16 Radikalisme di Sekolah Kemag: Kekurangan Guru Agama ... filePendidikan dan Kebudayaan ... akan...

1
16 Suara Pembaruan Kamis, 13 April 2017 Radikalisme di Sekolah Kemag: Kekurangan Guru Agama Jadi Pemicu [JAKARTA] Dirjen Pendi- dikan Islam Kementeri- an Agama (Kemag), Prof Komaruddin Amin, mengata- kan, berbagai survei, terma- suk survei yang dilakukan Kemag, menyatakan bahwa potensi radikalisme dan ek- stremisme terjadi di sekolah karena guru. Pasalnya, ba- nyak sekolah di Tanah Air ti- dak memiliki guru agama, sehingga pelajaran agama di- ajarkan oleh guru yang tidak memiliki latar belakang pen- didikan agama secara khusus. Menurut Komaruddin, kekurangan guru agama ini secara masif dialami di ber- bagai sekolah. Ini berimplika- si pada cara pengajaran aga- ma yang dilakukan oleh guru yang tidak berlatar belakang sarjana agama. Ia menyata- kan, masalah tersebut menja- di pekerjaan rumah bersama antara Kemag, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kemente- rian Dalam Negeri (Kemdag- ri). Selain itu, gubernur dan walikota juga harus mencari solusinya karena mereka yang melakukan perekrutan guru sebagai pegawai daerah. “Ini masalah yang harus diatasi bersama. Kekurangan guru agama secara masif di sekolah, berimplikasi pada pengajaran agama oleh guru yang tidak berlatar belakang sarjana agama. Ini bisa men- jadi saluran masuknya pema- haman keagamaan radikal di sekolah,” kata Komaruddin pada SP, Kamis (13/4). Dijelaskan dia, idealnya, satu sekolah minimal memi- liki satu guru agama. Namun kenyataannya di lapangan, banyak sekolah tidak memi- liki guru agama. Kekurangan ini banyak terjadi di sekolah umum. Dengan kondisi de- mikian, akhirnya banyak gu- ru yang tidak paham agama tetapi mengajarkan pelajaran agama, sehingga hasilnya muncul radikalisme karena pemahaman yang dangkal. “Coba bayangkan agama diajarkan oleh mereka yang tidak paham agama secara mendalam. Maka hasilnya bi- sa muncul pemahaman aga- ma yang radikal karena orang yang mengajar agama bukan ahlinya,” ujarnya. Mendatang, ia juga me- ngusulkan, guru agama harus memiliki sertifikasi profesi dan guru agama harus dikelo- la satu pintu. Pasalnya, sela- ma ini Kemdikbud dan dae- rah tidak melibatkan Kemag dalam perekrutan guru mau- pun penyusunan materi pem- belajaran agama di sekolah umum. Padahal Kemag me- rupakan pusat dalam pendi- dikan agama. Selain itu, pro- sesnya perlu dilakukan satu pintu agar ada keselarasan sehingga materi dan metode pengajaran dapat dipantau oleh Kemag. Satu Pintu Selanjutnya, Komaruddin juga mengatakan, Kemag akan memperketat proses perekrutan guru agama. Da- lam hal ini, Kemag merekrut guru agama yang merupakan lulusan perguruan tinggi de- ngan agama sebagai disiplin ilmu yang dipelajari. Pasal- nya, tantangan utama me- nangkal radikalisme ada- lah memperbaiki mutu guru agama. “Saya mengusulkan lebih baik guru agama dan mate- ri agama itu dikelola oleh Kemag. Karena paham radi- kalisme ini lebih banyak muncul di sekolah umum daripada sekolah di bawah Kemag,” jelas Guru Besar Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar ini. Komaruddin juga menye- butkan, masuknya ajaran ra- dikalisme dan ekstremisme itu terjadi dari beberapa in- strumen. Salah satunya, ke- lompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan celah di lembaga pendidikan, yang jika terjadi, tentu akan berba- haya. Untuk itu, Kemag telah melakukan langkah strategis. Para guru secara rutin diberi pengetahuan agamanya. Le- bih lanjut, dalam mengantisi- pasi radikalisme, Kemag juga telah mempersiapkan penga- yaan metode pengajaran di sekolah, khusus untuk seko- lah di bawah Kemag. Para guru akan diberi pelatihan untuk meningkatkan kapasi- tas pengetahuannya sesuai standar yang siapkan oleh Kemag. Menurutnya, jika semua dilakukan satu pintu, pelajar- an agama di semua sekolah akan sesuai dengan materi pengayaan yang sudah dikaji Kemag. Selain itu materi pe- ngajarannya senada dengan sekolah-sekolah di bawah bi- naan Kemag, yakni madrasah dan pesantren. Komaruddin mengata- kan, pada madrasah dan pe- santren, potensi radikalisme justru relatif lebih kecil. Pa- salnya, lembaga pendidikan tersebut mengajarkan Islam yang moderat. Lebih lanjut, dia juga me- ngatakan, selain sekolah, per- guruan tinggi umum juga mengalami hal sama. Jumlah tenaga pengajar untuk pendi- dikan agama masih minim, sehingga banyak yang meng- ajarkan agama meski bukan ahli agama. Dijelaskan dia, seharus- nya pembinaan tentang aga- ma di perguruan tinggi secara umum menjadi ranah Ke- menterian Agama, dengan tujuan lebih terorganisasi dan efektif. Menurutnya, aktivitas ekstrakurikuler yang biasa di- isi oleh orang luar atau bukan guru juga menjadi salah satu pemicu. Pasalnya, pada ke- giatan tersebut, ada oknum yang memiliki agenda ter- tentu. Untuk menghindari ma- suknya paham radikalisme dari orang luar, Komaruddin mengimbau sekolah untuk ti- dak melibatkan orang luar. Segala aktivitas harus atas izin dan pengetahuan kepala sekolah yang memastikan bahwa tidak ada aktivitas yang berorientasi pada ajar- an-ajaran yang melenceng dari visi negara atau konsti- tusi. [FAT/D-10] [JAKARTA] Alih-alih mengaksesi Framework Convention on Tobacco Con- trol (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, pemerintah malah menyetujui pembahasan RUU Pertembakauan yang sarat dengan kepentingan in- dustri. Banyak pihak pun me- nilai, hingga saat ini pemerin- tah masih menunjukkan re- sistensi terhadap FCTC de- ngan tidak mengaksesinya. Indonesia termasuk da- lam 7 negara anggota WHO dan satu-satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang belum mengaksesi FCTC. Padahal kovenan atau perjan- jian multilateral yang telah diimplementasikan di 180 ne- gara anggota WHO yang me- liputi 90% penduduk dunia ini, telah terbukti menekan jumlah konsumsi rokok. Negara yang telah mengak- sesi FCTC, seperti Turki, Spanyol, Uruguay, Selandia Baru, dan Australia, berha- sil menurunkan konsumsi rokok. Widyastuti Soerojo dari Komisi Nasional Pengen- dalian Tembakau mengata- kan, keengganan pemerintah mengaksesi FCTC menjadi batu sandungan bagi upaya pengendalian rokok di In- donesia. Tak heran jika kon- sumsi rokok di dalam negeri terus meningkat. Prevalensi perokok dewasa pada 1995 mencapai 53,4% laki-laki dan 1,7% perempuan. Selama ku- run waktu 15 tahun, preva- lensi ini meningkat menjadi 65,9% dan perempuan 4,2%. Jumlah semakin meningkat tiap tahunnya karena industri rokok secara masif dan agre- sif berupaya untuk menjerat perokok baru. Dalam penelitian yang di- lakukan Balitbangkes Ke- menterian Kesehatan 2010, disebutkan kematian akibat penyakit yang terkait rokok sebesar 190.260 jiwa yang merupakan 12,7% dari total kematian pada tahun yang sa- ma. Total kerugian ekonomi akibat konsumsi rokok men- capai Rp 245,41 triliun, terdi- ri dari biaya kesehatan dan total tahun produktif yang hi- lang karena kematian terkait konsumsi rokok. Menurut Widyastuti, edu- kasi saja tidak cukup menu- runkan konsumsi rokok. Diperlukan regulasi yang komprehensif dan kuat untuk mengendalikannya. Rokok harus dianggap produk ab- normal, sehingga dilarang dan dikendalikan. “Selama rokok masih di- anggap produk normal, me- rokok dianggap berperilaku normal, dan pemerintah menganggap industri rokok adalah industri normal, maka selama itu konsumsi rokok tidak akan bisa dikendali- kan,” kata Widyastuti pada seminar “FCTC dan Suara Perempuan untuk Indonesia Sehat” yang diselenggarakan Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T), Selasa (11/4). Menurut Widyastuti, resistensi pemerintah terha- dap FCTC karena masih di- pengaruhi mitos dan tuduhan. Di antaranya, aksesi FCTC akan mengancam kelang- sungan hidup para petani tembakau dan buruh industri rokok. Faktanya, tidak ter- bukti dan tidak ada hubungan FCTC dengan pertanian tem- bakau. Data menunjukkan, ne- gara anggota FCTC, seper- ti Tiongkok, Brasil, India, Zimbabwe, dan Pakistan, tidak mengalami penurunan produksi tembakau maupun rokok. Pemerintah juga berdalih FCTC akan mengancam ke- berlangsungan hidup buruh rokok. Faktanya, pemutus- an hubungan kerja (PHK) bu- ruh rokok terjadi besar-besar- an pada 2013-2015 walau- pun produksi rokok tetap naik dan Indonesia belum ratifika- si FCTC. Sebanyak 17.288 buruh di 2013 dan 20.014 buruh pada 2015 dipecat oleh industri. Sebagai warga dunia, pe- merintah mempertaruhkan harkat dan martabat bang- sa karena tidak mengaksesi FCTC. Lebih parah lagi, Indo- nesia akan tetap jadi tempat sampah bagi industri rokok dalam negeri dan multinasio- nal. Sebab, Indonesia sendiri tidak memiliki instrumen hu- kum yang kuat dan efektif untuk mengendalikannya. [D-13] Pemerintah Dinilai Resisten terhadap Aksesi FCTC ANTARA FOTO/ADWIT B PRAMONO Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Islam Manado berunjuk rasa di Manado, Sulawesi Utara, baru-baru ini. Mereka menolak segala bentuk aksi provokasi dengan membawa label agama yang dianggap membahayakan keutuhan NKRI. AFP PHOTO / JUNI KRISWANTO Seorang pekerja menggulung rokok kretek di pabrik di Surabaya.

Transcript of 16 Radikalisme di Sekolah Kemag: Kekurangan Guru Agama ... filePendidikan dan Kebudayaan ... akan...

16 Sua ra Pem ba ru an Kamis, 13 April 2017

Radikalisme di Sekolah

Kemag: Kekurangan Guru Agama Jadi Pemicu[JAKARTA] Dirjen Pendi­dikan Islam Kementeri­ an Agama (Kemag), Prof Komaruddin Amin, mengata­kan, berbagai survei, terma­suk survei yang dilakukan Kemag, menyatakan bahwa potensi radikalisme dan ek­stremisme terjadi di sekolah karena guru. Pasalnya, ba­nyak sekolah di Tanah Air ti­dak memiliki guru agama, sehingga pelajaran agama di­ajarkan oleh guru yang tidak memiliki latar belakang pen­didikan agama secara khusus.

Menurut Komaruddin, kekurangan guru agama ini secara masif dialami di ber­bagai sekolah. Ini berimplika­si pada cara pengajaran aga­ma yang dilakukan oleh guru yang tidak berlatar belakang sarjana agama. Ia menyata­kan, masalah tersebut menja­di pekerjaan rumah bersama antara Kemag, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kemente­rian Dalam Negeri (Kemdag­ri). Selain itu, gubernur dan walikota juga harus mencari solusinya karena mereka yang melakukan perekrutan guru sebagai pegawai daerah.

“Ini masalah yang harus diatasi bersama. Kekurangan guru agama secara masif di sekolah, berimplikasi pada pengajaran agama oleh guru yang tidak berlatar belakang sarjana agama. Ini bisa men­

jadi saluran masuknya pema­haman keagamaan radikal di sekolah,” kata Komaruddin pada SP, Kamis (13/4).

Dijelaskan dia, idealnya, satu sekolah minimal memi­liki satu guru agama. Namun kenyataannya di lapangan, banyak sekolah tidak memi­liki guru agama. Kekurangan ini banyak terjadi di sekolah umum. Dengan kondisi de­mikian, akhirnya banyak gu­ru yang tidak paham agama tetapi mengajarkan pelajaran agama, sehingga hasilnya muncul radikalisme karena pemahaman yang dangkal.

“Coba bayangkan agama diajarkan oleh mereka yang tidak paham agama secara

mendalam. Maka hasilnya bi­sa muncul pemahaman aga­ma yang radikal karena orang yang mengajar agama bukan ahlinya,” ujarnya.

Mendatang, ia juga me­ngusulkan, guru agama harus memiliki sertifikasi profesi dan guru agama harus dikelo­la satu pintu. Pasalnya, sela­ma ini Kemdikbud dan dae­rah tidak melibatkan Kemag dalam perekrutan guru mau­pun penyusunan materi pem­belajaran agama di sekolah umum. Padahal Kemag me­rupakan pusat dalam pendi­dikan agama. Selain itu, pro­sesnya perlu dilakukan satu pintu agar ada keselarasan sehingga materi dan metode

pengajaran dapat dipantau oleh Kemag.

Satu PintuSelanjutnya, Komaruddin

juga mengatakan, Kemag akan memperketat proses perekrutan guru agama. Da­lam hal ini, Kemag merekrut guru agama yang merupakan lulusan perguruan tinggi de­ngan agama sebagai disiplin ilmu yang dipelajari. Pasal­nya, tantangan utama me­nangkal radikalisme ada­ lah memperbaiki mutu guru agama.

“Saya mengusulkan lebih baik guru agama dan mate­ ri agama itu dikelola oleh Kemag. Karena paham radi­

kalisme ini lebih banyak muncul di sekolah umum daripada sekolah di bawah Kemag,” jelas Guru Besar Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar ini.

Komaruddin juga menye­butkan, masuknya ajaran ra­dikalisme dan ekstremisme itu terjadi dari beberapa in­strumen. Salah satunya, ke­lompok­kelompok tertentu yang memanfaatkan celah di lembaga pendidikan, yang jika terjadi, tentu akan berba­haya.

Untuk itu, Kemag telah melakukan langkah strategis. Para guru secara rutin diberi pengetahuan agamanya. Le­bih lanjut, dalam mengantisi­pasi radikalisme, Kemag juga telah mempersiapkan penga­yaan metode pengajaran di sekolah, khusus untuk seko­lah di bawah Kemag. Para guru akan diberi pelatihan untuk meningkatkan kapasi­tas pengetahuannya sesuai standar yang siapkan oleh Kemag.

Menurutnya, jika semua dilakukan satu pintu, pelajar­an agama di semua sekolah akan sesuai dengan materi pengayaan yang sudah dikaji Kemag. Selain itu materi pe­ngajarannya senada dengan sekolah­sekolah di bawah bi­naan Kemag, yakni madrasah dan pesantren.

Komaruddin mengata­

kan, pada madrasah dan pe­santren, potensi radikalisme justru relatif lebih kecil. Pa­salnya, lembaga pendidikan tersebut mengajarkan Islam yang moderat.

Lebih lanjut, dia juga me­ngatakan, selain sekolah, per­guruan tinggi umum juga mengalami hal sama. Jumlah tenaga pengajar untuk pendi­dikan agama masih minim, sehingga banyak yang meng­ajarkan agama meski bukan ahli agama.

Dijelaskan dia, seharus­nya pembinaan tentang aga­ma di perguruan tinggi secara umum menjadi ranah Ke­menterian Agama, dengan tujuan lebih terorganisasi dan efektif. Menurutnya, aktivitas ekstrakurikuler yang biasa di­isi oleh orang luar atau bukan guru juga menjadi salah satu pemicu. Pasalnya, pada ke­ giatan tersebut, ada oknum yang memiliki agenda ter­ tentu.

Untuk menghindari ma­suknya paham radikalisme dari orang luar, Komaruddin mengimbau sekolah untuk ti­dak melibatkan orang luar. Segala aktivitas harus atas izin dan pengetahuan kepala sekolah yang memastikan bahwa tidak ada aktivitas yang berorientasi pada ajar­an­ajaran yang melenceng dari visi negara atau konsti­ tusi. [FAT/D­10]

[JAKARTA] Alih­alih meng aksesi Framework Convention on Tobacco Con­trol (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, pemerintah malah menyetujui pembahasan RUU Pertembakauan yang sarat dengan kepentingan in­dustri. Banyak pihak pun me­nilai, hingga saat ini pemerin­tah masih menunjukkan re­sistensi terhadap FCTC de­ngan tidak mengaksesinya.

Indonesia termasuk da­lam 7 negara anggota WHO dan satu­satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang belum mengaksesi FCTC. Padahal kovenan atau perjan­jian multilateral yang telah diimplementasikan di 180 ne­gara anggota WHO yang me­liputi 90% penduduk dunia ini, telah terbukti menekan jumlah konsumsi rokok. Negara yang telah mengak­ sesi FCTC, seperti Turki, Spanyol, Uruguay, Selandia

Baru, dan Australia, berha­ sil menurunkan konsumsi rokok.

Widyastuti Soerojo dari Komisi Nasional Pengen­dalian Tembakau mengata­kan, keengganan pemerintah mengaksesi FCTC menjadi batu sandungan bagi upaya pengendalian rokok di In­donesia. Tak heran jika kon­sumsi rokok di dalam negeri terus meningkat. Prevalensi perokok dewasa pada 1995 mencapai 53,4% laki­laki dan 1,7% perempuan. Selama ku­run waktu 15 tahun, preva­lensi ini meningkat menjadi 65,9% dan perempuan 4,2%. Jumlah semakin meningkat tiap tahunnya karena industri rokok secara masif dan agre­sif berupaya untuk menjerat perokok baru.

Dalam penelitian yang di­lakukan Balitbangkes Ke­men terian Kesehatan 2010, disebutkan kematian akibat penyakit yang terkait rokok

sebesar 190.260 jiwa yang merupakan 12,7% dari total kematian pada tahun yang sa­ma. Total kerugian ekonomi akibat konsumsi rokok men­capai Rp 245,41 triliun, terdi­ri dari biaya kesehatan dan total tahun produktif yang hi­lang karena kematian terkait konsumsi rokok.

Menurut Widyastuti, edu­

kasi saja tidak cukup menu­runkan konsumsi rokok. Diperlukan regulasi yang komprehensif dan kuat untuk mengendalikannya. Rokok harus dianggap produk ab­normal, sehingga dilarang dan dikendalikan.

“Selama rokok masih di­anggap produk normal, me­rokok dianggap berperilaku

normal, dan pemerintah menganggap industri rokok adalah industri normal, maka selama itu konsumsi rokok tidak akan bisa dikendali­kan,” kata Widyastuti pada seminar “FCTC dan Suara Perempuan untuk Indonesia Sehat” yang diselenggarakan Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T), Selasa (11/4).

Menurut Widyastuti, resistensi pemerintah terha­dap FCTC karena masih di­pengaruhi mitos dan tuduhan. Di antaranya, aksesi FCTC akan mengancam kelang­sungan hidup para petani tembakau dan buruh industri rokok. Faktanya, tidak ter­bukti dan tidak ada hubungan FCTC dengan pertanian tem­bakau.

Data menunjukkan, ne ­gara anggota FCTC, seper­ ti Tiong kok, Brasil, India, Zimbabwe, dan Pakistan, tidak mengalami penurunan

produksi tembakau maupun rokok.

Pemerintah juga berdalih FCTC akan mengancam ke­berlangsungan hidup buruh rokok. Faktanya, pemutus­ an hubungan kerja (PHK) bu­ruh rokok terjadi besar­besar­an pada 2013­2015 walau­pun produksi rokok tetap naik dan Indonesia belum ratifika­si FCTC. Sebanyak 17.288 buruh di 2013 dan 20.014 buruh pada 2015 dipecat oleh industri.

Sebagai warga dunia, pe­merintah mempertaruhkan harkat dan martabat bang­ sa karena tidak mengaksesi FCTC.

Lebih parah lagi, Indo­nesia akan tetap jadi tempat sampah bagi industri rokok dalam negeri dan multinasio­nal. Sebab, Indonesia sendiri tidak memiliki instrumen hu­kum yang kuat dan efektif untuk mengendalikannya. [D­13]

Pemerintah Dinilai Resisten terhadap Aksesi FCTC

ANTARA FOTO/AdwiT B PRAmONO

Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi mahasiswa islam manado berunjuk rasa di manado, Sulawesi Utara, baru-baru ini. mereka menolak segala bentuk aksi provokasi dengan membawa label agama yang dianggap membahayakan keutuhan NKRi.

AFP PHOTO / JUNi KRiSwANTO

Seorang pekerja menggulung rokok kretek di pabrik di Surabaya.