15PenatalaksanaanUveitis087

4
Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 55 Penatalaksanaan Uveitis Soedarman Sjamsoe Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN Di Indonesia belum ada data akurat jumlah kasus uveitis, di Amerika Serikat (1) didapatkan 10% gangguan penglihatan di- akibatkan oleh uveitis dengan kerugian material 10 jutaUS dollar per tahun. Dari survey rumah sakit di Ghana tahun 1990 uveitis merupakan penyebab kebutaan dua mata urutan ketiga setelah katarak dan glaukoma (2) . Banyak kelainan uvea yang dahulu kurang dimengerti pato- fisiologinya dengan pasti, dewasa ini sudah dapat dijelaskan bila ditinjau dari sudut imunologi. Kemajuan teknik imunologik juga telah dimanfaatkan dalam produksi berbagai vaksin dan obat-obatan yang digunakan untuk memperbaiki sistem imun dalam memerangi infeksi dan digunakan untuk menekan fungsi sistem imun yang berlebihan (hipersensitivitas, auto- imunitas dan transplantasi) pada jaringan mata. Uveitis dapat disebabkan oleh (3,4) : 1. Infeksi: bakteri, jamur, virus, parasit 2. Non Infeksi : a. agen non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan lainnya). b. antigen spesifik pada mata (Oftalmia simpatika, uveitis imbas lensa). c. penyakit sistemik (Behcet, Sarkoidosis, Vogt-Koyanagi Harada, Reiter, Rheumatoid arthritis). 3. Tidak diketahui (unknown). Prinsip pengobatan uveitis adalah (5) : 1. Menekan peradangan 2. Mengeliminir agen penyebab 3. Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di Iuar mata. Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di Yogyakarta Pengobatan terhadap uveitis berdasarkan dari diagnosis yang ditegakkan. Setelah diagnosis kerja dapat ditegakkan, maka ada dua tindakan yang harus kita lakukan, yaitu (6) : 1. Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan konsultasi spesialistik. 2. Pengobatan inisial non spesifik. Setelah ada hasil laboratorium dan konsultasi yang menyokong ke arah suatu etiologi, maka diberikan pengobatan yang spesifik terhadap etiologinya. Diagnosis yang ditegakkan penting untuk pengobatan; pameo klasik yang terkenal no matter what causes it, you're going to treat with steroid ini tidak seluruhnya benar, bahkan bisa menimbulkan komplikasi yang fatal bila tidak diberi terapi spesifik seperti pads toxoplasmosis, tuberkulosis, sifilis, herpes, dan lain-lain. Pada makalah ini akan dibicarakan pengobatan uveitis non spesifik maupun spesifik pada uveitis. OBAT-OBATAN NON SPESIFIK (6,7,8) 1. Midriatik-sikloplegik 2. Kortikosteroid 3. Imunosupresan 1) Midriatik-sikloplegik Macam obat Lama kerja Midriacyl Fenilefrin Homatropin Atropin 0.5% 2.5% 1 % 0.5% 1% 10% 2% 1 % 2% 4% 2% 5% 3 – 6 jam 4 – 10 jam 18 – 36 jam 10 –14 jam

description

uveitis

Transcript of 15PenatalaksanaanUveitis087

Page 1: 15PenatalaksanaanUveitis087

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 55

Penatalaksanaan Uveitis

Soedarman Sjamsoe Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Di Indonesia belum ada data akurat jumlah kasus uveitis, di Amerika Serikat(1) didapatkan 10% gangguan penglihatan di-akibatkan oleh uveitis dengan kerugian material 10 jutaUS dollar per tahun. Dari survey rumah sakit di Ghana tahun 1990 uveitis merupakan penyebab kebutaan dua mata urutan ketiga setelah katarak dan glaukoma(2).

Banyak kelainan uvea yang dahulu kurang dimengerti pato-fisiologinya dengan pasti, dewasa ini sudah dapat dijelaskan bila ditinjau dari sudut imunologi. Kemajuan teknik imunologik juga telah dimanfaatkan dalam produksi berbagai vaksin dan obat-obatan yang digunakan untuk memperbaiki sistem imun dalam memerangi infeksi dan digunakan untuk menekan fungsi sistem imun yang berlebihan (hipersensitivitas, auto-imunitas dan transplantasi) pada jaringan mata.

Uveitis dapat disebabkan oleh(3,4) : 1. Infeksi: bakteri, jamur, virus, parasit 2. Non Infeksi : a. agen non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan lainnya). b. antigen spesifik pada mata (Oftalmia simpatika, uveitis imbas lensa). c. penyakit sistemik (Behcet, Sarkoidosis, Vogt-Koyanagi Harada, Reiter, Rheumatoid arthritis). 3. Tidak diketahui (unknown).

Prinsip pengobatan uveitis adalah(5) : 1. Menekan peradangan 2. Mengeliminir agen penyebab 3. Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di Iuar mata. Disampaikan pada Seminar EED-Kornea-Uvea Perdami XXI 9-10 Juli 1993 di Yogyakarta

Pengobatan terhadap uveitis berdasarkan dari diagnosis yang ditegakkan. Setelah diagnosis kerja dapat ditegakkan, maka ada dua tindakan yang harus kita lakukan, yaitu(6) : 1. Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan konsultasi spesialistik. 2. Pengobatan inisial non spesifik.

Setelah ada hasil laboratorium dan konsultasi yang menyokong ke arah suatu etiologi, maka diberikan pengobatan yang spesifik terhadap etiologinya. Diagnosis yang ditegakkan penting untuk pengobatan; pameo klasik yang terkenal no matter what causes it, you're going to treat with steroid ini tidak seluruhnya benar, bahkan bisa menimbulkan komplikasi yang fatal bila tidak diberi terapi spesifik seperti pads toxoplasmosis, tuberkulosis, sifilis, herpes, dan lain-lain.

Pada makalah ini akan dibicarakan pengobatan uveitis non spesifik maupun spesifik pada uveitis.

OBAT-OBATAN NON SPESIFIK(6,7,8) 1. Midriatik-sikloplegik 2. Kortikosteroid 3. Imunosupresan

1) Midriatik-sikloplegik

Macam obat Lama kerja

Midriacyl Fenilefrin Homatropin Atropin

0.5% 2.5% 1 % 0.5%

1% 10% 2% 1 %

2%

4% 2%

5%

3 – 6 jam 4 – 10 jam 18 – 36 jam 10 –14 jam

Page 2: 15PenatalaksanaanUveitis087

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 56

Nussenblatt memakai homatropin sebagai sikloplegik karena iris akan tetap dapat berkontraksi supaya tidak terjadi sinekia posterior(8). Apabila sudah terjadi sinekia posterior dapat dilepas-kan dengan atropin atau homatropin diteteskan tiap 5 menit, kokain dan penilefrin(9).

2) Kortikosteroid Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi

non spesifik yang bermanfaat pada uveitis. Efek samping baik topikal maupun sistemik telah kita ketahui, akan tetapi tidak ada salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti inflamasi, efek samping dan potensi preparat steroid yang di-pakai dalam pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan intra okular dengan kortikosteroid dimulai pada tahun 50-an(8). Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis(6) : A. Lokal : 1. Tetes mata

2. Injeksi peri okular B. Sistemik

A. Lokal Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik

sikloplegik lokal adalah paling logis dan efektif. Dosis maksimal dapat dicapai dengan efek samping yang minimal. Dan apabila terjadi komplikasi, maka obat ini dapat segera distop. 1) Tetes mata

Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipenga-ruhi oleh sifat kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga daya tembus obat topikal akan tergantung pada(9,10) : a. Konsentrasi dan frekuensi pemberian b. Jenis kortikosteroid c. Jenis pelarut yang dipakai d. Bentuk larutan a) Konsentrasi dan frekuensi pemberian

Makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek antiinflamasinya. b) Jenis steroid

Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon dan hidrokortison hanya dipakai pada peradang-an pada palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial. c) Jenis pelarut

Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat topikal mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat yang larut dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea yang baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat biphasic. d) Bentuk larutan

Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan sus-pensi. Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi

kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan ter-lebih dahulu sebelum dipakai.

Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan kom-plikasi seperti: Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain(7,10). 2) Injeksi peri-okular

Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi peri-okular adalah dicapainya efek anti peradangan secara maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang minimal/

Indikasi injeksi peri-okular adalah(6,10) : 1. Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes mata, maka injeksi peri-okular dapat dianjurkan. 2. Uveitis unilateral. 3. Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata. 4. Anak-anak. 5. Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis. Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi pada uveitis infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis.

Lokasi injeksi peri-okular : a) Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior

Pemakaian sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository (triamcinolone acetonide 40 mg, atau. methyl prednisolone acetate 20 mg) efektif pada peradangan kronis segmen anterior bolamata. Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali pemberian pada jaringan intraokular selama 2–4 minggu sehingga tidak mem-butuhkan pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat di-pakai dexametason 2–4 mg. b) Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar

Cara ini dipergunakan pada peradangan segmen posterior (sklera, koroid, retina dan saraf optik).

Komplikasi injeksi peri-okular : 1) Perforasi bola mata. 2) Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra okular dan katarak sub-kapsular posterior. 3) Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama dalam bentuk Depo di mana dibutuhkan tindakan bedah untuk mengangkat steroid tersebut dari bola mata. 4) Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra. B. Sistemik

Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis awal antara 1–2 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari (alternating single dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat prednison dan dexametaxon dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2 minggu(8,11). Pada uveitis kronis dan anak-anak di mana bisa terjadi komplikasi serius seperti supresi kelenjar adrenal dan gangguan pertumbuhan badan, maka diberikan dengan cara alternating single dose.

Indikasi kortikosteroid sistemik :

Page 3: 15PenatalaksanaanUveitis087

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 57

1. Uveitis posterior 2. Uveitis bilateral 3. Edema makula 4. Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter) 5. Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek samping yang tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme, dan lain-lain(8,10).

3) Immunosupresan A. Sitostatika B. Siklosporin A

A. Siklostatika Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang

refrakter terhadap steroid. Di RSCM telah dipakai preparat klorambusil 0,1–0,2 mg/kg BB/hari, dosis klorambusil ini di-pertahankan selama 2–3 bulan lalu diturunkan sampai 5–8 mg selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5 mg/hari, sampai 6–12 bulan. Selain itu juga dipakai preparat Kolkhisin dosis 0,5 mg–1 mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/ hari. Selama terapi sitostatika kita hams bekerja sama dengan Internist atau Hematologist. Sebagai patokan kita hams me-ngontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan trombosit lebih dari 100.000/mm3 selama dalam pengobatan. Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini mempunyai risiko terjadinya diskrasia darah, alopesia, ganggu-an gastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom(5,7,12).

Indikasi sitostatika(7,12) 1. Pengobatan steroid inefektif atau intolerable 2. Penyakit Behcet 3. Oftalmia simpatika 4. Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis) Kontra indikasi sitostatikac'.12> : 1. Uveitis dengan etiologi infeksi 2. Bila tidak ada : – Internist/hematologist – Fasilitas monitoring sumsum tulang – Fasilitas penanganan efek samping akut

B. Siklosporin A Pada pengobatan uveitis sering dipergunakan kortikosteroid

dengan dosis imunosupresi dan dalam jangka waktu lama, yang dapat menimbulkan efek samping yang tidak diingini. Obat-obat sitostatika yang dipakai sebagai imunosupresan juga dapat menimbulkan efek samping yang lebih serius. Selain itu kedua jenis obat tersebut tidak spesifik dalam menekan peradangan intraokular, sehingga sering terjadi kegagalan pengobatan yang akan berakhir dengan kebutaan. Maka perlu dicari altematif pengobatan yang lain yang lebih efektif dan aman(13).

Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan yang relatif ban' yang tidak menimbulkan efek samping terlalu

berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T tanpa me-nekan seluruh imunitas tubuh; pada pemakaian kortikosteroid dan sitostatik akan terjadi penekanan dari sebagian besar sistem imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel monosit dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi sumsum tulang dan tidak mengakibatkan efek mutagenik seperti obat sitostatika(14,15,16)

Uveitis terjadi akibat hipersensitivitas tipe III (response imun-complex) seperti pada uveitis fakoanafilaktik dan vasku-litis pada penyakit Behcet, dan tipe IV (lambat) seperti pada Oftalmia simpatika, penyakit Behcet, sarkoidosis dan lain-lain. Tetapi Nussenblatt mengatakan bahwa peranan reaksi tipe III pada uveitis terbatas, sedangkan reaksi tipe IV sangat penting dalam menerangkan mekanisme penyakit peradangan intra-okular(8).

Mekanisme kerja siklosporin A dalam respons imun adalah spesifik dengan(l7) : 1) Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan secara umum produksi limfokin-limfokin (IL-2, interferon, MAF, MIF). Secara umum CsA tidal( menghambat fungsi sel B. 2) Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan block-ing sintensis IL-2. 3) Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natu-ral killer cell) dengan menekan produksi interferon, di mana interferon dalam mempercepat proses pematangan dan sitolitik sel NK. 4) Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA sehingga tidak mempengaruhi efek fagositosis, processing antigen dan elaborasi IL-1.

Mekanisme kerja kortikosteroid dalam response imun(l7) : 1. Secara invitro menekan blastogenesis sel T. 2. Menekan produksi sel T sitotoksik secara langsung dan blocking sintesis limfokin/lymphotoxic factor. 3. Menekan respons makrofag dan sel monosit, sehingga menekan aktivitas fagositosis, microbicidal, digestion intra-cellulare partikel antigen dan elaborasi plasminogen activation factor. 4. Respons imun humoral (imunoglobulin) relatif resisten terhadap efek CsA.

Mekanisme kerja sitostatika dalam respons imun(l7) : 1. Menekan secara langsung produksi antibodi. 2. Menghambat fungsi sel T sitotoksik. 3. Menghambat fungsi sel T suppresor sehingga produksi antibodi berkurang. 4. Populasi makrofag dan sel monosit relatif resisten terhadap sitostatika walaupun obat ini menekan produksi MAF dan MIF.

Hasil penelitian prospektif CsA pada pasien uveitis yang re rakter terhadap pengobatan konvensional di RSCM memberi-kan hasil yang cukup baik dalam hal memperbaiki penglihatan dan menekan peradangan dengan efek samping minimal(18). PENGOBATAN SPESIFIK

1) Toxoplasmosis(6,8,19) : Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi

Page 4: 15PenatalaksanaanUveitis087

Cermin Dunia Kedokteran No. 87, 1993 58

kombinasi. a) Sulfadiazin atau trisulfa :

Dosis 4 kali 0.5–1 gr/hari selama 3–6 minggu. b) Pirimetamin :

Dosis awal 75–100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25 mg/hari selama 3–6 minggu. c) Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim®) :

Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim® selama 4–6 minggu. Preparat sulfa mencegah konversi asam paraaminobenzoat menjadi asam folaL Preparat pirimetamin bekerja menghambat terbentuknya tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh organisme toxo-plasma untuk metabolisme karbon. Pada pemakaian pirimetamin dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka kontrol darah tepi tiap minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5 mg tiap 2 hari. d) Klindamisin :

Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik de-ngan preparat sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina. Dosis: 3 kali 150–300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50 mg dilaporkan memberi hasil baik. e) Spiramisin :

Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam men-cegah rekurensi. f) Minosiklin :

1–2 kapsul sehari selama 4–6 minggu. g) Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi medikamentosa.

2) Infeksi virus(6,8,20) : a) Herpes simplex :

Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal anti-virus seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 2–3 minggu yang kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari. Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari. b) Herpes zoster :

Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10–14 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior diberikan steroid dan sikloplegik topikal. c) Sitomegalovirus :

DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian intravena Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus. KESIMPULAN

Dengan kemajuan pengetahuan di bidang imunologi maka

banyak manfaat yang dapat diperoleh dalam menanggulangi penyakit mata, khususnya uveitis, baik untuk diagnostik, mau-pun pengobatannya. Pengobatan kortikosteroid dan imuno-supresan pada uveitis ibarat pisau bermata dua, bermanfaat bila merupakan indikasi, di lain pihak dapat menyebabkan kompli-kasi yang serius bila pemakaiannya tidak pada tempatnya. De-ngan adanya obat-obat barn yang lebih efektif dan lebih selektif cara kerjanya dalam pengobatan uveitis maka kita dapat meng-harapkan hasil yang lebih b3ik dibandingkan masa lampau.

KEPUSTAKAAN

1. U.S. DHEW, NIH. Interim reports of the National Advisory Eye Council.

Support for vision research, 1976; 20-22. 2. Cofie G, Tenkorang J, Thomson I. Blindness in Ghana - a hospital-based

survey. Community eye health. An International bulletin to promote eye health worldwide, issue no 7 1991.

3. O'Connor GR. Endogenous uveitis. Dalam: Kraus-Mackiw E & O'Connor GR (Eds). Uveitis. Pathophysiology and therapy 2nd ed. New York: Thieme Medical Publ Inc, 1986; 47

4. BenEzra D. Disease of choroid and anterior uvea. Dalam: Michelson JC (Ed). Michelson's Textbook of Fundus of the Eye, 3rd ed. New York: Churchill Livingston, 1980; 435–438.

5. BenEzra D, Nussenblatt RB, Timonen P. Optimal use of Sandimmun in endogenous uveitis. Berlin: Springer-Verlag 1988; 7

6. Smith RE, Nozik RA. Uveitis. A clinical approach to diagnosis and management, 2nd ed. Williams & Wilkins. Baltimore. 1989.

7. Foster CS, Nussenblatt RB. Advanced immunilogy for ophthalmologists. American Academy of Ophthalmology. San Francisco, October 1985.

8. Nussenblau RB, Palestine AG, Uveitis. Fundamentals and Clinical Prac-tice. Chicago: Year book Medical Publ Inc, 1989; 125–131.

9. Schaegel TF: Non spesific treatment of uveitis. Dalam Duane TD. (ed.): Clinical Ophthalmology, vol. IV chapter 43. Harper & Row Publ. Phila-delphia 1986.

10. Havener WH. Ocular Pharmacology, 5th ed The C.V. Mosby Co. 1983. 11. Forrester WH. Liversidge J & Towler HM. Cyclosporin A & intra ocular

inflammatory disease. Dalam: Thomson AW (Ed). Sandimmun.. Mode of action and clinical application. DordrechtBoston/London: Kluwer Aca-demic Publ, 1989; 159–180.

12. Dinning WJ. Therapy-selected topics. Dalam: Kraus--Mackiw and O'Connor GR (Eds). Uveitis. Pathophysiology and Therapy. Thiems Medical Publ Inc. New York, 1986; 104–226.

13. Belin MW, Bouchard CS, Frantz S, Chimielinska J. Topical Cyclosporine in high-risk corneal transplants. Ophthalmology 1989; 96: 1144–1150.

14. Nussenblatt RB, Scher I. Effect of Cyclosporine on T-cell sub-sets in experimental autoimmune uveitis. Invest Ophthalmol. Vis. Sci. Jan 1985; 26: 10-14.

15. Striph G, Doft B, Rabin B, Johnson B. Retinal S antigen-induced uveitis. The efficacy of cyclosporine and corticosteroid in treatment. Arch Ophthalmol. Jan 1985; 104(1): 114–117.

16. Nussenblatt RB, Palestina AG, Chan CC. Cyclosporine A therapy in the treatment on intra ocular inflammatory disease resistant to systemic cor-ticosteroids and cytotoxic agents. Am. J. Ophthalmol 1983; 93: 175–281.

17. Kaplan HJ, Waldrep JC. Immunologic insights into uveitis and retinitis. Ophthalmology 1984; 91: 655-665.

18. Sjamsoe S, Marsetio M, Asyari F et al. A clinical study with low dose Cyclosporin A (Sandimmun) in the treatment of refractory intermmediate and posterior uveitis. Tenth Afro-Asia Congress of Ophthalmology. Jakarta 1992.

19. Engstrom RE, Holland GN, Nussenblatt RB, Jabs DA. Current practices in the management of ocular toxoplasmosis. Am. J. Ophthalmol 1991; 111: 601–610.

20. Beyer CF, Hill JM, Kaufman HE. Antivirals and interferons. Dalam: Stamper RL (Ed). Ophthalmology Clinics of North America. WB Saunders Co. Philadelphia, vol 2/no. 1. March 1989; 51–