya tulis: - Kumpulan puisi "5ecangkir Bintang" (2008) - Memoar "Berteman dengan Kematian" (2010) Rp 3 juta," kata perempuan yang banyak tersenyum ini. Urusan belum berakhir di situ saja Izin mengunggah foto arsip ke in- temet juga berbelit. Takjarang me- reka dimintai biaya tambahan. "Ada juga yang tidak berkenan naskahnya terpampang di ruang publik. Bia- sanya kerabat keraton bersikap se- perti itu kalau menyangkut urusan pribadi leluhumya," lanjut Sinta, yang kini melanjutkan jenjang pen- didikan S-3 jurusan filologi di kam- pus yang sama Kllplnl Humas Unpad 2012

Transcript of 17 18 19 OJan oMar o 0 SintaRidwan Berteman Lupus Naskah...

Page 1: 17 18 19 OJan oMar o 0 SintaRidwan Berteman Lupus Naskah …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/09/... · Bagi penyimak sejarah, membaca naskah kuno memang menarik. Dari naskah

I(OMPASo Sabtuo Senin • Se/asa o Mingguo Rabu o Kamis o Jumat

8 9 10 <!!)23 24 25 26

2 317 18 19

4 520 21

ONov ODesOJan OPeb oMar OApr

6 722oMe/ OJun OJul 0 Ags

12 1327 28

14 1529 30 31

.Sep OOkt

Sinta Ridwan

Berteman Lupus daniNaskah Kuno

Pada layar televisi satu tahun lalu,sepasang mata berbingkai kacagaga Imenahan air mata untuk tidakmengalir. Pemilik mata itu adalahSinta Ridwan (27), mahasiswaUniversitas Padjadjaran, Bandung,yang mengidap penyakit lupus.Dalam acara itu, dengan malu-malu,dia menerima bantuan berupa tigalaptop dan uang tunai sebesarRp 50 juta.

OLEH HERLAMBANG JALUARDI

'S' aat saya memulai kegiatan ini,saya tidak mengharapkan ban-tuan," kata Sinta sambil ter-

bata-bata menahan haru. Bantuandari dua perusahaan itu untuk me-nunjang kegiatan Sinta bersama Ke-las Aksara Kuna (Aksakun) yang iabentuk sejak 2009. Dia sedang mene-liti naskah dan aksara kuno yang adadi sejumlah daerah di Indonesia.

Lewat pesan singkatnya pada suatusore pertengahan Agustus lalu, Sintamengabarkan sudah kembali ke Ban-dung dari meneliti naskah kuno se-lama 17 hari. Dia mendatangi be-berapa lokasi, seperti Mojokerto, Ma-lang, Bali, Lombok, Jakarta, dan kotakelahirannya, Cirebon.

Sehari sebelum berangkat, Kompassempat berbincang dengan perem-puan penggemar band indie popCherry Bombshell ini. Dia bercita-ci-ta hendak membuat museum digitalberisi naskah-naskah kuno dari da-erah-daerah di Nusantara. "Museum"itu rencananya bemama FilologiaNusantara

Kunjungannya ke beberapa daerahitu dalam rangka mengumpulkan da-ta dan bahan sebanyak mungkin. Per-jalanannya pada pertengahan Juli itumerupakan perjalanan yang keduakalinya Pada akhir 2011, denganmenggunakan uang bantuan, dia ma-suk-keluar perpustakaan dan muse-um di wilayah Indonesia, seperti Pa-

pua, Maluku, dan Sulawesi.Dari museum-museum itulah ia

mendapati naskah-naskah dari be-berapa zaman tidak dirawat denganlayak. "Naskah-naskah sarat sejarahitu ditumpuk begitu saja, tanpa adapenanganan khusus. Dari bentuknyasaja sudah terlihat lusuh, dan jugabau (apak). Kondisinya memangmemprihatinkan," kata lulusan S-2Jurusan Filologi, Universitas Padja-

. djaran, ini.Dia menuturkan, ada perpustaka-

an di Kalimantan yang berusaha me-rawat .arsip kuno. Namun, caranyasalah. Perpustakaan itu menumpukarsip kuno berbahan kertas dan daunlontar di dalam plastik. Padahal, kataSinta, cara itu justru mempercepatkerusakan akibat unsur kelembabanyang tinggi.

Perawatan yang lebih baik, lanjutSinta, ditunjukkan oleh pengelolaPerpustakaan Nasional di JakartaNaskah kuno disimpan di dalam ru-angan berpengatur suhu udara Na-mun, karena banyaknya naskah yangdimiliki perpustakaan itu, tidak se-muanya bisa disimpan di dalam ru-angan tersebut.

PenyelamatanBersama enam temannya di Kelas

Aksara Kuna, Sinta memulai upayapenyelamatan penggalan-penggalansejarah Nusantara yang terabaikanitu. Berbekal kamera digital, Sintamemotret halaman derni halamanarsip kuno. Potret itu dikumpulkan,lalu akan diunggah ke laman in-temet yang sedang ia siapkan.Itulah "museum digital" naskahkuno idamannya

Mewujudkan cita-cita itutak semudah membayang-kannya. Saat mendokumen-tasikan naskah kuno itu, adasaja halangan yang merekahadapi. Biasanya, merekaberbenturan dengan aturanbirokrasi museum atau per-pustakaan.

"Selarna ini, kami terkendala izinmemotret. Meskipun dengan alasanpenelitian, memotret satu halamannaskah dikenai biaya sampai Rp10.000. Jadi, untuk memotret satunaskah utuh, biayanya bisa lebih dari

SINTA RIDWAN

• Lahir: Cirebon, 11 Januari 1985• Ayah: Djadja Ridwan (almarhum)• Ibu: Denny Hermayanti• Pendidikan:

- 5-1 Jurusan 5astra Inggris,STBA-ABA Yapari, Bandung

- 5-2 Jurusan Filologi,Universitas Padjadjaran, Bandung

- 5edang menempuh 5-3Jurusan Filologi,Universitas Padiadlaran, Bandung

• Karya tulis:- Kumpulan puisi

"5ecangkir Bintang" (2008)- Memoar "Berteman dengan

Kematian" (2010)

Rp 3 juta," kata perempuan yangbanyak tersenyum ini.

Urusan belum berakhir di situ sajaIzin mengunggah foto arsip ke in-temet juga berbelit. Takjarang me-reka dimintai biaya tambahan. "Adajuga yang tidak berkenan naskahnyaterpampang di ruang publik. Bia-sanya kerabat keraton bersikap se-perti itu kalau menyangkut urusanpribadi leluhumya," lanjut Sinta,yang kini melanjutkan jenjang pen-didikan S-3 jurusan filologi di kam-pus yang sama

Kllplnl Humas Unpad 2012

Page 2: 17 18 19 OJan oMar o 0 SintaRidwan Berteman Lupus Naskah …pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/09/... · Bagi penyimak sejarah, membaca naskah kuno memang menarik. Dari naskah

Bagi penyimak sejarah, membacanaskah kuno memang menarik. Darinaskah tua itu biasanya terkuak sisilain yang disembunyikan penguasa,Sinta mengaku pernah membacanaskah yang tersimpan di Perpus-'takaan Nasional tentang struktur ta-nah di Pulau Jawa. Naskah itu me-nyebutkan daerah-daerah yang layakhuni dan tidak. Sebuah naskah yanglayak menjadi pedoman tata ruangwilayah.

Resep manjurBagi dirinya sendiri, ada manfaat

yang ia petik dari kegiatan ini. Diasering mencari resep obat-obatantradisional. Sebagai penyandang pe-nyakit lupus, kebugarannya kerapterganggu. "Waktu itu, saya sakit magparah. Saya coba-coba bikin .resepyang saya dapat dari naskah kuno.Ternyata manjur," ujarnya.

Perihal kisah hidupnya bersan-ding dengan penyakit lupus sudahia tuangkan dalam buku memoarberjudul Berteman dengan Ke-matian: Catatan Gadis Lupus /(2010). Seperti halnya'HIV/AIDS, teknologi kesehat- I.an belum menghasilkan pe- Inawar lupus. Akan tetapi, Sin- .,ta, seperti yang tersirat dibuku itu, sudah menemukanobatnya, yaitu kebahagiaan.

Betapa tidak, kematian

seperti begitu akrab dengan hidupSinta Dia divonis mengidap lupuspada 2005, saat sedang merayakankehidupan sebagai mahasiswa diBandung. Cobaan kian berat dengankematian ayah dan neneknyadalam waktu berdekatan. "Kematianadalahjodoh yang pasti datang untukmendampingi kita ...," begitu tulis-nya

Tak mau menyia-nyiakan tenaga,Sinta seolah memilih berdamai de-

ngan ematian, yang ia sebut selalumenyapa Dia memilih untuk mem-bahagiakan dirinya dan orang lain.Lewat kecintaannya pada naskah danaksara kuno, Sinta membuka kelasaksara Sunda secara gratis. Kelas ituberlangsung di Gedung IndonesiaMenggugat, Bandung, sekali sepekan.Muridnya sudah mencapai 300 orangdari berbagai usia.

"Sakitnya jangan terlalu dipikir-kan. Saya, sih, berusaha tahu diri sajaJangan terlalu capek, Paling telatkelas sudah harus selesai jam 22.00,"katanya, Aktivitasnya memang lebihbanyak dilakukan sore hingga malamhari untuk menghindari sinar ma-tahari. Saat hendak difoto, dia jugamengingatkan untuk tidak meng-gunakan lampu kilat.

Ketika rambut panjangnyamulai rontok dan pandanganmatanya berkurang, Sinta ma-sih punya daya menyelamat-kan naskah sejarah bangsa,Dia juga menemukan ke-bahagiaan saat mengenal-kan tradisi aksara Sundakepada rriurid-muridnya diKelas Aksara Kuna Men-cuplik sajak Chairil Anwaryang selalu memantik se-mangatnya, Sinta Rid-wan menyatakan inginhidup seribu tahun lagi.